Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 06 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (11) Tiba di Tanah Air

Date: Sat, 6 Aug 2011 14:54:32 

Alhamdulilah, baru saja landing di Juanda. Alhamdulilah, semua lancar. Alhamdulilah, tetap diberi kesehatan lahir dan batin.

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya tertuju kepada Allah yang tidak akan pernah mati dan sirna selamanya. Sesungguhnya kami bertahmid kepada-Mu, ya Allah, dengan ibadah umrah kami yang telah kami selesaikan dan dengan sunnah Nabi-Mu yang telah kami jalani".

Semoga umroh kami sekeluarga mabrur dan barokah.

Terimakasih atas doa teman2. Semoga doa, perhatian,  dan kebaikan teman2 dicatat sebagai amal baik dan diberikan balasan oleh Allah SWT. 

Selamat berpuasa. Allah SWT meridhoi ibadah kita.

Wassalam,
LN

Jumat, 05 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (10) Thawaf Wada'

Jumat, 5 Agustus 2011. Kami akan melaksanakan thawaf wada' selepas sholat jumat. Ya, ketika matahari sedang terik-teriknya. Ba'da ashar, kami akan bertolak menuju Jeddah, dan terbang kembali ke Tanah Air, insyaallah dengan GA pada pukul 02.00 waktu Jeddah. Diperkirakan tiba di Bandara Juanda, pada Sabtu, 6 Agustus 2011, pukul 19.00 WIB.

Sehari sebelumnya, Kamis, 4 Agustus, kami berumroh, mengambil miqot di Ji'ronah. Perjalanan dari hotel ke Ji'ronah dimanfaatkan sekaligus untuk mengunjungi Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Arofah, dan Mina. Berangkat dari masjid Ji'ronah menuju Masjidil Haram pada sekitar pukul 11.00. Menunggu beberapa saat untuk shalat dhuhur berjamaah, lantas bersiap melaksanakan thawaf.

Bayangkan, thawaf di bawah terik matahari yang sangat menyengat. Sekeliling ka'bah tidak terlalu penuh, meskipun tidak bisa dibilang sepi. Kami bisa memutari ka'bah dengan jarak agak dekat, sehingga waktu yang diperlukan bisa lebih cepat. Tapi betapa luar biasa panasnya, sekujur tubuh seperti terbakar.
Lantunan tasbih, dzikir, sholawat, doa-doa, terucap lirih. Tidak seperti biasanya. Semua orang menghemat energi, atau mungkin memang sudah kehabisan energi.

Subhanallah. Belum pernah aku merasakan panas menyengat seperti ini. Anakku, Arga, sudah tidak mampu berkata-kata apa pun kecuali bertasbih dalam hati. Hanya bibir keringnya saja yang bergerak-gerak. Wajahnya pucat pasi. Aku membisikkan bacaan tasbih, doa, dan sholawat di belakangnya. Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallahu allahu akbar, laa khaula wa laa kuwwata illaa billaahil 'aliyyil 'adziim, allaahumma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aali sayyidina muhammad... Pundak kanannya yang terbuka basah penuh dengan peluh. Bagaimana pun ini bukan ujian yang ringan untuk usia mudanya, tapi aku yakin, tasbih dan sholawat akan mampu menghembuskan semangat dan menguatkan hatinya.

Akhirnya thawaf itu selesai. Kami keluar dari putaran dengan tertib. Ustadz Agung dan mas Ayik melambaikan tangan kanannya sebagai tanda kami akan keluar dari barisan, dan meminta jamaah yang lain memberi kami jalan. Berbarislah kami kemudian di depan multazam, melakukan sholat sunnat ba'da thawaf. Menyungkurkan kepala di lantai yang panas menembus kulit itu. Menantang matahari. Antara peluh dan air mata berbaur. Percayakah kalian, dalam panas terik yang luar biasa menyengat itu, dengan wajah dan sekujur tubuh yang serasa terbakar, dengan tenggorokan kering kerontang sampai terasa sangat pahit, dan bibir pecah-pecah yang begitu perih; namun yang kami rasakan adalah kedamaian hati dan jiwa yang tiada tara? Allaahu akbar, terimalah rasa syukur kami, ya Allah, pada Engkau yang Maha Memberikan Kedamaian....

Dan siang ini, setelah shalat jumat dan diteruskan sholat jama' qoshor takdim ashar, kami melakukan thawaf. Mengulang perjalanan kemarin. Arga nampak sudah lebih siap. Kubilang padanya, "Dik, tidak cemberut seperti kemarin, ya?" Dia mengangguk pasti. "Sure I will, mam. Aku kemarin memang drop, kakiku suwakiit. Tapi sekarang insyaallah siap."

Kami tidak berpakaian ihrom, karena memang tidak sedang berumroh. Kami 'hanya' akan melakukan thawaf wada'. Ketika kaki-kaki ini menapaki lantai sekeliling ka'bah yang panas, dengan matahari bersinar garang di atas kepala, dan peluh-peluh bercucuran di sekujur tubuh, tasbih dan dzikir tetap kami lantunkan dengan sepenuh hati. Doa-doa tetap kami tunaikan sepenuh perasaan. Bahkan mungkin lebih khusyu' dan mendalam dibanding yang sudah-sudah. Karena hari ini kami akan berpisah dengan Baitullah, meninggalkan kota suci Makkah Al Mukarromah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Keluar dari Tanah Haram. Namun insyaallah, hati dan jiwa kami akan tetap tinggal. Dan suatu saat, tentu kami semua ingin kembali lagi ke sini, menapak jejak Rasulullah dan Nabi Ibrahim A.S. Insyaallah...

Ya Allah Yang Maha Besar, semoga kami termasuk orang-orang yang kembali, ahli taubat, ahli ibadah, ahli sujud, dan hanya kepada-Mu kami memuji.....

Amin Yaa Rabbal 'Aalamiin


Wassalam,
LN

Selasa, 02 Agustus 2011

Catatan Perjalanan (9) Tarawih di Masjidil Haram

Selasa, 2 Agustus 2011. 

Pukul 18.40. Kami berempat, aku, mas Ayik, Arga dan bu Wiwik (seorang teman dalam rombongan kami), sedang dalam perjalanan dari hotel menuju Masjidil Haram. Toko-toko di sepanjang jalan sudah mulai banyak yang tutup. Sebagaimana di Madinah, mereka hanya menutupi barang dagangan mereka dengan kain-kain, dan memadamkan atau mengurangi lampu-lampu penerangan. Jarang yang menutup toko dengan cara seperti di Tanah Air, yaitu menutup rapat pintu tarik atau pintu dorong, serta mengunci atau menggemboknya.

Di depan toko, di sepanjang jalan itu, tikar-tikar digelar. Berbagai makanan dihidangkan, yang selalu ada adalah kurma, dalam keadaan segar atau kering. Selebihnya roti Arab, hidangan dari ayam, daging, kentang, dan beberapa macam hidangan fast-food (misalnya kabab, shawarma, sandwich, dll), yang memang banyak dijual di sepanjang jalan tersebut. Berbagai minuman juga disiapkan, air putih (mungkin air zam-zam), dan berbagai juice, yang memang mudah didapatkan di toko-toko di sekitar Masjidil Haram. Orang-orang duduk bersila melingkari makanan-makanan tersebut, berkelompok-kelompok, ada yang berempat, berlima, ada yang dalam kelompok besar lebih dari 15 orang. Mereka semua menunggu adzan maghrib, duduk diam sambil berdoa, atau berbincang-bincang untuk mengisi waktu.

Di dalam tas kecil kami, ada bekal minuman, beberapa kurma, dan kue-kue kecil. Kami akan berbuka dan menunaikan sholat maghrib di Masjidil Haram. Beberapa meter sebelum mencapai halaman masjid, adzan berkumandang. Sontak, semua orang membatalkan puasanya. Ada yang langsung menyerbu takjil, yang disediakan di beberapa meja, berupa kurma, kue-kue, yang disiapkan di sudut jalan, di sebuah lahan kosong. Ada juga beberapa orang yang dengan sengaja membawa sekotak kurma, dan ditawar-tawarkan kepada siapa pun yang berlalu lalang di dekatnya. Sangat simpatik.

Kami menyantap bekal yang sudah kami siapkan. Setelah itu berpisah di tangga pintu satu, menuju tempat sholat masing-masing. Di tempat itu jugalah kami nanti akan bertemu selepas sholat maghrib, untuk kembali ke hotel, menikmati santapan buka puasa yang sudah disiapkan.

Setelah berbuka puasa, kami bergegas lagi kembali ke masjid. Orang telah berbondong-bondong berebut tempat, di dalam maupun di halaman masjid. Teriakan para asykar yang mengatur jamaah bersaut-sautan. Asykar-asykar itu akan mengusir siapa pun orang yang menggelar sajadahnya di luar tali pembatas. Bila ada yang nekad, asykar akan mengangkat sajadah dan barang-barang mereka, untuk memaksa mereka pindah tempat. Baru kalau dirasa sangat perlu, tali pembatas akan diulur untuk
memperluas tempat sholat.

Seperti tadi, kami berpisah di tangga pintu satu. Aku dan bu Wiwik memasuki tempat bersekat khusus jamaah perempuan. Di sebelah kananku, perempuan Turki, tinggi besar. Berkulit putih, cantik. Begitu juga barisan di depan kami. Tidak ada tempat kosong sejengkal pun. Syaf rapat. Meski begitu, orang-orang besar itu, umumnya berkulit hitam, berjubah hitam, akan menerobos shaf, berjalan di atas
sajadah, melangkahi orang-orang, kadang sambil memegang kepala orang yang dilangkahinya, memaksa-maksakan tubuh besarnya mengambil tempat di antara tubuh-tubuh yang sudah rapat.

Sekitar pukul 21.00. Adzan isya bergema, sholat demi sholat didirikan. Lantunan ayat-ayat suci dari imam, begitu menghanyutkan. Ayat-ayat yang panjang, yang sebagian besar kukenal namun tidak kupahami maknanya (dari kecil aku diajari mengaji oleh bapak ibuku, kadang-kadang oleh kakak-kakakku, dan ngajiku tidak akan ditambah kalau yang sudah diajarkan sebelumnya belum 'lanyah' dan bahkan setengah hafal. Oleh sebab itu aku mengenal hampir semua surat dalam Al Quran, meski sebagian besar tidak kupahami maknanya). Namun cara imam melafalkannya, terasa begitu penuh perasaan, kadang meninggi, melemah, menghiba, datar, beberapa kali bergetar.... lalu berhenti sejenak. Imam itu menangis. Lantas melanjutkan lantunannya dengan suara serak.

Aku teringat saat malam ramadhan seperti ini, ketika di Tanah Air, aku suka menyaksikan liputan tarawih dari Tanah Suci, di salah satu stasiun TV. Ketika imam menangis saat membaca ayat suci Al Quran, aku selalu ikut sesenggukan. Padahal aku tidak paham maknanya. Kadang-kadang kucoba untuk mencari-cari ayat-ayat yang dibacanya dengan membuka tafsir al Quran, tentu saja tidak semudah itu.

Dan saat ini, aku lalui beberapa rakaatku dengan menangis. Ka'bah ada beberapa puluh meter di depanku, tak nampak oleh mata karena terhalang pilar-pilar besar masjidil haram yang rapat. Namun aku bisa membayangkan di mana imam itu, dengan gamis putihnya, berjubah, dan bersurban hitam putih atau merah putih yang menghiasi kepalanya; sebagaimana yang sering kulihat di TV. Namun suaranya yang begitu dekat, kepasrahan dan keihlasan yang tercermin dari lantunannya, sedemikian mampu membawaku ke titik yang paling nadhir. Aku terisak. Airmata terus mengalir tanpa mampu kutahan. Begitu juga dengan orang-orang di sisi kanan-kiriku, di depanku, di belakangku. Lantunan ayat-ayat suci yang membahana, juga ketika doa qunut yang panjang itu dibacakan, merobek-robek qalbu, menyiramkan kesejukan dan kedamaian dalam rohani setiap orang.

Sholat berakhir sekitar pukul 23.15. Aku dan bu Wiwik bertemu dengan mas Ayik dan Arga di pintu 1. Mata mereka juga sembab. Tak terasa, lebih dari dua jam kami melakukan sholat jamaah ini. Benar-benar tak terasa. Waktu bagiku seperti berjalan begitu cepat. Ayat-ayat suci yang membuai kekhusyukan kami membuat kami seolah tidak ingin beranjak dari tempat kami sujud. Subhanallah....betapa
indahnya.

Alhamdulilah, ya Allah, telah Kau berikan kesempatan pada kami mereguk keindahan yang tak terkira ini...

Wassalam,
LN

Senin, 01 Agustus 2011

Catatan Perjalanan Umroh (8) Ke Mekkah

Senin, 1 Agustus 2011.

Hari ini, selepas shubuh di Nabawi, kami bertiga langsung pulang ke hotel. Tubuh lelah kami memerlukan istirahat, dan ada cukup waktu untuk sejenak menghimpun energi, sebelum kami melakukan perjalanan panjang menuju Makkah Al Mukarromah, setelah dhuhur nanti.

Aku bangun dari tidur pagi itu pada pukul 10. Mas Ayik kulihat sibuk dengan bagasi-bagasi kami. Orang itu memang sangat care pada urusan "packing-memacking". Meskipun kami sudah mencoba melakukan packing bagasi kami masing-masing, dia masih memastikan bahwa barang-barang kami sudah diatur sedemikian rupa dalam tas koper, barang-barang yang baru saja kami beli sudah dirapikan semua, dan barang mana yang diperlukan dalam perjalanan serta yang mungkin diperlukan, disiapkannya dengan
baik. Nampaknya itulah yang dilakukannya sejak pagi, dan sengaja membiarkan aku dan Arga pulas.

Arga masih pulas ketika aku memutuskan untuk bangun, mandi dan keramas. Aku juga berwudhu untuk menunaikan sholat dhuha. Perlu waktu beberapa menit untuk mengeringkan rambut. Sementara itu, Arga bangun dan langsung masuk ke kamar mandi, dan setelah dia selesai, abahnya menyusul. Mandi yang kami lakukan hari ini, adalah mandi wajib sebelum umroh.

Pukul 12.00, kami bertiga berangkat ke Nabawi. Adzan dhuhur berkumandang pukul 12.30. Rangkaian kegiatan mulai dari takhiyatul masjid dan ibadah-ibadah yang lain, termasuk sholat ghaib, selesai pukul 13.15-an. Kami bertiga bertemu di pintu 22, dan langsung pulang ke hotel, tanpa melakukan shopping atau window shopping seperti biasanya. Panas terik dan waktu yang terbatas untuk bersiap diri (mengemasi bagasi dan berganti busana dengan busana ihrom), membuat kami tidak berselera untuk berlama-lama di jalan, apalagi kami memang harus menghemat energy pada puasa pertama ini untuk melakukan perjalanan menuju Mekkah.

Jam 14.30-an, kami semua telah siap memasuki bus yang akan membawa kami. Semua berpakaian ihrom. Kami akan melakukan umroh wajib dengan mengambil miqot di Bir Ali atau Zulhulaifah. Saat bus mulai bergerak, Achmad, sang muthawif, memimpin membaca doa meninggalkan kota Madinah, diteruskan dengan membaca doa safar. Selamat tinggal Madinaturrosul. Ya Allah, limpahkanlah rahmad bagi junjungan kami Muhammad dan keluarganya...

Dari Nabawi ke Bir Ali hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit. Panas terik begitu menusuk-nusuk kulit. Tenggorokan kami kering, sampai pahit rasanya. Wajah terasa terbakar. Kami menuju tempat wudhu, lengkap dengan busana umroh penuh (hanya telapak tangan dan wajah yang terbuka untuk perempuan; untuk laki-laki, mengenakan dua helai kain putih). Ustadz kami selalu mengingatkan supaya kami tidak membuka aurat, lebih-lebih bila nanti setelah sholat sunat umroh dan membaca doa umroh. Berbagai hal seperti menggunting kuku, menutup kepala (bagi laki-laki), adalah beberapa larangan ketika kita sudah mengenakan pakaian ihrom dan berniat umroh.

Kami ber-16 orang kembali ke bus setelah ustadz Agung memimpin kami membaca doa dan niat umroh. Bacaan talbiyah diselingi sholawat terus-menerus kami lantunkan seiring dengan bergeraknya bus meninggalkan Bir Ali. Labbailka Allaahumma labbaik.... Hatiku bergetar melafalkannya. Ya Allah, kami datang memenuhi panggilan-Mu.....

Sambil terus bertalbiyah dan bersholawat, aku menikmati pemandangan di luar. Adalah padang pasir yang luas menghampar, gunung-gunung dan perbukitan gundul, sesekali diselingi dengan barisan pohon kurma dan bangunan-bangunan berbentuk kotak-kotak tanpa genteng, yang bercat senada dengan warna padang pasir di sekelilingnya. Selebihnya adalah tiang-tiang listrik yang berbaris di sepanjang jalan, dan pagar besi pembatas jalur jalan. Pemandangan yang sama seperti itu jugalah yang kulihat ketika perjalanan dari Jeddah menuju Madinah.

Bus meluncur dengan tenang di atas jalan yang mulus, lalu lintas yang tidak terlalu padat, dan kecepatan yang mungkin berkisar sedikit di bawah 100 km/jam. Kata Achmad, ada larangan bagi kendaraan besar untuk melaju di atas 100 km/jam. Dengan kondisi jalan yang relatif lengang, bus sebenarnya bisa melaju
dengan kecepatan yang lebih tinggi (seperti kebiasaan supir-supir bus di Tanah Air), namun itu tidak terjadi, mungkin karena kesadaran berlalu-lintas mereka yang cukup baik, atau karena mereka takut kena tilang polisi yang banyak berpatroli di sepanjang jalan.

Hampir semua penumpang di dalam bus tertidur, termasuk Achmad dan ustadz Agung. Aku sebenarnya berusaha memejamkan mata, namun tak juga tertidur. Yang kulakukan akhirnya menulis, bertalbiyah, bersholawat. Pada jarak sekitar 150 km sebelum kota Makkah, Achmad bangun dan meminta para penumpang untuk bersiap diri berbuka puasa dan menunaikan sholat maghrib. Bus berhenti di tempat peristirahatan, di sana ada beberapa kedai makanan dan minuman, serta masjid.

Masjid itu tidak terlalu besar, setidaknya bila dibandingkan dengan jumlah jamaah yang seharusnya bisa ditampung dengan cukup layak. Tempat wudhu, seperti kebanyakan tempat wudhu di tempat-tempat  peristirahatan di sepanjang jalan kota Madinah dan Makkah, kotor dan bau, mungkin itulah representasi dari berbagai kultur di seluruh dunia. Aku seringkali tidak habis pikir, bagaimana Makkah dan Madinah, kota muslim yang menjadi pusat ziarah dan ibadah umat muslim di seluruh dunia itu, tidak menunjukkan gambaran perilaku muslim yang seharusnya suka kebersihan, setidaknya di tempat-tempat yang digunakan untuk bersuci. Bukankah "annadhoofatu minal iimaan?"

Kami berbuka dengan nasi kotak, lauknya ayam bumbu dan oseng buncis. Sebuah pisang dan segelas air putih. Menu buka puasa yang sangat sederhana dibandingkan dengan bila kita berbuka puasa di rumah. Seperti biasa, separo porsi kuserahkan Arga untuk diselesaikannya.

Bus bergerak lagi. Talbiyah dan sholawat dikumandangkan lagi. Perut kenyang, tubuh lelah, mata mulai mengantuk. Talbiyah dan sholawat pun lambat-laun berhenti. Berganti dengan dengkuran tubuh-tubuh yang lelah.

Sekitar jam 23-an, kami dibangunkan oleh Achmad. Dia menyampaikan kalau kami sebentar lagi sampai di tujuan, yaitu hotel tempat kami menginap. Tetapi ternyata bus harus memutar, karena jalan yang seharusnya dilewati dipenuhi oleh jamaah yang pulang dari tarawih dari masjidil haram.

Sekitar pukul 24.00 kami tiba di depan hotel. Kami semua, termasuk ustadz Agung, kaget bukan kepalang. Hotel itu, lebih tepat disebut maktab, itu pun kondisinya jauh lebih baik maktab-maktab yang kami tempati ketika berhaji. Tidak ada lobi, lift kecil (hanya cukup utk 4 orang), dan kondisi kamar yang... Dengan kos-kosanku di Ketintang ketika kuliah dulu, yang sekamar untuk berempat, yang bayarnya waktu itu terhitung murah..., masih lebih baik kos-kosanku. Tapi stop bicara tentang hotel ini dulu... nanti dilanjutkan. Waktunya ke masjidil haram untuk thawaf, sai, dan tahalul....dan sempurnalah umroh kami. Semoga menjadi umroh yang diterima dan berkah. Amin.

Wassalam,
LN