Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 19 Februari 2014

Himapala: Aksi Kecil untuk Kemanusiaan

Selasa, 18 Februari 2014, bertempat di Gedung Pusat Jaminan Mutu (PJM) Unesa, telah dilaksanakan kegiatan donor darah. Pelaksana kegiatan adalah Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) Unesa. Donor Darah ini merupakan rangkaian kegiatan untuk menandai Ulang Tahun Himapala yang ke 36.

Hadir pada upacara pembukaan antara lain Pembantu Rektor III, Prof. Dr. Warsono, dan Pembina Himapala, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, serta perwakilan dari Palang Merah Indonesia (PMI) Surabaya. Dalam sambutannya, Prof. Warsono menyampaikan apresiasinya pada Himapala karena kegiatan donor darah merupakan kegiatan yang sangat mulia. Darah adalah kehidupan, dan sebagaimana slogan PMI, setetes darah kita  sangat besar artinya bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan. 

Ibu Vera, wakil dari PMI, menyampaikan rasa terima kasihnya yang tak terhingga atas kegiatan donor darah tersebut. Beliau juga mengemukakan harapannya, agar kegiatan seperti ini tidak hanya dalam rangka menandai ulang tahun Himapala, tapi bisa dilakukan secara periodik, misalnya tiga bulan sekali, di bawah koordinasi Himapala. 

Perlu disampaikan, donor darah hari ini memang bukanlah kegiatan pertama. Himapala sudah melaksanakan kegiatan tersebut belasan kali, dan animo masyarakat kampus untuk menyemarakkan kegiatan sosial ini cukup membanggakan. Dosen, karyawan dan mahasiswa berbondong-bondong untuk mendonorkan darahnya. Bahkan sebelum pembukaan acara dimulai, kru PMI telah melayani para pendonor tersebut. Ke depan, Prof. Warsono berharap, kegiatan donor darah bisa disosialisasikan lebih luas, sehingga masyarakat di luar kampus juga mengetahuinya, dan mereka akan berbondong-bondong datang untuk mendonorkan darahnya. Selain untuk membangun kepedulian, juga sekaligus sebagai wahana untuk lebih mendekatkan Unesa pada masyarakat. 

Selanjutnya pada hari Rabu, 19 Februari 2014 (siang ini), Himapala juga memberangkatkan sejumlah tim relawan yang akan membawa bantuan bagi para pengungsi korban erupsi Gunung Kelud. Bantuan diperoleh dari berbagai pihak, antara lain dari PPPG, BEM Jurusan Teknik Elektro, BEM Universitas, UKKI, dan dari para donatur perseorangan, yang berhasil dihimpun oleh anggota Himapala. 

Upacara pemberangkatan dihelat di halaman Rektorat, dihadiri Rektor (Prof. Dr. Muchlas Samani), PR I (Prof. Dr. Kisyani), PR III, dan Pembina Himapala. Selain itu juga dihadiri oleh delegasi dari BEM-U, BEM-Teknik Elektro, dan UKKI. 

Selain tim yang akan berangkat tersebut, beberapa anggota Himapala sudah bergabung dengan para relawan yang lain di tempat-tempat pengungsian, sejak hari kedua Kelud meletus. Mereka juga yang memberikan informasi kepada para relawan yang akan berangkat, di titik-titik mana sebaiknya bantuan disalurkan. 

Dalam kondisi di mana rasa kepedulian pada lingkungan, baik lingkungan fisik mau pun sosial, yang semakin menipis di kalangan anak muda, kegiatan donor darah dan pemberian bantuan bagi para korban bencana alam, menjadi salah satu tumpuan harapan untuk terus memercikkan rasa kepedulian itu. Meskipun mungkin merupakan aksi yang kecil, namun hal tersebut sangat berarti untuk menempa kepekaan dan kepedulian mereka, sekaligus demi sebuah misi kemanusiaan. 

Surabaya, 19 Februari 2014

Wassalam,
LN

HIMAPALA UNESA, AJANG PENGEMBANGAN KARAKTER

Oleh Luthfiyah Nurlaela

Sejarah Himapala

Istilah pecinta alam, di luar negeri disebut aktivis lingkungan, merujuk pada sekelompok anak muda yang suka berpetualang, naik gunung, lintas hutan, dan beberapa aktivitas di alam yang lain, termasuk di dalamnya adalah aktivitas yang mencerminkan adanya kepedulian pada kelestarian alam. Penghijauan, pengelolaan sampah, konservasi alam, dan sebagainya, adalah sebagian kecil kegiatan kepecintaalaman.

Konsep pecinta alam dicetuskan oleh Soe Hok Gie pada tahun 1964. Gie sendiri meninggal pada tahun 1969 karena menghirup gas beracun Gunung Semeru. Pada awalnya, gerakan pecinta alam merupakan gerakan murni perlawanan sipil atas invansi militer, dengan doktrin militerisme-patriotik. "Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi (kemunafikan) dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung" (Soe Hok Gie - Catatan Seorang Demonstran). 

Era pecinta alam sesudah meninggalnya Soe Hok Gie ditandai dengan adanya ekspedisi besar-besaran. Pada era 1969 - 1974 merupakan era antara masa kematian Gie dan munculnya Kode Etik Pecinta Alam. Tatanan baru dalam dunia kepecinta-alaman muncul dengan disahkannya Kode Etik Pecinta Alam pada Gladian IV di Ujungpandang, 24 Januari 1974. Pada saat itu di Barat juga sudah dikenal 'Etika Lingkungan Hidup Universal' yang disepakati pada 1972. Era ini menandakan adanya suatu babak monumental dalam aktivitas kepecinta alaman Indonesia dan perhatian pada lingkungan hidup di negara-negara industri. Lima tahun setelah kematian Gie, telah muncul suatu kesadaran untuk menjadikan pecinta alam sebagai aktivitas yang teo-filosofis, beretika, cerdas, manusiawi/humanis, pro-ekologis, patriotisme dan antirasial (Anonim, 2012). 

Dalam 'Etika Lingkungan Hidup Universal' ada tiga hal yang merupakan prinsip dasar dalam kegiatan petualangan yaitu: “Take nothing but picture, leave nothing but footprint, kill noting but time”.  Sejalan dengan hal tersebut, dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia disebutkan: 1) Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa; dan 2) Pecinta alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam sebagai makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.

Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (Himapala) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sebagai salah satu dari puluhan, bahkan ratusan perhimpunan pecinta alam di tanah air, memiliki sejarahnya sendiri, meskipun tidak terlepas dari sejarah pecinta alam di Indonesia. Oleh karena adanya kecintaan terhadap alam yang terwujud dalam berbagai kegiatan di tengah alam, sekelompok mahasiswa IKIP Surabaya (sekarang Unesa), pada tanggal 13 Januari 1978 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Himpunan Mahasiswa Pencinta Alam Keluarga Mahasiswa IKIP Surabaya (disingkat Himapala KM IKIP Surabaya). 

Jauh sebelum Himapala berdiri, embrio Himapala sudah ada saat bendera Dewan Mahasiswa (DEMA) masih tegar berdiri di bumi kampus IKIP Surabaya. Tepatnya pada penghujung 1977, sekelompok Mahasiswa IKIP yang mempunyai kesamaan hobi mendaki gunung, mempunyai ide membentuk suatu wadah organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas. Ide tersebut diajukan kepada DEMA untuk mendapat perlindungan dan nasehat untuk pembentukan selanjutnya.

Sebagai tindak lanjut dari usulan tersebut, dibentuklah sebuah tim yang terdiri dari 12 orang untuk menyiapkan pembentukan organisasi. Tim tersebut adalah Heru Nooryanto, Fatah Hadi Susanto, Ram Surya Wahono, Bambang, Arethank, Wahyu Choirot, Ahli Budi, M. Tis Amin, Hadi Purnomo, Mulyono serta Sigit Satata. Setelah tim terbentuk, mulailah tim bekerja untuk membuat proposal dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).

Setelah melalui proses yang agak panjang dan melelahkan, akhirnya pada tanggal 10 Januari 1978, AD/ART selesai dan ditandatangani oleh tim 12 tersebut. Dalam AD/ART tercantum bahwa nama organisasi adalah Himapala KM IKIP Surabaya. Namun sebelum nama ini ditetapkan, organisasi tersebut diusulkan bernama GMPA (Gerakan Mahasiswa Pencinta Alam). Karena pada saat itu mahasiswa dihadapkan pada problema kelesuan politik, dikhawatirkan nama tersebut berbau borjuis yang nantinya ditafsirkan sebagai organisasi politik. Walaupun AD/ART sudah jadi, Himapala belum bisa dikatakan berdiri karena pada saat itu proposal belum ditandatangani ketua DEMA sebagai pelindung.

Peristiwa yang menandai berdirinya Himapala adalah Pataka, yaitu berjalan dari ketinggian 0 meter di atas laut (mdpl) sampai ketinggian 3129 mdpl di puncak Gunung Welirang. Pelarungan bendera Pataka dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1978. Setelah melalui upacara dengan khidmat sekitar pukul 24.00 WIB, tim mulai berjalan dari Pantai Kenjeran menuju puncak gunung Welirang. Tepat pukul 13.00 WIB tanggal 13 Januari 1978, berkibarlah bendera pataka di puncak Gunung Welirang diiringi lagu syukur yang menandai lahir dan berdirinya Himapala. Pada akhir pelaksanaan Pataka tersebut proposal ditandatangani oleh ketua DEMA Heru Noorjanto, dan lengkaplah kelahiran bayi Himapala di bumi kampus IKIP Surabaya.


Aktivitas Himapala

Saat terbentuk, Himapala masih berupa badan semi otonom di bawah naungan DEMA IKIP Surabaya. Setelah periode DEMA dihapus dari peredaran kampus karena permasalahan politik yang bergejolak, yang diwarnai dengan maraknya aksi mahasiswa turun ke jalan menjelang Sidang Umum MPR pada Maret 1978, maka kehidupan diperbaharui dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tanggal 19 April 1978 Nomor 0156/U/91778 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), serta tanggal 24 Februari 1978 No. 037/U/1979 tentang bentuk susunan organisasi kemahasiswaan di lingkungan perguruan tinggi. Berdasar SK Mendikbud tanggal 24 September 1980 Nomor 0230/U/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) universitas dan institut negeri yang disebut periode NKK/BKK, maka Himapala merupakan badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Rektor. Lingkup kegiatan adalah menampung seluruh kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas kepencinta alaman.

Aktivitas Himapala tertuang dalam program kerja tahunan, yang terbagi menjadi program kerja rutin dan insidental. Program kerja rutin antara lain adalah: 1) Latihan Keterampilan dan Kepemimpinan Himapala (LKKH) dalam rangka perekrutan anggota baru dan pengembangan keterampilan dan kepemimpinan anggota baru, 2) Musyawarah Anggota dalam rangka melakukan reformasi Badan Pengurus Harian (BPH) Himapala, 3) Program Unggulan, misalnya Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM), 4) Ekspedisi, dan 5) Silaturahim Himapala dalam bentuk reuni atau halal bi halal. Sedangkan program insidentil, misalnya berupa: 1) Peringatan Hari Bumi dan Hari Lingkungan, 2) Pengelolaan sampah, dan 3) Penggalangan bantuan untuk bencana.

Tidak hanya berkecimpung di dunia outdoor sport, himapala unesa juga mengambil bagian di bidang sosial salah satunya dengan kegiatan Pekan Pengabdian Masyarakat (PPM). PPM adalah program unggulan Himapala Unesa yang dilangsungkan hampir setiap tahun. Kegiatan tersebut bertujuan agar para anggota Himapala mempunyai rasa tanggung jawab dan jiwa pengabdian, serta dapat berperan aktif di masyarakat. Tanggal 24 Juni 2010 yang lalu, misalnya, dalam rangka PPM, Himapala bekerja sama dengan BSMI Surabaya dan YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah) memberikan pelayanan medis dan penyerahan paket susu bagi warga Desa Douro Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang. Beberapa kegiatan yang lain dalam rangka PPM ini adalah:  membantu mengajar di TPQ; membimbing kelompok belajar untuk siswa SD; pelatihan seni tari, baca pusi dan tartil; outbond dan flying fox, electric fun, puzzle, spider wrap; dan berbagai lomba untuk siswa SD dan pemuda. Untuk ibu-ibu PKK diberikan pelatihan daur ulang sampah plastik yang pematerinya langsung dari dosen biologi Unesa, tentu saja dibantu oleh para anggota Himapala sendiri; papanisasi, pembibitan lele, pelatihan servis dan servis gratis dari UPM Unesa.

Pada kesempatan lain, Himapala mengajak seluruh sivitas akademika dan masyarakat umum untuk peduli pada lingkungan. Dalam rangka mengurangi efek pemanasan global, maka bertepatan dengan Hari Bumi, Senin 25 April 2011 yang lalu, Himapala mencanangkan agenda yang bertema “Satu Hari Tanpa Asap.” Kegiatan semacam itu terus menjadi kegiatan setiap tahunnya.

Tentu saja banyak aktivitas lain yang telah mewarnai Himapala sejak awal berdirinya. Beberapa aktivitas sekaligus prestasi tersebut antara lain adalah: 1) Ekspedisi pulau tidak berpenduduk di Nusa Barung, Long March Rute Anyer- Panarukan (1982); 2) Penelitian Gua II (Juara II dalam lomba karya tulis ilmiah Nasional) (1986); 3) Tour de East java Mountain (Welirang, Arjuno, Semeru, Bromo, Ijen dan Raung) (1987); 4) Pemandu pemanjat dunia Prancis (Patrick Berhault) di Tebing Lingga (1988); 5) Penelitian Goa Pongangan Gresik (1988); 6) Pendakian Gunung bersalju Cartenz Pyramide Irian Jaya (1989); 7) Penelitian Pengangkatan Air Gua Suling Pacitan (1992);  8) Lomba peranserta masyarakat dalam KSDA dan lingkungan Hidup Tingkat Nasional (Juara I) (1993); 9) Lomba perahu karet (HUT KODIKAL) (Juara) (1995); 10) lomba Arung Brantas Kediri s/d Surabaya HARDIKAL (Juara I) (1997); 11) Panitia Gladian nasional XII Pencinta Alam Indonesia (2001); 12) Penghijauan kaki gunung Penaggungan (2003); 13) Pusat informasi Daerah (PID) Mapala Jatim periode 2005-2006; 14) Triangle Expedition (ekspedisi 3 divisi; caving, KSDAH, rock climbing); dan 15) Ekspedisi Malang selatan (Panjat Tebing dan Susur Gua).

Pada tahun 2013 yang lalu, Himapala juga mengukir prestasi nasional maupun internasional, khususnya dalam bidang arung jeram. Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, yaitu Ekpedisi Lawe Alas di Aceh, merupakan salah satu kegiatan unggulan, yang sekaligus sebagai persiapan untuk kegiatan ekspedisi Rafting di New Zealand menjelang akhir tahun 2014 ini. Rencananya, ekspedisi ini akan menjadi kado ulang tahun Unesa yang ke-50.  


Sarat dengan karakter

Sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Unesa, Himapala merupakan ajang untuk mengembangkan karakter mahasiswa. Melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, anggota Himapala tidak hanya dituntut kuat secara fisik, namun yang lebih penting adalah kuat mentalnya. Selain itu, kemampuan untuk memecahkan masalah secara mandiri sekaligus bekerja sama, kemampuan untuk bisa memimpin diri sendiri sekaligus memimpin orang lain, sikap peduli dan setia kawan, serta keberanian untuk berkompetisi sekaligus berkolaborasi, merupakan nilai-nilai karakter yang senantiasa terus dikembangkan. 

Nilai-nilai karakter tersebut sebenarnya telah tertuang dalam lambang Himapala. Nilai-nilai karakter yang diharapkan akan mewarnai setiap anggotanya. 
Makna dari lambang tesebut adalah: (1) Unsur kepencintaalaman digambarkan dengan mata angin berwarna merah putih yang berkesan tajam dan kaku, menunjukkan arah dan tujuan Himapala yang dijiwai oleh keberanian dan kebenaran; 2) Unsur Unesa digambarkan dengan sayap berkembang yang merupakan unsur dominan dari lambang Unesa, berwarna kuning emas dan berkesan luwes karena lekukan-lekukan sayapnya, berjumlah sembilan dari tiap sisinya yang terdiri empat sayap besar dan lima sayap kecil, yang mengandung makna berkembang dengan semangat proklamasi tahun 1945 dan berdasarkan keluhuran budi, yang merupakan arti dari warna kuning; 3) Perpaduan antara kedua unsur tersebut saling berkait dengan erat sehingga kesan tajam dan kaku dari mata terpadu dengan sayap terkembang yang berkesan lembut dan luwes, menjadi paduan yang harmonis. Dari perpaduan tersebut bisa diartikan: dengan dilandasi keluhuran budi, semangat proklamasi dan dijiwai oleh keberanian dan kebenaran, kita kembangkan Himapala mencapai tujuan.

Selanjutnya permaknaan dari mata angin sebagai tujuan Himapala adalah sebagai berikut: Secara harfiah, mata angin adalah petunjuk arah dan telah diketahui bersama bahwa arah ke atas menunjukkan arah utara, arah ke bawah menunjukkan arah selatan, sedangkan arah ke kanan untuk arah timur, ke kiri untuk arah barat. Namun dalam lambang ini maknanya adalah sebagai berikut: 1) Arah ke atas mengandung makna: meningkatkan kualitas anggota dalam rangka mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan menjunjung tinggi almamater; 2) Arah ke samping kiri dan kanan mengandung makna: mengembangkan pribadi, potensi, kreativitas, keilmuan dan budaya mahasiswa agar berperan aktif dan positif demi darma baktinya pada masyarakat dan negara; mengembangkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan serta rasa kekeluargaan terhadap sesama pencinta alam khususnya, dan masyarakat pada umumnya; 3) Arah ke bawah mengandunga makna: melestarikan alam semesta dan memupuk cinta tanah air.

Berdasarkan gambaran tentang aktivitas Himapala serta makna lambang Himapala, jelaslah bahwa Himapala Unesa memberi perhatian yang penting pada pengembangan karakter, sejak awal berdirinya. Hal tersebut juga tergambar pada Kode Etik Himapala, meliputi: 1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa; 2) Menjunjung tinggi nama almamater; 3) Mempunyai rasa solidaritas terhadap sesama pecinta alam; 4) menghormati adat-istiadat setempat; dan 5) Mencintai alam semesta.


Dihimpun dari berbagai bacaan:

Anonim. 2012. Sejarah Singkat Pecinta Alam Indonesia.http://www.belantaraindonesia.org/2012/01/sejarah-singkat-pecinta-alam-indonesia.html

Anonim. 2012. Sejarah Gladian Nasional pecinta Alam Indonesia.http://uplmpa.unsoed.ac.id/profile/kode-etik-pencinta-alam/sejarah-gladian-nasional-pecinta-alam-indonesia

Anonim. 2010. Baksos Himapala Unesa BSMI Surabaya hingga ke Jombang.http://bsmisurabaya.or.id/baksos-himapala-unesa-bsmi-surabaya-hingga-ke-jombang

himapala.unesa@rocketmail.com

Tim Penyusun. 2011. Materi LKKH 2011. Tidak diterbitkan.

Tim Penyusun. 2011. Laporan Pertanggungjawaban Badan Pengurus Harian Periode 2011 Himapala Unesa. Tidak diterbitkan. 

Catatan:
Tulisan ini sedianya akan dimuat dalam sebuah buku antologi "pengembangan karakter melalui unit kegiatan kemahasiswaan". Buku yang seharusnya terbit pada 2012 oleh Unesa. Tetapi oleh karena minimnya artikel, maka buku tersebut nampaknya tidak jadi diterbitkan.  

Selasa, 18 Februari 2014

Pada Musim Edelweis

Hampir tak percaya, ya Anggoro menatap pemandangan di depannya. Berkali-kali mengusap matanya, barangkali apa yang dilihatnya itu hanya sebuah mimpi. Tapi tidak. Gadis itu memang Farida. Menggunakan rok dan blus dengan motif nonfigurative berwarna ungu, tas kulit hitam, ya semua itu memang milik Ida. Tapi… oh Tuhan, kakinya! Anggoro tercengang memperhatikan sepasang sepatu hitam yang melekat di kaki Ida, dan bergerak dengan bantuan sebuah kruk!
“Ida…!”
Gadis itu ternyata telah tersenyum Anggoro menyapanya. Amat arif. Seolah tak ada yang berubah pada dirinya. Seolah tak ada berpasang-pasang mata yang memperhatikannya dengan ekspresi macam-macam.
“Apa yang telah terjadi padamu selama liburan, Da?”
“Mestinya kau tidak menyambutku dengan pertanyaan seperti itu!” Ida pura-pura merajuk. Anggoro segera menyadari kesalahannya.
“Sori!” ralatnya sembari membarengi langkah Ida. “Oya, perlu kubawakan buku-bukumu?”
“Terima kasih, aku masih cukup kuat, kok.”
“Tapi, kau seperti kesulitan.” Anggoro keras kepala.
“He, apakah aku nampak demikian lemah hanya karena keadaannku seperti ini?” kata Ida datar. Kelihatannya dia tersinggung.
“Oh, tidak. Maksudku…”
“Aku tahu sebenarnya kau ingin bilang ya.”
“Dan, aku Cuma khawatir melihat keadaannmu…” Sabar sekali suara Anggoro. “Maafkan kalau caraku salah.”
“Kuharap tidak kau perlakukan aku  seperti seorang gadis lemah yang tak bisa berbuat apapun untuk dirinya sendiri,” ujar Ida tegas, tak mempedulikan keresahan di hati Anggoro. “Sebab…”
“Kenapa, Da?”
Ida menunduk menyembunyikan matanya. “Selamanya aku akan terus begini, ke mana pun tak bisa lepas dari kruk ini!”
“Da…!” Anggoro semakin terkejut. Andaikan ada petir yang menggelegar dengan tiba-tiba sekalipun, mungkin dia tak akan sekaget saat ini. “Apa tak bisa sembuh seperti semula…? Tanyanya lemah.
“Menurut dokter sih begitu.” Suara Ida terdengar tenang sekali. “Di rumah, Ayah bahkan telah menyediakan sebuah kursi roda untukku.”
“Oh!”
“Dan kau tahu apa artinya itu, Ang? Sejak saat ini, aku tak akan bisa lagi mendaki bersama kalian, merasakan dinginnya hawa gunung, mengagumi hamparan Padang Edelweis.” Kali ini suara Ida setengah mengeluh.
Anggoro menelan ludah tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Dia merasakan ada kepedihan yang amat sangat menyergapnya dengan begitu tiba-tiba. Ya, Allah, petakan apakah ini? Desisnya dalam hati.
Keduanya terus melangkah menuju ruang kelas yang ada di ujung koridor, diikuti tatapan puluhan pasang mata. Namun Ida mencoba tak mempedulikannya, meski ia jadi sedikit serba salah. Ini baru sebuah permulaan, pikirnya tegar. Besk dan besok lagi, barangkali tak akan ada hari-hari yang luput dari keperihan.
Ya, Allah, bantu aku untuk tetap tegak menerima kenyataan pahit ini, doa hati Ida. Juga untuk menghadapi mereka, lanjutnya ketika hampir tiba di kelasnya dan beberapa temannya tengah berdiri di depan pintu, masing-masing siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan ketika melihat keadaan Ida.
“He, apakah hari ini aku akan Nampak begitu cantik sehingga kalian menatapku seperti itu?” seloroh Ida saat tak ada satupun temannya yang menyapanya. Semuanya seperti disekat keterkejutan yang sangat.
“Ida…” Asih mendekat dan merangkul bahi Ida lembut. Dialah orang pertama yang segera menyadari keadaan. “Kau datang terlambat sekali. Untung saja kuliah belum dimulai.”
“Harap maklum, Asih. Kau lihat bagaimana keadaannku sekarang, kan?”
Asih memandang sahabatnya trenyuh. Kendati suara Ida terdengar begitu pasrah dan tegar, namun mata lembut itu nampak kesakitan.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Hati-hati Asih bertanya.
“Aku kejepit pintu.”
“Da, aku serius!”
“Iya, kenapa sih, Da?” Indrawati ikut nimbrung. Disusul oleh Bambang, Wari, Helmi, Aini, Herlambang, Pram, Jaka, Cris juga… Anggoro. Mereka semua mengelilingi Ida menuntut penjelasan.
“Cuma kecelakaan kecil.” Akhirnya Ida memutuskan untuk menjawab sekadarnya. Tak tega rasanya membiarkan orang-orang baik itu menebak-nebak sendiri. “Motorku ditabrak sedan di Perapatan Gembong Tebasan.”
“Kapan?”
“Awal liburan yang lalu. Sore hari ketika aku mau melihat pengumuman nilai di kampus.”
Bambang tiba-tiba tampil. “Kau bilang tadi motormu ditabrak sedan ya? Atau sedan yang ditabrak motormu?”
“Tak ada berita ulang,” balas Ida sambil tertawa. Dibiarkannya Asih membawakan tas kuliahnya, sementara Bambang membimbingnya masuk.
Mereka adalah orang-orang baik, piker Ida setelah duduk di bangkunya. Agak risi juga dikerumuni oleh teman-temannya seperti tadi. Ada yang menolong membawakan tasnya, membantunya duduk… padahal andaikata mereka mengerti perasaannya, tentu akan menganggap sikap-sikap seperti itu sebenarnya tidak perlu.
Barangkali bagi Asih, Bambang, Anggoro, juga yang lain, perlakukan wajar. Tapi tidak untuk Ida. Ada sesuatu yang terasa menggerogoti hatinya ketika puluhan pasang mata menatapnya dengan rasa iba… seolah dia begitu lemah tanpa daya. Namun toh dia tak bisa menolak kecuali menurut. Ida sadar keadaannya jugalah yang membuat mereka bersikap begitu. Bagaimana pun, seorang gadis dengan sebelah kaki lumpuh tak akan bisa berbuat lebih banyak daripada ketika dia berkaki sempurna.
“Mungkin hari ini belum ada kuliah, Da.” Tiba-tiba Anggoro telah berdiri di sisinya. Keresahan yang sejak tadi menggantung di mata cowok itu kini telah hilang. “Daftar presensi saja belum ada.”
“Apa kau sudah ke BAAK untuk menanyakannya?”
“Belum.”
Ida tertawa lepas. Disentuhnya lengan Anggoro. “He, dari mana kita bisa dapat daftar presensi kalau tak ada yang mau mengambilnya ke BAAK? Pergilah ke sana, Ang. Biasanya ada permulaan kuliah seperti ini, setidak-tidaknya setiap jurusan sudah ada Daftar Presensinya.”
“Itu kan tugas PK.”
“Tapi aku…” Suara Ida tersekat dan dia menunduk memperhatikan kakinya. Ada luka yang menguak dari sepasang matanya yang hitam. Melihat hal itu, Anggoro seperti diingatkan oleh sesuatu.
“Oh, maafkan aku, Ida,” bisik Anggoro. Suaranya menjadi gugup. “Aku lupa kalau yang menjadi PK selama ini adalah kau. Oke, biarlah mulai hari ini aku yang bertugas mengambilnya di BAAK!” Dan secepat kilat Anggoro berlalu.
Ida tak sempat mengucapkan terima kasih, karena Anggoro cepat sekali hilang di balik pintu. Sementara teman-temannya yang lain sudha memulai kebiasaan lama, mengobrol ke sana ke mari. Satu di antara mereka harus ada yang bersedia menggantikan aku sebagai PK, pikir Ida. Dengan kaki seperti ini, tak banyak lagi yang bisa kulakukan, lanjut hatinya sedih.
Ida tengah mengira-ngira siapa orang yang mampu dan disetujui sebagai penggantinya, ketika tiba-tiba ada seraut wajah yang muncul di benaknya. Ternyata itu bukan Cuma bayangan saja. Kerumunan Bambang dan teman-temannya sempat tersibak saat seseorang akan masuk, dan sebentar saja dia telah tegak di ambang pintu sambil memandang Ida. Tatapannya kuat namun lembut. Ida tersenyum begitu melihatnya.
“Selamat bertemu kembali, Anak Muda!” selorohnya seraya member isyarat kepada cowok itu untuk mendekat. “Apa kabarmu setelah dua bulan penuh berada di kampong halaman?”
Raditya, cowok itu, baru saja akan menjawab ketika tiba-tiba saja matanya terbentur pada sesuatu yang menyandar di kursi Ida. Kruk.
“Sejak hari ini barangkali aku tak bisa lepas darinya bila pergi kuliah,” ujat Ida seolah memahami jalan pikiran Raditya. “Kaki kiriku lumpuh.” Lalu dia menceritakan apa yang menyebabkan ia menggunakan kruk dengan tenang.
“Apa yak ada harapan untuk sembuh seperti semula?” Tanya Raditya dengan kecemasan tak dibuat-buat.
Ida menggeleng lemah. “Entahlah. Menurut dokter begitu. Kalau pun bisa, itu membutuhkan waktu yang amat lama. Atau sebaliknya, bukan mustahil suatu saat kaki kiriku akan diamputasi.”
“Hei?”
“Kalau memang itu yang terbaik, apa boleh buat?”
Raditya nampak semakin tertegun. Ada semacam perubahan di matanya yang kelam. Rasa ibakah? Atau… ah, Ida berusaha mengusir pikiran-pikiran buruknya. Dia ingat, masih punya suatu janji pada Rdaitya untuk memberikan jawaban atas pernyataan cinta cowok itu, seminggu menjelang liburan yang lalu.
Dan kini, Ida sudah memiliki jawaban satu pasti; menerimanya. Tapi, masih jugakah Raditya mengharapkan jawaban itu dengan keadaannku yang tidak lagi seperti dulu? Terjadilah apa pun yang akan terjadi, ya, Allah, Gumam hati Ida sendu.
Tiba-tiba Anggoro muncul di ambang pintu sambil membawa Daftar Presensi. Wajahnya sempat berubah saat melihat Raditya berada di sisi Ida, tapi segera hilang saat dia tersenyum.
“Apa kabar, Dit?” sapanya setelah mendekat.
“Baik.”
“Lulus kan Kewiraanmu?”
“Alhamdulilla, dosennya baik hati. Dia tahu kalau aku sudah pernah tidak lulus mata kuliah Kewiraan,” gurau Raditya. Dia memang tidak sekelas dengan Anggoro maupun Ida. Mereka saling mengenal karena RAditya yang setingkay di atas Anggoro  dan Ida itu mengikuti kuliah Kewiraan di kelas mereka, sebab tahun lalu dia tidak lulus.
Cuma sebentar mereka mengobrol, karena Raditya harus segera kembali ke kelasnya. Dia bilang ada kuliah. Dan Ida hanya mengangguk maklum ketika cowok itu pamit. Lalu diraihnya Daftar Presensi dari tanggan Anggoro dan mulai mengabsen teman-temannya dengan pikiran mengambang. Barangkali aku kini terlalu bermimpi jika masih mengharapkannya, batin Ida sedih. Raditya cerdas, tampan, dinamis… sedangkan aku? Kepalanya menunduk memperhatikan kaki kirinya yang kini agak bengkak. Ah, andai tidak terjadi kecelakaan itu… Seketika Ida sadar. Tuhan, maafkan aku. Tidak sepantasnya aku mengeluh seperti ini. Dihiburnya dirinya sendiri. Untunglah aku masih bisa mengenakan sepatu, dan tidak Cuma sebelah.

***
Bertiga dengan Anggoro dan Asih, Ida bermaksud ke Sekretariat Himapala, setelah beberapa waktu tak menjenguknya.
“Anak-anak merencanakan akan mendaki Semeru dalam waktu dekat ini, pada musim edelweis,” kata Anggoro.
“Semua ikut?” tanya Ida.
“Tidak semua,” Asih yang menjawab.
“Barangkali tidak lebih dari lima belas orang,” Anggoro menyambung. “Di antaranya Amri, Priambodo, Tedi, Nurhayati, Raditya…”
Raditya! Diam-diam Ida mengulang nama itu dalam hatinya. Belakangan ini cowok itu semakin jarang muncul ke kelasnya untuk menemuinya seperti dulu. Bahkan sejak seminggu yang lalu, dia seolah menghilang dari peredaran. Dan itu menumbuhkan semacam kerinduan yang sangat di hati Ida. Entahlah. Meski dia telah berusaha menghalaunya, namun perasaan itu kian mengukungnya.
RAditya memang telah berubah. Di setiap kemunculannya, dia tak lagi suka menyinggung-nyinggung masalah cintanya yang belum terjawab, padahal Ida sudah menyediakan untuknya satu jawaban sejak dulu-dulu. Dari hari ke hari Ida semakin sadar bahwa dia amat membutuhkan Raditya. Sementara perubahan sikap Raditya juga membuatnya mengerti bahwa tidak seharusnya dia terus memupuk harapan.
“Kau sendiri tidak ikut?” tanya Ida pada Asih.
“Barangkali aku tidak ikut.”
“Dan kau, Ang?”
“Insya Allah, aku ikut.”
Kalau saja keadaanku tidak begini aku pasti ikut. Sayang kalau musim edelweiss dilewatkan begitu saja.”
“Nanti aku bisa membawakan banyak-banyak untukmu!” janji Anggoro.
“He, jangan! Kau bisa dipenjara nanti. Kembang itu kan dilindungi.”
“Demi kau taka apa, sekalipun aku harus mati,” seloroh Anggoro sambil tertawa.
Mereka kini telah sampai di secretariat, tempat yang tak pernah sepi, tak peduli siang maupun malam hari.
“He, aku ikut ke Semeru, ya?” gurau Ida pada teman-temannya sesame pecinta alam. Dia ikut bergabung dalam perbincangan mereka bersama Anggoro dan Asih.
“Untuk apa, Da? Tahun lalu kan sudah?” kata Firman mencoba memahami perasaan Ida.
“Seandainya belum pun, aku tidak mungkin bisa ikut!” Ida tertawa. “Keadaannku yang seperti ini hanya akan menyusahkan kalian!”
Anggoro memperhatikan gadis itu dengan rasa iba. Ida berbicara dengan suara yang seolah menyimpan kedukaan yang amat dalam. Itu bisa dimaklumi. Barangkali, ibarat seekor burung yang kehilangan sebelah sayapnya, itulah Farida.
Tiba-tiba Anggoro tertegun saat melihat wajah Ida berubah tegang. Bibirnya yang sedikit terbuka Nampak pias sekali. Sementara sepasang matanya tak berkedip menatap ke satu arah. Tanpa perlu bertanya Anggoro tahu apa sebabnya.
“Ida… kau tak apa-apa, kan?” bisik Anggoro sambil menggenggam telapak tangan Ida yang dingin.
Ida menatapnya dengan tiba-tiba, seperti terkejut. Matanya yang teduh mengerjap. Dia meraih tongkat penyangganya, lalu bangkit dibantu Anggoro dan Asih. Kemudian mereka pergi dari situ setelah pamit pada teman-temannya.
“Aku seperti baru terbangun dari mimpi yang amat buruk,” kata Ida dengan suara menyerupai bisikan, halus dan letih. Nadanya pun seperti orang kesakitan. Melintas di benaknya saat RAditya merangkul Mustika dan pergi berboncengan motor, baru beberapa menit yang lalu. Begitu demontratif. Sungguh, rasanya lebih baik buta saat itu. Biar dia tak melihat betapa tenangnya Raditya berlalu di depannya, seolah tak pernah mengenalnya. Tuhan, apakah kini aku memang tak berarti lagi bagi dirinya?
“Barangkali ini lebih baik,” katanya lagi dengan kemurungan yang demikian pekat di matanya. “Raditya telah melakukan sesuatu yang paling tepat. Sehingga aku jadi semakin mengerti siapa dirinya. Dan aku jadi kian yakin bahwa penantian ini tidak lagi untuknya…”
Asih memapah tubuh Ida yang setengah lunglai. Di sisi lain, Anggoro menggenggam jemarinya erat. Sebersit perasaan yang dulu sering mengganggunya mendadak muncul kembali. Bukan sekadar rasa kasihan. Tapi lebih dari itu. Semacam perasaan ingin melindungi, ingin memiliki. Bukakan pintu hati gadis ini untukku, ya, Tuhan, doa hatinya penuh harap.

***

“Kalian jadi berangkay besok?” Tanya Ida di kafetaria, saat istirahat kedua.
“Ya.” Sahut Anggoro seraya mengaduk es buah di depannya. “Kau belum menyentuh minumanmu sejak tadi, Da. Minumlah…”
Ida menurut. Pelan sekali dia meneguk minumnya.
“Hati-hati di Gunung nanti,” katanya sejurus kemudian. “Hujan-hujan begini banyak tanah pijakan yang berbahaya.”
Anggoro tertawa halus.
“Terima kasih atas wejanganmu, Anak Manis. Asal kau tahu saja, ini bukan pendakian pertama atau kedua, atau ketiga bagiku.”
Ida Cuma tersenyum samar. Getir sekali. Kalau saja kaki itu tidak begini, ingin rasanya dia ikut mendaki. Semereu kelewat bagus untuk dilewatkan begitu saja. Lebih-lebih pada musim edelweiss seperti ini. Di mana-mana mata memandang, yang Nampak adalah hamparan permadani beraneka warna yang indah dan menawan. Tuhan sungguh Maha Besar, sering Ida menggumamkan kalimat itu di tengah kekagumannya.
Diteguknya isi gelas sekali lagi. Dan dia menggerakkan kepalanya dengan benci. Kenangan-kenangan di gunung senantiasa membuat dirinya semakin terkulai. Dulu, teman-temannya menjuluki dia sebagai Macan Gunung Betina. RAditya sering menemaninya dalam pendakian, sementara yang lain masih tertinggal jauh di belakang. Bersama Raditya, dia seolah berjalan tanpa beban di atas tanah yang mendatar.
Kini semuanya telah selesai. Dan dia merasa nyaris hancur. Mustika telah menggantikan kedudukannya di sisi Raditya. Mungkin Raditya berpikir bahwa orang seperti dia hanya akan menyusahkan saja. Dan alasan itu amat wajar. Raditya tak bersalah. Begitu pun dengan Mustika. Setiap manusia berhak memperjuangkan kebahagiannya dengan cara apapun, tentu saja dalam batas-batas yang lazim. Tapi apakah dibenarkan juga jika dalam perjuangannya itu harus menyakiti orang lain?
Ida menggeleng muram. Matanya nampak lelah sekali. Nama RAditya kembali mengentak-hentak segenap hati dan perasannya. Begitu keras pada mulanya, lalu sayup… akhirnya tinggal dentingan yang tak jelas. Itupun… tak lama akan pudar juga. Dan hatinya akan kembali hampa.
“Ida, kau suka melamun belakangan ini,” tegur Anggoro menyadarkan Ida dari lamunannya.
Suara Anggoro terdengar halus di telinga Ida. Dia tersenyum lembut, namun ada duka yang samar pada senyumnya itu.
“Aku mengerti perasaanmu, Da. Cinta yang bertepuk sebelah tangan selamanya memang menyakitkan. Tapi, pernahkah engkau berpikir bahwa sebenarnya… begitulah aku selama ini?”
Ida menatap Anggoro tanpa makna, namun hatinya menangis saat menemukan ketulusan yang dalam di sepasang mata itu. Dia teringat, di sebuah bukunya, Anggoro pernah menuliskan sebaris kalmiat: Ida, kini semakin kusadari bahwa penantian ini bukan untuk siapa-siapa!
Itu setahun yang lalu. Bahkan mungkin lebih. Dan, kendari Ida pernah menolaknya, Anggoro tak pernah berubah sedikitpun. Cowok itu masih amat memperhatikan dan mengasihinya, lebih-lebih setelah dia menjelma sebagai gadis yang cacat.
“Aku berjanji akan membawakan setangkai edelweiss untukmu, sepulang dari gunung nanti,” kata Anggoro ketika mereka berjalan kembali ke kelas. Ingin sekali rasanya Anggoro menghapus kedukaan di wajah lembut yang amat dikasihinya itu. “Kau sabat menunggu sampai luas, kan? Aku ingat, hari itu bertepatan dengan ulang tahunmu. Barangkali setangkai edelweis lebih berarti bagimu daripada hadiah-hadiah berharga lainnya….”
Ida menelan ludah dengan keharuan yang amat sangat. Matanya jadi kabur karena sedikit basah. Dia sendiri tidak ingat kalau dua hari lagi adalah hari jadinya. Kenapa Anggoro mesti mengingatnya?
“Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku, Ida?”
“Oh… eh, apa?”
Anggoro menghela napas panjang. Halus sekali ketika dia berkata. “Mau kan kau sabar menungguku sampai besok luas?”
Ida mengangguk. “Ya, aku akan sabar menunggumu… sampai kapan pun. Sekalipun tanpa edelweiss!”
“Ida?” Anggoro terpana. “Kau… kenapa begitu, Da?”
“Suatu saat kau akan tahu kenapa,” jawab Ida dengan mata berpendar-pendar. Sebagian duka telah pergi dari sana. “Baru kusadari berapa bodohnya aku selama ini, mengharapkan seseorang hanya karena bentuk luarnya saja tanpa memperhitungkan pribadinya. Dan Raditya…” gumam Ida dengan suara kering. “Kepergiannya memang menyakitkan, sekaligus membukakan mataku tentang dirinya yang sebenanya.” Ida menghela napas panjang sejenak. “Sayang sekali, di balik tubuhnya yang nyaris sempurna itu tersembunyi pribadi yang mengecewakan.”
“Bicaralah yang jelas, Ida…”
“Ang…” Lembut sekali suara Ida. “Cobaan yang beruntun menimpaku selama ini membuatku semakin matang, sehingga aku bisa menerima semua kenyataan ini dengan ikhlas. Aku sadar, Allah jugalah yang menentukan nasibku; mesti berjalan begini.” Ida kembali berhenti menarik napas panjang. Lalu: “Dan kini, satu keputusan tentang kepada siapa aku mesti melabuhkan hatiku telah kuambil, kau!”
“Ida!”
“Ini bukan pelarian, percayalah…”
“Tapi…” Anggoro menatap lekat mata Ida, dan dia menemukan kepura-puraan di sana.
“Kuharap kau tidak meninggalkan aku, Ang, kendati kau bisa melakukannya. Seperti halnya Raditya yang begitu mudah meninggalkan aku, sebelum aku sempat memberikan jawaban atas pernyataan cintanya. Kau mau berjaji, bukan?”
Anggoro mengangguk tanpa sadar. Semua bagai mimpi! Akhirnya kebahagiaan itu datang juga padanya.
(Buatmu di Balikpapan: ‘Met Idul Fitri)

--cerpen ini pernah dimuat di Anita Cemerlang Volume 198, Tgl. 2 s/d 11 Juni 1986--


Sabtu, 15 Februari 2014

Direkso Gusti Allah

Pagi kemarin, sekitar pukul 05.10, saya membuka pintu dapur, bermaksud membuang sampah keluar rumah. Aktivitas menyiapkan makan pagi untuk keluarga yang saya mulai sejak usai solat subuh telah selesai, dan saatnya untuk bersih-bersih. Tapi saya kaget ketika melihat ada gerimis, namun halaman rumah tidak basah. Saya mempertajam pandangan saya pada gerimis itu dan tiba-tiba saya rasakan mata saya pedih sekali. Masih belum menyadari dengan apa yang terjadi, saya terkaget karena melihat mobil kecil yang terparkir di halaman rumah penuh dengan debu. Oh Tuhan, saya baru ngeh. Inilah hujan abu. Semalam sebelum tidur, saya sempat membaca status FB seorang teman yang menulis "malam ini, akhirnya Kelud meletus". Tidak menyangka, imbasnya sampai di sini. Gerimis abu akibat letusan Gunung Kelud itu ternyata sampai di sini.

Saya lantas membangunkan mas Ayik. 
"Mas, ada hujan abu." 
Mas Ayik membuka mata, malas. Dia memang sedang sakit. Semalam saya membawanya ke dokter karena sore sepulang kantor dia batuk dan badannya panas. Ternyata selain flu, tensi mas Ayik juga tinggi, 200/100.  Semalaman, meski sudah minum obat dari dokter, badannya menggigil dan suhu tubuh tidak juga turun. 

"Kelud meletus tadi malam, mas."
"Hh...?"
Mas Ayik bangkit, turun dari tempat tidur, berjalan sempoyongan, keluar rumah.

Tiba-tiba SMS masuk ke ponsel saya. Dari mas Nardi, petugas tiket kami. "Info penerbangan garuda dan airasia di terminal 2 dan hr ini smua penerbangan mundur smua". 

"Apa penerbangan aman mas, hujan abu begini?" Saya balas SMS mas Nardi. Saya pikir, mundurnya waktu penerbangan pesawat karena pindah ke terminal 2 itu. 
"Bu Luthfi, justeru karena hujan abu, maka penerbangan mundur semua."
"Oke, mas. Aku tunggu kabarnya"

Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu bersemangat untuk berangkat ke Jakarta pagi itu. Kondisi mas Ayik membuat saya tidak tega untuk meninggalkannya. Meski pun mas Ayik meyakinkan saya dia akan baik-baik saja dan menyarankan saya berangkat ke Jakarta sesuai schedule. Seperti pucuk dicinta ulam tiba, tiba-tiba ada hujan abu dan penerbangan ditunda, sehingga saya punya waktu lebih lama untuk menemani mas Ayik.

Saya berangkat ke kampus, mengajar. Rencana semula saya akan mengajar sampai pukul 09.00, lanjut langsung ke Bandara Juanda, terbang ke Jakarta. Tapi karena penerbangan ditunda, saya memutuskan untuk pulang dulu usai mengajar, sambil menunggu perkembangan.

Mas Ayik, meski badannya panas, pergi ke kantor juga. Dia bilang, dia akan mengisi daftar hadir saja, terus minta izin pulang karena sakit. Saya wanti-wanti dia, "bener lho, mas, habis absen terus pulang. Aku juga cuma jam sembilan kok."

Sepulang mengajar, mas Nardi telepon. "Ibu belum tentu bisa terbang hari ini, sampai jam segini, tidak ada satu pun pesawat yang datang dan pesawat yang berangkat."

"Oke mas, saya tunggu kabar saja".

Tak berapa lama, ibu Tuban menelepon. "Kowe ning ngendi?"
"Wonten nggriyo, bu."
"Mas Ayik piye?"
"Taksih benter, bu, tapi tindhak kantor, ngisi daftar hadir, lajeng izin."
"Kowe sidho ning Jakarta?"
Belum sempat menjawab, ibu sudah menyambung. "Kowe ojo ning ngendi-ngendi. Ojo budhal ning Jakarta. Ning omah wae. Mas Ayik gerah. Luwih wajib olehmu ngopeni mas Ayik tinimbang budhal Jakarta. Opo maneh iki udan awu. Penerbangan gak aman".

"Inggih, bu."

Tak berapa lama, mas Ayik pulang dari kantor. Wajahnya pucat, badannya panas.

"Aku nggak berangkat ke Jakarta, mas."
"Berangkat aja, nggak papa."
"Nggak."
"Wong wis tuku tiket ngono kok."
"Tiket-e lho berlaku sampai enam bulan ke depan". 
"Gak popo tah?"
"Gak. Wong mas Ayik gerah ngono. Apa lagi penerbangan gak jelas."
"Yo ngko lek penerbangan sudah ada, kamu berangkat aja."
"Nggak. Sakno mas Ayik".
"Gak popo."
"Emoh. Gak pareng ibu."
Mas Ayik diam. Kalau sudah keluar 'sabdo pandito ratu', dia juga nggak berkutik. Tidak berani melanggar.

Tapi bener, saya seperti punya alasan untuk tidak berangkat ke Jakarta. Alasan yang sangat kuat: tidak ada penerbangan karena abu vulkanik Gunung Kelud. Dengan alasan itulah saya mengirim SMS ke panitia, meminta izin untuk tidak bisa bergabung pada acara penyusunan kurikulum PPG di Hotel Millenium Jakarta. Bukan karena suami sakit atau karena dilarang ibu. Alasan karena tidak ada penerbangan adalah alasan yang sangat masuk akal. Toh semua tahu benar memang tidak ada penerbangan dari dan ke Surabaya dalam waktu yang belum bisa ditentukan.

Jujur sejujur-jujurnya, saya seperti mendapat hikmah dari meletusnya Gunung Kelud. Saya sudah lama tidak libur akhir pekan, karena terus menerus ada kegiatan di luar kota. Kondisi sakitnya mas Ayik sebenarnya sudah membuat saya tidak berniat berangkat ke Jakarta, apa lagi ditambah dengan titah ibu.

Ibu telepon lagi.
"Piye? Ora budhal Jakarta to?"
"Mboten, bu."
"Juanda ditutup, gak onok penerbangan. Dadi kowe ora iso budhal. Opo maneh mas Ayik gerah. Dadi kabeh ki wis direkso karo Gusti Allah. Kowe ora sidho budhal Jakarta ki ben kowe iso ngopeni mas Ayik..."

"Inggih, bu..."

"Aku wingi kudune budhal ning Yogya. Ora sidho mergo sirahku ngelu. Perikso dokter tiba'a tensiku dhuwur. Iki mau arep budhal, kok ragu-ragu mergo udan awu. Untunge gak sidho budhal. Lek budhal mendahheyo repote....udan awu peteng dhedet koyo ngono. Subhanallah. Wis direkso karo Gusti Allah, ibu diparingi loro ben ora sidho budhal Yogya...."

"Inggih, bu, alhamdulilah." Jawab saya. Ibu memang berencana ke Yogya, ke rumah saudara, sekaligus berobat, sehari sebelumnya. Tidak jadi berangkat karena tiba-tiba kepala ibu terasa sakit, yang ternyata disebabkan tekanan darahnya tinggi.

Siang ini, saya baru saja selesai mengajar di S3 Teknologi Pembelajaran. Mulai pukul 09.00-13.30. 'Ngrapel' dua kali pertemuan yang tidak bisa saya isi dua kali hari Sabtu pada minggu-minggu yang lalu. Pagi tadi, Prof. Muchlas, partner mengajar, sudah SMS. "Saya masih tertahan di Jakarta karena tidak ada penerbangan. Mohon kuliah ditangani."

Semua sudah direkso sama Gusti Allah. Prof. Muchlas tertahan di Jakarta, saya tidak bisa ke Jakarta. Dengan demikian saya bisa ngajar, sekaligus nyahur utang ngajar. Bisa menemani mas Ayik yang lagi sakit. Bisa menyiapkan sarapan pagi, bersih-bersih rumah, bersih-bersih tanaman, dan lain-lain...  

Maturnuwun, ya Allah Gusti, ingkang Moho Ngrekso....

Surabaya, 15 Februari 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 09 Februari 2014

Trayek Baru

Pukul 10.30. Saya kembali menginjakkan kaki di Bandara Ahmad Yani, Semarang. Berangkat dari Surabaya sekitar empat puluh menit yang lalu, menumpang Garuda tipe Bombardir. Pesawat langsing itu tadi mendarat dengan mulus di landasan pacu yang basah. Mendung gelap menyambut saya.

Dengan menumpang taksi, saya menuju Ngaliyan, ke jalan Taman Karonsih. Ke rumah mbak Ning, sahabat saya, dosen Unnes. Tadi sewaktu masih di Bandara Juanda, sebelum masuk pesawat, kami sudah bertelepon. Saya bilang kalau akan singgah di rumah mbak Ning, karena acara rapat di Hotel Patra Jasa masih akan dimulai nanti sore. Ada cukup banyak waktu untuk melakukan hal lain, dari pada bengong di hotel. Inilah kalau jadwal penerbangan terbatas. Meski rapatnya sore, siang sudah sampai di tempat tujuan. Tidak ada penerbangan sore hari dari Surabaya ke Semarang.

Sampai di rumah mbak Ning. Tidak banyak yang berubah. Masih sama keadaanya saat saya datang sekitar setahun yang lalu. Mbak Ning sedang berdua saja dengan anak ragilnya. Somiya, anak perempuan mbak Ning itu, baru kelas 5 SD. Hitam manis dan mahal senyum. Entah kenapa siang ini suasana hatinya seperti sedang buruk. Bicaranya judes dan uring-uriangan. Ibunya hanya senyum-senyum saja menghadapi ulahnya.

"Ya begitu itu...." Kata mbak Ning kepada saya. "Bawaannya uring-uringan melulu."

Mbak Ning bilang, sejak mas Joko, suaminya, meninggal tiga tahun yang lalu, sifat Somiya yang aslinya ceria berubah jadi suka uring-uringan. Kadang-kadang tak jelas apa sebabnya. Seperti tidak siap kehilangan bapaknya.

Listrik sedang padam siang ini. Mbak Ning belum masak nasi. 
"Listrik mati, dik....belum masak, piye iki?"
"Makan di luar aja, mbak..." 
"Ngono yo..."
"Iyo. Ke KFC aja."
"Wah, lha sing seneng yo anakku..." Mbak Ning melirik Somiya. "Iyo to, Som?"
Anak perempuan itu spontan tersenyum. Matanya berbinar-binar. 
"Ayo, ganti baju sana..." Kata ibunya.

Saat mbak Ning dan Somiya sedang bersiap-siap, Gala, anak kedua mbak Ning, pulang dari sekolah. Anak laki-laki kelas 2 SMP itu langsung menyalami saya, dengan senyum terpaksa. Memang seperti itulah anak-anak mbak Ning. Semuanya mahal senyum. Tapi kalau sudah bergaul beberapa saat, mereka akan cair. 

"Ayo, ikutan sekalian ke KFC, mas Gala." Ajak saya.

Kami bertiga pun turun. Garasi ada di bawah. Rumah mbak Ning ini memang seperti di atas bukit. Juga rumah-rumah yang lain di Jalan Taman Karonsih ini. Kalau kita berdiri di teras dan melihat jauh ke depan, rumah-rumah dan jalan-jalan ada di bawah kita. Sebelum ada rumah-rumah itu, di depan itu dulunya adalah hamparan lembah dan pepohonan. 

Karena Indra, anak pertama mbak Ning belum datang, saya terpaksa harus pegang setir. 
"Tante Luthfi yang nyetir ya..." Kata mbak Ning. Dia belum bisa bawa mobil. "Wah, maaf ya, dik...tamu adoh-adoh, malah dikongkon dadi supir ki piye..."
"Wis ra popo, mbak. Sing penting jelas itungane." 
"Lha yo kuwi, kuat ra yo bayare? Supir profesor ki....larang...."
"Profesore ora larang mbak, tiket pesawate sing larang..."

Kami berempat melaju. Keluar dari kompleks perumahan yang mirip perbukitan itu. Mobil mbak Ning masih baru, Ertega 2013. Warnanya merah burgundy. Saya langsung lanyah pada pijakan pertama. Tidak perlu waktu untuk beradaptasi.    

Saya sendiri sudah terbiasa nyetir. Trayeknya lumayan. Antar kota antar provinsi. Pernah kami sekeluarga berlibur ke Bali, pulangnya mas Ayik kelelahan. Saya menggantikan dia nyetir mulai Banyuwangi sampai Surabaya, nonstop. Pernah juga dari Madiun sampai Surabaya, dari Sragen sampai Ponorogo. Trayek Surabaya-Tuban PP malah sudah langganan. Waktu menempuh S3 di Malang, saya juga biasa nyetir sendiri ke Malang. Senin pagi berangkat, kuliah dua hari di sana, nginap di rumah budhe di Sengkaling, Rabu balik ke Surabaya. 

Meski sekarang ke mana-mana lebih suka jadi juragan, duduk manis di mobil, tapi sesekali saya kangen nyetir sendiri. Kadang-kadang saya sengaja yang pegang setir kalau pergi ke Tanggulangin, menengok bapak ibu. Sesekali juga saya yang minta mas Ayik dan Arga jadi penumpang saja, sementara saya yang nyetir putar-putar Surabaya. 

Saat ini, saat saya pegang setir menyusuri kota Semarang, seperti memenuhi rasa kangen saja. Tentu saja ini trayek baru. Ya, hitung-hitung memperluas daerah kekuasaan...

Semarang padat. Berkali-kali mobil kami terjebak macet. Di KFC jalan Pandanaran pun, susah cari tempat parkir. Tapi karena supirnya lihai (ehm...), tempat parkir pun akhirnya berhasil kami dapatkan.

Kami menikmati makan siang tepat waktu, tepat pada saat perut lagi lapar-laparnya. Wajah Gala dan Somiya cerah, tidak lagi galau seperti tadi. 

"Tante Luthfi yang traktir."
"Lho, jangan, Te...." Cegah mbak Ning. "Aku wae....wis teko adoh-adoh disuruh nyupir, masih mau nraktir juga..."
"Lek gak mau ditraktir, mobile supirono dewe..."
Tawa kami pecah. 
"Si Endut aja biar nyurung mobile nanti..." Kata Gala menggoda adiknya. Somiya nggak peduli. Asyik menikmati makanannya. Tidak rugi mentraktir gadis kecil itu. Dia melahap makanannya dengan porsi yang jauh melebih porsi kami bertiga. Ibunya geleng-geleng kepala. Saya dan Gala tertawa ngakak melihat ketidak peduliannya.

Setelah memesan satu porsi untuk dibawa pulang, untuk oleh-oleh bagi Indra, kami masuk mobil lagi. Menyusuri jalan-jalan kota Semarang yang padat. Melintasi Lawang Sewu, Tugu Muda, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. 

Saya senang bisa menyempatkan singgah di rumah mbak Ning dan bertemu dengan anak-anaknya. Bisa sedikit berbagi kebahagiaan. Kepergian mas Joko, meski sudah tiga tahun yang lalu, sepertinya masih menyisakan kepedihan. Tapi, seperti kata mbak Ning...."Mosok aku arepe nangis terus dik....lak yo mesakne anak-anakku..".  

Saya pamit selepas ashar. Setelah menyelipkan beberapa lembar uang untuk Somiya dan kakak-kakaknya. Jumlahnya tidak seberapa. Namun saya tahu, kehadiran saya lebih besar artinya daripada rupiah itu....

Semarang, 8 Februari 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Februari 2014

Saya Hanya Seorang Ibu

Saya memulai pagi ini dengan perasaan yang gundah gulana. Tidur saya semalam adalah tidur yang gelisah. Beban pikiran usai rapat penentuan kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T tadi malam membuat benak saya dipenuhi dengan kepedihan.

Tapi saya memacu pagi dengan semangat yang masih tersisa. Menghimpunnya untuk menerobos dinginnya Jakarta yang diliputi mendung pekat. Di bawah guyuran gerimis rapat, saya menumpang taksi menuju Cengkareng, meninggalkan Hotel Atlet Century. Pagi ini saya akan menumpang Garuda pulang menuju Surabaya. Mendung gelap dan gerimis pekat seperti mewakili suasana hati saya.

Begitu mendarat di Bandara Juanda, belasan SMS masuk ke ponsel saya. Sudah saya duga sebelumnya. Tadi malam, pengumuman kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T sudah diunggah di website SM-3T Dikti, dan pagi ini adalah reaksi para peserta PPG atas informasi itu.

Sejak tadi malam juga, saya sudah menginformasikan ke beberapa orang kunci PPG Unesa, pimpinan dan para peserta, bahwa ada 22 peserta yang dinyatakan belum lulus. Saya meminta kepada Pembantu Direktur I, Dr. Sulaiman, untuk mengundang 22 peserta tersebut bertemu saya di ruang Direktur PPG.

"Ibu..." Ini salah satu SMS. Tidak ada kalimat selanjutnya. Entah dari mana, karena yang terbaca di layar ponsel hanya nomor telepon. Saya tidak mungkin menyimpan nomor telepon seluruh peserta PPG dan SM-3T. Memori ponsel saya tidak mungkin cukup. Tapi kata "Ibu..." itu, meski hanya satu kata, serasa pisau yang menghunjam ulu hati saya. Saya membacanya bukan sebagai sebuah sapaan, tapi lebih sebagai erangan kesakitan. 

Sepanjang perjalanan dari Bandara Juanda menuju kampus, perasaan saya semakin pedih. Kesedihan seperti meningkat di setiap detik yang saya lalui. Sambil terus menghimpun kekuatan, saya membalas puluhan email itu satu per satu. Saya juga mengirim sebuah SMS yang khusus saya tujukan kepada semua peserta yang belum lulus.

"Teman-teman yang baik,
kalian yang BELUM LULUS, pasti sedih, kecewa, marah. Mohon tenangkan, endapkan kesedihan dan kekecewaan kalian. Jangan mengambil keputusan apa pun, jgn mengambil tindakan apa pun. Ini kesedihan dan kekecewaan kita semua, mari hadapi bersama-sama. Masih ada kesempatan utk kalian. Yakinlah TUHAN selalu mempunyai rencana yang indah utk menata perjalanan hidup kita. Yakin, tetap tenang, jaga kesabaran, jaga optimisme. Doa kami selalu utk kalian.... (Luthfiyah N)"

Mata saya nanar melihat keluar melalui kaca mobil. Wajah-wajah itu memenuhi pandangan saya. Wajah-wajah ceria mereka....yang saat ini pasti sedang bersedih dan berurai air mata. Pedih sekali perasaan saya membayangkannya.

Anak-anak itu, sudah menjadi bagian dalam hidup saya. Setidaknya selama satu sampai dua tahun saya bersama mereka. Hari-hari saya dipenuhi dengan suka duka, canda-tawa, kekonyolan, bahkan kejengkelan dan kemarahan mereka.
Saya mencintai mereka semua. Kebahagiaan saya untuk mereka yang berhasil lulus, seperti tertutup dengan  kenyataan yang harus saya terima, bahwa masih ada yang belum lulus. Sebanyak 22 dari 276 peserta. Sedih, kecewa, tapi inilah yang harus saya hadapi.

Sesampainya di Gedung W1, gedung PPG, saya langsung menuju lantai dua. Langkah kaki seperti menyeret diri ini memasuki lorong waktu. Flash back ke masa-masa ketika gedung ini masih porak poranda. Debu di mana-mana, mebeler kotor bertumpuk-tumpuk, material bangunan memenuhi setiap sudutnya. Lantas sejengkal demi sejengkal kami membersihkannya, menatanya, memberinya nyawa, menghidupkannya. Bersama anak-anak itu. Anak-anak yang setiap kali memasuki gedung ini harus mengenakan masker. Sampai akhirnya tibalah pada titik ini. Hampir semuanya sudah tertata rapi. Tapi mereka harus meninggalkan segala kenangan di gedung ini dengan segunung kekecewaan. Oh Tuhan....

Saya setengah berlari naik tangga menuju lantai dua. Sepi. Semua seperti menyiratkan duka. Bahkan kelengangan ini adalah lengang yang penuh duka. Saya memasuki ruangan PUMK, hanya menemukan Juliar.

"Di mana yang lain, Jul?"
"Mbak Evi ke Keuangan Ketintang, Andra tidak masuk, Prof."
"Jul...."
"Ya Prof?"
"Anak-anak tadi ke sini?"
"Ya Prof."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Satu pingsan, Prof. Beberapa mendesak minta tiket pulang hari ini. Katanya buat apa saya lama-lama di sini. Begitu, Prof."

Saya menelan ludah. Tenggorokan saya sakit. Dada saya sesak.

"Thanks, Jul..." Saya tinggalkan Juliar, bergegas menuju ruangan saya. Di ruangan yang besar dan sepi itu, saya terpekur, berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan hati kosong. Berkali-kali menghela nafas panjang. Mata saya basah. Tangis saya pecah. 

Anak-anak itu, setahun sudah mengabdikan diri mereka mengajar di daerah 3T. Dengan berbagai suka dukanya. Dalam kondisi serba terbatas, serba kekurangan, serba memprihatinkan. Meninggalkan kehidupannya yang menyenangkan, meninggalkan kehangatan keluarga, bahkan melepaskan kekasih tercinta. Demi sebuah perjuangan membangun Indonesia. Dalam wujudnya yang mungkin kecil, namun betapa dalam maknanya bagi anak-anak negeri di pelosok Bumi Pertiwi. Mereka bersakit-sakit, berdarah-darah, berjuang memberi warna indah pada negeri ini meski diri mereka sendiri harus beberapa kali jatuh dan terhempas-hempas, berdiri, berjuang lagi, jatuh, bangkit, begitu terus berulang. Sampai akhirnya kaki mereka menjadi kuat, jiwa mereka tegar, dan semangat mereka membara. Malaria, swanggi, nai, dicemooh, dihinakan, semua sudah mereka alami. 

Lantas, selama setahun pula mereka mengikuti Program PPG berasrama dan berbeasiswa. Mengisi hampir sepanjang waktunya dengan workshop, mengembangkan perangkat pembelajaran, peer teaching, microteaching, PPL, PTK, ujian kinerja, ujian tulis lokal, dan ujian tulis nasional. Kehidupan mereka di asrama dipantau dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kedisiplinan mereka terbentuk, kesetiakawanan mereka terbangun, dan kejujuran, ketangguhan, kecerdasan mereka terasah. 

Tapi kenyataan yang terjadi saat ini seperti telah memporak-porandakan semuanya. Bangunan yang ditata bata demi bata itu ambruk. Keringat dan air mata yang menyertai kerja keras mereka seperti tak ada guna. Semuanya itu ternyata tidak menjamin mereka otomatis mendapatkan apa yang mereka mimpikan selama ini: selembar sertifikat.

Selembar sertifikat yang bernama sertifikat guru profesional. Sertifikat yang akan membuat mereka pulang kembali ke kampung halaman masing-masing dengan rasa bangga. Sertifikat yang akan mereka persembahkan pada ayah ibu, saudara, kerabat, kekasih tercinta. Hanya sekedar selembar kertas. Namun untuk selembar kertas itulah mereka rela melalui serangkaian proses panjang, selain demi memberikan sumbangsihnya, memajukan pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.

Saya mengangkat ponsel. Menelepon beberapa peserta yang belum lulus, yang kebetulan nomornya saya simpan. Suara mereka parau. 
"Saya tidak lulus lagi, Bunda..." Suara di seberang begitu parau dan bergetar. 
"Ya....saya tahu...." Suara saya mungkin sama paraunya. "Tapi kamu harus sabar. Masih ada satu kesempatan lagi. Insyaallah kesempatan itu milik kamu."
Lantas saya panggil namanya.
"Kamu harus kuat ya. Saya ingin, kamu bisa menguatkan teman-teman yang lain."
"Iya, Bunda..."
"Nanti ketemu saya ya?"
"Insyaallah, Bunda."
"Sekarang kamu lagi ngapain?"
"Mau salat, Bunda..."
"Baik, ingat pesan saya ya? Kamu harus kuat, dan harus bisa menguatkan teman-teman yang lain. Sampai ketemu nanti jam satu ya?"
"Ya, Bunda." Suaranya semakin parau. "Terima kasih..."

Ada beberapa peserta yang saya telepon tapi tidak mau mengangkat. Ada juga yang nomornya tidak aktif. Sebagai gantinya, saya menerima SMS.

"Bunda ku yg sya hormati, btpa phitnya ku mengingat pengorbnan ku utk glar s.pd ku bu... Bahkn jdi pumulung dsaat ku kuliah sudah prnah sya lakukan apa lg bruh kuli dah mendarah dging bu. Mhn maf ku ga bisa trma tlpon."

Saya semakin merasa terluka. 

Saya juga menelepon beberapa peserta yang menjadi pengurus PPG. Kebetulan sebagian besar dari mereka lulus. Ternyata mereka sudah berniat untuk mendampingi teman-temannya tanpa saya minta. Mereka sedang berada di antara teman-teman yang kurang beruntung itu. Dan akan bersama-sama menemui saya pada pukul 13.00 nanti.
  
Saya mengambil air wudhu. Membenamkan diri saya dalam sujud yang dalam dan panjang. Membiarkan air mata meleleh membasahi sajadah. Saya merasa sangat rapuh. Saya tidak tahan melihat kesedihan anak-anak saya. Tapi saya harus menguatkan diri. Beberapa saat lagi anak-anak itu akan datang menemui saya. Tangis akan pecah di ruangan ini. Wajah-wajah yang biasanya ceria itu akan layu. Ungkapan kesedihan, kekecewaan dan kemarahan, pasti akan berhamburan.

Ya Allah, saya hanyalah seorang ibu. Saya hanyalah seorang ibu, yang sedang menghayati kepedihan dan kekecewaan hati anak-anak saya. Beri mereka ketabahan dan kekuatan. Mudahkan urusan mereka. Lapangkan jalan mereka untuk mencapai cita-cita luhur mereka... Mudahkan, ya Allah. Kuatkan mereka, Ya Tuhan.... 

Surabaya, 6 Februari 2014

Wassalam,
LN