Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 29 Desember 2014

Melbourne 4: Hidup adalah Pilihan

Pagi ini, tanggal 4 November 2014, adalah Melbourne Cup Day. Musim festival pacuan kuda, yang menawarkan lebih dari sekadar menonton kuda-kuda berlari. Puluhan ribu warga Melbourne dan warga dari kota-kota lain di Australia datang menyaksikan pertandingan kuda tersebut.
Mereka tampil dengan sangat modis dengan gaun-gaun, jas, dan pakaian tren terkini. 

Penampilan orang-orang yang sangat indah itu kami lihat malam harinya, setelah acara tersebut usai, dan kami mencoba jalan malam untuk melihat kehidupan malam kota Melbourne. Di mana-mana, di sembarang tempat, orang berbusana modis dan eksentrik. Para perempuan lengkap dengan topi-topi lebarnya, blus punggung terbuka, berleher rendah, dan sepatu hak tinggi. Ketika mereka berjalan, sepertinya seluruh anggota tubuh mereka bergoyang.

Mengenai hal ini, saya jadi ingat film-film di TV, yang seringkali memberi tabir atau blur untuk menyamarkan bagian dada atau bagian bawah para perempuan yang terbuka. Di Melbourne ini, asli, mereka semua tidak bertabir. Tidak di-blur. Buka blak. Dan setiap orang bisa melihatnya sepuas hati terutama kalau Anda ingin dinilai telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan..haha. 

Sementara orang-orang modern itu memenuhi arena pacuan kuda, kami lebih memilih tempat lain untuk mengisi waktu. Tempat itu adalah Sovereign Hill dan  State Rose Garden. Tentang kedua tempat ini, saya akan menceritakannya nanti.

Pukul 08.00, kami sudah dijemput Mas Toro, orang Jawa Barat yang sudah menjadi permanet resident (PR) di Melbourne. Dia yang akan membawa kami ke Sovereign Hill dan ke State Rose Garden dengan mobil boss-nya. Dia adalah driver di sebuah perusahaan yang menyewakan mobil, yang kebetulan pemiliknya adalah orang Indonesia juga.

Mas Toro datang pertama kali di Melbourne sekitar tujuh tahun silam. Ditugaskan oleh perusahaannya di Jakarta (Grup Bakri), selama setahun. Selesai tugas, perusahaannya bangkrut, begitu menurutnya, dan dia memutuskan kembali ke Melbourne, demi segala kenyamanan yang sudah diperolehnya di sana selama setahun itu.

Setelah setahun di Melbourne, dia lantas membawa istri dan anaknya. Di awal-awal bulan, anak dan istrinya sempat tidak kerasan, tapi lama-lama kerasan dan justeru tidak mau pulang. Mereka sekeluarga akhirnya menjadi permanent resident (PR), dan segala kenyamanan yang tersedia membuat mereka malas pulang.

"Waktu kita di Bogor, kita susah cari waktu bersama keluarga. Saya berangkat kerja ke Jakarta selepas subuh, pulang sudah malam. Anak sudah tidur, saya sudah capek. Di sini, kami bisa sering bersama. Anak tidak stress di sekolah. Pelajarannya sedikit, lebih banyak seperti main-main. Tidak harus tes saat mau masuk ke high school. Cari uang mudah. Tidak ada macet. Beribadah lebih tenang. Kita juga mendapatkan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan semuanya, yang sama seperti citizen. Bedanya hanya, kita tidak bisa vote ketika pemilu."

"Sekarang, begitu pulang ke Indonesia, anak istri saya sudah merasa tidak kerasan setelah seminggu dua minggu di sana. Di mana-mana macet, mau ke mana-mana susah. Kalau sakit, biayanya mahal." Begitu kata Mas Toro.

Saya coba bertanya, apakah ada kemungkinan dia sekeluarga pindah kewarganegaan. Dia menjawab, untuk saat ini, keinginan itu tidak ada. Dia masih ingin kembali ke Indonesia setelah pensiun nanti. 

Untuk saat ini, seperti itulah rencananya. Tapi tidak tahu bagaimana nanti. Menurut pengamatannya, beberapa orang yang sudah pernah tinggal di Melbourne dan menjadi PR, lantas berencana pulang dan menetap kembali ke Indonesia, banyak yang akhirnya mondar-mandir saja. Beberapa bulan di Indonesia, beberapa bulan kembali lagi ke Australia. 

"Bagaimana pun, subsidi yang diberikan oleh pemerintah Australia bagi para warga yang sudah memasuki usia pensiun, tak peduli dia pegawai pemerintah atau bukan, menjanjikan kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Ditambah dengan layanan kesehatan yang jauh lebih baik dan murah. Juga kenyamanan-kenyamanan yang lain."

Saya mendengarkan cerita Mas Toro dengan perasaan seperti ditampar-tampar. Saya bayangkan negara saya tercinta. Tentang jalan-jalannya yang macet, layanan pendidikan dan kesehatan yang mahal dan kadang-kadang kurang manusiawi, minimnya jaminan hari tua bahkan bagi para pegawai negeri sipil, dan sebagainya. Sahabat saya, Tiwik, merasa bersyukur karena saat dia sakit dan memerlukan pengobatan yang serius, dia sedang berada di Australia. Dia mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas kesehatan sekali pun dia bukan PR. Sahabat saya yang lain di Indonesia, dengan sakit yang sama, terpaksa harus membuka tabungan yang sedianya untuk keperluan penting lainnya, agar bisa berobat dan menjalani proses penyembuhan. Sampai-sampai ada ungkapan 'orang miskin dilarang sakit', untuk menggambarkan betapa mahalnya biaya kesehatan di Indonesia.

Belum lagi dalam bidang pendidikan. Haduh. Tak bisa berkata-kata. Cerita Tiwik tentang Adzra dengan berbagai keceriaannya saat di sekolah, dan sekarang ditambah cerita Mas Toro, semakin membuat saya seperti seekor lalat yang berada di pinggir mangkuk dan hanya bisa melihat kelezatan es teler di dalam mangkuk itu. Ngiler.

Iseng-iseng, saya bertanya pada Mbak Silfia.
"Mbak, kalau disuruh memilih, suka tinggal di mana? Di Indonesia apa di Melbourne?"

"Saya saat di Melbourne, di tahun pertama saja suka, Bu. Di Tahun kedua, saya sudah mulai bosan. Semua serba teratur, serba nyaman. Di Indonesia, itulah the real life."

"Tapi, kalau saya ada kesempatan kembali ke sini, mungkin saya akan kembali." Tambahnya.

"Untuk sementara, atau untuk menetap?"

"Kalau ada kesempatan untuk menetap, boleh juga. Mungkin akan saya pertimbangkan."

Saya termangu. Saya membayangkan ibu saya, saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, kampus saya, mahasiswa-mahasiswa saya, tukang bakso dan tahu campur langganan, nasi pecel, nasi uduk, serabi, laut, gunung....

"Kalau ada kesempatan untuk saya bisa menetap di Melbourne, saya tak akan ambil kesempatan itu. Saya punya banyak hal yang jauh lebih penting dan berarti di Tanah Air, daripada sekadar berbagai kenyamanan di sini." Begitu gumam saya.

"Kalau begitu, Mbak Silfia lebih suka tinggal di Melbourne dong, daripada di Indonesia? Tentu saja kalau ada pilihan itu. Ya kan? Kalau sekarang, kan tidak ada pilihan...." Tukas saya.

Mbak Silfia tertawa. "Bisa jadi ya, Bu?" 

Pilihan. Ya, hidup adalah pilihan. Mana pun yang kita pilih, pasti bergantung pada situasi, kondisi, dan juga harapan serta cara kita memaknai hidup dan kehidupan itu sendiri. Kemudahan, keamanan, kenyamanan yang tersaji di depan kita, ternyata belum tentu membuat kita menjatuhkan pilihan kita pada semuanya itu. 

Tiwik, suatu saat pernah berujar: "Saya ingin cepat selesai, La. Saya pikir, buat apa saya lama-lama di sini. Saya mulai mengurangi aktivitas saya dan lebih fokus pada disertasi. Saya ingin pulang segera, saya ingin Ramadhan nanti, kami semua sudah berpuasa di rumah, di Indonesia."

Padahal Tiwik punya pilihan, dia sekeluarga tidak harus kembali ke Tanah Air kalau mau. Tapi dia memiliki banyak hal yang jauh lebih penting, yang tak akan tergantikan, bahkan oleh berbagai kenyamanan yang akan dia dapatkan dengan tinggal di Melbourne.


Melbourne, 4 November 2014 

Wassalam,
LN

Minggu, 28 Desember 2014

Melbourne 3: VIT dan University of Melbourne

Pagi ini, pukul 08.00 waktu Melbourne, kami semua sudah bersiap melakukan perjalanan kunjungan ke dua institusi. Myki yang akan menemani perjalanan tak lupa kami pastikan sudah berada di tas kami.

Kunjungan pertama adalah ke Victorian Institute of Teaching (VIT). VIT merupakan institusi yang memiliki otoritas untuk melakukan sertifikasi bagi semua guru dan calon guru di Victoria. Dia merupakan badan yang ditunjuk pemerintah.
VIT juga merupakan institusi yang telah diakui oleh Unesco sebagai institusi yang kredibel.

Kami hanya ditemui oleh dua orang, yaitu Fran Cosgrove (Director, Special Projects) dan Keith Woodward (Acting Group Manager, Standars and Professional Learning). Hanya dua orang, namun mereka bekerja dengan begitu efisien. Berbagi tugas dalam presentasi dan diskusi.

Tidak seperti di Tanah Air bila kedatangan tamu, apa lagi tamu dari luar negeri, pada umumnya tidak cukup hanya ditemui berdua saja seperti ini. Begitu juga suguhannya. Tidak seperti kalau kita menjamu tamu, yang hampir selalu dengan suguhan berbagai hidangan relatif lengkap, di sini kami hanya disuguh dua piring biskuit dan berbagai macam minuman hangat, yang kami bisa membuatnya sendiri: teh, kopi, dan coklat.

Diskusi kami berjalan dengan sangat efisien dan gayeng. Apa lagi ada Bu Pratiwi dan Mbak Silfi yang sangat membantu. Saya bertugas mempresentasikan tentang Unesa dan program-program PPG. Kami bertukar pengalaman dalam menyiapkan dan mensertifikasi guru. Ketika melihat program SM-3T, mereka kagum sekaligus menyadari betapa berbeda jauh kondisi Australia dan Indonesia, sehingga diperlukan cara yang berbeda juga dalam penyiapan guru profesional. 

Lepas dari VIT, kami beristirahat di sebuah ruang di University of Melbourne. Ruang khusus mahasiswa yang nyaman, penuh dengan sofa, buku-buku, dan pemanas ruangan. Tiwik telah mengupayakan untuk kami supaya kami bisa sekadar istirahat, minum dan shalat dhuhur. Juga sekaligus untuk menunggu waktu, sampai tiba saatnya kami bergeser ke bagian lain di universitas yang sama, beberapa saat nanti. Bagian tersebut adalah Melbourne Graduate School of Education.  

Seperti hanya di VIT, kami juga hanya ditemui oleh dua orang, yaitu Tim Brabazon (Executive Director) dan asistennya (saya lupa namanya). Suguhannya, air putih. Ya, hanya air putih. Tidak ada temannya. Kendel-kendelan, haha, begitu kata orang Jawa. Tapi kami belajar sesuatu dalam hal ini. Konsumsi tidak terlalu penting bagi orang-orang di sini. Yang penting acara rapi, diskusi bernas, dan target tercapai.

Brabazon menceritakan bagaimana sulitnya mempersiapkan guru yang profesional, guru yang memang memilih profesi guru sebagai pilihan hidupnya, dan bukan karena tidak ada pilihan karir yang lain. Ya, bahkan di Melbourne pun, profesi guru ternyata bukan menjadi pilihan bagi kebanyakan orang. Namun keberadaan institusi yang saat ini dipimpin Babrazon, telah banyak memberikan kontribusi dalam penyiapan guru, termasuk menjadikan profesi ini semakin banyak diminati.

Pada kesempatan ini, kami juga menceritakan bagaimana menyiapkan guru serta meningkatkan kompetensi guru di Tanah Air. Diskusi berjalan cukup gayeng dan sangat mencerahkan. Meski pihak VIT sempat mempertanyakan, bagaimana bisa kami menghasilkan guru dan sekaligus melakukan sertifikasi juga untuk guru? Kami katakan bahwa ke depan, sertifikasi guru tentunya juga akan dilakukan oleh sebuah lembaga khusus secara independen. Tidak lagi 'jeruk makan jeruk'.

Kesempatan mengunjungi dua institusi di Melbourne hari ini benar-benar memberi wawasan baru bagi kami semua. Meskipun mungkin peluang kolaborasi tidaklah mudah, namun setidaknya, berbagi pengalaman best practices antara kedua institusi tersebut dengan Unesa, memberikan semangat baru bagi kami untuk menjadi lebih baik ke depan.  

Hari ini kami cukup mengunjungi dua institusi. Oleh karena masih ada sedikit waktu sebelum hari gelap, maka kami tidak langsung kembali ke hotel, melainkan mampir ke Shaver. Sebuah swalayan yang menjual barang-barang bekas. Hampir semua jenis barang ada, mulai buku, alat-alat makan, alat-alat memasak, alat-alat menukang, baju, aksesoris, mainan anak-anak, selimut, lenan rumah tangga, dan lain-lain. Namun jangan bayangkan barang bekas yang sudah rongsokan. Barang bekas di Melbourne ini kondisinya masih kinyis-kinyis, dan sangat layak pakai. Orang-orang Melbourne begitu konsumtifnya sekaligus begitu modisnya, sehingga mereka enak saja beli ini beli itu dan kalau sudah bosan mereka akan lempar ke toko-toko barang bekas, dan lantas membeli yang baru atau juga yang bekas, dengan sesuka hati.

Malam hari, selepas shalat dan makan malam, kami juga menyempatkan diri ke Uereka Skydeck dan naik ke lantai 88, dengan membayar 25 dollar per orang. Menikmati Melbourne dari ketinggian dan menghayati setiap pengalaman yang sudah kami alami sepanjang hari ini. Pengalaman yang begitu mengesankan, dan sudah seharusnya semakin mempertebal rasa syukur kami atas semua kesempatan yang telah diberikan-Nya.

Melbourne, 3 November 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 23 Desember 2014

Sumtim 2: PAUD Amanah

PAUD Amanah. 
Supported by SM-3T. 

Tulisan itu menghiasi sebuah papan nama kecil berwarna dasar kuning. Membelakangi sebuah bangunan berukuran sekitar 4x6 meter yang sebenarnya berfungsi sebagai Posyandu. Sederhana sekali. Ukuran sisi-sisi papan nama itu hanya sekitar 1,20 cm. Namun di balik kesederhanaannya, dia menyimpan sebuah cerita tentang ketangguhan dan kesabaran. 

Kalau ada yang bertanya, adakah sesuatu yang monumental dari program SM-3T di Salura? Maka, papan nama kecil itulah salah satunya. Hanya salah satunya. Karena tentu saja banyak yang telah diukir dan diwariskan oleh para peserta SM-3T sejak angkatan pertama, sejak tahun 2011. Termasuk meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan dan terbangunnya semangat cinta belajar. Terbukti anak-anak semakin hari semakin banyak yang rajin datang ke sekolah. Termasuk di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) di Pulau Salura, yang selalu ramai dipenuhi anak-anak, sejak selepas ashar sampai Isya.

Pulau Salura, satu-satunya pulau di Kabupaten Sumba Timur yang mayoritas penduduknya muslim, merupakan kampung nelayan dengan jumlah KK sekitar 130-an, dan jumlah jiwa sekitar 560-an. Kampung kecil itu seperti penuh sesak oleh anak-anak yang kurang terurus. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga nelayan. Kebanyakan keluarga memiliki anak lebih dari lima, bahkan ada yang belasan. Anak-anak mereka pada umumnya adalah anak-anak usia balita sampai usia sekolah (PAUD sampai SMA). 

Sebelumnya, Pulau Salura hanya memiliki SD saja, kemudian berkembang menjadi sekolah satu atap (satap), SD dan SMP. Bangunan sekolah SD masih sangat sederhana, hanya memilliki tiga ruang kelas, sehingga pembelajaran dilaksanakan dengan sistem kelas rangkap. Guru-gurunya, sebenarnya, ada empat orang yang PNS,  namun mereka jarang sekali datang ke sekolah, termasuk kepala sekolahnya. Guru honorer rata-rata hadir dua orang sehari, dan merekalah yang menangani kelas satu sampai enam.

Kondisi itu sudah jauh lebih baik dibanding saat Panca, satu-satunya peserta SM-3T angkatan pertama (2011), ditugaskan di tempat itu. Pada saat itu, di Salura baru ada SD saja. Tidak ada layanan kesehatan sama sekali atau puskesmas. Tidak ada tenaga medis. Sempat sebelum berangkat ke Salura, saat pelepasan di Gedung Nasional Waingapu, Panca bertanya pada saya.
"Ibu, di Salura, tidak ada puskesmas. Bagaimana kalau saya sakit?"
Saya tidak bisa menjawab, sempat was-was juga, ya, bagaimana kalau Panca sakit?
"Saya baru saja sakit, Ibu, dan masih pada tahap pemulihan." Jelas Panca.
Tapi tiba-tiba saja saya menemukan jawaban yang tepat. "Kamu jangan sakit ya? Kamu harus sehat. Tidak boleh sakit."
Dan berangkatlah Panca naik oto dengan iringan lambaian tangan dan doa saya.

Itu tiga tahun yang lalu. Saat ini, Salura sudah memiliki puskesmas, dan ada seorang bidan desa dan perawat pembantu.

Namun murid-murid di sekolah dasar itu, aduh, sedih melihatnya. Penampilan mereka, maaf, kotor, dengan baju seragam yang juga kotor dan bahkan koyak-moyak, sebuah buku dan pensil. Belum lagi kemampuan baca tulis mereka, sangat memprihatinkan. Saya sempat melihat anak-anak itu belajar dan melihat buku catatan mereka. Benar-benar prihatin sekali melihat kondisi mereka.

Murid-murid SMP, penampilan mereka lebih bersih. Mereka berseragam, pada umumnya cukup rapi. Meski kelas mereka terbatas, hanya dua lokal, dan pembelajaran juga dengan kelas rangkap, tapi mereka mempunyai lab mini, alat-alat olah raga, dan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka. Ruang kelas yang hanya ada dua ruang itu, satu kelas untuk kelas 7 dan 8, satu ruang untuk kelas 9, digabung dengan lab mini dan perpustakaan mini.

Kepala sekolah SMP, Bapak Heri, merupakan figur kepala sekolah yang rajin dan penuh komitmen. Dia berasal dari Muncar, Banyuwangi, dan keluarganya sampai saat ini masih tinggal di Pasuruan. Dia tinggal bersama seorang guru bantu (Pak Yanus), dan empat orang guru SM-3T, di mes sekolah yang merangkap menjadi kantor sekolah. 

Mes itu sebenarnya bukan mes sekolah. Dia adalah rumah petak berukuran sekitar 4 x 6 meter, milik penduduk setempat, berdinding kayu dan berlantai tanah. Rumah itu disekat-sekat untuk kamar, dapur, dan ruang multifungsi. Dua orang guru SM-3T perempuan menempati satu kamar, sedang para lelaki menempati ruang multifungsi. Kerja di situ, makan di situ, tidur di situ. Ada sebuah tikar yang digelar, dan di sepanjang dinding kayu rumah itu bertumpuk buku-buku, pakaian, bahan makanan, dan dos-dos entah berisi apa. 

Jadi di rumah kecil itu, ada enam orang penghuni, dua guru perempuan, dan empat guru laki-laki. Sungguh tak terbayangkan bagaimana mereka bisa hidup dalam kondisi semacam itu selama setahun.

Kunjungan saya ke Salura, selain dalam rangka monev SM-3T, juga untuk melihat perkembangan pendidikan di pulau kecil ini. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak kami, para peserta SM-3T. Mereka adalah Wahyudi, Nugroho, Pratiwi dan Abidah. Mereka dari prodi Pendidikan Fisika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan PAUD.

Kegiatan guru-guru SM-3T itu begitu padat. Meski pun Pratiwi dan Abidah dari Prodi PAUD, mereka tidak hanya mengajar di PAUD yang masuknya setiap hari mulai Senin sampai Jumat. Selesai mengajar di PAUD sekitar pukul 10.00, mereka ikut membantu mengajar di SD sampai pukul 13.00. Setelah itu, lepas ashar, mereka berempat berbagi tugas mengajar mengaji di TPA, dan bersama-sama salat maghrib dan isya berjamaah.

Sore itu, saya ikut bergabung di TPA. Ikut mengajari anak-anak Salura mengaji. Hampir semuanya masih mengenali saya, yang sekitar setahun yang lalu berkunjung di tempat ini. Alhamdulilah, bapak ibu saya mewajibkan saya mengaji setiap hari, dan beliau berdualah guru mengaji saya sejak kecil. Sehingga insyaallah saya layak membantu Abidah dan kawan-kawan mengajari mengaji anak-anak Salura ini. 

Sekitar lima puluh anak itu terbagi dalam dua kelompok. Satu kelompok anak-anak yang mengaji Juz Amma, kelompok lainnya sudah pada level berikutnya. Tapi pada umumnya, anak-anak tingkat lanjut itu mengajinya masih sampai pada surat Al Baqarah. 

Mereka belajar mengaji sejak pukul 17.00 sampai Isya. Jeda untuk salat maghrib dan isya berjamaah. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing, belajar atau langsung tidur. Ditemani debur ombak dan desauan angin laut yang mendesis-desis. Begitulah sampai pagi menjelang, dan semuanya kembali beraktifitas. Para anak ke sekolah, para orang tua ke laut atau mengurus rumah.

Bila musim cumi, anak-anak sekolah banyak yang membolos. Benar. Inilah salah satu kendala pendidikan di daerah-daerah tertinggal pada umumnya. Banyak anak usia sekolah yang drop out karena masalah ekonomi. Atau setidaknya, banyak anak sekolah yang membolos pada saat musim tanam, hari pasar, atau musim panen, termasuk panen cumi seperti di Salura. Masalah ekonomi, memang menjadi salah satu kendala terbesar dalam program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Kondisi ini diperparah karena kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan. Mereka lebih suka anak-anak bekerja dan membantu mencari nafkah untuk keluarga.

Ya, meski kesadaran masyarakat terhadap pendidikan meningkat dengan sangat signifikan, namun kendala-kendala tersebut masih terus dijumpai. Hal ini merupakan salah satu tantangan yang terus dihadapi oleh para guru SM-3T di mana pun berada.

Kembali ke PAUD Amanah. Sekolah itu dirintis oleh peserta SM-3T Unesa. Benar-benar hasil rintisan peserta SM-3T. Mereka menghimpun anak-anak kecil usia PAUD yang berserakan di mana-mana di kampung nelayan itu, mencarikan tempat bagi mereka untuk bermain dan belajar bersama. 

Tentu tidak mudah pada awalnya. Namun dengan kegigihan dan kesabaran, dengan sepenuh upaya mereka mengetuk hati para orang tua, serta meyakinkan para perangkat desa, akhirnya PAUD amanah itu bisa terbentuk. Dirintis oleh Heri Sampurna dan kawan-kawan (angkatan 2012), dilajutkan oleh Kartika Sari dan kawan-kawan (angkatan 2013), dan akhirnya terus belanjut serta semakin jelas wujudnya oleh kehadiran Abidah dan kawan-kawan (angkatan 2014).

Pagi itu, sebelum ke SD dan SMP, saya mengunjungi PAUD Amanah, dan bermain bersama dengan sekitar empat puluh anak-anak polos yang manis-manis itu. Bersama Abidah dan Pratiwi serta tiga orang bunda yang lain. Tiga orang bunda itu adalah para gadis remaja lulusan SMP yang dikader oleh Abidah dan Pratiwi untuk mengelola PAUD Amanah. Dengan demikian, bila tidak ada guru-guru SM-3T, PAUD Amanah tetap bisa hidup dan bahkan bisa lebih maju.

Saat ini, ketika matahari mulai memancarkan kehangatannya, kita tidak lagi melihat anak-anak kecil berkeliaran di kampung nelayan yang ramai itu. Anak-anak ingusan (dalam arti sebenarnya, karena hidung mereka pada umumnya beringus), kotor, kurang terurus, yang bermain pasir atau berlari-lari di sepanjang pantai. Mereka semua saat ini sudah rapi sejak pagi, dan siap berangkau ke sekolah, belajar bersama teman-teman, di bawah bimbingan para bunda, di PAUD Amanah.

Sedang mentari tetap saja memancarkan kehangatannya
Tersenyum menyaksikan celoteh anak-anak kampung yang riang
Mereka berdendang dan menari bersama
Berlomba mengukir mimpi dan berebut meraih bintang 
Oh, indahnya
Gemerlap mata bening itu adalah gemerlap masa depan...

Pulau Salura, 3 Desember 2014

Wassalam,
LN
  

Kamis, 18 Desember 2014

Bu Arini Dan Prof. Budi Dharma

Saya baru saja menutup kuliah di Prodi S2 PTK saat sebuah SMS masuk. "Ass.wrwb,yth ibu Luthfi,sy pengin telp ibu terkait dg literasi,ibu berkenan jam brp?maturnuwun(bu Arini Perpust Kota Sby)"

Saya langsung membalas: "Monggo, Bu...."

Begitu keluar dari kelas, ponsel berdering. Pasti dari Bu Arini. Saya sepintas membaca nomor telepon dengan kode wilayah 031. Bu Arini menelepon dengan pesawat telepon kantor Badan Perpustakaan Kota Surabaya. Beliau adalah kepala kantor itu.

"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam..." Suara di seberang. "Prof. Luthfi, saya Arini...maaf, mengganggu, Prof..."

Kami terlibat obrolan yang lumayan panjang. Bu Arini merasa sangat berkesan dan bahagia sekali diundang untuk menjadi narasumber dalam Talkshow Literasi tanggal 13 Desember, di PPPG Unesa beberapa hari yang lalu. Kata beliau: "Saya senang sekali, Bu, dan saya semakin berani untuk melangkah mengembangkan Surabaya sebagai kota literasi. Teman saya banyak ternyata. Saya juga sudah melapor ke Ibu Wali, dan beliau merespon dengan sangat baik. Tapi beliau memberi tugas tambahan lagi ke kami, Bu. Beliau minta, kami tidak hanya menyasar SD, tapi juga madrasah dan pondok pesantren. Haduh, Bu....padahal madrasah dan pondok pesantren itu jumlahnya sekitar 350, SD 1500, lha kan 2000, Bu...." Begitu curhat Bu Arini.

"Bagus sekali itu, Bu..." Tukas saya.

"Iya, Bu. Saya bilang ke Bu Wali, Ya Bu, semoga berhasil... Tapi Bu Wali njawabnya begini, Bu: "Jangan semoga berhasil... Harus berhasil."

Saya spontan tertawa. Bu Walikota Tri Rismaharini ini memang luar biasa. Beliau tidak hanya lihai menyulap Surabaya menjadi penuh taman, dan menutup Dolly dengan gagah perkasa, tapi juga demen mengembangkan literasi. Suerr. Perempuan sederhana yang tak takut pada apa pun demi kebenaran itu, sepak terjangnya begitu mengagumkan. Keren abis.

Waktu Bu Arini bilang kepada Bu Risma, bahwa menembus madrasah dan ponpes itu sulit sekali, dengan tegas Bu Risma menjawab: "Biar saya nanti yang nembus madrasah dan ponpes."

Menurut Bu Arini, beliau sudah pernah bersurat pada Rektor Unesa, Prof. Warsono, beberapa bulan yang lalu. Isi suratnya adalah tawaran kerjasama dalam program literasi. Tapi sampai saat ini, bu Arini belum menerima balasan surat itu, dan malah mendapat kabar, kalau Prof. Warsono belum pernah menerima surat tersebut. Bisa jadi, surat itu ketlisut, entah di mana....

"Saya ingin mengundang ibu untuk diskusi bagaimana sebaiknya membumikan program literasi ini ke sekolah-sekolah, Bu. Supaya kami bisa melibatkan para mahasiswa dalam program ini. Nanti kita diskusikan bersama Pak Satria Darma juga. Apa Ibu berkenan nggih, Bu?"

Saya spontan menjawab: "Tentu saja, Bu Arini, saya sangat bersedia. Kami senang kalau kami bisa berkontribusi dalam program literasi. Bukankah itu menjadi bagian tugas perguruan tinggi juga? Kalau ada sinergi dengan program Ibu, tentu saja itu akan lebih baik."

Bu Arini juga bilang, "Saya sudah membaca buku Bu Luthfi. Buku yang menceritakan kunjungan Ibu ke pelosok-pelosok itu..."

Saya tertawa. "Itu hanya buku sederhana, Bu Arini....catatan-catatan ringan saja. Bacaan sebelum tidur..."

"Saya juga sudah baca tulisan Ibu, lho..." Tukas saya. "Luar biasa, Ibu ternyata pandai menulis juga. Bagus tulisannya." Saya mengomentari tulisan Bu Arini di buku "Menuju Wujud Surabaya sebagai Kota Literasi". Buku yang berisi 46 kisah para pegiat perpustakaan kota Surabaya. Ada tulisan Ketua IGI, Satria Darma juga.

"Itu kalau nggak didorong-dorong sama Bu Wali gitu....saya nggak pede, Bu.."

Kami menutup pembicaraan yang manis itu. Saya menuju ruang dosen, karena ada kencan dengan beberapa mahasiswa yang akan berkonsultasi. Siang yang mendung justeru membuat hati saya berbunga-bunga. Kesan tentang sosok Arini Pakistyaningsih yang 'sulit disentuh' karena sewaktu mengundang untuk menjadi narasumber musti melalui beberapa lapis birokrasi, hilang sudah. Dia perempuan cantik yang ramah dan rendah hati. Mungkin Arini yang tempo hari itu bukan Arini yang saat ini. Sudah bermetamorfosis setelah bertemu dengan para pegiat literasi dan bagawan sastra Unesa yang begitu hebat kiprahnya namun tetap rendah hati dan ramah sikapnya. Siapa lagi kalau bukan Budi Darma.

Budi Darma. Dada saya terasa 'mak deg' begitu membuka pintu ruang dosen pasca. Ada Prof. Budi Darma di situ. Betapa tidak. Saya belum selesai membayangkan sosok legendaris itu dalam benak saya, dan tiba-tiba saat ini saya sudah berada di depannya. Senyum ramahnya langsung mengembang. Dia berdiri, mengulurkan tangan, menyambut saya, meninggalkan dua mahasiswa yang baru saja berkonsultasi.

"Apa kabar, Mbak Ella?"
Saya tersipu-sipu. Mbak Ella. Bahkan beliau memanggil saya dengan nama kecil saya itu.

"Alhamdulilah, Bapak. Sehat. Bapak juga nggih?"

Beliau menyilakan saya duduk di sofa, bersebelahan dengan beliau. Lantas beliau bercerita, sewaktu talkshow literasi tempo hari, beliau sebenarnya sedang agak 'nggliyeng'. Jam 02.00 dini baru datang dari Tiongkok, dan pagi langsung ke PPPG. Lantas beliau memuji saya, yang blusukan ke mana-mana, dan membuat catatan perjalanan di setiap tempat. Juga memuji karena saya masih sempat menulis cerpen.

"Cerpen menopo, Bapak?"
"Itu...cerpen tentang...Mbak Ella ada di suatu tempat yang dingin....kemudian ada seseorang yang menyatakan...."

Saya semakin tersipu. "Itu cerpen jelek, Bapak....malu saya.."

"Tidak...itu luar biasa....Mbak Ella masih sempat nulis cerpen. Juga cerpen yang tentang laut itu...ya, saya sudah membacanya juga..."

Haduh, saya gobyos. Mungkin muka saya merah padam, entah karena senang, entah karena malu. Ternyata yang beliau maksud adalah cerpen saya di antologi cerpen 'Ndoro, Saya Ingin Bicara" itu.

"Waduh, Bapak, itu cerpen sekadar mengisi waktu luang saja... Saya menulisnya di sini ini lho, Bapak...." Saya menunjukkan BB jelek saya..."Malu saya Bapak membaca cerpen jelek saya itu..."

Dan Prof. Budi cerita tentang betapa bangganya beliau pada teman-teman para pegiat literasi. Beberapa nama beliau sebut. Satria Darma, Sirikit Syah, Much. Khoiri....

"Inggih, Bapak, alhamdulilah, saya berada di antara mereka. Saya jadi ketularan. Tapi saya masih belajar...."

Hari ini agenda saya begitu padat. Dari jam ke jam. Mengajar dari pagi sampai siang, terus ke Gedung I6 untuk menghadiri acara Presentasi Ekspedisi New Zealand Himapala, dan lanjut ke Gedung Gema menghadiri acara Dzikir Bersama Anak Yatim dalam Rangka Dies Natalis Unesa. Semua acara begitu menyenangkan. Namun yang lebih menyenangkan, adalah selingan peristiwa di antara acara-acara itu, ngobrol dengan Bu Arini dan Prof. Budi Darma.

Surabaya, 18 Desember 2014

Wassalam,
LN

Senin, 15 Desember 2014

Penghuni Kapal Selam, Sebuah Oase

Penghuni Kapal Selam. Begitulah judul pertunjukan teater yang digelar pada tanggal 9-10 Desember di Gedung Pertunjukan Cak Durasim, Surabaya. Sebuah hiburan padat nutrisi yang disuguhkan oleh Teater Kanvas, Jakarta. Menikmati suguhan selama sekitar dua jam, membuka mata setiap penonton, betapa karya tersebut tidak dikerjakan secara sambil lalu. Adalah sebuah karya yang utuh, di mana seni, kerja keras, religiusitas, ketangguhan, dan idealisme, berbaur dengan begitu indah dan sarat makna.

Sebagaimana pengakuan Zak Sorga, selaku penulis naskah dan sutradara, "karya teater yang baik selalu lahir dari pergulatan hidup dan cita-cita seniman di tengah masyarakatnya. Melalui pengamatan dan perenungannya tentang kehidupan, dipadu dengan berbagai macam rintihan sosial, gejolak politik, ketidakadilan, kebobrokan keluarga, kekonyolan laku manusia, penyelewengan sejarah, kerinduan pada Tuhan, atau harapan yang indah tentang masa depan, maka lahirlah sebuah karya teater". 

Zak Sorga sejatinya bukanlah orang baru dalam dunia teater. Setidaknya, dia telah lebih dari tiga puluh tahun menggeluti bidang yang menjadi tumpuan hidup berkeseniannya itu, sejak masih duduk di sekolah menengah, di SMA 1 Tuban, dan berlanjut saat dia mengambil kuliah di departemen Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Lantas lahirlah Teater Kanvas dari tangan dinginnya, pada 1987. Bukti keseriusan berkeseniannya antara lain adalah keberhasilannya meraih predikat sebagai sutradara terbaik Festival Teater Jakarta tiga tahun berturut-turut (1991, 1992, 1993). Belasan naskah drama telah dihasilkannya sejak tahun 1985. Beberapa film televisi juga telah disutradarainya. Bukti lain, lebih dari 100 skenario TV juga telah ditulisnya dan ditayangkan di berbagai stasiun TV.

Tulisan ini tak hanya menceritakan tentang sosok Zak Sorga. Tapi juga tentang salah satu karyanya 'Penghuni Kapal Selam'. Sebuah kisah para aktivis yang hilang, yang diculik oleh para penguasa, dan dijebloskan dalam kapal selam. Kisah yang menceritakan tentang kedhaliman para tiran atas lawan-lawan politiknya. Kisah yang menyajikan pergulatan batin diri pribadi para penghuni kapal selam itu, friksi di antara mereka, serta kesalehan yang terus bertahan dalam terpaan intrik dan tipu daya.

Cobalah simak salah satu cuplikan dialog yang menggambarkan kedhaliman para tiran itu. 

"Rupanya mereka lebih suka aku jadi perampok daripada jadi orang baik-baik. Orang rajin ke masjid kok ditangkap. Aku ditanya macam-macam, dipukuli, dipojokkan ke tembok. Rambutku dia betot sekeras-kerasnya, tetapi aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku memang tidak tahu apa-apa. Lalu aku dicambuki, mataku dicongkel.
  
Sebanyak empat belas pelaku menjadikan kisah itu begitu penuh letupan-letupan. Sesekali mencekam, sesekali menampar kesadaran, tidak jarang juga megundang gelak tawa. Lengkap. Mereka adalah Abdul Ghofar (seorang guru agama), Muthalib (politikus tua yang stres berat), Jerio (orator dan aktivis politik yang ambisius tapi cengeng), Yon (aktivis dakwah yang labil), Kukuh (mahasiswa yang hampir  gila karena siksaan), Pii (mantan penjual es yang telah dipenjara sejak anak-anak), Prawoto (mantan pemimpin perampok yang sudah bertobat), Sokle (tukang bengkel elektronik yang dituduh menggerakkan massa), Sipir Kepala yang merasa berkuasa dan kuat, Juru Runding yang licik, Si Kutu Buku, Penyusup, seseorang yang selalu salat, dan para sipir penjaga. 

Dua jam, tentulah bukan rentang waktu yang mudah untuk menampilkan sebuah suguhan 'kelas berat' semacam teater dengan jalan cerita yang 'tidak populer' semacam itu. Ya, hanya orang-orang yang mempunyai daya apresiasi saja yang bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Tentu saja ini membutuhkan kepiawaian Sang Sutradara untuk membuat mata dan pikiran para penikmat tetap terfokus pada lakon yang dikemasnya.

Tapi cobalah lihat ratusan penonton yang memenuhi setiap kursi di dalam gedung Cak Durasim itu. Mereka kebanyakan adalah anak muda. Sepanjang dua jam lebih, para anak muda itu sepenuhnya khidmat menyimak. Tidak ada yang 'clometan' atau melontarkan komentar ''asal nyeplos', tak bermutu, merendahkan, sebagaimana kekhasan anak muda bila menonton sebuah hiburan. Mereka tidak hanya dari kalangan mahasiswa jurusan seni, namun dari berbagai kalangan. Bahkan juga banyak yang dari kalangan orang awam seperti saya. Hanya sekedar didorong rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan rasa dahaga atas sebuah tontonan yang tidak hanya 'begitu-begitu' saja.

Bagi saya pribadi, dan juga saya yakin bagi semua penonton, pertunjukan ini layak dikatakan "sesuatu banget." Di antara kejenuhan atas berbagai tontonan 'murahan', kehadiran Teater Kanvas dengan "Penghuni Kapal Selam"-nya, seperti menjadi oase. Bahkan bagi orang awam yang tidak terlalu pilih-pilih hiburan. Kisah yang dilakonkan, sebagaimana ungkapan saya di atas, begitu penuh nutrisi, tentunya bagi jiwa. Ada nilai-nilai hidup yang tergali, ada ironi, ada pelajaran tentang makna sejati sebuah perjuangan. Sebuah tontonan seni sarat pesan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa 'kejujuran di atas segalanya'. 

Coba kita simak pada ending cerita. Abdul Ghafar, orang yang paling konsisten di penjara itu, dan tak pernah bergeming pada bujuk rayu sipir dan juru runding, adalah satu-satunya orang yang masih bisa bangkit meski tertatih-tatih, pasca penjara itu dirobohkan untuk mengubur hidup-hidup semua penghuninya. Nilai hidup yang bisa dipetik, perjuangan demi kebenaran tetaplah 'indah pada waktunya'.

Seorang mahasiswa saya, mahasiswa PPPG Unesa. menulis kesan di wall FB-nya setelah menonton pertunjukan itu: "kesabaran tidak pernah memiliki batas, ia bahkan lebih luas dari samudra." Seorang lagi berkomentar; "ia bangkit atas keteguhan imannya." Yang lain menullis: "pengen nonton lagi... Pesan moralnya bagus banget." Komentar lain, yang begitu apresiatif dan penuh harapan: "Bersyukur masih banyak komunitas yang mau membingkai nila-nilai ketuhanan, keilmuan, kepedulian, kritis, optimis, dan kesabaran dalam karya seni teatrikal. Semoga terus mengalir, menumbuhkan jiwa-jiwa positif di setiap tempat yang dialirinya,"

Zak, orang yang kebetulan saya kenal cukup baik sejak awal mula dia belajar teater, adalah orang yang total menjalani hidup yang menjadi pilihannya. Teater mungkin adalah jalan sunyi. Namun dia telah bertekad untuk terus bertahan di jalan sunyi itu, berjuang demi sebuah kecintaannya pada seni dan kehidupan. Hidup, menurutnya, haruslah memiliki tema. Banyak orang yang sudah menjadi pemimpin sekali pun, keberadaan mereka tidak membawa perubahan apa-apa sebab hidup mereka tanpa tema. 

Kedudukan tema, begitu menurut Zak, sama pentingnya dengan keindahan seni teater. Melalui ketajaman memilih tema dalam sebuah zaman, seorang sutradara bisa diukur visi dan misi kehidupannya. 

Dan Zak Sorga, telah menunjukkan kelasnya tersendiri dalam percaturan dunia seni di Tanah Air, karena visi dan misi kehidupannya itu.

Surabaya, 15 Desember 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 03 Desember 2014

Sumtim 1: Melaut Bersama 'Orang Gila'

Akhirnya kembali saya jejakkan kaki di tempat ini. Di sebuah desa bernama Katundu, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur. Mendung gelap menggantung di langit. Tidak ada gerimis, tidak ada hujan. Namun angin mengabarkan kalau sebentar lagi hujan akan turun. 

Kami berkemas. Mengeluarkan barang-barang dari mobil, barang-barang yang akan kami bawa menyeberang ke Salura. Buku, majalah Unesa, majalah Al-Falah, alat-alat mandi, nasi bungkus, kue-kue, dan perlengkapan pribadi kami. Membungkus semuanya dengan kantung plastik rapat-rapat. Termasuk membungkus semua gadget dan kamera. Menutup peluang air hujan atau air laut membasahi semuanya.

Saya sudah pernah mengalami pengalaman buruk sepulang dari Salura. Kamera pocket saya rusak. Lensa tidak bisa dibuka-tutup. Ada semacam pasir di sela-selanya. Itulah kenangan saat berlayar ke Salura. Di bawah guyuran gerimis yang rasanya asin, kamera saya terpapar air yang mengandung garam itu. Selesai sudah.

"Pak Heri, apa kita perlu pakai jas hujan?" Tanya saya pada Pak Heri, Kepala Sekolah SMP Satap Salura, sekolah yang akan kami kunjungi. Beliau menjemput kami, dengan membawa perahu yang disewanya bersama pemilik perahunya.

Laki-laki itu menatap ke atas, melihat ke langit, membaca cuaca.

"Sepertinya tidak, Ibu."
"Sepertinya?" Saya balik bertanya. Tidak yakin. Saya tetap mengambil jas hujan. Setidaknya, kalau pun hujan tidak turun, saya memerlukannya untuk melindungi tubuh saya dari terpaan ombak. 

Tapi tiba-tiba gerimis turun.
"Pak Heri, belum-belum sudah membohongi saya?"

Pak Heri tertawa. 
"ini hujan cuma lewat saja, Ibu." 

Begitu kami sudah mengenakan jas hujan, dan bersiap turun menuju perahu, tiba-tiba saya ingat sesuatu.
"Mana pelampung?"
Saifud, koordinator kabupaten peserta SM-3T Sumba Timur, menjawab. "Ada, Bunda. Di perahu. Kemarin saya sudah minta disiapkan. Ada sekitar 10 buah."

Kami bertujuh berjalan menuju perahu. Saya dan Mas Febri (staf PPPG), Mas Oscar (driver), dan empat orang peserta SM-3T: Saifud, Ade, Gangga, dan Bintang. Saifud berjalan mendahului kami, untuk memastikan keberadaan pelampung. Ketika kami hampir sampai di dekat perahu, Saifud memberi tahu, kalau ternyata pelampung tidak disiapkan. 

Mak deg. Saya keder.
"Bagaimana, Bunda?" Tanya Saifud. Wajahnya menggambarkan kekhawatiran kalau saya akan batal menyeberang karena tidak ada pelampung. "Kemarin saya sebenarnya sudah pesan supaya pelampung disiapkan, tetapi ternyata tidak ada satu pun, Bunda. Katanya terlambat menitipkan ke perahu."

Saya melempar pandangan ke Pak Heri yang sudah ada di dalam perahu. 

"Pak, nggak bawa pelampung?" Tanya saya.
Pak Heri menggeleng, "Tidak apa-apa, Ibu. Aman." Laki-laki asli Muncar, Banyuwangi itu tersenyum, meyakinkan. Tapi di mata saya, dia seperti sedang menyeringai. Bisa-bisanya tidak bawa pelampung? Ini Samudra Hindia. Menyeberang dengan perahu nelayan kecil lagi. Hadeh.

Saya jadi ingat saat di Waisai, Raja Ampat. Pagi hari, sekedar mengisi waktu, saya berjalan ke pantai. Menikmati semilir angin dan melihat laut. Gelombang cukup besar, dan saya lihat ada perahu-perahu nelayan yang tetap melaut. Menuju ke tengah samudra. Gila. Cari mati apa mereka? Kapal sekecil itu? Tanya saya. Tapi mereka benar-benar melaju. Membelah samudra luas. Saya memandanginya terus, sampai perahu itu berubah jadi titik kecil yang akhirnya juga hilang, tak terlihat. 

Dan saat ini, saya menjadi bagian dari kegilaan itu. Mengarungi Samudra Hindia, dengan perahu nelayan. Tanpa pelampung. Kalau terjadi apa-apa, entahlah. Saya bayangkan, kalau masih pakai pelampung, setidaknya saya masih bisa kampul-kampul... 

Di Jawa, perahu kecil itu biasa disebut jukung. Di Salura, disebut perahu cumi, karena fungsi utamanya untuk mencari cumi.

Tentu saja saya tidak mungkin mundur. Langkah maju sudah diambil, tak akan surut. Ini bukan masalah malu. Tapi perjalanan sejauh ini, sejak dari Surabaya sehari sebelumnya, dilanjutkan dengan enam jam dari Waingapu pagi tadi, terlalu berharga untuk diabaikan, hanya karena tidak ada pelampung. Lihatlah wajah-wajah itu. Penuh optimisme. Bahkan anak kecil yang tak berbaju itu. Juga seorang mama berkerudung. Mereka tak ada rasa gentar sedikit pun meski tidak pakai pelampung. Tapi....ya, ini memang dunia mereka. Mereka sudah terlahir di sini, dengan kondisi alam yang telah selama hidup mereka akrabi. Sedangkan saya? Oh Tuhan....

Saya mengumpulkan kekuatan. Menceburkan kaki ke laut. Melompat masuk perahu dengan penuh keyakinan. Duduk di bagian belakang, berdampingan dengan Ade, gadis peserta SM-3T yang turut mendampingi kami sejak dari Waingapu. Di depan saya, duduk berhimpitan Mas Oscar dan Saifud. Di depan lagi, anak laki-laki belasan tahun, duduk berdampingan dengan Kakak Arni, perawat di Puskesmas Pembantu di Salura. Di depannya lagi, dua orang tukang perahu. Di depannya lagi, entah siapa, mungkin penumpang kapal. Hari ini adalah hari pasar di Katundu, sehingga ada beberapa penumpang lain selain kami, dengan tujuan Salura. Di depan lagi, Gangga dan Bintang. Pak Heri duduk sendirian persis di belakang saya dan Ade.

Perahu ini langsing sekali. Bila dua orang duduk berdampingan, tidak ada lgi space di samping kanan-kiri, pas untuk berdua. Perahu sekecil ini, ditumpangi tiga belas orang. Benar-benar gila. Entah ini berani atau konyol, atau keduanya. Setidaknya saya jadi semakin percaya dengan lagu lama itu. Nenek moyangku....seorang pelaut... 

Perahu pun melaju. Saya tahu, kami membutuhkan waktu sekitar satu jam seperempat untuk sampai di Salura. Ini penyeberangan kedua bagi saya. Penyeberangan pertama dulu juga dalam rangka monev SM-3T seperti sekarang ini. Namun, sebagaimana setahun yang lalu, menit demi menit seperti berjalan begitu lambat. Perahu seolah tidak bergerak. Meski begitu, laut yang hitam, sehitam mendung yang menggayut di langit, dan puncak-puncak bukit yang tersamarkan oleh kabut tebal, tak membuat hati saya ciut. Malah justeru pasrah. Menyerahkan keselamatan diri sepenuhnya pada perlindunga-Nya. Saya sudah sering mengalami situasi semacam ini. Kepasrahan total ternyata memberikan ketenangan. Ya, apa saja bisa terjadi memang. Tapi saya yakin, Allah akan melindungi perjalanan kami.

Saat mencapai separo perjalanan, hujan turun dengan deras. Sebagian dari kami menggigil kedinginan. Kilat menyambar-nyambar. Tapi dua orang tukang perahu itu hanya menggeleng-nggelengkan kepala, sambil tersenyum. Sesekali mereka melihat ke langit, menerka cuaca. Menggeleng-gelengkan kepala lagi. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Saya hanya berdoa, semoga hanya hujan saja. Sederas apa pun, semoga hanya hujan saja, tanpa disertai badai.

"Ini benar-benar hujan lewat." Kata Pak Heri, menyadari kesalahan prediksinya tadi. Ya, hujan deras yang lewat, namun terus singgah. Singgahnya lama lagi. Hidung saya semakin mampet. Saya memang sedang flu, dan paparan air hujan asin yang terus-menerus menerpa wajah saya benar-benar membuat saya seperti kehilangan lubang hidung.

Tak berapa lama, mesin di bagian kanan perahu tiba-tiba mati.
"Oli, oli." Teriak pak Heri.
Tukang perahu mencari oli. Di bawah kaki-kaki para penumpangnya. Ternyata ketemu di bawah kaki saya. Subhanallah. Ternyata saya benar-benar melaut bersama orang-orang gila. Oli yag begitu pentingnya saja sembarangan meletakkannya. 

Setelah pada bagian-bagian tertentu mesin perahu itu dituangi oli, perahu berjalan lagi. Normal. Karena hujan tak juga mereda, mesin bagian kanan depan ditutup plastik. Sedangkan mesin di sebelah kiri, tidak ditutup, tapi Pak Heri mengungkitnya dengan menggunakan dayung. Rupanya permukaan air yang menaik, menyebabkan mesin terlalu dekat dengan air, dan harus diungkit supaya tidak bersentuhan dengan air laut. 

Akhirnya nampaklah garis pantai dari kejauhan. Pasirnya yang putih terlihat muncul tenggelam, seirama dengan goyangan perahu yang diterpa ombak. Warna kelabu yang menutup permukaan pulau menandakan kalau pantai masih jauh. Air laut, sejauh mata memandang, masih tetap hitam legam, tanda laut dalam. Warna hijau kebiruan tak juga terlihat.

Sampai akhirnya tibalah saat yang kami tunggu. Air laut berangsur berubah menjadi biru, lantas hijau. Dasar laut yang putih nampak meski samar. Pasir putih di depan sana semakin dekat, dan pulau yang berkabut itu sudah mulai terlihat konturnya, pohon-pohonnya, lekukan garis pantainya. 

Di daratan, sekelompok orang sudah menunggu. Salah satu di antaranya adalah Wahyudi, guru SM-3T dari Prodi Pendidikan Fisika, yang bertugas di SMP Satap Salura. Dia datang bersama anak muridnya, lengkap dengan gerobak yang akan mengangkut bagasi kami.

Alhamdulilah, Ya Allah. Kau lindungi kami semua dalam perjalanan ini. 

Salura, akhirnya...

Salura, 2 Desember 2014

Wassalam,
LN