Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 12 Juni 2015

Surat Dari Rheza

Untuk Prof. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd

Ass.Wr.Wb

Mbak Ellla, bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan juga selalu dalam lindungan Allah. Ini surat saya yang ketiga kalinya. Mbak Ella pasti sudah mendengar kabar duka dari SM3T MBD. Kemarin sempat ke Ambon dngan Pak Rahman ya Mbak? Sebenarnya kemarin waktu Pak Heru dan rekan ke Tiakur (MBD) saya ingin menulis surat untuk dititipkan. Akan tetapi saat itu kami sedang dalam keadaan berduka cita. Jangankan untuk menulis surat, menatap warga yang berdatangan saja kami enggan.

Pak Heru dan keluarga Mas Is pasti sudah sampai di Jawa kan Mbak? Saya mau titip salam untuk Pak Heru. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Heru karena telah bersedia datang dan merawat/berpartisipasi dalam acara pemakaman.

Saya juga ingin meminta maaf kepada Pak Heru karena waktu beliau ke Sermata, saya dan ketiga rekan yang lain tidak bisa berangkat. Saya dan Nafida  (yang bertugas di Luang Timur) kebetulan baru saja rehat dari sakit. Kami masih lemah. Apalagi saat itu sudah masuk musim timur. Gelombangnya mulai datang meski tak sebesar musim barat.

Kemudian Mbak Nisa dan Eti (yang bertugas di Rumkisar, saat itu sudah move ke Luang Barat karena mendengar kabar Pak Heru turun ke Luang) juga tidak bisa hadir. Mereka berdua khawatir tidak bisa pulang ke Rumkisar jika berada di Mahaleta (pulau Sermata). Karena di Mahaleta, bodi (motor laut) tidak sebanyak di Pulau Luang.

Mbak, kami yang ada di sini merasa sangat terpukul dan kehilangan dengan adanya musibah tersebut. Kejadiannya tepat pada saat saya turun dari Kapal Sabuk Nusantara 43 dari Ambon. Saat itu sekitar pukul 01.00 dini hari, saat meti kering (air surut) dan mulai naik lagi. Malam itu tak ada bulan dan tepat penghabisan angin musim barat. Saat itu memang ada arus laut karena sedang mulai pasang dari surut. Bodi yang saya tumpangi saja orang-orangnya ikut heboh waktu ada arus dan gelombang besar di depan. Untungnya bodi sempat belok, berputar dan berbalik arah menghindari serangan arus. Saya terus membaca syahadat, sementara orang-orang di sekitar saya terus menyebut nama Yesus. Tidak pernah saya setakut itu sebelumnya ketika naik bodi. Ternyata ketakutan saya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kecelakaan yang dialami oleh bodi Luang Barat  (di dalamnya ada Renzi dan Mas Is) yang hendak menuju kapal beberapa jam yang lalu.

Untungnya bodi yang saya tumpangi bisa sampai di Pulau Luang dengan selamat sekitar pukul 03.00 dini hari. Namun kabar tentang musibah itu baru kita dengar pagi hari sekitar pukul 07.00 WIT. Awalnya kami tidak percaya karena penyampai berita adalah murid SMP. Tapi ketika banyak warga berdatangan dan guru SMP rekan saya yang bertempat tinggal di Luang Barat menceritakan sendiri kejadiannya, barulah kami syok. Apalagi waktu beliau menyatakan kami diminta pasrah saja karena sudah semalam Mas Is belum ditemukan.

Kami bergegas berjalan ke Luang Barat dengan hati yang entah bagaimana. Apalagi saat melihat orang-orang yang melihat kami dengan tatapan prihatin. Sepanjang perjalanan dari Luang Timur, hingga mendaki dan menuruni bukit sampai rumah Mama Weli (mama piara dari teman kami di Luang Barat), rasanya seluruh Pulau Luang sedang berduka. Entah kenapa saat itu perasaan saya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi kami berempat (saya, Nafida, Arga dan Mas Taufik) terus berharap semoga Mas Is bisa ditemukan dengan selamat.

Sampai di rumah Renzi, Kami melihat tatapan mata merah dan berair dari Renzi dan Mama Weli. Dari Renzi kami bisa mendengar lengkap peristiwa detik terakhir sebelum terpisah dari almarhum. Ternyata bodi dari Luang Barat berangkat sekitar pukul 21.00 WIT. Bodinya adalah jolor (bodi kecil memanjang) yang seharusnya tak boleh berisi banyak orang (maksimal delapan orang tanpa barang bawaan).Tapi saat itu karena hanya ada satu bodi yang berangkat (karena meti surut dan banyak bodi yang kandas di pantai), jadinya bodi tersebut kelebihan muatan. Ada yang bilang, muatannya tiga belas orang, ada yang bilang empat belas orang. Belum lagi barang bawaan yang banyak sebagai bekal untuk berlayar jauh.

Ada yang bawa ikan, teteruga (penyu) dan agar-agar kering serta tas-tas besar. Sebenarnya  pemilik kapal sudah menolak, akan tetapi orang-orang tetap memaksa. Sampai di kepala meti (perbatasan laut dangkal dan laut dalam) gelombang besar mulai datang. Kemudian ombak besar masuk ke bodi saat bodi berusaha menghindari gelombang menuju pulau terdekat (berbalik arah). Kata Renzi, saat itu semua orang berteriak ‘loncat’. Akhirnya karena panik banyak orang yang meloncat. Herannya kenapa mereka tidak memilih membuang barang- barang bawaan dan menguras bodi. Justeru manusianya yang disuruh loncat. Renzi meloncatnya belakangan, Mbak. Bahkan dia sempat melihat Mas Is loncat dan terapung, serta melihat air perlahan-lahan masuk bodi. Barulah Renzi loncat waktu air mulai penuh.

Saat Renzi loncat itulah, Mas Is langsung berenang ke arah dia dan berpegangan pada Renzi. Tapi karena panik, akhirnya Mas Is yang mendorong- dorong Renzi ke bawah hingga Renzi tidak bisa bernafas. Renzi sempat bilang ‘sabar’ kepada Mas Is, tapi Mas Is tetap panik. Akhirnya Renzi berusaha melepaskan diri untuk mengambil nafas. Renzi berniat menolong Mas Is, tapi gelombang besar setinggi tiga meter memisahkan mereka berdua. Setelah Renzi membuka mata, semuanya gelap. Renzi tidak tahu Mas Is ada di mana. Yang terdengar hanya suara teriakan minta tolong dari orang-orang. Renzi juga teriak minta tolong, memanggil-manggil bapak, ibu, mama dan papa piaranya. Beruntung sekali dia bisa mengapung dan mengambil nafas. Dia sudah hampir menyerah saat itu, tapi untungnya kakinya menyentuh pasir hingga dia bisa berdiri dan bernafas karena air hanya setinggi dada. Tapi di sekitarnya, laut sudah dalam sekali. Renzi adalah korban hidup yang terakhir ditemukan. Saya yakin ini adalah mukjizat dari Allah. Begitu Renzi naik ke kapal, yang keluar dari mulutnya adalah menanyakan di mana Mas Is. Sayangnya, orang-orang tidak mendapatkannya, begitu juga dengan dua orang penumpang yang lain.

Dua orang korban mayatnya ditemukan pada pagi harinya pada jam yang berbeda. Dalam pencarian itu, kabar salah datang tiga kali yang menyatakan bahwa pak guru sudah ditemukan. Tiga kali kami merasa lemas dan sedih karena ternyata kabar itu tidak benar. Pencarian terus berlanjut hingga hari Rabu (kejadiannya Selasa dini hari), Kamis, hingga Jumat. Sebelumnya orang-orang hanya menemukan sandal sebelah dan celana pendek yang dikenakan Mas Is.

Mbak, selama pencarian beberapa dari kami ikut. Saat itu ada empat orang dari Sermata yang sempat datang ke Luang. Pada hari terakhir (hari Jumat) semua dari kami ikut mencari bersama warga. Saat itu saya merasa sedih dan berduka. Tetapi di sisi lain saya terharu dengan bantuan warga di sini yang dengan ikhlas membantu. Bersama-sama mereka menyisir meti mulai tempat kejadian hingga kepala meti. Tiada lelahnya mereka menyelam dan timbul lagi untuk mencari jenazah. Bahkan pada hari Jumat pukul 00.00 WIT, mereka menggelar doa bersama di gereja. Kami juga ikut menghadiri. Bapak Pice (papa piara Renzi dan Mas Is) terlihat sangat terpukul dan  menyesal tidak ikut mengantar ke kapal. Beliau yang paling gigih mencari dari pagi sampai sore, hingga malam hari. Mbak, sungguh besar jasa dan kebaikan orang Luang ini. Kita yang baru beberapa bulan di sini sudah mendapat perhatian yang luar biasa dari mereka. Mereka sangat peduli kepada kita, padahal kita hanya guru kontrak yang berbeda agama dan suku bangsa dan baru tinggal beberapa bulan. Saya sampai menangis membayangkan kebaikan mereka.

Bahkan pada hari Kamis, yang saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya Mas Is, Mama Weli (mama piaranya Mas Is), membuatkan kue untuk ulang tahun sesuai pesanannya Mas Is. Pada saat pencarian hari terakhir Mama Weli ikut mencari, ikut naik bodi sambil mengenakan topi Mas Is. Bapak Pice dan Mama Weli duduk dalam satu bodi. Dari wajah mereka terlihat sekali gurat cemas dan sesal. Bapak Pice malah kemana-mana selalu membawa selimut yang dilipat rapi dalam tas plastik hitam. Saya ikut sedih melihat kesedihan dan sesal mereka berdua, Mbak.

Hari Jumat adalah saat terakhir kami mencari jenazah, apapun yang terjadi. Semua bodi berangkat sekitar pukul 07.00 WIT (di sini pukul 06.00 matahari baru terbit). Kami bersembilan masing-masing dipencar di bodi yang berbeda, kecuali yang perempuan, satu bodi selalu berisi dua orang perempuan guru SM-3T. Sebelum berangkat kami semua berdoa di dermaga (dermaga bodi, bukan dermaga kapal). Seusai berdoa, mata saya tiba-tiba menatap bangkai anjing yang terapung di dekat dermaga. Bangkainya sudah menggembung. Tiba-tiba saya kepikiran, bagaimana kondisi Mas Is pada saat ditemukan nanti. Orang-orang Luang yang kemarin sudah mulai putus asa bilang, ‘’biar cuma tangan atau kakinya yang penting kita bisa menemukan jasadnya." Saat saya mendengar percakapan mereka, rasanya sedih sekali. Tapi ternyata Mama Weli juga mengamini hal itu.

Mbak, pada Kamis malam, kami sempat berdoa bersama. Saya pun sempat shalat istikharah dan meminta petunjuk. Tapi hati saya terasa ciut ternyata, Mbak. Saya nggak berani menerima petunjuk sehingga setelah mengaji saya tidak bisa tidur. Setiap mata akan terpejam dan masuk dalam mimpi, saya sudah bangun dan gelagapan. Begitu terjadi berulang kali hingga pukul 03.00 WIT. Barulah saya pindah tempat  tidur (saat itu saya tidur di kamar Mas Is ), ke ruang tengah bersama dengan orang-orang lain, dan saya baru bisa tidur.

Sekitar setengah jam kemudian bodi berangkat. Ada berbagai macam rasa di dalam hati ini, Mbak. antara harap-harap cemas agar bisa ketemu, sedih karena masih belum ketemu, dan terharu melihat bodi-bodi berjalan berjajar di depan dan belakang, di samping-samping, bersama-sama menyisir laut. Saya hanya bisa meneteskan air mata melihat semua itu. Bodi menuju Uparui (Pulau Ikan, pulau kecil dekat Luang Barat). Saya teringat waktu piknik ke Uparui bersama Renzi, Mas Is, dan Wahyu. Kami sempat berfoto bersama. Saya bercerita ke Mbak Nisa (yang saat itu satu bodi dengan saya) saat-saat piknik itu sambil terus bersedih.

Meti yang kita sisir cukup panjang. Selama perjalanan saya berusaha menghilangkan kesedihan dengan terus bercerita tentang keindahan meti di Luang. Sementara Mbak Nisa menceritakan pantai Rumkisar yang ombaknya besar sehingga dia tak pernah berani belajar berenang di sana. 

Perjalanan kami menuju Pulau Kelapa, pulau dimana orang-orang menemukan bau yang sangat menyengat yang merupakan bau bangkai, tapi bukan bangkai hewan. Lalat juga banyak dan ada di mana-mana. Tapi tak seorang pun bisa menemukan apa pun karena lokasi baunya berpindah-pindah.

Ternyata bodi kami adalah bodi terakhir yang sampai di Pulau Kelapa. Sementara bodi-bodi yang lain sudah berangkat karena bau sudah tidak ada lagi. Saat itu matahari mulai naik, tapi orang-orang di bodi kami tetap memutuskan untuk turun dan menyisir. Di sisi pantai terdapat batu karang cadas yang di atasnya ditumbuhi semak-semak. Setiap kali ada celah kami melihat dan mencari-cari dengan teliti, tapi kami tak menemukan apa pun. Kami terus berjalan sampai kami bertemu dengan Arga dan Tomi. Kami saling bercerita dan bertanya sambil terus menyisir, tapi kami tak menemukan apa pun.

Sampai pada suatu sisi saya terduduk di tepi pantai. Bukan karena kelelahan, tapi karena saya merasa mulai putus asa. Saat itu rasanya saya kecil sekali di alam semesta ini. Rasanya saya bagaikan setitik debu dibandingkan luasnya lautan yang menghampar. Dalam otak saya, logika saya berkata, ’’tidak mungkin pencarian seperti ini berhasil,’’ tetapi dalam hati saya berkata, ‘’kecuali jika Allah memberikan mukjizat-Nya!’’

Sampai pada suatu tempat, di suatu celah, Arga, Tomi, dan Mbak Nisa mencium bau yang cukup kuat. Saya sendiri tidak mencium bau apa-apa. Tapi kami terus menyisir hingga sampai ke atas batu. Di pasir (di atas batu) ada beberapa orang yang ikut mencari dan mencakar-cakar tanah dengan tongkat. Arga berkata dia menemukan anjing yang berlari. kami sempat mencari anjing itu, tapi anjing tiba-tiba menghilang. 

Akhirnya semua orang pergi, tinggallah kami berempat dan seorang kakak laki-laki. Kakak tersebut dan juga saya sendiri mendengar suara halus yang jelas tetapi kecil sekali dan tidak kami ketahui artinya.

Kami terus berjalan dan sesekali melongok dan mencari-cari jika bau muncul. Kami sudah berjalan cukup jauh waktu kakak tadi (yang mendengar suara dengan saya) meyakinkan kami untuk kembali ke tempat semula. Akhirnya dengan ditemani Om Jawa (keturunan dari pernikahan campuran orang Jawa dan orang Luang ), kami kembali ke tempat tersebut. Tetapi waktu kami sampai di sana, bau sudah hilang dan tak ada suara-suara lagi. Kami yang sudah putus asa kembali terduduk di batu karang. Empat botol air minum yang kami bawa sudah habis. Dari pagi kita belum makan dan matahari mulai tinggi. Perut kami terasa mulai lapar dan kami tak membawa  makanan apa pun.

Akhirnya kami tinggal duduk dan bercerita tentang Mas Is. Om Jawa ternyata cukup dekat dengan Mas Is karena sering mengikat agar-agar bersama. Kami masih sempat tertawa bersama ketika orang-orang mengabarkan bahwa bodi yang kami tumpangi tadi sudah pulang lebih dulu ketika meti mulai surut. Saat itu kami tak merasa kecewa atau marah. Bersama Om Jawa kami memutuskan menuju kebun kelapa terdekat untuk mendapat air kelapa dan kelapa muda untuk mengisi perut. Jarak kebun kelapa dengan tempat kami duduk sejauh perjalanan dari Unesa Ketintang ke Royal Plaza.

Saat itu mungkin matahari sudah tepat di atas kepala. Tomi sudah mulai tak bersemangat. Dia berkata, ’’sepertinya semakin kita mencari, semakin kita tak menemukannya. Jadi lebih baik kita anggap ini perjalanan piknik saja.’’ Saya menambahkan, ’’seperti sinetron, kalau sutradaranya belum mengijinkan pemeran utamanya bertemu, seberapa jauh tegangnya menonton film itu.’’

‘’Tapi, Rek !’’ Saya menambahkan. ’’Sehabis shalat istikharah kemarin saya buka ayat Alquran secara acak lalu saya menemukan suatu ayat yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Daud As. Dari situ saya berpikir hanya mukjizat Allah yang bisa mempertemukan kita dengan Mas Is.’’

‘’Ya mudah-mudahan,’’ jawab teman-teman.

Sesampainya di kebun kelapa kami memperoleh sebutir kelapa dan meminum airnya. Daging kelapa yang sudah mulai tua tetap saja saya makan karena perut saya mulai melilit. Selepas makan kelapa, Tomi dan Mbak Nisa tertidur, sementara saya dan Arga mengobrol dengan penduduk sekitar. Saat air meti mulai naik ada satu bodi besar yang menjemput kami berempat dan orang-orang yang tertinggal, termasuk Kapolsek Lelang, Kepsek SMP Limarna Luang Barat, syahbandar Luang-Sermata, dan Om Jawa, serta beberapa orang lain. Dengan bodi ‘Ganesis’ (nama bodi tersebut) kami melanjutkan pencarian. Matahari masih di atas kepala, laut terlihat sangat indah tapi hati kami sedang murung.

Bodi masih menyisir Pulau Kelapa. Kali ini di dalam bodi ada Arga dan Tomi. Meskipun hati kami murung pulau-pulau penyusun gerbang tetap terlihat indah. Namun tetap saja kami tak bisa menikmati keindahannya dengan suasana duka seperti ini. Kami terus menyisir hingga ujung pulau. Bodi bergerak menuju laut dalam meninggalkan meti.

Di perbatasan meti, arus kuat menerjang bodi. Dalam hati saya terus berdoa supaya kami selamat. Kami juga terus berharap dalam hati masing-masing supaya pencarian ini segera berakhir. Dalam hati saya berkata, ’’Ya Allah, bagaimanapun kondisinya saya siap untuk menemukannya, daripada tidak ada yang bisa kami temukan.’’

Ternyata di balik Pulau Kelapa ada celah kecil, ada satu pulau lagi. Bodi bergerak ke sana. Di sana arusnya sangat tenang. Lautnya berwarna biru muda menawan. Saya terus melihat ke celah sebelah kanan, tetapi saya tak menemukan apa pun. Hampir tiga puluh menit berlalu, ketika tiba-tiba saya mendengar, "Astaghfirullohaldzim, itu apa?’’ "Rapat-rapat!’’ " Yesus ’e’’. Saya segera melempar pandangan ke arah orang-orang memandang. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat sosok tubuh yang sudah mengapung dengan posisi tengkurap, kedua tangan dan kaki terbuka. Kulit luarnya sudah terkoyak, tinggal kulit dalam yang berwarna putih pucat. Yang membuat kami yakin itu Mas Is adalah jaket SM-3T hitamnya yang terpasang rapat tak koyak atau sobek sedikit pun. Laa haula wala quwwata illaa billah. Innalillahi wa inna illaihi roojiun.

Bersambung....

Minggu, 07 Juni 2015

Surat Untuk Rheza di MBD

Assalamualaikum, Rheza. Semoga kamu dan kawan-kawan selalu dalam keadaan sehat dan tetap bersemangat dalam mendampingi anak-anak didik kalian. Semoga kalian selalu menjadi sosok-sosok yang mereka rindukan.

Rheza, ini adalah kali ke sekian saya mencoba menulis untukmu. Mencoba membalas suratmu yang saya terima lebih dari sebulan yang lalu. Beberapa kali saya coba menulis, mata saya selalu kabur dipenuhi air mata dan saya tidak kuasa melanjutkan. Suratmu telah membawa saya pada situasi yang bercampur-aduk, antara bangga, sedih, merasa bersalah, dan mungkin juga trauma.

Terbayang semuanya, bagaimana rasa kehilangan kamu dan kawan-kawan karena kepergian Isnaeni. Upaya kalian untuk menemukan seorang sahabat seperjuangan yang hilang di keluasan samudera, begitu jelas tergambar di pelupuk mata. Kalian menyisiri tempat-tempat yang memberi harapan akan keberadaannya, apa pun yang terjadi. Kalian bertekad untuk menemukannya, dalam keadaan hidup atau mati. Dalam kondisi lelah fisik dan mental, kalian terus mencari, dengan hati yang hancur namun penuh harap.

Rheza, seringkali saya bertanya-tanya, sudah benarkan kami menugaskan kalian ke tempat-tempat terpencil yang penuh dengan tantangan itu? Sudah tepatkah keputusan kami memilih anak-anak muda yang kami nilai mampu mengabdi di daerah-daerah tersebut? Tidakkah itu terlalu berat bagi mereka? Tidakkah itu merupakan beban yang berlebihan bagi pundak-pundak muda mereka?

Termasuk keputusan kami untuk menugaskan kamu ke Maluku Barat Daya (MBD), ke sebuah pulau terpencil bernama Mdona Hyera. Saya melihat kamu adalah sosok yang kuat, bertahun-tahun tertempa dalam organisasi pecinta alam yang memberimu pengalaman berat secara fisik dan mental. Kamu pasti bisa menghadapi rintangan seberat apa pun. Saya yakin kamu mampu menghadapinya. Dan keyakinan saya itu benar. Kamu berjuang dengan segala yang kamu punya, dengan segala tenaga dan pikiran kamu, untuk mendidik anak-anak murid kamu. Kamu berjuang mengatasi semua rintangan yang datang dari segala penjuru, berupa sakit, minimnya dukungan masyarakat, dan juga rasa rindumu pada kampung halaman. Kamu terus berjuang meski dengan hati yang diliputi kesedihan dan ketakutan. Kamu tetap tegar meski air mata tumpah karena kepedihan demi kepedihan yang terus-menerus bergantian menerpamu. 

Puncaknya adalah saat musibah itu terjadi menimpa Isnaeni. Tahukah kamu, Rheza, sampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang suara Wahyu Puspita yang menelepon dari Tiakur mengabarkan musibah itu. Tangisnya menyiratkan betapa sedih dan hancur hatinya. Juga suara parau ayahanda Isnaeni, Bapak Ali Mashar, saat saya mengabarkan bahwa Isaneni tenggelam dan sedang dalam pencarian. Di antara riuh-rendah suara anak-anak muridnya, beliau mendengarkan penjelasan saya, dan dengan suaranya yang tertahan-tahan karena kesedihan, beliau menanyakan bagaimana kejadian musibah itu. Juga mengamini, saat saya melantunkan doa, semoga Isnaeni segera ditemukan dalam keadaan selamat.

Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti paham betul, program SM-3T ini adalah program yang sangat berisiko. Medan yang begitu berat, budaya masyarakat yang masih sangat tradisional, malaria yang mengancam tak kenal waktu, dan kerinduan yang tak tertanggungkan pada kampung halaman. Sepanjang pengalaman saya mendampingi program ini, malaria adalah makanan wajib bagi kalian. Kalian jatuh bangun karena penyakit endemik ini, bahkan nyaris kehilangan nyawa karenanya. Penyakit ini membuntuti kalian ke mana pun kalian pergi. Menunggu kalian di setiap sudut mana pun yang kalian jangkau. Menggerogoti fisik dan mental kalian, membuat kalian nyaris putus asa. 

Namun semangat untuk berjuang dan mengabdi itu seperti menjadi nyawa cadangan kalian, yang membuat kalian tetap bisa bertahan hidup. Suara anak didik yang memanggil-manggil kalian dengan sebutan 'pak guru' dan 'bu guru' adalah suara dari surga yang membangkitkan asa dan menyalakan api perjuangan kalian. Dalam kondisi antara hidup dan mati, kalian dibawa melintasi bukit dan menembus belantara serta menyeberangi samudera, mencari pertolongan untuk menyelamatkan nyawa kalian. Hanya api perjuangan itulah, yang terus dihembuskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa di dalam relung-relung hati dan mengaliri darah di seluruh tubuh kalian, yang membuat kalian selalu hidup, dan bersedia selalu ada untuk anak-anak itu.  

Tidak hanya malaria. Swanggi, nai, dan banyak hal magis lain, juga melolosi sedikit demi sedikit kekuatan kalian. Tiba-tiba saja sekujur tubuh kalian terpapar sakit yang tak jelas namanya, sakit yang merusak kulit, menyakiti perut, membuat kepala kalian berat, tubuh lemas, bahkan merusak jiwa dan pikiran kalian. Kadangkala darah keluar dari mulut dan hidung, tak henti-henti, dan tak ada ahli medis mana pun yang bisa menghentikannya. Akhirnya  kalian harus dievakuasi dan diberi perlakuan khusus untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental kalian. 

Astaghfirullah. Saya seringkali hanya bisa terpekur dengan semua yang terjadi, merasa prihatin, berdosa, dan trauma. Saya hanyalah seorang ibu, yang tidak tahan saat mendengar kepedihan dan ketakutan anak-anaknya, lebih-lebih karena saya juga mengambil peran dalam semua kepedihan dan ketakutan kalian. Saya hanya bisa menyapa kalian dengan doa-doa saya, menghibur kalian dengan kata-kata manis saya, dan menyemangati kalian dengan keyakinan penuh bahwa kalian akan cepat pulih dan semuanya akan kembali baik-baik saja. 

Ternyata tidak sampai di situ. Tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Isnaeni tenggelam saat menumpang perahu yang akan membawanya menunaikan tugas. Empat hari kemudian jenazahnya baru ditemukan. Ya Allah, maafkan hamba-Mu. Sayalah yang paling bersalah dalam musibah ini. Sayalah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Saya yakini semua musibah semata-mata karena takdir-Mu. Namun, Ya Allah, sayalah yang mengambil keputusan ke mana saya harus menugaskan mereka. Adakah keputusan yang saya ambil ini atas bimbingan-Mu, Tuhan? Bila demikian, maka bimbinglah juga mereka selalu dalam lindungan-Mu, jauhkan mereka dari penyakit dan segala marabahaya. Izinkan mereka kembali pulang, tetap dengan seutuhnya kesehatan dan kekuatan mereka, dan bertemu kembali dengan keluarga dan kampung halaman.

Rheza, jujur, benak saya dipenuhi rasa bersalah. Dalam sisa ketegaran yang saya punya, saya berusaha untuk menghibur diri sendiri. Program ini adalah program mulia. Ada jiwa-jiwa kecil yang memerlukan uluran tangan kita. Kalianlah yang mereka tunggu. Pak Guru dan Ibu Guru yang mengajar dengan hati. Yang tak pernah menampakkan raut muka marah di wajahnya. Yang tak pernah membawa rotan di tangannya. Yang selalu ada untuk mendengar cerita dan keluh-kesah mereka. Yang merangkul tubuh-tubuh kecil dekil itu dengan sepenuh cinta. Dan selalu meyemaikan cita-cita dan masa depan yang indah.

Program ini merupakan harapan kita. Tidak hanya untuk mengatasi kekurangan guru dan disparitas pembangunan pendidikan di republik yang luas ini. Namun juga untuk membangun ke-Indonesiaan. Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti sudah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, betapa anak-anak dan masyarakat di wilayah-wilayah 3T itu begitu rindu akan sentuhan, haus akan sapaan. Mereka juga menghadapi ancaman disintegrasi dan seringkali berada dalam situasi  tertekan karena kondisi keamanan yang parah. 

Dan kalian, adalah para pendamai bagi mereka. Duta NKRI. Kalian adalah bukti bahwa sesungguhnya NKRI tidak melupakan mereka. Ya, kalianlah buktinya. Kalian datang untuk menyapa dan memberi sentuhan. Mengetuk hati setiap jiwa yang kosong, mengisinya penuh-penuh dengan semangat hidup dan keceriaan. Kalian seperti pelita yang menyala menerangi kegelapan yang telah bertahun-tahun melingkupi mereka. 

Seperti itu, tegakah kita mengabaikannya? Tegakah kita menutup mata dan tak memerdulikannya? Seringkali kita jengkel dengan sambutan pejabat pemerintah daerah yang tidak simpatik, jengkel pada sikap tak kooperatif guru-guru asli daerah setempat. Namun teriakan anak-anak itu seperti memanggil-manggil kita untuk mendekat dan memeluk mereka. 

Jadilah kita semua berada di sini, berkomitmen pada program ini. Apa pun yang terjadi, kita harus turun. Menjejakkan kaki di tanah-tanah terdepan dan terluar itu, meski nyawa taruhannya. Isnaeni bukanlah yang pertama merelakan hidupnya untuk program ini. Ada nama-nama lain yang telah mendahului. Dan mereka semua gugur sebagai pahlawan, sebagai syuhada. 

Meski kesedihan kita begitu berat, namun kita sudah bertekad, perjuangan harus terus berlanjut. Tak ada kata mundur. Isnaeni dan semua yang telah pergi akan berbangga karena kita tetap melanjutkan perjuangan mereka. 

Rheza, saya bersyukur, kamu dan kawan-kawan seperjuanganmu begitu kuat, begitu tegar. Kalian mengendapkan keraguan dan rasa bersalah saya. Kalian menghapus kepedihan dan trauma di hati saya. Bersama kalian, saya yakin, kita akan kuat menghadapi segalanya. 

Saya juga bersyukur, Rheza, kamu bisa bertahan untuk tetap tidak mau terlibat dalam kecurangan UN. Meski kepala sekolah mempersoalkan keteguhanmu untuk tidak mau membuat jawaban soal-soal UN, dan guru-guru menyindirmu dengan sindiran-sindiran pedas, kamu bergeming. Hebat, Rheza, kamu hebat. Tidak banyak anak muda yang setegar kamu dalam urusan UN. Saya bangga dan sangat respek padamu.  

Demikianlah, Rheza, maka telah kubalas suratmu. Lega rasanya bisa menuntaskan ini. Terima kasih sudah menjadi bagian dari program pengabdian ini. Terima kasih untuk kalian semua yang punya jiwa keterpanggilan dan kesepenuh hatian untuk melayani. Kalian adalah mutiara indah yang dimiliki negeri ini. Teruslah bersinar dan teruslah menyinari. 

Rheza, salam hangat dan rinduku untukmu dan untuk kalian semua. Tiga bulan lagi kita bertemu, semoga kalian semua baik-baik saja. Tetap dengan semangat mengabdi dan memelihara cita-cita kalian sebagai guru. 

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan meridhoi setiap langkah kita. Amin YRA.

Salam hangat,
Mbak Ella

Bidakara Hotel, Jakarta, 4 Juni 2015