Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 25 Juli 2015

Lebaran, Pernikahan Perak Kami

Idul Fitri selalu istimewa. Bagi siapa saja. Bagi tua-muda, miskin-kaya, pria-wanita. Anak-anak kecil menyambut idul fitri dengan sangat suka cita. Ada baju baru, kue-kue, dan uang baru. Orang-orang tua juga menyambut lebaran dengan sangat suka cita, menyiapkan kupat sayur, lontong cap gomeh, kue-kue, dan uang baru untuk dibagi-bagikan. Bahkan kaum dzuafa pun menyambut idul fitri dengan sangat suka cita, karena sangat mungkin mereka akan mendapatkan santunan sembako, kue-kue, baju, sarung, dan uang. Dan yang lebih penting, idul fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam, setelah mereka berpuasa sebulan penuh selama bulan Ramadhan. Hari di mana kita kembali fitri, suci bersih, seperti bayi yang baru lahir. Begitulah insyaallah, bila selama bulan Ramadhan kita beribadah dengan penuh keikhlasan dan semata-mata hanya mengharap ridha Allah Swt. 

Idul Fitri tahun ini, begitu istimewa bagi kami sekeluarga. Mungkin termasuk yang paling istimewa di antara idul fitri yang sudah kami lalui. Idul Fitri tahun ini, yang jatuh pada 17 Juli 2015, bersamaan tepat dengan ulang tahun pernikahan kami yang ke-25. Orang bilang, pernikahan perak. 

Kebetulan juga, ibu sebulan ini menempati rumah baru, rumah di samping rumah kami sekeluarga. Sengaja ibu kami boyong dari rumah Tanggulangin, supaya ibu bisa tinggal berdekatan dengan kami. Sejak berpulangnya Bapak sekitar setahun yang lalu, kami ingin ibu tinggal bersama kami. Alhamdulilah, Allah mendengar doa kami. Tetangga sebelah menjual rumahnya, dan syukurlah kami diberi kemudahan untuk membelinya. Jadilah ibu tinggal sangat dekat dengan kami. Sesuai dengan keinginan beliau, tinggal dekat dengan anak, tapi masih melakukan semuanya sendiri. Memasak, mencuci, bersih-bersih, semuanya tetap dilakukan sendiri. Ibu hobi memasak, menjahit, dan bertaman, dan beliau suka menghabiskan banyak waktunya untuk kegiatan itu.  

Ibu menyiapkan tumpeng nasi kuning pagi ini dan melengkapinya dengan ayam lodho dan berbagai makanan lain. Bulik kami, Bulik Is Hariyadi, yang datang dari Jakarta dan sudah di rumah kami sejak pertengahan puasa yang lalu, sangat membantu persiapan ini-itu. 

Selepas shalat eid, kami 'sungkem-sungkeman' ke ibu dan bulik Is Hariyadi. Adik kami, yang rumahnya di Gedangan, datang bersama anak semata wayangnya, Ichiro Bagaskara. Ramailah sudah rumah kami dengan tingkah polah Ichiro yang tidak mau diam. Ichiro, usianya tujuh tahun, adalah anak berkebutuhan khusus, yaitu down syndrom (DS). Namun, sebagai mana anak-anak pada umumnya, tingkah polahnya sungguh menggemaskan dan 'ngangeni'.

Sekitar pukul 10.00, tamu kami mulai berdatangan. Tamu kami, adalah para tetangga kiri-kanan yang sudah seperti saudara bagi kami. Sebagian besar mereka adalah penduduk asli Surabaya, dan memiliki kebiasaan 'unjung-unjung' selepas shalat eid. Tidak mudik ke mana-mana. Kalau pun ada yang mudik karena rumah mertuanya di luar kota, mereka biasanya berangkat malam hari. 

Momen unjung-unjung itulah yang kami manfaatkan untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan perak kami sekaligus memperkenalkan kehadiran ibu sebagai anggota baru di lingkungan kami. Tidak ada undangan khusus, tidak ada acara khusus. Ketika para tamu itu berkumpul, ibu memberikan sepatah dua patah kata, memohon doa restu mereka untuk kami sekeluarga. Lantas sebelum kami melengkapinya dengan pemotongan tumpeng kuning mungil itu, seorang tetangga kami, bapak Haji Abdul Rochim, kami minta untuk memimpin doa. Lalu kami semua menikmati makanan yang ada dengan suka cita, sambil beramah-tamah. Meski sederhana, rasanya acara ini sungguh berkesan.

Kalau ada tamu istimewa, mereka itu adalah Yuni dan anak-anaknya. Yuni, istri almarhum Mas Rukin, memang kemarin saya undang khusus melalui SMS, supaya dia dan anak-anak hadir untuk makan siang bersama. Tidak saya katakan kalau kami ada acara istimewa. Dia datang dengan dua anaknya, Chaca dan Lodi. Berbaju putih bersih, cantik-cantik dan cakep. 

Selain para tetangga dan Yuni sekeluarga, ada juga beberapa alumni PPG SM-3T yang datang. Mereka memang saya minta datang bila memungkinkan. Saya bilang, "ibuku masak nasi kuning, tolong kalian bantu habiskan." Sebanyak empat orang datang mewakili teman-temannya yang semuanya repot, karena memang momen seperti ini semua orang pada repot.

Jadilah siang itu rumah kami ramai dengan para sahabat, tetangga dan kerabat. Kami menikmati bakso, nasi kuning, dan nasi ayam lodho pedas serta kue-kue dan es buah. Beberapa teman dari PPPG yang hadir, Bu Lucia dan Mbak Ety, ikut melengkapi kebahagiaan. Alhamdulilah. Semuanya berjalan lancar, semuanya senang, insyaallah berkah bagi semua.

Saat para tamu pulang, kami tidak memberikan apa-apa sebagai suvenir, kecuali sebuah buku berjudul 'Saya Hanya Seorang Ibu." Buku itulah kado untuk pernikahan perak kami. Sekedar sebagai tanda dan rasa syukur, karena Allah SWT sudah mengizinkan kami mengarungi bahtera rumah tangga yang penuh dengan cinta ini.

Inilah kata pengantar buku sederhana kami itu: 

"Jumat, 17 Juli 1990. Saat matahari sudah mulai condong ke barat. Ya, sekitar pukul 15.00. 

Saat itu, halaman rumah bapak Zawawi Chusain dan ibu Basjiroh di Jenu, Tuban, penuh dengan tumpah ruah para tetangga, sanak-saudara, dan para sahabat. Juga di dalam rumah. Nyaris tidak ada tempat longgar sejengkal pun. Mulai dari teras, ruang tengah, ruang keluarga, dapur, bahkan di halaman belakang. 

Semua orang memenuhi setiap sudut. Dengan wajah-wajah yang cerah bahagia. Semua menyungging senyum. Mengucap selamat menempuh hidup baru pada dua sejoli yang telah menyatukan diri dalam sebuah pernikahan. Doa-doa berhamburan. Semerbak wangi bunga dan parfum berbaur dengan aroma makanan. Berbaur juga dengan alunan ayat suci Al Quran. Berbaur juga dengan mauidhoh hasanah. Berbaur juga dengan kata-kata bijak dari para wakil keluarga pengantin. Berbaur juga dengan kebahagiaan dan keharuan.

Dua sejoli yang sedang berbahagia itu, adalah Baskoro Adjie dan Luthfiyah Nurlaela. Senyum mereka, betapa indah, seindah busana yang mereka kenakan. Berkilau-kilau sorot mata mereka seperti kilauan manik-manik emas yang memenuhi setiap bagian tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Keindahan yang tak terkatakan, seperti keindahan yang melingkupi hati keduanya.

Dua puluh lima tahun yang lalu. Ya, 25 tahun. Seperti baru kemarin semuanya terjadi. Seperti baru kemarin saat dua sejoli itu duduk bersimpuh memohon doa restu bapak dan ibu tercinta. Seperti baru kemarin saat air mata bahagia dan haru mengaburkan pandangan. Satu di antara saat terindah dalam kehidupan, yang mungkin tak akan pernah terlupakan.

Dua puluh lima tahun yang lalu. Dan saat ini, ada sesosok pemuda tampan melengkapi kebahagiaan. Dialah M. Barok Argashabri Adji. Anak lelaki semata wayang yang menjadi tumpuan harapan. Dia adalah satu dari harta terindah dalam kehidupan, dan insyaallah akan menjadi salah satu sumber kebahagiaan bagi bapak ibunya, dunia akhirat.

Buku ini ditulis untuk menandai rasa syukur kami kepada Allah Yang Maha Mencintai, karena telah mengizinkan kami untuk mengarungi kehidupan ini dalam naungan pernikahan yang penuh cinta. Juga kami dedikasikan untuk ayah dan ibu kami, Bapak Nurhadi-Ibu Sri Lestari dan Bapak Zawawi Chusain-Ibu Basjiroh. Juga kami persembahkan untuk saudara-saudara kami terkasih: Mas Ib sekeluarga, Mas Zen sekeluarga, Mas Ipung sekeluarga, Dik Utik sekeluarga, Dik Hisyam sekeluarga, Iwuk sekeluarga, dan Dedi sekeluarga. Juga bagi orang-orang dekat yang tak terpisahkan dari sejarah hidup berumah tangga kami, salah satunya adalah Mbak Warsiyah sekeluarga. Tentu saja, bagi semua guru kami, sahabat kami, dan sanak-saudara kami yang lain. Juga, bagi Mas Rohman sekeluarga, yang selalu siap sedia mendukung dan membantu mewujudkan buku ini dan buku-buku kami yang lain.

Ya Allah, terimalah rasa syukur ini. Engkau telah memberi kami kebahagiaan yang begitu indah di dunia ini. Berikanlah kebahagiaan yang indah juga di akhirat kelak. Masukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang pandai mensyukuri nikmat-Mu. Jangan biarkan kami menjadi orang yang ingkar akan semua kasih sayang-Mu. Berikan selalu taufiq dan hidayah-Mu, selalu jaga iman dan islam kami, selalu beri kekuatan, kesehatan, perlindungan, lahir dan batin untuk kami.

Ya Allah, berikan kami kebahagiaan dalam taqwa, islam, iman dan ihsan. Berikan kami kelapangan untuk selalu memohon pertolongan-Mu dengan salat dan sabar.  Berikan kami usia panjang yang barakah, rezeki yang halal dan barakah, ilmu yang bermanfaat dan barakah. Berikan juga kami sekeluarga kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Amin Ya Rabbal Alamin."

Surabaya, 17 Juli 2015


Wassalam,
LN

Minggu, 19 Juli 2015

Kenangan tentang Dhafid

Beberapa kali, hati saya dirundung kesedihan karena kehilangan peserta SM-3T atau PPG. Misalnya saat Mohamad Isnaeni meninggal karena kecelakaan laut di Maluku Barat Daya (MBD) pada 24 Maret 2015 yang lalu, hampir setiap hari saya menangis dan kesedihan saya memuncak saat jenazahnya ditemukan setelah empat hari dalam pencarian. Juga pada saat Syahru Ramadhan yang meninggal di asrama PPG, sekitar sepuluh hari sebelum meninggalnya Isnaeni. Syahru cukup dekat dengan saya dan baru seminggu sebelumnya dia saya minta bertemu di ruangan saya. Waktu itu saya menanyakan kabar bapaknya yang sakit keras, dan bagaimana kondisi keluarganya kalau dia harus tinggal di asrama selama menempuh PPG. Tak disangka, itu adalah pertemuan terakhir saya dengan Syahru, karena seminggu kemudian dia meninggal karena sakit mendadak. Di tengah-tengah dia membaca Al Quran di kamarnya di asrama, tiba-tiba dia kejang-kejang, dan meninggal di tengah perjalanan menuju rumah sakit. 

Rasa kehilangan yang sangat kembali saya rasakan pagi ini. Hendrik Yudhistira, mahasiswa PPG Unesa Angkatan 3, menelepon saya sekitar pukul 07.00. Saya pikir dia akan menyampaikan ucapan selamat idul fitri dan mengabarkan kondisi kesehatannya, mengingat dia baru saja sakit beberapa hari yang lalu. Saya spontan mendahuluinya menyampaikan selamat idul fitri dan menanyakan kabarnya. Hendrik menjawab sapa saya dengan suara yang tidak biasa, dan perasaan saya langsung tidak enak.

"Bunda, saya mendengar kabar, tapi kabar ini masih dilacak kebenarannya...."

"Ada apa, Hendrik? Kabar apa?" Saya tak sabar menanti kelanjutan penjelasan Hendrik.

"Bunda, saya mendengar kabar, Dhafid meninggal dunia."

"Apa?" Saya setengah berteriak. "Kenapa, Hendrik? Kamu dengar kabar dari mana? Dhafid yang seksi kerohanian itu? Yang baik, sopan? Benarkah, Hendrik?"

"Ya, Bunda. Ini Krisdana sedang menuju rumahnya, di Desa Tarik, Sidoarjo. Idris juga mungkin segera menuju ke sana. Tadi saya hanya mendapat kabar dari adik Dhafid melalui WA."

Kepedihan seketika menyeruak memenuhi hati saya dan tenggorokan saya sakit menahan tangis. Baru beberapa hari yang lalu, saat Dhafid Kridiawan memasuki ruangan saya bersama Idris Efendi, Ketua Pengurus PPG Unesa, untuk membicarakan rencana acara buka puasa bersama. Sebelumnya, beberapa kali. Dia juga datang ke ruangan saya untuk mengkonsultasikan berbagai hal terkait dengan kegiatan PPG. Pernah juga dia khusus menemui saya bersama seorang temannya sesama mahasiswa Prodi Penjaskesrek, untuk meminta izin tukar sekolah tempat PPL, karena kaki Dhafid yang cedera belum pulih benar dan belum memungkinkannya untuk berkendara jauh dari asrama. 

Sebagai ketua seksi kerohanian, Dhafid menjadi begitu menonjol karena dia menjadi salah satu motor penting dalam setiap kegiatan keagamaan. Pembawaannya yang sangat sopan, penuh hormat dan takzim pada semua dosen, penyayang dan helpful pada teman-temannya, membuat siapa pun merasa sangat nyaman berteman dengan Dhafid. Selain kehalusan budi pekertinya, Dhafid juga sangat bertanggung jawab. Apa pun tugas yang diembannya, selalu dikerjakan dan diselesaikannya dengan sepenuh hati.

Dan pagi ini, kabar tentang meninggalnya Dhafid begitu mengejutkan kami. Baru kemarin kami merayakan idul fitri bersama keluarga dan kerabat, namun kebahagiaan itu seperti terenggut begitu saja. Ya, Dhafid meninggal dalam suasana idul fitri, pada pagi hari di hari kedua. Mengingatkan kami pada sahabat Rukin Firda, wartawan senior Jawa Pos, yang berpulang juga dalam suasana idul fitri, setahun yang lalu.

Saya sendiri sedang berada di Tuban, mudik. Bu Yanti sedang di Banyuwangi, juga mudik. Dia hanya bisa kirim sms: "Merinding aku, Dhe.... Dhafid anak yang baik, sopan....seperti nggak percaya aku...".  Untunglah Pak Sulaiman sedang berada di Surabaya. Dia baru saja mendapatkan anugerah bayi cantik beberapa minggu yang lalu, dan itu sebabnya dia sekeluarga tidak mudik ke Bawean.

Saya hanya bisa berkoordinasi dengan Pak Sulaiman dan Bu Lucia melalui telepon, agar mereka mewakili PPPG Unesa untuk segera meluncur ke rumah duka. Juga ada Mas Febry, staf PPPG, bersama mereka. Tentu saja, para pengurus mahasiwa PPG angkatan 3 yang rumahnya di Sidoarjo dan sekitarnya, juga meluncur ke rumah duka. Kebetulan saat ini semua mahasiswa PPG sedang libur lebaran, dan mereka sedang mudik. Hanya ada beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama, mereka berasal dari luar Jawa. Mereka memilih tetap berlebaran di asrama atau ikut teman-teman Jawanya mudik.

Dhafid, adalah sosok yang begitu mengesankan bagi kami semua. Kepergiannya meninggalkan kenangan manis sekaligus meninggalkan kesedihan mendalam. Berbagai posting di akun facebook teman-teman Dhafid bertebaran pada hari kematiannya, dan juga saat pemakamannya. Lengkap dengan foto-foto Dhafid dengan senyum tulusnya. Semua posting itu mengabarkan betapa mulianya Dhafid semasa hidupnya dan betapa dia telah banyak menorehkan kebaikan demi kebaikan. Beberapa posting berikut ini hanyalah sebagian kecil yang sempat saya rekam. 

"KESAKSIAN"
(Imam Zein)

Tuhan ....
Pak Dafid Orang baik
Akulah saksinya.

(Pondok Derita, 2 Syawal 1436)  
"AWAL SYAWAL ITU"
(Mukhamad Yunus Priambodo)

Teman...
Tak kusangka dirimu secepat itu
Masih kuingat jelas pribadi kalem itu
Tak pernah terbersit di benakku
Syawal itu...
Menjadi penanda semua itu
Hari baik nan suci
Dirimu meninggalkan kami

Ya Rabb
Kami tentu ikhlas akan takdir-Mu
Takdir terhadap sahabat kami
Yang Engkau nilai lebih layak menghadap-Mu lebih dulu

Teman...
Kini tak kutemukan lagi sapaan khas itu
Kini kami lebih tahu akan makna kehidupan
Engkau mengajari kami banyak hal

Syawal ini...
Adalah syawal termanis bagi engkau
Engkau dipanggil dalam keadaan yang baik
Semoga ilmu yang telah engkau amalkan kepada anak didikmu
Menjadi sungai yang mengalirkan mata air di Surga Illahi Rabbi

Sidoarjo 18 Juli 2015
Teruntuk sahabatku Dhafid Krisdiawan
MYP  

"Sungguh mengejutkan saudaraku...
Mendengar berita kepulanganmu ke pangkuan sang Khaliq...
Hati ini masih sulit percaya...
Serasa baru kemarin kita bercengkrama, bersenda gurau, sholat berjamaah, atau tadarusan di masjid...
Ternyata dirimu kini telah lebih dulu meninggalkan kami... meninggalkan keluarga besarmu dan keluargamu yang ada di UNESA...
YA... meski kami semua sulit melepasmu ... 
tapi Allah SWT ternyata lebih sayang, lebih cinta dan lebih ingin bertemu akan dirimu...
Selamat jalan kawanku....
Saudaraku...
Kami yakin engkau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT...

#mengenangmu di tanah MAKASSAR"(Irfan Syahrul)."

Selain dari rekan-rekan sesama mahasiswa, ada juga dosen-dosen Dhafid yang menulis komentar.
      
"Innalillahiwainnailaihi rojiun..selamat jalan mhs terbaikku..semoga Alloh SWT memberikan ampunan dan jalan kemuliaan..amin" (Dr. Nanik Indahwati, M.Or, Ketua Jurusan Penjaskesrek).  


"Mohon infonya ananda Dhafid Krisdiawan sakit apa? Apa benar, dia dipanggil Tuhan? Turut berdukacita mahasiswaku yg baik, santun, saya sgt kaget membaca facebook hari ini ... mhn infonya ...  
(Anung Priambodo, Dosen Penjaskesrek)  
  
"Pak Anung, dik Dhafid Krisdiawan, tidak sakit apa2 pak. Hari idul fitri mengunjungi seluruh keluarga untuk bermaaf maafan. Sampai pukul 10 malam. Pagi tdi waktu shubuh dibangunkan untuk sholat karena ortu menyangka tidurnya lelap sekali. Ternyata sudah tidak ada. Tubuhnya sudah membiru. Dibawa ke puskesmas dan dinyatakan sudah meninggal. Kami keluarga juga shock. Karena baru kemarin bertemu dan mengobrol (Muji Sri Prastiwi, Dosen Pendidikan Biologi, FMIPA Unesa, saudara Dhafid)."  
          
Masih ada puluhan bahkan ratusan posting dan komentar tentang kepergian Dhafid. Semua posting dan komentar itu insyaallah menjadi doa dan saksi tentang betapa mulianya Dhafid. Dhafid layak mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, sebagaimana kebaikan demi kebaikan yang telah ditebarkan semasa hidupnya.

Selamat jalan, Dhafid. Surga dengan taman-taman yang indah dan para bidadari telah menunggumu... Amin Ya Rabbal Alamiin.

Tuban, 
2 Syawal 1436
18 Juli 2015

Wassalam,
LN