Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 29 Januari 2017

Kabupaten Seluma dan Darurat Guru

Kabupaten Seluma merupakan salah satu kabupaten tertinggal dari 122 kabupaten tertinggal di seluruh Indonesia, dan satu-satunya kabupaten tertinggal di Provinsi Bengkulu. Seluma tidak terlalu jauh dari ibukota Bengkulu, hanya memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan darat.

Pada 26-29 Oktober yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Seluma. Saya terbang dari Surabaya menumpang Garuda dan tiba di Bandara Fatmawati, Bengkulu, pada sekitar pukul 21.00. Faisal Dongoran, M.Pd, dosen dari Universitas Negeri Medan (Unimed) ternyata telah menunggu saya di pintu keluar. Pak Faisal dan saya ditugaskan oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program Sarjana mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Seluma. Pak Faisal yang berangkat dari Medan ternyata tiba hampir bersamaan dengan saya yang berangkat dari Surabaya, sehingga kami bisa bersama-sama menuju hotel tempat kami menginap selama tiga hari ke depan.

Dari bandara, kami menumpang taksi menuju penginapan. Sampai di penginapan, kami memesan makanan lewat room service. Di teras, sambil menikmati nasi goreng dan buah potong serta teh manis, kami berkomunikasi dengan Muhammad Yusuf, koordinator peserta SM-3T Kabupaten Seluma, untuk perjalanan monev kami besok. 

Tidak seperti kegiatan monev yang seringkali saya lakukan, monev kali ini tidak saya pastikan dulu segala sesuatunya, menyangkut hotel, tansportasi, dan juga sekolah-sekolah yang akan kami kunjungi. Saya mengandalkan Pak Faisal untuk memastikan itu semua, karena yang akan kami kunjungi ini adalah peserta Program SM-3T dari Unimed, LPTK tempat tugas Pak Faisal. Namun ternyata Pak Faisal juga belum melakukan koordinasi apa pun kecuali dengan Yusuf, itu pun juga belum serba jelas. Hotel saja kami dapatkan malam ini setelah mencoba di satu hotel dan hotel lain dipandu supir taksi. Benar-benar monev 'ala koboi'.

Malam ini kami meminta tolong resepsionis hotel untuk mencarikan mobil sewa yang akan mengantarkan kami mengujungi Kabupaten Seluma besok pagi. Yusuf juga saya hubungi untuk memastikan teman-temannya bisa berkumpul di Tais, ibukota Seluma, agar kami bisa melakukan dialog terkait program dan progres program. Juga, tentu saja untuk memastikan 65 peserta itu semua dalam keadaan baik-baik saja. 

Saya juga mencoba menelepon Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Seluma. Tidak berhasil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada telepon selulernya. 

Paginya, sekitar pukul 07.00, saya dan Pak Faisal memulai perjalanan ke Seluma. Menumpang mobil dengan supir bernama Niko, anak muda yang baru dua tahun lalu lulus dari prodi Teknik Informatika di sebuah universitas swasta di Bengkulu.

Sekitar satu setengah jam kami menempuh perjalanan dari Bengkulu menuju Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Sedikit lebih lama dari waktu normal, karena hari masih terlalu pagi untuk datang ke Kantor Diknas. Selain itu, hari itu tanggal 28 Oktober, semua kantor pemerintahan dan sekolah melaksanakan upacara hari Sumpah Pemuda. Kalau kami terlalu pagi tiba di kantor diknas, kami hanya akan menunggu di mobil. Oleh sebab itu, kami menikmati perjalanan dengan agak rileks sambil melihat-lihat jalanan yang kami lewati.

Dalam pengamatan saya, tidak ada yang istimewa dari perjalanan Bengkulu-Seluma. Jalan berbelok-belok tapi relatif datar. Kebun kelapa sawit, hutan dan pepohonan ada di sepanjang jalan. Tidak terlalu lebat. Meski kami menyusuri jalan provinsi, lalu lintas tidak terlalu padat. Saya sudah berkali-kali mengalami perjalanan dengan medan yang sulitnya mungkin sepuluh dua puluh lipat dari yang saya alami saat ini, sehingga bagi saya, Seluma adalah kabupaten yang 'tidak ekstrim'.    

Setiap kali mendekati keramaian, misalnya pasar atau pertokoan, banyak nama makanan Jawa saya temukan di warung-warung tenda, seperti bakso solo, bakso yogya, ketoprak, sate madura, lotek, mie ayam, batagor, dan lain-lain. Nampaknya Bengkulu dipenuhi oleh orang Jawa. Pada awalnya mereka adalah para transmigran, lalu beranak-pinak di Bengkulu dan sekitarnya, dan tinggal di wilayah-wilayah transmigrasi. Pada umumnya mereka berdagang, menjadi pegawai atau karyawan, dan bertani. 

Kami sampai di Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Menemui kepala dinas pendidikan yang tidak terlalu perhatian pada kami dan kegiatan monev SM-3T ini, karena ada urusan lain yang lebih mendesak. Saya sendiri tidak terlalu terganggu dengan sikapnya. Pak Mariono, Kabid Dikmen, menemani kami dan juga mendampingi pada acara pertemuan dengan para peserta SM-3T. 

Namun dalam pertemuan singkat dengan kepala dinas tersebut, saya sempat menangkap satu hal penting. Betapa berartinya kehadiran guru SM-3T di Seluma. Tidak hanya untuk membantu kekurangan guru, namun dedikasi guru-guru muda itu begitu mengagumkan. Kata kepala dinas: "banyak yang bilang,  baru ini guru. Artinya guru-guru yang ada selama ini dianggap belum benar-benar guru." 

Kepala dinas menambahkan, kompetensi dan komitmen guru di Seluma sangat memprihatinkan. Bila dihitung, hanya sekitar 20-30 persen yang benar-benar melaksanakan tugas dengan baik. Selebihnya, tanda tanya besar. Ditambah dengan kondisi jarak rumah guru yang pada umumnya jauh, karena mereka tinggal di Bengkulu, maka datang ke sekolah terlambat bisa dikatakan sudah sangat biasa. Guru-guru tersebut seringkali kurang memperhitungkan waktu tempuh dari rumah mereka ke sekolah.

Selain itu, kepala dinas juga mengungkapkan bahwa Seluma saat ini sedang mengalami darurat guru. Sekitar 80 orang guru akan pensiun, sementara pengangkatan guru sudah tidak dimungkinkan lagi. Satu-satunya harapan adalah menunggu kehadiran guru garis depan (GGD). GGD sendiri direncanakan akan ditugaskan pada awal 2017.

Dua hari itu saya dan Pak Faisal serta puluhan peserta SM-3T Unimed mengunjungi beberapa sekolah yang terjangkau saja karena kami hanya punya waktu sehari ini. Meski jarak sekolah terjauh dari Tais hanya sekitar tiga jam, namun medan yang harus ditempuh tidak terlalu mudah, apa lagi pada musim hujan seperti ini. Selain itu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dana untuk monev kali ini tidaklah terlalu leluasa, sehingga kesempatan untuk mengunjungi peserta SM-3T di tempat-tempat terjauh juga tidak terlalu memungkinkan.  

Jumlah guru SM-3T yang bertugas di Seluma sebanyak 65 orang, yang berasal dari 19 program studi. Mereka ditempatkan di SD, SMP, SMA, dan SMK, dilengkapi dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kabupaten Seluma. Untuk mereka yang mendapatkan tugas di SMA dan SMK, kebanyakan sekolah berada di pinggiran kota atau bahkan di kota, sehingga tidak ada kendala untuk fasilitas listrik, air, dan telepon. Namun bagi mereka yang ditugaskan di SMP dan--terutama di SD-- tempat tugas mereka bisa berada di pelosok terjauh. Beberapa tempat bahkan tidak tertembus oleh kendaraan bermotor serta tidak mudah untuk mendapatkan listrik dan sinyal telepon.

Namun demikian, bisa dibilang, tidak ada kendala berarti dengan tempat-tempat tugas di ujung negeri itu. Yang menjadi masalah justeru mereka yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota. Beberapa sekolah sebenarnya tidak terlalu tepat sebagai tempat penugasan, karena jumlah gurunya sudah cukup banyak. Rupanya kepala dinas tidak terlalu tepat dalam memahami istilah 3T. Menurutnya, 3T adalah kondisi kabupatennya. Di mana pun sekolah itu berada, yang penting ada di kabupaten yang tergolong 3T. Sehingga bila guru SM-3T ditugaskan di sekolah-sekolah yang berada di kota atau pinggiran kota, itu tidak masalah, meskipun sebenarnya masih ada sekolah-sekolah di pelosok yang jauh lebih membutuhkan kehadiran guru. 

Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan misi Program SM-3T. Dalam kunjungan kami, masalah ini menjadi temuan dan rekomendasi yang kami berikan adalah memindahkan guru-guru yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota ke sekolah-sekolah di pelosok-pelosok yang sekiranya jauh lebih membutuhkan guru-guru tersebut.

Sebagaimana sekolah-sekolah di kabupaten tertinggal, kondisi sekolah di Seluma pada umumnya masih banyak kekurangan, bahkan sekolah-sekolah yang lokasinya di pinggiran kota, meski ada beberapa sekolah model yang kondisinya sudah sangat memadai. Juga kondisi guru, baik dari jumlah maupun kualifikasinya. Di SD, kekurangan guru terjadi pada hampir 90 persen sekolah. Komitmen guru juga perlu perhatian serius. Seringkali terjadi murid  terlantar karena tidak ada guru. Guru yang seharusnya mengajar entah ke mana. Kondisi ini menimbulkan beban tersendiri bagi guru SM-3T. Meski sebenarnya guru SM-3T hanya mengajar 4 jam seminggu, tapi karena harus memegang kelas-kelas kosong, maka bila dihitung, mereka mengajar bisa lebih dari 24 jam seminggu.

Kami mengakhiri kebersamaan dengan sekitar dua puluh peserta SM-3T setelah menikmati bakso dan mie ayam di sebuah warung di sudut kota Tais, saat sore mulai menjelang. Kabupaten yang sekitar 80 persen penduduk aslinya adalah Suku Serawai itu telah menyatu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Nusantara. Makanan apa pun seperti tersedia, karena banyak para pendatang yang mengandalkan berjualan makanan sebagai mata pencaharian. Orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan sebagainya, semua ada dengan membawa makanan khas mereka. Meski bukan kabupaten yang ramai, Seluma menyediakan cukup beragam pilihan makanan jajanan untuk para penduduknya dan pendatang seperti kami ini. 

Yang agak menggelikan, penduduk setempat memanggil semua orang Sumatra dengan sebutan Ibu Butet dan Pak Ucok. Siapa pun, asal dari Sumatra, akan ditempeli panggilan khas Batak tersebut.

Kami kembali ke Bengkulu saat hari semakin sore. Seikat sayur khas Bengkulu-- umbut dan telur tebu--saya dapatkan dari ibu-ibu kampung yang berjualan di pinggir jalan. Seluma yang hening berada di belakang saya, lengkap dengan doa-doa saya. Semoga para guru muda itu tetap tabah dan kuat mengemban tugas mulianya. Semoga mereka tetap memegang teguh komitmen dan niat luhur yang sudah mereka tanam sejak awal di lubuk hati. Dari tangan-tangan mereka, generasi baru akan menjelma. Generasi yang akan membawa negeri ini menjadi negeri yang lebih bermartabat. 

Selesai