Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 18 November 2011

Sumba (5): Ketulusan dan Kepolosan

Pukul 08.00, aku dan pak Pram sdh tiba di kantor Dinas PPO Sumba Timur diantar Aryanto. Tujuan kami adalah mengambil data dari dewan pendidikan dan dinas pendidikan, serta mengambil surat dari dinas pendidikan dan bupati utk rektor. Surat utk rektor merupakan surat permohonan supaya tes dan  kegiatan prakondisi SM-3T untuk peserta dari Sumba Timur dan sekitarnya bisa dilaksanakan di Waingapu.

Kami langsung menuju ke ruang kasubag pendidikan dan Olah Raga. Ibu Rambu, kasubag umum dan kepegawaian (baru dua hari berdinas. Kasubag yang lama, ibu Naomy, dimutasi ke dinas pertambangan, bersamaan dengan kedatangan kami di Sumba Timur Senin lalu), menemui kami. Meskipun sebelumnya saya selalu kontak dengan bu Naomy (bahkan sampai kemarin bu Naomy masih terus membantu kami), bu Rambu langsung nyambung ketika kami tanyakan tentang persiapan tes dan prakondisi. Artinya bu Naomy pasti sudah mengkomunikasikan semuanya pada beliau.

Surat dan data sudah di tangan. Kami disilakan masuk ke ruang kepala dinas utk pamit. Laki-laki tegap dan ramah itu menyambut kami dengan senyumnya, juga, seperti biasa, dengan rokok yang tdk lepas dari tangannya. Ruangan yang seharusnya sejuk itu menjadi pengap karena asap. Kami berbincang-bincang  tentang teknis pelaksanaan tes, berapa banyak petugas yang akan kami kirim dari Unesa, di mana tempatnya, dan sebagainya. Beliau menyampaikan harapan supaya pemerintah tidak hanya setengah-setengah dalam memperhatikan masyarakat di wilayah 3T seperti Sumba Timur. Menurut beliau, program ini akan menjadi program yang seolah hanya menebar garam di laut. Perlu diketahui, peserta SM-3T akan ditugaskan di wilayah 3T utk mengabdi selama setahun, berbeasiswa 2 juta per bulan, dan selepas program mereka akan memiliki tiket utk langsung mengikuti Program Profesi Guru (PPG), sehingga mereka akan memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik, adalah menjadi tuntutan yang tidak bisa tidak bagi siapa pun guru. Program seperti ini dikatakan sebagai program yang menebar garam di laut?

Saya sampaikan ke bapak Kadis, bagaimana pun ini merupakan bukti komitmen dan kepedulian pemerintah untuk mengembangkan SDM di wilayah 3T, mempercepat pembangunan pendidikan di daerah terpencil, sekaligus utk menyiapkan guru-guru  yang profesional, serta memuliakan profesi guru. Di benakku, wajah-wajah polos para peserta SM-3T melintas-lintas, sosok-sosok yang merindukan perhatian dan kepedulian akan nasib mereka. Puluhan sms di ponsel saya terbayang-bayang (saya memang memberikan nomer ponsel saya ketika sosialisai tempo hari, supaya mereka bisa langsung menghubungi saya bila ingin bertanya apa pun tentang SM-3T). Sms yang berisi ungkapan harapan, keluhan, dan doa untuk saya: terimakasih ibu sudah datang, sudah memberikan penjelasan pada kami semua, sudah berbuat utk kami, kami berdoa semoga ibu diberikan kekuatan dan kesehatan oleh Tuhan. Dan puluhan sms yang lain. Hampir setiap sms mereka selalu diakhiri dengan kata-kata: semoga Tuhan memberkati.

Saya jatuh cinta pada kepolosan mereka, pada ketidakberdayaan mereka, pada kemiskinan mereka. Tadi malam beberapa dari mereka nyambangi saya di hotel, menunggu kami datang dari Waikabubak. Hujan deras tidak menghalangi mereka utk datang. Tidak sampai hati rasanya melukai harapan dan kerinduan mereka. Semoga ini tidak sekedar sebagai program yang menebar garam di laut. Saya janjikan pada bapak Kadis, saya akan sampaikan pada pemerintah (dalam hal ini Dikti), agar tindak lanjut program ini tidak hanya berhenti pada pendidikan profesi bagi mereka, namun juga pemberian prioritas bagi peserta utk bisa diangkat menjadi guru.

Kamis, 17 November 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 17 November 2011

Sumba (4): Keadaan Sesungguhnya…

Rabu, 16 November 2011

Tidak semanis yang kami bayangkan. Koordinasi jauh-jauh hari, bahkan sampai tadi malam pun masih berkoordinasi dengan Kasubag Dinas PPO dan Ketua Dewan Pendidikan, pagi ini, sampai pukul 10.00, kami hanya dibuat menunggu di ruang kadis. Dua orang datang dari SMK 1 Loli, seorang waka dan seorang lagi orang tua siswa. Ketika saya tanya, mana yang lain, mereka malah balik bertanya, siapa
yang lain, bu? Guru, komite, dan wakil dari DU/DI, tanyaku. Ternyata mereka tidak diinformasikan kalau harus datang bersama mereka semua. Bahkan ditelepon saja juga baru tadi pagi, dan hanya diminta membawa ortu.

Hampir setengah jam kemudian, datanglah seorang lagi. Kepala Sekolah SMK Lamboya. Sama dengan yang tadi, beliau juga tidak tahu kalau harus dating bersama guru, komite, dan sebagainya. Beliau baru rapat di ruang bupati, ditelepon oleh petugas dari dinas, diminta datang ke kantor dinas, karena ada
pengisian data dari direktorat. Hampir setengah jam kemudian, tiga orang datang. Dari SMK  Waikabubak. Seorang guru, seorang lagi wakil dari DU/DI, dan seorang lagi sekretaris komite sekolah.
Ya sudah. Kami harus puas. Ada kepala sekolah, ada komite sekolah, ada guru, ada orang tua. Semua terwakili. Maka kami bagikan instrumen utk mereka isi. Menjelaskan maksud pengisiannya, dan menyilakan mereka bertanya bila tdk memahami maksud pertanyaan/pernyataan dalam instrumen.

Tidak semudah yang kami bayangkan. Bahkan memahami butir-butir instrumen pun tidak mudah bagi mereka. Kami coba menjelaskan, mereka masih saja bertanya. Kalau kami memberikan pertanyaan, harus dijelaskan maksudnya berkali-kali. Itu pun kadang-kadang, meminjam istilah pak Pram, ditakoni ngalor jawabe ngidul.

Ruangan yang sejuk jadi terasa 'sumuk'. AC tidak ada. Kipas angin juga tadak ada. Orang-orang yang awalnya kuandalkan ternyata tidak memenuhi harapan. Overestimate. Capek juga rasanya. Sekaligus membuat kami prihatin. Seperti inikah kualitas SDM di sini? Daerah yang subur, namun tak nampak kaya-kaya penduduknya. Tanah subur yang seharusnya bisa digarap dan memberikan hasil bumi yang melimpah. Nyaris tidak ada industri yang bisa digunakan sebagai tempat praktik siswa, kecuali hotel-hotel kecil.

Utk bidang lain, harus pergi ke Bima, Denpasar, Mataram, dan Surabaya (untungnya dibiayai oleh Pemda). Fasilitas praktek sangat minim. Bahkan ada salah satu SMK, yaitu SMK 1 Lamboya, 27 km dari Waikabubak, listrik belum masuk ke sana. Mereka memiliki belasan unit komputer, tapi karena listrik pakai genset, kamputer hanya bisa dioperasikan maksimal 5, sehingga prakteknya gantian. Inilah 'SMK Sastra' itu. SMK dgn minim sarana prasarana praktek, dgn kemampuan SDM yang terbatas baik jumlah maupun mutunya, dan dengan lingkungan yang kurang mendukung.

Pengisian instrumen selesai pukul 14.00. Sesiang itu, hanya segelas teh dan dua-tiga potong pisang goreng yang masuk perut kami. Di sini tidak ada 'suguh-gupuh' seperti kebiasaan kita di Jawa. Tidak ada tawaran makan siang. Bahkan sekadar barbasa-basi pun, tidak ada.

Kami pamit pulang dan tidak jadi mampir ke sekolah2. Hujan turun cukup deras, dan ketua dewan pendidikan tidak merekomendasikan kami utk ke sekolah2 karena jalannya tidak cukup aman dalam kondisi hujan seperti ini. Maka kami langsung menuju Sumba Timur, setelah makan di warung Padang. Sepiring nasi, sayur daun ketela dan nangka muda, paru goreng, udang goreng, lengkap dengan sambal merah dan hijau....cukup utk cadangan energi menuju Waingapu.

Wassalam,
LN

Rabu, 16 November 2011

Sumba (3): Masyarakat dan Alam Sumba Barat

Pukul 14.30 waktu Waingapu. Siang ini kami bergerak menuju Sumba Barat. Ditemani Ariyanto, pemuda kelahiran Kupang, yang namanya sama sekali tdk berbau Kupang. Pemuda lajang 28 tahun, jangkung, kulit sawo matang, wajahnya seperti kebanyakan orang Sumba, dan rambutnya ikal. Dia berkalung berbahan monel, berbandul salib, dengan gelang-gelang  besar dari bahan yang sama. Waktu saya tanya kenapa masih melajang, bukankah gadis Sumba cantik-cantik, dia bilang, ya betul, ibu, cantik-cantik, tapi
mahal. Saya harus mengumpulkan uang dulu untuk beli kuda dan kerbau untuk menebusnya. O o..... Ariyanto kami sewa bersama mobilnya utk mengantar kami ke Sumba Barat. Tujuan ke Sumba Barat semata-mata utk mengumpulkan data komite sekolah.

Jalan menuju Sumba Barat berkelok-kelok, naik-turun, dengan perbukitan kapur di sisi kanan-kirinya, berseling dengan lembah dan ngarai, serta jurang-jurang yang curam. Pada beberapa bagian mengingatkanku pada rute antara Ponorogo dan Pacitan, beberapa bagian mengingatkanku pada pelosok Tuban, Bojonegoro, Lamongan, yang gersang dan kekurangan air. Sempat kami melihat serombongan perempuan dan anak-anak  bergerombol dengan menenteng jurigen-jurigen, mereka sedang mengantri untuk mendapatkan air.

Beberapa kilometer sebelum memasuki Lewa, sekitar 50 km dari Waingapu, ada serombongan anak dan remaja membawa kom plastik di tangannya, berisi dagangan yang dijajakan pada para pengendara. Jagung rebus dengan kulitnya, kacang rebus, telur rebus, dan juga-yang khas-adalah buah sirih. Yang terakhir ini biasa dikunyah-kunyah dengan kapur (di Jawa namanya 'nginang'), oleh para wanita maupun
pria, sehingga melihat mulut mereka, gigi dan bibir yang merah kecoklatan adalah pemandangan biasa.

Aku membeli jagung rebus 10 ribu, dapat 6, yang 3 dari seorang gadis kecil berusia 8 tahunan, dan 3 lagi dari seorang gadis belasan tahun. Wajah manis mereka penuh peluh dan nampak lelah. Sekantung kacang rebus yang sepertinya sudah tidak segar lagi, kubeli dari seorang bocah lelaki belasan tahun yang
nafasnya ngos-ngosan karena memburu mobil kami.

Beberapa kali kulihat segerombolan kuda yang sedang merumput (mungkin kuda-kuda itulah yang menghasilkan susu kuda liar), kerbau yang beriringan, dan puluhan sapi menyeberang jalan. Rumah-rumah panggung beratap tinggi menjulang, atau rumah-rumah khas Sumba yang beratap jerami. Anak-anak  belasan tahun yang kulitnya hitam legam,  sedang bekerja bermandi peluh ikut melakukan pekerjaan memperbaiki jalan.

Jarak satu rumah dengan rumah yang lain sangat jauh, kadangkala puluhan kilometer. Saya membayangkan, apa yang mereka makan, di mana mereka membeli kebutuhan sehari-hari, dan apa yang dilakukan anak-anak mengisi waktu senggangnya, di mana mereka bersekolah. Sejauh perjalanan yang sudah kami tempuh, sekitar 2 jam dari Waingapu, aku hanya melihat 1 sekolah. Tepat di jalan
yang berkelok tajam, dan sekolah itu ada di bawah sana.

Semakin menjauh dari Sumba Timur, keadaan alamnya semakin subur. Pemandangan hijau dan rimbun di mana-mana, air melimpah di sawah dan rawa-rawa, beberapa rumah sedikit lebih modern, dengan parabola bertengger di salah satu sudut di halamannya. Aku baru tahu kalau mereka harus punya parabola utk bisa melihat TV. Menurut Ariyanto, hanya rumah-ramah yang ada parabolanya itulah yang punya TV. Wah, kalau begitu TV pasti masih menjadi barang mewah bagi mereka, karena kalau beli TV juga harus beli antene parabola. Dan memang tidak banyak rumah yang memiliki parabola; sampai menjelang masuk kabupaten Waikabubak, kuhitung hanya belasan.
Dan tentu saja, kemiskinan tetap mendominasi. Seringkali kulihat para wanita menyunggi jurigen berisi air di kepalanya, atau anak-anak usia sekolah yang bekerja di pinggir-pinggir jalan, dengan wajah lelah dan pakaian lusuh mereka.  Jam di tanganku menunjuk angka 17.00. Masih sekitar dua jam lagi kami mencapai Waikabubak, ibukota Sumba Barat. Nicky Astria mendayu-dayu melantunkan lagu-lagu yang kukenal tapi lupa judulnya. Ariyanto, driver kami, memegang kemudi menyusuri jalan yang meliuk-liuk. Kuperhatikan, kecepatan rata-ratanya cuma sekitar 60 km/jam. Aku senang caranya pegang kemudi. Rileks, fokus. Membuat kami merasa nyaman utk tetap beraktivitas. Aku mebuka laptop, mengecek berkas-berkas dari peserta SM-3T karena hasilnya harus segera kukirim ke Surabaya, melalui sms tentu saja, karena internet tdk bisa. Pak Pram sibuk mengabadikan hampir setiap jengkal pemandangan yang ditemuinya.

Tiba di Waikabubak, kami langsung ke hotel Kuranto. Menurutku lebih tepat disebut penginapan. Bu Titin Gah, kasubag Umum dinas PPO Sumba Barat, sudah menunggu kami. Orangnya cantik, khas Sumba, matanya bulat tajam, terkesan cerdas. Beliau memastikan besuk pagi kami bisa bertemu dengan kepala sekolah, komite sekolah, guru, DU/DI, dan orang tua siswa di kantor dinas. Tak berapa lama, ketua dewan pendidikan datang. Pensiunan pejabat dinas, sudah berumur, tapi masih enerjik. Senang kami merasakan sambutan hangatnya.

Kami membicarakan teknis kegiatan besok. Pengisian instrumen dilakukan di kantor dinas. Semua responden sdh dihubungi. Setelah itu, saya akan mampir ke sekolah-sekolah sebelum bertolak ke Sumba Timur. Ketua dewan pendidikan nampaknya berharap betul saya bisa ke sekolah-sekolah.

Tapi ada yang menggelisahkan saya. Pak Pram asam uratnya kumat. Kakinya diseret ketika turun dari mobil, dengan wajah meringis menahan sakit. Semper. Walah. Ini pasti gara-gara makan mie goreng semalam. Mie dengan minyak yang klomoh, pakai kol. Meskipun sebenarnya pak Pram sudah menyisihkan kol-nya supaya tidak 'katut' termakan, tapi tentu saja tidak mungkin menyisihkan minyaknya. Wah wah wah....bisa diprotes aku sama istrinya....

Wassalam,
LN

Selasa, 15 November 2011

Sumba (2): Ketemu Bupati, Misi Sukses

Pukul 7.30. Kami sudah di lobi, menunggu pak Minggus menjemput kami. Tujuan pertama pagi ini adalah ke kantor kabupaten. Saya akan mengantarkan surat dari rektor Unesa, surat pemberitahuan tentang program SM-3T dan menjajagi kerja sama dalam bentuk penandatanganan MoU. Tapi tentu saja, saya tidak bermaksud sekadar
mengantarkan, saya akan meminta langsung bertemu dengan Bupati. Sudah kuniatkan untuk bisa bertemu, tanggung, jarak sudah kutempuh sejauh ini, terlalu banyak sumberdaya yang dikorbankan kalau hanya sekedar mengantar surat.

Kantor kabupaten Sumba Timur sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibanding dengan kantor-kantor pemerintahan di daerah kabupaten di Pulau Jawa. Tidak ada kesan 'untouchable' seperti kantor-kantor kabupaten yang sering kulihat, dengan halaman luas dan berpagar, dengan satpam berjaga di pintu masuk.

Beberapa pegawai sedang berbincang-bincang di dekat pintu masuk kantor yang tampak dari luar masih sepi, namun ternyata di dalam ruangan sudah ramai. Kami melihat ada salah seorang pejabat yang mengenakan pakaian adat (katanya namanya malambung), kain khas Sumba yang dililitkan di bagian bawah sebagai pengganti celana
panjang, dengan ujung kain yang menjuntai ke bawah. Di pinggang mereka terselip golok. Kepala mengenakan kain yang sama, yang diikatkan, tidak menutup seluruh bagian kepala.

Setelah bertemu dengan sekretaris pribadi bapak bupati di lantai 2, kami dijanjikan bisa ketemu bupati pada sekitar pukul 11.00. Pagi ini, mulai pukul 09.00, akan ada acara pembukaan sidang DPR. Termasuk juga kepala dinas PPO, juga akan mengikuti acara. Maka meluncurlah kami ke kantor dinas PPO, supaya bisa bertemu dengan Kadis sebelum beliau mengikuti acara pembukaan sidang.

Beruntunglah kami. Pak Kadis sudah hadir, dan kami disilakan petugas untuk langsung menemui beliau. Masuklah kami ke ruangan kadis. Ruangan itu tidak terlalu luas, ber-AC, tapi penuh asap rokok. Aku langsung berasa pengap. Ruangan ber-AC yang penuh dengan asap rokok. Berapa banyak racun yang telah dihisap oleh sekretaris pak kadis yang cantik itu, dan beberapa staf di ruangan itu, mengingat mereka mungkin sudah bertahun-tahun di ruangan tersebut, dengan status sebagai perokok pasif.

Pak Kadis, posturnya tinggi besar, berkulit hitam, bermata tajam. Ramah. Beliau mengenakan busana adat juga, seperti yang kami lihat di kantor kabupaten tadi. Yang beliau ucapkan pertama kali adalah permohonan maaf karena kemarin tidak bisa menemui kami. Kemudian beliau meminta kami menjelaskan program SM-3T dan
bagaimana pelaksanaan seleksinya nanti. Saya kemukakan kronologis program tersebut, program dikti yang diluncurkan di penghujung tahun, dan betapa kami semua 'kepontal-pontal' untuk melaksanakannya. Saya kemukakan juga harapan peserta dari Sumba Timur yang ingin tes diadakan di Sumba Timur. Konsekuensi dari hal itu adalah Unesa harus mengirim petugas ke Sumba Timur. Dan itu berarti pemerintah kabupaten harus mengalokasikan sejumlah dana untuk transport, akomodasi, dan lumpsum.

Pembicaraan dengan pak Kadis terputus karena beliau harus segera ke kantor kabupaten untuk mengikuti acara pembukaan sidang DPR. Kami berjanji akan bertemu lagi jam 11 di ruang bapak bupati. Dinas tidak punya anggaran untuk memfasilitasi tes di Sumba Timur, dan akan mengajukan anggarannya ke bupati. Kebeneran, karena saya juga akan menyampaikan rencana MoU dengan bapak bupati.

Sejak pukul setengah sebelas, saya dan pak Pram sudah duduk di ruang tunggu kantor kabupaten di lantai 2. Sekitar pukul 12, pak bupati muncul. Lengkap dengan busana adatnya. Beliau menyapa kami, dan menyilakan kami untuk masuk ke ruangannya yang cukup luas. Lantas berbincanglah kami tentang program SM-3T. Saya katakan bahwa pimpinan Unesa memberikan prioritas untuk Sumba Timur. Oleh sebab itu, saya ditugaskan khusus ke Sumba Timur untuk keperluan mendiskusikan program tersebut.

Pak bupati bersedia mengupayakan dana untuk memfasilitasi tes bisa dilakukan di Sumba Timur. Beliau juga berkenan untuk menjalin kerja sama dengan Unesa dalam bentuk penandatanganan MoU. Alhamdulilah, misi berhasil.

Sebelum pamit, kami meminta izin untuk berfoto bersama. Bukan sekadar karena beliau adalah bupati dan kepala dinas PPO, orang-orang penting di Sumba Timur. Lebih dari itu, karena busana adat beliau yang unik. Sayang kalau dilewatkan. Jarang melihat orang berdasi dengan dasi menjuntai di bawah pusar....


Wassalam,
LN

Senin, 14 November 2011

Sumba (1): Inilah Waingapu

Inilah 0 km Kota Waingapu, Ibu Kota Sumba Timur.

Batavia, berangkat 8.30 dari Juanda. Cuaca cerah sekali. Semoga perjalanan lancar.

Landing di Ngurah Rai, pukul 10.15 waktu Denpasar. Cuaca tetap cerah. Menunggu 20 menit untuk terbang lagi menuju Kupang. Duduk manis di dalam pesawat yang sedang diisi bahan bakarnya.

Pukul 12.45. Landing di El Tari Kupang. Terlambat sekitar 10-15 menit, karena ketika mau take off di Ngurah Rai tadi, ngantre agak lama disebabkan lalu lintas padat. Langit agak mendung. Sejuk di dalam pesawat. Penumpang ada yang saling berbincang, tetap duduk di kursinya, atau memanfaatkan waktu untuk berdiri supaya tidak terlalu lama duduk. Anak-anak berpindah dari satu kursi ke kursi lain, karena penumpang yang naik dari Kupang belum masuk, jadi banyak kursi kosong. Dua puluh menit lagi terbang menuju Waingapu.

Pukul 13.50. Landing di Umbu Mehang Kunda airport. Inilah Waingapu, ibukota  Sumba Timur, kota tujuan pertama kami. Panas menyengat menyambut kami. Status di layar BB saya tertulis SOS. Tidak ada sinyal untuk Axis. Hanya Simpati dan AS. IM3 kadang bisa, kadang tidak, sering tidak bisa.

Kami, saya dan pak Pramukantoro, dosen dari Teknik Listrik, disambut oleh pak Minggus, driver dari Kantor Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda dan Olahraga). Dia mengendarai mobil kijang biru plat merah, dan membawa kami keluar dari ruang pengambilan bagasi yang pengap dan penuh asap rokok, dengan satu-satunya toilet yang kurang layak untuk toilet bandara.

Saya minta pak Minggus untuk mampir ke rumah makan. Sebenarnya saya sendiri tidak terlalu lapar, tapi saya harus bertanggung jawab pada teman yang bersama saya. Istri pak Pram sudah wanti-wanti supaya saya take care betul suaminya. Harus dijaga makannya. Dia alergi hampir semua jenis makanan kecuali nasi putih dan garam. Tapi siang ini dia hampir saja pilih menu iga bakar, namun segera beralih minta soto ayam setelah memastikan kuahnya tidak kental, tanpa kol dan tauge, dan setelah kuingatkan kalau iga bakar galak utk asam urat.

Siang ini kami berbagi tugas. Saya akan berkoordinasi dengan dinas PPO utk program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar (SM-3T). Dinas PPO telah mengundang sekitar 50 calon peserta yang sudah mendaftar dan lulus seleksi administrasi, pada pukul 17.00 waktu Waingapu. Mereka ingin mendengar penjelasan langsung dari saya sebagai koordinator SM-3T Unesa, mengenai apa itu SM-3T, seleksi akademiknya, kegiatan prokondisinya, penugasannya, dan tentu saja beasiswa serta tindak lanjutnya setelah program selesai. Saya juga akan menjajagi kemungkinan tes akademik bisa diselenggarakan di Sumba Timur, mengingat kondisi keuangan peserta yang sebagian besar memprihatinkan, serta sebaran lokasi mereka yang jauh dari kota (rata-rata 2-3 jam dari kota, bahkan
lebih). Saya juga akan menjajagi kerja sama dengan Bupati dalam bentuk MoU, serta mencari narasumber untuk pembekalan peserta nanti. Narasumber dari daerah ini akan memberikan pelatihan keterampilan sosial dan memberikan gambaran kondisi wilayah tempat peserta ditugaskan nanti.

Sementara tugas pak Pram adalah mengumpulkan data untuk penyusunan naskah akademik strategi peningkatan kemitraan antara komite sekolah, DU/DI dan SMK. Respondennya adalah kepala sekolah, komite, guru, DU/DI, orang tua, dewan pendidikan, dan dinas PPO. Ini merupakan pekerjaan lain (dari Direktorat Dikmen), yang kebetulan juga saya sebagai koordinatornya.

Mobil memasuki kantor dinas yang sepi. Di tempat pertemuan baru ada 3 orang. Seorang guru, dan 2 orang peserta SM-3T, yang datang dari jarak 120-an km jauhnya. Tidak ada seorang pun petugas dari dinas. Awalnya aku pesimis misi kami akan berjalan lancar. Namun tak berapa lama ternyata satu per satu mereka berdatangan. Juga kepala sekolah, guru, komite sekolah, DU/DI, yang akan menjadi
responden kami. Mereka sebenarnya sudah ada dari tadi, tetapi mengisi waktu dgn beristirahat di
sekitar kantor dinas.

Sambil menunggu calon peserta SM-3T lengkap, saya dan pak Pram mulai melakukan kegiatan pengumpulan data. Kesabaran mereka menunggu kami, ketekunan mereka mengisi instrumen, dan kesantunan mereka, membanggakan kami. Mereka datang dari Pahunga, sekitar 100-an km; dan datang dari Lewa, sekitar 60 km dari Waingapu. Serta dari berbagai pelosok lain di Sumba Barat.

Pengisian angket diteruskan dengan FGD. Pak Pram terpaksa memandu sendiri karena saya harus segera berpindah ke ruangan lain. Di ruang pertemuan itu sudah menunggu 50-an anak muda Sumba Timur. Kulit mereka kebanyakan sawo matang, alis tebal, bola mata hitam tajam. Manis-manis. Sebagian dari mereka telah menunggu kami dari pagi, karena harus menyesuaikan dengan jadwal angkutan umum, atau bus kayu (yaitu truk yang ditutup dengan seng), yang membawa mereka dari semua penjuru di Sumba Timur ke kota Waingapu.

Mereka adalah calon peserta program SM-3T. Pemuda-pemudi yang akan dikirimkan ke wilayah pelosok Sumba Timur dan Papua, membantu membangun percepatan pendidikan, menjadi agent of change. Tugas mereka yang utama adalah mengajar di sekolah-sekolah miskin, membantu memecahkan berbagai persoalan pendidikan dan juga sosial kemasyarakatan. Mereka akan dibekali dengan keterampilan mengajar di kelas rangkap, serta mengajar multi-bidang, karena bisa jadi, mereka akan bertugas di sekolah di mana gurunya sangat minim, atau bahkan merekalah satu-satunya guru di sekolah itu. Mereka juga akan dibekali dengan keterampilan ketahanmalangan (survival), serta kepramukaan. Selama 12 hari, pembekalan tersebut akan diberikan, termasuk juga pelatihan menyusun perangkat pembelajaran.

Namun semua pelatihan itu baru dapat mereka ikuti bila mereka lulus tes. Tes yang meliputi TPA, akademik, Bakat Minat Keguruan, baru akan dilaksanakan 18-19 November 20122. Problem yang muncul di lapangan adalah di manakah tes itu dilaksanakan? Mereka semua berharap tes bisa dilaksanakan di Sumba Timur. Kendala jarak, waktu, uang, adalah hal-hal yang mereka kemukakan. Melihat kondisi mereka, saya tidak tega membayangkan mereka harus berangkat tes ke Unesa, apalagi kalau harus pulang karena tidak lulus. Sedih rasanya.

Maka misi saya di sini adalah juga mengupayakan supaya tes dapat dilakukan di Waingapu. Saya sudah mengantongi surat tugas dari Rektor untuk berkoordinasi dengan Kadis dan Bupati. Besok pagi, saya pastikan akan menemui beliau berdua.

LN
Waingapu, 14 November 2011

Jumat, 02 September 2011

Ke Pantai

Pagi tadi, kami sekeluarga bersama keponakan-keponakan, kakak ipar dan adik perempuanku dengan suaminya, pergi ke pantai. Pantai itu letaknya sekitar 3 km dari rumah kami, berada beberapa puluh meter sebelah barat terminal  (rumah kami sekitar 9 km di sebelah barat kota). Pantainya bersih, pasirnya putih kecokelatan, lembut, dan banyak pohon cemara yang rendah dan rindang untuk kami berteduh.


Kami berangkat sekitar pukul 07.00. Mobil kami penuh. Di jok belakang, ada 5 anak 'kruntelan'. Di jok tengah, ada 2 anak kecil dan 3 orang dewasa. Di depan, aku dan suamiku. Bekal kami memenuhi bagasi. Serabi, nasi uduk, berbagai makanan kecil termasuk aneka biskuit dan pastry (dari bongkaran parcel-parcel untuk suami), dan tentu saja, permen dan minuman. Juga baju-baju untuk ganti setelah main di pantai.

Cerita tentang serabi dan nasi uduk dulu. Sehabis shubuh tadi, aku dan mas Ayik, suamiku, bersepeda ke Merakurak, 5 km dari tempat kami di desa Jenu. Niatnya berolah raga sambil berburu serabi dan nasi uduk. Pagi masih gelap. Kami bersepeda dengan lampu sepeda menyala, menyusuri jalan datar yang mulus, dengan hamparan sawah dan kebun jagung yang samar-samar bisa kami lihat di sepanjang kanan-kiri jalan. Udara dingin. Sejuk sekali. Lima km kami tempuh sekitar 20 menit. Penjual serabi masih siap-siap 'bukak dasar', tapi sudah ada yang ngantre 2 orang. Kami pesan 20 biji atau 10 'tangkep'. Dari bakul serabi bergeser beberapa meter ke bakul uduk. Wuih..., yang ngantre sudah hampir sepuluh orang, beberapa bahkan sudah ada yang 'ngandok' (ya, meskipun masih repet-rapet, mereka sudah sarapan). Kami pesan 20 bungkus.

Mas Ayik sabar menunggu di belakang bakul Serabeh.
Serabinya terbuat dari tepung beras, kelapa parut, dan garam, dimatangkan dengan cara dipanggang dengan wajan tanah liat  kecil, di atas 'pawonan' dari tanah liat, berbahan bakar kayu dan sekam. Rasanya khas, gurih, lembut, dengan kuah santannya yang juga gurih. Harganya seribu setangkep (2 biji). Sedang nasi uduknya, berkuah sayur lodeh kecambah dan kobis (ini memang khasnya),  mie, dan 2 buah tempe gimbal. Harganya dua ribu. Menu sesederhana itu, selalu kami cari setiap pulang kampung. Ngangeni. Makanan kami sejak kanak-kanak. Setelah dapat serabi dan nasi uduk, kami mengayuh sepeda kembali ke arah pulang. Seperti tadi, waktu tempuh sekitar 20 menit. Sampai di rumah, keponakan-keponakan sudah bangun dan bersiap-siap pergi ke pantai.

Nah, serabi dan nasi uduk itulah yang sebagian kami bawa utk bekal ke pantai. Sebagian kami tinggal di meja makan untuk persediaan ibu dan kakak-kakak yang di rumah.

Matahari bersinar hangat ketika kami tiba di pantai. Pengunjung sudah cukup banyak. Mas Ayik memarkir mobil agak menjauh dari keramaian, supaya kami lebih leluasa bermain di pantai. Kami menghambur keluar begitu pintu mobil dibuka. Anak-anak kecil  langsung berlarian ke arah laut. Kami yang tua-tua juga tak mau kalah. Menceburkan diri, sengaja berbasah-basah, menantang ombak yang datang bergulung-gulung kecil, bebas lepas.... 

Aku membuat acara lomba lari. Dari satu titik ke titik tertentu. Semua anak kecil ikut, aku juga, adikku yang jadi juri. Karena larinya di air, lari kami tidak bisa kencang, kecipak-kecipok.....apalagi kalau ombak datang, air 'muncrat-muncrat' sampai ke muka dan bahkan ada yang tertelan...wih, asin buwanget. Tiga empat kali putaran, aku nggak pernah menang, pura-pura, memberi peluang pada manusia-manusia mungil itu utk menjadi juara. 

Puas berlarian, kami main tanah. Bikin sumur-sumuran, rumah-rumahan, dan gunung-gunungan. Badan kami kotor semua. Bau kami amis kayak laut (ya lah, masak kayak duren, he he). Tapi kami bersuka ria. Pindah dari satu titik ke titik lain, membuat gunung-gunungan, sumur-sumuran, di beberapa tempat. Bertepuk tangan dan berteriak-teriak kalau ada ombak datang mengempasnya. Waahhh....senangnya, semua beban seolah terlepas, lupa pekerjaan, lupa hutang, juga lupa daratan (karena kami sedang ada di laut he he...).

Capek bermain, kami makan es krim (kok ya kebetulan ada penjual es krim yang lagi 'ider' di pantai). Makan nasi uduk, serabi, biskuit. Belum cukup, kami makan cilok (kok ya pas ada penjual cilok datang). Kayaknya perut nggak kenyang-kenyang juga, semua bekal yang kami bawa nyaris habis tandas.

Menjelang jam 9, kami mengakhiri wisata kami. Anak-anak berganti pakaian, tanpa mandi. Toh rumah kami dekat, sebentar lagi bisa mandi sepuasnya di rumah. Kami yang tua-tua, dengan pakaian 'kemel-kumel', membersihkan pasir-pasir yang nempel, biar tidak terlalu mengotori mobil. 

Dan pulanglah kami dengan bagasi penuh baju kotor, piring-piring dan sendok-sendok kotor, tapi hati riang gembira karena wisata pantai yang sangat berkesan.....

Nanti siang kami berencana berburu becek dan sate mentok sorwo yang direkomendasikan teman kami, mas Rohman, wartawan kuliner. Hmm, pasti sedap...

Wassalam,
LN

Kamis, 01 September 2011

Nasi Belut

Pagi ini kami sekeluarga mudik ke Tuban. Berangkat dari rumah sekitar jam 7. Sengaja tidak sarapan, niat sarapan di jalan. Sasarannya, kalau tidak nasi boranan, ya rumah makan Kaliotik di Lamongan.

Ternyata dua-duanya tidak ada, tutup libur lebaran. Anak tidur mendengkur di jok tengah. Semalaman dia tidak tidur, melekan sama teman-teman masa kecilnya. Jadi aman, tidak ada yang 'ngroweng' minta makan. Mobil terus melaju. Suami pegang setir sambil makan biskuit utk mengganjal perut. Saya juga.

Masuk kota Tuban sekitar pukul 9. Tujuan tempat makannya jelas. Belut. Langganan kami. Kalau pulang ke Tuban, hampir selalu mampir makan di warung Jangkar, di desa Pronggahan. Alhamdulilah, warung itu buka. Pembelinya full.
Kebek mencep.

Suami dan anak penggemar belut. Saya ikut-ikutan saja. Belutnya dimasak mirip bumbu bali, tapi rasanya puwanas, puwedes. Nasinya nasi jagung lembut, tapi nasi putih juga ada. Huwenak polll.... Kalau makan pasti gobyos.....ngoweh-ngoweh....

Wassalam,
LN