Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 16 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (6): Padang Sabana itu....

Pukul 08.00 kami sudah siap beraktivitas lagi. Kali ini tidak hanya berdua dengan bu Luci, tapi pasukannya tambah 3: bu Nanik, pak Nursalim, dan pak Suwarno.

Kami memulai aktivitas dengan makan pagi di warung jawa. Sementara teman-teman sarapan, saya dan bu Luci ke warnet di sebelah warung. Mas Amin, sekretaris rektor, tadi malam sms saya kalau MoU sudah diemail. Kami harus mencetaknya untuk dimintakan paraf ke sekda, asisten administrasi, kabag hukum, dan pak kadis, sebelum ditandatangani oleh bupati dan rektor pada acara serah terima nanti. Selesai mencetak MoU, saya dan bu Luci menyusul teman-teman sarapan.

Tujuan pertama kami pagi ini ke RSUD, bertemu dengan dokter Kris, direktur RSUD. Kami bertiga, saya, pak Nursalim, dan pak Warno, akan menghadap dokter Kris. Sedangkan bu Luci dan bu Nanik akan ke penginapan Cendana untuk menjemput peserta yang sakit, dibawa sekalian ke RSUD.

Kami menunggu sebentar saja di ruang tunggu RSUD, lantas disilakan masuk di ruang direktur. Dokter Kris, tinggi besar, ramah. Dokter asal Yogyakarta itu telah 16 tahun bertugas di Waingapu. Dia membagi pengalaman dan pemahamannya tentang kultur masyarakat Sumba, khususnya Sumba Timur. Banyak pengalaman heroic yang diceritakannya. Penyebaran penduduk Sumba Timur yang sangat luas, seringkali memaksanya untuk terjun ke lokasi-lokasi sangat terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.

Sumba Timur menurut para tokoh dahulunya adalah masyarakat yang sering mengalami perang antar suku. Mereka banyak yang memilih hidup di tempat-tempat terpencil supaya tidak terjangkau ole musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, sampai saat ini, mereka hidup mengelompok-mengelompok di tempat-tempat yang sangat terpencil, seringkali sangat susah dijangkau. Hanya ada 3 wilayah terpencil di Sumba Timur, Waingapu, Kambera, dan Pandawai. Selebihnya adalah wilayah yang sangat terpencil.

Menurut dokter Kris, potensi alam di Sumba Timur sebenarnya sangat luar biasa. Namun masyarakatnya sangat malas. Bila beras habis, mereka akan masuk hutan untuk mencari umbi-umbian. Padahal bila mereka mau, pekarangan bisa dimanfaatkan untuk menanam umbi-umbian itu, juga berbagai macam sayur-sayuran, sehingga mereka tidak perlu masuk-keluar hutan untuk mencari bahan makanan. Sangat beda dengan etos kerja orang Jawa atau Bali. Di Gunung Kidul, bahkan tanah keras berbatu-batu pun akan ditanami dan dimanfaatkan secara optimal. Di Sumba Timur, banyak tanah yang subur tapi dibiarkan tidak tergarap, namun mereka sering teriak kekurangan bahan pangan.

Pada prinsipnya, dokter Kris membuka diri untuk melakukan kerjasama dalam bidang jaminan kesehatan peserta SM-3T, tinggal kami yang mengajukan konsep MoU-nya seperti apa. Karena kami belum pernah melakukan MoU dalam bidang jaminan kesehatan semacam ini, dokter Kris menjanjikan akan memberikan contoh MoU-nya pada hari Senin, kalau petugas yang menanganinya sudah datang dari tugas luar kota.

Keluar dari rumah sakit, kami diantar pak Minggus kembali ke hotel. Siang ini kami akan ke kecamatan Karera, lokasi sasaran penugasan SM-3T yang terjauh. Mobil yang akan membawa kami ke Karera sudah kami pesan sejak kemarin, panther touring. Mobil kijang dinas PPO tidak laik untuk perjalanan ke Karera. Sampai di hotel, mobil beserta drivernya, namanya Oscar, pemuda asli Sumba, sudah menunggu kami.

Dan berangkatlah kami menuju Karera tepat pukul 12.00. Bekal yang kami bawa cukup meyakinkan: air mineral, nasi kotak (bu Sekdis mengingatkan kami untuk membawa bekal nasi bungkus karena sepanjang perjalanan ke Karera tidak akan menemui rumah makan), dan kletikan termasuk biskuit.

Pengalaman saya melakukan perjalanan dari Waingapu ke Waikabubak (Sumba Barat)sekitar sebulan yang lalu), ternyata tidak ada apa-apanya dibanding dengan perjalanan ke Karera. Jalan panjang yang sempit, naik turun, berkelok-kelok tajam, penuh dengan lubang-lubang besar, kubangan-kubangan yang cukup dalam, dan tanjakan-tanjakan membahayakan. Di sebelah kanan kiri jalan adalah jurang menganga, dan di seberangnya merupakan bukit-bukit yang seolah ditumpuk-tumpuk. Berselang-seling dengan lembah hijau dan padang sabana yang luas sekali. Sejauh mata memandang, adalah hamparan padang sabana itu, berlatar-belakang bukit-bukit dan pegunungan yang hijau. Sekelompok kuda sumba yang tengah merumput, tidak menghiraukan kedatangan kami yang sibuk mengambil gambar. Tetap merumput dengan begitu tenangnya. Jauh, jauh di sana, hijau menghampar, dan kuda-kuda itu, sungguh, begitu indahnya dalam kesatuan pemandangan alam yang luar biasa ini. Andai saya seorang penyair, mungkin akan saya tulis puluhan puisi untuk melukiskan keindahannya.

Saya baru kali ini mengalami perjalanan darat yang begitu menantang sekaligus mengasyikkan karena keindahan alamnya. Pengalaman melakukan survei rawan pangan di sebagian besar wilayah terpencil di Jawa Timur, Pacitan, Ngawi, Ponorogo, Banyuwangi, Madura, Probolinggo, dan lain-lain, tidak ada yang semenantang dan seindah ini. Perjalanan dari Balikpapan ke Sangata dan sebaliknya dengan melalui Kutei Kertanegara dan Tenggarong, masih jauh tantangan dan keindahan alamnya. Mungkin keindahannya bisa disejajarkan dengan perjalanan dari Medan ke Danau Toba, atau dari Padang ke Bukittinggi, namun kondisi alam Waingapu ke Karera, jauh lebih indah dan lebih menantang.

Di tengah perjalanan, kami menjumpai anak-anak sekolah yang sedang pulang menuju rumahnya. Berseragam lusuh, sebagian besar tanpa alas kaki, menenteng sebuah buku tulis dan pensil. Ada juga yang buku-bukunya dimasukkan di kantung plastik. Kami berhenti menyapa mereka, membagi biskuit (yang kami yakin pasti menjadi makanan mewah bagi mereka), dan berfoto-foto. Mereka menyambut kami dengan suka cita. Nama-nama mereka antara lain adalah: Alberto, Yohanes, Berti, Alfonso, Melki.... Wajah-wajah polos mereka begitu saya suka, namun kemiskinan yang tergambar dari penampilannya sangat menyentuh perasaan saya. Mereka berangkat sekolah pada pukul 06.00 dan sampai sekolah pukul 09.00; lantas pulang sekolah jam 12.30 dan sampai rumah sekitar pukul 15.00. Menyusuri jalan panjang, menahan lapar dan haus, dengan kaki-kaki kecil mereka yang telanjang. Saya membayangkan
bagaimana mereka belajar di sekolah dengan baik dengan tubuh letihnya, belajar di rumahnya yang kecil dan kurang penerangan. Seperti apa pula guru-gurunya? Bagaimana kondisi sekolahnya? Fasilitas dan sarana-prasarananya? Bagaimana pula anak-anak itu dipaksa harus menghadapi ujian nasional yang standarnya sama persis dengan teman-temannya di kota? Standar Nasional Pendidikan? Bahkan mereka
mau rutin datang ke sekolah saja sudah sangat bagus....

Galau hati saya memikirkan itu semua. Kondisi alam yang sangat menantang. Kemiskinan yang kental. Fasilitas yang sangat terbatas. Di tempat-tempat inilah anak-anak kami, peserta SM-3T, akan ditugaskan. Mampukah mereka? Sanggupkah mereka bertahan dalam keserbakekurangan? Kalau mereka semua bisa melaluinya dengan baik, dan berhasil menjadi agen perubahan di tempat tugas mereka, maka saya berani menjamin, merekalah guru-guru berprestasi itu, guru-guru hebat yang telah teruji oleh alam, guru-guru unggul yang harus diprioritaskan untuk menjadi motor penggerak pembangunan pendidikan di manapun di seluruh wilayah negeri ini.

Sabtu, 10 Desember 2011
Wassalam,
LN

Kamis, 15 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (5): Pelatihan Ketahanmalangan yang Gagal?

Agenda hari ini sangat padat. Saya tinggal berdua dengan bu Luci, pak Wasis sudah pulang kemarin, ketika kami sedang rapat koordinasi dengan camat dan kepala sekolah di aula dinas PPO. Dia benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik, benar-benar menjadi pengantar yang baik, benar-benar hanya mengantarkan kami, terus pulang...(Piiis, pak Wasis....).

Pagi pukul 08.30, pak Minggus, driver dinas PPO yang setia mengantar kami ke mana pun, sudah menjemput kami. Tujuan pertama adalah rumah makan. Kami tidak mau pengalaman kemarin terulang lagi, kelaparan sampai kepala pusing. Gara-gara hanya mengandalkan setangkep roti dan secangkir teh yang disediakan hotel. Sepanjang rapat di ruangan yang penuh asap rokok, dengan suguhan kue-kue berasa manis yg tdk terlalu cocok di lidah, membuat saya lebih memilih menahan lapar. Akibatnya, kepala pusing sekali, hingga sore setelah makan pun pusingnya nggak kunjung hilang.

Usai makan, kami langsung menuju kantor dinas PPO. Beberapa peserta SM-3T yang dua hari lalu beserta kami dari Surabaya, sudah menunggu di halaman kantor. Memang kami jadwalkan ada pertemuan dengan mereka, untuk menyampaikan beberapa pengumuman, terutama terkait dengan tempat tugas mereka. Selain itu juga utk mempersiapkan mereka dalam acara serah terima ke bupati tanggal 12 Desember nanti.

Pertemuan dengan peserta berjalan lancar. Mereka anak-anak yang manis. Kadang-kadang lucu dan kolokan. Tapi bagaimana pun mereka, hampir semuanya siap dan tidak protes ditugaskan di mana pun. Dua orang yang merayu saya untuk bisa dipindahkan ke kecamatan yang lain, dengan berbagai alasan, akhirnya juga menerima dengan sangat manis setelah saya katakan, mereka harus bersyukur karena
ditugaskan di Sumba Timur, tanah kelahiran mereka. Saya katakan, 'di mana pun di Sumba Timur, itu adalah wilayahmu. Bandingkan dengan teman-temanmu yang lain, yang berasal dari segala penjuru, namun harus bertugas di sini, di Sumba Timur, dan mereka tidak boleh memilih, kecuali menerima saja di mana pun mereka ditugaskan di Sumba Timur ini.'

Selesai pertemuan dengan peserta, saya dan bu Luci masuk ke ruang ibu sekdis, ditemani ibu Rambu, Kabag Umum dan Kepegawaian. Bu Lusia sedang mengikuti acara peringatan ulang tahun darma wanita di gedung nasional. Sambil menyelesaikan konsep bahan untuk pidato bupati pada acara serah terima nanti, kami menunggu bu Lusia yang kabarnya sedang menuju ke kantor dinas PPO karena acara di gedung nasional sudah selesai. Tak berapa lama, bu Lusia, sekdis itu, datang. Beliau berbusana warna blewah, warna khas seragam darma wanita. Di mata saya, bu Lusia adalah tipikal perempuan Sumba yang cantik, trengginas, dan cerdas, namun tetap sederhana.

Seharian ini kami habiskan waktu bersama bu Lusia dan pak Minggus. Kami didampingi menuju dinas kesehatan untuk menjajagi kemungkinan kerjasama dalam hal urusan asuransi kesehatan bagi peserta SM-3T. Ternyata kerjasama tersebut bisa langsung dengan RSUD. Maka dibantu sekretaris dinas kesehatan, kami bisa mendapatkan kontak direktur RSUD dan merencanakan pertemuan besok pagi jam 09.00 di RSUD.

Keluar dari Dinas Kesehatan, kami menuju kantor bupati. Bertemu dengan bagian protokoler. Memastilkan susunan acara, konsumsi, petugas, spanduk, kursi-kursi. Bu Luci mengeluarkan sejumlah dana untuk memenuhi semua keperluan tersebut.

Usai dari kantor bupati, kami meluncur ke penginapan cendana, penginapan yang akan ditempati peserta SM-3T yang bukan dari Sumba Timur, penampungan sementara bagi mereka sebelum serah terima dari rektor ke bupati. Hari ini akan datang 99 orang peserta dengan penerbangan batavia, dan kami harus memastikan, kamar-kamar mereka, atau setidaknya tempat bernaung mereka, sudah siap, begitu juga konsumsinya.

Penginapan cendana letaknya di jalan Sabu, 5 km dari kota Waingapu. Penginapan yang masih setengah jadi. Kamar-kamar di lantai satu baru sebagian yang siap, hanya cukup menampung sekitar 70-80 orang, itu pun satu kamar diisi 5-7 orang. Di lantai 2, ada hall yang cukup besar, dan sebanyak 21 kasur dibeber di dalamnya (mengingatkan saya pada tempat pengungsian korban merapi di Maguwoharjo, bedanya, yang dibeber di sini adalah spring bed); untuk menampung sekitar 70-80 orang juga. Padahal jumlah peserta yang akan kami inapkan seluruhnya adalah 200 orang, lantas diinapkan ke mana yang 40-60 orang lagi? Ternyata pemilik penginapan sudah menyiapkan lantai 2 rumahnya yang besar, untuk menerima mereka yang tidak tertampung di penginapan cendana. Masalah terpecahkan.

Yang menarik di penginapan cendana ini adalah, dia berada di atas ketinggian. Dengan view yang luar biasa indah. Lembah dan padang rumput yang menghampar luas. Perbukitan hijau yang dihiasi jalan setapak panjang yang terlihat meliuk-liuk dari kejauhan. Saya menikmati keasriannnya meski hanya sekejap. Mengagumi keindahan dua kuda sumba yang sedang merumput di padang sabana nun jauh di bawah sana (jadi ingat puisi mbak sirikit). Benar-benar indah. Benar-benar mendamaikan.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 13.00. Perut sudah mulai lapar. Maka kami mengajak bu Lusia dan pak Minggus untuk mampir di rumah makan jawa. Saya makan mie goreng dan telur ceplok. Bu Luci dan pak Minggus makan ikan baronang bakar besar. Bu Lusia makan nasi pecel dan bakwan jagung. Beliau mengurangi makan daging, selain karena tidak terlalu suka, juga karena dia memiliki masalah kolesterol.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami menuju bandara. Bila tepat waktu, pesawat akan mendarat pada pukul 14.00. Tapi di perjalanan menuju bandara, pak Suwarno, salah satu teman dosen pendamping, menelpon saya bahwa sebentar lagi pesawat akan lepas landas dari Kupang menuju Waingapu. Wah, berarti masih 40 menit lagi. Tidak masalah. Kami bisa menunggu mereka di bandara.

Di bandara Waingapu, tempat tunggu para penjemput berada di teras yang tidak terlalu luas (mungkin lebih tepat disebut emperan). Disediakan kursi-kursi kayu panjang. Pada pukul 14-an, matahari tepat di depan kita bila kita duduk di kursi-kursi itu. Sangat panas dan menyilaukan. Suhu di Sumba Timur lebih panas daripada di Surabaya. Karena tidak tahan dengan panasnya yang luar biasa dan menyilaukan, saya mengajak bu Luci, bu Lusia, dan pak Minggus, masuk ke kafe Jawa, letaknya di samping bandara. Kafe yang lebih tepat disebut warung itu. Yang harga makanannya mahal sampai menurutku tidak rasional itu. Tidak ada pilihan. Saya tidak mungkin membiarkan kami semua tersiksa di luar.

Kami menunggu beberapa saat di kafe. Minum es jeruk dan makan kletikan. Ketemu pak Erwin (kabid TK/SD) dan pak Alfons Moy (kabag Pemuda dan Olahraga). Semua dengan tujuan yang sama, menjemput peserta SM-3T. Komitmen semua komponen dinas PPO ini memang luar biasa. Tidak peduli sekdis, kabag, kabid, apalagi tingkat pelaksana, semuanya turun gunung untuk memastikan program berjalan lancar.

Dan tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu itu. Batavia mendarat. Kami keluar dari kafe, bergerak ke arah pagar pembatas lapangan terbang. Kami ingin melihat mereka semua ketika keluar dari pintu pesawat. Dan benar, pemandangan yang saya lihat seperti bayangan saya. Batavia berkapasitas 140-an orang itu penuh dengan mereka yang berkostum hitam. Jaket SM-3T. Pak Suwarno, pak Nursalim, dan bu Nanik, kami lihat keluar lebih dulu. Diikuti dengan para peserta, yang tidak langsung berjalan menuju gedung terminal, tetapi berfoto-foto dulu. Dasar anak-anak. Tangan mereka melambai-lambai ke kami yang ada di luar pagar.

Panas begitu menyengat. Peserta satu per satu keluar dari terminal dengan bagasi mereka. Luar biasa. Bagasinya....'nggegilani'. Benar-benar nggegilani. Tidak cukup hanya koper-koper besar, tapi juga karung-karung plastik yang diselotip penuh. Subhanallah. Apa saja yang mereka bawa? Apa tidak melebihi timbangan?

Saya bertanya pada seorang peserta perempuan, apa saja yang ada dalam karung plastik besar yang dibawanya. Rice cooker, kompor, sprei, dan bahan makanan. Dia harus nambah 300 rb untuk kelebihan muatannya. Saya tanya, 'apa 'bekakas' yang ada di karungmu itu nilainya ada 300 rb?' Jawabnya, 'tidak, bu, tapi nggak papa, bu, kan untuk setahun....'

Anak-anak itu sepertinya takut tidak bisa makan di Sumba Timur. Seperti tidak siap lapar, apa pun dibawa, sambal pecel, kering tempe, sambal bajak, abon, kecap, garam, gula, teh, kopi, rambutan, bahkan ada juga yang membawa boneka besarnya. Oh Tuhan. Saya ngeres melihat pemandangan itu. Pelatihan ketahanmalangan tidak berhasilkah?

Sore itu kami semua jadi manol di bandara. Bergotong-royong memindahkan bagasi peserta dari depan pintu terminal menuju ke dua buah bus yang akan mereka tumpangi menuju penginapan. Dan benar saja, dua bus itu tidak cukup. Bagasi mereka saja melebihi satu bus. Ditumpuk-tumpuk di atas atap bus pemda pun masih tidak cukup. Bus harus 'ngunjal' separo dari mereka dulu ke penginapan, balik lagi untuk mengambil separonya. Saya dan bu Luci menunggui mereka di halaman bandara sampai mereka dijemput bus. Sekitar satu jam kemudian baru kelar.

Kami bersama pak Minggus menuju penginapan Cendana. Lega karena semua peserta dan bagasinya telah terangkut. Tapi pikiran saya bercabang-cabang. Anak-anak manja tadi terus menyita pikiran saya. Siapkah mereka hidup di tengah-tengah belantara masyarakat Sumba Timur yang mungkin tantangannya tak pernah mereka bayangkan? Saya ingin meyakinkan diri saya sendiri mereka akan sanggup menjalaninya. Mereka akan tertempa oleh alam, oleh keadaan, oleh tuntutan dan tantangan.

Jumat, 9 Desember 2011
Wassalam,
LN

Ke Sumba Lagi (4): Pertemuan yang Bermakna

Pagi jam 08.30 kami bertiga, saya, pak Wasis dan Bu Luci, sudah berada di kantor Dinas PPO. Kami diantar masuk ke ruang ibu sekdis. Perempuan itu menyapa kami dengan pertanyaan apakah kami nyenyak tidur semalam. Kami jawab, begitu kami masuk kamar semalam, kami langsung 'hilang', lelap sampai pagi.

Bersama ibu sekdis, kami memasuki ruang bapak kadis. Bertemulah kembali saya dengan laki-laki tinggi besar yang ramah itu. Di dalam ruangannya yang ber-AC, tapi penuh dengan asap rokok. Saya melaporkan bahwa kemarin kami membawa 46 peserta SM-3T yang berasal dari Sumba Timur, pulang dari Surabaya, setelah mengikuti tahap prakondisi. Saya juga menyampaikan salam pak Rektor, dan keinginan beliau utk suatu saat bisa melakukan kunjungan ke daerah sasaran yang terluar. Kami juga meminta supaya pengawas dilibatkan utk bisa memastikan para peserta melaksanakan tugas pengabdiannya dengan sebaik-baiknya, di bawah bimbingan dan arahan para pengawas.

Pukul 09.00 kami keluar dari ruang pak Kadis, menuju ke aula. Di sana sudah menunggu 21 camat dan 103 kepala sekolah, mulai dari PAUD, SD, SMP, SMA, dan SMK. Pagi ini kami akan rapat koordinasi dengan semua camat dan kepala sekolah yang menjadi sasaran kegiatan SM-3T Unesa. Rapat dipimpin langsung oleh Asisten Administrasi Pemkab Sumba Timur.

Konsumsi pertemuan adalah berbagai macam kue yang semuanya berasa manis: bolu kukus yang ujungnya berwarna hijau sekali, kue cuncum yang vlanya berwarna pink, dan kue karamel yang coklat tua. Kue-kue itu diletakkan di piring-piring, dua piring dibiarkan di meja depan di tempat pak kadis, pak asisten, saya, dan bu sekdis. Piring-piring yang lain disorongkan dari satu orang ke orang lain, untuk mereka ambil salah satunya. Tidak ada snack box dengan macam-macam kue yang legit, gurih, harum, dan berkesan mahal seperti yang biasa kita temui pada rapat-rapat di Surabaya. Hemat, simpel.

Saya diminta pak Asisten utk menjelaskan apa itu SM-3T kepada peserta rapat. Sebagian besar mereka mungkin sdh pernah mendengar tentang SM-3T. Namun apa sebenarnya SM-3T, mungkin mereka belum memahami secara utuh. Tugas saya adalah menjelaskan kepada mereka terkait dengan program Dikti itu, tujuannya, ruang lingkupnya, dan tindak lanjut setelah program. Secara tulus saya sampaikan ucapan terimakasih kepada Bupati dan Kepala Dinas PPO Sumba Timur beserta jajarannya, camat, kepala desa dan seluruh masyarakat Sumba Timur. Mereka semua telah menyambut program ini dengan sangat proaktif, mulai dari tahap sosialisasi sampai saat ini. Komitmen mereka utk mensukseskan program ini begitu luar biasa.

Saya juga menyampaikan bahwa kami menitipkan seluruh peserta SM-3T Unesa di bawah bimbingan dan arahan beliau-beliau. Mereka menyambutnya dengan sangat baik. Bisa saya lihat dari sorot mata dan pancaran wajah mereka. Ketulusan dan keterbukaan. Juga dari kalimat-kalimat yang terlontar dalam sesi tanya jawab. Penuh dengan rasa syukur dan ucapan terima kasih, karena program ini bagi mereka adalah bukti nyata kepedulian pemerintah pusat pada pemerintah daerah, khususnya di daerah 3T, dan khususnya lagi pada bidang pendidikan.

Pak Asisten juga sempat menceritakan bahwa pada beberapa waktu yang lalu, salah satu pulau terluar di Sumba Timur, yaitu Pulau Selura, melakukan gerakan melepaskan diri dari NKRI. Mereka merasa tidak ada untungnya menjadi bagian dari NKRI, karena tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah pusat atas nasib mereka. Saat ini, di Pulau Selura yang hanya memiliki 1 SD, akan didirikan SMP satu atap sebagai respon pemerintah atas teriakan mereka. Ketika pak Asisten menjelaskan hal tersebut, pak camat Selura manggut-manggut tanda setuju. Pulau Selura bisa dicapai dengan waktu sekitar 5-6 jam dari Waingapu dengan mobil, dan sekitar setengah jam menyeberang laut. Namun bila musim barat seperti ini, bahkan bapak kabid pun tidak sanggup untuk mengantar sampai ke sana. Pak Rektor mungkin berminat utk mengunjungi pulau ini dalam kegiatan supervisi nanti.

Rapat koordinasi siang itu menjadi rapat yang benar-benar bermakna. Selain mencerahkan bagi para camat dan kepala sekolah tentang apa itu SM-3T, juga menjadi ajang curhat bagi para camat. Curhat yang penuh dengan harapan agar pertemuan seperti ini lebih sering diadakan, dan agar pemda serta dinas PPO lebih memahami berbagai kendala yang mereka hadapi di lapangan. Bagi kami, tim SM-3T Unesa, pertemuan ini sangat membantu kami dalam mendekatkan program pada masyarakat, khususnya perangkat kecamatan dan kepala sekolah, sehingga mereka merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab atas suksesnya program. Sayangnya, seperti pada pertemuan-pertemuan yang lain, pertemuan ini pun dipenuhi dengan asap rokok. Mengepul-ngepul memenuhi ruangan yang panas. Mulek, membuat dada ampek.....

Kamis, 8 Des 2011
Wassalam,
LN

Rabu, 14 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (3): Jumpa Waingapu Lagi

Akhirnya mendaratlah kami di Umbu Mehang Kunda Airport. Pukul 16.30 waktu Waingapu. Begitu memasuki ruang pengambilan bagasi, kami langsung disambut oleh perempuan hitam tinggi besar, rambut ikal yang diikat ke belakang, mata tajam dan berkaca mata. Khas perempuan Sumba. 'Selamat datang, bu Prof', sambutnya, menyalami saya, dan kami berpelukan akrab. Dialah ibu Lusia M. Kitu, sekretaris Dinas PPO Sumba Timur. Beliau yang tempo hari menjadi narasumber di tahap prakondisi, untuk materi kondisi pendidikan di Sumba Timur. Perempuan paling cerdas yang saya temui di Sumba Timur.

Saya kenalkan bu Luci dan pak Wasis kepada bu Lusia. Peserta SM-3T juga menyalami beliau. Berbondong-bondong dengan muka cerah. Di luar, sanak saudara mereka telah menunggu. Seperti orang yang habis pulang umroh, mereka seperti tidak sabar utk segera bertemu.

Udara panas sekali dan pengap di ruang pengambilan bagasi yang sempit. Ada 2 kipas angin, satu tidak berfungsi. Keadaan yang sama ini saya alami ketika saya pertama kali datang ke sini sekitar sebulan yg lalu. Panas, pengap, penuh asap rokok.

Tiba-tiba seseorang menyapa saya. Aryanto, driver yang pernah mengantar kami, saya dan pak Pramukantoro, mengambil data dewan pendidikan ke Waikabubak dulu. Dengan penampilan yang sama. Kaus putih, kalung salib, dan gelang monel besar melingkari tangannya.

Setelah bagasi keluar dan berada di tangan kami masing-masing, pak Wasis mengambil tempat tepat di depan pintu keluar. Setiap peserta yang keluar diminta boarding pass-nya. Tidak boleh kelewatan, atau kami akan kesulitan meng-spj-kan transpor mereka.

Bu Lusia ternyata dengan pak Dominggus, driver dinas PPO yang juga menjemput kami ketika pertama kali datang ke Waingapu dulu. Dan, seperti juga yang lalu, kami mampir di rumah makan Mr Cafe. Perut lapar kami membuat kami mampu melahap sup buntut sampai nyaris habis tandas.

Kami diantar ke hotel Merlin. Hotel yang cukup terkenal (tidak berarti paling bagus) di Sumba Timur. Dibanding dengan hotel Alvin tempat kami dulu menginap, hotel Merlin memang lebih ramai. Di depannya ada tanah lapang, yang setiap sore orang duduk-duduk bersantai sambil makan jagung bakar dan aneka jajanan yang lain. Di seberang kanannya, ada pasar tradisional yang menjual berbagai macam
kebutuhan, bahan kering, bahan basah, kain-kain khas Sumba, dan juga souveneer yang lain.

Ketika mengantar kami masuk kamar, seseorang menyapa bu Lusia. 'Mama, kenapa mama antar sendiri tamu ke hotel?'. Jawab bu Lusia: 'Ya, karena ketika saya ke Surabaya, bu Prof juga antar saya ke hotel.' O o....saya baru menyadari, sebulan yang lalu, ketika tiba di bandara Waingapu, saya hanya dijemput driver, tanpa siapa-siapa. Tapi ketika bu Lusia ke Surabaya, saya dan bu Asri, bendahara SM-3T, menjemput bu Lusia dari bandara, menemaninya makan malam, dan mengantarnya sampai ke lobi hotel. Tentu saja dengan diantar driver dan mobil kampus. Hal itu ternyata menjadi catatan khusus baginya, sehingga sore ini beliau merasa harus menjemput sendiri kami dari bandara.

Kami rasan-rasan dengan pak Wasis dan bu Luci: ya....beliau pejabat, layak kita jemput. Lha kita ini? ....dijemput driver pun sudah bagus.....

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN

Selasa, 13 Desember 2011

Ke Sumba Lagi (2): Terdampar di Maumere

Kami menikmati penerbangan dengan cukup nyaman. Meskipun udara di dalam pesawat agak panas. AC-nya rupanya lagi tidak beres. Dari Juanda menuju Ngurah Rai, ditemani sepotong roti dan segelas air mineral. Di depanku, Umbu Lara Lunggi, bercanda kocak dengan teman-teman di sebelah kanan-kirinya, Apriani Rambu Dai Duka dan Magdalena Lika Ndewa. Anak periang itu menggoda Magda yang ketakutan
naik pesawat. Setiap ada guncangan sedikit saja, Umbu teriak-teriak histeris sehingga membuat Magda pucat-pasi. Apalagi ketika landing di Ngurah Rai, Umbu teriak keras bersamaan dengan mendaratnya roda pesawat di landasan. Teriakannya memancing yang lain juga teriak-teriak kaget, namun segera berganti menjadi sumpah-serapah ketika tahu anak bengal itu sengaja membuat teman-temannya histeris.

Saya dan bu Luci tertawa-tawa saja melihat kelakuan mereka. Seringkali mereka melontarkan ucapan-ucapan dengan bahasa Jawa yang medok. 'Lho lho lho lho.....sik, sik, sik.....'. Kami awalnya tidak paham kalau mereka sedang menirukan ucapan khas teman kami, bu Trisakti. Karena kalimat itu sering dilontarkan, yang kemudian mengundang gelak tawa mereka, kami akhirnya juga tertawa geli setelah tahu maksudnya. Bu Trisakti, salah satu tim inti kami yang mungkin paling sering berinteraksi dengan mereka. Mulai dari tahap rekrutmen sampai prakondisi. Selama masa itu, dia yang sering menegur peserta yang lupa tidak mengenakan ID-card, atau mengenakan T-shirt, atau masuk ruangan tidak
bersepatu, atau yang lupa tidak mengisi daftar hadir, dengan kalimat 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'. Setelah upacara pelepasan di auditorium, dia juga yang intens memberikan instruksi ke peserta tentang berbagai hal terkait dengan apa yang harus dilakukan menjelang pemberangkatan, membagi pengelompokkan peserta utk memudahkan koordinasinya, menekankan jam berapa mereka harus dating di Juanda, di mana berkumpulnya, dan lain-lain. Pengalamannya membawa rombongan
besar melakukan perjalanan di dalam maupun ke luar negeri, sangat membantu kami dalam mengkoordinir peserta. Dan di sela-sela instruksinya, bila ada peserta yang mis-communication, dia akan menjawabnya dengan kalimat pembuka 'lho lho lho lho....sik, sik, sik....'.

Ngurah Rai kami tinggalkan. Udara di dalam pesawat tetap panas. Kami sedang menuju Kupang. Akan transit sebentar dan melanjutkan perjalanan ke Waingapu. Ditemani dengan roti yang jenisnya sama persis, dan juga segelas air mineral yang sama persis. Beberapa saat kemudian, pramugari mengumumkan kalau pesawat akan segera mendarat di Bandara El Tari, Kupang. Mendung tebal dan gelap ada di bawah kami. Rupanya cuaca tidak terlalu bagus. Dan benar, setelah beberapa saat
menunggu, pesawat tidak kunjung mendarat, pramugari malah mengumumkan bahwa pesawat batal mendarat di Kupang karena cuaca buruk. Pesawat langsung menuju Maumere, akan mendarat di sana, yang selanjutnya menunggu sampai cuaca memungkinkan utk terbang kembali ke Kupang. Begitu pramugari menyelesaikan pengumumannya, saya langsung teriak 'SM-3T!'. Para peserta menyambutnya dengan yel-yel: 'Maju bersama mencerdaskan Indonesia!' Diakhiri dengan tepuk-tangan riuh-rendah.

Maka turunlah kami semua di Frans Seda Airport. Untuk memanfaatkan waktu, kami berfoto-foto di depan papan nama. Lantas lapor ke bagian transit. Masuk ke ruang tunggu. Perut lapar membuat mata kami liar ke sana-kemari mencari mangsa. Dan bertemulah kami dengan counter makanan yang menjual mie instan. Kami memesan sejumlah pop mie, utk kami bertiga, dan untuk para peserta. Juga minuman botol yang dingin. Udara panas di pesawat membuat kami ingin minum yang segar-segar.

Beberapa peserta sudah mulai menyantap makanannya. Giliran kami bertiga. Pop mie sudah di tangan. Belum sempat kami makan, ada pengumuman kalau pesawat kami akan segera terbang menuju Kupang, dan kami semua diminta utk segera memasuki pesawat. Pak Wasis agak gugup, melahap mie-nya yang masih setengah matang dengan terburu-buru. Saya tenang saja, meminta kantung plastik ke penjual, memasukkan pop mie ke kantung, menentengnya. Begitu juga bu Luci. 'Mana boleh bawa mie masuk pesawat', protes pak Wasis. Saya jawab, 'salah sendiri, siapa suruh singgah di Maumere, perut lapar lagi'. Pak Wasis pun ikut-ikutan minta kantung plastik, dan menenteng mie instannya masuk pesawat.

Tentu saja, tidak pernah kami bayangkan suatu ketika kami akan menyantap mie instan di dalam pesawat. Saya sendiri sudah beberapa hari ngidam pingin makan mie instan, sejak instruktur pelatihan outdoor menginstrusikan peserta utk belanja perbekalan mereka, termasuk mie instan, menjelang berangkat ke Dlundung. Sudah sempat juga makan mie instan di Dlundung, tapi masih belum puas.
Tidak disangka-sangka, keinginan itu kesampaian lagi justru ketika kami sedang terdampar di Maumere, dan menyantap mie instan kami di dalam pesawat yang sedang terbang. Ternyata, menikmati mie instan di udara, sensasinya luar biasa...(Ini ceritaku....apa ceritamu?).

Wassalam,
LN

Senin, 12 Desember 2011

Ke sumba lagi (1): Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia

Pagi pukul 05.30, saya sudah berada di Wisma PU. Diantar mas Ayik. Dua bus Unesa sudah parkir di halaman PU. Menunggu para penumpangnya, peserta SM-3T dari Sumba Timur, yang akan kembali ke Sumba Timur untuk menunaikan tugas. Selama 9 hari mereka, bersama-sama peserta yang lain, lulusan dari berbagai perguruan tinggi, telah dikarantina di Wisma PU untuk kegiatan prakondisi. Tiga hari yang lain mereka habiskan di bumi perkemahan Dlundung, Trawas, Mojokerto, utk menerima pelatihan ketahanmalangan dan berbagai aktivitas outdoor.

Saya sendirian sebagai pendamping di PU pagi ini. Dua teman saya, pak Wasis dan bu Luci, langsung ke Juanda dari rumah masing-masing. Pak Nardi yang mengurusi tiket, bahkan sudah sms saya jam 05.00 tadi, dia sedang men-check in-kan kami semua, 46 peserta dan 3 pendamping.

Daftar peserta sudah ada di tangan saya. Beberapa peserta sudah ada yang keluar dari kamar mereka, menuju bus yang menunggu, lengkap dengan bagasi mereka yang....bo-abooh....ngalah-ngalahi orang mau pergi haji. Dandanan mereka necis-necis. Beberapa malah dengan penampilan yang beda banget dengan ketika pertama kali mereka masuk ke wisma PU. Dengan baju dan celana panjang ketat, berkaca-mata hitam, dan sandal atau sepatu modis, serta rambut yang sudah di-rebounding (gara-gara rebounding ini panitia sampai harus menunggui mereka hingga pukul 22.00 malam!). Kemarin setelah upacara pelepasan di auditorium (dilepas oleh pak Rektor), dua bus Unesa memang kami sediakan khusus bagi mereka, untuk mengantar mereka berwisata kemana pun mereka inginkan, lapindo, jembatan suramadu, ITC, plaza...beberapa di antaranya menyempatkan diri ke salon (emaknya saja nggak sempat-sempat mau ke salon!).

Saya mulai memanggil satu per satu nama peserta, memastikan mereka masuk ke bus. Eryxon, ketua kelompok Sumba Timur, saya minta membagikan nasi dus, konsumsi sarapan pagi ini. Beberapa yang lain saya minta 'ngoprak-ngoprak' teman-temannya yang masih belum muncul. 'Sebentar, Ibu, Yuvent masih pasang sepatu...', itu salah satu laporan salah seorang dari mereka, setelah menengok temannya yang masih belum keluar kamar.

Kami berangkat tepat pukul 06.00 menuju Juanda. Dua bus penuh sesak. Di kursi belakang penuh bagasi. Kebek mencep. Peserta menyantap makan paginya. Sebelum sampai bandara, kuminta mereka sudah menyelesaikan sarapannya, dan memasukkan kotak-kotak nasi itu ke kantung plastik besar, sebelum mencapai Juanda.

Hari ini kami memberangkatkan 46 peserta SM-3T, yang semuanya berasal dari Sumba Timur. Mereka kami berangkatkan lebih dulu karena kalau tidak, kami harus terus menampungnya di wisma PU termasuk menanggung kebutuhan makannya selama di penginapan itu. Mereka tidak punya sanak saudara di sini, tidak seperti peserta yang lain, yang bisa pulang ke rumah masing-masing atau pulang ke kampong halamannya, selepas masa prakondisi. Sebanyak 99 peserta yang lain akan kami berangkatkan tanggal 9 Desember, sedangkan 92 yang lain kami berangkatkan tanggal 11 Desember. Sesuai jadwal penerbangan yang ada, yang memang tidak setiap hari tersedia.

Bu Luci dan pak Nardi menyambut kami di drop-zone begitu bus berhenti di keberangkatan domestik. Pak Nardi langsung bertindak cepat. Memanggil ketua-ketua kelompok, memastikan kesepuluh anggota mereka sudah pegang bagasi masing-masing, dan meminta ketua kelompok membagikan boarding pass. Ya, kami semua langsung menerima boarding pass, tiket sudah diamankan pak Nardi. Lantas, seperti iring-iringan kuda sumba, mereka mengekor di belakang saya, dan bu Luci di barisan paling belakang sebagai penyapu.

Kami melewati pintu masuk dengan tertib. Berbaris rapi di depan counter check-in yang ramai. Menimbang bagasi kami satu per satu. Salah seorang peserta tiba-tiba lapor ke kami, satu tas besar akan dibawanya masuk ke pesawat, karena timbangannya melebihi batas. Saya mencoba mengangkat tas itu. Buwerat banget. Saya perkirakan lebih dari 15 kg. Entah apa yang dibawanya. Di saat itu, muncullah pak Wasis. Maka tanpa pikir panjang, saya minta pak Wasis utk mengambil alih bagasi itu, menimbangnya sebagai bagasi dia. Dari awal memang sudah kami kondisikan, bagasi jangan sampai melebihi 20 kg/orang. Meskipun sebenarnya bisa ditimbang sebagai bagasi group, tapi kami tidak ingin peserta
'jor-joran' bagasi. Repot sendiri nanti panitianya.

Kami lantas menuju ruang tunggu di lantai 2. Beberapa peserta masih menenteng tas dan kantung-kantung plastik. Ada yang berisi roti boy, dunkin donut, ada yang berisi apel manalagi, ada juga yang isinya mainan anak-anak. Oleh-oleh untuk sanak saudara mereka. Seorang peserta, namanya Arifuddin, lulusan STKIP Bima, semalam sms saya, 'Ibu, saya ingin membawakan oleh-oleh utk ibu saya, apa yang sebaiknya saya beli?' Saya jawab, 'belikan saja baju, ibu biasanya suka sekali kalau dibelikan baju'. Maka pagi itu ketika saya tanya apa yang dia beli untuk ibunya, dia jawab, 'saya beli baju seperti saran ibu'. Sebagian besar dari mereka keranjingan shopping setelah siang hari sebelumnya menerima beasiswa
bulan pertama mereka, 2 juta rupiah dan bantuan biaya hidup 500 ribu.

Menunggu boarding ternyata mengasyikkan juga. Melihat tingkah polah mereka. Melihat gaya mereka yang tiba-tiba saja menjadi remaja-remaja metropolis. Seperti di sinetron-sinetron. Juga kepolosan mereka yang mengagumi begitu besar dan megahnya bandara Juanda. Dan keceriaan mereka, kekonyolan mereka, serta kebahagiaan karena akan segera bertemu dengan sanak saudara.

Akhirnya masuklah kami ke dalam Batavia Air. Kami akan terbang menuju Waingapu, ibukota Sumba Timur. Di hampir seluruh pelosoknya, kami akan saling bahu-membahu menabur benih-benih ketulusan, menanamkan cinta kasih dan kepedulian bagi sesama, bagi anak-anak bangsa di titik-titik terpencil di negeri ini. Seperti yel-yel yang selalu kami dengung-dengungkan: Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia!

Rabu, 7 Desember 2011
Wassalam,
LN

Minggu, 04 Desember 2011

Ultah di Dlundung

Pukul 08.30. Cuaca agak mendung. Tapi kami berangkat menuju Dlundung, menengok kegiatan pelatihan ketahanmalangan peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, Terluar). Sebetulnya saya disediakan mobil Unesa, tapi karena kami masih ada tamu, dan mas Ayik menginginkan untuk mengantarkan saya, maka teman-teman panitia saya minta berangkat lebih dulu bersama driver kampus.

Dlundung mendung ketika kami datang pada pukul 10.30-an. Sejak dari pintu masuk camping ground, para peserta SM-3T sdh terlihat, dengan kaus abu-abu dan scarf oranye-nya. Bergerombol-gerombol. Di antara mereka ada sejumlah orang berkaus hitam kombinasi kuning, yang di punggungnya bertuliskan 'instruktur'. Merekalah para pelatih dan pendamping. Tim yang terdiri dari dosen FIK, dokter, anggota TNI, anggota Menwa, dan anggota Pramuka, serta belasan mahasiswa senior.

Kami turun dari mobil dan disambut dgn teriakan pak Tutur Jatmiko serta bu Nanik Indahwati. 'Selamat datang, Prof (Prof, panggilan yg tdk terlalu saya sukai). Mereka adalah dua orang dosen FIK, yang di mata saya, begitu luar biasa. Bu Nanik (sebentar lagi doktor, tinggal menunggu ujian terbuka), adalah coordinator prakondisi peserta SM-3T. Sedangkan pak Tutur adalah koordinator kegiatan outdoor, termasuk pelatihan ketahanmalangan. Pengalamannya dalam menangani kegiatan outbond begitu terlihat dari caranya mengemas kegiatan prakondisi ini menjadi begitu bermakna: penuh tantangan, kedisiplinan, kerjasama, tanggung jawab, kemandirian, sekaligus kegembiraan. Saya seperti menemukan kekuatan baru dengan adanya bu Nanik dan pak Tutur, dua di antara tim inti program SM-3T yang sangat bisa diandalkan.

Ternyata saya dan mas Ayik datang bersamaan dengan bu Trisakti (doktor Seni Rupa), yang juga tim inti program SM-3T. Dia adalah koordinator rekrutmen. Komitmennya sangat mengagumkan. Dia orang yang super cermat, pekerja keras, dan sangat menyenangkan karena begitu humoris. Kalau pekerjaannya tidak kunjung selesai sementara deadline semakin mengejar, atau bila ada salah satu teman melakukan kesalahan prosedur, maka yang dilakukannya adalah melempar joke segar sehingga suasana kerja tetap menyenangkan meski di bawah tekanan, sepanjang hari. Kegemarannya memotret  membuatnya cepat terpisah dari kami, menyelinap di antara tenda-tenda peserta, bergerak dari satu titik ke titik yang lain, memotret ke sana kemari. Seperti halnya bu Nanik dan pak Tutur, bagi saya, bu Trisakti bagai tiang utama dalam bangunan SM-3T. Kinerjanya sudah sangat teruji.

Kami berempat, saya, pak Tutur, bu Nanik, dan bu Trisakti, membaur dengan peserta. Mereka baru saja melakukan berbagai aktivitas outdoor, dan sekarang sedang bersiap utk makan siang. Konsumsi makan sehari-hari harus mereka adakan sendiri, dengan sejumlah uang belanja yang disediakan panitia, dan jenis serta jumlah bahan pangan yang juga ditentukan panitia. Beberapa bahan pangan yang harus mereka bawa adalah nasi jagung, sagu, ikan asin, dan mie instan. Bahan segar bisa belanja di tempat perkemahan. Jadi siang itu kami menikmati bubur sagu yang dimasak peserta, di salah satu tenda. Bubur kental berwarna coklat tua dengan kuah santan. Gurih dan manis. Di tenda lain, peserta menyiapkan nasi jagung, ikan asin, dan sambal terasi utk makan siang mereka. Ada juga yang makan nasi putih dengan osen-oseng tahu tempe saja. Apa pun menunya, mereka semua makan dengan lahap. Ada yang menggunakan piring plastik, kertas lilin, kom nasi, kom sayur, dan yang membuat kami terpingkal-pingkal, ada juga yang menggunakan tutup dandang sabluk sebagai piring makan. Wah....wah....

Saya dan mas Ayik menyempatkan diri bergabung di tenda panitia, bersantap makan siang dengan menu utama rawon. Mas Ayik bahkan mendapatkan bonus pijet dari pak Tutur, karena kemarin dia habis jatuh dan kaki kanannya agak njarem. Dasar tukang guyon, mijetnya sambil berkelakar dan penuh dengan saling lempar olok-olokan. Kami juga menikmati jagung bakar dan mie instan di sebuah warung tenda di dekat tenda panitia. Ada juga belasan butir durian yang, karena kami sudah kekenyangan, memilih tdk ikut pesta durian.

Siang itu adalah momen yang begitu menyenangkan. Menikmati kebersamaan bersama orang-orang hebat. Di alam bebas. Di bawah rintik-rintik gerimis. Di antara pepohonan hijau yang tinggi menjulang. Berbaur dengan anak-anak bangsa yang penuh cita-cita dan harapan.

Dan yang lebih membahagiakan hati saya adalah ketika mas Ayik berkomentar: ini adalah hadiah ulang tahun yang luar biasa....

Minggu, 4 Desember 2011
Wassalam,
LN