Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 02 Februari 2012

UN, Momok itu.....

UN, Ujian Nasional. Dua kata itu saya dengar puluhan kali selama kami melakukan kegiatan monev SM-3T selama 25-28 Januari kemarin. Baik dalam obrolan-obrolan tidak resmi maupun secara formal di forum-forum pertemuan di kecamatan, ketika kegiatan pengisian instrumen monev serta dialog dengan perangkat kecamatan, perangkat desa, kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T. 

Semua camat, kepala desa, kepala sekolah, dan guru-guru di sekolah tempat peserta SM-3T, menyambut dengan tangan terbuka dan penuh rasa bangga kehadiran para peserta. Penghormatan mereka pada guru-guru muda itu pada umumnya juga sangat baik. Banyak persoalan pendidikan dan pembelajaran yang bisa terpecahkan, atau setidaknya ada harapan bisa dipecahkan, terutama masalah kekurangan guru dan ikutannya. Semua sekolah yang ditempati sebagai tempat tugas peserta SM-3T adalah sekolah miskin. Satu sekolah, apakah itu SD atau SMP, rata-rata hanya memiliki 2-5 guru PNS (termasuk kepala sekolah), dengan jumlah rombel 6-9. Dengan kondisi sarpras yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Beberapa bangunan sekolah memang cukup bagus (bantuan dari pemerintah Australia), begitu juga perlengkapan media pembelajarannya, namun hanya pada sebagian kecil sekolah. Itu pun belum dimanfaatkan secara maksimal, karena kekurangan guru dan tenaga kependidikan.
  
Selain guru PNS, pada umumnya sekolah juga memiliki sekitar 2-5 guru honorer komite. Mereka adalah lulusan SMA, yang sebagian dari mereka saat ini sedang menempuh S1 di Universitas Terbuka (UT). Gaji mereka berkisar antara Rp.150.000-Rp.250.000 sebulan. Lulusan SMA-IPA mengajar bidang studi IPA, lulusan SMA-IPS mengajar bidang studi IPS. Cukup dengan bekal ilmu yang diperoleh di bangku SMA dan sedikit-sedikit dari kuliah di UT yang masih berproses.  

Sebagian besar siswa berasal dari pelosok yang jarak dari rumah ke sekolahnya hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Ada yang harus menempuh jarak 8 km sehingga total jarak pulang-pergi adalah 16 km. Bersepatu kedodoran, bersandal jepit, atau bertelanjang kaki, dan seringkali tiba di sekolah dengan kaki luka-luka (sehingga peserta SM-3T mempunyai tugas tambahan, mengobati luka-luka mereka dengan obat luka sebelum pembelajaran dimulai). Dengan pakaian sekolah lusuh yang juga kedodoran, sebuah buku dan sebatang pensil. Dengan tubuh yang kotor, berdaki dan hidung yang selalu beringus. Seorang peserta SM-3T yang bertugas di SDN Okatana, namanya Nuruddin, bercerita dalam forum pertemuan di kecamatan, dia bersama teman-temannya memiliki kebiasaan menggiring anak-anak 'ingusan' (dalam arti yang sebenarnya) itu ke sungai, sedikitnya seminggu sekali, untuk dimandikan dan diajari gosok gigi.  

Di kelas, mereka belajar dengan buku-buku yang jumlahnya sangat terbatas. Guru akan meminjamkan buku itu (atau mereka mengambilnya di 'perpustakaan sekolah'), digunakan secara berkelompok, dan buku ditarik lagi setelah pelajaran selesai. Seringkali buku hanya ada satu-satunya, sehingga hanya guru yang memegang, dan siswa akan mencatatnya dari tulisan guru di papan tulis. Mereka mencatat apa saja di satu-satunya buku tulis mereka. Guru mengajar dengan bahasa campuran, bahasa Indonesia dan Sumba. Banyak siswa SD kelas tinggi (4-6) yang belum lancar berbahasa Indonesia. Sedangkan adik-adik kelas mereka tentu saja banyak yang 'nggak nyahut' diajak berbahasa Indonesia. Seorang teman kami, Dr. Sukemi, meminta salah seorang murid kelas 5 menjumlahkan 34+12. Tahukah Anda berapa ketemunya? Bukan 46, tetapi 10. Ya. Mereka menjumlahkannya dengan cara: 3+4+1+2. Tragis. 

Rumah mereka adalah rumah-rumah kecil yang beratap seng atau 'sesek' (jerami), berlantai tanah, berdinding 'gedheg' (bambu), dan pada umumnya merupakan sebuah ruang serbaguna untuk semua aktivitas keluarga. Makan di situ, masak, tidur, bermain, belajar, apa pun dilakukan di ruang itu. Kayu bakar adalah bahan bakar utama keluarga untuk memasak makanan sederhana mereka. Nasi (seringkali dicampur jagung), sayuran seperti daun singkong, kangkung, atau bunga pepaya; bila beruntung, kadangkala dilengkapi dengan ikan teri. Sulistiyo, seorang peserta dari desa Tawui menceritakan, bahkan bapak kepala desa pun, hampir tiap hari menunya hanyalah nasi dan sayur, karena tidak mudah untuk mendapatkan bahan makanan yang lain. Ketika mereka menikmati makanannya, bau kotoran babi dan anjing seringkali menembus masuk ke dalam rumah melalui lubang-lubang dinding bambu.

Ketika malam tiba, tubuh-tubuh lelah mereka terkulai di atas dipan, tanpa kasur. Tidak banyak aktivitas yang mereka lakukan bila malam menjelang. Para orang tua sudah kelelahan karena sepanjang hari bekerja di sawah atau di kebun, atau mencari bahan makanan di hutan. Anak-anak sudah tidak bertenaga karena selain harus menempuh jarak yang begitu jauh untuk berangkat dan pulang sekolah, mereka seringkali tetap dibebani membantu mengambil air di tempat sumber air yang jaraknya cukup jauh, atau mencari kayu bakar di hutan. Tidak ada buku di rumah. Satu-satunya buku adalah buku catatan. Lagi pula, tubuh penat mereka sudah kehabisan energi untuk belajar. Maka pulaslah tubuh-tubuh kecil itu.  Sebuah pelita memberi sedikit penerangan. Mereka yang beruntung, yang tinggal di tempat yang ada gensetnya bisa menikmati listrik selama sekitar 4 jam, mulai pukul 18.00-22.00 WITA. Itulah empat jam surga bagi mereka, termasuk bagi para peserta SM-3T. Buka laptop, 'nge-charge' hape, main game, masak nasi, dan belajar. Empat jam yang sangat berarti.

Namun dalam kondisi serba terbatas seperti itu pun, UN tetap menjadi 'primadona'. Setiap camat, kepala sekolah, kepala desa, dan perangkat desa, berharap kehadiran peserta SM-3T akan meningkatkan persentase kelulusan siswa dalam UN. Anehnya, meskipun jumlah dan mutu guru sangat kurang, proses pembelajaran, sarpras,  yang jauh di bawah standar minimal, banyak sekolah bisa mencapai 100 persen untuk tingkat kelulusan UN. Padahal kemampuan 'calistung' siswanya saja sangat memprihatinkan. Kok bisa?

Hampir semua kepala sekolah dan guru yang kami temui menyatakan, program SM-3T dapat dikatakan berhasil  atau tidak, ukuran utamanya adalah pada hasil UN nanti. Aku miris mendengarnya. Bukan hanya karena itu akan menjadi beban psikologis bagi para peserta SM-3T; namun betapa sebuah proses belajar dengan segala muatannya menjadi tidak berarti karena satu-satunya ukuran berhasil itu hanyalah UN. Nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, kepedulian, tanggung jawab, percaya diri, yang ditanamkan oleh para peserta SM-3T selama mereka bersama siswa-siswa itu, akan menguap bagai debu diterbangkan angin. UN. Sekali lagi UN. Kalau sebelumnya tingkat kelulusan siswa belum 100 persen, maka yang akan datang harus bisa mencapai 100 persen. Kalau sebelumnya tingkat kelulusannya sudah 100 persen (yang sebenarnya hal ini justeru menjadi pertanyaan besar, kok bisa?), maka persentase itu tidak boleh turun. Sesuatu yang bagi saya 'tidak ketemu nalar'.

Pembelajaran dengan fasilitas yang sangat terbatas, jumlah dan mutu guru yang masih minim, proses yang kurang bermutu, pengelolaan dan kepemimpinan sekolah yang rendah, hampir semuanya jauh di bawah standar minimal; di antara kerasnya hidup, kentalnya kemiskinan, dan rendahnya daya dukung orang tua dan masyarakat; UN di mata saya seperti makhluk gurita langka yang hidup bukan pada habitatnya. Namun anehnya, gurita itu tumbuh subur dan beranak-pinak, dan menjalar ke mana-mana, menjadi momok bagi siapa saja. Tentakelnya menepiskan hal-hal baik yang sebenarnya telah ditanamkan oleh alam dari hari ke hari. Hal-hal baik yang sebenarnya telah tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu. Hal-hal baik yang bernama kerja keras, ketekunan, kepedulian,  kebersamaan, dan kearifan.....

Tabundung, 26 Januari 2012

LN

Siapa yang Sangka Kalau 'Dia' itu Rektor?

Saya mengenalnya jauh sebelum saya jadi dosen Unesa. Ya, ketika saya masih mahasiswa, dan aktif di Himapala. Konon kabarnya, 'dia' dulunya aktif di Himapala juga, setidaknya simpatisan. Dan banyak cerita lain tentang sepak terjangnya, sejak masih sebagai ketua Dewan Mahasiswa sampai kiprahnya sebagai dosen dan konsultan di lingkungan kementerian pendidikan nasional di Jakarta. 

Keterlibatan pertama saya dengannya adalah pada tahun 2000-an. Ketika ada proyek penyusunan standar kompetensi dan bahan ajar untuk SMK. Dia meminta kami sebagai tim ahli. Kami, waktu itu terdiri dari pak Ismet, pak Soeryanto, dan saya sendiri. Saya dipercaya sebagai bendahara. Nilai proyek waktu itu, saya masih ingat betul, Rp. 300.000.000,- 

Itu keterlibatan pertama saya dengannya. Entah mengapa, meskipun sebelumnya saya tidak pernah terlibat dalam satu kegiatan bersama, namun saya langsung merasa sangat akrab dengannya. Lebih-lebih ketika dia tahu suami saya orang Ponorogo, satu 'kampung' dengannya. Dia adalah salah satu motivator hebat bagi kami orang-orang muda. Membukakan banyak celah dan jalan untuk kami bisa berbuat sesuatu. Dia seperti bapak bagi kami. Dia bisa saja tiba-tiba menepuk-nepuk keras pundak kami, atau mengucek-ngucek kepala kami, layaknya seorang bapak pada anaknya. Di mata saya, dia begitu cerdas, cekatan, terampil, sekaligus humoris, sangat kebapakan, dan rada 'ngoboy'. 

Sejak itu saya dilibatkan di beberapa kegiatan yang dia sebagai leader-nya, meskipun hanya sekedar sebagai anggota tim pengumpul data, asesor, evaluator, verifikator, pengembang buku pedoman, pengembang uji sertifikasi, dan lain-lain, sejak dia masih malang-melintang sebagai konsultan dan tim ahli di Jakarta, menjabat sebagai PR 4 Unesa, sebagai Direktur Ketenagaan di Dirjen Dikti, sampai akhirnya kembali lagi ke Unesa sebagai Rektor. Berbagai tugas dibebankan di pundak saya dan teman-teman. Sesekali kami merasa 'kepontalan' karena ide-idenya begitu deras berhamburan dan kami dipaksa harus mampu menangkapnya serta mewujudkannya secepat yang dia inginkan. 

Pertengahan Desember tahun kemarin, saya menghadap dia ke ruangannya, dengan membawa dua orang pejabat Dinas PPO Sumba Timur. Dua pejabat itu kami datangkan untuk menjadi narasumber pada kegiatan prakondisi SM-3T. Beliau berdua memberikan materi tentang gambaran pendidikan serta kondisi sosial kemasyarakatan di Sumba Timur. Setelah saya kenalkan kepadanya siapa dua pejabat itu, dia menyampaikan apresiasinya dengan sangat simpatik sehingga membuat dua pejabat itu merasa sangat dihargai. Dia juga katakan bahwa suatu saat dia ingin mengunjungi daerah yang paling terpencil, yang digunakan sebagai tempat tugas peserta SM-3T, ingin bermalam di sana bersama mereka dan belajar banyak hal dari masyarakatnya. Mungkin bagi dua pejabat itu, pernyataannya dianggap sebagai sesuatu yang musykil, pernyataan yang tidak lebih sebagai 'gaya standar' para pejabat bila bersemuka dengan pejabat dari daerah, apalagi dari daerah 3T seperti Sumba Timur. Namun dalam pandanganku, dia tidak main-main dengan pernyataannya itu. Saya yakin, pernyataan itu tidak sekedar lips service.

Dan benar. Dua minggu sebelum saya dan tim merencanakan untuk turun melakukan monev SM-3T ke Sumba Timur, saya menghadap lagi ke ruangannya. Saya tanyakan apakah dia serius ingin berkunjung ke Sumba Timur. Dia katakan ya, dan minta supaya dicarikan waktu yang di antaranya ada hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak terlalu lama meninggalkan kampus. Ketika saya berrtanya apakah dia ingin berkunjung dengan rute yang dekat-dekat saja, atau yang sedang, atau yang terjauh....jawabnya, beri saya rute yang terjauh. Saya jelaskan kepadanya, rute yang terjauh memerlukan waktu tempuh lebih dari 10 jam karena harus menyusuri 3 kecamatan, dia balik bertanya, 'terus kenapa?'. Saya jelaskan lagi, rute itu medannya sulit sekali, banyak jalan rusak, melewati hutan, banyak jurang, berkelok-kelok tajam, menyeberang sungai, dia bertanya lagi, 'ya, terus kenapa?' Saya jelaskan lagi, kalau memilih rute itu, berangkatnya harus pagi sekali, sampai di sana malam, harus menginap, dan besoknya tidak bisa langsung balik ke kota karena masih harus melanjutkan perjalanan ke pelosok; dan sekali lagi dia balik bertanya, 'ya! Terus....kenapa?'. Lantas sayalah yang  balik bertanya: 'apakah ini pelampiasan? Pelampiasan jiwa petualangan?' Dia tertawa lebar. Saya pun pamit, keluar ruangan, sambil bergumam: 'dasar petualang.....!'

Maka berangkatlah rombongan kami pada 25 Januari yang lalu. Menumpang Batavia, berangkat pukul 08.30 WIB. Ada 21 orang, termasuk di dalamnya adalah seorang asisten mendikbud, seorang wartawan media cetak, 4 orang dekan, 2 orang tim penjaminan mutu, seorang humas Unesa, 3 orang tim pendukung, selebihnya adalah tim inti SM-3T. Sebelas orang yang lain, yang sebagian besar dari media dan selebihnya dari humas Dikbud dan Dikti, berangkat langsung dari Jakarta, dan kami akan bertemu dalam pesawat yang sama setelah transit di Kupang.

Tidak ada masalah selama dalam perjalanan. Dia bukan tipe pejabat yang rewel yang selalu harus dilayani. Bukan tipe pejabat yang suka 'jaim'. seringkali justeru dialah yang melemparkan joke-joke segar dan kadang-kadang terkesan 'rodo urakan'. 
  
Namun ketika berada di ruang kerja bupati Sumba Timur, bertemu dengan bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, sekda, kepala dinas PPO, dan hampir seluruh pejabat Sumba Timur, setelah dijamu makan malam bersama, dia menjadi sosok yang luar biasa elegan. Berbusana batik, duduk di depan berdampingan dengan bupati, ketua DPR, dan wakil bupati, sementara di depannya adalah kami tim monev, para pejabat Sumba Timur yang lain, serta kru media cetak, TV serta humas. Begitu cepatnya dia menangkap semua persoalan pendidikan yang dilontarkan bupati (mulai dari kekurangan guru, keterbatasan fasilitas dan sarpras, rendahnya etos kerja, dan lain-lain), dan menawarkan alternatif solusinya, termasuk melemparkan berbagai program kerjasama yang bisa dilakukan untuk membantu memecahkan permasalahan pendidikan tersebut. Wawasannya yang sangat luas, dilengkapi dengan pengalaman empirisnya, serta kemampuan akademik dan penguasaan pada berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan, membuat semua tawarannya begitu cerdas dan membumi. Tak pelak lagi, bupati, wakil bupati, ketua DPR, para asisten bupati, kepala dinas, semuanya bersepakat 'ya' menerima tawarannya, dan akan berusaha melakukan apa pun untuk mewujudkan kerjasama dalam bidang pendidikan di Sumba Timur tersebut. Seorang teman saya, pak Ismono, berbisik ke saya, 'sakjane dia ke sini ini sebagai rektor opo PR 4 se?' 

Empat hari itu saya lalui bersamanya. Empat hari yang luar biasa. Bukan hanya karena saya 'blusukan' dan 'blakraan' di medan yang saya tidak pernah bayangkan sesulit itu untuk mencapainya. Bukan karena mata saya yang tiba-tiba basah saat melihat seorang anak ingusan yang terhuyung-huyung jatuh dengan setumpuk kayu bakar di atas kepalanya. Bukan karena saya mendadak menjadi seperti mati rasa ketika menatap ratusan anak sekolah yang berbaju lusuh dan bertelanjang kaki dengan tubuh kotornya. Bukan karena saya yang serta merta kehilangan kata-kata ketika melihat balita-balita kurus kering berkulit kusam dan sangat memprihatinkan keadaannya. Bukan karena saya yang  tiba-tiba jadi orang yang paling sentimentil di dunia karena menyaksikan serombongan kuda berlarian di pantai yang indah.  Bukan hanya karena itu semua. Tapi terutama karena orang itu. Dengan berat hati saya harus katakan, sulit mendapati orang seperti dia. Rela bersusah-payah menempuh jarak dan mengambil risiko bahaya karena begitu sulitnya medan, hanya demi melihat bagaimana keadaan anak-anak sekolah dan para peserta SM-3T, seperti apa tempatnya, amankah mereka, apa yang mereka makan, dan apa yang dibutuhkannya? Dia bahkan bisa mendapatkan semua informasi itu dari kami, dengan hanya menunggu kami melaporkannya dari balik mejanya.... 

Ketika pulang menuju Surabaya, tidak ada sedikit pun kesan lelah di wajahnya. Senyumnya tetap saja mengembang pada siapa saja. Sapanya tetap ramah menyejukkan. Tawanya tetap renyah membawa keceriaan. Lepas, lepas sekali. Persis seperti ketika pertama kali datang ke Waingapu, selama perjalanan ke pelosok, dan saat menjelang pulang kembali ke Surabaya. Di pelosok, setiap kami berhasil 'melanggar' sungai, atau melampaui medan yang curam, dia bahkan nampak jauh lebih 'lepas', lengkap dengan tepuk tangan dan teriak-teriakannya: 'ini baru...! Ini baru yang namanya jalan....! Ini baru! Luar biasa! Ha ha ha.....'. Sampai-sampai saya sempat berseloroh: 'saya khawatir lihat bapak. Susahnya seperti ini kok malah kelihatan bahagiaaa sekali.' Tawanya malah lebih keras. Berderai-derai. Membuat kami semua, termasuk para petugas kecamatan yang mengantar kami, tertawa 'cekakakan'. 

Dan sekarang dia ada di antara kami semua, tim lengkap, siap kembali ke Surabaya. Mengenakan kaus berkerah berwarna abu-abu, jaket dililitkan di pinggangnya, ransel hitam menggantung di punggungnya, dan sebelah tangannya menenteng tas kresek. Tahukah apa yang ada di dalam tas kresek itu? Dua buah telur burung moleo (burung kecil khas Sumba yang telurnya hampir sebesar telur angsa), dan lombok rawit khas Sumba. Berjalan melenggang tanpa beban. Saya katakan kepadanya, 'bapak, saya sering bertemu bapak-bapak yang lain di bandara. Beliau selalu 'ngagem' jas, rapi, licin. Tidak ada yang melilitkan jaket di pinggang. Apalagi bawa tas kresek". Tapi dia cuma 'nyengir', 'cuek', dan 'ngakak'. 
Dia, maaf, maksud saya 'beliau' itu...dengan segala kesederhanaannya, kerendah-hatiannya, kedekatannya pada siapa pun, siapa sangka kalau 'beliau' itu rektor.....

Waingapu, 25-28 Januari 2012

LN

Namanya Rizki Sugiarto

Sebelumnya saya tidak pernah  membayangkan akan tiba di tempat ini. Desa Ramuk, kecamatan Pinupahar. Tempat di mana seorang gadis bernama Rizki Sugiarto, salah seorang peserta SM-3T Unesa, ditugaskan. Namanya yang seperti nama laki-laki itulah yang telah 'mengecoh' kepala sub TK-SD Kantor Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dinas PPO) Sumba Timur, sehingga dia harus 'nrimo' ditugaskan di SD yang sangat-sangat terpencil. Sendirian. Jika Kasub TK-SD tahu bahwa dia sebenarnya berjenis kelamin perempuan, dia mungkin tidak akan ditugaskan di tempat seperti ini.

Saya menerima sms Rizki sekitar tiga minggu yang lalu, sehari setelah kami melakukan supervisi di semua kecamatan. Smsnya masuk sekitar pukul 21.00 WIB  (pukul 22.00 WITA). 'Ibu, saya Rizki. Saya ditugaskan di SD Ramuk, kecamatan Pinupahar. Ibu, tempat saya sangat jauh dari kecamatan. Saya harus berjalan melintasi bukit dan menembus hutan serta menyeberangi banyak sungai, jika saya akan ke kecamatan, dengan jarak tempuh lebih dari 5 jam. Makanya ketika ada supervisi tempo hari, saya tidak bisa menemui ibu di kecamatan. Ibu, sebenarnya saya sangat berat meninggalkan kepala sekolah, guru-guru, dan murid-murid saya di sini. Tapi saya tidak yakin saya kuat tinggal di sini.'

Intinya, Rizki meminta saya untuk mengusulkan ke dinas PPO supaya dia dipindahkan ke tempat yang lebih dekat dengan kecamatan Pinupahar. Tapi di sisi lain, dia merasa sangat berat meninggalkan sekolahnya. Saya merasakan ada pergumulan dalam batinnya. Antara tetap tinggal, dan keraguannya untuk bisa bertahan. Saya membesarkan hatinya: 'Rizki, kalau aku jadi kamu, maka aku akan terus berusaha bertahan, demi anak-anak, demi sekolah, dan demi masyarakat desa Ramuk yang sudah terlanjur berharap banyak kepadamu. Kamu bisa memberi banyak manfaat bagi mereka. Coba pertimbangkan itu....'  Tapi malam itu, Rizki tetap pada keputusannya, minta dipindahkan.

Besok paginya, sms Rizki masuk lagi di ponsel saya. 'Ibu,  kalau memang tidak memungkinkan, saya tidak apa-apa tidak dipindahkan. Saya akan terus berusaha bertahan di desa Ramuk.'

Berhari-hari setelah itu, saya tidak pernah lagi menerima sms Rizki. Namun beberapa temannya yang justeru bersms ke saya. Menyampaikan keprihatinan mereka pada kondisi Rizki dan tempat tinggalnya. Dia tinggal sendirian di aula sekolah. Tanpa listrik. Pernah suatu hari,  Rizki mendapati gembok pintu aula tempatnya tinggal seperti dicongkel orang. Malam hari, beberapa kali dia mendengar seseorang atau 'sesuatu' mengetuk-ngetuk pintu. Karena prihatin dengan kondisi Rizki, hampir seminggu dua kali, teman-temannya yang ada di desa Umandudu (desa yang terletak di atas desa Ramuk, bisa ditempuh sekitar 2 jam dengan berjalan kaki), bergantian menemaninya. 

Kondisi itulah yang membuat saya memutuskan untuk menjangkau tempat Rizki. Selain itu juga saya merasa tidak fair kalau saya tidak tahu di mana tempat tugas para peserta SM-3T. Ketika kita menugaskan seseorang, maka seharusnya kita tahu seperti apa tempat mereka bertugas tersebut. Seperti itu jugalah pendapat bapak Rektor.

Maka sejak kemarin,  di tengah perjalanan menuju Pinupahar (setelah menyusur Katala Hamulingu dan Tabundung, dua kecamatan sebelum Pinupahar), saya meminta pak Camat Pinupahar untuk mengusahakan 5 buah motor yang bisa mengantarkan kami ke Ramuk, dan mungkin sampai ke Umandudu.  Waktu itu saya belum bisa memastikan berapa yang akan berangkat ke sana. Dalam rombongan kami ada pak Rektor, mas Amin (sekretaris rektor), mas Rukin, mas Bimo (humas Dikti), mbak Arifah (PIH Dikbud),  Andra (admin SM-3T yang selalu membantu saya),  dan dua crew Trans TV (Peter dan Fariz), serta Joko (peserta SM-3T yang bertugas di Umandudu, yang khusus turun ke Waingapu untuk mendampingi kami). Tapi saya punya keyakinan pak Rektor akan berangkat, begitu juga mas Rukin. Mas Amin juga berangkat, karena dia harus selalu mendampingi pak Rektor. Joko juga pasti ikut, karena Umandudu adalah lokasinya. Paslah. Tapi malam itu, setibanya kami di Pinupahar dan berembug tentang siapa yang akan berangkat ke Ramuk dan Umandudu, pak Rektor meminta mas Bimo juga sebaiknya ikut. Maka pak camat harus mencarikan sebuah motor lagi malam itu juga. Trans TV dan PIH Dikbud memutuskan tidak berangkat. Mereka akan fokus membuat profil peserta SM-3T, siswa, sekolah, guru, kepala sekolah, masyarakat, dan lingkungan alam di sekitar desa Tawui yang luar biasa indah, dengan pantai dan hamparan lembah dan bukit-bukitnya yang tinggi menjulang. Selepas makan malam di rumah pak Camat, ketika kami beristirahat di rumah panggung bermenara khas Sumba, orang-orang media itu bekerja lembur di mess peserta SM-3T yang sempit, membuat script, mewawancarai beberapa peserta, dan mengolah hasil rekaman mereka seharian tadi.

Kami berangkat dari Tawui, desa terdekat di Kecamatan Pinupahar, setelah pertemuan dengan camat, kepala desa, kepala sekolah, guru-guru, dan  peserta SM-3T, dalam rangka pengisian instrumen monev serta menggali berbagai persoalan di lapangan. Pak Camat melepas kami dengan bekal makan siang yang sudah disiapkan oleh ibu camat. Dua mobil yang kami sewa mengantar kami menuju Lelunggi, desa yang masih bisa dijangkau dengan mobil. Kami diantar di bibir sungai, dan di seberang sungai yang cukup lebar itu, enam sepeda motor bersama pengendaranya sudah menunggu kami.  Driver kami, mas Oscar, begitu mengkhawatirkan saya. Dia memaksa saya membawa payung yang ada di mobilnya karena dia pastikan saya akan memerlukan payung itu. Sebenarnya saya enggan membawanya, tapi saya tidak sampai hati menolaknya. Akhirnya Jokolah yang kuminta membawakan payung itu (tapi ternyata malah 'hilang' karena ketinggalan di suatu tempat ketika kami beristirahat di tengah perjalanan menuju desa Ramuk).

Itulah sungai pertama yang kami seberangi. Meskipun tidak terlalu dalam, namun arusnya cukup deras. Pak Rektor yang sudah ada di seberang berteriak ke Joko supaya menggandeng saya yang sudah 'nyemplung' ke sungai siap menyeberang. Pak Kepala Sekolah SD Okatana (Okatana, desa yang juga akan kami singgahi), juga langsung menangkap tangan saya, membantu mencapai Joko. Dan terjadilah momen 'yuyu kangkang menyeberangkan kleting kuning' itu (versi mas Rukin; kebetulan saya berjaket kuning, dan Joko berkalung kain Bali berwarna hijau). 

Itu adalah sungai pertama. Setelah itu ada delapan sungai lagi yang harus kami 'langgar' (istilah orang Sumba). Selebihnya adalah jalan setapak, berbatu-batu terjal. Berlubang-lubang penuh kubangan, berlumpur, naik-turun, berkelok-kelok tajam, dan jurang-jurang menganga di sisi kiri-kanan. Saya melihat jurang-jurang yang hanya berjarak sekitar satu meter dari jalan setapak itu dengan 'gagah berani'. Saya tidak mau membayangkan sepeda motor yang saya tumpangi terpeleset lalu tergelincir masuk jurang. Saya mengandalkan pikiran positif, doa dan sholawat yang terus saya gumamkan, serta kelihaian petugas kecamatan mengendalikan motor yang dikendarainya. Tak terhitung berapa kali kami yang dibonceng harus turun karena motor tidak kuat naik saking curamnya. Suaranya meraung-raung mengingatkan saya pada tontonan tong setan di mana seseorang mengendarai sebuah motor berputar-putar dalam sebuah 'tong' besar. Namun itu hanyalah sebuah tontonan. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah benar-benar sebuah kenyataan. Kami sedang berada dalam kondisi dimana kami semua berkendara dengan kegilaan yang melebihi tong setan itu... Lebih-lebih bila kami baru saja 'melanggar' sungai, maka semua pengendara akan bersama-sama menarik gas sekuat-kuatnya untuk memastikan air sungai tidak mengganggu mesin motor. Raungannya yang keras memekakkan telinga, memecahkan kesunyian di tengah hutan belantara.

Selepas dari SD Okatana yang bisa kami capai dalam waktu sekitar 30 menit, pada pukul 13.00, kami berangkat menuju Ramuk. Perjalanan menuju Ramuk jauh lebih menegangkan. Betul-betul menguras emosi dan adrenalin. Saya suka berpetualang, tapi saya sungguh tidak pernah membayangkan saya akan melakukan petualangan segila ini. Namun hati saya menangis sepanjang perjalanan itu. Teringat sms-sms Rizki dan teman-temannya. Joko sudah sering menyampaikan seperti apa lokasi tempat dia dan Rizki ditugaskan, namun saya tidak menduga, lokasi tersebut begitu sulitnya untuk dicapai. Dan Rizki, anak gadis itu, ada di sini. Di tengah hutan belantara. Sendirian. Tanpa listrik. Tanpa teman untuk berbagi. Sempat mengeluh dan minta pindah, namun secepat itu pula dia mencabut keputusannya, dan memastikan untuk tetap bertahan. Betapa luar biasanya anak itu......

Sekitar satu kilometer dari tempat Rizki, kami semua berhenti di sebuah mata air di pinggir jalan. Semua mencuci muka dengan air yang luar biasa segar dan jernih itu. Saya berwudhu. Seperti kemarin ketika di perjalanan menuju Pinupahar, di mana saya sholat di tengah hutan, di pinggir jalan, saya berniat melakukan sholat jama' takdim dhuhur ashar, namun segera saya urungkan karena tempat Rizki sudah dekat, artinya saya masih bisa mengejar waktu sholat.
 
Dan sampailah kami di SD Ramuk yang catnya sudah kusam serta bangunanya yang sangat sederhana. Rizki tinggal di aula SD itu. Pintu aula dalam keadaan tertutup ketika kami datang. Joko mengetuk pintu dan memanggil nama Rizki. Begitu pintu dibuka, muncullah tubuh mungil itu. Seperti tidak percaya dia menatap saya. Tangan saya langsung terkembang dan memeluknya. 'Kamu luar biasa, Ki. Kamu kuat, Ki...' Suaraku tertahan-tahan karena menahan tangis. 'Ya, ibu, saya harus kuat, saya harus kuat...' Matanya basah. Dan setengah berdesis dia berbisik di telinga saya. 'Tapi beri saya teman, ibu, saya butuh teman.....'.  Saya mengangguk dan memastikan dia akan saya carikan teman. Sedetik kemudian saya melepaskan pelukan saya dan membiarkan pak Rektor, mas Rukin, mas Bimo, dan mas Amin, menyalami Rizki dengan tatapan haru sekaligus takjub. Dada saya semakin sesak menahan emosi, dan saya bilang ke Rizki, kalau saya sudah berwudhu dan mau numpang sholat. Anak manis itu segera menyilakan kami semua masuk. Pak rektor dan yang lain duduk di tikar di dalam aula itu. Rizki membawa saya ke 'kamar'nya, tentu saja ada di ruangan itu juga, hanya disekat dengan sebuah papan dan lemari plastik yang sudah koyak. Digelarnya sajadah untuk saya di tempat sholat yang sekaligus menjadi tempat tidurnya itu, di lantai kusam beralas tikar. Sebuah al-Quran yang mungkin menjadi temannya melewati malam-malamnya dalam kesendirian, tergeletak di dekat bantalnya. Meskipun semuanya serba terbatas, nampak sekali kalau Rizki menyukai kerapian.

Dan di atas sajadah Rizki, saya menyungkurkan kepala dan menangis sepuasnya. Tangis yang sudah saya tahan sejak tadi, pecah. Ketabahan perempuan muda itu mengoyak-ngoyak perasaan saya. Semangat pengabdiannya mencabik-cabik hati. Ketulusannya membuat emosi saya runtuh. Bahkan saya saja tidak yakin akan mampu melewati hari-hari saya dalam keadaan serba terbatas seperti ini. Tanpa teman. Dalam gelap yang hanya diterangi oleh sebuah pelita. Dalam ruangan besar yang jauh dari tetangga. Tidak ada TV, tape, radio, toko dan warung. Tidak ada alat transportasi apa pun, kecuali mau berjalan berjam-jam untuk mencapai tempat dimana ojek atau oto bisa dicapai.

Maka meluncurlah doa-doa saya siang itu khusus untuk Rizki. Saya mohonkan pada Allah agar ditambahkan kekuatan dan ketabahan baginya. Kemudahan untuknya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya. Kemaslahatan bagi anak-anak didiknya, guru-guru, sekolah, masyarakat, karena kehadirannya. Dan keberhasilannya dalam mencapai cita-cita mulianya, menjadi guru. Rizki Sugiarto, gadis itu, insyaallah akan menjadi guru hebat dan luar biasa yang sudah teruji oleh alam....

Pinupahar, 27 Januari 2012
* Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd adalah dosen, guru besar, dan korlap SM-3T Universitas Negeri Surabaya

Oleh-oleh dari Philippine

PADA tanggal 22-24 Maret 2011 yang lalu, saya berkesempatan untuk menghadiri acara ‘The 3rd Regional Forum SEAMEO INNOTECH’ di Quezon City, Manila. Ini merupakan pengalaman pertama saya pergi ke Philippine, dan juga pengalaman pertama saya mengikuti forum internasional SEAMEO INNOTECH.
Awal mula keikutsertaan saya pada forum tersebut adalah adanya surat dari Balitbang Kemdiknas kepada Rektor Unesa tentang penawaran untuk mengikuti forum SEAMEO INNOTECH. Rektor mendisposisikan surat tersebut pada saya, dalam kapasitas saya sebagai koordinator PPG Unesa, dan beliau mengharapkan saya atau salah satu teman lain dari tim inti PPG bisa ikut. Setelah berkonsultasi dengan PR 1, saya akhirnya mengisi form pendaftaran dan mengirimkannya melalui email dengan melampirkan persyaratannya. Sehari setelahnya saya menerima sms dari bagian kerjasama Balitbang bahwa saya bukan satu-satunya yang mengirimkan form pendaftaran, sehingga keputusan siapa yang akan mewakili Kemdiknas ke forum tersebut belum bisa diberitahukan. Saya menyampaikan hal tersebut pada Rektor dan PR 1.
Dua minggu setelahnya saya baru menerima kepastian bahwa saya terpilih untuk mewakili Kemdiknas dalam forum tersebut, dan yang seorang lagi adalah guru dari SD Islam Al-Hikmah Surabaya, yaitu Bapak Sigit Wiyono. Peserta dari Al-Hikmah ini merupakan permintaan dari Sekretaris Balitbang sebagai Governing Board Member SEAMEO INNOTECH. Tema forum itu adalah ‘Rediscovering the Passion for Teaching in Southeast Asia’. Kami diminta menyiapkan ‘Country Information Guide (CIG)’ yang meliputi Profile of Teachers; Success Factors of a Motivated, Passionate and Effective Teacher; Current Teacher Development Policies; Programs and Strategies to Sustain Teacher’s Passion in the Profession; dan Recommendations on How Best to Sustain and Enlarge the Pool of Effective, Committed and Passionate Teachers. Kami punya waktu sekitar 2 minggu untuk menyiapkannya. Saya menyempatkan diri ke Jawa Pos, menemui mas Guntur dan mas Rukin untuk meminjam kliping program ‘Untukmu Guruku’ sekaligus file pdf-nya, guna melengkapi CIG kami, khususnya mengenai peran swasta dalam meningkatkan dan mempertahankan motivasi guru-guru kita. Setelah CIG itu kami kirim, esoknya kami memperoleh LoA, dan beberapa hari kemudian kami dikirimi eticket PP Jakarta-Manila.
Forum SEAMEO INNOTECH itu diikuti oleh peserta dari 9 negara Asia Tenggara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Kambodia, Laos, Vietnam, Brunei, Thailand, dan Philippine sendiri, yang sekaligus sebagai tuan rumah. Setiap negara mengirimkan delegasinya terdiri dari satu orang wakil dari kemdiknas (bisa dosen, peneliti) dan seorang guru (yang dinilai sebagai outstanding teacher). Selama lima hari kami menginap di International House SEAMEO INNOTECH (satu kompleks dengan University of Philippine), tiga hari di antaranya kami terlibat dalam round table discussion, diselingi dengan paparan dari beberapa narasumber. Beberapa narasumber tersebut antara lain dari Departemen Pendidikan Pasig City Philippine (Sustaining Positive Energy and Motivation for Teaching), Metrobank Foundation (The Search for Outstanding Teachers),  dan Bato Balani Foundation (honoring effective/passionate teacher).
Salah satu narasumber yang sangat menarik perhatian dan membuat semua peserta diskusi sangat terkesan adalah beliau yang dipanggil sebagai Mr. Pagsi (nama lengkapnya Onofre Pagsanghan), seorang mantan guru, Faculty member, High School Department, Ateneo de Manila University. Semangatnya luar biasa; suara, gerak tubuh, ekspresinya, ketika berbicara tentang teaching with passion,  begitu memukau. Dalam usianya yang sudah udzur (81 tahun), performance Mr. Pagsi dalam mengajar bisa mengalahkan para guru yang usianya jauh lebih muda darinya (termasuk saya). Satu kalimatnya yang membuat saya sangat terkesan (ada dalam tulisan Fatima Parel ‘The Passion of Pagsi’) adalah: “I always tell myself, especially in the twilight years, this may be my last class. And therefore, I treat every class as if it were the last. And it helps bring out the best in me. This is going to be the best performance of my life.”
Banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan dari forum tersebut. Sangat terasa bahwa forum itu diorganisir dengan begitu apik, mulai dari awal (ketika penjemputan di Ninoy Aquino airport) sampai akhir. Padat, tapi hangat dan bersahabat, dengan konsep yang sangat berbeda. Kami tidak diminta mempresentasikan CIG yang sudah kami kirimkan sebelumnya, namun poin-poin pentingnya didiskusikan secara intensif dalam bentuk workshop. Workshop dibuat terpisah antara kelompok guru dan kelompok MOE (Minister of Education), sehingga setiap topik dikaji dari perspektif guru dan perspektif MOE, yang kemudian dipadukan dalam sesi presentasi. Dalam diskusi itu disediakan juga seperangkat Alat Permainan Edukasi (APE), dan kami diminta memvisualisasikan dalam bentuk karya cipta yang menggambarkan ‘the passion for teaching’. Pada kesempatan itu, didatangkan juga 4 siswa SMP yang kita bisa berdialog dengan mereka dalam sesi ‘Student’s Stories: Impact of Passionate Teacher on Student Learning and Life’.  Sangat menarik, menyentuh, dan menggugah.
Peran Metrobank dan Bato Balani dalam meningkatkan semangat dan kegairahan guru-guru di Philippine juga sangat menginspirasi. Metrobank dengan temanya ‘What does it take to bring out the best in the Filipino?’, mempresentasikan perannya dalam ‘ngopeni’ guru dalam sesi pleno ‘Honoring effective/passionate teacher’.  Salah satu program CSR-nya adalah menyelenggarakan pemilihan ‘outstanding teachers’, bekerjasama dengan kementerian pendidikan, setiap tahun, dan menerbitkan profil guru-guru luar biasa tersebut dalam kemasan yang sangat elegan, sehingga mengesankan betapa berharga dan berartinya sebuah profesi bernama ‘guru’ itu, dan bagaimana masyarakat Philippine termasuk pihak swasta menempatkan mereka sebagai sosok-sosok yang sangat berjasa dalam membawa negara dan masyarakat Philippine menuju kebaikan dan kejayaan. Dalam sesi sharing, delegasi setiap negara juga diminta untuk berbagi tentang keterlibatan pemerintah dan swasta dalam ‘sustaining and maintaining the passion for teaching’. Kami yang dari Indonesia menceriterakan antara lain tentang program Sertifikasi Guru melalui Portofolio/PLPG dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Selain itu juga program pemerintah dalam pemilihan guru dan dosen berprestasi, yang kemudian pemenangnya selain memperoleh piagam penghargaan, sejumlah uang, juga diundang pada upacara kemerdekaan RI di Jakarta. Sementara peran swasta, kami contohkan program Jawa Pos ‘Untukmu Guruku’, serta kami tunjukkan juga kliping tentang program itu (terimakasih, mas Guntur dan mas Rukin yang telah ‘nyangoni’ kami dengan kliping-kliping itu).
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengakhirinya dengan sebuah kalimat untuk menjadi renungan kita, para guru dan dosen, termasuk saya pribadi. Kalimat yang saya temukan di antara berkas-berkas materi diskusi, yang sangat menyentuh benak saya .

Inilah oleh-oleh yang sangat berharga itu.

“Being world class doesn’t mean going international and showing our best out there. Being world-class is passion and commitment to our profession. Being world-class is giving our best to our country and our people. For teachers, being world-class starts right inside the classroom.”


***

Minggu, 15 Januari 2012

Fotoan Kunjungan SM-3T Sumba Timur

Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat
kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.
Deretan rumah khas Sumba Timur di bawah sebuah bukit. Masyarakat Sumba
Timur sangat berharap program SM-3T dapat terus berlanjut.
Tantangan terberat pendidikan di Sumba Timur adalah menaklukkan alam.
Siswa dan guru setempat harus menyebarangi beberapa sungai seperti saya ini,
saat berangkat dan pulang ke sekolah.  
Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta
SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal. 
Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai.
Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)

Jumat, 06 Januari 2012

Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Kecakapan Hidup

Oleh Luthfiyah Nurlaela


Pendahuluan
                Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.
               
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
               
Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
               
Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?

Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.

Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.

Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).

Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).

Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.

Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).

Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?

Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.

Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup.  Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.

Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).

Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).

Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.

Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).

Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang  berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).

Implementasi PKH dan Kendalanya

  
Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
   
Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.

Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.

Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.           Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.

Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.

Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.

Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.

Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.

Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.

Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter

Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan jauh berbeda.  Banyak program yang awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’ oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang sedang diterapkan.

Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal tersebut identik dengan GLS.  Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’ bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.

Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.

Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional  Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.
Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.