Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 23 Februari 2012

Pendokumentasian Makanan Tradisional Jawa Timur*)

Luthfiyah Nurlaela, Rita Ismawati, Sumarno


Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menggali ragam makanan tradisional Jawa Timur, yang meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional. Selain nama makanan, bahan, cara membuat dan cara menyajikan, ragam makanan juga dikaji berdasarkan aspek kulturalnya. Penelitian dilakukan pada 3 domain, yaitu Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo; domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep; dan domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk. Sedangkan makanan tradisional yang menjadi sampel adalah makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional, yang dikonsumsi sehari-hari. Data  dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Temuan penelitian adalah sebagai berikut: (1) Makanan tradisional di 17 kabupaten/kota yang diteliti berasal dari beras, jagung dan ubi kayu atau singkong sebagai bahan makanan pokoknya, yang diolah menjadi nasi, nasi jagung, aron, sredek dan inthi. Makanan utama berupa nasi dikonsumsi di semua kabupaten, namun beberapa kabupaten memiliki makanan tradisonal yang menggunakan bahan pokok jagung (Bangkalan, Sampang, pamekasan dan Sumenep), dan beberapa memanfaatkan bahan pokok ubi kayu (Ngawi dan Bojonegoro); (2) Lauk-Pauk tradisional pada umumnya memanfaatkan hasil laut. Berbagai jenis hidangan sumber protein hewani juga memanfaatkan daging dan ayam. Sayur-sayuran dikonsumsi di semua kabupaten, namun tidak terlalu populer di wilayah Madura; (3) Kudapan tradisional pada umumnya terbuat dari bahan dasar tepung beras dan  tepung ketan. Beberapa kudapan dibuat dengan memanfaatkan bahan pangan lokal yang lain seperti waluh; dan (4) Minuman tradisional yang umumnya dikonsumsi antara lain adalah Pokak, Dawet, dan Cao. 

Kata Kunci: Makanan Tradisional, Jawa Timur

Abstracts: The research objective is to find  various traditional foods of East Java, included main dish, snack  and traditional beverages.  Besides the name of dish, ingredient, technique, and service, varios of food is discussed based on its cultural aspects. The research  is conducted in 3 domains, i.e: Domain 1 is north part of  East Java, included Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, and Situbondo; Domains 2 is Madura area, included Bangkalan, Sampang, Pamekasan, and Sumenep; and Domain 3 are Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun and Nganjuk.  Traditional food as a sampel are main dish, snacks and traditional beverages that consumed daily.  Data collected by observation, interview and documentation. Analysis of data is using qualitative descriptive. The find out of the research are: (1) Traditional foods in 17 regency/town based on rice, corn, cassava as main dish, which is produced as rice, corn rice, aron, sredek and inthi. Rice is consumed in all of regencies, however there are many regencies that consume corn as main dish (Bangkalan, Sampang, Pamekasan and Sumenep), and the rest are using cassava (Ngawi and Bojonegoro);  (2) Traditional dishes generally based on seafood, meat, poultry. Vegetables is consumed in all of regencies, however it is not too populer in Madura area; (3) Traditional snacks usually made of rice flour and glutinous rice flour, and another local food i.e pumkin; and (4) Traditional beverages that usually consumed are Pokak, Dawet and Cao.

Key Words: Traditional Food, East Java  


Pendahuluan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh minimnya literatur tentang makanan tradisional Jawa Timur. Makanan tradisional merupakan aset budaya bangsa yang sangat bernilai, oleh sebab itu perlu terus digali dan dilestarikan. Salah satu upaya yang harus dilakukan untuk tujuan tersebut adalah perlunyan inventarisasi dan dokumentasi.
Inventarisasi dan dokumentasi makanan tradisional Jawa Timur pernah dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Hasil kajian dari kegiatan ini adalah berhasil diidentifikasi wujud, variasi, dan fungsi makanan serta cara penyajiannya di Jawa Timur. Makanan dalam kajian ini dibedakan menjadi dua, yaitu makanan sehari-hari dan makanan untuk upacara. Daerah pengumpulan data lebih banyak terpusat di tiga wilayah, yaitu Gresik, Nganjuk, dan Magetan, yang mewakili daerah pantai, dataran rendah, dan daerah berbukit. Selain karena daerah pengumpulan data yang kurang representatif, kajiannya sangat kurang mendalam, tidak komprehensif, sehingga deskripsi temuannya tidak memadai dan terkesan dangkal. Nama makanan, bahan, cara membuat, cara menyajikan, tidak spesifik. Kesimpulannya, makanan tradisional Jawa Timur belum terinventarisasi dan terdokumentasikan secara memadai, baik dari jenis hidangan, maupun perwilayahannya.
Penelitian yang agak lebih memadai dilakukan oleh Arsiniati dkk (2001), tentang mutu dan gizi serta khasiat makanan tradisional Jawa Timur. Wilayah pengumpulan data meliputi 28 kabupaten/kota dari 37 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur. Sayangnya, penelitian ini hanya dikhususkan pada makanan utama, tidak termasuk makanan kudapan dan minuman tradisional, karena alasan keterbatasan waktu dan dana.  Kelemahan yang lain adalah, responden penelitian yang terdiri dari ibu-ibu PKK dan penjual makanan tradisional diminta untuk membuat display dalam kegiatan gelar makanan tradisional Jawa Timur, dengan menampilkan makanan tradisional masing-masing kabupaten/kota. Berdasarkan gelar makanan ini kemudian diidentifikasi dan diseskripsikan macam makanan tradisional yang ada. Cara ini tentu saja kurang memadai, karena pengumpulan data kurang mendalam, dan makanan tradisional yang tidak digelar pada saat display, tidak teridentifikasi dan tidak terdokumentasikan.
Beberapa literatur yang mengkaji makanan tradisional seperti buku Mustika Rasa (1967), Aku Cinta Makanan Indonesia (1997), Kumpulan Makanan Tradisional (1999), serta beberapa hasil penelitian belum berhasil menginventarisasi dan mendokumentasikan makanan tradisional Jawa Timur secara relatif lengkap dan mendalam. Namun begitu, bagaimanapun hasil-hasil penelitian dan kajian tersebut akan sangat bermanfaat sebagai titik pijak untuk penelitian-penelitian lanjutan.
Melalui penelitian ini akan dilakukan inventarisasi dan pendokumentasian makanan tradisional Jawa Timur. Makanan tradisional yang akan didokumentasikan meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman, yang dikonsumsi sehari-hari. Pendokumentasian meliputi nama hidangan, bahan, cara membuat, dan cara menyajikan. Selain itu, karena makanan tradisional tidak bisa dilepaskan dari perspektif kultural, maka aspek sosial budaya yang mempengaruhinya juga akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Berdasar pertimbangan aspek kultural ini juga pendokumentasian makanan tradisional dianggap sangat penting, karena hasil inventarisasi yang ada sudah harus diperbaharui, mengingat secara budaya manusia terus maju dan berkembang. Seiring dengan kemajuan dan perkembangan tersebut, makanan tradisional juga sangat mungkin berkembang. Penelitian ini diharapkan dapat melakukan pendokumentasian dengan data dan informasi yang lebih akurat dan mutakhir.
Jawa Timur sebagai wilayah penelitian akan dibagi menjadi 7 domain berdasarkan letak geografisnya (Suhardjo, 1989). Dengan pembagian wilayah ini, kegiatan pendokumentasian akan lebih terfokus. Namun demi kedalaman penelitian, dan dengan mempertimbangkan berbagai keterbatasan, penelitian pada tahap ini dilakukan pada 3 domain. Domain yang lain (4 domain) diharapkan dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya.
Melalui penelitian ini diharapkan akan dihasilkan dokumen penting tentang ragam makanan tradisional Jawa Timur yang relatif lengkap, termasuk kajian sosial budayanya. Selanjutnya temuan penelitian akan dipublikasikan, baik dalam jurnal penelitian, maupun dalam bentuk buku. Buku tentang ragam makanan tradisional Jawa Timur ini tentu sangat bermanfaat untuk menambah khasanah literatur makanan tradisional Jawa Timur, yang saat ini masih sangat terbatas. Manfaat penting lainnya adalah bahwa, penelitian ini merupakan upaya nyata pelestarian makanan tradisional, yang merupakan aset budaya bangsa yang sangat bernilai.
Makanan tradisional merupakan makanan yang biasa dimakan sejak beberapa generasi, terdiri dari hidangan yang cocok dengan selera, tidak bertentangan dengan agama, kepercayaan masyarakat setempat, dan terbuat dari bahan makanan serta bumbu-bumbu yang tersedia setempat (Sastroamidjojo, 1995). Makanan tradisional umumnya terdiri dari: (1) makanan pokok, (2) lauk pauk, termasuk sayuran yang selalu dimakan mendampingi makanan pokok, dan (3) makanan selingan atau kudapan, di samping buah-buahan. Dari pengelompokan tersebut masih dibedakan menjadi (1) makanan biasa, dan (2) makanan upacara atau makanan istimewa yang dimakan pada waktu-waktu tertentu (Suryobroto, 1995).
            Makanan tradisional mempunyai keunggulan dari segi kesehatan dibanding dengan makanan import. Samsudin (1995) menemukan peranan penting makanan tradisional dalam tumbuh kembang bayi dan anak. Peranan penting lainnya adalah dalam pemenuhan gizi ibu hamil dan ibu menyusui (Rumawas, 1995; Widyaningsih, 2000), peningkatan prestasi olah raga (Moeloek, 1995), serta dapat menunjang kecantikan (Rata, 1995).
            Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk mempertahankan hidupnya. Makanan diperoleh sebagai wujud interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan untuk mengolah lingkungan tersebut manusia mengembangkan strategi hidup. Strategi hidup dilakukan bersama-sama dalam kelompok yang harus bersaing untuk mempertahankan hidup yang meliputi strategi makan, srtategi mengolah serta mengkonsumsinya. Aspek pemeliharaan ekosistem dan pemeliharaan keserasian unsur-unsur sosial budaya masyarakat dengan lingkungannya diperlukan dalam upaya mempertahankan dan melestarikan penerapan konsumsi pangan (Susanto dan Suparlan, 1989; Afifah, 2006).
            Ritenbaugh (1982) mengemukakan, tindakan makan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang merupakan refleksi dari interaksi antara faktor kebutuhan biologi dan faktor budaya. Faktor kebutuhan biologi mensyaratkan pemilihan makanan tertentu untuk pertumbuhan, perkembangan, kesehatan dan reproduksi. Faktor budaya mensyaratkan pemilihan makanan tertentu yang boleh atau tidak boleh dimakan.
            Jerome, et. al. (1980) menyatakan bahwa faktor lingkungan berupa lingkungan fisik dan sosial, organisasi sosial, sistem budaya, serta tingkat teknologi membentuk interaksi dengan kebutuhan biologi dan psikologi individu terhadap pangan. Seseorang menentukan dan memilih makanan tidak hanya didasarkan pada pemenuhan perut semata, melainkan berkaitan pula dengan pengendalian perilaku konsumsi makan yang bersumber pada kebenaran menurut adat istiadat yang bersifat tradisional, kebenaran menurut agama dan kebenaran menurut ilmu pengetahuan (Susanto, 1991). Kebiasaan makan diartikan sebagai cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, sosial dan budaya (Suhardjo, 1989). Menurut Sanjur (1982) kebiasaan makan juga dipengaruhi faktor fisik, di antaranya produksi pangan, cara dan alat pengolahan pangan, pengawetan pangan,  dan distribusi pangan. Dari konsep pemikiran tersebut, kebiasaan makan suatu masyarakat tidak selalu sama, maka muncullah berbagai macam makanan tradisional.
            Beberapa jenis makanan tradisional yang sampai saat ini masih  dikenal dan dikonsumsi oleh masyarakat antara lain adalah semanggi, lontong balap, lontong kupang, rujak cingur  (Surabaya); tahu campur, sego boranan (Lamongan); nasi krawu, pudak, jubung (Gresik), sego tiwul (Pacitan, Trenggalek), sego jagung, mangut (Tuban), sego pecel (Madiun, Nganjuk, Ponorogo), sego ampok (Malang), lodho (Tulungagung), kaldu kokot (Sumenep), sego pecel tumpang (Kediri), dan sebagainya (Nurlaela, 2002). Makanan-makanan tersebut sebagian masih diolah dan disediakan dalam keluarga, namun sebagian besar lebih banyak tersedia sebagai makanan jajanan.
Propinsi Jawa Timur terletak antara 1110 - 1140 4’ BT dan 70 12’ - 80 48’, dikelilingi oleh Laut Jawa di sebelah utara, Selat Bali di sebelah timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan, dan Propinsi Jawa Tengah di sebelah barat, dengan luas wilayah 47.922,48 km2.
            Ditinjau dari masyarakat yang mendiami, daerah-daerahnya dapat dibagi menjadi masyarakat Jawa, masyarakat Madura, Masyarakat Tengger, masayarakat Osing, dan masyarakat Pendalungan (campuran Jawa dan Madura). Keragaman tersebut menimbulkan keragaman dan keunikan budaya,  termasuk di dalamnya adalah karakteristik makanan tradisional.
            Berdasarkan kondisi fisik dan alam, Jawa Timur dibagi menjadi beberapa sub region, yaitu: (1) wilayah dataran tinggi bagian tengah, mulai daerah Ngawi sampai Banyuwangi dikategorikan sebagai daerah subur dan sudah berkembang; (2) wilayah dataran rendah bagian utara, yang meliputi Kabupaten Bojonegoro, Gresik, Tuban, Lamongan dan Kabupaten di Pulau Madura yang dikategorikan sebagai daerah yang memiliki kesuburan sedang dan sedang berkembang; (3) wilayah pegunungan kapur di bagian selatan, yang meliputi Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar dan Malang (semuanya bagian selatan), dikategorikan daerah yang kurang subur dan baru mulai berkembang; dan (4) pulau-pulau yang terpencil dan belum berkembang yang terdapat di Kabupaten Sumenep (+ 63 pulau), Kabupaten Sampang, Gresik, Probolinggo, Jember dan Kabupaten Malang (Anonimous, 2000).
            Berdasarkan uraian di atas, propinsi Jawa Timur mempunyai wilayah yang heterogen karakteristik tanahnya, wilayah gunung berapi, lahan kering dan tanah subur. Kondisi tanah tersebut menyebabkan Jawa Timur mampu mengadakan diversifikasi pertanian dengan bermacam-macam hasil produksi untuk tanaman pangan dan perkebunan.
            Jenis tanaman pangan yang telah dihasilkan antara lain adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, buah-buahan (nanas, pepaya, mangga, pisang, rambutan, apel, nangka dan lain-lain), beragam sayuran (bayam, kangkung, sawi, kol, wortel, kentang, tomat dan lain-lain). Sedangkan untuk perkebunan adalah kopi, coklat, jahe, empon-empon, jambu mente, tebu, kelapa, dan lain-lain.
            Berdasarkan kondisi fisik dan alam  serta jenis tanaman pangan dan perkebunan yang dihasilkan, makanan tradisional Jawa Timur sangatlah beragam. Dari aspek makanan pokok saja, Suhardjo (1989) mengemukakan bahwa berdasarkan data SUSENAS 1976, di Jawa Timur bagian utara (Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo), memiliki pola pangan ”beras, jagung, kasava”; begitu juga di wilayah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun, dan Nganjuk, juga untuk wilayah Bondowoso. Sedangkan untuk wilayah Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep), mempunyai pola konsumsi yang agak berbeda di mana jagung menduduki tempat pertama sebagai makanan utama, sedangkan beras dan kasava menduduki tempat kedua dan ketiga, sehingga pola pangannya adalah ”jagung-beras-kasava”.  Selanjutnya di wilayah Jawa Timur bagian tengah (Ponorogo, Kediri, Mojokerto, Jombang) dan Jawa Timur bagian selatan (Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi), peranan kasava lebih menonjol daripada jagung, namun beras tetap menempati posisi pertama, sehingga pola pangannya adalah ”beras-kasava-jagung”.
            Pola pangan tersebut sangat mungkin sudah berbeda pada saat ini, karena adanya kemudahan pada aspek ketersediaan dan distribusi, termasuk di dalamnya adalah pengaruh kebijakan pangan dan intervensi pemerintah dalam memberikan bantuan untuk korban bencana, yang hampir selalu mengarah pada beras. Penelitian Arsiniati  (2001) menemukan bahwa di semua kabupaten/kota di Jawa Timur, beras merupakan makanan pokok di semua daerah, meskipun jagung dalam bentuk nasi jagung (campuran nasi beras dan jagung) serta ampok atau aron (jagung halus) masih sering ditemui di Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Blitar, Magetan dan Probolinggo.
Masalah yang diteliti adalah ragam makanan tradisional Jawa Timur, yang meliputi makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional. Selain nama makanan, bahan, cara membuat dan cara menyajikan, ragam makanan juga dikaji berdasarkan aspek kulturalnya. Agar lebih terfokus, penelitian dilakukan pada 3 domain, yaitu Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo; domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep; dan domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.

B. Metode Penelitian
            Penelitian ini dilakukan di daerah Jawa Timur. Jawa Timur saat ini terdiri dari 38 kabupaten/kota. Penelitian dilakukan di 17 kabupaten/kota, yang terbagi menjadi 3 domain berdasarkan letak geografisnya. Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.
Berdasarkan tujuan penelitian, 17 kabupaten/kota yang terbagi menjadi 3 domain tersebut semuanya merupakan lokasi penelitian. Subjek penelitian meliputi: (1) Unsur pemerintah yaitu Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan  Pangan  atau KUKP (Kantor Urusan Ketahanan Pangan) setempat, (2) Para praktisi makanan tradisional (guru, instruktur pelatihan, pengusaha katering, rumah makan dan sejenisnya), dan (3) Pemerhati dan atau pencinta makanan tradisional di wilayah setempat, serta (4) tokoh masyarakat, sesepuh, serta unsur lain yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan tradisional  di wilayah setempat.
Sedangkan makanan tradisional yang menjadi sampel adalah makanan utama, kudapan, dan minuman tradisional, yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan tradisional untuk upacara tidak dikaji dalam penelitian ini mengingat keterbatasan dana dan waktu yang tersedia.
            Data primer dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk menggali data ragam makanan tradisional, baik yang disediakan di dalam keluarga, maupun dalam usaha makanan. Selain itu, observasi juga digunakan untuk mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi makanan tradisional, yaitu faktor  produksi pangan, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor budaya.
Selain digali dengan observasi, informasi tersebut juga diperoleh dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan kepada unsur pemerintah yaitu Dinas Pertanian atau Badan Ketahanan  Pangan  atau KUKP (Kantor Urusan Ketahanan Pangan) setempat, praktisi makanan tradisional (guru, instruktur pelatihan, pengusaha katering, rumah makan dan sejenisnya), pemerhati dan atau pencinta makanan tradisional di wilayah setempat, serta  tokoh masyarakat, sesepuh, serta unsur lain yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang makanan tradisional  di wilayah setempat.
Dokumentasi dilakukan terutama untuk menggali data sekunder, antara lain tentang monografi kabupaten/kota. Sumber pustaka yang berupa buku, leaflet, brosur, dan lain-lain yang terkait dengan makanan tradisional juga akan dimanfaatkan sebagai data sekunder.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil analisis berupa uraian-uraian kualitatif mengenai ragam makanan tradisional yang mencakup nama makanan, bahan dan bumbu, cara mengolah dan menyajikan, untuk semua wilayah yang terbagi dalam 3 domain. Kajian faktor  produksi pangan, faktor psikologis, faktor sosial, dan faktor budaya juga dicoba dideskripsikan untuk setiap wilayah mengingat faktor kultural tersebut mempengaruhi keberadaan makanan tradisional itu sendiri.

Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada 17 kabupaten/kota di Jawa Timur, yang terbagi menjadi 3 domain. Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk.
1. Domain 1 
            Sebagaimana disebutkan, Domain 1 adalah Jawa Timur bagian utara yang meliputi Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo. Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan pegunungan Kapur Utara. Daerah Tuban memiliki aneka makanan khas salah satu makanan utama yang terkenal di daerah ini adalah Nasi Jagung, Nasi Punten, Kare Rajungan, Mangut Pe dan Sambal Goreng Cumi (Nus). Jenis Kudapan yang terkenal yaitu Dumbeg dan memiliki minuman khas berupa Dawet Siwalan, Tuak dan Legen.

            Lamongan dikenal memiliki makanan khas, yang cukup popular dan dapat dijumpai di berbagai daerah di kota Lamongan. Adapun makanan utama yang terdapat didaerah Lamongan antara lain: Nasi Boranan, Soto Lamongan, Tahu Campur Lamongan, Tahu Tek Lamongan. Makanan Ringan/ Kudapan yang terdapat dikota Lamongan yaitu: Wingko Babat, Jumbreg, Klebet Jagung, Opak Lodo, Jepit Gulung, Gantesan, Putu Sawah, Katul Ngempol, Jagung Paren, Katul Srubuk, Lempok, Srebel, Blendong, sedangkan untuk minuman khasnya yaitu; Es Dawet Siwalan Muda (Jawa: Ental).
            Gresik dikenal sebagai salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur dan memiliki beranekaragam jenis makanan. Makanan khas Gresik adalah Nasi Krawu, Sego Roomo dan Otak-Otak Bandeng, dan Ikan Bandeng Goreng Ala Gresik. Sedangkan aneka kudapan yang terkenal di daerah ini adalah Jenang Pudak, Jenang Jubung, Ayas dan Ubus dengan jenis minuman yang terkenal yaitu Obuk-Obuk (Es Siwalan) dan Legen Panceng.
            Surabaya merupakan ibukota Provinsi Jawa Timur. Terdapat bermacam-macam makanan utama di Surabaya, yaitu Lontong Balap, Lontong Mi, Semanggi Suroboyo, Rujak Cingur, Rawon, Krengsengan, Tahu Tek, Gado-Gado, Bebek Goreng, Tempe Penyet. Menu kudapan yang populer di Surabaya yaitu: Kue Pisang (Leker), Kue Jongkong Surabaya, Klanting, Bikang,   Jajan Pasar. Sedangkan minuman yang banyak dijumpai yaitu Es Dawet, Wedang Pokak.
            Sidoarjo merupakan daerah sumber kelautan. Kupang Lontong merupakan makanan tradisional Sidoarjo, dengan pelengkapnya sate kerang. Bandeng Asap merupakan produk unggulan. Kudapan yang terkenal adalah Klepon dan Gempo, sedangkan minumannya yaitu Es Degan dan Pokak.
            Pasuruan dikenal sebagai daerah industri dan daerah wisata (Gunung Bromo). Nasi punel merupakan makanan tradisional utama, juga sate komoh, kripik lempuk/pepes. Kudapannya antara lain Bipang/Brondong, Kue Jongkong, Lopis Oncer dan Tape Oncer. Sedangkan minuman tradisionalnya adalah pokak dan beras kencur.
            Probolinggo adalah sebuah Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang Terletak di kaki gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger. Makanan pokoknya adalah jagung pipil yang dibuat tepung dan diberi nama nasi aron. Sayur daun ranti yang dimasak Bobor, Sayur Asam    Labu Siam, Daging Bumbu Usek, dan Ikan Asin Jenggelek, merupakan jenis makanan utama. Kudapan yang banyak dijumpai adalah risoles aron, kue lumpur aron, sedangkan minumannya adalah pokak.
            Situbondo terletak di daerah pesisir utara Pulau Jawa, yang penduduknya mayoritas berasal dari suku Jawa dan Madura. Makanan Utama Situbondio antara lain: Nasi Jagung, Sayur Kalentang, Paes Komere Ikan Laut, Sate Komoh.

2. Domain 2
            Domain 2 adalah daerah Madura yang meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Bangkalan merupakan kabupaten yang terletak di ujung paling barat pulau Madura. Makanan utama tradisional adalah nasi jagung, Soto Madura, Sate Ayam, Topak Ladha, dan Mento Ponakan.
            Kabupaten Sampang memiliki makanan tradisional yang hampir sama dengan Bangkalan, nasi jagung, sate madura, dan kaldu soto. Sedangkan Pamekasan, makanan tradisionalnya adalah Soto Pamekasan, Sop Kikil, dan Paessa Cakalan. Selanjutnya Sumenep yang terletak di ujung Timur Pulau Madura, serta memiliki sebuah keraton keluarga kerajaan Madura yaitu Cakraningrat, juga memiliki makanan tradisional yang hampir sama dengan kabupaten lain di Madura. Nasi Jagung, Soto Madura, Sate Madura, merupakan makanan yang terkenal. Selain itu, Kaldu Kokot juga merupakan makanan tradisional yang populer di Sumenep. 

3. Domain 3
            Domain 3 adalah Ngawi, Bojonegoro, Magetan, Madiun dan Nganjuk. Ngawi merupaka kabupaten yang terletak di bagian barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Ngawi memiliki makanan tradisional yang terkenal, yaitu: Nasi Sredek (sawut), Nasi Inthi (Tiwul), Tahu Tepo, Sambal Lethok, Sate Ayam. Kudapannya berupa kripik tempe, Ledre dan Geti. Sedangkan minuman yang terkenal adalah Wedang Cemue..
            Bojonegoro merupakan kabupaten yang memiliki makanan tradisional yang cukup terkenal, antara lain: Nasi Sredek (sawut), nasi Inthi, Rawon Santan Daging. Kudapannya antara lain Gethik Waloh. Sedangkan minumannya adalah Es Telasih, Dawet Kemangi, dan Es Cao.
            Makanan utama di Kabupaten Magetan antara lain: Lodheh Sunten (tuntut Pisang), Bothok Tempe Daun Brambang, dan Nasi Menok. Sedangkan makanan tradisional Madiun yang terkenal adalah Nasi Pecel, dan makanan kudapannya adalah Madumongso. Selanjutnya di Kabupaten Nganjuk, makanan utamanya adalah krupuk pecel, Becek Sate Kambing, dan kudapannya adalah Madumongso Waluh.

Kesimpulan dan Saran
            Penelitian ini sebaiknya ditindaklanjuti dengan lebih menggali data primer. Keterbatasan peneliti menjadi kendala utama, khususnya karena keterbatasan dana, yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data secara relatif mendalam. Selain untuk lebih memperdalam penelitian ini, penelitian serupa di 21 kabupaten/kota yang tersisa juga sebaiknya dilakukan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya daerah Jawa Timur. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
--------------. 1997. Aku Cinta Makanan Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Afifah, C.A.N. 2005. Kebiasaan Makan Onggok Singkong sebagai Makanan Pokok Masyarakat Cirendeu Kecamatan Cimahi Kabupaten Bandung. Jurnal Boga dan Gizi. Vol 1 No. 2, Juli 2005. Hal. 61-65.
Arsiniati M. Brata-Arbai, dkk. 2001. Kajian Mutu dan Gizi serta Khasiat Makanan Tradisional Jawa Timur. Laporan Penelitian. Kerjasama Badan Ketahanan Pangan Propinsi Jawa Timur dengan Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Airlanggan.
Hubeis, A.V.S. 1995. Upaya Meningkatkan Mutu dan Kebersihan Makanan Jajanan Lewat Jalur Pendidikan Orang Dewasa dan Berdasarkan Usaha Bisnis yang Berkelanjutan. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal. 146-164.
Jerome, N.W., G.H. Pelto and R.F. Kandel. 1980. An Ecological Approach to Nutritional Anthropology.  New York: Red Grave Pub. Co.
Nurlaela, L. dan Winarni, A. 1999. Uji Coba Paket Pelatihan Sanitasi dan Keamanan Makanan Tradisional. Laporan Penelitian. Universitas Negeri Surabaya.
---------------------------------------. ------. Peningkatan SDM Pedagang Makanan Jajanan Tradisional (PMJT) Melalui Implementasi Paket Pelatihan Sanitasi dan Keamanan Pangan. Laporan Penerapan Ipteks. Universitas Negeri Surabaya.
Rata, I.G.A.K. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Menunjang Kecantikan. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 234-242.
Ritenbaugh, C. 1982. New Approaches to Old Problems: Interactions of Culture and Nutrition, Clinically Applied Anthropology Anthropologist in Health Science Setting. Boston: D. Reidel Pub. Co.
Rumawas, J. S. P. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Memenuhi Gizi Ibu Hamil dan Menyusui. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 42-48.
Samsudin. 1995. Peranan Makanan Tradisional dalam Tumbuh Kembang Bayi dan Anak. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 29-39.
Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. New Jersey: Prentice-Hall.
Sapuan. 2000. Evaluasi dan Strategi Pengembangan Pemasaran Makanan Tradisional. Jurnal Makanan Tradisional Indonesia. Vol. 2 No. 4, Januari 2000. Hal 1-7.
Sastroamidjojo, S. 1995. Makanan Tradisional, Status Gizi, dan Produktivitas Kerja. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 62-66.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Suhardjono. 1992. Kelompok Studi Kesehatan Perkotaan. Jakarta: Fakultas Kedokteran dan Rumah Sakit Umum UNIKA Atmajaya.
Surjodibroto, W. 1995. Hubungan antara Makanan Tradisional dan Tingkat Kebugaran Masyarakat Indonesia. Dalam Prosiding Widyakarya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta: Kantor Menteri Negara Urusan Pangan. Hal 223-232.
Susanto, D. 1991. Fungsi Sosial dan Budaya Pangan. Dalam Pangan. Volume II.
Susanto, D. Dan Suparlan, P. 1989. Keanekaragaman Makanan Pokok di Indonesia dan Ketahanan Sosial Budaya. Dalam Widyakarya Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI.
Wardani, P.E.K. dan Nurlaela, L. 2006. Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Teri terhadap Hasil Jadi Kerupuk Tangguk Teri. Jurnal Boga dan Gizi. Vol 1 No. 3, Januari 2006. Hal. 133-137.
Widyaningsih, T. D. 2000. Evaluasi dan Strategi Pengembangan Pemasaran Makanan Tradisional. Jurnal Makanan Tradisional Indonesia. Vol. 2 No. 4, Januari 2000. Hal 16-21.
_____________________________________
*) Artikel hasil penelitian fundamental tahun  2009.

Ibuku

Ibuku, sekarang berusia 77 tahun. Alhamdulilah, dalam usianya yang sudah udhur, ibuku diberikan kesehatan yang menurutku sangat baik. 'Sehate wong tuwo'. Meskipun beliau mengidap diabetes mellitus sejak tahun sembilan puluhan, alhamdulilah ibu nyaris tidak berkurang aktivitasnya. Tetap mengajar ngaji, masih 'kerso' diundang mengisi pengajian kesana-kemari atau sekedar memberikan mauidhotul hasanah di acara-acara pernikahan. Ibu juga tetap aktif mengikuti pengajian rutin di Jombang, dan di beberapa tempat lain. Beliau biasanya pergi bersama teman-teman yang dulunya adalah murid beliau, atau santri beliau, atau setidaknya yang pernah ngaji kepada beliau. 

Bapakku kapundhut pada 8 Mei 1993. Sekitar setahun setelah kelahiran Arga, anak kami (anakku lahir 2 Mei 1992). Waktu itu aku masih kuliah di S2 PTK IKIP Yogyakarta. Ketika bapak kapundut, aku sedang berada di Surabaya (karena mas Ayik kerja di Surabaya), dan anak kami di Ponorogo dengan akung-utinya. Seorang teman kantor mas Ayik mengabarkan, kalau ada telepon dari keluarga Tuban, yang menyampaikan berita duka itu (kami belum punya sambungan telepon di rumah kontrakan kami, jadi komunikasi dengan menggunakan nomor telepon kantor). Aku sontak menangis histeris ketika mas Ayik memberitahuku, meski dia menyampaikannya dengan sangat hati-hati. 

Saat itu juga kami, dengan mobil dan supir kantor, meluncur ke Tuban, tanah kelahiranku. Sepanjang perjalanan aku terisak, dan mas Ayik terus menenangkanku. Yang terbayang-bayang di benakku adalah wajah sepuh bapakku yang lembut, penuh kasih, namun lemah karena penyakit asma yang bertahun-tahun menderanya. Teringat semua kerja kerasnya, perhatiannya, dan semua perlakuan manisnya. Juga kesetiaannya mengabdikan setiap tetes keringatnya untuk menghidupi kami semua. Bapak adalah seorang guru pegawai negeri. Pada pagi hari beliau mengajar di M.Ts Negeri Tuban, siang mengajar di M.Ts Alhidayah yang berada sekompleks dengan rumah kami, selepas maghrib beliau mengajar ngaji para santri di pondok pesantren peninggalan kakek kami. Seringkali selepas shubuh, bapak ke laut untuk menebar jaring, mencari ikan untuk lauk-pauk kami. Bapak yang pendiam, penyabar, jarang sekali memarahi kami. Sebaliknya adalah curahan kasih-sayangnya yang tak pernah pupus, sampai akhir hayatnya.

Sepanjang perjalanan itu segunung penyesalan menyesakkan dadaku. Aku belum sempat membahagiakan bapak. Bahkan setelah sekitar 3 tahun pernikahan kami, bapak dan ibu masih terus begitu perhatian. Sekitar 4 bulan sejak aku kuliah S2 di Yogya, bapak dan ibu menengokku di tempat kos, membawakan hampir semua makanan kesukaanku. Menginap semalam. Saat itu pun bapak anfal sesak napasnya. Menderita sekali beliau, napasnya sangat berat. Tapi bapakku yang tabah menenangkan aku, bahwa beliau baik-baik saja, dan napas berat seperti itu sudah biasa, dengan minum obat akan segera reda. Bapak juga pernah datang sendirian ke Surabaya di rumah kontrakan kami, ketika usia kehamilanku menjelang 7 bulan, dengan membawa sekardus penuh isi makanan kesukaanku: lontong sayur (kami menyebutnya ancah), nasi uduk, dan berbagai buah-buahan hasil kebun kami sendiri. Dan perhatian-perhatian lain sebagai wujud kasih-sayangnya. Sejauh itu, nyaris tak ada sesuatu pun yang aku sudah lakukan untuk membalasnya.  

Wajah ibuku juga melintas-lintas di benakku sepanjang perjalanan itu. Perempuan tegar yang telah melahirkanku dan kelima saudaraku itu. Akankah ibu tetap mampu tegar sepeninggal bapak? Apa pun sudah beliau lakukan untuk membesarkan kami. Ibu, yang semasa aku kecil (tahun 70-an) adalah anggota DPR Kabupaten Tuban, aktif di berbagai organisasi, mengajar pagi dan siang di sekolah yang sama dengan tempat bapak mengajar, sebagai guru honorer. Di malam hari, setelah mengajari kami semua mengaji usai sholat maghrib berjamaah, ibu masih menggoreng kacang, emping, kerupuk, untuk dititip-titipkan ke warung-warung; pekerjaan rutin yang beliau lakukan sambil menunggui kami belajar. Meskipun bapak dan ibu punya penghasilan tetap, tetapi menghidupi enam anak tentu tidak cukup kalau hanya mengandalkan dari gaji bulanan. Kami biasa makan nasi jagung, nasi bulgur, sebagai 'selingan'. Ya, kupikir dulu hanyalah sebagai selingan supaya kami tidak bosan makan nasi beras terus (sebagaimana seperti yang dikatakan ibu); ternyata waktu itu memang karena bapak ibu tidak memiliki cukup uang untuk membeli beras, sehingga kami harus makan nasi jagung atau bulgur sekali-sekali.

Akhirnya, sampailah kami di rumah duka yang sudah luar biasa ramai oleh para pelayat. Aku turun dari mobil dengan tubuh limbung, dipapah mas Ayik dan temannya. Kaki-kakiku serasa tidak menapak ke bumi. Aku seperti melayang-layang  saja, masuk rumah, disambut ibu yang tetap tersenyum dalam kedukaannya. Beliau memelukku, dan mencoba menenangkan aku yang menangis tak henti-henti. Aku sangat kehilangan bapak, dan aku mengkhawatirkan ibu sepeninggal bapak. Tapi ternyata beliau yang aku khawatirkan nampak begitu tegar, jauh di luar bayanganku. Aku pingsan, ditidurkan di lantai beralas tikar. Ketika siuman, ibu sudah di sebelahku, lengkap dengan senyumnya yang penuh ketabahan.

Sepeninggal bapak, ibu tidak berubah. Beliau tetap sebagai wanita kuat lahir dan batin. Tidak pernah mengeluh. Ibu memang bukan tipe orang yang suka mengeluh. Bahkan ketika kecapekan pun, beliau selalu berucap, 'alhamdulilah....isih diparingi kuwat lan sehat....'  Semangatnya itu, begitu mengagumkan kami.

Sebegitu tabahnya ibu, ternyata jauh di dalam hati beliau, ibu juga seperti perempuan pada umumnya. Suatu ketika secara tidak sengaja, aku menemukan catatan-catatan ibu, semacam diary, ketika ibu memintaku mengambilkan sesuatu di almari beliau. Aku sempat membaca diary itu. Adalah isi hati ibu tentang rasa kehilangannya karena ditinggal bapak, kerinduannya, keluh-kesahnya pada Allah atas semua cobaan, dan doa-doanya agar senantiasa diberi kekuatan untuk mendampingi kami semua, anak-anaknya. 

Aku pun terpekur di tempat itu, di kamar ibu. Lidahku kelu dan tenggorokan terasa sakit menahan keharuan yang mendadak menyergap. Oh, ibu. Serapi itu ibu menyembunyikan perasaannya dari kami semua, anak-anaknya. Membungkusnya dalam balutan senyum penuh ketabahan. Menyimpannya jauh di lubuk hatinya dan menggantinya dengan keihlasan yang tak pernah putus. Padahal jauh, jauh di dalam lubuk hati beliau, betapa ibu begitu merasa kehilangan bapak...

Surabaya, 4 Januari 2012

LN

Jumat, 17 Februari 2012

Malaria yang Bikin Gundah...

Siang ini Joko, salah satu 'lurah' SM-3T, menelepon saya. Dia mengabarkan kalau Okta, salah satu peserta SM-3T, sakit demam tinggi dan saat ini sedang dirawat di Karera. Sementara dokter yang merawat dia mengatakan kalau obat terbatas, termasuk cairan infus. Ambulans sedang diperbaiki di Waingapu karena gardannya patah. Joko bertanya, 'Bagaimana ini, ibu?'

Dua hari sebelumnya, saya menerima sms dari Arsyah. 'Ibu, Jasuli sakit. Ini sudah dibawa ke rumah sakit.' Saya balas, 'sakit apa, Arsyah?' 'Belum tahu, Ibu, hasil tes darahnya belum keluar, dia baru masuk jam setengah tiga tadi.' Kemudian beberapa jam setelah itu, saya menerima sms dari Joko. 'Jasuli kena malaria fativarum+4, Prof'. Setelah itu beberapa sms dari peserta SM-3T yang lain masuk, termasuk dari bu Nanik, teman kami di Tim SM-3T. Isinya sama: 'Mohon doa untuk kesembuhan teman kita Jasuli, dia terkena malaria fativarum+4'. Sms itu rupanya telah menjadi sms berantai, terkirim di antara mereka dan juga kami tim. 

Padahal sehari sebelumnya, sms dari Arsyah juga saya terima, yang mengabarkan Amrina sakit dan juga harus dirujuk di rumah sakit. Juga karena malaria. Jadi dalam waktu kurang dari seminggu, tiga orang harus dibawa ke rumah sakit di Waingapu, dari tempat tugas mereka yang jauh.

Ya, malaria. Penyakit ini begitu populer di Sumba Timur. Pada minggu-minggu pertama, peserta SM-3T keluar masuk ke RSUD, sebagian dari mereka harus opname. Saya hitung dari laporan Joko, ada 29 peserta yang memerlukan pemeriksaan karena demam, 10 di antaranya harus opname (belum termasuk Amrina, Jasuli, dan Okta). Dua kali kami monev, dua kali itu juga kami harus menyempatkan diri menengok mereka yang sedang opname dan bertemu dengan dokternya.

Malaria membuat kami semua risau. Pada monev yang kedua tempo hari kami membawakan obat penangkal malaria untuk semua peserta, yaitu chloroquin. Obat yang rasanya sangat pahit itu kami bagikan untuk seluruh peserta tanpa kecuali. Obat itu bisa mereka konsumsi selama 6 bulan. Memang tidak bisa sepenuhnya mencegah dari serangan malaria, tapi akan membuat daya tahan mereka menjadi jauh lebih baik. Kami semua juga meminum obat itu menjelang berangkat monev.

Kabar tentang kondisi kesehatan mereka membuat saya begitu gundah dan waswas, seperti seorang ibu yang mendengar anaknya sedang sakit, sementara jarak kami begitu jauh. Apalagi kalau sampai orang tua mereka tahu, dan kemudian berkali-kali telepon ke saya. 'Ibu, tolong lakukan yang terbaik untuk anak saya, mohon bantuannya, Ibu. Kondisi anak kami belum juga stabil, mohon, Ibu....'. Kata seorang bapak dengan suara terbata. Sebagai seorang ibu, saya sangat bisa memahami kekhawatiran mereka......

Tidak ada pilihan lain, saya pantau mereka terus-menerus, berkomunikasi langsung dengan korcamnya, dengan teman-teman yang menjaganya, juga dengan dokter yang merawatnya. Ketika kabar tentang sakitnya Jasuli saya terima, saya langsung kontak dengan dokter Kris, direktur RSUD di Waingapu. Saya tanyakan, apa maksudnya malaria fativarum +4. Separah apakah? Bagaiman peluang sembuhnya? Jawaban dokter Kris melegakan saya: 'itu hanya menunjukkan jumlah parasit dalam lap pandang'. Sebenarnya saya tidak tahu  persis apa maksud penjelasan dokter Kris. Tapi kata 'hanya' di dalam kalimatnya menenangkan saya.

Kabar sakitnya Okta tak pelak juga membuat saya sangat risau. Okta, anak manis dan ceria itu, saya temui di RSUD ketika dia sedang menunggu temannya yang opname, saat supervisi pertama yang lalu. Pertemuan kedua terjadi ketika kami monev ke Pinupahar, dan dia tetap dengan keceriaannya. Anak itu sebenarnya sangat bersemangat, optimis, dan fisiknya juga bagus. Namun ternyata malaria melemahkannya juga. Kabar dari Ulfa, seorang temannya yang saya hubungi menyatakan kalau Okta sangat lemah, perutnya sakit dan dia muntah-muntah terus. Okta merasa tidak kuat kalau harus dibawa ke Waingapu, apalagi kalau harus menunggu oto atau ambulan besok paginya. Sementara di Karera, obat sangat terbatas.

Okta, anak kuat itu, bahkan merasa nyaris menyerah. Maka tanpa menunggu, saya langsung telepon lagi Ulfa, dan minta supaya saya bisa bicara langsung dengan dokter yang merawat Okta. Dokter itu bilang, sebenarnya dia ingin secepatnya membawa Okta ke Waingapu, namun tidak ada ambulans. 'Kondisinya separah apa, Dok?' Tanya saya. 'Sekarang sudah diinfus, ibu, ya, sepanjang tidak ada komplikasi, dia cukup aman. Tapi yang saya khawatirkan adalah hb-nya drop, di sini tidak cukup obat-obatan dan cairan infus untuk membantu supaya dia segera stabil.' 'Baik, Dok, saya akan segera upayakan mobil yang bisa menjemput Okta sekarang juga, nanti saya kabari lagi Dokter.' Saat itu, yang ada dalam pikiran saya adalah, jangan sampai terjadi sesuatu yang fatal, hanya karena saya telat mengambil keputusan untuk mereka.

Maka saya langsung telepon mas Oscar, salah satu driver langganan kami di Sumba Timur. Oscar ini ibarat koordinator transportasi kami di sana. Dia punya sebuah mobil, Panther touring, hanya sebuah. Tapi berapa pun mobil yang kami perlukan, sejauh ini, dia bisa mengupayakan. Dia akan mengkoordinasikan semua urusan transportasi dengan sangat rapi, dan hebatnya, dia tidak mengambil serupiah pun dari teman-teman driver lain yang ada di bawah koordinasinya itu. 'Mereka bawa mobil majikannya, ibu, mereka tidak dapat banyak dari majikannya kan, jadi saya tidak akan ambil dari mereka. Kalau saya kan mobil saya sendiri, ibu.'

Ketika saya tanyakan ke mas Oscar, apakah saat ini juga dia bisa bawa mobil ke Karera untuk menjemput Okta yang sakit, dia jawab, bisa. Lega saya. Okta akan segera dijemput, dan di tangan mas Oscar, dia akan nyaman sepanjang 4-5 jam perjalanan menuju RSUD Waingapu.

Satu hal yang sangat saya harapkan saat ini adalah malaria segera berlalu. Saya berharap selepas Maret, setelah melewati musim penghujan, nyamuk itu tidak terus-menerus meminta korban. Saya ingin anak-anak sekolah bisa lebih tenang belajar bersama guru-gurunya tanpa harus dihantui dengan malaria.  Namun penjelasan yang saya terima dari Joko dan beberapa orang membuat saya gundah. Kata mereka, malaria bukan penyakit musiman. Memang di Sumba Timur adalah endemik malaria, jadi kapan saja dan siapa saja bisa terkena malaria. Yang penting adalah jaga daya tahan tubuh, karena mungkin setiap orang di Sumba sudah terkena gigitan nyamuk malaria itu......

Wassalam,
LN

Kamis, 16 Februari 2012

Laporan dari Thailand

Pada bulan Maret tahun 2011 yang lalu, saya bersama PR 1 Unesa (Prof. Dr. Kisyani), Direktur Program Pascasarjana Unesa (Prof. Dr. I Ketut Budhayasa), Sekprodi S2 PTK (Prof. Dr. Ekohariadi), Koordinator Bidang Kerjasama Unesa (Dr. Suharsono, M. Phill, Drs. Martadi, M.Sn, dan Dra. Niken Purwidiani, M. Pd; serta beberapa teman dosen yang lain, termasuk tiga mahasiswa S2 PTK, berkesempatan mengunjungi Thailand. Salah satu hal yang mendorong kunjungan itu adalah karena kebetulan saya kenal baik dengan atase pendidikan di KBRI Bangkok, Prof. Dr. Didik Sulistiyanto. Beliau adalah teman sekelas suami saya ketika SMP dan SMA, juga teman akrab di kegiatan Pramuka. Beliau mendorong saya untuk berkunjung ke Thailand, karena menurut beliau ada banyak hal yang bisa dipelajari, serta banyak peluang kerjasama yang bisa dijajagi. Tentu saja, juga senyampang beliau masih bertugas di sana. Ketika saya menyampaikan hal tersebut ke pak Rektor, beliau menyambut baik, dan meminta saya berkoordinasi dengan pak Suharsono, serta berkomunikasi dengan pak Didik, serta beberapa perguruan tinggi yang akan menjadi tujuan kunjungan kami.

Senin, 7 Maret 2011
Kami berangkat  dari Juanda Airport pukul 15.30 dengan Air Asia, dan sampai di Bangkok pukul 19.10. Kami dijemput langsung oleh pak Didik, atase pendidikan (atdik) itu. Sendirian, berdiri di ambang pintu keluar area kedatangan, di dalam gedung terminal yang luas itu, sambil melambaikan tangannya ke arah kami. Saya tidak membayangkan kalau beliau akan sendirian seperti itu. Untuk pejabat selevel beliau, bayangan saya, setidaknya ada beberapa stafnya yang mendampingi. Tapi ternyata tidak. Beliau benar-benar sendirian. Satu poin untuk Thailand. Praktis, efisien.
Kami saling berjabat tangan. Saya memperkenalkan rombongan yang bersama saya, yang berjumlah 14 orang itu. Ternyata pintu keluar masih lumayan jauh. Dua van sudah menunggu kami. Dan setelah menunggu agak lama (karena dua teman kami sempat ‘hilang’, sehingga saya dan pak Didik terpaksa masuk lagi ke dalam gedung terminal untuk mencari Prof Eko dan Dr. Aisyah yang ‘ketlisut’); kami langsung diantar ke hotel yang sebelumnya sudah dipesan oleh pak Didik.
Namanya Hotel Ramada D’Ma, letaknya ada di pusat kota Bangkok. Setelah check-in, kami berkumpul lagi di lobi (tanpa mandi dulu, hanya cuci tangan dan ‘pipis’). Kami akan makan malam. Ternyata tidak mudah mencari tempat makan yang halal di sekitar hotel tersebut. Maka pilihan kami jatuh pada restoran India. Wah, makan malam pertama di Bangkok dengan menu India. Meskipun menu utamanya adalah menu India, tetapi restoran ini juga menyediakan sup tom yam. Inilah hidangan yang kami impi-impikan. Sup dengan bahan makanan hewani yang rasanya asam pedas itu betul-betul memuaskan selera kami. Juga nasi biriani yang warnanya kuning dan berbutir-butir panjang itu. Juga hidangan ayamnya. Semuanya deh. Dasar perut lagi lapar.

Selasa, 8 Maret 2011
Kegiatan pertama kami pagi ini (setelah makan pagi), adalah mengunjungi Dusit Thani College (DTC). Kami ditemani oleh Kun Supit dari KBRI (orang Thailand sebagai staf KBRI). Kun Supit usianya sudah lebih dari 60 tahun, dan sebentar lagi dia pensiun.
Kunjungan ke DTC diterima oleh  Atthawet Prougestaporn, Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan dan Pengembangan Kelembagaan (Vice Rector for Student Affairs And Development Office). Selain itu ada juga dua wanita, salah satunya adalah Supreeya Mananawee, dari urusan internasional (Coordinator International Business Development Unit).
DTC merupakan lembaga pendidikan swasta yang sudah diakreditasi oleh Commision on Higher Education Thailand. Di DTC terdapat lima program studi S-1  dan satu program studi S-2 , yakni: Program S-1 Hotel Management; Program S-1 Kitchen and Restaurant Management; Program S-1 Tourism Management; Program S-1 Resort and Spa Management; Program S-1 Convention and Event Management; Program S-2 Hotel and Restaurant Management. Terdapat juga 2 program internasional level S1, yaitu Hotel Management dan Kitchen and Restaurant Management.
Pertemuan dibuka oleh MC (yang cantik tapi berjakun; komunitas waria memang diterima secara luas dan terbuka di Thailand); dan diteruskan dengan sambutan selamat datang dari Mr. Atthawet Prougestaporn dalam bahasa Inggris. Setelah itu disajikan tampilan power point tentang DTC.
Sambutan balasan disampaikan oleh PR1 Unesa dengan menyampaikan salam persahabatan dari Rektor Unesa dan sekilas Unesa dalam tujuh kalimat bahasa Indonesia yang kemudian dialihbahasakan oleh Bapak Suharsono dalam bahasa Inggris. Hal ini merupakan bentuk pelaksanaan UU No. 24 Th 2009 tentang “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan”, khususnya pasal 28 yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi pejabat yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Bu Kis sebenarnya cukup mahir berbahasa Inggris, tapi karena beliau, sebagai orang bahasa dan tahu ada UU tersebut, maka tidak ada pilihan, beliau harus memberikan sapaannya dalam bahasa Indonesia.
            Setelah itu diskusi dilakukan dalam bahasa Inggris. Dalam diskusi, Mr. Atthawet menyampaikan bahwa  DTC mempunyai banyak program studi yang berkaitan dengan Home Economics dan  telah bekerja sama dengan perguruan tinggi di Singapura. Walaupun demikian diakuinya bahwa mahasiswa dari luar negeri  tidak terlalu banyak. Dari sekitar 2000 mahasiswa dan 80 dosen di DTC, 15 di antaranya merupakan mahasiswa  dari luar Thailand. Oleh sebab itu, DTC tertarik untuk melakukan pertukaran mahasiswa, bisa dalam bentuk  “short courses”.  Sayangnya, untuk pertukaran dosen Mr. Attawet kurang begitu merespon. Tapi, jika ada dosen Unesa yang akan ke DTC, dia akan menerima. Untuk penelitian bersama, DTC dapat menerima, hanya belum tahu bentuk penelitiannya apa dan bagaimana  teknik pelaksanaannya nantinya. Saat sesi diskusi dengan pasca, DTC menyatakan belum mempunyai kelas pasca yang dimaksudkan Unesa sehingga pasca Unesa belum dapat melakukan kerja sama dengan DTC.
            Suguhan yang disajikan oleh DTC berupa kue buatan mahasiswa. Selesai diskusi, acara ditutup dengan penyerahan cendera mata dari Unesa. Dari DTC, utusan Unesa masing-masing menerima profil DTC dalam bentuk indah yang sebelumnya sudah diletakkan di meja kami masing-masing, lengkap dengan papan nama kami. Cantik, indah, rapi.
Saat berkeliling ke beberapa kelas dan ruang kantor, tampak sekali bahwa masalah kebersihan dan kedisiplinan sangat terjaga. Mahasiswanya ramah, sopan, dan senantiasa menangkupkan kedua telapak tangannya, dirapatkan di dadanya atau di keningnya. Sikap menghormat khas Thailand. Sarana dan prasarana tampak lengkap, teratur, dan bersih (mirip dengan punya Unesa, ‘kacek titik’ hehe). Pembelajaran sudah menggunakan media TV di ruang praktik. Semua kelas tampak bersih dan teratur. Perpustakaan juga tampak ramai. Para mahasiswa berseragam sehingga mudah dikenali. Demikian juga dengan dosen-dosennya, juga mengenakan seragam.
            Saat akan pulang, rombongan bersama tim dari DTC berfoto bersama. Unesa mengingatkan draf MOU untuk dicermati dan hal itu akan ditindaklanjuti.

Sepulang dari DTC, rombongan kami menuju ke KBRI Bangkok, dan kami diterima oleh pak Didik dan ibu (saya memanggilnya mbak Ikris). Selesai makan siang di kantin KBRI dengan menu Indonesia (tentu saja gratis), dilakukan diskusi tentang pengembangan kerja sama pendidikan, riset, dan lain-lain, bertempat di Gedung Ahmad Yani.
            Acara dibuka oleh pak Didik, kemudian dilanjutkan dengan ucapan selamat datang dan beberapa penjelasan dari  Bapak Bob Tobing (Counsellor Information and Cultural Affairs). Sambutan juga disampaikan oleh PR1 terkait dengan tujuan kunjungan Unesa ke Bangkok. Pak Didik menyampaikan presentasi  berjudul “Kajian Keunggulan Sistem Pendidikan, Program Double Degree Indonesia-Thailand serta Peran Atdik KBRI Bangkok”. Presentasi itu dengan jelas menggambarkan kedudukan dan peran KBRI dalam penggalangan hubungan kerja sama antara dua negara, khususnya dalam bidang pendidikan. Saat sesi diskusi, ada beberapa pertanyaan terkait dengan kerja sama program PKK dan Pasca. Saat itu ada beberapa universitas yang direkomendasikan di antara 16 universitas yang ada. Saat Unesa menanyakan kemungkinan adanya sister university atau sister study program, dimungkinkan bisa. Bahkan dapat lebih mudah jika Surabaya atau Jawa Timur juga sudah memulainya dengan Thailand.
            Acara ditutup dengan penukaran cendera mata dan foto bersama. Setelah itu kami kembali ke hotel, bersiap-siap untuk dinner sekaligus menyaksikan sendratari spektakuler di Thai di Siam Niramit Show.
            Malamnya, sekitar pukul 18.00, kami sudah meluncur ke tempat pertunjukan Siam Niramit. Karena kami merupakan tamu KBRI, beberapa pelayanan khusus kami dapatkan, termasuk tempat duduk di depan sendiri, dan diskon yang lumayan untuk tiket masuknya. Siam Niramit memang luar biasa. Begitu memukau. Nggak rugi jauh-jauh datang ke Bangkok......
           

Rabu, 9 Maret 2011
Suan Dusit Rajabhat University (SDRU) yang akan kami kunjungi hari ini menjadwalkan acara kunjungan pada siang hari, sehingga pada pagi harinya kami sempatkan mengunjungi Grand Palace. Di tempat ini kami dibuat terpesona oleh bangunan-bangunan indah istana raja yang serba gemerlap, dengan patung-patung dan berbagai ornamen khasnya. Lokasinya luas sekali sampai kaki-kaki terasa pegal semua.
Perjalanan kami lanjutkan ke SDRU. Pak Didik juga menyertai kunjungan kami. Suan Dusit Rajabhat University adalah sekolah Home Economis yang pertama di Thailand. Universitas tersebut didirikan pada tanggal 17 Mei 1934 di istana Krom Luang Choomponketudomsak, dengan tujuan untuk mengajar wanita tentang ilmu kerumahtanggan dan kursus pelatihan untuk guru. SDRU mempunyai kekhususan dalam bidang Childhood Education, Food Industry, Service Science dan Nursing Science. Saat ini SDRU memiliki lima fakultas, yaitu: Faculty of Education, Faculty of Science and Technology, Faculty of Manage Science, Faculty of Humanities and Social Science, dan Faculty of Nursing.

Rombongan Unesa dan pak Didik diterima oleh Ajarn Thainasiri Chara-um selaku Assistant President for  International Affairs. Pertemuan tersebut dihadiri juga oleh beberapa pejabat dan staf pengajar SDRU, yakni  Dr. Kanokkan Weerakul (Dekan Sekolah Tata Boga/Dean of The School of Culinary Arts), Miss Thitima Gaomanee (Deputy Dean of The School of Culinary Arts), Miss Chahaya Raktakanishta (Director of Suan Dusit International Culinary School), dan beberapa dosen, yakni: Asst. Prof. Raweerote Anantathanachai, Asst. Prof. Dr. Sangaroon Yaemwongboon, Miss Chanchana Siripanwattana, Miss Samita Mortero, dan Mr. Songpoi Vithanwatana.            Miss Thainasiri menyapa dan melakukan perkenalan awal dalam bahasa Inggris. Semua peserta kemudian memperkenalkan diri. Setelah itu pak Didik selaku atase pendidikan menyatakan niat baik Indonesia/Unesa untuk melakukan kerja sama dalam bidang pendidikan. Dia juga menyampaikan gambaran umum tentang hal-hal yang sudah dan akan dilakukannya dalam bidang kerja sama pendidikan, termasuk  beberapa fasilitas yang disediakan oleh KBRI terkait dengan kerja sama pendidikan.
Seperti di DTC, sambutan balasan disampaikan oleh PR1 Unesa  dengan menyampaikan salam persahabatan dari Rektor Unesa dan sekilas Unesa dalam tujuh kalimat bahasa Indonesia yang kemudian dialihbahasakan oleh Bapak Suharsono dalam bahasa Inggris. Selanjutnya, secara rinci, Bapak Suharsono menyampaikan tayangan Unesa dalam  power point.
            Setelah itu diskusi dilakukan dalam bahasa Inggris. Dalam diskusi, Miss Thainasiri menyampaikan bahwa sat ini di SDRU terdapat sekitar 300 mahasiswa asing yang sebagian besar berasal dari Cina, tetapi universitas tersebut belum mempunyai program international. SDRU, khususnya Dekan Sekolah Tata Boga, menjambut baik tawaran Unesa untuk mengadakan kerjasama dalam bidang penelitian, pertukaran mahasiswa, pertukaran dosen, penelitian bersama, maupun publikasi bersama. Akan tetapi, karena saat itu yang memimpin sidang adalah assistant president for international affairs (asisten pembantu rektor IV, jika di Indonesia), dia belum dapat mengambil putusan. MOU yang diajukan Unesa akan dipelajari lebih lanjut.
            Kemungkinan kerja sama dengan Pasca Unesa masih belum dapat dlakukan karena belum adanya program studi yang dimaksudkan pasca, termasuk  belum punya kelas internasional berbahasa Inggris.   
Acara diakhiri dengan penukaran cendera mata. Unesa dan pak Didik mendapatkan kue khusus yang merupakan kue andalan SDRU buatan mahasiswa. Setelah itu pak Didik meninggalkan tempat dan rombongan Unesa berkeliling dengan didampingi oleh para dosen dan asisten dekan.
Seperti halnya di DTC, beberapa kelas dan ruang kantor sangat bersih dan teratur. Sarana dan prasarana tampak lengkap, teratur, dan bersih. Semua kelas tampak bersih dan teratur. Para mahasiswa tidak berseragam. Pada salah satu ruang, disediakan rangkaian bunga hidup yang cantik untuk  rombongan Unesa. Kami menerimanya satu per satu, dan disematkan di baju kami, indah sekali. Model dan teknik curving buah juga sangat bagus, sayang buku-buku tentang teknik itu disajikan dalam bahasa Thai. Rangkaian bunga imitasi juga sangat menarik. Mereka terbiasa menerima pesanan untuk berbagai acara (salah satu implementasi kewirausahaan).
Di salah satu sudut  universitas, SDRU juga mempunyai toko roti yang menjual berbagai produk buatan mahasiswa dan tampak laris. Bahkan beberapa mobil kue juga siap mengantarkan produk mahasiswa ke beberapa tempat.
            Sepulang dari SDRU, kami  mampir ke MBK Mall untuk belanja oleh-oleh berupa barang-barang home industry dan kerajinan khas Thailand. Kami memborong puluhan bros, tas dan dompet-dompet cantik, lenan-lenan rumah tangga. Saya dan bu Kis mengumpulkan barang-barang apa pun, yang penting ada gambarnya gajah... he he.
Selanjutnya kami makan malam dijamu pak Didik di restoran besar dengan menu seafood yang luar biasa enak. Tentu saja, yang selalu harus ada, sup tom yam. Selesai makan malam, sementara yang lain langsung diantar kembali ke hotel dengan mobil van, saya dan bu Kisyani diajak pak Didik untuk mampir ke apartemen beliau, ketemu istri dan anak-anak beliau. Tentu saja itu merupakan undangan yang saya tunggu-tunggu. Pesan mas Ayik, kalau bisa saya mampir ke apartemen pak Didik, sekalian, sudah jauh-jauh datang...

Kamis, 10 Maret 2011
Pagi ini kami akan berkunjung ke Burapha University (BU). Kami berangkat pukul 8.30. Jarak antara Bangkok dan BU lumayan jauh, kami sampai di sana sekitar pukul 10.30. Kami disambut oleh Ass.Prof. Pichan Sawangwong, Ph.D. (Vice President for International Relations); Dr. Pracha Inang (Assist Dean for International Affairs and Special Activity, Faculty of Education);  Prof. Dr. Larry Nelso; dan Mrs. Angela Nelson.          
Burapha University (BU) adalah universitas negeri yang terletak di Bangsaen, Chonburi, yang berjarak 100 km dari Bangkok. Luas kampus sekitar 256 hektar. BU mempunyai sekitar 40.000 mahasiswa, 500 staf pengajar, dan 300 staf administrasi. dengan 15 fakultas dan  colleges: Faculty of Humanities and Social Sciences, Education, Nursing, Public Health, Science, Engineering, Fine and Applied Arts, Science and Liberal Arts, Marine Technology, Graduate School, gems College, Maritime College, Graduate School of Commerce, Graduate School of Public Administration, and Sport Science College.
BU  menawarkan lebih dari lima puluh program studi  S-1, tiga puluh program studi  S-2, satu program Ed.D, tiga program Ph.D, dan banyak program kursus singkat setiap tahun.  Burapha University memiliki 3 kampus: Bangsaen, Chantaburi, dan Sakaew.
Kami diterima oleh Asst. Prof. Dr. Pichan Sawangwong. Acara diawali dengan perkenalan dan pemutaran video tentang BU dalam bahasa Inggris.
Seperti di DTC dan SDRU, sambutan balasan disampaikan oleh PR1 Unesa dengan menyampaikan salam persahabatan dari Rektor Unesa dan sekilas Unesa dalam tujuh kalimat bahasa Indonesia yang kemudian dialihbahasakan oleh Bapak Suharsono dalam bahasa Inggris (kalimatnya persis yang di atas ya, hasil copy-paste.....).
Diskusi dilakukan dalam bahasa Inggris. Mr. Sawongwong selanjutnya menyatakan bahwa BU mempunyai banyak program studi S-1, S-2, maupun S-3 yang didukung oleh banyak staf pengajar yang berkualitas. BU juga telah mendatangkan dosen-dosen dari beberapa universitas luar negeri seperti Curtin University, University of Iowa, University of Colorado, dan University of Nebraska.
Dalam sesi diskusi, disampaikan minat Pascasarjana Unesa yang berkeinginan melaksanakan program double degree dengan 3 semester berkuliah di Unesa dan 1 semester kuliah di luar negeri (di BU), khususnya dalam bidang kurikulum, asesment, dan multi media. Mr. Sawangwong menyambut baik hal itu dan meminta Dr. Pracha Inang untuk menindaklanjutinya. Secara lebih detail hal itu kemudian didiskusikan dengan Dr. Pracha Inang (saat ini, program ini sudah berjalan).
Saat  Mr. Sawangwong menyampaikan beberapa program pembelajaran bahasa di BU, didiskusikan juga kemungkinan adanya mata kuliah Bahasa Indonesia. Dia bercerita bahwa dulu memang hal itu pernah ada akan tetapi tidak berlanjut. Selanjutnya dibicarakan juga tindak lanjut kerja sama antara Unesa dan BU dalam bidang pertukaran mahasiswa, pertukaran dosen, penelitian bersama, dan lain-lain. Mr. Sawangwong lebih menyukai kerja sama dalam program yang kecil, tetapi dapat dilaksanakan daripada hanya membuat MOU yang tidak pernah dilaksanakan. Dia  sangat menyambut baik kedatangan rombongan dari Unesa. Biarpun demikian, MOU dari Unesa tetap akan dipelajarinya.
Pada pembicaraan informal, dilakukan diskusi dengan Prof. Larry Nelson tentang kemungkinan kerja sama penelitian antara Unesa dan BU dalam bidang educational measurement. Program academic recharging (PAR) yang membiayai dosen di Indonesia untuk melakukan penelitian bersama dengan peneliti lain di universitas luar negeri disambut baik. Acara diakhiri dengan penukaran cendera mata dan foto bersama.
BU mempunyai hotel yang bagus di dalam kampus yang digunakan sebagai tempat  praktik mahasiswa. Jamuan makan siang dilakukan di hotel tersebut. Secara informal, Mr. Sawongwong menyatakan adanya kemungkinan kerja sama BU dengan Universitas Airlangga dan tentunya dengan Unesa juga.
Pulang dari BU dilanjutkan ke Pattaya (Gem Jewerly,  floating market, cabaret show (yang kita bisa sepuasnya melihat atraksi para ‘Mrs He” dan ‘Mr She’; sebutan untuk para waria itu, menurut teman saya yang orang Thailand), makan malam di moslem seafood restaurant). Hari keempat yang padat, sepadat hari-hari kemarin.....


Jumat, 11 Maret 2011
Hari ini acara bebas, kami pergi shopping dan jalan-jalan sepuas-puasnya, kemudian pulang ke Surabaya pukul 19.15 dari Bangkok. Alhamdulillah kami pulang dengan selamat. Semoga perjalanan kami membawa berkah kemajuan untuk Unesa...amin.