Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 13 Oktober 2012

Talaud (5): Kepulauan yang Indah

Pagi masih gelap. Deburan ombak adalah suara alam yang pertama kali saya dengar begitu bangun tidur. Penginapan kami, namanya hotel Helena, hanya berjarak kurang dari 50 meter saja dari bibir pantai. Hotel itu sebenarnya terlalu sederhana untuk disebut hotel, hanya terdiri dari dua belas kamar, masing-masing berukuran 3 x 4 meter. Kamar-kamar berbaris membentuk huruf U, dan di tengahnya adalah bangunan terbuka untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pertemuan atau makan. Juga untuk bermain musik. Semalam kami bersama ibu Susan, kepala seksi SD dan SMP, dan kawan-kawan dari UM, bernyanyi bergantian setelah dijamu makan malam oleh Kepala Dinas. Yang memainkan electone adalah pak Yoyok, dosen PGSD. Sekali-sekali diganti oleh petugas hotel. Tapi petugas hotel khusus electone itu tidak sebagus pak Yoyok memainkannya, setidaknya perbendaharaan lagu-lagunya tidak selengkap pak Yoyok. Maka menyanyilah kami diiringi pak Yoyok, mulai dari lagu-lagu nostalgia Indonesia dan Barat, ndangdut, dan campursari. Pak Yoyok sampai-sampai 'terkapar' di kursinya karena kecapekan mengiringi kami semua.      

Pagi ini sarapan kami adalah nasi putih, ikan goreng, telur ceplok, dan sambal dabu-dabu. Ikan, merupakan salah satu komoditas yang menonjol di Talaud. Sore kemarin, pak Yoyok juga sudah belanja ikan yang dibumbu woku-woku, yang dimakan dengan umbi bentul. Bentulnya hanya dikukus begitu saja, dipotong-potong sekepalan tangan, fungsinya sebagai pengganti nasi. Pak Yoyok membelinya di pasar dekat hotel ketika kami semua sedang beristirahat seusai upacara serah terima dengan Pemda Talaud. Orang itu memang seperti tidak punya capek. Dia bahkan telah bermain di pantai dengan anak-anak kampung, dan memotret mereka dalam berbagai pose.

Dua mobil sudah menunggu kami. Satu panther dan satu xenia. Saya, Prof. Warsono, dan pak Heru di mobil Xenia, sementara pak Yoyok, Andra dan bu Susan di mobil panther. Pagi ini kami bermaksud menyusuri sisi barat pulau ini. Tentu saja dalam rangka meninjau tempat para guru SM-3T ditugaskan.

Dari Melongwane, yang merupakan titik start, kami menuju Beo. Jalan lumayan  mulus, sedikit naik turun dan berkelok. Namun ternyata jalan mulus itu tak terlalu lama. Hanya sekitar 30 menit saja, selanjutnya adalah jalan yang berlubang-lubang besar, sehingga Rayu, driver kami harus hati-hati memilih jalan. 

Setelah menempuh perjalanan sekitar 60 menit, kami sampai di Beo. Kami mengunjungi SD Inpres Bantik. Ada dua guru SM-3T di situ, satu dari UM, dan satu dari Unesa. Ketika kami datang, aroma durian tercium. Ternyata bapak kepala sekolah sudah menyiapkan durian untuk kami. Maka tanpa basa-basi, kami semua menyerbu durian itu ramai-ramai. Setelah makan durian, kami masuk ke beberapa kelas, bercengkerama dengan siswa, dan bermain pingpong. 

Sekolah itu menurut penilaian kami bukanlah sekolah tertinggal. Bangunannya lumayan bagus, ada halaman sekolah yang bisa dimanfaatkan untuk bermain voli, juga ada satu ruangan yang digunakan untuk main pingpong. Kepala sekolah dan guru-guru juga memiliki ruangan yang agak memadai. Sekolah itu memiliki 7 guru PNS, dengan 6 rombel, dan 119 siswa. 

Kami berkendara dari satu desa ke desa lain dalam tiga kecamatan, Beo, Essang, dan Gemeh. Hujan turun di sepanjang jalan. Jalan selepas Beo menuju Gemeh adalah jalan tanah yang diuruk sirtu (pasir dan batu). Terjal dan sedikit berkelok-kelok, naik-turun. Di sebelah kiri kami adalah pantai dengan lautnya yang sangat menakjubkan, dengan pepohonan yang rapat, yang seringkali menghalangi pandangan kami. Putih, hijau kekuningan, hijau muda dan biru tua, adalah warna-warna laut, bergradasi, begitu indah, seperti lukisan di atas kanvas raksasa. Kami tidak henti-hentinya mengabadikan pemandangan yang sungguh memukau itu dengan kamera kami.

Talaud adalah wilayah yang tidak bisa dibilang miskin. Sepanjang perjalanan dari Melongwane sampai Gemeh, kecamatan paling ujung, yang bisa ditempuh dalam waktu sekitar 4-5 jam, pohon kelapa berbaris rapat di sepanjang jalan. Nyaris tanpa putus. Juga pohon cengkeh, pala yang sedang berbuah, dan pohon-pohon produktif yang lain. Menurut bu Susan, kelapa yang diolah menjadi kopra merupakan salah satu andalan penduduk sebagai sumber mata pencaharian, di samping cengkeh dan pala. Hasil laut yang berlimpah juga menjadi andalan yang lain.

Masyarakat Talaud juga cukup rajin bercocok tanam. Di tengah perjalanan, ketika kami sejenak beristirahat, kami sempat mengobrol dengan seorang bapak tua. Namanya Andreas Palangkareng, 70 tahun, berpakaian kerja lengkap. Parang di pinggang, dayung di pundak, dan keranjang besar (di Talaud disebut 'bika')  di punggung, serta gayung untuk membuang air di sampan. Dia mau pergi ke ladang, dan harus menyeberang sungai. Penampilan seperti bapak Andreas itu banyak ditemukan di sepanjang perjalanan, tua muda, laki-laki maupun perempuan. Mereka pergi ke ladang, kebun, atau pergi mencari ikan di laut. Meskipun PNS, sebagian besar dari mereka tetap melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. 

Hampir setiap jengkal tanah di pekarangan dimanfaatkan untuk berbagai tanaman, mulai dari umbi-umbian, tanaman buah, sayur, pisang, rempah-rempah, atau sekedar tanaman bunga. Di depan rumah di sepanjang jalan yang kami lalui, banyak tanaman jambu, nangka, mangga, kedondong, dan buah-buahan lain yang sedang berbuah. Jeruk limau juga sangat lazim ditemukan sebagai tanaman pekarangan. Masyarakat Talaud hampir selalu menggunakan jeruk limau untuk mengolah makanan dari ikan. Mereka juga memelihara ayam dan babi, baik untuk konsumsi sendiri maupun dijual. 

Saya teringat salah satu program pemerintah terkait dengan percepatan ketahanan pangan, salah satunya adalah program pemanfaatan pekarangan. Ya,  ketersediaan berbagai tanaman di pekarangan itu bisa menjadi penyangga ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Apalagi mereka tidak hanya mengandalkan pada beras sebagai bahan makanan pokok, tetapi juga pada umbi-umbian. Saya berharap mudah-mudahan pola makan yang memanfaatkan umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat itu tetap lestari, dan tidak semakin tergeser oleh beras, sebagaimana yang terjadi di banyak wilayah Indonesia yang lain. 

Di sisi lain, biaya hidup di Talaud cukup tinggi. Premium yang dijual di pangkalan seharga 8 ribu-12 ribu rupiah seliter. Beras bisa mencapai 20 ribu-25 ribu rupiah sekilo. Air mineral ukuran tanggung yang di Jawa hanya seharga 1500-2000 rupiah, di sini harganya 4.000 rupiah. Hotel kami, dengan luas kamar sekitar 12 meter persegi dengan fasilitas kamar yang sangat standar, yang di kota kecil di Jawa tarifnya hanya 100 ribuan, di sini 350 ribu rupiah semalam. Sewa mobil sehari dengan rute ke Gemeh yang hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 4-5 jam, biayanya 2 juta rupiah satu mobil. Saya berharap mudah-mudahan para peserta SM-3T dapat mengelola insentifnya yang hanya 2,5 juta perbulan itu dengan sebaik-baiknya, sehingga mereka bisa tercukupi kebutuhan sehari-harinya secara layak.

Kalau Talaud dikatakan sebagai wilayah terluar, memang benar. Tapi sama sekali bukan tertinggal. Sumber daya alamnya luar biasa berlimpah, dan sudah dikelola dengan cukup baik. Pohon kelapa, cengkeh, dan pala menjadi tanaman utama yang nyaris tidak ada putusnya memenuhi bibir pantai dan perkebunan sepanjang jalan mulai Melongwane sampai Gemeh. Kampung-kampung yang kami kunjungi adalah kampung yang indah. Meski rumah-rumahnya sederhana, beratap seng, namun pekarangan mereka penuh tanaman, termasuk tanaman bunga. Asri sekali. 

Di antara barisan rumah-rumah sederhana itu, selalu ada satu bangunan yang menonjol. Itulah gereja. Sekitar 95 persen penduduk Talaud beragama Kristen Protestan, selebihnya adalah Kristen Katolik, muslim, dan sekte-sekte lain. Mereka rajin melakukan kebaktian, ibadah, dan sekolah minggu serta berbagai kegiatan keagamaan. 
Ironisnya, mereka juga biasa minum-minuman keras sampai mabuk. Minuman keras dengan berbagai merk dijual bebas, dan botol-botol bekas minuman lazim ditemukan di rumah-rumah. Melihat orang tertawa-tawa sendiri atau berjalan limbung di jalanan sambil 'ngoceh' sendiri karena mabuk, adalah hal yang biasa. Minuman beralkohol yang banyak ditemukan merupakan hasil penyulingan fermentasi air nira. Minuman tersebut mudah diperoleh di warung atau toko di mana saja. Ada tiga yang terkenal, merknya King, Casssanova, dan Cap Tikus. Yang paling keras cak Tikus, tapi yang paling disukai yang Cassanova. Diminumnya biasanya ketika malam hari, saat kumpul-kumpul untuk bersantai, atau pada acara-acara pernikahan, perayaaan ulang tahun, juga pada acara kematian. Menurut Rayu, driver kami, bila ada orang meninggal, malam pertama dia meninggal disebut malam penghiburan. Besoknya setelah penguburan, adalah malam kedua, ketiga, sampai malam keempat puluh. Dalam malam-malam itu, sanak saudara dan tetangga-tetangga melakukan ibadah, bernyanyi-nyanyi, main kartu, dan tentu saja dilengkapi dengan minuman beralkohol tersebut.  

Kendala utama pembangunan di Talaud salah satunya adalah infrastruktur. Jalan utama yang menghubungkan satu kecamatan dengan kecamatan lain sebagian besar masih berupa tanah berbatu. Jalan itu sebenarnya hanya melingkar saja menghubungkan sisi barat dan sisi timur pulau. Belasan kali jalan melintas di atas sungai, namun sebagian besar jembatan yang kerangkanya dari baja itu masih belum dicor, tetapi menggunakan papan-papan kayu. Papan-papan itu hampir selalu bergeser setelah sebuah mobil melintas di atasnya. Maka bila ingin melintas dengan lebih aman, kita harus menata ulang papan-papan kayu itu. Sungguh perjalanan yang cukup berisiko. Bahkan di Gemeh, ada sepenggal jalan yang terputus karena belum ada jembatannya. Hujan deras menyebabkan laut pasang dan air sungai naik, sehingga kami gagal mencapai ujung Gemeh, di mana ada dua anak kami yang bertugas di sana. 

Kondisi infrastruktur yang masih sangat memprihatinkan itulah yang menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Talaud. Meskipun secara umum kondisinya masih jauh lebih baik daripada Sumba Timur, namun keterbatasan guru menjadi kendala utama. Beberapa guru yang ditugaskan di sekolah-sekolah di Talaud meminta dimutasikan ke wilayah lain dengan berbagai alasan. Menurut salah satu kepala sekolah di sana, sebenarnya alasannya adalah karena mereka tidak kerasan. 
  
Setelah mengunjungi beberapa tempat di mana anak-anak kami bertugas, kami mengarah ke SMP 3 Essang di Mamahan kecamatan Gemeh. Kepala sekolahnya bernama Yanis Alimbalo. Rumah kepala sekolah ada di kompleks SDK Lembong Rintulu, Mamahan, Gemeh. Istri bapak kepala sekolah juga kepala TK. Kami mampir ke sana karena ada dua anak kami yang bertugas di SMP 3 Essang. Selain itu, waktu makan siang sudah lewat dari tadi, dan kami perlu memasak mie instan dan minuman hangat. Kami mengkhawatirkan kondisi diri kami semua yang berkendara jauh dan juga kehujanan. Makanan akan menjaga fisik kami supaya tetap prima. Perjalanan masih jauh.

Mie tetap kami masak. Tapi ibu Maria, ibu kepala sekolah TK yang baik itu, memasak ikan untuk kami. Ikan itu ditangkap sendiri oleh suaminya di laut di belakang rumahnya. Di belakang rumah itu juga, tumbuh subur berbagai tanaman produktif, umbi bentul, ketela pohon, terong,  pepaya, kacang panjang, dan coklat. Berbagai rempah dan bumbu dapur juga ada. 
Ibu Maria dan kerabatnya memasak semuanya dengan mendadak, karena bu Susan memang tidak memberi tahu lebih dulu kalau kami akan mampir. 

Sangat mirip dengan orang Jawa, masyarakat Talaud juga 'suguh gupuh' bila kedatangan tamu. Mereka segera bergotong royong membersihkan ikan, menyiapkan bumbu, memasak nasi, dan membuat minuman hangat. Bumbu daun-daunan yaitu daun kemangi, daun pandan, daun kunyit, dan batang sereh, diambilnya di pekarangan. Begitu juga lengkuas, kunyit, cabe, dan jeruk limau. Jeruk limau digunakan untuk mencencam ikan setelah dibersihkan dan dipotong-potong. Ditambah bawang merah dan bawang putih, semua bumbu itu ditumbuk. Saya ikut menumbuk bumbu-bumbu itu, dan Andra yang membuat minuman hangatnya. Begitu ikan masak, kami menikmatinya beramai-ramai. Benar-benar nikmat. Ikan itu dagingnya tebal, bumbu woku-wokunya berasa sangat gurih, pedas, asin, asam dan segar. Saya menghabiskan 3 potong pada bagian kepala. Prof. Warsono dan teman-teman yang lain saya lihat juga beberapa kali 'nambah' nasi sekaligus ikannya. 

Ketika pamit pulang, ibu Maria membawakan sisa ikan dan nasi untuk kami santap sebagai makan malam. Di tengah gerimis yang rapat, kami pamit untuk meneruskan perjalanan. Tujuan kami adalah SMP 2 Gemeh dan SMP 3 Gemeh di Banak kec Gemeh, tempat yang paling ujung. Sayang hujan deras telah menyebabkan air sungai meluap, sehingga kami harus 'balik kucing'.

Senja sudah mulai turun dan kami memutuskan kembali ke arah Beo. Malam ini kami semua menginap di sana. Besok selepas shubuh, kami akan mulai lagi perjalanan menyusuri sisi timur pulau.


Kepulauan Talaud, 13 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Jumat, 12 Oktober 2012

Talaud (4): Upacara Serah Terima

Pukul 12.00, Wings Air yang kami tumpangi mendarat di Melongwane. Tidak terlalu mulus tentu saja, karena pesawat berbaling-baling itu terlalu kecil untuk menyembunyikan derit rodanya ketika menyentuh tanah. 

Turun dari pesawat, pemandangan yang kami lihat di luar dugaan. Sebelumnya saya dan Andra membayangkan, setidaknya bandara Melongwane mirip bandara Umbu Mehang Kunda di Sumba Timur. Dari kejauhan, memang ada dua bangunan. Satu tempat pemberangkatan dan satu tempat kedatangan. Tapi kedua bangunan itu sungguh sederhana, jauh lebih bagus yang di Sumba Timur. Cat putihnya yang berbingkai coklat sudah nampak agak kusam. Saya bahkan melihatnya bukan seperti gedung di bandara, tapi seperti rumah tinggal saja, rumah tinggal yang sederhana. Kotak persegi empat. 

Di pintu masuk kedatangan, kepala disdikpora, bapak Jonkers Papia, sudah menyambut kami. Ditemani oleh ibu Susan, kasi SD-SMP. Perempuan itu mungkin usianya lebih dari 40 tahun, tapi wajahnya yang cantik, dengan mata bulat dan hidung mancung, tubuh langsing dan proporsional, membuatnya tetap menarik. Dengan make up yang menurut ukuranku cukup tebal dan lengkap, dialah mungkin perempuan paling cantik di Talaud. 

Kami masuk ke ruang kedatangan yang sempit dan pengap itu. Langsung menuju pintu keluar. Kami semakin takjub. Ada belasan bentor berbaris di pinggir jalan yang beraspal kasar itu. Itukah yang menjemput kami? Luar biasa. Inilah taksi khas Talaud. Becak motor. 

Para peserta berjubel di dalam ruang. Sebagian besar dari mereka kita minta keluar dan berteduh di sebuah pohon. Ternyata itu adalah pohon kedondong yang lagi berbuah lebat sekali, sampai-sampai daun-daunnya tertutup buah yang bergerombol-gerombol dan bergelantungan. Tak ayal, sementara yang lain masih menunggu bagasi, kami meminta izin petugas bandara untuk mengambil kedondong. Seorang tukang bentor bahkan menaiki pohon itu dan memetik buah-buahnya, dilemparkannya ke bawah, ke arah para peserta yang menunggu. Persahabatan yang alami seketika terjalin. Antara penduduk setempat dan para peserta yang lagi kelaparan. 

Sejenak kami baru tahu kalau ternyata tidak semua bagasi kami terangkut. Ada 7 koli bagasi peserta SM-3T Unesa yang tidak terangkut, sementara milik UM bahkan hanya ada 5 koli yang terangkut. Sisanya, 25 koli akan dikirim dengan kapal, dan dijadwalkan sampai di tempat tujuan besok pada pukul 12 atau 13 siang. Haduh. Tidak pakai pemanasan, ketahanmalangan langsung dimulai. Setidaknya sampai besok mereka tidak bisa berganti pakaian.

Tidak hanya itu. Ternyata tidak hanya bagasi yang tertinggal, atau memang sengaja ditinggal. Tapi juga dua orang peserta dari UM. Seat penuh. Entah bagaimana hal ini bisa terjadi, sehingga dua dari mereka harus tetap tinggal di Menado dan baru bisa diterbangkan besok. 

Bagasi para peserta dinaikkan ke mobil pickup. Bertumpuk-tumpuk membentuk gunung. Mobil itu bergerak meninggalkan bandara. Para peserta naik bentor, satu bentor berdua, mengekor di belakang mobil pickup itu. Berbaris rapi. Ya, mereka memang harus berbaris rapi, karena jalanan sempit dan beraspal kasar tidak memungkinkan mereka untuk saling menyalip. Jalan tersebut seperti jalan-jalan kecil masuk kampung di kota-kota. Bedanya, lebih kasar dan terjal.

Kami semua menuju kantor disdikpora, yang ternyata tidak jauh dari bandara, hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit. Di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, sudah menunggu puluhan kepala sekolah. Merekalah yang akan menjadi mama dan papa para peserta. Sengaja didatangkan oleh kepala dinas untuk menjemput guru-guru yang akan mengabdi di sekolah mereka. 

Para kepala sekolah itu berdiri berjajar di barisan paling belakang. Sementara para peserta duduk di kursi-kursi plastik di depan mereka. Teman-teman panitia membaur di kursi-kursi itu juga. Kami duduk di depan berhadapan dengan mereka. Kepala Dinas, Asisten 3, Prof. Warsono, saya, dan Pak Oni dari UM. 

Kedatangan kami disambut dengan suka cita. Nampak sekali dari raut muka mereka. Sorot mata penuh harap itu begitu mengharukan. Kadis pernah menyampaikan, hampir semua sekolah meminta supaya dikirimkan guru SM-3T, meski pun hanya satu orang. Tapi mana mungkin. Dengan jumlah TK 91, SD 114, SMP 40, SMA/SMK 16, sedangkan kami hanya berenam puluh, 30 dari Unesa, 30 dari UM. Jumlah yang mungkin jauh dari harapan mereka, namun setidaknya kehadiran 60 orang guru muda ini telah sedikit mengobati kerinduan mereka. 

Keharuan semakin menyeruak ketika bapak Asisten 3 memberi sambutan. Tak disangka, beliau sampai setengah menangis ketika meluapkan rasa terima kasihnya. Membuat kami semua terdiam. Membuat tenggorokan saya terasa sakit. Mereka ibarat musafir yang mengharapkan setetes air di padang pasir yang gersang. Air itu sekarang telah hadir. Meski hanya setetes, namun kejernihannya mampu menumbuhkan benih-benih harapan di setiap hati yang telah lama didera rasa haus. Haus akan perhatian. Haus akan bukti bahwa mereka dianggap ada, dan dianggap sebagai bagian yang penting dari NKRI.

Kami menyerahkan 60 peserta itu kepada mereka semua. Bu Susan memanggil kepala sekolah satu per satu dan menyerahkan peserta yang ditugaskan di sekolah di mana kepala sekolah itu bertugas. Mereka seperti orang tua yang menemukan anaknya yang telah lama hilang. Disambutnya anak-anak itu dengan penuh kegembiraan. Si anak, guru-guru SM-3T itu, juga seperti itik yang menemukan induk semangnya. Betapa pun mereka telah dipersiapkan seoptimal mungkin untuk terjun di wilayah seberat apa pun, namun mengetahui bahwa ada tangan-tangan hangat yang menyambut kehadiran mereka di pelosok negeri yang asing, tentulah menenangkan dan membesarkan hati mereka.    

Acara ditutup dengan lagu 'Kami Peduli', lagu gubahan pak Yoyok. Lagu yang menjadi lagu wajib selama masa prakondisi, selain -- tentu saja -- Mars Unesa dan Mars SM-3T. Tentu saja lengkap dengan yel-yel. Kemudian pak Yoyok meminta mereka semua berdiri di depan, diajarinya mereka menyanyikan lagu yang mereka semua sudah kenal, hanya sedikit diubah liriknya. 'Dari Sabang sampai Merauke....dari Timur sampai ke Talaud.... Indonesia tanah airku..... SM-3T pengabdianku....' 

Kami melepas peserta dengan jabat tangan dan pelukan. Mereka akan menuju tempat pengabdiannya. Beberapa harus ada yang menyeberang laut karena tugas mereka ada di pulau-pulau. Beberapa harus menempuh perjalanan yang masih panjang, sekitar 5-6 jam. Tapi wajah dan sorot mata mereka yang penuh  semangat dan optimisme, tanpa bias keraguan sedikit pun, membanggakan hati kami. 'Selamat berjuang, Kawan. Anak-anak bangsa menunggu kalian. Berikan yang terbaik yang kalian bisa. Torehkan warna-warna emas dalam jiwa-jiwa mereka. Bangkitkan mimpi-mimpi mereka menuju masa depan yang lebih indah....' 


Talaud, 12 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Talaud (3): Pemberangkatan ke Talaud

Pagi ini kami harus cepat berkemas. Jam 07.00 kami dijadwalkan berangkat ke Bandara Sam Ratulangi, sehingga tiga puluh menit sebelumnya kami harus sudah makan pagi. Ada setumpuk roti tawar dengan berbagai pelengkapnya, mentega, gula, selai, dan misis. Juga kopi dan teh. Tapi para peserta lebih memilih nasi kotak yang disediakan katering kami. Menunya, nasi goreng, telur ceplok, dan acar. Lombok acarnya kecil-kecil tapi pedas sekali, seperti lombok Sumba. 

Bu Etin cs ternyata membawakan kami nasi jaha dan lalampa, dua makanan khas Menado. Nasi jaha adalah nasi yang dibuat dari beras ketan yang dibumbui dan dibakar di dalam bambu. Sama halnya dengan nasi jaha, lalampa juga dibuat dari beras ketan, tetapi lalampa diisi ikan, dibungkus daun, dan dipanggang. Maka pagi itu kami menikmati semuanya. Sebagai penutupnya adalah klappertart yang kami beli tadi malam.

Klappertart itu hanya sepinggan, berbentuk bulat dengan diameter sekitar 30 cm. Begitu keluar dari kulkas yang ada di lobi hotel itu, saya langsung membuka plastik penutupnya. Aroma legit langsung tercium. Dengan sigap pak Yoyok mengambil beberapa piring kecil (tatakan cangkir) dan sendok di atas meja saji, yang sebenarnya dimaksudkan untuk teh dan kopi. Klappertart memang cara makannya harus disendoki, tidak bisa dipotong-potong seperti puding pada umumnya. Meskipun di bagian luarnya seolah kering, tapi bagian dalamnya basah. Penuh dengan kelapa muda yang 'kemlamut' bercampur krim dan rum. Leker. Kami tidak tega untuk memakannya sendiri. Maka setelah kami mengambil sesendok-sesendok di piring kecil kami masing-masing, kue itu dibawa Andra ke kerumunan para peserta yang sedang menunggu bus jemputan di teras hotel. Sesendok demi sesendok mereka ikut mencicipi kue yang legit itu, dan dalam sekejap, yang tertinggal tinggal pinggannya. Habis tandas. Arti sebuah kebersamaan.

Bus yang menjemput peserta sudah datang. Semua segera bergerak memasukkan bagasi dan menata diri duduk di dalam bus. Pak Heru dan Andra menemani mereka. Kami bertiga masuk ke mobil. Alhamdulilah hari ini semua lancar. Meski pun kami akan terbang pukul 10.30, proses check in sudah beres sekitar pukul 09.00. Aman sudah. Tinggal nunggu boarding di ruang tunggu.

Kami juga berjumpa dengan rombongan dari UM. Didampingi pak Oni dan pak Muslimin, mereka segera check in. Kami bergeser menuju lantai dua setelah menyapa mereka.  

Sampai jumpa di Talaud.


Menado, 12 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Talaud (2): Keliling Kota di Menado

Pukul 11.55 WITA pesawat Lion Air  yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Sam Ratulangi. Cuaca cerah, tidak terlalu panas. Setelah mengurus bagasi, kami keluar. Disambut oleh ibu Etin dan pak Bernard, suami istri yang masih keluarga pak Yoyok. Dua orang itulah yang mengurusi transportasi, akomodasi, dan konsumsi kami semua. Ramah, cekatan.

Kami juga bertemu rombongan dari UM. Ada sebanyak 32 peserta, dengan dua orang pendamping. Satu dosen, satu staf tata usaha. Tidak ada pejabat yang mendampingi. Kata pak Oni, dosen pendamping UM, pokoknya nanti ikut Unesa saja, sambutan pimpinan jadi satu dengan Unesa saja, katanya.  

Kami diangkut dengan satu bus dan empat mobil. Menuju hotel Metropolitan Inn di jalan Ari Lasut. Di sana sudah menunggu seorang lagi, ibu Erni, yang menyiapkan nasi kotak untuk makan siang kami. Bu Erni adalah adik bu Etin.  Sambil check in dan menyimpan koper-koper di bagian concierge, kami yang sudah memperoleh kunci kamar, menikmati makan siang. Nasi putih, ikan nila bakar, oseng bunga pepaya campur kangkung, dan sambal khas Menado. Enak sekali. Terutama ikannya itu. Bukan karena kita semua sedang lapar, tapi memang makanannya enak.

Para peserta masuk ke kamar masing-masing hanya dengan ransel SM-3T-nya. Koper-koper mereka tidak perlu dibawa. Pak Yoyok dan pak Heru sudah mengkondisikan mereka supaya menggunakan tas ranselnya untuk menyimpan semua keperluannya selama sehari, sebelum mencapai Talaud. Supaya mereka tidak perlu bongkar-bongkar koper besar mereka. Apalagi kamar mereka ada di lantai tiga, dan tidak ada lift. Pak Yoyok dan pak Heru ternyata telah memperhitungkan hal itu. Saya bahkan tidak berpikir sampai ke sana.  

Selesai sholat dhuhur, kami keluar kamar. Ada sebuah mobil kijang yang disediakan pak Bernard untuk kami gunakan ke mana pun kami inginkan. Maka pak Yoyok pun pegang kemudi. Acara sore ini kota-kota. Beberapa kali kami harus berhenti untuk bertanya, karena kami berempat (Prof. Warsono memilih istirahat di kamar), tidak ada yang paham jalan. Kami makan durian, belanja souvenir sekedarnya (benar-benar sekedarnya saja karena perjalanan kami masih panjang, dan kami tidak mau dibebani dengan bagasi yang berat). Lalu melanjutkan kota-kota lagi. Sebenarnya tujuan kami adalah Malalayang, tempat di mana kita bisa menikmati kepiting kenari, kepiting yang makanannya kenari, katanya hanya ada di Menado. Tapi karena tidak tahu jalan, meskipun sudah berkali-kali bertanya namun juga nyasar-nyasar terus, maka kami menghibur diri dengan menamai aktivitas putar-putar ini dengan kota-kota.  

Restoran Nelayan. Ternyata di situlah tempat kepiting kenari. Sebuah restoran di pinggir pantai yang indah. Tapi dasar belum rezeki, kepiting kenari sedang kosong, juga di beberapa restoran yang lain di dekat-dekat restoran nelayan itu. Kepiting yang konon diimport dari Ternate itu kemarin baru saja habis untuk konsumsi pesta. Maka demi mengobati kekecewaan, kami berfoto-foto saja di halaman samping restoran, berlatar belakang laut lepas dan kapal nelayan yang sedang bersandar, serta gundukan gunung yang samar-samar terlihat karena tertutup kabut.

Kami melanjutkan perjalanan. Kembali ke jalan pulang menuju hotel. Tapi kami bermaksud mampir dulu di salah satu kedai di pinggir pantai yang menjual jagung rebus dan pisang goreng sambal. Sepiring pisang goreng berbentuk kipas (kata penjualnya disebut pisang sepatu) dan tahu isi, panas-panas, segera tersaji. Dilengkapi dengan sambal, semacam sambal trasi yang digoreng, dan kecap. Juga dua piring penuh pisang goroho, pisang mengkal yang diiris tipis memanjang, digoreng, disajikan panas, juga dengan sambal dan kecap sebagai pelengkapnya. Sebagai minumannya adalah kelapa muda yang dibubuhi sirup gula merah kehitaman disajikan utuh-utuh. 

Kami meninggalkan pantai ketika maghrib telah jatuh. Gelap merangkak bersamaan dengan lampu-lampu kota yang mulai menyala. Tidak apalah kepiting kenari belum berhasil kami temukan hari ini.  Insyaallah di kesempatan lain. Tapi saat ini kami harus segera kambali ke hotel. Mengurus makan malam anak-anak, dan tentu saja, pak PR 3. 

Malamnya, setelah makan malam dengan nasi kotak berlauk cakalang tongkol, bu Etin, pak Bernard dan bu Erni, datang ke hotel. Mereka menawarkan diri mengantar kami ke toko suvenir. Bolehlah, kenapa tidak? Kami pun menuju Kawanua, membeli beberapa lembar kain untuk oleh-oleh, dan sekotak kue klappertart, kue khas Menado yang dibuat dari kelapa muda, kenari, dan ditabur dengan kismis dan leci merah. Sepertinya legit sekali. Tapi malam ini perut terlalu kenyang untuk menikmatinya.  Disimpan dulu untuk dinikmati besok pagi....

Menado, 12 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Kamis, 11 Oktober 2012

Talaud (1): Pemberangkatan ke Menado

Pukul 06.00 kami sudah di Bandara Juanda. Saya, pak Heru Siswanto (mantan Kahumas), pak Yoyok (dosen PGSD), dan Andra. Beserta 30 peserta SM-3T. Juga orang tua dan keluarga mereka yang mengantar keberangkatan mereka. Setahun mereka akan berpisah. Bukan waktu yang singkat. Maka tidak heran kalau mereka saling berpelukan, bertangisan, dan menitipkan ke kami para panitia. Kami katakan, yang penting doa restunya untuk kita semua, untuk para peserta dan kami panitia, insyaallah semuanya akan baik-baik saja.

Mulai 06.30, kami semua check in. Prof. Warsono, PR 3, datang bergabung. Beliau mewakili Rektor akan menyerahkan para peserta kepada Bupati Kepulauan Talaud pada upacara serah terima besok. 

Meski sudah puluhan kali para peserta kita wanti-wanti untuk tidak membawa barang terlalu banyak, tetap saja sebagian dari mereka kelebihan bagasi, terutama peserta perempuan. Maklum. Mungkin mereka khawatir tidak menemukan bedak dan kosmestik seperti yang selama ini mereka gunakan di sana. Namun selain itu, mereka membawa buku-buku yang lumayan banyak, sehingga membuat bagasi mereka berat. Ada yang harus membayar kelebihan lebih dari 500 ribu. Panitia sendiri juga membawa bagasi cukup banyak, karena membawa buku-buku sumbangan. Titipan dari para peserta. 

Check in selesai, maka masuklah kami ke ruang tunggu. Membagikan nasi kotak, menikmati sarapan, sambil nunggu boarding. Bila sesuai jadwal, tiga puluh menit lagi kami boarding.

Pesawat kami tidak langsung ke Talaud, tapi transit dulu di Menado. Menginap semalam di sana, dan besok pagi baru meneruskan perjalanan lagi ke Talaud. 

Wish us luck

Surabaya, 11 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 10 Oktober 2012

Pisang Setandan Berbalas Bola Usang


Sukses, kawan. Pak Nadi, Bu Lucia, dan pak Slamet, serta seluruh peserta yang berangkat ke Sumba Timur pagi ini, semoga selamat sejahtera.

Pagi tadi, seorang peserta SM-3T yg bertugas di Pinupahar, Abdul Hamid, sms ke saya.

"Pagi ini saya mau pigi pantai dg anak2 7B.
melepas kejenuhan d hari2 trakhr mgajar sambil mendalami materi ttg bgunan2 Megalitikum dg cara membuat replika Menhir, Dolmen, Sarkofagus, Kubur Batu Punden Berundak dr pasir pantai brsm mereka.
Siapa mau ikut?
:)"

Abdul Hamid, adalah salah satu peserta SM-3T angkatan pertama yang cukup istimewa. Dia suka menulis dan membaca. Pada awal-awal penugasan, ketika kami melakukan supervisi sekaligus mengumpulkan tulisan pertama para peserta, dia bahkan sudah menyerahkan tiga tulisan. 

Membaca sms-nya, saya jadi agak melankolis. Merasakan bagaiman perasaannya menjelang perpisahannya dengan anak-anak didik yang selama setahun terus bersamanya. Sedih dan haru karena berpisah, senang karena akan bertemu keluarga dan kawan-kawannya di Jawa, bercampur aduk. Maka saya jawab sms-nya.

"Nikmati kebersamaanmu bersama mereka, Dul. Beri kesan terbaik yg tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup mereka. Setidaknya kamu telah pernah hadir menorehkan warna dalam jiwa-jiwa mereka. Salam hangatku utk anak2 bangsa itu...." 

Saya menulis sms itu sambil membayangkan anak-anak itu. Dengan tubuh dan baju seragam dekilnya, namun keceriaan dan semangat terpancar kuat dari wajah dan sorot matanya. 

"Insya Allah.
Sayangnya tahun ini sekolah saya tdk dpt Ibu Bpk Guru dr Jawa lagi Bu." Begitu jawaban Abdul Hamid.

Saya sebenarnya sedang di Juanda, mengantar pemberangkatan para peserta, ketika sms Abdul Hamid saya terima pagi tadi. Maka setelah membaca sms-nya pun, saya kembali dengan aktivitas saya. Membantu bu Lucia mengecek kehadiran peserta, memastikan mereka sudah makan pagi, dan juga menguatkan hati mereka dan keluarganya yang hampir semuanya menangis karena akan berpisah selama setahun. Saya benar-benar pada situasi yang penuh haru. Bagaimana pun saya seorang ibu. Berpisah dengan anak, dalam rangka mengemban tugas pengabdian, di tempat yang kita tidak tahu seberat apa tantangannya, tentu bukan sesuatu yang ringan. Apalagi sebagian besar dari mereka adalah perempuan.

Kemarin pagi, bahkan salah seorang dari mereka sudah mengundurkan diri. Diantar bapaknya, bapak dan anak itu menangis ketika menyampaikan maksudnya. Si anak sangat ingin berangkat, tapi ibunya tidak mengizinkan. Hanya berpisah selama dua minggu saja, untuk mengikuti prakondisi, ibunya sudah sakit terus-menerus sampai opname. Maka bapak yang sebenarnya sangat memahami keinginan anak perempuannya itu pun, tidak berdaya. Si anak tidak punya pilihan. Maka dengan sangat berat hati dia minta izin mengundurkan diri, demi ibunya. Air matanya berderai-derai ketika dia mencium tangan saya. Saya peluk dia dan saya katakan, "kamu yang ikhlas. Demi ibu. Kalau niatmu adalah demi membahagiakan orang tua, insyaallah Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Kuncinya, yang ikhlas."

Tentu saja saya sangat memahami kesedihannya. Pada saat itu teman-temannya sedang mengikuti tes kepribadian, dan dia hanya bisa menyaksikan saja betapa luar biasa semangat teman-temannya itu. Dia sebenanrnya memiliki semangat yang sama, namun kesempatan itu telah terenggut dari hidupnya, setidaknya untuk saat ini.

Tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Sms dari Abdul Hamid lagi. "td pagi ada murid yg datg bw pisang 1 tandan utk saya.
Mereka sering bw kelapa utk kami, atas kemauan sndri.
Mgkn saya cm bs tgalkn bola sepak usang yg biasa saya pake main dg mereka."

Saya langsung menjawab sms tersebut. "Kelihatannya memang hanya sebuah bola sepak usang, dul. Tapi banyak kenangan manis terekam bersama bola usang itu. Dan mereka akan selalu mengingatnya, bahkan kelak jika bola itu sudah benar-benar usang dan tidak mungkin bisa digunakan lagi.... Kenangan itu akan tetap tersimpan."

Perasaan Abdul Hamid mungkin sedang mello saat ini. Dan saya mengimbanginya. Sama mellonya dengan perasaan anak-anak dan para orang tuanya itu. Mereka saling berangkulan, mata mereka memerah dan basah, dan saya sibuk menghiburnya. Memastikan mereka semua akan baik-baik saja di sana, di tempat tugas mereka. 

Tahun ini Unesa memberangkatkan 178 peserta SM-3T. Mereka disebar ke Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, dan Maluku Barat Daya. Semoga Allah SWT meridhoi mereka semua, menguatkan fisik dan mental mereka, dan memudahkan segala urusan mereka selama mengemban tugas pengabdiannya. Amin YRA.

Wassalam,
LN

Minggu, 07 Oktober 2012

Sebuah Tempat Bernama Sekolah

Karya: Luthfiyah Nurlaela

Aku pernah mendengar
Adalah sekumpulan anak kecil Berwajah lusuh
Selusuh baju-baju yang membalut tubuh kurus mereka
Penuh peluh berbaur debu
Dengan seonggok kayu hutan di atas kepala
Atau sejerigen air membebani pundak ringkihnya
Dan serombongan kuda, kerbau, sapi, atau babi yang lekat dijaga 
Di sanalah mereka berada

Aku pernah membaca
Adalah anak-anak yang berbaris menembus dinginnya  pagi 
Bertelanjang kaki, 
Berseragam sekolah tapi tidak seragam
Berbekal sehelai buku dan sebatang pensil,
Hanya satu-satunya buku dan satu-satunya pensil,
Perut mereka lapar
Kaki-kaki kecil mereka hitam Penuh bekas luka, 
Tegores bebatuan tajam dan rumput-rumput liar
Tapi mereka melangkah dengan cepat,
Melintasi hutan, menaiki, menuruni bukit terjal, dan melanggar sungai yang deras
Demi mencapai sebuah tempat impian

Tempat dimana ada banyak kawan untuk berbagi cerita
Tempat dimana ada banyak ilmu untuk memuaskan dahaga
Tempat dimana seseorang selalu menjanjikan suka cita
Menjadikan hari-hari menjadi penuh makna 
Membangkitkan harapan baru demi meraih cita-cita
Tempat dimana ada pak guru dan bu guru
Sebuah tempat, 
bernama sekolah....

Aku ingin, aku tidak hanya mendengar dan membaca
Aku ingin ada di sana
Di antara wajah-wajah polos mereka
Di antara suka cita dan sedu sedan
Di antara ketakutan dan kehampaan
Di antara kemiskinan dan kesepian
Yang seolah tak pernah lekang dari kehidupan mereka

Aku ingin,
Menjadi sosok yang dirindukan
Dengan sekeping asa yang siap untuk dibagikan
Dan sebongkah hati
Yang akan selalu menjadi tumpuan harapan
Bagi mereka, 
Anak-anak bangsa itu
Di mana pun mereka berada
Di titik mana pun mereka ingin menebarkan asa

Inilah aku, anak-anakku sayang
Inilah aku, Wahai Indonesiaku
Dengan sepenuh jiwa dan raga
Dengan semangat juang yang aku punya
Biarkan aku memberi warna
Izinkan aku mengobati luka
Terimalah aku
Menjadi bagian tak terpisahkan
Dalam pembangunan pendidikan
Di pelosok mana pun di Bumi Pertiwi ini 
Setulus tekad untuk mengabdi
Bersama anak negeri
Meraih cita-cita sejati:
Mari maju bersama
Mencerdaskan Indonesia

  
Surabaya, 5 Oktober 2012

*) Puisi ini dibaca pada malam penutupan parokondisi SM-3T dan Pelepasan.