Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 01 November 2012

Konaspi VII (2): Habibie yang Cerdas dan Romantis

Pagi ini, adalah Presiden Indonesia yang ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang tampil dengan topik 'Sumberdaya Manusia Andalan Masyarakat Madani'. Entah kenapa, pria 76 tahun ini membuat hati saya terharu. Kesederhanaannya, kecerdasannya, ketegasannya, dan kerendah-hatiannya, bagi saya begitu mengagumkan. Ketika tubuh kecilnya itu melangkah pasti diiringi sambutan yang sangat meriah dari kami semua, untaian puisi indahnya untuk istri tercintanya, ibu Ainun,  tiba-tiba saja membayang di pelupuk mata saya.

Dalam pengantarnya, Rektor UNJ yang menjadi moderator menyampaikan, Habibie adalah salah satu sosok yang tak akan bisa dilupakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kiprahnya untuk negara ini begitu berarti, dan bahkan sampai saat ini pun, beliau tidak pernah berhenti memikirkan pengembangan sumber daya manusia. 

Terkait dengan generasi 2045, Habibie menekankan pentingnya memikirkan berbagai persoalan saat ini. Karena bila tidak, maka apa yang akan terjadi pada tahun 2045 nanti, bisa jadi tanpa kita. Bukan tanpa kita sebagai manusia, tetapi tanpa kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Menurut Habibie, dalam era globalisasi dan informasi, peran SDM dengan jaringan yang dimiliki akan sangat menentukan kualitas kehidupan masyarakat di mana yang bersangkutan berakar dan bergerak. Karena pada akhirnya daya saing dan produktivitas SDM tersebut yang menentukan keunggulannya dalam masyarakat lokal, nasional, regional dan global. 

Produktivitas SDM mencerminkan kemampuannya menghasilkan produk apa saja yang dinilai oleh masyarakat berkualitas tinggi dengan harga rendah dan dapat diselesaikan tepat waktu. Untuk mencapai produktivitas ini, SDM harus terampil, berdisiplin, dan pandai memanfaatkan prasarana dan sarana teknologi tepat guna yang tersedia. 

Dengan produktivitas yang tinggi, SDM dapat meningkatkan nilai suatu produk melalui suatu proses nilai tambah (PNT), yang dilanjutkan melalui suatu proses biaya tambah (PBT), untuk pada akhirnya ditawarkan di pasar, baik pasar lokal, nasional, regional maupun global, dengan harga hasil PNT (yang maksimal) dan PBT (yang minimal). Baik untuk memperoleh PNT maupun PBT dibutuhkan teknologi yang tepat guna, prasarana, sarana dan SDM yang terampil, berdisiplin dan produktif. Prasarana ekonomi yang baik akan membantu PNT industri apa pun di Indonesia, yang akan menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar domestik, nasional, regional dan global.


Rektor Unesa foto bersama BJ. Habibie.

Habibie juga menambahkan, dengan disertai banyak contoh di lapangan, betapa tanpa disadari kita melanjutkan tradisi penjajah yang datang tidak untuk mengembangkan SDM namun untuk mengambil SDA. Penjajah mengkondisikan agar kita mengutamakan ekspor SDA dari hasil agroindustri dan industri pertambangan. Kemudian setelah mereka olah dengan PNT yang tinggi akan menghasilkan produk yang berkualitas yang akan mereka ekspor antara lain ke negeri yang dijajah. Mereka dapat mengembangkan produk yang bekualitas dan berdaya saing karena memiliki SDM yang unggul, yang dibina dan dikembangkan antara lain dibiayai oleh kita yang dijajah, karena kita membeli produk PNT dan PBT melalui impor.

Untuk mengimpor produk penjajah--baik yang terjadi pada masa kolonial dahulu, maupun dalam rangka proses globalisasi sekarang ini--kita kembangkan berbagai kriteria pragmatis, seperti harga paling rendah, diserahkan tepat waktu, purna jual baik, rendah biayanya, sesuai teknik yang telah ditentukan, dan sistem pembayaran yang paling menguntungkan Indonesia. 

Akibat impor produk apa pun dari masyarakat lain tersebut, menurut Habibie, di dalamnya terselubung 'jam kerja' yang kita biayai untuk mengembangkan teknologi, proses pendidikan dan proses pembudayaan masyarakat negara lain tersebut. Mereka menyediakan prasarana dan sarana pendidikan dan pembudayaan yang memadai sehingga masyarakat mereka menjadi semakin terampil, produktif, dan unggul, yang dibiayai oleh kita melalu ekspor SDA dan impor produk hasil produksi SDM mereka. Dengan demikian, mereka terus berkembang keterampilannya, produktivitasnya, daya saingnya, serta ketentraman dan kualitas hidupnya. Sementara masyarakat kita tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang karena tidak memperoleh pembinaan yang dibutuhkan. Akibatnya daya saing dan kualitas hidup masyarakat kita akan tetap rendah dan tidak berkembang.
Berkaitan dengan hal-hal tersebut inilah maka Habibie menyebut era globalisasi ini adalah 'VOC Baru' bagi Indonesia.

Empat puluh tahun yang lalu Habibie telah memberikan dasar filsafah strategi proses industrialisasi yang berkelanjutan. Lima filsafah itu adalah: (1) mulai pada akhir dan berakhir pada awal; yang berarti kita memproduksi produk yang segera dibutuhkan pasar, dan setelah itu secara bertahap mengembangkannya sampai kita dapat menguasai teknologi, sehingga memungkinkan hampir semua produk yang kita butuhkan dapat dikembangkan dan dibuat di dalam negeri; (2) menyadari bahwa dua puluh lima tahun yang akan datang bagi proses industrialisasi adalah hari ini, berarti pendidikan, pembudayaan dan peningkatan keterampilan dan keunggulan SDM membutuhkan waktu yang cukup lama, sekitar 25 tahun; (3) transformasi dan perkembangan proses industrialisasi harus dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi dan tidak menggantungkan diri pada dana luar negeri yang diperoleh dari pinjaman dengan persyaratan yang menguntungkan 'neraca pembayaran' dan merugikan 'neraca jam kerja'; (4) tiap kebijakan, baik yang diputuskan di lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif, wajib memprioritaskan 'jam kerja' nasional; dan (5) usaha dan investasi pada bidang ilmu terapan dan teknologi tepat guna untuk produksi produk yang dibutuhkan di pasar nasional saja yang dibiayai dari hasil ekspor SDA dan energi.

Lima filsafah strategi tersebut menurut Habibie telah diterapkan selama 25 tahun dari tahun 1975 sampai 1999 dengan hasil nyata antara lain produk industri dirgantara, kelautan, dan angkutan darat di Indonesia berkembang. Namun sangat disayangkan karya-karya anak bangsa tersebut kita biarkan 'dihancurkan'. Sementara kita mengembangkan strategi membuka pintu selebar-lebarnya untuk impor barang jadi untuk prasarana dan sarana ekonomi seperti: pengangkutan, komunikasi, telekomunikasi, elektronik, energi dan yang lain, dan mengekspor bahan baku dan energi. Strategi tersebut memang sementara dapat menguntungkan 'neraca perdagangan' dan 'neraca pembayaran', namun sangat merugikan 'neraca jam kerja' yang berakibat proses pemerataan dalam segala bidang tidak berfungsi sesuai dengan cita-cita bangsa yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Kita bangga karena tunduk atas aturan main WTO serta lembaga internasional sejenis, dan ramai-ramai menari di atas irama pukulan gendang orang lain sampai kita lupa makna perjuangan rakyat kita sendiri.  
Tentu saja ada banyak hal lagi yang diungkapkan oleh sosok yang luar biasa itu. Caranya berbicara, mimik mukanya, dan gerakan-gerakan tubuhnya yang sangat energik mengingatkan saya pada Mr. Pagsi, seorang 'passionate teacher' berusia 88 tahun, yang saya kenal ketika mengikuti forum SEAMEO INNOTECH di Manila, pada awal 2011 yang lalu. Di mata saya, Habibie adalah 'the outstanding teacher'. Beliau begitu menguasai materi dan tahu bagaimana cara menyampaikan materinya itu, memiliki kemampuan berkomunikasi yang luar biasa, sangat interaktif, sesekali sangat menggelikan, sesekali sangat mengharukan. Dua jam itu Habibie telah membuat kami semua terpukau, dan tak ayal, sesi itu dipenuhi dengan  
wajah-wajah yang penuh perhatian, serius, namun juga ceria dan banyak tepuk tangan yang riuh rendah, bahkan tangis yang tertahan karena terharu. Seorang ibu di sebelah saya, Dr. Fatma dari UNG, saya lihat berkali-kali mengusap airmata keharuannya. 

Habibie bercerita, suatu saat ketika dia menerima sebuah award di Jerman, seseorang bertanya, 'siapa guru Anda yang menjadikan Anda seperti ini?' Habibi menjawab, 'guru saya adalah 'my brain'. Dia menambahkan, kalau otak tidak berfungsi, maka nilai tambah pribadi akan terhenti. Beliau katakan bahwa penghargaan yang beliau terima bukanlah untuk dirinya, tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang ada saat ini, dan yang sudah mendahului, juga untuk masyarakat Indonesia yang belum dilahirkan. Karena sejatinya, apa yang dilakukannya saya ini tidak terlepas dari orang-orang yang telah berjuang sebelum ini, dan juga dipersembahkan bagi kejayaan generasi mendatang.

Di sela-sela presentasinya, dan juga menjelang akhir penampilannya, sisi Habibie yang romantis terasa begitu kentalnya. Beliau katakan, kalau ibu Ainun masih hidup, dialah yang paling sabar. Dia akan menunggui Habibie bekerja sampai larut malam dengan membaca Al-Quran. Sebelum ibu Ainun meninggal, Habibie merasa takut bila meninggal lebih dulu, karena beliau mengkhawatirkan siapa yang akan menjaga ibu Ainun. Namun sekarang, kata Habibie: 'Saya sudah kangen bergabung dengan ibu Ainun. Tapi sebelum bergabung, saya ingin memberikan kepada generasi selanjutnya, yaitu inspirasi. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa berdiri di depan seperti ini, tapi ada 'lot of information' yang saya harus transform, yang harus saya share. Dan itu sebabnya saya terus bekerja demi anak-anak bangsa yang bahkan saat ini belum lahir.

Sesi dengan BJ Habibie ditutup dengan sangat manis oleh Rektor UNJ, Prof. Dr. Bedjo Sujanto. Ungkapan terima kasih dan doa untuk kesehatan Habibie dan perlindungan dari Allah SWT disampaikan dengan penuh ketulusan. Sebuah cindera mata dari panitia dan pelukan hangat antara Habibie dan Prof. Bedjo serta diiringi dengan 'standing applaus' yang panjang dan meriah dari kami semua mengakhiri dua jam yang sangat mengagumkan itu. 

Yogyakarta, 1 November 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 31 Oktober 2012

Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII

Sore yang gerah di Yogyakarta, meski cuaca mendung. Akhir-akhir ini memang cuaca terasa sangat panas di mana-mana. Di Surabaya, Talaud, Samarinda, Kupang, Sumba Timur, dan di Yogya, panas semua. 

Kami sedang di halaman kraton, dalam acara welcome party Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) VII. Ada ratusan orang delegasi dari perguruan tinggi kependidikan di seluruh Indonesia. Para rektor, para dekan, para ketua lembaga dan UPT, para guru besar, dan dosen-dosen pemakalah maupun peserta konvensi. 

Rombongan Unesa sebanyak 35 orang terdiri dari Rektor, PR 3, Dekan dan PD 1, dan beberapa pejabat Unesa yang lain. Saya sendiri hadir di acara ini bukan sebagai pejabat, tapi karena undangan sebagai pemakalah pendamping. Dari Unesa, hanya ada 3 makalah yang lolos sebagai makalah pendamping, meski yang mengirimkan makalah cukup banyak, ada belasan. 

Konvensi akan digelar mulai tanggal 31 Oktober sampai 3 November. Tema konvensi adalah 'Memantapkan Karakter Bangsa Menuju Generasi 2045'. Keynote speaker-nya terdiri dari Prof. Dr. B.J Habibie, Prof. Dr. HAR Tilaar, M. Sc. Ed, Prof. Dr. Komarudin Hidayat, dan Prof. Dr. Alma Haris. Di sesi pleno juga ada pembicara Gubernur DIY dan Dr. (HC) Ary Ginajar Agustian. Di samping sesi pleno, juga ada beberapa makalah utama dan makalah pendamping yang ditampilkan pada sesi pararel. 

Pada sesi pararel, akan dipresentasikan makalah-makalah terpilih, yang terbagi dalam 5 subtema. Subtema tersebut adalah: (1) Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045, (2) Pendidikan Karakter untuk Menyiapkan Generasi 2045, (3) Sosok Ideal Pendidik yang Kompeten untuk Menyiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, (4) Sistem Pendidikan yang Memungkinkan Dihasilkannya Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang Kompeten untuk Mempersiapkan Manusia Indonesia Generasi 2045, dan (5) Manajemen Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Saya sendiri, jumat sore besok akan presentasi di kelompok subtema 4. Tidak seperti pemakalah lain yang sebagian besar menulis tentang hal-hal yang sangat futuristik (karena disesuaikan dengan tema), saya menulis yang sederhana saja. Judulnya 'Pendidikan Profesi Guru, Problematika, dan Alternatif Solusinya'. Tidak seperti para penulis lain yang banyak menggunakan bahan referensi, saya lebih banyak mengandalkan pikiran-pikiran saya sendiri dan beberapa produk kebijakan dalam bidang pendidikan, khususnya yang menyangkut PPG. Sebagian besar tulisan saya tersebut bahkan sudah pernah saya post ke milis dan ada di website saya. Ibarat sayur lodeh, sudah 'mblendrang' karena bolak-balik di'nget'.
  
Acara pembukaan sudah dilaksanakan pukul 15.00 tadi di Hotel Ambarukmo. Yang membuka acara adalah wamendikbud. Kami ber-13, termasuk rektor dan PR 3, ketinggalan acara pembukaan, karena kami baru tiba di Ambarukmo setelah maghrib. Tugas mengajar dan tugas yang lain harus kami tunaikan dulu sebelum berangkat tadi.  Sedangkan teman-teman yang lain sudah berangkat dengan pesawat pukul 11 siang tadi. Maka tanpa check in, apalagi mandi, kami yang baru datang ini pun langsung diangkut dengan bus bersama-sama menuju Kraton Yogyakarta.

Acara welcome party berlangsung dengan cukup meriah. Acara dibuka dengan doa bersama yang dipimpin oleh pembawa acara yang lemah gemulai (kurang ekspresif), dilanjutkan dengan tari pembuka, orkestra, dan makan malam. Setelah makan malam dilanjutkan dengan sambutan Rektor UNY sebagai tuan rumah, dan sambutan Gubernur DIY. Selebihnya adalah hiburan. Saya paling suka orkestranya, terutama ketika membawakan lagu 'Yogyakarta' dari KLA Project. 

Menjelang acara selesai, hujan deras tiba-tiba turun, disertai angin yang cukup kencang. Untung tidak terlalu lama. 

Kami lantas diantar ke penginapan kami masing-masing. Ada belasan bus besar, bus kecil, dan mobil yang siap mengantar. Saya dan sebagian besar teman-teman Unesa menginap di hotel UNY. Maka diantarlah kami ke sana. Kami masuk kamar hotel sekitar pukul 22.00. 

Hotel UNY sudah berubah, berbeda dengan waktu kedatangan saya akhir 2011 yang lalu. Saya memang beberapa kali menginap di hotel UNY, dalam rangka tugas menguji disertasi atau tugas-tugas yang lain. Dibanding dengan kedatangan terakhir saya yang lalu, sekarang hotel ini sudah jauh lebih luas, dengan tambahan banyak kamar yang nyaman senyaman hotel berbintang. 

Saya memimpikan, kapan ya Unesa punya hotel? 

Yogyakarta, 31 Oktober 2012

Wassalam,
LN

Rabu, 24 Oktober 2012

Doa Terindah



Bintang-bintang terindah
Adalah bintang-bintang di langit Muzdalifah
Ketika jutaan manusia berkumpul di padang itu
Memunguti kerikil dan menghitung-hitungnya
Bekal esok hari untuk melempar jumrah

Langit terindah adalah langit di atas Mina
Yang menaungi jutaan tenda
Di sanalah umat manusia dari segala penjuru dunia
Merasakan kehangatan dan aroma wangi sorga
Bagai jabang bayi dalam rahim ibunda

Padang terindah adalah Padang Arafah
Di mana disungkurkan tubuh-tubuh yang lelah
Dan dihamburkan doa-doa terindah
Di langit, malaikat bermunajah
Semoga semua doa ijabah
Amin Ya Rabbal Alamin

(24 Oktober 2012)



Wassalam,
LN

Buku untuk Bapak-Ibu

Akhir bulan ini insyaallah akan terbit buku saya, buku yang saya tulis sebagai hadiah pernikahan emas untuk bapak dan ibu. Inilah pengantar untuk buku sederhana itu.


'Catatan Perjalanan
Jejak-jejak Penuh Kesan'

Buku ini saya tulis nyaris tanpa persiapan. Sebagai sebuah buku yang ingin saya hadiahkan kepada Bapak dan Ibu pada peringatan 50 tahun pernikahan beliau, saya tidak menulisnya secara khusus. Suatu hari, saya masih ingat tanggalnya, di suatu sore pada 19 September 2012, tiba-tiba saja keinginan itu muncul. Keinginan untuk memberikan sesuatu kepada Bapak dan Ibu untuk menandai peringatan pernikahan emas beliau.

Spontan, saya mengutarakan keinginan itu pada mas Rohman, sahabat saya. Kenapa pada dia? Ya, karena selama ini, mas Rohman merupakan salah satu kawan yang gigih mendorong saya untuk membuat blog, dan menyediakan diri untuk 'ngopeni' blog saya. Tidak hanya itu. Mas Rohman juga yang membantu saya membuat buku tentang Makanan Khas Jawa Timur, mulai dari konsep awal sampai jadi. Dia yang alumni Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Surabaya itu, dan sudah bertahun-tahun menjadi redaksi sebuah tabloid kuliner, tentu saja punya segudang pengalaman, sehingga tanpa saya minta dia menjadi penyunting, fotografer, dan bahkan mengurus layout buku dan lain-lainnya.

Saya sendiri sebenarnya telah memiliki blog sejak tahun 2007, namun blog itu tidak 'kopen'. Alhasil, saya hanya sempat mengunggah beberapa tulisan saya pada saat awal-awal saja. Seterusnya, bahkan password pun saya lupa. 

Cerita dulu tentang blog. Suatu ketika, saya mengirimkan tulisan ke milis keluarga unesa, sebuah mailing-list yang anggotanya adalah siapa pun keluarga Unesa/IKIP Surabaya, bisa dosen, mahasiswa, karyawan, dan alumni. Sebuah tulisan tentang Rizki Sugiarto, seorang sarjana pendidikan peserta SM-3T yang ditugaskan di daerah sangat terpencil, di pelosok Sumba Timur. Tulisan itu, menurut banyak teman, sangat menyentuh (tulisan tersebut ada di dalam buku ini juga). Maka teman-teman yang awalnya memang sudah mendorong saya untuk mengumpulkan tulisan-tulisan saya yang berceceran di milis tersebut, semakin kuat dorongannya. Salah satunya adalah mbak Sirikit Syah, dialah penulis, mantan wartawan, dosen, dan perempuan dengan seabreg prestasi itu. Dia bahkan menyediakan dirinya untuk menjadi penyunting bagi tulisan-tulisan saya jika dibukukan. Juga sahabat saya yang lain, mas Satria Darma, Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Pusat, yang juga sering 'merongrong' saya supaya saya membukukan tulisan-tulisan saya. Satu lagi sahabat saya yang akhirnya 'sukses' memaksa saya, adalah mas Mohammad Ihsan, sekjen IGI. Dengan jurusnya yang ampuh, maka berhasillah dia 'merayu' saya. Sms-nya masih saya simpan sampai saat ini. Bunyinya begini:  'Mbak Ella, tulisan sampeyan sangat luar biasa. Sayang kalau tidak dihimpun. Bagaimana kalau saya siapkan domain khusus untuk sampeyan? Tidak bayar. Boloan wae.....'. 

Maka muncullah domain dengan nama www.luthfiyah.com. Mas Ihsan menghadiahkan domain itu untuk saya, dan mas Rohman yang 'ngopeni'. Dengan setia mas Rohman mengunggah tulisan-tulisan saya yang saya post di milis, atau yang langsung saya kirim ke dia via email. Tak ada serupiah pun yang saya keluarkan untuk itu, karena mas Rohman tidak berkenan menerima. Bahkan ketika saya katakan, saya 'nitip duit es' untuk anak-anak yang diminta membantunya, dia bilang, anak-anak tidak ada yang minum es. He he... Saya benar-benar terharu dengan persahatan kami yang sederhana tapi sangat berarti ini.

Maka website itu pun jadi lumayan hidup, tidak seperti blog saya yang mati suri dan tidak bangun-bangun. Meski saya tidak terlalu rajin menulis (bukan karena sibuk, semata-mata karena saya tidak terlalu rajin menulis). Mas Rohman secara konsisten mengunggah tulisan saya yang tidak banyak itu, memberi gambar-gambar dan foto-foto, membuat website tersebut cukup menarik banyak orang untuk membaca. Beberapa teman sudah memberikan apresiasinya untuk tulisan-tulisan di web tersebut.

Lantas suatu hari, entah ketika sedang ngobrol apa, saya keceplosan bilang ke bu Kisyani, sahabat saya yang saat ini menjabat PR1 Unesa, tentang rencana pernikahan emas bapak ibu. Bu Kis bercerita tentang hadiah sebuah buku yang ditulisnya sendiri sebagai hadiah pernikahan emas bapak dan ibunya. Beliau bahkan mengirimkannya ke saya contoh buku itu, dengan catatan, contoh buku itu harus saya kembalikan, karena itu tinggal satu-satunya. Buku itu sangat manis, baik isi maupun penampilannya. Tapi saya merasa 'menyerah', merasa tidak sanggup menulis buku sebagus itu. Semata-mata karena waktu. Saat-saat itu bersamaan dengan kegiatan rekrutmen peserta program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM-3T), dan saya ditugasi sebagai koordinatornya. Waktu saya begitu banyak tersita untuk persiapan dan pelaksanaan tes administrasi, tes online, tes wawancara, prakondisi, dengan semua ikutannya. Saat ini pun, adalah hari keenam masa prakondisi, dan masih seminggu lagi kegiatan ini selesai. Setiap hari kami tim panitia harus datang pagi-pagi sekali dan pulang malam, seringkali pulang larut malam, bahkan beberapa dari kami harus menginap di Kodikmar, tempat para peserta dikarantina. Selama berminggu-minggu kami tidak memiliki hari Minggu, yang ada adalah hari Senin semua. Setelah prakondisi selesai, mereka akan diberangkatkan ke empat kabupaten 3T, yaitu ke Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, dan Maluku Barat Daya. Tentu saja begitu banyak persiapan yang harus kami lakukan, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat. 
Maka saya pun memendam dalam-dalam keinginan saya untuk membuat buku khusus sebagai hadiah bapak ibu. Sampai suatu ketika di sore hari (seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini), tiba-tiba saya ingat saya punya website, dan di situlah terhimpun tulisan-tulisan saya. Tulisan-tulisan yang berisi laporan perjalanan ketika saya dalam tugas atau ketika bersama keluarga dan teman-teman, juga catatan-catan kecil semacam buku harian, juga pikiran-pikiran saya tentang berbagai hal, khususnya dalam bidang pendidikan. 

Ketika saya kemukakan kepada mas Rohman keinginan saya untuk membuat buku yang ingin saya hadiahkan kepada bapak ibu di ulang tahun pernikahan emas beliau itu, jawaban mas Rohman membesarkan hati saya. 'Bisa, bu, kenapa tidak? Tentu saja kita pilih tulisan-tulisan yang bernuansa keluarga, juga tulisan-tulisan lain yang bernuansa humanis...'

Dan jadilah buku ini. Sebuah buku yang amat sederhana. Dari tulisan-tulisan yang juga sederhana. Dari keinginan hati yang sederhana. Sekedar sebagai tanda bahwa saya sekeluarga selalu mengingat bapak dan ibu. Dengan segala kelebihan dan kekurangan bapak ibu. Dengan segala keterbatasan kami. Dengan segala kenaifan kami. Dengan segala keikhlasan kami. 

Teriring cinta yang tulus, jiwa yang penuh kasih, hati yang selalu bersyukur, buku sederhana ini kami persembahkan kepada Bapak Ibu. Berharap engkau berdua senantiasa berbahagia dalam mengarungi sisa hidup. Tetap teguh dalam ikatan kasih yang terjalin kuat dan tak lekang oleh waktu. Tegar senantiasa meniti hari-harimu dengan penuh rasa syukur yang tak pernah putus sedetik pun. Juga dengan sepenuh doa restumu yang terus mengiringi langkah-langkah kecil kami.

Karena engkau, kami ada. Karena engkau, kami memiliki arti. Dan karena engkau, kami 'menjadi'. 

Selamat ulang tahun, Bapak Ibu......
Ridho Allah SWT selalu menyertaimu....

Kami yang mencintai,

Luthfiyah Baskoro Adjie dan Keluarga

Senin, 22 Oktober 2012

Pelepasan Peserta SM-3T Angkatan I

Pagi ini dilaksanakan upacara pelepasan peserta SM-3T Unesa angkatan 2011. Sebanyak 238 peserta dilepas oleh Bupati Sumba Timur, didampingi oleh Kepala Dinas PPO. Dihadiri oleh seluruh camat se-kabupaten Sumba Timur dan kepala sekolah.

Acara berlangsung lancar, penuh dengan kegembiraan sekaligus keharuan. Sambutan-sambutan diselingi dengan lagu-lagu, mulai dari lagu Indonesia Raya, Mars Unesa, Mars SM-3T, dan theme song SM-3T Unesa 'Kami Peduli'. Juga ada lagu-lagu 'rek ayo rek' yang dinyanyikan oleh siswa SMP Tabundung, dilanjut dengan lagu 'Rinduku Padamu', juga oleh siswa yang sama. Lagu yang terakhir itu membuat hampir semua yang hadir menangis, karena anak itu melantunkan lagu tentang persahabatan dan perpisahan itu sambil terisak. 

Ada juga pembacaan puisi 'Sebuah Tempat Bernama Sekolah' karya Luthfiyah Nurlaela, dan juga 'Beri Daku Sumba' karya Taufik Ismail. Kedua puisi itu sangat bagus dibawakan oleh para peserta SM-3T, mengiris-ngiris hati, dan tak ayal, banyak mata pun menjadi basah karenanya.

Dua buah lagu, 'Mimpi' dan 'Gita Cinta', yang merupakan hasil karya peserta SM-3T juga dibawakan dengan penuh perasaan. Hendro, pencipta lagu itu, membawakannya sendiri, bersama Wisnu. Lagi-lagi, di ujung lagu, Hendro tak kuat menahan perasaannya, sehingga semua yang hadir pun diliputi keharuan.

Tari khas Sumba dan tari-tarian lain juga dibawakan, baik oleh siswa-siswa maupun para peserta. Tari-tarian yang rancak maupun yang agak lembut gemulai. Ada juga tari 'kabokang', tari khas Sumba yang dibawakan untuk menghormati tamu-tamu.

Sayang sekali Rektor Unesa tidak bisa hadir. Penerbangan yang sangat terbatas dari Kupang ke Waingapu menyebabkan beliau tidak bisa datang ke Sumba Timur, karena rombongan harus berangkat tanggal 20 Oktober dan pulang tanggal 23 Oktober. Sementara tanggal 20 dan 21 Oktober yang lalu, pak Rektor harus menghadiri Wisuda.

Yang ditugasi untuk mewakili pak Rektor adalah Ketua LPPM, yaitu Dr. Ir. I Wayan Susila, M.T. Namun sayang, pesawat transnusa yang akan menerbangkan beliau dari Kupang ke Waingapu, ternyata juga ditunda keberangkatannya. Pukul 10.40 beliau dan pak Heru baru bisa terbang ke Waingapu. Padahal acara pelepasan dimulai pukul 08.30 WITA. 

Maka jadilah pak Sulaiman, sekretaris Program SM-3T memberikan sambutan mewakili saya sebagai koordinator program. Saya, sebagai Ketua Program PPG Unesa memberikan sambutan penerimaan peserta, mewakli Rektor. Ya, tidak ada rotan, akar pun jadi.

Dalam sambutannya, Bupati menyampaikan rasa terimakasihnya yang tak terhingga kepada Unesa. Beliau juga berharap Sumba Timur bisa terus menjadi tempat kegiatan program SM-3T. Namun beliau juga menyayangkan, mengapa tahun ini Unesa hanya mengirimkan sebanyak 78 peserta. Jumlah yang sangat jauh berkurang dibandingkan tahun sebelumnya yang 238 peserta.

Memang untuk tahun ini, Unesa hanya mengirimkan sebanyak 78 peserta ke Sumba Timur. Selebihnya adalah ke Talaud, Maluku Barat Daya, dan Aceh Singkil. Kabupaten-kabupaten tersebut juga menjadi tugas Unesa untuk membantu mengatasi masalah kekurangan guru di sana. Akibatnya, banyak sekolah di Sumba Timur yang tahun lalu mendapatkan guru SM-3T, tahun ini tidak lagi, atau setidaknya jumlahnya dikurangi. 

Apa boleh buat. Maka dalam sambutan saya, saya menyampaikan permohonan maaf kepada bupati, kepala dinas PPO, camat, kepala sekolah, dan seluruh masyarakat Sumba Timur, karena tidak bisa memenuhi permintaan mereka menyangkut kebutuhan guru. Saya sendiri sebenarnya juga sangat kecewa tidak bisa memenuhi harapan mereka. Harapan kami selanjutnya adalah tahun depan kami bisa menambahkan jumlah guru-guru SM-3T yang ditugaskan di Sumba Timur.

Di akhir sambutan, saya membacakan puisi yang baru saja saya buat pagi tadi, di perjalanan dari hotel menuju Gedung Nasional. Sebuah puisi untuk Sumba Timur. 

"Puisi untuk Sumba Timur"

Pernahkah kau bayangkan sebuah tempat
Dimana sejauh mata memandang 
adalah padang sabana yang indah tak terkatakan
Bukit bertumpuk-tumpuk tinggi menjulang 
Lembah dan ngarai luruh menghampar
Dan pantai yang panjang rebah membentang

Tengoklah di sana
Serombongan kuda berlari berkejaran
Memainkan kecipak air laut yang membuih
Dan matahari jingga di cakrawala
Menyapa hangat alam semesta 

Hangat sekali
Sehangat senyum anak-anak bertelanjang kaki 
Sehangat sorot mata ibu-ibu yang menenangkan hati  
Sehangat sapa bapak-bapak yang menyemangati diri

Datanglah ke Sumba Timur
Akan kusambut kau dengan tangan terulur
Sejumput sirih pinang yang lezatnya tak terukur
Mari kita nikmati
Bersama semilir angin yang menerpa pohon-pohon nyiur 
Ditingkahi deru ombak yang berdebur

Datanglah ke Sumba Timur
Ini kami punya parang
Silahkan ambil sapi dan ayam-ayam
Mari sudah bersama-sama kita makan
Semua berkah tanda persaudaraan

Di Sumba Timur
Di sini, di tempat ini
Tiba-tiba kusadari
Sepenuhnya, 
Ternyata telah kutambatkan hati....

Waingapu, 22 Oktober 2012


Wassalam,
LN

Minggu, 21 Oktober 2012

Talaud dalam Bidikan Lensa

Penggalan-penggalan keindahan tak seutuhnya dapat digambarkan dengan kata dan kalimat. Ada yang perlu langsung disajikan dalam wujud aslinya, dan itu hanya bisa dihadirkan lewat bidikan lensa kamera. Meski hanya melalui kamera smartphone --yang pasti hasilnya tak sesuai harapan--, namun setidaknya itu mampu mewakili mata ini untuk memindahkannya kepada siapa saja yang ingin turut menikmati keindahan sesungguhnya panorama kondisi alam Talaud. Mulai alam yang masih cukup asli hingga teknologi sederhana yang harus dipergunakan semaksimalnya adalah hal yang harus dihadapi di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal di bagian wilayah Indonesia.

Prof Warsono (PR1 Unesa) dan Bu Susan.

Suasana sekolah minggu.

Transportasi khas, becak motor.

Lalampa dan Nasi Jaha.

Buah Kenari.

Mengisi BBM menggunakan timba.


Menikmati Kelapa Muda di tengah teriknya cuaca Talaud.

Menyebarangi sungai untuk menuju lokasi ditempatkannya peserta SM-3T di Talaud.
Sampai seberang sungai. Kendaraan dan manusia diusung menggunakan rakit.

Pantai dengan pasir hitam  lembut dan deburan ombak dapat dinikmati sembari berkendara motor.

Menikmati deburan ombak dan angin pantai yang sejuk.

Bekendara motor menyusuri keindahan pantai.

Jumat, 19 Oktober 2012

Talaud (6): Siapa Bilang Talaud Tertinggal?

Menu Ikan Woku-Woku khas Talaud.
Pagi pukul 05.00. Kami semua sudah bangun. Bersiap melanjutkan perjalanan. Kalau kemarin kami menyusur sisi barat, hari ini sisi timur pulau adalah tujuan kami. 

Setelah melewati jalan berbelok-belok naik turun dan jembatan yang belum jadi, kami mencapai desa Tuabatu, kecamatan Tampan Amma. Sebuah desa yang asri sekali, dengan belasan pohon jeruk limau yang sedang berbuah lebat di setiap halaman rumah  penduduk yang sederhana dan beratap seng. Di SDK Sion Tuabatu, ada dua anak kami di sana, Yuni dan Teta. Kedua anak ini dari jurusan pendidikan ekonomi dan pendidikan geografi. Mereka berdua ditugaskan mengajar di SD kelas rendah, yang pembelajarannya dengan pendekatan tematik. Karena mereka sama sekali tidak mengenal pendekatan tematik, maka saya dan pak Yoyok memberi kursus singkat pagi itu. Untung kami selalu membawa laptop ke mana pun, sehingga bisa memberikan bahan-bahan  pada mereka, termasuk contoh-contoh perangkat pembelajaran dan medianya. 
Selain Yuni dan Teta, ada juga Venta, dari penjaskes, yang mengajar di SMP 3 Rainis di Tuabatu. Ketiga anak ini tinggal di rumah bapak kepala sekolah yang sangat baik hati, bapak Nohrey.

Berbeda dengan di Sumba Timur, di mana para peserta SM-3T tinggal di mess-mess sekolah atau di perpustakaan, dengan kondisi yang serba terbatas: di Talaud, para guru pengabdi ini ditampung di rumah kepala sekolah, atau di rumah komite, atau di rumah salah satu guru. Mereka dianggap anak sendiri, dan kondisi tempat tinggal mereka cukup memadai. Air dan listrik juga hampir selalu tersedia. Begitu juga makanan. Mereka seperti memiliki orang tua asuh. Ya, kondisi yang tidak memungkinkan di Sumba Timur. Dengan kondisi rumah-rumah mereka sebagian besar kurang layak, dan sumber bahan makanan yang tidak mudah diperoleh; jangankan menampung dan memberi makan anak-anak SM-3T, mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga sendiri saja tidak mudah. Di sini, hampir di setiap rumah yang kami kunjungi, kami disuguh kue, makanan lengkap, atau sekedar dipetikkan buah kelapa muda yang dilengkapi dengan gula merah yang lunak.

Di Talaud, hanya ada satu kecamatan, yaitu kecamatan Tampan Amma, yang listriknya baru menyala ketika malam. Wilayah ini memang merupakan wilayah yang cukup sulit untuk dicapai. Di beberapa desa di mana anak-anak kami ditugaskan, kami harus mencapainya dengan bersepeda motor. Guru-guru membonceng kami mencapai satu titik ke titik yang lain. Jalan-jalan berbatu dengan jembatan-jembatan kecil dari pohon kelapa (glugu) atau papan-papan kayu harus kami lintasi dengan penuh risiko. Bahkan di salah satu jembatan itu, saya dan pak Yon yang membonceng saya, jatuh terjun bebas masuk ke sungai bersama sepeda motor suzuki thunder yang kami kendarai. Syukur alhamdulilah sungai itu tidak curam dan berbatu-batu. Syukur juga kami tidak tetimpa sepeda motor tersebut. Namun  baju basah kuyup yang seharian terpaksa saya kenakan, sempat membuat saya 'nggreges' dan masuk angin. 

Berkendara dari Tuabatu, Rainis, Binalang, Dapalan, Riung, dan Ammat, meskipun merupakan perjalanan yang berisiko, tapi juga perjalanan yang sangat menyenangkan. Beberapa kilometer harus kami lalui dengan melintasi pantai. Benar-benar pantai, sehingga buih-buih air laut hanya berjarak beberapa meter di bawah kaki kami. Sebagian kami lalui di atas jalan setapak yang berkelok-kelok, naik turun, dan pantai begitu dekat ada di sebelah kanan kami. Pohon-pohon kelapa berbaris rapi dan padat di sepanjang jalan. Risiko lain selain jembatan-jembatan kecil semi permanen yang harus kami lintasi, juga risiko kejatuhan buah kelapa. Untungnya angin pantai tidak bertiup terlalu kencang, sehingga kami agak tenang berkendara di bawah rerimbunan pohon kelapa tersebut.  

Kami juga harus menaiki rakit untuk menuju sebuah lokasi di Ammat. Rakit itu maksimal hanya bisa memuat dua sepeda motor dan tiga orang sekali jalan. Jangan bayangkan seperti rakit-rakit di Surabaya yang bisa menampung banyak sepeda motor dan belasan orang. Rakit di Talaud ini hanya berupa papan-papan kayu tebal yang dijalin kuat, berukuran kurang dari 2 x 4 meter. Untuk mencapainya, kita harus meniti sebuah papan yang dipasang oleh tukang rakit, papan yang menghubungkan bagian pinggir rakit itu dengan bibir sungai. Keluar dari rakit bukanlah tanah padat yang kita tapaki, melainkan tanah berlumpur, diselingi dengan batu-batu karang tajam dan licin, sehingga kita perlu ekstra hati-hati agar tidak terpeleset. Saya sempat terjebak di dalam lumpur karena pak Yoyok salah memberi instruksi. Begitu kedua kaki saya tenggelam dalam lumpur yang licin itu, pak Yoyok dan kawan-kawan malah tertawa kegirangan.

Yang menyenangkan, di sekitar tempat penyeberangan dengan rakit itu, adalah pohon-pohon kenari. Kami sempat makan kacang kenari segar yang diberi oleh tukang rakit dan seorang bocah yang baru saja 'luru'. Buah berbentuk oval berwarna hitam itu dipukul-pukul dengan batu oleh bu Susan. Dia mengajari kami bagaimana membukanya, mengupas kulit arinya, kemudian memakannya. Gurih, dengan sedikit citarasa 'langu', enak sekali. Bu Susan, perempuan cantik yang smart itu, menceritakan, membuka buah kenari adalah pekerjaannya sewaktu kecil. Ayahnya suka minum kopi ditemani buah kenari sepulang dari melaut.

Talaud seperti 'kota santri' di hari Minggu ini. Semua gereja ramai. Anak-anak mulai dari balita sampai usia sekolah SD memenuhi sekolah-sekolah Minggu. Ibadah ada di mana-mana. Di sepanjang jalan di mana pun di desa-desa yang kami kunjungi, orang-orang segala usia, laki dan perempuan, berpakaian rapi sambil membawa alkitab. Disejajarkan dengan Jawa Timur, mungkin inilah 'Jombang'nya Talaud. Nuansa religius begitu kentalnya.

Pada siang hari, sepulang mereka dari gereja, mereka berkumpul dengan keluarga di rumah. Ada kebiasaan di mana anggota keluarga tidak boleh bekerja di hari minggu. Mereka tidak ke ladang, kebun atau ke laut. Mereka berkumpul di depan rumah bersama keluarga atau teman-teman, bermain kartu dan makan-makan. Saya melihat betapa menyenangkannya kebiasaan ini. Hari Minggu adalah hari keluarga, dan aktivitas keluarga yang mereka lakukan itu sangat berarti untuk membangun kedekatan antaranggota keluarga mereka. Sesuatu yang sudah sangat langka ditemukan di kota-kota. Sayang memang, kadang-kadang acara kumpul-kumpul itu ditemani minuman keras. Pada satu tempat yang kami kunjungi, kami bertemu dengan para pensiunan kepala sekolah yang sedang bermain kartu, dan--tentu saja--ditemani beberapa botol minuman keras.

Kami meninggalkan Riung setelah dijamu makan siang yang mewah oleh ibu kepala sekolah. Kupat dan ubi sebagai sumber karbohidrat. Ayam goreng dan ikan woku-woku sebagai sumber lemak dan protein. Sayur--saya lupa namanya--khas Talaud, dari daun belinjo, bunga pepaya dan labu kuning yang dimasak santan, sebagai sumber vitamin dan mineral. Ada juga makanan penutup berupa sate pisang yang dibakar dan ditaburi keju. Juga es segar yang terbuat dari potongan kelapa muda, nangka, dan kacang goreng. Benar-benar santapan makan siang yang lengkap. Siapa bilang Talaud tetinggal?

    
Kepulauan Talaud, Minggu, 14 Oktober 2012

Wassalam,
LN