Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 25 Desember 2012

Peak Season


Tiba musim liburan seperti ini, tidak hanya hotel-hotel yang mengalami 'peak season'. Tingkat hunian sangat tinggi juga terjadi di rumah kami. Kemarin pagi, teman saya dan keluarganya datang dari Blitar. Danang, nama teman saya itu, adalah teman sekelas waktu SMP. Dia sudah sejak tiga minggu yang lalu bermaksud mengajak anak istrinya berkunjung ke rumah, membalas kunjungan kami pada Januari yang lalu. Namun karena saya selalu ada kegiatan di luar kota setiap akhir pekan, maka baru kali ini keinginannya itu terwujud.

Sorenya, rombongan dari Tuban datang. Mereka adalah ibu, mas Ipung sekeluarga, dik Utik sekeluarga, dik Hisyam sekeluarga, Anang dan Sa'ad. Dua nama terakhir ini adalah putra mas Zen, mas saya yang kedua. Total jenderal, termasuk keluarga Danang, adalah dua puluh jiwa. Maka dua rumah kami full booked. Tidak ada satu kamar pun tersisa. Empat kamar di rumah barat plus ruang keluarga, dan dua kamar di rumah timur plus ruang keluarga, semua penuh. Yang sisa hanya kamar mandi dan dapur. Hehe....

Menyenangkan sekali kedatangan tamu sebegitu banyak. Saya sudah menyiapkan makanan kesukaan para keponakan itu sejak dua tiga hari sebelumnya. Kulkas penuh. Bahan bakso, bahan soto, ayam bumbu rujak, urap-urap, sosis, nugget, cake, jeli buatan sendiri, dan buah-buahan. Juga roti mariam dan siomay. Di lemari kue, penuh dengan kue-kue kesukaan belasan anak kecil itu. Toples-toples tempat kue juga telah siap dengan macam-macam kletikan manis dan gurih. 

Momen seperti ini termasuk momen yang saya tunggu. Hampir setiap tahun para keponakan berlibur di rumah kami ketika masa libur sekolah. Tentu saja dengan eyang utinya, ibu saya. Berbagai acara telah kami siapkan untuk mengisi liburan mereka selama di Surabaya.

Pagi ini, selepas sarapan pagi,  kami semua pergi ke Taman Safari, Prigen. Danang sekeluarga tidak ikut, karena mereka sudah bertolak kembali ke Blitar selepas shubuh tadi, diantar mas Ayik ke terminal Bungurasih. Sementara ibu memilih di rumah karena rombongan keluarga dari Sragen dan Rembang juga mau datang. Mereka sedang memanfaatkan waktu liburan ini untuk muhibah, start dari Sragen, terus ke pakde kami di Boyolali, lanjut ke bulik di Pamekasan, menginap semalam di sana, dan pagi ini melanjutkan perjalanan ke Surabaya, ke rumah kami. Karena saya dan mas Ayik harus mendampingi para saudara dan anak-anaknya jalan-jalan, maka ibu memilih di rumah menunggu tamu. Ibu memang menjadi tujuan utama para saudara kami itu, selain juga kami semua tentu saja.

Acara di Taman Safari berjalan lancar. Dua mobil, satu mobil L-300 yang dikendarai mas Ipung, dan satu mobil Terios yang dikendarai mas Ayik, penuh semua. Oya, kami juga mengajak mbak Yah sekeluarga. Anaknya yang kelas satu SD, Vania,  juga berhak mengisi liburannya bersama kami semua. Mbak Yah sekeluarga inilah yang menunggu rumah lama kami. Dia yang momong Arga, anak kami, sejak Arga masih kelas nol kecil. Sembilan tahun ikut kami, dan berhenti karena menikah. Tapi setelah menikah dan punya anak, dia kembali ikut kami sekaligus kami minta untuk menunggu rumah lama, daripada dia sekeluarga kontrak atau kost di tempat lain. Suaminya, namanya Slamet, bekerja di PT. Jacob, di tempat mas Ayik bekerja, sebagai karyawan kontrak.

Cuaca sangat bersahabat pagi ini. Mendung tapi tidak hujan. Sempat ada gerimis kecil tapi hanya sebentar, dan tidak menghalangi kami menggelar tiga tikar di salah satu sudut di Taman Safari dan membeber semua makanan bekal kami. Nasi putih, terong kukus sambal kelapa, botok ketela pohon, ayam bumbu rujak, sosis, nugget, bahkan lento dan dadar jagung. Krupuk kulit ikan, krupuk rambak, dan rempeyek kacang hijau pedas juga ada. Krupuk kulit ikan dan krupuk rambak oleh-oleh dari mbak I'ah, istri mas Zen. Rempeyek oleh-oleh dari dik Utik, adik saya yang tinggalnya di Bojonegoro. Maka kami semua makan dengan nikmat. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada saat-saat berkumpul dengan sanak-saudara seperti ini, apa lagi dalam keadaan semua sehat dan bergembira.

Keluar dari Taman Safari, kami bermaksud berhenti di pedagang durian, tapi urung. Kami hanya membeli sebuah nangka masak yang sangat besar, beberapa buah nenas, dan dua ikat petai, serta beberapa kilogram apokat. Pesta durian ditunda dulu. Pertama, karena kami masih kenyang. Kedua, kami ingin segera sampai di rumah, biar bisa bertemu dengan para saudara yang sejak dhuhur tadi sudah datang di rumah kami.

Di tengah perjalanan pulang, saya menelepon dik Yusuf, putranya paklik dari Sragen, paklik Wahab, kalau kami sudah turun dari Prigen dan akan langsung pulang. Kami ingin bisa bertemu dengan saudara-saudara misan kami itu, juga tentu saja ingin bertemu paklik Wahab, ayahnya dik Yusuf. Bulik Kafiyah, istri paklik Wahab yang adiknya ibu saya, baru saja 'kapundhut' pada ramadhan yang lalu.

Bertemu paklik Wahab sekeluarga hebohnya persis seperti yang sudah saya duga. Kami memang sangat akrab dengan paklik Wahab sekeluarga. Setiap kali ketemu pasti 'berantem'. Lebih heboh lagi karena dua adik dik Yusuf, namanya dik Ifah dan dik Irfan, ramainya luar biasa. Dua anak ini sepertinya memang dilahirkan sebagai 'tukang bikin onar'. Tidak bisa diam, selalu mencari sasaran untuk diusilin, dan sepertinya bahagia banget kalau sudah sukses memperdayai atau mempermalukan orang. Tentu saja bukan dalam arti sesungguhnya, melainkan sebatas olok-olok dan bercanda. Meskipun mereka berdua sekarang sudah 'beranak-pinak', namun kelakuannya tidak berubah sama sekali.

Paklik Wahab sekeluarga pamitan setelah kami beramai-ramai foto bersama di depan rumah. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Gresik, Tuban, Rembang, dan kembali ke Sragen. Sebuah buku juga sudah didekap dik Ifah. Buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan'. Buku yang dimintanya dari saya dengan 'setengah mekso'. Tapi tentu saja saya memberikannya dengan hati ikhlas lahir dan batin. He he....

***

25 Desember 2012

Hari ini hari natal. Pagi-pagi saya sudah mendapat sms: 'Slmt bbhga pd pesta kelahiran Tuhan yesus kristus semoga kita smua bersatu dlm cinta kristus'. He he. Entah siapa yang mengirimnya, hanya nomer ponsel tanpa nama. Saya perkirakan salah satu peserta SM-3T atau salah satu guru di daerah 3T tempat para peserta SM-3T Unesa ditugaskan.

Saya dan mbak Yah sudah membuka dapur umum selepas shubuh. Hari ini makan pagi dengan menu sederhana saja. Nasi putih, dadar telur, tempe goreng, oseng cumi, sambal bawang, dan lalapan.

Pukul 05.00 ternyata satu per satu anak-anak sudah mulai bangun. O'im, Ashfa, Sa'ad, Anang, Evi, Ima, Haris, bahkan Ibil, Husein dan Alia yang masih belum genap dua-tiga tahun pun sudah bangun. Entah apa yang mereka rencanakan sepagi ini. Oh, saya baru tahu, ternyata mereka sudah merancang acara bersepeda. Maka mas Ayik, Arga, dan Anang, para laki-laki dewasa pun menyiapkan sepeda untuk mereka. Semua sepeda koleksi mas Ayik keluar. Lima seli (sepeda lipat) dan tiga sepeda gunung. Dipimpin tiga orang itu, anak-anak bersepeda ke Masjid Al-Akbar yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak yang masih belum bisa naik sepeda berkendara naik mobil kami bersama bapak ibunya. Jadilah rumah sepi. Hanya saya, mbak Yah, dan ibu. Kalau mereka datang, mereka pasti lapar, oleh sebab itu hidangan sarapan harus kami siapkan segera.

Teh, kopi, susu coklat dan roti kering sudah tersedia di teras. Hidangan makan pagi juga sudah siap. Begitu mereka tiba dari masjid Al-Akbar, hampir semua makanan itu segera 'dibereskan'. Lantas setelah mandi dan bersiap, berangkatlah kami semua meneruskan acara mengisi liburan natal ini.

Tujuan pertama adalah Gramedia. Supaya tidak terlalu jauh, dan bisa sekalian window shopping, kami memilih Gramedia di lantai dua Royal Plaza. Begitu masuk Gramedia, anak-anak itu spontan semburat. Senang sekali saya melihat antusiasme mereka pada buku-buku. Saya menghadiahi mereka satu dua buku yang mereka suka, untuk semua. Mereka boleh memilih sendiri. O'im yang saat ini sudah kelas enam SD, memilih buku 'Detik-detik Menjelang UN' dan sebuah buku sejarah. Anang memilih buku tulisan Sujiwo Tejo dan buku tentang Jokowi. Arga, seperti biasa, mengambil buku-buku musik dan juga CD lagu-lagu kesukaannya. Evi, Ima, Ashfa dan Sa'ad, memilih dua buku, satu buku cerita dan satu buku pengetahuan. Semua menyetorkan buku-buku pilihannya ke saya yang juga sedang sibuk memilih-milih buku-buku pendidikan. Termasuk Husein, si kecil yang belum tiga tahun, menyetorkan dua buah buku mewarnai. He he, senang sekali melihat mereka riang gembira karena mendapatkan hadiah buku.

Oya, kami sempat bertemu mas Rohman sekeluarga di Gramedia. Dia sedang mencarikan tenda untuk putrinya, Alif. Mas Rohman sekeluarga adalah sahabat baik kami, maka jadilah kami ngobrol sebentar sambil menunggu antrian di kasir.

Dua hari ini kami sekeluarga begitu sibuk. Waktu dan tenaga sepenuhnya kami sediakan untuk mereka. Bukan hanya karena mereka adalah saudara-saudara kami. Tapi lebih dari itu, mereka adalah tamu-tamu kami. Menghormati dan memuliakan tamu adalah anjuran Rasulullah. Begitulah selalu yang dinasehatkan dan dicontohkan oleh bapak dan ibu kami. Memuliakan tamu adalah wajib hukumnya.
 
Alhamdulilah, mungkin karena kami suka menerima tamu, rumah kami sering ''ketamon'. Kadang-kadang sekedar untuk transit semalam-dua malam bagi saudara-saudara yang sedang melakukan perjalanan jauh, misalnya dari Solo ke Pamekasan atau sebaliknya. Kadang-kadang juga sebagai tempat 'penampungan' teman-teman atau sanak saudara yang bermaksud menghadiri acara pernikahan saudara kami yang tinggalnya di Surabaya. Ada juga seorang teman kami yang suka menginap di rumah bila ada tugas atau kegiatan mendampingi siswa-siswanya. Sementara siswa-siswanya tidur di mess, dia memilih tidur di rumah kami.

Namun tidak seperti hari-hari biasa, pada saat musim libur seperti ini, sebagaimana hotel-hotel dan penerbangan, rumah kami juga mengalami 'peak season'. Hehe....

Wassalam,
LN

Rabu, 19 Desember 2012

Sebotol Air Mineral

Saya memasuki kelas itu. Sebuah kelas di gedung K-10, gedung baru di Pascasarjana Unesa. Sejuk, bersih. Meski di luar gedung, beragam bahan bangunan masih menumpuk, karena memang pembangunan gedung baru Pacasarjana Unesa ini belum selesai. Pasir, batu, semen, kayu-kayu, dan juga alat-alat bangunan. 

Ada dua puluh dua mahasiswa di kelas itu. Mereka sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Kursi yang diatur di sepanjang dinding, membentuk huruf U, dan meja dosen ada di depan mereka. Sebuah LCD gantung sudah dinyalakan, siap digunakan. Dan, seperti biasa, sebotol air mineral di atas meja dosen.

Para mahasiswa ini adalah guru-guru berprestasi, wakil dari berbagai penjuru Indonesia: Sumut, Sumbar, Kalsel, Sulteng, Jatim, Jateng, dan DIY. Mereka diseleksi di tingkat kabupaten, lanjut ke tingkat provinsi, kemudian di tingkat pusat. Mereka didanai dengan beasiswa dari Direktorat Pembinaan SD Kemdikbud untuk menempuh perkuliahan di S2 Manajemen Pendidikan PPs Unesa. Jumlah beasiswa mereka lumayan, 48 juta rupiah setahun, 19,5 juta rupiah di antaranya untuk biaya hidup dan pembelian bahan referensi. Tentu saja beasiswa itu diterimakan dalam bentuk fresh money, masuk ke rekening pribadi mereka masing-masing. 

Sekitar tujuh puluh lima persen dari guru-guru tersebut sudah memiliki sertifikat pendidik. Demi mengikuti program ini, mereka merelakan tunjangan profesi dan tunjangan fungsionalnya. Hanya gaji pokok yang diterima setiap bulan selama mereka bersekolah. Tidak masalah. Kesempatan mengambil program S2 ini adalah peluang emas yang tidak semua guru bisa memperolehnya.

Seorang mahasiswa, Masri namanya, segera bangkit dari duduknya begitu dia melihat saya mengurai charger laptop. Dengan senang hati saya pun menyerahkan charger itu dan membiarkan Masri menancapkannya ke stop kontak. Saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri, tentu saja, tapi saya selalu menikmati perhatian-perhatian kecil dari para mahasiswa saya. Perhatian-perhatian kecil sebagai bentuk kepedulian. 
Bukankah 'peduli' merupakan salah satu karakter yang perlu terus dikembangkan?

Siang ini kami akan membahas model-model pembelajaran, melanjutkan materi minggu yang lalu. Dua mahasiswa sudah mempresentasikan model pembelajaran langsung dan model kooperatif minggu kemarin. Saatnya sekarang bicara model yang lain. Elisatra, seorang mahasiswa mantan kepala sekolah, menyampaikan bagaimana memilih strategi pembelajaran. Dilanjutkan rekannya, Anifatul, yang mengemukakan model pembelajaran berbasis masalah dan model berbasis penemuan. Diskusi berjalan lancar. Ada cukup banyak tambahan yang saya berikan. Terutama menyangkut penerapan berbagai model itu di lapangan. 

Seorang mahasiswi yang manis, Eni Priyani, menanyakan bagaimana penerapan model pembelajaran itu bisa diterapkan di SD kelas enam? Sementara mereka harus menuntaskan materi sebelum menempun UN? Cukupkah waktu bagi guru untuk melakukan pembelajaran dengan menerapkan model-model tersebut?

Diskusi berkembang menjadi berlarut-larut karena pertanyaan Eni. Perbedaan pendapat di antara mereka cukup tajam. Saya akhirnya mencoba menjadi penengah. Saya ajak mahasiswa melakukan refleksi diri terkait dengan tugas mereka mengajar siswa kelas enam SD.  Saat para guru di satu sisi harus menuntaskan target pembelajaran, namun di sisi lain harus mempersiapkan siswa-siswa menyambut UN. Maka apa yang dilakukan guru? Latihan soal-soal, drill, dan try out-try out. Mana sempat berpikir tentang model pembelajaran kooperarif, apalagi berbasis masalah dan penemuan? 

Kami mengakhiri perkuliahan sore itu tepat waktu. Saya tidak ingin Prof. Made Pidarta harus menunggu di luar kelas karena saya 'molor'. Wajah-wajah puas para mahasiswa membahagiakan saya. Hari ini mereka telah belajar sesuatu yang mungkin baru, atau sesuatu yang mungkin tidak baru tapi pemahaman mereka tentang sesuatu itu menjadi lebih baik. Saat saya akan mengangkat berkas tugas-tugas yang mereka kumpulkan hari ini, seorang mahasiswa spontan berdiri menghampiri. 'Mari, Ibu, saya bantu'. Katanya simpatik. Saya mengucapkan terimakasih, untuk bantuan itu, untuk perhatian dan keterlibatan penuh mereka selama perkuliahan. Juga, untuk sebotol air mineral yang telah disediakannya untuk saya hari ini.


Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Selasa, 11 Desember 2012

Ujian Terbuka Sahabatku: Suryanti

Sore ini, saya menghadiri ujian terbuka seorang dosen PGSD, Dr. Suryanti, S. Pd. Dosen cantik ini adalah istri Dr. Wahono Widodo, M. Si, dosen Pendidikan Sains. Keduanya adalah sahabat saya, sahabat kami sekeluarga. Begitu dekatnya persahabatan kami, sampai hubungan kami sudah seperti saudara.

Judul disertasi bu Yanti, begitu panggilan akrabnya, adalah "Model Pembelajaran untuk Mengajarkan Keterampilan Pengambilan Keputusan dan Penguasaan Konsep IPA bagi Siswa Sekolah Dasar". Keterampilan pengambilan keputusan merupakan salah satu tujuan mata pelajaran IPA di SD dan merupakan keterampilan yang sangat penting, baik untuk sukses dan mandiri dalam bisnis dan kehidupan, serta kepemimpinan dan organisasi. Begitulah salah satu hal yang melatarbelakangi penelitiannya. Selain itu juga didasarkan pada kenyataan di lapangan yang menunjukkan keterampilan pengambilan keputusan siswa SD masih rendah. 

Temuan penelitian Suryanti cukup menarik, berupa model pembelajaran Multi Siklus DEAL, dengan langkah pembelajaran Discussion, Exploration, Analysis, dan Look-back. Penerapan model pembelajaran ini memberikan hasil penguasaan konsep dan keterampilan pengambilan keputusan lebih baik dibanding dengan pembelajaran IPA yang selama ini dilakukan. Penguasaan konsep sendiri menyumbang 10,2 persen terhadap penguasaan keterampilan pengambilan keputusan. 

Suryanti, yang background-nya pendidikan Fisika itu,  diangkat sebagai dosen di Prodi PGSD-FIP IKIP Surabaya sejak 1993. Perempuan berusia 44 tahun ini selain pernah menjabat sebagai sekretaris dan ketua jurusan PGSD, juga terlibat sebagai Tim Fasilitator IPA SEQIP, Tim Pengembang Instrumen Sertifikasi Guru, Tim MBS PGSD Ditjen Dikti, Tim Pengembang Modul DBE 2, dan Tim Pengembang Pendidikan Karakter Ditjen Dikdas. Yang juga membanggakan, Suryanti sejak 2011 dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Dosen PGSD Indonesia. 

Sepanjang pengalaman saya, ujian terbuka kali ini adalah ujian terbuka 'terpenuh'. Semua kursi berpenghuni. Bahkan di luar ruangan, para 'supporter' berjubel. Saya lihat di barisan para undangan itu adalah Prof. Sunarto, Prof. Mega, Prof. Suyono, Dr. Yuni Sri Rahayu, Dr. Manuharawati, dan banyak lagi. Dosen FMIPA dan dosen FIP, mahasiswa PPs, mahasiswa S1 juga. Nampaknya bu Yanti ini banyak penggemarnya.

Dr. Wahono hadir bersama kedua putranya yang ngganteng-ngganteng: Achmad Danang Rizki Pratama dan Ahmad Nizar Permana. Kedua remaja ini juga bersahabat dengan anak saya, Arga. Sejak anak-anak kami masih kecil-kecil, kami sering melakukan acara keluarga bersama, sehingga hubungan kami memang sangat dekat. 

Penampilan bu Yanti sangat menarik. Bukan karena dia nampak begitu cantik dan anggun dengan kebaya hijau mudanya. Namun juga karena dia bisa menjawab semua pertanyaan dewan penguji dengan sangat lancar dan meyakinkan. Perempuan berjilbab itu memang cerdas, komunikasinya bagus, dan memiliki manajerial skill yang menonjol. Saya prediksi, beberapa tahun ke depan, dia akan menjadi salah satu srikandi kuat di Unesa, setidaknya selevel Prof. Kisyani. He he....

Suryanti merupakan lulusan pertama Prodi S3 Sains PPs Unesa. Saat ini dia ada di depan kami, didampingi pendamping prosesi, pak Budi Jarwanto. Asdir 1 PPs yang memimpin ujian terbuka, Prof. Muslimin, membacakan hasil penilaian Dewan Penguji. Suryanti lulus, dengan predikat sangat memuaskan, dan berhak menyandang gelar doktor. Suryanti tersenyum lega, manis sekali. Dan keharuan menyeruak di hati saya begitu saja.... Seperti apa rasanya 'lulus', seolah masih begitu membekas di benak saya, meski itu telah terjadi bertahun-tahun silam. 

Hari ini telah saya saksikan kebahagiaan itu, kebahagiaan yang sudah lama-lama ditunggu, oleh Suryanti, oleh keluarganya, dan oleh semua sahabat dan sanak saudaranya. Kebahagiaan yang membanggakan prodi S3 Pendidikan Sains dan Unesa.

Btw, biasanya saya memilih tidak bertoga ketika menghadiri ujian terbuka. Selama belasan kali saya menghadiri ujian terbuka, baru tiga kali saya mengenakan toga, dan duduk di jajaran prosesi. Pertama, ketika ujian terbuka sahabat saya, Dr. Nanik Indahwati, tim inti SM-3T. Kedua, ketika ujian terbukanya ibu Rektor yang lulus dengan predikat cum laude itu. Yang ketiga ya sekarang ini. Kalau sudah duduk di depan, konsekuensinya kita harus mengikuti acara sampai selesai, tidak bisa 'nyambi', misalnya 'nyambi' ngajar atau melayani konsultasi. Artinya, kita tidak bisa menyelinap keluar ruangan sebelum acara selesai. Itulah yang membuat saya seringkali agak enggan untuk bergabung di barisan prosesi (He he, jujur.com). 

Tapi saya sudah siap untuk mengenakan toga lagi ketika nanti saya menghadiri ujian terbuka sahabat-sahabat saya yang lain. Termasuk sahabat dan guru saya, Sirikit Syah....

Auditorium Pascasarjana, 11 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 10 Desember 2012

Nggowes Bersama Pakde Karwo dan Gus Ipul

Pagi ini ramah sekali. Sedikit mendung, tetapi justru itulah yang membuat pagi ini begitu menyenangkan. Matahari yang malas menampakkan sinarnya membuat kami malah bersemangat.

Ya, karena pagi ini kami akan nggowes. Bersepeda. Bersama pakde Karwo dan Gus Ipul. Meskipun tepat jam 06.00 saya, mas Ayik, dan tujuh teman dari Surabaya sudah tiba di lokasi start, tetapi ternyata kami tetap saja telat. Teman saya, mas Esa, yang menjadi salah satu panitia kegiatan ini, menanyakan di mana posisi saya. Dia katakan acara akan segera dimulai. Sejak beberapa hari yang lalu saya memang sudah diwanti-wanti sama mas Agus Maimun, ketua IKASMADA, kalau saya diharapkan bisa turut mendampingi para pejabat. Tapi posisi saya dan mas Ayik masih di belakang, dan saya perkirakan tidak mungkin bisa menjangkau tempat pemberangkatan tepat pada waktunya. Maka saya katakan saja pada mas Esa, "monggo dimulai sajalah". Toh Pakde Karwo dan Gus Ipul tidak mungkin mau menunggu saya, tambah saya dalam hati. Wakakak......

Luar biasa. Saya hampir tidak percaya ketika panitia mengumumkan bahwa peserta bersepeda ini sebanyak delapan ribuan. Saya sempat berpikir bahwa jumlah itu karangan panitia saja. Biar kegiatan ini dinilai hebat. Tapi tidak. Saat saya dan mas Ayik berusaha menerobos barisan para pesepeda itu, supaya kami bisa menjangkau barisan terdepan di mana rombongan Pakde Karwo berada, untuk sekedar 'setor muka' ke mas Agus Maimun bahwa saya sudah hadir, kami tidak kunjung sampai pada tujuan. Barisannya terlalu panjang untuk bisa kami tembus dalam waktu cepat. Sampai akhirnya, setelah menempuh jarak sekitar satu-dua kilometer, dan menyelinap di sela-sela sepeda yang rapat, ketika rombongan Pakde Karwo mengakhiri bersepedanya dan masuk ke bus mini yang sudah dipersiapkan, saya baru tiba. Tanggung. Saya mengurungkan niat untuk bergabung. Lagi pula, semangat bersepeda sudah terlanjur menggelora. Keringat yang mulai membasahi punggung saya yang hangat menuntut kaki-kaki ini terus mengayuh. Ya sudah. Saya mengangkat telepon, menghubungi mas Agus Maimun, menyapanya hangat, dan mengatakan kepadanya kalau saya sedang menikmati bersepeda. Dia meminta supaya saya bisa bergabung, tapi dengan halus saya tolak. Saya ucapkan selamat untuk acara yang luar biasa sukses ini, dan titip salam saja untuk Pakde Karwo dan Gus Ipul (saya sambil 'mbatin', pakde Karwo dan Gus Ipul 'cek' bingung, Luthfiyah iku sopo kok titip-titip salam....hehe). 

Keren. Benar-benar keren rute nggowes ini. Meskipun saya, mas Ayik dan teman-teman dari Surabaya mengambil rute on road, rute ini lumayan menarik. Bukan karena tantangannya. Ya, karena sebagian besar rombongan kami adalah para penggila sepeda, dan rute yang sangat ekstrim pun mungkin sudah pernah dilalui. Namun hamparan hutan, kebun, bukit-bukit berbatu, jalan-jalan kecil yang berkelok-kelok dan naik turun, begitu cantiknya. Ya, Tuban memang eksotis. Beberapa pesepeda saya lihat sengaja memarkir sepedanya di hamparan bebatuan dan berfoto-foto di sana dengan memanfaatkan latar belakang perbukitan yang indah.

Di tengah perjalanan, mas Esa menelepon. Menanyakan di mana posisi saya. Dengan setengah berteriak, saya menjawabnya dengan riang-gembira. "Saya sedang ada di tengah hutan, dan di hutan itu ada mushola. Kerreeeeennnn....!"
"Ya yaaa, saya tahu di mana itu. Tempo hari ketika survey, kita sholat maghrib di mushola itu". Jawab mas Esa. Wow, betapa syahdunya. Bersujud di musholla di tengah hutan, dalam keremangan senja, dan suara alam, serta aroma wangi pepohonan. "Jangan lupa segera merapat ke panggung kalau sudah sampai finish", pesan mas Esa.

Sekitar pukul 09.00 kami sudah sampai di kompleks Kompi, tempat panggung dipasang. Pak Karwo sudah langsung kembali ke Surabaya tadi pagi, tinggal Gus Ipul, Wabup Tuban, dan tentu saja, mas Agus Maimun, beserta para panitia. Panggung itu cukup megah, lengkap dengan seperangat alat musik untuk nge-band. Gus Ipul pegang mix, menjadi 'pembawa acara'. Memanggil para pemenang offroad. Begitu melihat sosok saya di antara kerumunan para penonton di depan panggung, mas Agus Maimun dan mbak Arina langsung melambai. Meminta saya segera naik panggung. Saya tertawa-tawa saja sambil memotret-motret mereka. Sepertinya lebih asyik memandangi mereka bersama Gus Ipul dan pak Wabub dari depan panggung daripada bergabung di sana. Tapi dasar mas Agus. Saya lihat dia berbisik-bisik pada Gus Ipul. Tak ayal, nama saya pun langsung disebut oleh Gus Ipul, dan diundang naik ke panggung. Katanya, inilah salah satu alumni pertama SMADA. Dosen Unesa, dan sudah profesor. Protolan femuda ansor. He he..... Selalu itu yang dikatakan Gus Ipul setiap kali menyebut profesor. Protolan femuda ansor. Sama seperti beliau.

Kegiatan ini begitu sukses. Tak terbayangkan akan sesukses ini. Hadiah utama memang hanya tujuh buah sepeda motor dan belasan sepeda angin, dengan puluhan hadiah hiburan. Tapi peserta begitu membludak. Belakangan saya tahu dari seorang panitia, sepuluh ribu tiket habis terjual. Dan panggung begitu meriah. Dengan penampilan para siswa SMADA yang unjuk kebolehan 'nge-band', pantomim, menyanyi, dan dipandu dua pembawa acara yang ramai. Diselang-seling dengan pengundian doorpize dan hadiah utama. Dalam sambutannya yang sempat saya dengar dari kejauhan tadi pagi, pakde Karwo mengungkapkan kebanggaannya. Bagaimana mungkin bisa mengumpulkan orang begini banyak. Saat ini, saya mendengar lagi ungkapan kebanggaan dan takjub itu dari Gus Ipul dan bapak Wabup. Ikatan alumni memang seharusnya tidak hanya mengurusi reuni, tapi melakukan banyak hal yang bisa lebih memberi manfaat bagi almamater dan masyarakat luas.      

Hari ini, ada ribuan alumni SMADA beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya berkumpul di sini. Lebur jadi satu dengan masyarakat Tuban dan sekitarnya. Memberikan keceriaan dan kesehatan bagi jiwa dan raga. Memberi warna indah pada persaudaraan dan persahabatan. Saya mungkin bukanlah siapa-siapa di antara ribuan orang ini. Saya mungkin juga tidak menyumbang apa pun pada keberhasilan kegiatan ini. Tapi saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya pada kawan-kawan saya yang telah bekerja sangat keras demi terselenggaranya acara ini, dan juga banyak acara yang lain. Mas Agus, mas Esa, mas Sur, mas Agung, mbak Arina, pak Yasin, dan semuanya yang tidak mungkin saya sebut, juga kepala sekolah SMADA, juga guru-guru kami, terimakasih.

Saya bangga menjadi bagian dari IKASMADA.

Tuban, 9 Desember 2012
LN 

Sabtu, 08 Desember 2012

Seminar Pendidikan: PPG Lagi...

Pagi sampai siang tadi saya diundang sebagai pembicara seminar di Gedung I FIS Unesa. Penyelenggaranya adalah Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan PPKN. Saya ditandemkan dengan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur dan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur. Tema seminar yaitu 'Eksistensi LPTK dengan Adanya Kebijakan PPG'.

Saya disambut oleh ibu Listyaningsih, pembina BEM PPKN. Begitu memasuki ruang seminar, saya langsung merasakan aroma penuh semangat, baik dari panitia maupun para peserta. Lebih-lebih ketika ketua panitia menyampaikan laporannya, dilanjutkan dengan sambutan Ketua BEM dan sambutan Ketua Jurusan. Tepuk tangan riuh rendah menggema setiap kali ada pernyataan-pernyataan yang 'cocok' dengan pikiran-pikiran mereka. Bahwa PPG seharusnya hanya untuk lulusan LPTK, bahwa mestinya semua lulusan LPTK tidak perlu lagi mengikuti PPG, dan bahwa profesi guru adalah bagi orang-orang yang sejak awal hatinya sudah terpanggil sebagai guru dan oleh sebab itu seharusnya hanya untuk lulusan LPTK. Juga, menurut versi mereka, pada UU Sisdiknas maupun UUGD-pun tidak pernah ada istilah PPG, yang ada hanyalah istilah sertifikasi. Rupanya saya sedang berada di antara beberapa tokoh unjuk rasa PPG di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Selain juga sedang berada di antara para mahasiswa yang memang benar-benar ingin memahami PPG dengan berbagai seluk-beluknya. 

Oleh karena bapak Sulistiyanto Soeyoso, ketua Dewan Pendidikan Jatim dan bapak Herry Bagus yang mewakili Dr. Harun belum hadir, maka saya diberi waktu untuk presentasi lebih dulu. Moderatornya, Wahyu, saya goda kalau dia lebih cocok jadi provokator daripada jadi moderator. Dia tertawa saja. 

Apa yang saya sampaikan lebih banyak sebagai klarifikasi atas pemahaman mereka yang belum utuh mengenai PPG. Saya katakan bahwa pada berbagai hal saya sepaham dengan pikiran mereka. Di sisi lain, mereka juga harus melihat fakta. Lulusan LPTK yang jumlahnya luar biasa setiap tahunnya, dan sebagian besar dari mereka tidak dihasilkan dari LPTK yang bermutu. Fakta bahwa LPTK belum mampu menghasilkan guru di semua bidang yang dibutuhkan di lapangan. Juga pemahaman terhadap istilah sertifikasi, yang hanya dipahami lewat jalur PLPG, tentulah itu pemahaman yang kurang tepat. Sertifikasi juga bisa ditempuh melalui PPG dengan berbagai bentuk penyelenggaraannya.  

Saya sangat beruntung siang ini bisa bergabung dengan pak Sulistyanto dan pak Herry Bagus. Hampir semua pikiran pak Sulis sejalan dengan pikiran-pikiran saya. Beliau memulai presentasinya dengan mengajak kita semua bicara tentang Indonesia. Peran apa yang bisa kita ambil supaya Indonesia menjadi lebih baik. Unesa adalah universitas yang sangat kecil. UI adalah universitas yang sangat kecil. MIT dan semua universitas terkenal di dunia ini adalah universitas yang kecil. Kita semua sedang ada di universitas yang sangat besar, yaitu universitas kehidupan. Di universitas ini, setiap kita adalah guru. Kurikulum kita sendirilah yang menentukan. Tergantung kurikulum yang kita buat itu ketat atau tidak. Kalau ketat, kita akan menjadi someone. Kalau tidak ketat, kita akan menjadi noone. Bedanya, someone itu do something, dan noone itu do nothing.

Pak Sulis yang nyentrik itu juga menambahkan bahwa faktor keunggulan bangsa ke depan tidak lagi ditentukan oleh teknologi, tetapi oleh mental dan karakteristik kita, letak dan kondisi geografis, renik-renik kebudayaan, dan keunikan ekologis. Semua hal ini kalau dikembangkan dengan baik akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang unggul karena hal-hal tersebut tidak bisa direproduksi dan diduplikasi. Sayang sekali kebijakan kita tidak mengarah kepada pengembangan keempat hal tersebut.

Ketika bicara tentang pentingnya kewirausahaan, pak Sulis secara bercanda melontarkan ide, seharusnya ijazah sarjana diubah. Ijazah sebaiknya dibuat dari batu, ukurannya 1 meter kali 2 meter, biar tidak bisa dibawa ke mana-mana untuk difotokopi dan dilegalisir serta digunakan melamar pekerjaan, termasuk menjadi pegawai negeri sipil. He he, geli juga dengan ide konyolnya itu.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bermental baja untuk bisa membangkitkan keindonesiaan. Maka kita harus jujur. Pendidikan kita harus dirombak. Kurikulum dibuat sebagus apa pun, kalau UN tetap seperti ini, maka kurikulum itu tidak ada gunanya. Pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang bertambah tua, tapi tidak bertambah dewasa.

Pada sesi tanya jawab, saya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar PPG. Salah seorang peserta, Zaim namanya, dari jurusan Pendidikan Sendratasik, bertanya dengan suara keras dan berapi-api. Kata-katanya tajam. Tubuh kecilnya itu seperti mau meledak ketika dia menyampaikan ketidaksetujuannya pada konsep PPG. Saya senang dengan pikiran-pikiran kritisnya. Sayang sang seniman itu tidak mudah dipuaskan. Waktu tidak cukup kalau hanya untuk melayani dia. Maka saya janjikan saya akan 'memberinya kepuasan' di luar forum. He he.... 

Surabaya, 8 Desember 2012

Wassalam,
LN

Senin, 03 Desember 2012

Puisi Ultah untuk Mas Ayik

Puisi Ultah untukmu

Mungkin hanya sederet puisi
Sebagai saksi hari ini
Saat pagi menyibak hari
Dan matahari melumat bumi
Menghimpun semua asa di hati

Duhai, kasih
Cintaku seputih kapas
Selembut sutra
Sewangi mawar
Seelok purnama
Seluas samudra
Seindah semesta

Rinduku adalah malam 
yang menunggu pagi
Kemarau panjang
yang menanti hujan
Rindu seorang pengelana
yang mengharap pulang

Adalah padang gersang 
yang luas menghampar
Akulah sang musafir
Dan kau oase berlimpah air
Tak sekedar pelepas dahagaku
Juga pembasuh sekujur jiwaku

Simpanlah hatimu hanya untukku
Biar bisa kulalui setiap malamku bersamamu
Genggamlah rindumu hanya untukku
Biar bisa kujalani sepanjang waktu selalu di sisimu
Selalu
Tak lekang oleh waktu
Tak aus oleh ragu
Tak pupus karena jemu

Selamat ultah, kekasih
Segala yang terbaik untukmu
Senantiasa kumohonkan
dari Yang Maha Kasih

Surabaya, 4 Desember 2012

Sabtu, 01 Desember 2012

Membaca Itu Membebaskan

Pagi ini saya bersiap-siap berangkat ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat koordinasi persiapan PPG. Seperti biasa, setiap kali saya pergi ke luar kota, saya selalu berusaha membawa satu dua buku untuk saya baca selama di perjalanan, ketika menunggu waktu sebelum masuk pesawat, di dalam pesawat, atau sekedar untuk bacaan menjelang tidur selepas kerja yang biasanya sampai larut malam.

Kebetulan ada belasan buku yang saya beli dan belum sempat saya baca. Sebagian besar adalah buku-buku tentang pendidikan dan kewirausahaan bidang boga. Sebagian lagi buku-buku yang mungkin tidak secara langsung berhubungan dengan bidang saya, antara lain buku serial keterampilan intelektual: Writing without Teachers, How to Read a Book, dan Program Paedia Silabus Pendidikan Humanistik. Juga ada dua buku yang lain: John Dewey Pendidikan Dasar Berbasis Pengalaman, dan Mari Berbincang Bersama Platon. Setelah sekilas mencermati buku-buku baru tapi terbitan lama itu (tahun 2011 dan sebelumnya), akhirnya saya memutuskan membawa 'Writing without Teachers' yang ditulis oleh Peter Elbow serta diberi pengantar oleh Radhar Panca Dahana dan Donny Gahral Adian.

Nampaknya buku ini menarik. Dalam catatan penerbit dikatakan, 'Writing without Teachers' memiliki dua makna. Pertama, mengenalkan 'cara menulis yang jauh lebih mudah dan menggairahkan', karena membebaskan Anda dari segala aturan dan syarat yang biasa diberikan para guru. Segala aturan yang justru tidak berfungsi sebagai pengarah langkah, tetapi malam menjadi pemasung gerak kita. Sangat banyak siswa dan mahasiswa yang tak pernah mampu menulis justru karena dari awal sudah dibelenggu segala aturan, harus begini dan begitu.

Kedua, buku ini sangat praktis. Dengan buku ini, belajar menulis secara benar sudah bisa langsung dimulai dan terus ditingkatkan dengan 'membentuk kelompok tanpa guru'. Tak perlu menunggu untuk menemukan guru atau pembimbing khusus baru memulainya. Tak perlu menunggu kapan di sekolah akan dibuka kelas khusus atau ekskul buat belajar menulis. Tak perlu menunggu kapan di dekat rumah akan dibuka sanggar belajar menulis, Anda bisa membentuk sanggar itu sendiri bersama beberapa teman Anda. Ya, Anda bisa membentuk 'kelompok menulis tanpa guru'.

Dalam pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja 'alamiah', seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan manusia terhisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis, begitu klaim Radhar.

Apa yang coba dijabarkan Elbow, penulis buku ini, bukan sebuah definisi tentang tulisan bagus dan buruk, namun lebih pada usaha untuk menemukan cara yang lebih baik untuk memahami tulisan bagus dan baik yang ada di sekeliling kita. Dalam proses nirguru ini Elbow menawarkan gagasan tentang 'freewriting'. Sebuah proses yang langsung mendahulukan praksis menulis bebas ketimbang proses yang umum digunakan: memulai dengan outline dan editing. Menulis bebas ini sederhana, semacam disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti selama 10 menit. Bukan untuk menghasilkan tulisan bagus tetapi sekadar menulis tanpa prosedur sensor dan editing. 'Tak perlu melihat ke belakang lagi, tak ragu melanggar aturan, tak peduli bagaimana ejaan atau bahkan memikirkan apa yang tengah kamu kerjakan'. Satu-satunya aturan: jangan berhenti menulis.

Di ujung kata pengantarnya yang berjudul 'Metabolisme Tulisan' itu, budayawan Radhar meyakinkan bahwa jasa Elbow akan terasa benar bila kita melihat kerja menulis sebagai suatu 'proyek untuk terus memperbaiki diri, proyek mengoptimalisasi potensi diri, proyek menjadi manusia yang maksimum'. Kerja menulis akan selalu menempatkan kita dalam level atau derajat kemanusiaan yang lebih tinggi. Maka, lanjut Radhar, setelah kata pertama dalam kitab suci, 'Iqra' atau 'bacalah', tak buruk sama sekali bila moral Elbow pun kita serukan sebagai lanjutannya: 'menulislah.'

Senada dengan Radhar, Donny Gahral Adian bahkan mengatakan menulis adalah 'proklamasi kemerdekaan dari aturan'. Kolonialisme rezim aturan bisa melumpuhkan pikiran. Padahal, menulis adalah menuangkan pikiran, bukan aturan. Aturan adalah fasilitas kebudayaan yang menampik kejanggalan. Kejanggalan adalah awal mula kreativitas. Orang yang menabrak aturan gramatika atau sosial dalam menulis jangan buru-buru dipinggirkan. Ia adalah orang yang sedang bertumbuh kreativitasnya dan membuka pintu pengalaman selebar-lebarnya.

Donny yang seorang penulis dan dosen filsafat UI itu menegaskan bahwa kita harus percaya gagasan kita adalah tunas yang bisa tumbuh menjadi besar dan menarik. Kita harus bisa menulis di jalan bebas hambatan, melaju kencang tanpa rambu-rambu dan membiarkan pengalaman menjadi soko guru satu-satunya.

Saat ini saya sedang berada di ruang tunggu bandara Juanda. Saya baru bisa melakukan 'super scan' saja pada buku yang menurut saya sangat menarik ini. Buku yang pada 2011 merupakan cetakan kedua ini (cetakan pertama tahun 2007) berturut-turut menuturkan tentang latihan menulis bebas, proses menulis--bertumbuh, proses menulis--menggodok, kelas menulis tanpa guru dan gagasan kelas menulis tanpa guru. Sangat mungkin saya akan banyak setuju dengan apa yang ditulis Peter Elbow ini, meskipun--berdasarkan pengalaman saya yang belum banyak dalam urusan tulis-menulis ini--memahami 'aturan' menulis tetaplah perlu. Bolehlah pada awalnya kita 'merdeka dalam menulis', namun pemahaman kita pada aturan menulis akan semakin meningkatkan kemampuan menulis kita.

Btw, saya sebenarnya agak dongkol karena pesawat Wings Air yang harusnya menerbangkan saya pada pukul 11.10 tadi sudah terbang duluan. Saya terpaksa diterbangkan dengan pesawat lain pada pukul 13-an karena alasan ada kesalahan seat. Padahal seharusnya saya hadir di Inna Garuda pada pukul 14.00. Mbuh, apa maksudnya kesalahan seat itu. Tapi paling tidak, dalam kedongkolan saya, saat ini saya bisa memanfaatkan waktu untuk menulis bebas seperti sekarang ini. Sampai akhirnya hilanglah rasa dongkol saya. Menulis memang membebaskan. Setidaknya membebaskan dari rasa dongkol... He he

Awal Desember 2012

Wassalam,
LN
(Baru saja mendarat di bandara Adisucipto Yogyakarta)