Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 31 Januari 2013

Aceh Singkil 2: Singkohor dan Danau Paris

Malam tadi, meleset dari perkiraan saya, kami tiba di Aceh Singkil pada pukul 23.10. Tapi sebenarnya, andai saja tidak terjadi tragedi ban 'mbledos', mungkin kami bisa sampai lebih cepat. Saat itu pukul 22.23. Ketika saya sedang menikmati dengkuran  teman-teman yang pulas kelelahan, dan saya berusaha terus berjaga supaya bisa menemani driver melek (sejak dari Medan saya duduk di sebelah driver), tiba-tiba ban Iikiri belakang mobil meletus. Mobil spontan limbung setelah terdengar suara keras berdentum, dan ada yang terasa 'mlesek' di sebelah kiri. Untungnya laju mobil sedang tidak terlalu kencang karena jalan yang berbelok-belok memang tidak memungkinkan. Saat itu wilayah Rimo baru saja kami tinggalkan dan hanya perlu sekitar sepuluh menit untuk mencapai Aceh Singkil.  Terpaksalah kami berhenti dulu. Driver membongkar ban dan menggantinya dengan ban cadangan. Tidak memerlukan waktu lama, hanya sekitar 15 menit dan mobil siap melaju lagi. 

Maka sampailah kami di sini. Di Hotel Bidadari. Saya tidak tahu apakah ini hotel terbaik di Aceh Singkil. Hotel yang sama sekali tidak terkesan hotel mewah, dengan lobi yang tidak jelas di mana tempat meja front office-nya, dengan sebuah meja makan dan dua kursi (kursi yang lain berada di teras bersisian dengan sofa kumal dan koyak), dan ketika kami datang hanya ditemui oleh seorang laki-laki yang berkaus dan bercelana pendek, yang hanya melihat-lihat saja kami menurunkan bagasi dari mobil, lantas menunjukkan di mana kamar-kamar kami. Sebuah kamar berukuran 5x5 meter, itu pun sudah termakan oleh sekotak kamar mandi,  dengan satu single bed yang cukup untuk tidur berdua, dan satu extra bed yang dihamparkan langsung di lantai. Sebuah televisi LG model lama berukuran 21 inchi di atas meja yang merangkap rak untuk meletakkan digital satellite receiver yang berdebu tebal dan sebuah sajadah. Tanpa meja, tanpa kaca, tanpa meja rias dan kaca cermin. Apalagi lemari dan mini refrigerator atau safe deposit box sebagaimana yang biasa kita lihat di hotel-hotel bagus, tentu tidak ada.

Saya mengenyahkan keinginan untuk segera membersihkan diri dan membaringkan tubuh di atas springbed yang melambai-lambai karena malam itu juga kami akan berkoordinasi dengan dinas pendidikan Kabupaten Aceh Singkil. Pak Dasir, kasi dikmen bagian kurikulum disdik, segera tiba menyambut kami. Begitu juga Yusuf, koordinator SM-3T Aceh Singkil (kami menyebutnya lurah) dan dua temannya, Fadil dan Nahdiyin, yang bertugas di Danau Paris, sudah berkumpul. Kami menggeser kursi di teras dan duduk melingkar. Saya sendiri duduk di sofa koyak itu. Malam ini kami akan konkritkan rute monev besok pagi. Setelah berunding agak lama, memperhitungkan waktu, keterjangkauan lapangan sasaran, kondisi medan, dan jarak tempuh dari satu titik ke titik lain, maka kami putuskan hari pertama besok kami fokuskan ke wilayah daratan. Hari kedua baru ke wilayah pulau. Itu pun kalau cuaca memungkinkan. Semoga. Kami mengakhiri meeting pada tengah malam lebih sedikit, yaitu pukul 24.12. Saya langsung masuk kamar, bergabung dengan bu Nanik dan bu Lusi yang sudah mandi dan bersiap tidur. 

Pagi ini, saya dibangunkan oleh suara hujan yang seolah ditumpahkan dari langit. Suara itu semalaman mengganggu tidur saya berkali-kali. Meski waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, di luar masih gelap. Saya bergegas mengambil air wudhu dan sholat shubuh, disusul bu Nanik. 

Begitu pagi mulai terang, kami baru tahu kalau hotel ini berdekatan dengan pantai. Air laut yang berkilauan tertangkap dari jendela kamar.  Begitu kami keluar dari kamar dan memeriksa sekitar hotel, ternyata pantai ada di depan hotel juga. Jadilah pagi ini kami manfaatkan waktu untuk berfoto-foto. Agak-agak narsis gitu. Hehe....

Bu Nanik, yang biasanya tidak berjilbab, pagi ini mengenakan jilbab. Cantik. Bu Lusi juga. Ketika sarapan pagi, dengan menu nasi gurih dan balado teri medan, di sebuah warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari hotel, saya geli melihat bu Lusi. Meski berjilbab, dia mengawali makan paginya dengan doa yang khas: atas nama Bapa di Surga dan Roh Kudus......    

Pagi ini kami memasuki ruang Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) pada pukul 09.10 menit. Lebih lambat satu jam lebih dari rencana kami. Ya, pukul 08.00 ternyata masih terlalu pagi untuk mengawali aktivitas di kantor-kantor. Maka setelah sarapan, kami masih sempat 'pusing-pusing' melihat speedboat yang besok pagi akan membawa kami ke Pulau Banyak, baru menuju ke kantor disdik. 

Kepala disdik, lelaki berpostur tinggi berkulit hitam, ramah menyambut kami. Dialah Yusfit Elmi, S.Pd., kepala disdik kabupaten Aceh Singkil. Kami diterima di ruangnya yang sederhana dan sejuk. Saya memperkenalkan empat teman tim monev yang lain, juga tiga peserta SM-3T yang bersama kami. Menyampaikan salam Rektor dan PR1, mengucapkan terimakasih untuk keterbukaan pemda dalam menerima para peserta, dan menyampaikan tujuan kami melakukan monev ini.

Menurut Kadisdik, masyarakat Aceh Singkil sangat heterogen.  Mereka berasal dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh dan Pakpak. Aceh Singkil sendiri merupakan daerah paling pangkal di Aceh, berbatasan dengan Tapanuli, Sumatera Utara. Juga merupakan kabupaten terluas di Aceh. Terdiri dari sebelas kecamatan: Pulau Banyak Barat (PBB), Pulau Banyak, Kuala Baru, Singkil, Singkil Utara, Gunung Meriah, Danau Paris, Singkohor, Kota Baharu, Simpang Kanan dan Suro. Ada 229  sekolah, yaitu: SMA: 11sekolah; SMK: 4 sekolah; SMP: 33 sekolah; SD: 102 sekolah; dan TK: 79 sekolah. Dari jumlah tersebut, 83 di antaranya adalah sekolah swasta (1 SMA, 1 SMK, 3 SMP dan 78 TK). 

Di antara sebelas kecamatan, enam di antaranya menjadi tempat tugas para peserta SM-3T, yaitu:  PBB, Pulau Banyak, Kota Baharu, Kuala Baru, Singkohor dan Danau Paris. Danau Paris merupakan daerah perbatasan dengan Tapanuli Tengah, masyarakatnya memeluk agama Islam dan Nasrani dengan perbandingan fifty-fifty. Pulau Banyak Barat merupakan daerah wisata, yang menonjol adalah wisata bahari khususnya menyelam (sambil menikmati terumbu karang dan mencari gurita) serta memancing (di sini disebut 'mengirik'). Pohon kelapa yang menghasilkan buah kelapa muda yang melimpah juga merupakan daya tarik tersendiri. Namun konon, bagi pendatang baru, disarankan untuk tidak langsung mengonsumsi kelapa muda. Katanya bisa mudah terjangkit malaria, atau bisa terkena 'tasapo' (disapa oleh makhluk ghaib penghuni pulau atau oleh hantu lawik/hantu laut). Wallahu a'lam.

Kami konvoi dengan dua mobil selepas dari kantor disdik. Satu mobil dengan driver pak Marlon, berisi pak Beni, bu Nanik dan bu Lusi. Satu mobil lagi, mobil dinas, dikendarai pak Fitra, staf disdik, dengan penumpangnya pak Dasir, pak Sulaiman, Yusuf, dan saya sendiri yang duduk di sebelah pak Fitra. 

Tujuan kami adalah SMP 2 di kecamatan Singkohor. Sekitar satu setengah jam perjalanan. Menempuh jalan yang lumayan mulus, meski ada beberapa bagian yang belum beraspal dan juga harus melintasi beberapa jembatan kayu yang nampaknya tidak terlalu aman. Jalan berkelok-kelok, naik turun, dan di sepanjang kanan-kiri jalan adalah hutan kelapa sawit yang rapat. Sesekali diselingi dengan pemandangan berupa bukit-bukit dan lembah-lembah nan hijau. PAD terbesar Aceh Singkil memang dari sawit dan ikan, juga sektor pariwisata. Tidak heran jika puluhan truk tangki yang mengangkut CPO (minyak mentah) adalah teman kami menempuh perjalanan tadi malam.  

Meski sudah menempuh perjalanan sejauh satu setengah jam, SMP 2 
ternyata tidak juga ketemu. Lebih dari sejam kami hanya putar-putar, bolak-balik, tanya sana-sini, dan nyaris tidak berhasil. Sampai akhirnya Fadil menelepon dan kami diminta balik arah, kembali ke SMA 2 Gunung Meriah, padahal tempat itu sudah kami lewati setengah jam yang lalu. Ketika saya tanya ke teman-teman dinas apa tidak pernah ke SMP 2, jawabnya itu bukan bagian mereka, tetapi bagian dikdas. Jawaban yang di telinga saya terdengar sangat aneh. Bagaimana tidak. Kami sedang melakukan monev, didampingi orang-orang disdik, tapi ternyata mereka juga belum tahu di mana tempat yang akan kami kunjungi itu. Kalau saya diminta untuk memberi rekomendasi untuk disdik, maka rekomendasi saya yang pertama adalah, disdik Aceh Singkil sebaiknya lebih sering turun ke lapangan supaya tahu di mana letak sekolah-sekolah yang ada di wilayahnya.

Setelah melalui jalan tak beraspal yang lumayan jauh, ketemulah SMP 2 Singkohor. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30-an. Sementara kami menikmati tari Ranup Lampuan yang dibawakan tujuh siswa putri, sebuah tari-tarian untuk menyambut tamu atau menyambut pengantin, peserta SM-3T yang menunggu kami di SMA 1 menghubungi kami dan menyampaikan kami sudah ditunggu dari pukul 11.00. Tapi hidangan makan siang, berupa lontong sate dan buah-buahan segar sudah disiapkan, tidak mungkin kami abaikan. Maka sekali lagi, kami disuguhi tari-tarian selama kami menikmati hidangan makan siang. Pengisian instrumen monev selesai, pengumpulan tulisan dan buku harian selesai, maka kami segera pamit untuk meluncur ke SMA 1 Singkohor.

Kami sampai di SMA 1 Singkohor pada pukul 14.30. Sekolah sudah sepi, tapi kepala sekolah dan para peserta SM-3T masih setia menunggu kami. Kami berdialog dalam waktu cukup lama di sebuah ruang yang dilengkapi dengan hidangan makan siang dan kue-kue. Siang itu banyak hal yang terungkap. Dialog interaktif antara para peserta, kasek SMA 1 Singkohor dan SMA 2 Singkohor, perwakilan dari disdik, dan tim monev SM-3T berjalan dengan sangat bermakna. Tak terasa dua jam sudah kami di situ. Sekitar pukul 16.30, kami mohon pamit. Masih ada tempat yang harus kami datangi, yaitu Danau Paris. Jaraknya dua jam dari Singkohor. Maka waktu yang kami perlukan untuk kembali ke hotel masih empat jam. Tubuh yang mulai lelah tidak terlalu kami hiraukan karena mengunjungi anak-anak kami di Danau Paris adalah hutang yang harus kami tuntaskan. Meski tidak bisa bertemu mereka di sekolah karena waktunya jelas tidak memungkinkan, setidaknya kami bisa mengunjungi tempat tinggal mereka, berbincang dengan mereka tentang berbagai persoalan yang mereka temui di lapangan dan mendengar harapan-harapan mereka. 

Sepanjang perjalanan sejak pagi tadi, tidak seperti di Sumba Timur dan Talaud, kami banyak menemukan perkampungan. Meski hutan-hutan sawit, bukit dan lembah sangat mendominasi, Aceh Singkil bukanlah tempat yang sangat tertinggal. Sekolah-sekolah juga relatif lebih maju dibanding dengan sekolah-sekolah di Sumba Timur. Kelas-kelasnya juga kelas-kelas yang tidak terlalu kecil, berkisar 20-40 siswa per kelas.  Jumlah guru PNS di sekolah-sekolah juga lebih banyak meskipun memang belum memadai, baik dari jumlah maupun mutu. Di SMA 1, contohnya, dengan delapan kelas pararel, jumlah guru PNS ada empat belas orang, dan guru honorer ada lima orang. Di antara guru-guru tersebut, tidak ada satu pun yang memiliki latar belakang pendidikan bidang sejarah dan geografi. Maka terjadilah, seperti yang diistilahkan oleh kepala sekolah, jeruk makan jeruk. Lulusan SMA mengajar SMA. Tidak ada rotan, akar pun jadi. Kepala sekolah sendiri, pak Syafri, adalah lulusan diploma. Menurut pak Dasir, memang ada sekitar 30 persen guru yang belum memenuhi kualifikasi S1/D4. 

Untuk masalah makanan, ketersediaan, aksesibilitas dan konsumsi masyarakat juga jauh lebih baik daripada di Sumba Timur. Setiap kita ke sekolah, selalu menemukan hidangan yang lumayan enak dan lengkap, dengan standar rasa dan penyajian yang tidak jauh berbeda dengan di Jawa. Memang ada yang agak sulit didapatkan, misalnya di Kuala Baru, yaitu tahu dan tempe. Kalau pun ada, bahan makanan ini harganya sangat mahal, bisa lima enam kali dengan harga di Surabaya. 

Tapi hari ini kami baru melihat keadaan di daerah daratan. Besok, bila segala sesuatunya memungkinkan, kami akan mengunjungi wilayah pulau, yaitu Pulau Banyak. Sesuai dengan namanya, mungkin akan lebih banyak yang kami bisa ceritakan.  

Aceh Singkil, 31 Januari 2013

Wassalam,
LN

Rabu, 30 Januari 2013

Aceh Singkil 1: Semangat!

Pagi masih gelap. Shubuh baru berlalu, tapi kami sudah berada di bandara Juanda. Pada pukul 06.00, sekitar satu jam lagi, kami akan terbang ke Jakarta. Transit sekitar 30 menit, melanjutkan perjalanan lagi ke Medan. Dari Medan, sejauh 8-9 jam, kami akan menempuh perjalanan darat menuju Aceh Singkil.

Di Aceh Singkil inilah 40 anak-anak kami, peserta SM-3T, ditugaskan. Ada 17 orang ditugaskan di daerah kepulauan (Pulau Banyak dan Banyak Barat), selebihnya di daerah daratan. 

Kami satu tim lima orang. Dr. Sulaiman (sekretaris SM-3T Unesa), Dr. Nanik Indahwati, Beni Setiawan, M.Si, Lucia TP, M.Pd, dan saya sendiri. Pak Beni yang termuda. Empat belas tahun di bawah saya. Meski begitu, dialah ketua rombongan tim monev ini. Ketangkasan dan kepribadiannya yang sangat baik membuat kami mempercayakan kepadanya urusan koordinasi dengan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Singkil serta para korcam. Juga memastikan semua uborampe monev beres: surat tugas tim, instrumen monev, SK penempatan peserta dan sebagainya, bahkan termasuk mengamankan tiket dan boarding pass untuk keperluan SPJ. Sementara bu Lucia, seperti biasanya, menangani urusan konsumsi dan akomodasi. Kecermatan dan ketelitiannya sangat cocok untuk pekerjaan itu.

Tim yang lain, sebanyak 9 orang, pukul 7.55 pagi ini juga, berangkat ke Sumba Timur. Ketua rombongannya adalah Drs. Suwarno Imam Syamsul, M.Pd. Dalam rombongan itu ada Dekan FIP, Drs. I Nyoman Sudarka, M.Si, selaku pimpinan Unesa, mewakili Rektor. Drs. Heru Siswanto, M.Si (mantan kepala humas Unesa) juga ada. Satu-satunya perempuan adalah Dra. Wiwik Sri Utami, M.Si, selain sebagai anggota panitia SM-3T juga sebagai anggota Pusat Penjaminan Mutu (PPM) Unesa.

Yang berbeda antara tim monev Aceh Singkil dan Sumba Timur adalah bagasinya. Bagasi tim monev Sumba Timur biasa-biasa saja. Sedangkan tim Aceh Singkil, selain ransel-ransel dan dos berisi berkas-berkas sebagaimana yang dibawa oleh tim Sumba Timur, kami juga bawa pelampung. Masing-masing membawa satu. Warnanya oranye menyala. Pelampung yang kami bawa menandakan kami siap untuk turun ke daerah pulau. Tentu saja bila cuaca memungkinkan. Kami sempat bercanda tentang pelampung. Kalau tidak berhasil menyeberang ke pulau, kami akan gunakan pelampung itu untuk 'ciblon' di Danau Toba. Kami juga meledek diri sendiri, seperti tidak percaya sama Sriwijaya Air saja, masa pelampung bawa sendiri....
 
Sriwijaya Air, pesawat yang kami tumpangi, mendarat di Polonia, tepat pukul 11.40. Cuaca cerah dan hawa panas langsung terasa menerpa wajah kami yang selama tiga jam tadi kedinginan di dalam pesawat (sekitar satu jam dari Surabaya-Jakarta, dan dua jam dari Jakarta-Medan). Bagi saya, ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Medan. Kunjungan saya yang pertama adalah pada 2009 yang lalu. Saat itu saya diundang Unimed untuk menjadi tenaga TA (Technical Assistance) pada kegiatan pengembangan perangkat assesmen di Jurusan PKK FT Unimed. Selama seminggu saya di sana. Sehari menjelang kepulangan saya ke Surabaya, saya dijamu mengunjungi Danau Toba dan menyeberang ke Pulau Samosir.

Saat ini, saya sedang napak tilas perjalanan saya sekitar tiga tahun yang lalu. Mobil Innova sewaan yang dikendarai pak Marlon, driver kami, melaju di atas jalanan yang naik-turun berbelok-belok begitu lepas dari kota Medan. Panas terik tadi ternyata hanya sebentar saja. Udara dingin dan jalan yang dipenuhi kabut menemani perjalanan kami.

Medan, Pancur Batu, Sibolangit, kami tempuh dengan lancar. Kami terus melaju. Sampai di Bandarbaru kami berhenti untuk beristirahat sebentar di sebuah tempat makan,  sekalian memberi kesempatan pak Marlon untuk merokok. Sambil menikmati jagung bakar dan bandrek. Ada juga wajik dan pecal. Yang terakhir ini di Jawa disebut pecel. Sayur-sayuran yang direbus, dimakan dengan sambal kacang. Rasa daun jeruk purutnya sangat tajam, sedap dan segar. Suasana terasa seperti di kawasan Puncak atau Payung di Batu. Di ketinggian, dingin, berkabut.

Mobil lantas mengarah ke arah Berastagi. Tapi sampai Tahura,  kami mengambil arah ke kiri, potong kompas, menghindari macet di Berastadi. Jalan sempit, pas untuk dua mobil berpapasan. Sama seperti tadi, berbelok-belok dan naik turun. Tahura adalah daerah yang subur, sepanjang kanan-kiri jalan penuh dengan pepohonan, bunga-bunga, sayur mayur, kebun jagung, jeruk, stroberi. Andai tidak mengingat waktu yng semakin sore dan tubuh yang mulai lelah, rasanya ingin mampir ke wisata agro stroberi dan jeruk barang sebentar.

Ketika mencapai Tiga Panah, suasana semakin menyenangkan. Tidak hanya jeruk dan stroberi yang berlimpah, tapi juga manggis, terong belanda, salak, pepino, dan....yang juga sangat khas, adalah mangga mini. Ya, saya menamainya mangga mini, karena mangga itu kecil-kecil. Orang setempat menamainya mangga golek. Sama sekali tidak seperti mangga golek yang kita kenal di Jawa. Mangga yang ini ukurannya tidak sampai sekepalan tangan anak-anak, padat, warnanya kuning-kuning mengundang selera. Aromanya mirip mangga podang di Jawa. Cara makannya pun mirip. Mangga setelah dicuci, diremas-remas, ditekan-tekan, sampai 'gembur'. Setelah itu buat satu gigitan kecil di ujungnya, dan hisap-hisaplah airnya. Jus alami. Tidak pakai juicer. Tanpa gula. Segar asli.

Sebagian besar wilayah yang kami masuki adalah wilayah yang mayoritas penduduknya memeluk Kristen Protestan. Banyak gereja, banyak makam yang dipenuhi salib-salib, banyak anjing dan babi. Beberapa kali melewati orang yang lagi menyelenggarakan pesta pernikahan, juga kematian. 

Tiga Panah kami tinggalkan. Sebentar lagi kami akan mencapai Merek. Sekitar satu setengah jam lagi mencapai Sidikalang dan Pakpak Barat. Dari Pakpak Barat, satu setengah jam lagi kami tempuh untuk mencapai Subulusalam. Lanjut ke Rimo, yang membutuhkan waktu sekitar satu jam, dan sekitar satu jam juga kami baru akan mencapai Aceh Singkil. Artinya,  total perjalanan yang masih harus kami tempuh sejauh lima jam-an. Kalau sekarang pukul 17.00, maka kami akan mencapai Aceh Singkil pada sekitar pukul 22.00. Wow. Perjalanan sehari penuh. Semangat. 

Tanah Karo, 30 Januari 2012

Wassalam,
LN

Minggu, 27 Januari 2013

Gagal Pulang Kampung

Minggu pagi ini saya dan mas Ayik berencana mengunjungi ibu di kampung halaman, di desa Jenu, Tuban. Sebenarnya rencana itu sudah sejak kemarin sore, tetapi tidak jadi. Ketika saya ber-sms dengan ibu kemarin pagi, ternyata beliau malah sedang di perjalanan menuju Surabaya, mengikuti rombongan ziarah wali se-Jawa Timur. Maka kami putuskan untuk besok paginya saja, yaitu hari ini, untuk berangkat ke Tuban.

Saya memasak dengan cepat untuk Arga yang sudah 'sambat' lapar. Tempe goreng, ayam bacem, dan pecel sayuran. Mas Ayik membersihkan mobil dan ngecek air aki. Selesai semua, saya mandi, bersiap-siap. Tiba-tiba seorang tetangga mengabarkan, ada tetangga kami yang meninggal. Kabar itu hampir bersamaan dengan kabar duka berpulangnya bapak Widodo, mantan PR 2 Unesa. Saya pun jadi ragu, jadi pulkam tidak ya? 

Saya menelepon ibu. Menanyakan kabarnya, jam berapa tadi malam beliau rawuh dari ziarah wali, sayah apa tidak, dan apa ada acara hari ini. Ternyata ibu ada acara pengajian, ba'da dhuhur. Ya sudah. Mungkin memang belum waktunya pulang kampung mengunjungi ibu. Kalau kami tetap berangkat pun, bisa jadi tidak bertemu ibu, karena ibu sendiri sedang padat acaranya. 

Jadilah kami gagal pulkam. Ada hikmahnya juga. Selain bisa memanfaatkan waktu untuk takziyah, kami juga bisa mengunjungi teman-teman, bersilaturahim. Maka beberapa teman berhasil kami datangi rumahnya hari ini. Ada dua teman SMP dan SMA saya, yang tinggalnya di jalan Gundih, dekat PGS (Pasar Grosir Surabaya), yang memang sejak lama ingin kami kunjungi. 

Sebelum silaturahim ke teman-teman, kami juga menyempatkan mampir di Kampoeng Ilmu di jalan Semarang. Saya berburu majalah Anita Cemerlang, yang di dalam majalah kumpulan cerpen itu ada tulisan Lutfi AZ. Beberapa waktu yang lalu saya menemukan empat buah, di Kampoeng Ilmu ini juga. Hanya empat buah. Padahal yang saya cari mungkin belasan atau bahkan puluhan. Saya memang telah bertindak ceroboh. Tidak mendokumentasikan majalah-majalah yang telah memuat tulisan-tulisan saya itu. Ada cerpen, ada laporan perjalanan dalam bentuk feature. Saat ini, setelah beberapa puluh tahun kemudian (saya menulis di Anita Cemerlang sejak 1982-1989), saya mencoba mengumpulkannya lagi. Selain dari Kampoeng Ilmu, beberapa saya peroleh dari kolektor di Yogya dan Banjarmasin. Dengan harga yang relatif mahal. Dua puluh ribuan per majalah. Padahal di Kampoeng Ilmu cuma lima ribuan. 

Saya dan mas Ayik juga melihat-lihat buku-buku yang lain. Buku-buku baru seperti Ainun dan Habibie, 5 cm, Chairul Tanjung si Anak Singkong, Sepatu Dahlan, Ganti Hati, dan puluhan buku baru yang lain. Buku baru apa pun. Juga buku-buku sastra keluaran Balai Pustaka: Di Bawah Lindungan Ka'bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layang Terkembang dan banyak lagi. Juga novel-novel terjemahan. Kalau mau melanggar undang-undang hak cipta, monggo, silahkan borong semua buku itu. Buku dengan kertas dan cetakan yang kualitasnya jauh di bawah buku aslinya. Juga, tentu saja, harganya. Ya, buku-buku tembakan.    

Selepas dari Kampoeng Ilmu dan silaturahim ke teman-teman, saya ber-BBM dengan adik kami, Rini. Rini adalah istri Dedi, adik bungsu mas Ayik. Dia bersama anak semata wayangnya, yang saat ini sudah berusia lima tahun, tinggal di rumahnya di perumahan Permata Gedangan, Sidoarjo. Dedi sendiri saat ini sedang bertugas di Laos. Ichiro dilahirkan sebagai anak berkebutuhan khusus, yakni down syndrom (DS) atau biasa disebut mongoloid. Meski DS, Ichiro tergolong anak yang cerdas, lincah dan lucu menyenangkan. Ichi berarti satu, ro adalah sebutan untuk anak laki-laki. Waktu Ichiro masih di dalam perut ibunya, Dedi saat itu sedang bertugas di Jepang. Senseinya, namanya Ichiro Yamaguchi, adalah sosok yang sangat dikagumi Dedi karena kebaikannya. Oleh sebab itu, atas seizin beliau, Dedi menggunakan nama Ichiro, nama depan senseinya, untuk anak laki-laki pertamanya. Sampai saat ini, setiap Ichiro berulang tahun, Ichiro Yamaguchi selalu mengirim message 'selamat ultah dari papa di Jepang'.

Kami mengajak Rini dan Ichiro berburu bandeng bakar di tempat pemancingan di desa Kalanganyar, Sedati. Awalnya Rini tidak mau karena dia sedang menggoreng kentang, bahan untuk membuat kering kentang. Dua minggu lagi Dedi cuti, minggu berikutnya kembali ke Laos. Kering kentang, kering tempe, balado ikan teri, menjadi bawaan wajib bagi Dedi kalau dia kembali ke Laos. Terbatasnya pilihan menu halal di tempatnya bekerja membuat Dedi memilih membawa sendiri lauk-pauk dari Tanah Air. 

Meski hari sudah menjelang sore, lewat pukul 15.00, tempat pemancingan bandeng masih ramai.  Tempat yang sepanjang kanan-kiri jalannya adalah tambak, umumnya tambak bandeng. Di sisi kanan, di situlah menghampar kolam pemacingan, tepatnya tambak pemancingan. Lengkap dengan tenda-tenda semi permanen tempat para pemancing menghabiskan waktunya. Di sepanjang kiri jalan, para tukang masak sedang membakar bandeng-bandeng pesanan para pemancing. Asap mengepul-ngepul menyebarkan aroma gurih bandeng bakar. Di sela-sela tukang bakar itu adalah para ibu yang sedang melakukan aktivitas mencabuti duri bandeng. Bandeng, sebagaimana yang kita ketahui, adalah jenis ikan yang duri lembutnya sangat banyak. Orang seringkali malas mengonsumsi bandeng yang sebenarnya rasanya sangat gurih itu karena malas berurusan dengan duri-durinya. Maka ibu-ibu yang menawarkan jasa cabut duri bandeng sangat membantu mengatasi persoalan tersebut. Seekor bandeng dihargai dua ribu rupiah untuk menghilangkan duri-durinya. Bebas dari duri. Mau dibakar, digoreng, dipepes, bandeng bisa dimakan dengan nikmat tanpa khawatir tertelan durinya yang lembut tapi jahat itu.

Tapi entah kenapa, mungkin karena kondisi habis hujan, tempat pemancingan itu terkesan becek di mana-mana, dan belum-belum sudah membuat selera makan kami hilang. Bau anyir dan kepulan asap dari pembakaran bandeng menghasilkan aroma yang mulek meski di alam terbuka. Kami batal makan di tempat itu, dan memilih keluar dari area pemancingan.

Kami lantas menuju ke TPI Banjarkemuning yang letaknya tidak jauh dari tempat pemancingan tersebut. Saya dan teman-teman jurusan PKK sering ke tempat ini. Membeli kepiting telur, dan memasakkan ke jasa pengolahan kepiting di warung yang ada di tempat itu juga, dengan masakan asam manis atau lada hitam. Bandeng, gurami, nila, kakap, cumi-cumi, udang, bahkan lobster juga tersedia, dan bisa diolah sesuai keinginan kita. Sore itu kami memesan dua bandeng bakar dan sekilo kepiting masak lada hitam untuk kami nikmati dengan nasi putih dan teh manis.

Senja mulai turun ketika kami keluar dari warung pasar ikan 'Pak Budi', nama warung tempat kami makan itu. Sekilo kepiting masak lada hitam saya tenteng menuju mobil. Jatah untuk Arga. Anak lanang kami itu sedang tidur di rumah, kecapekan setelah tadi malam manggung di Imperial Ballroom. Ichiro di gendongan mas Ayik, dan Rini membawa sebungkus nasi putih serta beberapa potong kepiting masak lada hitam, juga menuju mobil. Kami pulang dengan perut kenyang.

Meski gagal pulkam, hari ini kami dapat banyak. Silaturahim, buku-buku, bandeng bakar dan kepiting lada hitam. Insyaalah menjadi tambahan nutrisi bagi jasmani dan rohani kami. Amin.

Banjarkemuning, 27 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 24 Januari 2013

Omah Ndeso dan Silaturahim

Sebuah rumah kecil di desa Brotonegaran, kelurahan Brotonegaran, kecamatan Ponorogo. Luas tanah 7 x 15 meter persegi. Dua kamar, satu ruang tamu, satu kamar mandi, dan sebuah ruang dapur. Kecil mungil. Ada pohon-pohon jati di sekeliling rumah, dan sebuah sungai memanjang di belakang rumah. Kebun jagung menghampar di depan halamannya. Udara bersih dan sejuk.

Rumah itulah yang saat ini sedang kami kunjungi. Seorang saudara mengabarkan tentang rumah itu. Dia, namanya dik Ria, putrinya bulik, adik ibu mertua. Dia sendiri sudah punya rumah besar di Griya Mapan Brotonegaran. Rumah kecilnya itu hanya untuk investasi. Dia dengan ringan hati mempersilakan kami untuk mengambil alih rumah mungil itu kalau kami berminat. Tidak ambil untung. Harga persis sama dengan ketika dik Ria membelinya. Dia hanya ingin supaya keinginan kami untuk memiliki sebuah rumah singgah di Ponorogo bisa terwujud. Selama ini kalau kami ke Ponorogo, kami tinggal di rumah keprabon yang sekarang ditinggali bu Heni, bulik kami sekeluarga. Bu Heni inilah ibunya dik Ria.

Adik misan kami ini memang sangat bersahabat. Sangat 'nyedulur'. 'Ndilalah' gampang rezeki juga. Suaminya, dik Budi, bekerja di PLN. Saat ini mereka sekeluarga tinggal di Jambi, karena dik Budi tugasnya di PLN Provinsi Jambi. Rezeki mereka berlimpah sejak awal membangun rumah tangga. Saat ini sudah ada sepasang anak yang melengkapi kebahagiaan keluarga, dan saat ini juga, di perut dik Ria ada jabang bayi berusia empat bulan. Rumah tempat tinggal mereka yang besar di Ponorogo dikontrakkan, dan mereka menempati rumah dinas yang luas di Jambi. Dik Ria sendiri yang pada awalnya adalah karyawan BNI Syariah memilih resign dan bekerja di rumah supaya bisa menemani putra-putrinya. Senang sekali melihat kehidupan adik misan kami itu yang penuh dengan kebahagiaan dan kelimpahan rezeki. Alhamdulilah.

Oya, kembali ke rumah mungil itu. Tentu saja kami berminat dengan rumah itu. Begitu juga bapak dan ibu, yang memang bersama-sama kami datang ke Ponorogo ini dengan salah satu tujuan untuk ikut melihat rumah. Pak Anwar dan bu Heni, paklik dan bulik kami, juga bersama-sama kami. Jadi saat ini kami berenam. Mengitari rumah kecil itu, melihat sungai yang menghampar di belakang rumah, dan memetiki ciplukan liar yang lagi berbuah. Menyenangkan sekali.

Setelah puas memandangi rumah dan sekitarnya, kami semua memasuki mobil. Sekarang waktunya makan nasi pecel. Jam menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang tepat untuk sarapan pagi. Warung nasi pecel iwak kali di desa Sekayu menjadi pilihan. Hmm.....sego pecel Ponorogo memang top. Inilah salah satu makanan 'klangenan' kami setiap pulang kampung ke Ponorogo. Selain sate ayam, sate kambing, dan gule kambing. Tapi dua makanan terakhir ini sedang kami posisikan sebagai musuh bebuyutan. Dia sangat potensial untuk meningkatkan kandungan trigliserida, asam urat, dan kolesterol. Mending makan sego tahu, salah satu makanan lain yang juga menjadi klangenan kami.

Selesailah sudah prosesi makan sego pecel. Bapak, yang 'dahar' dengan tangan kirinya, menuntaskan isi piring tanpa tersisa sedikit pun. Ibu, pak Anwar dan bu Heni, juga tentu saja saya sendiri, sudah membereskan sepaket nasi pecel itu. Satu paket terdiri dari nasi pecel, dengan lauk ikan kali yang digoreng renyah berbalut tepung dan selembar rempeyek udang. Bahkan di luar paket itu, kami sudah menambahkan lento, tempe kepleh (mendoan) dan pia-pia (ote-ote). Mas Ayik bahkan sudah 'tandhuk'. Ya, meski dia sedang dalam program diet dan dalam pengawasan ketat seorang ahli gizi (maksudnya ya saya sendirilah ahli gizi itu....hehe), tapi demi melengkapi kebahagiaan momen ini, dia saya beri kelonggaran. Tapi minumnya tetap, teh tawar. Teh tanpa gula. 

Sekarang saatnya melakukan lawatan dari satu saudara ke saudara yang lain. Waktu yang hanya sehari ini akan kami manfaatkan untuk mengujungi bu Har, adik bapak yang juga sudah sepuh dan tinggal di rumah keprabon. Selanjutnya ke rumah dik Iyong, kakak dik Ria, yang baru 'mbangun' rumah. Juga ke saudara-saudara lain dan teman-teman masa kecil bapak. Kebetulan, beberapa teman masa kecil bapak adalah juga orang tua teman-temannya mas Ayik. Juga, yang terpenting, berziarah ke 'pesarean' mbah kakung dan mbah putri, bapak ibunya bapak. Seterjangkaunya. Pisto. Tipis-tipis sing penting roto. Hehe. Karena nanti sore kami sudah harus bertolak ke Surabaya. Besok, kembali beraktivitas. Kembali ke rutinitas.

Seperti kata sahabat-sahabat saya (M. Khoiri, Samsulhadi, Sirikit Syah, Suhartoko, dll), mari melakukan  silaturahim untuk menyeimbangkan hidup. 'Nuruti gawean gak onok entekke'. Karena silaturahim ini juga, mas Ayik yang kemarin sakit, tiba-tiba sehat. Dia mengemudikan sendiri mobil kami dan menolak membawa driver. Silaturahim memang memberikan kesehatan. Sehat lahir dan sehat batin. Insyaalah, barokah Maulid Nabi juga. Alhamdulilah.

Ponorogo, 24 Januari 2013
   
Wassalam,
LN

Senin, 21 Januari 2013

Disangka Asam Urat

Surabaya, 20 Januari 2013

Sore ini saya mengantar suami saya, mas Ayik, ke dokter Achmad, dokter langganan kami. Seminggu ini dia mengeluhkan lutut kirinya yang bengkak dan sakit. Sebenarnya seminggu yang lalu saya sudah membawanya ke dokter, dan mas Ayik sudah minum obat resep dari dokter untuk menyembuhkan asam uratnya. Selain itu juga minum air rebusan daun salam yang setiap sore saya sediakan (tapi yang merebuskan daun salamnya mbak Iyah, penjaga rumah kami. Terimakasih, mbak Iyah).

Dokter juga menyarankan supaya mas Ayik mengurangi aktivitasnya dan lebih banyak beristirahat. Nah, untuk nasehat yang terakhir ini, mas Ayik tidak bisa lakukan. Setiap pagi dia selalu sibuk di halaman, menyapu, membersihkan tanaman dari daun-daun yang menguning. Lantas bersiap berangkat kerja. Karena Terios yang dikemudikannya bukan mobil matic, maka kaki kirinya yang meskipun bengkak harus terus bekerja ngoper-ngoper kopling.  Apalagi ketika kami 'ketempatan' Kohiga Masaki, mahasiswa dari Aichi University of Education, Jepang, yang homestay di rumah. Pagi-pagi mas Ayik sudah mengajaknya bersepeda, muter-muter di Masjid Al-Akbar dan blusukan di pasar tradisional. Besoknya, karena Arga ada acara manggung, maka mas Ayik juga harus pegang setir lagi ketika mengantar Masaki mengunjungi situs-situs peninggalan Majapahit di Trowulan Mojokerto dan lanjut ke Taman Safari. Dia tidak bersedia saya gantikan. Jadi sehari itu mas Ayik mengemudikan mobil sejauh kira-kira 150 km, dengan kondisi jalan yang sesekali macet, dan dengan dengkul yang bengkak.

Tak ayal, sepulang dari travelling itu, sakit di lutut mas Ayik semakin parah. Saya merasakan panas sekali di lututnya ketika saya memegangnya. Tempo hari dokter bilang ada radang di bagian tersebut, indikatornya adalah suhu panas itu. Tapi dasar mas Ayik, dia cuma cengar-cengir saja ketika saya ingatkan tentang 'kendablegannya'. Makan durian, tape, bersepeda, dan mengemudikan mobil. Tapi wajahnya yang meringis menahan sakit benar-benar membuat saya iba dan harus memutuskan untuk 'bertangan besi'. Malam itu, pada saat farewell party di restoran Layar, dalam rangka penutupan Students Exchage Program dari Aichi University of Education, berbagai makanan yang membahayakan, saya sisihkan. Sup asparagus, kepiting goreng dan udang saus mayo, saya jauhkan dari jangkauannya. Mas Ayik harus cukup puas hanya dengan nasi putih dan ikan bakar. Dia tersenyum kecut melihat saya yang memelototinya tak peduli. Arga dan Masaki tertawa-tawa melihat tingkah saya dan wajah memelas mas Ayik.

Sore ini dokter memberi resep obat lagi yang harus diminum mas Ayik. Hanya untuk sehari, karena besok pagi mas Ayik harus periksa di lab. Mas Ayik juga mendapatkan surat keterangan sakit untuk keperluan izin tidak masuk kerja selama tiga hari. Malam nanti, mulai pukul 21.00, mas Ayik harus puasa. Besok pagi, sekitar pukul 07.00, mas Ayik harus saya bawa ke Lab Pramita untuk pemeriksaan panel profit lemak, asam urat, glukosa darah puasa, rhematoid factor dan genu sin AP/Lat. Pemeriksaan yang terakhir itu saya tidak tahu tentang apa. Saya akan tanyakan ke dokter kalau kami sudah dapatkan hasil pemeriksaan besok. 

***
Surabaya, 21 Januari 2013 

Pukul 07.00 kami sudah berada di ruang Lab Klinik Pramita. Ramah, bersih, wangi. Sejak dari halaman parkir, kami sudah merasakan aroma keramahtamahan. Dua petugas security memandu kami ketika parkir mobil. Begitu mobil parkir, satu orang dengan santun membuka pintu di bagian kanan, dan seorang lagi membuka pintu bagian kiri. Ketika melihat mas Ayik agak 'dengklang' jalannya, mereka menawarkan apakah perlu diambilkan kursi roda. Mas Ayik menolaknya dan memilih menggelayut di lengan saya sambil menyeret kaki kirinya memasuki ruang lab.

Begitu sampai di depan pintu lab, seseorang membukakan pintu untuk kami dan lengkap dengan senyumnya dia menawarkan: 'ada yang bisa kami bantu, ibu?' Saya mengangguk membalas senyumnya, dan dia mengambilkan lembaran antrian, kemudian menyilakan kami duduk menunggu panggilan.

Saya sudah beberapa kali memasuki Lab Klinik Pramita di jalan Adityawarman ini. Saya suka interiornya yang ramah, para petugasnya yang santun, lantainya yang bersih mengkilat tapi tidak licin, toiletnya yang wangi, dan musholanya yang nyaman. Saya suka cara mereka menata mukena-mukena, digantung dengan sangat rapi. Dengan begitu mukena yang basah terkena air wudhu bisa diangin-anginkan, menjaga mukena tetap bersih dan tidak apek. Di banyak masjid yang saya pernah datangi, mukenanya banyak yang kotor, kumal, apek, dan 'tayumen' ( banyak noda berupa titik-titik hitam, disebabkan jamur yang dihasilkan dari mukena yang dilipat dalam keadaan lembab). Entah kenapa, di banyak tempat ibadah, di mushola atau di masjid, kebersihan seolah tidak terlalu dipentingkan, baik di toilet, tempat wudhu, dan bahkan di tempat sholatnya. Entah kemana 'annadhofatu minal iman' itu ya? He he. Sedih juga menyadari betapa masih minimnya kesadaran dan budaya bersih dari sebagian besar saudara kita ini.

Mas Ayik sedang diambil darahnya oleh petugas lab.
Nama mas Ayik segera disebut tak berapa lama setelah saya lapor di loket dua. Saya membantu mas Ayik berdiri dari kursi, memapahnya memasuki ruang pemeriksaan darah. Darah mas Ayik disedot beberapa mili. Setelah selesai, kami dipersilakan menunggu lagi untuk foto rontgen. Hanya sekitar lima sepuluh menitan, nama Tuan Baskoro Adjie dipanggil. Maka saya pun membantu lagi mas Ayik berdiri dari kursinya, dan memapahkan memasuki ruang foto rontgen. Petugas menyilakan saya menunggu di luar ruangan supaya tidak terkena radiasi.

Proses pemeriksaan selesai. Tinggal menunggu hasilnya nanti pukul 16.00. Semoga semuanya baik-baik saja.

***

Hujan turun cukup deras. Mendung gelap menggayut di langit. Di bawah terpaan angin yang hembusannya membuat pepohonan bergoyang-goyang, saya mengemudikan mobil menuju Lab Klinik Pramita. Mas Ayik duduk manis di sebelah saya. Sesekali dia bilang 'awas....awas....' untuk memperingatkan saya supaya saya hati-hati pegang kemudi. Saya guyoni dia: 'gak usah awas-awas....wis eruh. Aku iki wis tahun-tahunan dadi supir....' Dia ngakak saja.

Tepat pukul 16.00, kami sudah berada di tempat parkir. Dua petugas dengan membawa payung menghampiri mobil kami. Masing-masing membukakan pintu untuk saya dan mas Ayik, dan membantu kami mencapai teras. Tak perlu menunggu lama, saya langsung dipersilakan untuk menuju ke petugas yang tempatnya paling ujung, dan segera menerima hasil pemeriksaan darah dan foto rontgen.

Usai dari Lab Klinik Pramita, kami langsung menuju tempat praktek Dokter Achmad. Dokter Achmad sudah seperti bagian dari keluarga kami. Sejak Arga bayi, beliau yang 'pegang'. Meski bukan dokter spesialis anak, beliau sepertinya tahu betul bagaimana menangani anak. Semua catatan kesehatan kami sekeluarga ada pada beliau. Bahkan termasuk catatan kesehatan bapak ibu mertua dan ibu saya sendiri. Rumah beliau dekat dengan rumah kami. Kalau ada salah satu anggota keluarga kami yang sakit, beliau tidak segan-segan mampir ke rumah sambil jalan-jalan pagi. Sekedar memastikan kondisi kami baik-baik saja atau perlu tindakan medis. Kalau dihitung-hitung, persahabatan kami dengan dokter Achmad sama dengan usia pernikahan kami. Hampir dua puluh tiga tahun. Bukan waktu yang singkat.

Dokter Achmad geleng-geleng kepala melihat hasil pemeriksaan darah mas Ayik. Terutama pada kandungan trigliserida, angkanya 353. Angka itu dua kali lipat lebih dari batas normal yang lebih kecil dari 150. Kategorinya termasuk tinggi. Sementara HDL cholesterolnya rendah, hanya 38, di bawah batas lebih kecil dari 40. Padahal HDL ini adalah kolesterol baik, yang menjaga kesehatan jantung. Syukurlah, menurut Dokter Achmad, cardio risk index (CRI)-nya masih aman, yaitu 2,6. Namun Dokter Achmad menegaskan bahwa angka yang tinggi pada Trigliserida merupakan peringatan bahwa kami harus hati-hati.

Selain itu, glukosa darah puasa mas Ayik juga di atas batas normal, yaitu 169. Didiagnosis diabetes mellitus bila sama dengan atau lebih besar dari 126. Peringatan kedua untuk kami supaya lebih berhati-hati.

Lantas apa yang terjadi dengan lutut mas Ayik yang sakit? Ternyata penyebabnya bukan asam urat. Hasil pemeriksaan menunjukkan asam urat normal, yaitu 5,3. Kolesterol juga juga normal, di bawah 200, atau tepatnya 185. Setelah Dokter Achmad mencermati hasil foto rontgen lutut kiri, yaitu pemeriksaan Genu Sin AP/Lat, ternyata ada kesan terdapat osteoarthrosis genu sinitra. Radang sendi. Rasa sakit itulah akibatnya.

Dokter menyarankan supaya mas Ayik mengutangi aktivitas yang membuat sendi lututnya tertekan. Olah raga yang high-impact dihindari. Begitu dokter mengatakan bahwa bersepeda adalah olahraga yang bagus dan cocok, mas Ayik menarik nafas lega. Tapi, kata dokter, cukup di jalan datar saja, jangan yang offroad, menanjak, menurun, supaya kerja sendi lutut tidak berat. Nah lho.... 

Dokter hanya memberikan obat untuk lutut mas Ayik. Viostin DS. Obat yang harus dikonsumsi dalam jangka lama, dengan dosis yang berangsur-angsur dikurangi. Untuk trigliserida dan diabetesnya, dokter mempercayakan pada saya untuk mengatur diet mas Ayik dengan relatif ketat. Saya senyum-senyum saja sambil menengok ke arah mas Ayik yang cengar-cengir. Dokter juga tergelak melihat tingkah kami. Beliau tahu kalau selama ini saya sudah berusaha mengatur diet mas Ayik, tapi dasar memang mas Ayik yang 'ndablek'. He he. Tapi kali ini dokter 'wanti-wanti' betul, kalau mas Ayik harus diet dan harus 'manut' sama saya. Nah kan....

Peringatan untuk kita semua untuk selalu jaga pola hidup termasuk pola makan, cukup olah raga dan cukup tidur, banyak makan sayur dan buah, juga banyak mengonsumsi air putih. Hindari makanan berlemak, makanan dan minuman yang manis, minuman bersoda, durian dan tape. Dan yang terpenting, selalu mengembangkan pikiran positif serta niimati hidup dengan penuh rasa syukur.

Wassalam,
LN

Jumat, 18 Januari 2013

Kohiga Masaki yang Suka Nasi Goreng

Akhirnya anak itu muncul. Turun dari mobil kampus, menenteng dua tas kecil, dan sebuah koper besar. Senyumnya mengembang begitu melihat sosok saya. "Selamat sore..." Ujarnya dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Sangat khas. Tubuh jangkungnya memaksa saya untuk menengadah saat membalas senyumnya. Anak muda yang tampan, dengan kacamata yang sangat serasi melekat di wajah bulatnya yang putih bersih.

Saya membawanya menuju mobil kecil saya yang sudah sejak sepuluh menit yang lalu saya parkir di halaman rektorat. Setelah memasukkan koper besarnya di bagasi mobil, dan dia duduk di sebelah saya yang siap mengemudi, kami melaju pelan ke arah pulang, sambil berbincang-bincang ringan, berbasa-basi. Saya tanyakan apa saja aktivitasnya hari ini, senangkah, capekkah, dan lain-lain. Dia menjawab dengan bahasa Inggrisnya yang terpatah-patah, dengan artikulasinya yang kadang tidak terlalu jelas di telinga saya. Tapi kami tetap bisa ngobrol gayeng. Tentang adik perempuannya, tentang ayahnya yang seorang banker, dan ibunya yang bukan wanita bekerja. Saya juga menceritakan tentang keluarga saya, tentang anak semata wayang saya yang kuliah di Seni Musik, dan suami saya yang mungkin sekarang sudah pulang kerja dan sedang menunggu kami di rumah.

"I want to eat nasi goreng". Tiba-tiba Masaki, begitu nama anak muda itu, nyeletuk. Saya spontan tertawa. "Nasi goreng? Ok, you'll get nasi goreng for your dinner". Tapi pikiran saya segera terbayang berbagai hidangan yang saat ini pasti sudah tertata di atas meja makan di rumah. Nasi putih, mie goreng, capjai, fuyunghai, sup sayur bakso ayam, dan perkedel. Tidak ada nasi goreng. Saya memang berencana memasak nasi goreng, tapi untuk sarapan pagi besok. Bukan untuk makan malam.

Sesampai di rumah, mas Ayik, Arga, Iyah dan Andra, menyambut kami. "Welcome, Masaki." Sambut mas Ayik pada Masaki. Seperti ketika bertemu saya tadi, Masaki mengucapkan selamat sore, dengan sikap tubuh setengah membungkuk. Dia memperkenalkan diri pada semua orang yang sedang menyambutnya itu. Senyumnya ramah dan sikapnya sangat sopan, namun nampak betapa periangnya dia.
 
Senja ini, kami mengobrol di teras, ditemani buah-buahan lokal seperti manggis, salak dan pisang. Juga rengginang lorjuk.  Juga teh manis. Di luar, hujan rintik-rintik, rapat. Udara sejuk. Tapi Masaki berkeringat. Dia katakan, di Jepang saat ini sedang winter, suhu bisa mencapai -5 derajat Celcius. Tapi dia nampak sangat menikmati suasana. Dia katakan, rumah kami sebagai a very beautiful home. Ya, tentu saja dia harus bilang begitu. Rumah ini akan menjadi rumahnya selama tiga hari ini, dan kami adalah host parents untuknya. Maka dia harus menyukai rumah kami, menyukai kami, dan memang, saya yakin semuanya menyenangkan bagi dia. Bukan hanya karena rumah kecil kami yang teduh, tapi lebih dari itu, adalah keramah tamahan dan ketulusan kami menerimanya sebagai anggota keluarga.

Malam ini Masaki mendapatkan yang diidam-idamkannya. Nasi goreng. Andra, mahasiswa saya yang juga anggota tim teknis di program SM-3T Unesa, dengan cepat menghidangkan nasi goreng itu setelah dia meluncur ke rumah makan Anda untuk mendapatkannya. Menyenangkan melihat Masaki menikmati semua yang kami hidangkan malam itu. Kata mas Ayik dan Andra, Masaki tak ada bedanya dengan Arga, anak kami. Sumego. Hehe....
   
Kohiga Masaki adalah salah satu dari tujuh mahasiswa peserta Students Exchange Program dari Aichi University of Education, Jepang. Mereka akan mempelajari banyak hal terkait dengan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia. Dari tujuh mahasiswa tersebut, dua di antaranya homestay di rumah pak Rektor, satu di rumah pak PR 3, satu di rumah pak PR 4, satu di rumah pak Roni (Kaprodi Pendidikan Bahasa Jepang), satu di rumah pak Martadi, dan satu di rumah kami. Mereka dari berbagai program studi, musik, sains, kesehatan, matematika dan sosial. Masaki sendiri adalah mahasiswa dari program studi sains. Saat ini dia, juga semua temannya, duduk di semester enam. 
Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang ngalor ngidul. Masaki membuka ipadnya dan menunjukkan kepada kami foto-foto tentang Jepang. Dia menceritakan tentang Tokyo Sky-Tree, pagoda dan candi-candi tempat ibadah mereka, serta tempat-tempat rekreasi yang menyenangkan.

Mas Ayik bersama Masaki berlatar belakang patung Budha.
Besok pagi, Masaki akan diantar Arga ke kampus Lidah. Bersama teman-temannya, mereka akan mengikuti workshop Writing Japanese Calligraphy, dan menghadiri diskusi dengan mahasiswa FIS Unesa tentang Earthquake Education. Kemarin mereka mengunjungi SD Lab Unesa, Lapindo, Batik Sidoarjo, SMP Al Falah dan menyaksikan pertunjukan musik dari mahasiswa FBS. Berbagai aktivitas lain masih menunggu sampai hari Minggu besok, sebelum mereka bertolak ke Bali serta kembali ke Jepang.

Tentu saja, di antara aktivitasnya yang padat itu, kami sebagai host parents-nya juga sudah menyiapkan berbagai acara. Kami pastikan, Masaki akan pulang ke Jepang dengan kesan yang sangat manis tentang Indonesia, tentang keindahan alamnya, tentang budayanya yang mengagumkan, tentang makanannya yang lezat, dan tentang orang-orangnya yang ramah dan menyenangkan.

Surabaya, 17 Januari 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 03 Januari 2013

Tentang Pelampung dan Kodikmar

Beberapa hari ini kami mencari sejumlah pelampung untuk kami kirimkan pada para peserta SM-3T yang bertugas di wilayah perairan. Ya, setelah jatuhnya dua korban meninggal dunia peserta SM-3T dari UPI, karena perahunya terbalik saat perjalanan pulang dari kegiatan di tempat lain di seberang laut tempat mereka
bertugas, kami begitu mengkhawatirkan para peserta yang bertugas di wilayah perairan. Dari sebanyak 178 peserta, ada 31 peserta yang bertugas di Maluku Barat Daya (MBD), sekitar 14 peserta di Aceh Singkil, dan 4 peserta di Pulau Selura, Sumba Timur, yang memerlukan pelampung. Untuk menuju ke desa terdekat
saja mereka harus menggunakan transportasi laut, untuk berbelanja, rapat ke kecamatan, atau mengambil beasiswa, mereka harus menyeberang laut menantang ombak. Bertaruh nyawa.

Maka kami putuskan untuk mengadakan sebanyak 70 buah pelampung. Yang kami perhitungkan tentu saja tidak hanya para peserta, namun juga para pemonev ketika nanti harus turun ke lokasi dan merambah wilayah perairan. Pelampung itu akan menjadi inventaris SM-3T Unesa, dan bukan menjadi hak milik para peserta.

Saya mencoba menghubungi seorang teman yang saya perkirakan paham masalah pelampung. Tidak perlu berlama-lama, sehari setelah saya menyampaikan maksud saya, teman saya itu datang dengan membawa contoh pelampung. Pelampung yang bagus, kuat dan tebal. Standar rafting. Ya, karena teman saya itu adalah
pengelola sebuah jasa wisata rafting, setidaknya dia punya saham di tempat wisata itu. Terjadilah negosiasi harga sampai akhirnya kami bersepakat. Harga per pelampung adalah Rp. 100.000,-. Saat itu, menurutnya, pelampung yang sudah ready ada 40 buah. Saya minta dia segera mengirimkannya ke sekretariat SM-3T di
Gedung Gema. Dia janjikan minggu depannya akan dikirim. Maka saat itu juga Andra dkk, tim teknis SM-3T, saya minta untuk menanyakan alamat pengiriman pelampung ke daerah tujuan Sumba Timur. Talaud, Aceh Singkil dan MBD. Kami pastikan pelampung bisa segera dikirim.

Tapi apa daya. Ketika perwakilan peserta SM-3T dari empat wilayah penugasan itu
telah memberikan alamat pengiriman pelampung, pelampung yang kami pesan tidak
kunjung datang. Teman saya bilang katanya stock 40 buah ternyata digunakan
sendiri oleh pengelola rafting, dan dijanjikan minggu depannya pesanan saya akan
dikirim. Minggu depan, dan minggu depannya lagi, ternyata pelampung tidak
kunjung datang. Saya mencoba menghubungi teman saya itu lewat ponselnya, tidak
diangkat. Beberapa lewat sms, tidak dibalas. Maka tanpa pikir panjang, saya
kirimkan pesan singkat, bahwa pemesanan pelampung sementara pending. Tentu saja
maksud saya batal. Tapi tidak enak juga mau bilang cancel. 'Musuh konco'. Tapi
terus-terang saya kecewa juga sih dengan cara dia melayani. 'Nggak
mrecayani...hehe.'

Sampai akhirnya saya bertemu dengan teman yang lain lagi, kebetulan juga
pengelola rafting, tapi beda tempat. Ya, memang banyak teman saya yang menjadi
pemilik dan atau pengelola rafting. Songa, Kasembon, Obech, dan lain-lain, eksis
berkat tangan-tangan dingin mereka.

Kembali ke urusan pelampung. Saya mencoba menjajagi kemungkinan untuk memesan
pelampung. Ternyata teman saya itu menyanggupi untuk memesankan sebanyak yang
kami perlukan. Pucuk dicinta ulam tiba. Namun ketika dia menyebutkan harga, saya
spontan bertanya 'gak oleh kurang tah?'. Harga Rp. 150.000,- terlalu mahal,
karena saya sudah cek pelampung yang ditunjukkannya sama persis kualitasnya
dengan pelampung yang telah saya lihat di teman saya yang pertama.

Entah kenapa, tiba-tiba mas Ayik, suami saya nyeletuk. 'Pesan ke marinir saja
lho', katanya. Marinir. Spontan saya ingat Kodikmar. Komando Pendidikan Marinir.
Sebuah kompleks di kawasan Gunungsari. Tempat para peserta SM-3T dikarantina
selama kegiatan prakondisi beberapa bulan yang lalu, menjelang pemberangkatan
ke tempat tugas masing-masing. Kawah candradimuka yang membentuk dengan cepat
kedisiplinan, ketahanan fisik dan mental, serta keteguhan hati para calon guru
pengabdi itu. Beberapa sosok berkelebat. Sosok-sosok yang tegap, tegas, namun
begitu peduli dan murah senyum. Betul. Sungguh citra marinir di mata saya
berubah drastis setelah saya mengenal para marinir di Kodikmar itu. Bukan sosok
yang angkuh dan 'kejam', sebagaimana kesan yang selama ini tersimpan di benak
saya. Ya. Setelah sekitar dua minggu berinteraksi dengan relatif intens dalam
rangka berbagi tugas untuk pembekalan para peserta SM-3T, marinir di mata kami
adalah manusia-manusia yang disiplin, tegas, sekaligus ramah namun penuh hormat.

Salah satu sosok yang baik hati itu adalah Kapten Marinir Ebri Badra. Maka tanpa
pikir panjang, saya sms beliau. Mengucapkan selamat tahun baru dan doa untuk
kesehatan dan kesuksesannya. Juga, tentu saja, menanyakan tentang pelampung. Pak
Badra langsung membalas sms saya, mengucap selamat tahun baru juga dengan doa
yang sama juga. "Mengenai pelampung, nanti saya telusuri, bu. Yang dibutuhkan
berapa buah?" Tanyanya.

Oleh karena pada saat itu masih dalam liburan natal dan tahun baru, sekitar dua
hari kemudian saya baru menerima kabar dari pak Badra. Beliau menyebutkan sebuah
harga pelampung yang jauh lebih murah dari harga yang telah saya dapatkan dari
teman-teman saya sebelumnya. Pak Badra juga mengirimkan foto pelampung. Beliau
pastikan, pelampung tersebut bagus kualitasnya dan sangat memadai untuk
kebutuhan para peserta SM-3T. Bila hari ini kita pesan, maka dua hari lagi
pelampung sudah akan dikirim ke Kodikmar, dan nanti Kodikmar yang akan
mengirimkannya ke Unesa.

Tak ayal saya pun langsung mengucap terimakasih pada pak Badra. Untuk perhatian
dan bantuannya. Ketika saya menyatakan permohonan maaf karena telah
merepotkannya, beliau cepat memotong kalimat saya, bahwa saya sama sekali tidak
merepotkan, karena 'kita kan satu tim, bu...' Katanya. "Saya hanya terbayang
perjuangan adik-adik kita di luar sana, bu. Mudah-mudahan mereka diberi
kekuatan oleh Allah SWT... Saya bandingkan, ketika kami bertugas di pulau
terluar, kami dibekali senjata. Namun adik-adik itu hanya berbekal ketulusan
hati saja untuk mengajar."

Terimakasih, pak Badra. Terimakasih, Kodikmar. Semoga Allah SWT senantiasa
memberikan perlindungan dan kekuatan pada kita semua dalam menjalankan tugas
sebaik-baiknya. Demi mencerdaskan anak bangsa. Demi menjaga keutuhan NKRI. Amin.

Surabaya, 3 Januari 2013

Wassalam,
LN