Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 05 April 2013

PROFIL ALUMNI WANITA PROGRAM STUDI TATA BOGA JURUSAN PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


Luthfiyah Nurlaela, Niken Purwidiani, dan Choirul Anna Nur Afifah
           
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1) mengetahui persentase alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain); 2) mengetahui pada level apa saja jabatan alumni wanita yang bekerja; dan 3) mendeskripsikan kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Penelitian ini merupakan studi penelusuran, dilakukan melalui pendekatan tinjau balik (retrospective approach). Subjek penelitian adalah seluruh alumni tahun tamat 1987 sampai dengan tahun tamat 2007 (640 orang). Responden penelitian diperoleh sebanyak 135 orang (by mail). Teknik pengumpulan data dengan angket dan dokumentasi; dan teknik analisis data dengan analisis deskriptif. Hasil yang diperoleh adalah: 1) alumni  wanita Program Tata Boga yang bekerja di bidang pendidian sebanyak 81,5%, Sedangkan yang bekerja pada bidang non kependidikan sebanyak 18,5%; 2) level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan  adalah sebagai  guru, wakil kepala sekolah, dosen, administrasi/staf TU, intruktur dan guru privat, dan level jabatan di bidang non kependidikan adalah sebagai cook helper, cook, juru/staf, supervisor, dan lain-lain; 3) kendala-kendala yang dihadapai alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah masalah biaya; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan; Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar); Keluarga (Anak masih kecil); tidak ada minat; jarak tempuh; ketersediaan program studi lanjut yang relevan; Bahasa Inggris; karena hanya lulusan D3; dan karena banyak saingan.

Abstract: The purpose of the research are: (1) to know the percentage of women alumni that work in educational and no educational field (foodservice, entrepreneur, etc); (2) to know in what level they work; and (3) to describe constraints that be paced by the women alumni for achieving the higher career. The research is tracer study which done through retrospective approach. The research subject is all alumni that graduated in 1987 to 2007 (640 alumni). The research responden is 135 women (by mail). The data is collected by questionaire and documentation. The data analysis is using descriptive.  The research results are: (1) the women alumni of Food Program that work in educational field are 81,5%, and in non educational field are 18,5%; (2) the work level of alumni that work in educational field are as teacher, vice of headmaster, lecture, administration staff, instructor, and private teacher; moreover, the work level of alumni that work in non educational field are as cook helper, cook, staff, supervisor; (3) the constraints that be paced by women alumni for achieving higher career are because of: the cost; limited skill, knowledge and insight; limited time (difficult to leave teaching job); family (have a little kid); no interest; distance; the availability of relevant advanced education; English; Diploma 3 graduate; and because there are too many competitors.


      Pendahuluan
Program Studi Tata Boga jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah salah satu program studi yang ada di lingkungan Universitas Negeri Surabaya (UNESA). UNESA merupakan salah satu perguruan tinggi (dulu: IKIP) yang telah berkonversi berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 03 tahun 1999. Sedangkan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), berdasarkan SK Menteri P dan K Republik Indonesia nomer 0211/V/1982 menyelenggarakan program kependidikan jenjang S1 PKK, mulai tahun 1984.  Pada saat ini Jurusan PKK memiliki 3 Program Studi (Prodi), yakni Prodi S-1 PKK, Prodi D-3 Teknik Industri Boga, dan Prodi D-3  Teknik Industri Busana. Prodi S1 PKK membawahi Prodi Pendidikan Tata Boga dan Pendidikan Tata Busana.
            Penelitian tentang penelusuran alumni PKK FPTK IKIP Surabaya (sebelum berubah menjadi UNESA), telah dilakukan oleh Winarni,  dkk (1999) dan Ponidjo (2001). Penelitian Winarni, dkk (1999) yang mendeteksi jumlah pengangguran tamatan PKK-FPTK IKIP Surabaya tahun tamat 1994-1996 menunjukkan bahwa tamatan jurusan PKK FPTK IKIP Surabaya cukup berhasil dalam memasuki dunia kerja. Sebanyak 87,83% tamatan telah bekerja dan hanya 12,7% yang tidak bekerja. Sebagian besar tamatan bekerja sebagai guru (77,78%) dan sebagian lainnya di bidang jasa boga dan busana. Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Ponidjo (2001) yang melakukan penelusuran alumni lulusan tahun 1997-1999, sebanyak 89% tamatan jurusan PKK sudah bekerja, dan sebanyak 10,53% belum bekerja. Sebagian besar lulusan bekerja di bidang pendidikan (63,16%), dan sebagian lainnya bekerja di bidang jasa boga dan busana.
       Meskipun dari hasil penelitian telah diketahui bidang kerja alumni, tetapi pada level apa mereka berada di bidang-bidang kerja tersebut belum terlacak. Selain itu juga belum diketahui bagaimana profil alumni wanita, yang merupakan mayoritas dari lulusan PKK. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pada bidang pekerjaaan usaha jasa boga  (foodservice) seperti pada hotel dan restoran, jabatan pada level atas pada umumnya dipegang oleh pria, baik pada food product maupun food service. Wanita yang bekerja pada bidang ini pada umumnya paling tinggi berada pada tingkat menengah, setingkat supervisor.  Meskipun lulusan Tata Boga baik pria maupun wanita sama-sama memulai jenjang karir dari level sebagai cook III atau bahkan cookhelper, namun pada pria, jenjang karir mereka bisa mencapai tingkat yang tinggi, yaitu executive chef. Sebaliknya pada wanita, pada umunya jenjang karir mereka berhenti pada tingkat cook I, sangat jarang yang mencapai tingkat supervisor. Bila mereka berhasil menduduki jabatan pada tingkat supervisor, umumnya tidak pada bagian food product, tapi pada food service.
       Selain pada bidang usaha boga, profil alumni wanita pada bidang kependidikan juga belum diketahui secara lebih mendalam, khususnya pada level apa mereka berada. Oleh karena kebanyakan lulusan Tata Boga yang terjun di bidang kependidikan bekerja di SMK (Sekolah Menengah  Kejuruan) kelompok Pariwisata, yang mayoritas guru serta siswanya adalah juga wanita, maka mereka sangat berpeluang untuk menduduki jabatan yang tinggi seperti kepala sekolah atau wakil kepala sekolah. Meskipun kenyataan di lapangan menunjukkan, tidak jarang posisi kepala sekolah atau wakil kepala sekolah di SMK Pariwisata diduduki oleh kaum pria, yang bukan dari jurusan PKK.
       Kenyataan di atas menunjukkan adanya kemungkinan terjadinya bias gender dalam penyediaan peluang kerja bagi alumni wanita Prodi Tata Boga khususnya, dan alumni jurusan PKK pada umumnya. Faktor-faktor yang menyebabkan adanya bias tersebut akan dapat diketahui melalui penelitian ini, dengan menggali kendala-kendala yang dihadapi para alumni untuk mencapai jenjang karir lebih tinggi.
       Tujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya bias gender sebagaimana disebutkan hanya merupakan salah satu tujuan penelitian. Tujuan yang utama adalah untuk mengetahui bagaimana profil sesungguhnya dari para alumni wanita prodi Tata Boga tersebut, meliputi persentase mereka yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dsb), pada level apa, serta kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka masalah umum yang perlu dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana profil alumni Prodi Tata Boga UNESA, khususnya alumni wanita. Secara lebih rinci, masalah-masalah tersebut meliputi: (1) Bagaimana persentase alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), (2) Pada level apa saja jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), dan (3) Apa kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi.
Jurusan PKK, khususnya Prodi Tata Boga, selain harus tetap meningkatkan kualitas untuk menghasilkan guru SMK yang profesional, juga harus berorientasi pada disiplin bidang kerja yang lain, salah satunya bidang industri. Hal tersebut relevan dengan konsep “keterkaitan dan kesepadanan” (link and match) yang menekankan bahwa sistem pendidikan hendaknya dapat menghasilkan lulusan yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dunia kerja (Trisno, 1995). Keterkaitan dan kesepadanan pada sistem pendidikan  adalah sangat penting, agar mampu menghasilkan lulusan yang dapat berperan aktif dalam pelaksanaan  pembangunan. Beberapa alasan yang mendukung urgensi program tersebut antara lain semakin besarnya tuntutan tenaga kerja yang berkualitas, semakin banyaknya kebutuhan tenaga kerja pembangunan yang menghendaki persyaratan keahlian tertentu, dan semakin tingginya minat lulusan yang ingin menciptakan lapangan kerja baru (Soekartawi, 1994).
Di sisi lain, jumlah pengangguran sarjana dari tahun ke tahun jumlahnya semakin membengkak. Anthony Dio Martin (dalam Moedjiarto, 1997) mengemukakan lulusan pendidikan di Indonesia dari berbagai tingkatan yang menganggur, baik dari segi persentase maupun angka absolutnya, sudah pada tingkat yang makin mengkhawatirkan. bertambahnya jumlah lapangan kerja masih belum dapat mengimbangi laju pengangguran yang lebih pesat.
Keberhasilan suatu program pendidikan dapat diukur melalui efektivitas program yang dilaksanakan. Efektivitas program merupakan salah satu sasaran utama evaluasi program (Abramson, 1979; Winarni, 1999). Mengkaji efektivitas suatu program berarti meneliti seberapa jauh tujuan program tersebut dapat tercapai. Efektivitas suatu program pendidikan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: efektivitas internal dan efektivitas eksternal. Efektivitas internal menelaah apakah proses pendidikan telah berjalan sesuai dengan yang direncanakan, mulai dari proses seleksi masukan mentah sampai pada proses belajar mengajar yang terjadi. Sedangkan efektivitas eksternal menelaah seberapa jauh kesesuaian tamatan program pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Melakukan evaluasi efektivitas eksternal suatu program pendidikan berarti menggunakan pendekatan produk (lulusan/tamatan) sebagai pedoman dasar evaluasi, dengan asumsi bahwa segala upaya yang dilakukan suatu program pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada lulusan (Campbell dan Penzano, 1985; Winarni, 1999).
Efektivitas program pendidikan pada Prodi Tata Boga dapat dilakukan melalui pendekatan hasil (lulusan) dengan cara studi penelusuran. Studi penelusuran mempunyai tujuan untuk mengetahui mobilitas lulusan, kepuasan lulusan terhadap pekerjaanya, dan untuk mengetahui tingkat kesiapan lulusan dalam mengembangkan karirnya. Slamet PH (1993) menyatakan bahwa studi penelusuran bertujuan untuk mengetahui sejarah karir lulusan, status karir/pekerjaan sekarang, dan penilaian lulusan terhadap program pendidikan atas dasar pengalaman kerja mereka. Lebih lengkap Slamet, PH (1993) mengemukakan tujuan studi penelusuran, yaitu: (1) menentukan jumlah dan jenis pekerjaan yang dimasuki oleh lulusan, (2) Mempelajari sejauh mana tamatan telah menerapkan pendidikannya di lapangan, (3) Menemukan sejauh mana mobilitas tamatan dalam pekerjaan, (4) Mendapatkan informasi dari tamatan tentang manfaat program dikaitkan dengan pekerjaannya, (5) Menemukan sejauh mana tamatan berkeinginan untuk  melanjutkan pendidikannya.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa  studi-studi tentang pelacakan lulusan yang  dilakukan telah cukup lama. Selain itu, pada umumnya hasil penelitian hanya mengacu pada persentase lulusan yang bekerja dan yang belum bekerja. Namun pada level apa mereka berada pada pekerjaan tersebut, belum terdeteksi. Dan sebagai prodi yang mayoritas mahasiswanya adalah wanita (lebih dari 90%), pengungkapan tentang profil alumni tata boga selain terkait dengan hal-hal di atas, juga terkait dengan bagaimana peluang pekerjaan bagi mereka dalam bidang-bidang yang ditekuninya, termasuk kendala-kendala yang mereka hadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. 

      Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi penelusuran, yang mencoba untuk mengungkap profil alumni wanita Prodi Tata Boga UNESA. Profil yang dimaksud adalah persentase alumni yang bekerja pada bidang pendidikan dan non kependidikan, level jabatan mereka di tempat kerja, dan kendala-kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sesuai dengan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini adalah penelitian deskriptif.
Studi penelusuran dapat dilakukan melalui tiga pendekatan (Psacharopoulus dan Hinchiliffe, 1983; Winarni, 1999) yaitu: (1) pendekatan tinjau lanjut (follow-up approach), (2) pendekatan tinjau balik (retrospective approach), dan (3) pendekatan lokasi (establishment surveys). Pendekatan tindak lanjut dilakukan dengan cara mengikuti lulusan sejak menyelesaikan pendidikannya sampai dengan tenggang waktu tertentu. Pendekatan ini memerlukan waktu lama, namun data yang diperoleh bersifat komprehensif. Sedangkan pendekatan tinjau balik pada dasarnya juga bertolak dari lulusan periode tertentu. Perbedaan pokok dengan pendekatan tindak lanjut adalah tidak mengikuti lulusan sejak menyelesaikan pendidikannya, tetapi meneliti status lulusan setelah selang waktu tertentu, misalnya setelah dua tahun mereka tamat dari pendidikan. Dengan cara ini waktu penelitian dapat diperpendek yaitu dalam rentang waktu yang cukup untuk mengumpulkan data.
Selanjutnya pendekatan lokasi bertolak dari lokasi tertentu, misalnya pabrik atau kawasan industri, karyawan di lokasi tersebut ditetapkan sebagai populasi dan baru setelah itu dilacak latar belakang pendidikannya. Keuntungan pendekatan lokasi adalah proses pengumpulan data relatif mudah dan data yang berkaitan dengan dengan pekerjaan relatif homogen. Kekurangan pendekatan ini adalah tidak dapat mewakili lembaga pendiikan asal karyawan, karena tidak mewakili karakteristik karyawan.
     Oleh karena waktu penelitian yang terbatas, maka pada penelitian ini digunakan pendekatan tinjau balik, dengan pertimbangan jangka waktu penelitian relatif tidak lama, penelitian bertolak dari institusi, serta dapat memperoleh sampel secara acak.
Studi penelusuran ini dilakukan terhadap lulusan Prodi Tata Boga UNESA (termasuk Prodi Tata Boga IKIP Surabaya sebelum menjadi UNESA), dengan lokasi penelitian di kampus UNESA, khususnya di Prodi Tata Boga, instansi atau lembaga baik pemerintah maupun swasta atau perorangan yang menjadi tempat bekerja alumni Prodi Tata Boga UNESA di Jawa Timur.
Subjek penelitian adalah seluruh alumni tahun tamat 1987 sampai dengan tahun tamat 2007, dan pimpinan industri di bidang jasa boga dan sekolah atau instansi terkait (Diknas) yang ada di Surabaya. Berdasarkan data dari BAAK UNESA, alumni Prodi Tata Boga dalam kurun waktu 1986-2004 adalah 640.  Selanjutnya dari hasil pengiriman instrumen angket by mail diketahui jumlah angket yang kembali sebanyak 135 lembar, sehingga jumlah responden penelitian sebanyak 135 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan angket dan dokumentasi. Angket digunakan untuk mengungkap data mengenai profil lulusan meliputi bidang pekerjaan mereka, level jabatan di mana mereka berada, dan kendala-kendala yang dihadapi untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Selain itu angket juga digunakan untuk menggali data dari tempat alumni bekerja, yang ditujukan bagi pimpinan perusahaan atau sekolah dan instansi terkait (Diknas), guna  memperoleh informasi tentang kendala-kendala yang dihadapai alumni wanita untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mencari data tentang nama dan alamat lulusan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase dan teknik analisis kualitatif. Teknik analisis data dengan persentase digunakan untuk menjawab permasalahan yang pertama, yaitu persentase alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan. Sedangkan permasalahan kedua dan ketiga dianalisis secara kualitatif, meskipun  tidak menutup kemungkinan untuk analisis data level jabatan alumni di tempat kerja dapat disajikan dalam persentase.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
A.          Deskripsi Riwayat Pekerjaan Alumni
            Data Riwayat pekerjaan alumni menggambarkan persentase alumni yang bekerja pada bidang pendidikan/pelatihan dan bidang nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), yang dapat dicermati pada Tabel 1.

Tabel 1.  Deskripsi Data Alumni yang Bekerja pada Bidang Pendidikan dan Bidang Nonkependidikan

Bidang Pekerjaan

D3
S1
Total
f
%
f
%
f
%
Pendidikan/ Pelatihan
Dosen
0
0,0
8
100
8
5,9
Guru
13
13,3
85
86,7
98
72,6
Instruktur Kursus
2
50,0
2
50,0
4
2,9
Jumlah

15
15,8
95
86,4
110
81,5
Nonkependidikan
Restoran/Hotel
2
66,7
1
33,3
3
2,2
Bakery/pastry Shop
6
100
0
0,0
6
4,4
Catering/Jasa Boga
1
100
0
0,0
1
0,7
Wirausaha
2
25,0
6
75,0
8
5,9
Lainnya (wartawan, reporter, administrasi, dll)
3
42,9
4
57,1
7
5,2
Jumlah

14
56,0
11
44,0
25
18,5
Jumlah Keseluruhan
29
21,5
106
78,5
135
100


Berdasarkan data diatas diketahui persentase alumni yang bekerja di bidang pendidikan/pelatihan lebih banyak (81,5%) daripada bidang nonkependidikan (18,5%) baik pada program studi S1 maupun D3, dengan jenjang pendidikan bidang pekerjaan yang bervariasi mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tingginya persentase alumni khususnya pada program studi D3 yang bekerja di bidang pendidikan/pelatihan disebabkan karena alumni program studi D3 yang lulus pada tahun 1987 hingga 1989 memang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik di SMK sehingga secara otomatis para alumni tersebut ditempatkan/bekerja di bidang pendidikan. Sedangkan program studi D3 tata boga (nonkependidikan atau murni) baru dibuka tahun 1999 dan menghasilkan lulusan pertama tahun 2002 sehingga dari alumni program D3 tata boga tersebut banyak yang berkerja pada industri jasa boga (restoran, hotel, bakery shop dan PJTKI).
Wirausaha merupakan jenis pekerjaan nonkependidikan yang paling banyak ditekuni oleh alumni wanita program studi tata boga. Pemilihan jenis pekerjaan ini terkait dengan kecenderungan dari industri jasa boga (restoran, hotel atau bakery shop) yang lebih memilih pekerja pria dibandingkan wanita serta peran alumni wanita selanjutnya sebagai istri yang bertanggungjawab dengan tugas rumah tangganya.
Selanjutnya Tabel 2 menggambarkan level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain).

Tabel 2. Deskripsi Data Level Jabatan Alumni Wanita yang Bekerja di Bidang Pendidikan dan Nonkependidikan

Bidang Pekerjaan

D3
S1
Total
f
%
f
%
f
%
Pendidikan/ Pelatihan
Guru
13
13,7
82
86,3
95
70,4
Wakil Kepala Sekolah
0
0,0
2
100
2
1,5
Dosen
0
0,0
8
100
8
5,9
Administrasi/staf TU
0
0,0
1
100
1
0,7
Instruktur/guru privat
2
50,0
2
50,0
4
2,9
Jumlah

15
12,7
95
88,2
110
81,5
Non
kependidikan
Cook Helper
2
100
0
0,0
2
1,5
Cook/juru/staf
9
64,3
5
35,7
14
10,4
Supervisor
1
100
0
0,0
1
0,7
Lain-lain
2
25,0
6
75,0
8
5,9
Jumlah

14
56,0
11
44,0
25
18,5
Jumlah Keseluruhan
29
20,7
106
78,5
135
100

           
Level jabatan alumni wanita pada bidang pendidikan/pelatihan cukup beragam mulai wakil kepala sekolah hingga guru privat. Pada level guru dan dosen diketahui pula terdapat beberapa alumni yang menjabat sebagai ketua program (kaprog atau kaprodi) sebanyak tiga orang, selanjutnya guru produktif sebanyak 69 orang serta guru tidak tetap/guru bantu sebanyak 23 orang. Level jabatan lain-lain yang dimaksud dalam Tabel 4 umumnya terdapat pada alumni yang bekerja sebagai wirausaha sebab pola wirausaha masih bersifat kekeluargaan atau tradisional sehingga tidak memiliki struktur organisasi usaha yang jelas, alumni berstatus sebagai pemilik (owner) serta sebagai pekerja/staf juga.

B.     Deskripsi Opini Alumni
            Ringkasan data opini alumni menggambarkan relevansi mata kuliah dengan pekerjaan,  kendala yang dihadapi alumni wanita yang bekerja pada bidang pendidikan dan nonkependidikan (jasa boga, wirausaha, dan lain-lain), untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi, dan saran untuk peningkatan kualitas program studi Tata Boga Unesa.

Tabel 3. Deskripsi Data Opini Alumni tentang Kesesuaian Mata Kuliah dengan Pekerjaan

Opini
F
%
Sesuai
88
65,19
Kurang sesuai
35
25,93
Tidak sesuai
12
8,89
Jumlah
135
100%
           

            Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden (65,19%) menyatakan terdapat relevansi atau kesesuaian antara mata kuliah dengan pekerjaan. Sebanyak 25,93% menyatakan kurang sesuai dan ada 8,89% yang menyatakan tidak sesuai. Responden yang mengemukakan pendapat ”kurang sesuai” umumnya beralasan karena sebagian tuntutan pekerjaan baik di bidang pendidikan maupun non kependidikan belum cukup diperoleh di bangku kuliah, terutama penguasaan keterampilan. Bekal keterampilan masih cukup jauh dari tuntutan, sehingga menjadi kendala lulusan untuk segera beradaptasi di tempat kerja. Khusus pada bidang pendidikan, selain penguasan keterampilan tata boga, keterampilan mengajar seperti mengelola kelas, penguasaan media pembelajaran dan penilaian, juga dirasa masih kurang sebagai bekal mengajar.
            Selanjutnya kendala-kendala yang dihadapi alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi dapat dicermati pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut, sebagian lulusan (20%) menyatakan tidak ada kendala untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Sebanyak 24,44% menyatakan keterbatasan biaya sebagai kendala, dan 12,59% menyatakan kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan merupakan kendala yang utama. Kemudian kendala yang lain, yaitu waktu dinyatakan oleh 13,33% responden, dan kendala keluarga (5,93%), tidak ada minat (5,19%), jarak tempuh (4,44%), keterdiaan program stusdi lanjut yang relevan (4,44), Bahasa Inggris (3,70%), Karena hanya lulusan D3 (2,97), dan banyak saingan (2,97).

Tabel 4. Deskripsi Data Kendala Alumni untuk Mencapai Jenjang Karir yang Lebih Tinggi

Kendala
f
%
Tidak ada kendala
27
20
Biaya
33
24,44
Kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan
17
12,59
Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar)
18
13,33
Keluarga (Anak masih kecil)
8
5,93
Tidak ada minat
7
5,19
Jarak tempuh
6
4,44
Ketersediaan program studi lanjut yang relevan
6
4,44
Bahasa Inggris
5
3,70
Karena hanya lulusan D3
4
2,97
Banyak saingan
4
2,97
Jumlah
135
100

           
            Dari berbagai kendala, meskipun persentasenya hanya  5,19%, tidak adanya minat untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah sangat memprihatinkan. Tugas perguruan tinggi pada intinya adalah mengantarkan lulusannya untuk memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap dunia kerja dan masyarakat, suka bekerja keras, dan memiliki kemauan untuk berkembang. Semua kompetensi tersebut tentu saja memerlukan minat untuk maju. Namun apabila minat saja tidak ada pada sebagian kecil lulusan, sangatlah mungkin karir mereka juga tidak akan berkembang. Yang dikhawatirkan adalah bahwa tidak adanya minat tersebut sebenarnya adalah sebagai manifestasi frustrasi karena tidak adanya dukungan, baik dari tempat kerja, keluarga, atau bahkan karena ketidakmampuan sendiri.
            Selanjutnya data saran alumni untuk peningkatan kualitas prodi Tata Boga Unesa dapat dicermati pada Tabel 5. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diidentifikasi lima saran terbanyak yang dikemukakan alumni, yang meliputi: (1) Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri, (2) Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan, (3) Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI, (4) Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar, dan (5) Peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana).

Tabel 5.  Deskripsi Data Saran Alumni untuk Peningkatan Kualitas Prodi Tata Boga Unesa

Saran
f
%
Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri.
28
20,74
Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan
29
21,48
Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI
15
11,11
Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar
16
11,85
Peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana)
12
8,89
Pembukaan program S2 dengan biaya murah khusus untuk alumni Tata Boga
5
3,70
Praktek Industri (PI) dilaksanakan lebih dahulu sebelum PPL
5
3,70
Program PI bisa lebih dikembangkan sampai ke luar negeri
4
2,96
Program PPL supaya dilaksanakan selama 6 bulan
2
1,48
Mengundang dosen dari praktisi untuk memberi kuliah
4
2,96
Pertemuan periodik alumni untuk berbagi pengalaman
2
1,48
Peningkatan praktek mata kuliah Tata Hidang yang lebih sesuai dengan kondisi di lapangan
1
0,75
Adanya bursa kerja untuk penyaluran lulusan
2
1,48
Peningkatan promosi ke masyarakat
6
4,44
Untuk program S1 Penyetaraan, jadwal kuliah lebih fleksibel, dan kuliah teori diperbanyak
2
1,48
Selama matakuliah praktek, dosen dan mahasiswa mengenakan jas-lab
1
0,75
Pemberian beasiswa pada mahasiswa berprestasi
1
0,75
Jumlah
135
100
           
      Simpulan dan Saran
            Simpulan dari penelitian ini meliputi: (1) Alumni  wanita Program Tata Boga yang bekerja di bidang pendidian sebanyak 81,5% dengan jenis pekerjaan sebagai dosen sebanyak 5,9%, guru  72,6%, dan sebagai intruktur pelatihan sebesar 2,9%; Sedangkan yang bekerja pada bidang non kependidikan sebanyak 18,5% dengan jenis pekerjanan restoran/hotel, bakery/pastry shop, catering/jasa boga, wirausaha, dan lainnya; (2) Level jabatan alumni wanita yang bekerja di bidang pendidikan  adalah sebagai  guru, wakil kepala sekolah, dosen, administrasi/staf TU, intruktur dan guru privat, dan level jawbatan di bidang non kependidikan adalah sebagai cook helper, cook, juru/staf, supervisor, dan lain-lain; (3) Kendala-kendala yang dihadapai alumni untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi adalah masalah biaya; kurangnya keterampilan, pengetahuan dan wawasan; Waktu (sulit meninggalkan tugas mengajar); Keluarga (Anak masih kecil); Tidak ada minat; Jarak tempuh; Ketersediaan program studi lanjut yang relevan; Bahasa Inggris; Karena hanya lulusan D3; dan banyak saingan; dan (4) Kesimpulan lain yang tidak kalah pentingnya, meskipun tidak menjadi pertanyaan penelitian, adalah saran-saran alumni untuk program studi Tata Boga, yang antara lain meliputi: Lebih menyesuaikan kurikulum prodi Tata Boga dengan perkembangan di SMK dan industri; Peningkatan keterampilan, baik keterampilan bidang tata boga maupun kemampuan mengajar bagi mahasiswa selama perkuliahan; Peningkatan kerjasama antara prodi Tata Boga dengan DU/DI; Peningkatan SDM (dosen) dalam hal kompetensi mengajar; dan peningkatan fasilitas perkuliahan (sarana dan prasarana).

      Saran
            Saran yang dapat dikemukakan meliputi: (1) Mengadakan temu alumni dan menjadikannya sebagai agenda rutin program studi atau jurusan untuk mendapatkan informasi dan perkembangan profil alumni serta masukan/saran bagi pengembangan jurusan; (2) Memanfaatkan website Unesa untuk menjaring informasi dan sebagai wadah komunikasi antara sesama alumni atau antara alumni, mahasiswa dan lembaga; (3) Perlu dikembangkan teknik penjaringan alumni tidak hanya melalui surat tertulis (by mail), tetapi juga menggunakan surat elektronik (e-mail) sehingga jangkauannya juga lebih luas; dan (4) Masukan-masukan dari alumni hendaknya menjadi perhatian bagi prodi Tata Boga, agar dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan prodi, dalam rangka meningkatkan kualitas sarana prasarana dan proses pembelajaran, serta perbaikan kurikulum.

Daftar Pustaka
Abramson, T., Carol, K., dan Cohen, L. 1979. Handbook of Vocational Education Evaluation. London: Sage Publication.
Campbell, P. dan Penzano, P. 1985. Toward Excellence in Secondary Vocation, Element of Program Quality. Columbus, Ohio: NCRVE.
Moedjiarto, 1997. Masalah Pengangguran Sarjana. Media Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 1 (7). Surabaya: University Press IKIP Surabaya.
Notodihardjo, Hardjono. 1990. Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi di Indonesia. Suatu Studi tentang Kaitan antara Perguruan Tinggi dan Industri di Jawa. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ponidjo. 2001.  Studi Penelusuran Lulusan Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) FPTK IKIP Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Psacharopolus, G. dan Hinchiliffe, K. 1983. Tracer Study Guidelines. Washington DC: The World Bank.
Slamet PH. 1993. Penelusuran Tamatan SMEA di Indonesia (Draft Laporan penelitian). Yogyakarta: FPTK IKIP Yogyakarta.
Soekarwati. 1994. Posisi Strategis Dosen dan AA/Pekerti dalam Konsep Link and Match. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional peran Perguruan Tinggi dalam Melaksanakan Keterkaitan dan Kesepadanan, PAU UT.
Supari, dkk. 1992. Studi Pelacakan Profesi dan Bidang Kerja Lulusan FPTK IKIP Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian IKIP Surabaya.
Sutari. 1990. Survey Kebutuhan Tenaga Kerja bagi Lulusan Jurusan PKK FPTK IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Puslitbang IKIP Yogyakarta.
Tim Penyusun. 1999. Buku Pedoman IKIP Surabaya Tahun 1999/2000.
Tim Penyusun. 2003. Buku Pedoman Universitas Negeri Surabaya Tahun 2003/2003.
Trisno, Bambang. 1995. Survey Kebutuhan Tenaga Kerja bagi Lulusan Jurusan PKK FPTK IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Puslitbang IKIP Yogyakarta.
Winarni, Astriati, dkk. 1999. Mendeteksi Jumlah Pengangguran Lulusan PKK-FPTK IKIP Surabaya (Suatu Studi Penelusuran). Laporan Penelitian.  Lembaga Penelitian IKIP Surabaya.
Wrahatnolo, Tri. 2000. Studi Pelacakan Lulusan Jurusan PTE, PTM, dan PTB FPTK IKIP Surabaya. Media Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 18 (1). 55-66.

Selasa, 02 April 2013

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGENAL PANGAN LOKAL DENGAN MODEL TEMATIK PADA SISWA KELAS I SD DI KOTAMADIA SURABAYA


Oleh:
Luthfiyah Nurlaela, Niken Purwidiani, Siti Sulandjari
Pendidikan Tata Boga, Universitas Negeri Surabaya
luthfiyahn@yahoo.com


Abstrak: Masalah yang akan diteliti adalah apakah perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik: (1) telah memenuhi persyaratan untuk digunakan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran?; (2) dapat dibaca dan mudah dipahami siswa?; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas?; dan (4) bagaimana  hasil  belajar siswa? Pada penelitian ini terdapat kegiatan utama yakni mengembangkan perangkat pembelajaran dengan model tematik untuk kelas 1 SD dan ujicoba terbatas dan luas. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi RPP, buku siswa, dan alat penilaian berbasis kelas. Pengembangan  perangkat pembelajaran dengan menggunakan four-D models (Define, Design, Develop, dan Disseminate). Tema yang diambil adalah tema yang tersedia dalam Kurikulum KTSP dan berdekatan dengan masalah pangan serta yang dekat dengan kebutuhan anak, yaitu: Makanan, Tumbuhan, dan Hewan. Hasil penelitian menunjukkan perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan: (1) berkategori baik ditinjau dari aspek, materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran, (2) direspon positif oleh siswa yakni menarik, penampilan menarik, tidak ada uraian atau penjelasan yang terlalu sulit, dan gambar/ilustrasi mudah dipahami dan memperjelas uraian; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas; dan (4) hasil belajar belajar siswa relatif tinggi.

Abstract: This study aims to find out whether thematic instruction-based learning materials on getting to know about local food: (1) has fulfilled the criteria of learning materials, in terms of materials, language use, presentation,  and learning innovations?; (2) has met the criteria of readibility and comprehensibility?; (3) assist the teacher in conducting the teaching-learning process; (4) improve the students’ achievement? This study involved materials development using thematic model for 1st graders, as well as limited and broad tryouts. The materials developed consist of lesson plans, student’s book, and class-based assessment instruments. The learning materials were developed using four-D models (Define, Design, Develop, and Disseminate). The themes were taken from School-based Curriculum and were related to food and children’s needs, i.e. Food, Plants, and Animals. The result of the study reveals that the  existing thematic-based learning materials that are related to matters of local food: (1) are sufficiently developed in terms of materials discussed, language use, presentation, and learning innovations;(2) gain positive response by the students due to their interesting materials and presentation, easy and comprehensible explanation, and easy and functional illustrations that help students’ understanding; (3) help the teacher conduct teaching-learning process; and (4) improve the students’ achievement.  


[1] Artikel Hasil Penelitian Strategis Nasional, 2009.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki sumber-sumber karbohidrat yang sangat kaya, antara lain terdapat sekitar 157 spesies bahan pangan karbohidrat nonbiji yang belum termanfaatkan dengan baik. Selain itu, dalam hal ketersediaan makanan beragam, Indonesia memiliki kekayaan budaya makanan dan masakan tradisional yang sangat besar. Upaya yang diperlukan adalah menjadikannya berdaya saing dan mensosialisasikannya pada khalayak yang lebih luas. Untuk itu peningkatan pengetahuan atas pangan dan gizi masyarakat harus terkait dengan perubahan perilaku dan kebiasaan makan. Perubahan ini memerlukan proses yang lama dan gradual, sehingga sebaiknya sasaran dari langkah ini adalah kelompok usia sangat muda dan balita, murid TK dan SD (Tampubolon, 2002). Proses peningkatan pengetahuan dan gizi ini perlu segera dimulai, meskipun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian.
Penelitian Tejasari (2001) dan Anonim (2001) juga menunjukkan potensi pangan lokal di Jawa Timur sangat baik dilihat dari segi produksi maupun produktivitasnya. Pengembangan produk makanan berbasis pangan lokal sangatlah diharapkan dalam rangka mendukung tercapainya ketahanan pangan nasional.
Data menunjukkan bahwa upaya pengembangan dan diversifikasi pangan khususnya pangan lokal telah dilakukan sejak dua dasawarsa yang lalu, namun belum berhasil seperti yang diharapkan (Nindyowati, 2001; 2002). Berbagai upaya sosialisasi telah banyak dilakukan. Selama ini sosialisasi yang dilakukan lebih banyak melalui kegiatan-kegiatan kampanye, lomba/pameran/gelar makanan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat, dengan keterlibatan pihak instansi terkait. Upaya sosialisasi ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain kurang komprehensif, sesaat, sehingga tidak bertahan lama dalam menanamkan pemahaman dan menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat. Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Timur bahkan menggelar kegiatan-kegiatan serupa dua tiga kali dalam setahun, dengan keterlibatan instansi terkait, dinas pendidikan, dan juga industri; namun tetap memprihatinkan lambatnya hasil pemasyarakatan diversifikasi pangan tersebut.
Pemerintah daerah propinsi Jawa Timur yang dikoordinasikan oleh Balitbang Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya telah melakukan kajian pengembangan berbagai produk olahan berbasis pangan lokal. Hasil kajian ini sampai saat ini baru dapat  disosialisasikan ke instansi terkait dari 4 kabupaten/kota, yaitu Dewan Ketahanan Pangan, Dinas Kesehatan/BKKBN, Bapemas, Dinas Pertanian, dan PKK (Sampang, Bangkalan, Kabupaten Malang, dan Kotamadia Malang) (Sulandjari, dkk, 2002). Sosialisasi lebih lanjut diperlukan agar upaya peningkatan ketahanan pangan dapat lebih berarti dan menjangkau masyarakat yang lebih luas.
Sosialisasi lebih lanjut, yang selama ini belum pernah dilakukan, adalah melalui jalur pendidikan formal, khususnya SD. SD  sebagai agen sosialisasi sekunder bagi peserta didik yang berusia muda memiliki peran yang strategis karena pada usia-usia tersebut masih sangat terbuka peluang untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang diharapkan akan lebih mudah tertanam serta bertahan lama. Keberhasilan dan keterjaminan perwujudan ketahanan pangan memprasyaratkan kesadaran masyarakat Indonesia akan arti penting dan sentralnya ketahanan pangan bagi kehidupan masa kini dan masa mendatang. Kesadaran ini harus ditumbuhkan dengan lebih komprehensif, mendasar, dan sistemik yang salah satunya adalah mengintegrasikannya dalam kurikulum pendidikan formal, khususnya pendidikan dasar (Nurlaela, 2002; 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Tampubolon (2002) yang menyatakan bahwa sebaiknya sasaran untuk sosialisasi penganekaragaman pangan adalah kelompok usia sangat muda dari balita, murid TK, dan SD. Soenardi  (2002) juga mengemukakan hal yang sama, yaitu penganekaragaman pangan non-beras perlu diperkenalkan sejak usia dini hingga terbawa sebagai kebiasaan hingga usia dewasa. Proses tersebut harus segera dimulai walaupun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian, karena proses ini memerlukan waktu yang lama dan gradual.
Analisis yang telah dilakukan peneliti (Nurlaela, 2002;2006) tentang kajian sosialisasi pendidikan ketahanan pangan melalui pendidikan dasar menemukan bahwa   beberapa mata pelajaran SD seperti IPA, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia, sangat terbuka peluang untuk mengintegrasikan pendidikan ketahanan pangan ke dalam kurikulumnya. Ini berarti sosialisasi konsumsi pangan lokal tidak perlu berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri karena hal ini akan membebani kurikulum SD, namun cukup menjadi isi/bahan/muatan di dalam beberapa mata pelajarannya. Hasil kajian konseptual peneliti lebih lanjut (Nurlaela, 2006) tentang penerapan model pembelajaran terintegrasi (integrated learning) juga menunjukkan adanya peluang yang sangat terbuka untuk mengintegrasikan pendidikan pangan dalam berbagai mata pelajaran. Ketahanan pangan sebagai tema dapat memadukan mata pelajaran-mata pelajaran lain seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, dan Kertakes.
Penelitian  yang dilakukan oleh Sulandjari, dkk (2002) menghasilkan buku “Ragam Olahan Bentul Dalam Rangka Diversifikasi Pangan Non Beras”, dimaksudkan sebagai media sosialisasi ke dinas/instansi terkait. Penelitian disertasi Nurlaela (2007) tentang pengaruh model pembelajaran (tematik dan konvensional) terhadap hasil belajar pada siswa kelas 3 SD menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran tematik lebih baik daripada siswa yang menggunakan model konvensional. Hal ini disebabkan antara lain siswa pada pembelajaran tematik lebih aktif, lingkungan belajar lebih baik, dan penilaian berbasis siswa; yang kesemuanya ini memang merupakan sebagian karakteristik pembelajaran tematik. Penelitian Suryanti dkk (2007) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu pencapaian hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran tematik yang meningkat secara signifikan.
Rumusan masalah yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini adalah apakah perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik yang dikembangkan: (1) telah memenuhi persyaratan untuk digunakan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan  pembelajaran?; (2) dapat dibaca dan mudah dipahami siswa?; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas?; dan (4) bagaimanakah hasil belajar siswa?
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengembangkan perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik, yang dapat meningkatkan kualitas proses belajar mengajar pada siswa kelas 1 SD. Perangkat pembelajaran dimaksud meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Buku Siswa, dan penilaian berbasis kelas yang memenuhi persyaratan dari aspek materi, bahasa, penyajian, keterbacaan, pemahaman, dan menarik bagi siswa, memberi kemudahan bagi guru, dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Manfaat penelitian ini secara umum adalah tersedianya contoh perangkat pembelajaran perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik. Secara spesifik manfaat tersebut adalah sebagi berikut: (1) bagi siswa, perangkat pembelajaran mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik ini akan membantu mengembangkan semua pemikirannya karena diasajikan secara terpadu tidak terpisah-pisah; (2) bagi guru, dengan dikemasnya kompetensi-kompetensi antar mata pelajaran dalam satu tema tertentu yang dituangkan dalam buku siswa, akan lebih mudah mengelola pembelajaran secara tematik, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemberian tugas, dan penilaian siswa; dan (3) bagi dosen dan instansi yang terkait dengan bidang pendidikan serta ketahanan pangan, Hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk penelitian-penelitian lebih lanjut, baik di SD maupun jenjang-jenjang di atasnya. Selain itu juga dapat menjadi bahan untuk pengabdian kepada masyarakat dan kegiatan-kegiatan lain yang menyangkut sosialisasi ketahanan pangan melalui jalur pendidikan formal.

KAJIAN TEORI

Sosialisasi Ketahanan Pangan melalui Pendidikan
Upaya pengembangan dan diversifikasi pangan khususnya pangan lokal telah dilakukan sejak dua dasawarsa yang lalu, namun belum berhasil seperti  diharapkan. Salah satu kendala sulitnya diversifikasi pangan adalah karena secara budaya beras masih diakui masyarakat sebagai pangan pokok yang bernilai tinggi. Beras tidak hanya dipandang sebagi bahan makanan pokok namun dalam pemanfaatannya diyakini mampu menggambarkan staus kondisi sosial ekonomi sautu keluarga. Faktor lain yang dimungkinkan dapat menjadi penyebab rendahnya minat masyarakat terhadap pangan non beras, Pertama, bentuk sajian yang ada di masyarakat kurang bervariasi, Kedua, pengolahan yang dikenal masyarakat kurang bervariasi, dalam arti bentuk olahan masih menunjukkan bahan baku aslinya, cara membuatnya lama, dan daya simpannya pendek (Anonim, 2001)
Salah satu upaya sosialisasi ketahanan pangan dapat ditempuh melalui institusi pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Diyakini bahwa secara asasi pendidikan itu bertujuan untuk: (1) melimpahkan suatu pandangan hidup, (2) meningkatkan dan merekonstruksi pandangan hidup itu, dan (3) memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu. Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu kebutuhan manusa dalam rangka mengembangkan, memanfaatkan, dan melestarikan nilai-nilai yang dianut bersama. Nilai dalam hal ini sistem nilai budaya bangsa merupakan konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat berharga dalam hidup. Karena itru sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1985). Sistem nilai budaya tersebut dapat dipandang sebagai pandangan hidup bangsa dan dalam trangka proses penanaman sistem nilai inilah pendidikan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam rangka sosialisasi nilai budaya pola konsumsi makan, maka dapat dilakukan meaui berbagai institusi pendidikan.
Selanjutnya karena diyakini pendidikan sebagi pranata dan proses penanaman nilai, dengan kata lain pendidikan sebagai saluran dan proses enkulturisasi, yang berarti tempat latihan, dan berkat latihan itulah seorang individu diintegrasikan ke dalam kebudayaan sejaman dan setempat (Baker, 1990), maka perlu dilakukan sosialisasi nilai budaya pola konsumsi pangan untuk berbagai institusi pendidikan, khususnya pendidikan dasar.
Pendidikan dasar sebagai agen sosialisasi sekunder bagi peserta didik yang berusia muda memiliki peran yang strategis karena pada usia-usia tersebut masih sangat terbuka peluang untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang diharapkan akan lebih mudah tertanam serta bertahan lama. Tampubolon (2002) bahkan menyatakan bahwa sebaiknya sasaran untuk sosialisasi penganekaragaman pangan adalah kelompok usia sangat muda dari balita, murid TK dan SD. Proses tersebut harus segera dimulai walaupun hasilnya baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian, karena proes ini memerlukan waktu yang lama dan gradual.
Implementasi pendidikan ketahanan pangan dalam pendidikan salah satunya dapat disikapi sebagai isi/bahan/muatan pendidikan/pembelajaran yang dapat diajarkan atau dibelajarkan pada siswa. Dalam kaitan ini, pendidikan ketahanan pangan sebaiknya dimasukkan dalam kurikulum formal (ideal). Apabila pendidikan ketahanan pangan belum memungkinkan untuk diwadahi dalam mata pelajaran tersendiri, maka paling tidak dapat diintegrasikan atau dipadukan dalam mata pelajaran tertentu. Isi/bahan pendidikan ketahanan pangan dapat diintegrasikan ke dalam banyak mata pelajaran, misalnya Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPA, PPKN, IPS, dan mungkin Agama. Oleh sebab itu, pendekatamn integratif dalam pengembangan bahan pelajaran perlu diupayakan dalam kaitan ini.
Analisis yang telah dilakukan Nurlaela (2002, 2006) tentang kajian sosialisasi pendidikan ketahanan pangan melalui pendidikan dasar menemukan bahwa   beberapa mata pelajaran SD seperti IPA, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia, sangat terbuka peluang untuk mengintegrasikan pendidikan ketahanan pangan ke dalam kurikulumnya. Misalnya pada pelajaran IPA SD Kelas V Semester I terdapat pokok bahasan "Makanan, Alat Pencernaan, dan Kesehatan", di dalamya terdapat sub-pokok bahasan "Makanan bergizi dan penyusunan makanan dengan gizi seimbang", di dalamnya dapat dimasukkan muatan pendidikan ketahanan pangan khususnya tentang konsumsi pangan lokal. Ini berarti sosialisasi konsumsi pangan lokal tidak perlu berdiri sendiri sebagai mata pelajaran tersendiri karena hal ini  akan membebani kurikulum SD, namun cukup menjadi isi/bahan/muatan di dalam beberapa mata pelajarannya; atau dapat juga diintegrasikan dalam mata pelajaran keterampilan (tata boga/memasak), atau menjadi salah satu pilihan kegiatan dalam ekstrakurikuler. Hasil kajian konseptual peneliti lebih lanjut (Nurlaela, 2006) tentang penerapan model pembelajaran terintegrasi (integrated learning) juga menunjukkan adanya peluang yang sangat terbuka untuk mengintegrasikan pendidikan pangan dalam berbagai mata pelajaran. Ketahanan pangan sebagai tema dapat memadukan mata pelajaran-mata pelajaran lain seperti Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Sosial, Sains, dan Kertakes.

Konsep Pembelajaran Terpadu Dengan Model Tematik
Dewasa ini, para ahli pendidikan mulai memunculkan kembali ide keterpaduan dalam pembelajaran dengan menciptakan berbagai model dengan panduan rancangan pembelajaran yang tersusun secara rinci dan jelas. Pembelajaran terpadu sangat terkait dengan implementasi paradigma konstruktivistik dalam pengembangan kecerdasan multiple pada anak didik.
Menurut Forgaty (1991), ada sepuluh model pengintegrasian kurikulum, mulai dari yang sangat berorientasi pada persatuan mata pelajaran hingga sangat berorientasi pada keterpaduan mata pelajaran bahkan diantara siswa, meliputi: (1) model penggalan (fragmented), (2) model keterhubungan/tyerkait (connected), (3) model sarang (nested), (4) model sequenced, (5) model shared, (6) model webbed, seringkali disebut model terjala atau model tematik, (7) model threaded, (8) model integrated, (9) model immersed, dan (10) model networked.
 Dalam kajian ini, model yang digunakan adalah model terjala (model webbed) atau yang biasa disebut model tematik, karena menggunakan tema dalam merencanakan pembelajaran. Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar-mengajar. Menurut Joni (1996), pembelajaran terpadu yang kegiatan belajarnya terorganisasikan secara lebih terstruktur dapat terwujud, apabila kegiatan belajar-mengajar yang diselenggarakan itu secara lebih eksplisit bertolak dari tema-tema.
Menurut KTSP, pembelajaran tematik diajarkan pada siswa SD kelas rendah (kelas 1, 2 dan 3), karena pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial dan emosional. Apabila di jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMU, khasanah pengetahuan dapat dipilah-pilah demi efisiensi penyajian (metematika, bahasa, IPA, dan sebagainya, yang diajarkan secara terpisah-pisah oleh guru bidang studi), di jenjang SD terutama di kelas-kelas awal, para siswa yang masih lebih menghayati pengalamannya sebagai totalitas, mengalami kesulitan dengan pemilahan-pemilahan pengalaman yang ‘’artifisaial’’ ini (Joni, 1996). Dengan kata lain, para siswa yang masih muda itu melihat dirinya sebagai pusat lingkungan yang merupakan suatu keseluruhan yang belum jelas unsur-unsurnya, dengan pemaknaan secara holistik yang berangkat dari yang bersifat konkrit.
Pembelajaran tematik memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan pembelajaran yang lain. Kegiatan belajar lebih banyak dilakukan melalui pengalaman langsung atau hands on experiences. Adapun karakteristik pembelajaran tematik antara  lain; (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan obyek-obyek yang nyata bagi anak untuk memanipulasi; (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4 Adapun karakteristik pembelajaran tematik antara  lain; (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan obyek-obyek yang nyata bagi anak untuk memanipulasi; (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4) menyediakan kegiatan dan kebiasaan yang menghubungkan semua aspek perkembangan kognitif, social, emosi, dan fisik; (5) mengakomodasi kebutuhan anak-anak.Untuk bergerak dan melakukan kegiatan fisik, interaksi sosial, kemandirian, dan harga diri yang positif, (6) menghargai individu, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman di keluarga yang dibawa anak-anak ke kelasnya, dan (7) menemukan cara untuk melibatkan anggota keluarga anak (Barbar Rohde dan Kostelink, et.al, 1991).
Selain cara di atas, Hendrik (1989) dalam Kostelink (1991) mengemukakan bahwa tema membantu anak-anak mengembangkan semua pemikiran dalam belajar. Melalui pembelajaran tematik anak-anak membangun hubungan di antara informasi yang terpisah-pisah untuk membentuk konsep yang lebih kompleks dan abstrak (Osbum dan Osbum, 1983; Bredekan dalam Kostelink, et.al, 1991)
Berdasarkan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa pengajaran dengan tema merupakan model pembelajaran yang lebih komprehensif dan terpadu. Menggunakan tema dapat mengembangkan konsep anak. Konsep adalah gagasan pokok tentang obyek dan peristiwa yang dibentuk oleh anak-anak di lingkungannya. Konsep adalah kategori kognitif yang membuat orang mengelompokkan informasi yang berbeda secara perceptual, peristiwa dan persoalan (Wellman, 1998 dalam Kostelink,1991). Dengan demikian pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran yang lebih komprehensif dan terpadu (Nurlaela, 2008).
Keterpaduan dilakukan secara sadar, bertujuan, sistematis dan membantu siswa untuk memahami topik tertentu dari berbagai sisi. Charbonnean dan Reider (1995:5) menyatakan bahwa guru dan siswa hendaknya memilih topik yang menarik untuk dipelajari dan topik tersebut hendaknya melibatkan beberapa konsep dan keterampilan. Dengan adanya kerjasama antara guru dan siswa, siswa akan memperoleh kesempatan belajar menggunakan ide-idenya, keterampilan dan konsep-konsep yang telah dipelajarinya dalam konteks bidang studi yang lain.

METODE PENELITIAN
    
Untuk mengembangkan perangkat pembelajaran tematik digunakan four-D models yakni define, design, develop, dan disseminate (Thiagarajan, Semmel & Semmel, 1974). Dalam tahap define akan dilakukan kajian terhadap standar kompetensi dan isi yang ada dalam kurikulum KTSP yang sesuai dengan tema-tema yang telah ditetapkan. Langkah selanjutnya adalah mendisain format perangkat dan penulisan perangkat seperti tampak pada bagan berikut ini.

 



Setelah perangkat pembelajaran tematik berhasil ditulis dan menghasilkan Draft 1, selanjutnya diadakan kegiatan telaah. Sebagai penelaah pakar-pakar pendidikan yang berkompeten di bidangnya, yakni ahli pendidikan dan guru SD kelas I. Kegiatan telaah dimaksudkan untuk melihat aspek materi, kebahasaan, penyajian dan inovasi dalam peningkatan KBM. Aspek materi yang dinilai meliputi kebenaran konten, kemutakhiran konten, dan sistematika sesuai dengan struktur keilmuan. Aspek kebahasaan meliputi bahasa yang digunakan sesuai dengan usia siswa, menggunakan bahasa yang baik dan benar, istilah yang digunakan tepat dan mudah dipahami dan penggunaan istilah dan simbol secara ajeg. Aspek penyajian meliputi membangkitkan motivasi/minat/rasa ingin tahu, sesuai dengan taraf berpikir dan kemampuan membaca siswa, mendorong siswa terlibat aktif, dan memperhatikan siswa dengan kemampuan/gaya belajar siswa serta menarik/menyenangkan. Aspek inovasi peningkatan KBM meliputi kesesuaian tema dengan kurikulum, kesesuaian buku dengan tema, menekankan dunia nyata, KBM yang student centered, dan menunjang terlaksananya KBM yang bervariasi. Setelah dilakukan telaah, maka akan dilakukan revisi berdasarkan masukan dari ahli dan guru kelas 1 SD, dan dihasilkan Draf 2. Selanjutnya dilakukan uji coba terbatas, dan menghasilkan perangkat pembelajaran tematik.
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka data diambil dengan menggunakan instrumen angket, observasi, dan dokumentasi, serta tes. Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Untuk mengetahuai efektifitas perangkat pembelajaran dilakukan analisis dengan menggunakan uji-t.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik
Sesuai dengan tahapan pengembangan perangkat pembelajaran yakni model 4D maka pada tahap define telah dirumuskan tema-tema yang ada dalam kelas 1 SD semester 2 yakni tema makanan, tumbuhan, dan hewan. Tema-tema tersebut memadukan berbagai standar kompetensi dalam 5 matapelajaran yakni Bahasa Indonesia,  Matematika, IPA, IPS, dan Kertakes.
            Berdasarkan tema yang telah ditentukan, tahap selanjutnya adalah mengembangkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari RPP, buku siswa, dan alat penilaian untuk setiap tema.

1. Buku Siswa
Buku Siswa dikembangkan sebagai perangkat pembelajaran yang berfungsi untuk memandu siswa dalam mempelajari materi-materi yang disajikan dalam kegiatan pembelajaran. Buku Siswa tematik terbagi menjadi tiga buku, yaitu buku dengan tema Makanan, Tumbuhan, dan Hewan. Buku Siswa diawali dengan penyajian peta konsep yang merupakan formulasi  kaitan tema dengan mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA/Sains, IPS, dan Kertakes, serta formulasi kompetensi yang akan dicapai dalam setiap mata pelajaran tersebut. Kemudian penyajian materi secara terpadu sedemikian rupa sehingga tidak nampak pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain. Di dalam buku tersebut materi dipadukan dengan tugas-tugas dan aktivitas lain seperti membaca, menulis, menjelaskan isi gambar, menghitung, gunting tempel, menyanyi, bermain peran, serta praktik. Aktivitas dilakukan di dalam maupun di luar kelas, secara individual maupun berkelompok.
            Karakteristik buku siswa dikembangkan dengan mengacu pada kebutuhan anak SD yang masih tahap operasional konkrit dan ketertarikan anak pada gambar-yang menarik dan berwarna. Dengan disertai gambar-gambar yang menarik dan berwarna diharapkan mampu menumbuhkan minat anak untuk membaca dan mudah memahami konsep yang terkandung di dalamnya. Selain itu, buku dikembangkan berdasarkan prinsip dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks, dari yang dekat dunia anak menuju ke yang relatif jauh. Berdasarkan teori belajar sosial Bandura (Slavin, 1995), anak dapat belajar melalui pemodelan, maka buku siswa juga dikembangkan dengan mengetengahkan seorang anak yang ideal sebagai tokoh yang diharapkan dapat digunakan sebagai model oleh siswa.
           
2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
            RPP dirancang sebagai panduan bagi guru untuk melaksanakan pembelajaran. RPP dengan tema Makanan terdiri dari empat RPP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran sebanyak 6x35 menit. RPP tema Tumbuhan terdiri dari 3 RRP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran 6x35 menit. RPP tema Hewan terdiri dari 3 RRP masing-masing dengan alokasi waktu pembelajaran 6x35 menit. Setiap RPP diawali dengan identifikasi kelas, waktu, dan tema. Setelah itu masuk pada bagaian A, yaitu tahap perencanaan, yang menampilkan mata pelajaran dan indikator hasil belajar yang dipadukan, kompetensi dasar, indikator keberhasilan, Metode pembelajaran, dan sumber bahan. Pada bagian B yaitu tahap pelaksanaan, menyajikan kegiatan awal yang meliputi apersepsi dan curah pendapat sehingga dapat dimunculkan kemungkinan kaitan tema dalam bentuk peta konsep. Dilanjutkan dengan kegiatan inti yang menggambarkan skenario kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran. Tahap selanjutnya adalah kegiatan akhir, meliputi evaluasi, tindak lanjut, dan penutup. RPP diakhiri dengan bagian C, yaitu Evaluasi, yang di dalamnya meliputi prosedur tes, jenis tes, dan bentuk tes, serta dilengkapi dengan soal dan butir-butir tes yang diberikan.

3. Alat Penilaian
            Alat penilaian berupa soal-soal tes untuk tema Makanan yang terdiri 15 butir soal, tema Tumbuhan terdiri 9 butir soal, dan tema Hewan terdiri 9 butir soal. Soal tes disusun berdasarkan RPP dan buku siswa yang telah dikembangkan. Tes dilakukan dua kali berupa pre tes yang dilaksanakan diawal KBM dan postes yang dilaksanakan diakhir KBM dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal, hasil belajar, serta peningkatan hasil belajar siswa.
           
Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran Tematik
Setelah perangkat pembelajaran tematik berhasil dikembangkan, langkah selanjutnya dilakukan validasi oleh ahli/praktisi pendidikan. Validasi ini dimaksudkan untuk melihat kebenaran materi, kebahasaan dan penyajian. Perangkat pembelajaran telah divalidasi oleh 3 orang ahli dan praktisi pendidikan. Hasil validasi menunjukkan bahwa perangkat yang dikembangkan dilihat dari aspek materi, kebahasaan, penyajian, dan peningkatan KBM dinilai baik oleh validator. Namun demikian terdapat beberapa catatan yang direkomendasikan sebagai bahan revisi perangkat yakni materi pada tema makanan yang terlalu berat untuk anak kelas 1 SD dan aktivitas siswa supaya lebih diperbanyak. Masukan ini sebagai bahan revisi perangkat sebelum diujicobakan kepada siswa di kelas.

     Hasil Ujicoba Terbatas Perangkat Pembelajaran Tematik
            Untuk mengetahui keterbacaan perangkat pembelajaran pengembangan mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan, dilakukan ujicoba terbatas pada siswa kelas 1 SD di SDN Kebonsari II. Setelah pelaksanaan pembelajaran, siswa diberi angket tentang pendapatnya mengenai buku siswa dan pemahaman mereka melalui tes.
Hasil ujicoba menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran, yakni buku siswa direspon positif oleh siswa, siswa menyatakan buku tersebut menarik, mudah dipahami, bagus, dan tidak ada yang sulit dipahami. Hasil ini memperlihatkan bahwa hasil rancangan dan pengembangan buku siswa tentang mengenal pangan lokal dengan menggunakan model pembelajaran tematik tersebut sesuai dengan karakteristik anak usia kelas 1 SD yang masih dalam tahap operasional konkrit dan menyukai gambar–gambar ilustratif dengan warna-warna cerah yang dekat dengan dirinya. Pendapat siswa ini ternyata konsisten dengan hasil belajar (postes) yang dijaring melalui tes dalam 3 tema yang  memperlihatkan bahwa perangkat pembelajaran memberikan rerata dan peningkatan hasil belajar yang relatif tinggi di kelas 1 SD

     Hasil Ujicoba Skala Luas Perangkat Pembelajaran Tematik
                 Ujicoba skala luas dilaksanakan di tiga sekolah dasar yakni SDN Kebonsari I, SDN Ketintang III, dan SDN Jajartunggal III. Hasil ujicoba skala luas dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Hasil Analisis deskriptif untuk masing-masing tema dapat dilihat pada gambar di bawah.    

1.    Tema Makanan



Berdasarkan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Makanan, SDN Ketintang III rerata pre tes adalah 44,56, rerata post tes 76,50, sedangkan SDN Jajartunggal III rerata pre tes 62,43 dan rerata postes adalah 78,18.
Dari hasil uji-t, menunjukkan angka signifikansi 0,061 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.

2. Tema Tumbuhan



Berdasarkan tabel dan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Tumbuhan, SDN Kebonsari I rerata pre tes adalah 75,14, rerata post tes 79,14, sedangkan SDN Ketintang III rerata pre tes 75,23 dan rerata postes adalah 78,63. Dari hasil uji-t, menunjukkan angka signifikansi 0,013 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.

3 Tema Hewan     



Berdasarkan tabel dan grafik di atas nampak ada peningkatan rerata hasil belajar dari pretes dan postes pada tema Hewan, SDN Kebonsari I rerata pre tes adalah 79,06, rerata post tes 86,60, sedangkan SDN Jajartunggal III rerata pre tes 85,72 dan rerata postes adalah 94,23. Dari hasil uji-t pada Tabel 4.11 dan 4.12 menunjukkan angka signifikansi 0,002 dan 0,000 dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dan peningkatan hasil belajar antara pretes dan postes.
Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perangkat pembelajaran tematik memberikan rerata hasil belajar yang relatif tinggi di kelas 1 SD. Hal tersebut mengindikasikan  bahwa pembelajaran tematik yang di lengkapi dengan perangkat pembelajaran tematik cukup memberi peluang perlibatan berbagai pengalaman siswa, karena tema–tema yang diangkat dipilih dari hal–hal yang di kemukakan siswa, yang mungkin bertolak dari pengalaman sebelumnya, serta berdasarkan kebutuhan yang dirasakan siswa (felt need). Hasil ini sesuai dengan temuan Hendrik (dalam Kostelink,1991) yang menyatakan bahwa tema membantu anak–anak mengembangkan semua pemikirannya dalam belajar. Melalui pembelajaran tematik, anak–anak membangun hubungan di antara informasi yang terpisah-pisah untuk membentuk konsep yang lebih kompleks dan abstrak (Osborn dan Osborn, dalam Kostelink,1991).
            Benson (2005) mengemukakan pembelajaran tematik melibatkan sekumpulan aktifitas yang terkait dan dirancang di seputar topik atau tema, serta menjangkau beberapa  area kurikulum. Adanya keterlibatan sekumpulan aktifitas berarti siswa tidak hanya mengandalkan pendengaran, namun juga mata dan bahkan gerakan atau sentuhan; dan semuanya ini akan lebih optimal bila dilengkapi dengan bahan ajar tematik. Tema yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk bahan ajar dapat menyediakan linkungan yang mendorong belajar proses dan melibatkan seluruh siswa secara aktif (Fisher,1991).
        Selain itu, pengemasan bahan ajar  yang berbasis tema, membuat siswa mudah memusatkan perhatian pada satu tema atau topik tertentu. Siswa dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi mata pelajaran dalam tema yang sama, serta memahami materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan. Selama pembelajaran, linkungan belajar yang ditata  sedemikian rupa memungkinkan siswa lebih bergairah belajar,  karena bisa berkomunikasi dalam situasi yang nyata misalnya bertanya, bercerita, bermain peran, berdiskusi, bekerja kelompok, dan sebagainya.

SIMPULAN DAN SARAN
                 Berdasarkan penyajian data dan pembahasan hasil penelitian maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut Perangkat pembelajaran pengembangan perilaku menyukai pangan lokal dengan model pembelajaran tematik yang telah dikembangkan: (1) berkategori baik ditinjau dari aspek, materi, kebahasaan, penyajian, dan inovasi pelaksanaan pembelajaran; (2) direpon positif oleh siswa yakni menarik, penampilan menarik, tidak ada uraian atau penjelasan yang terlalu sulit, dan gambar/ilustrasi mudah dipahami dan memperjelas uraian; (3) memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas; dan (4) belajar siswa relatif tinggi
            Dari simpulan yang diambil maka dapat disampaikan saran sebagai berikut: (1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan nasional, dapat melalui jalur pendidikan yaitu dengan dengan menerapkan perangkat pembelajaran pengembangan  perilaku menyukai pangan lokal dengan model pembelajaran tematik, dan (2) agar hasil belajar siswa optimal maka sebaiknya pembelajaran tematik di kelas rendah, khususnya di kelas 1 SD, menggunakan bahan yang dikemas dalam bentuk tematik, tidak berdiri sendiri setiap mata pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Benson, T.R. 2005. The issues: Integrated teaching units. PBS teacher source. http://www.pbs.org/teachersource/prek2/issues/904issue.shtm
Fisher, B. 1991. Joyful learning: A whole language kindergarten. Postmouth, N.H.: Heinemann
Kostelink, M.J., Soderman, A.K & Whiren, A.P. 2004. Developmentally appropriate curriculum: best practice in early childhood education. Upper Saddle River, N.J: Merrill
Nindyowati, E. 2001. Kebijakan dan Program Pembangunan dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Makanan Tradisional, di NICE Center Graha Pena Building Surabaya, 27 Oktober 2001.
---------------. 2002. "Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal". Dalam  Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Hasil-hasil Penelitian Makanan Tradisional Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal.  Unesa University Press, Universitas Negeri Surabaya. 
Nurlaela, Luthfiyah. 2002. Sosialisasi Ketahanan Pangan: Mungkinkah Melalui Pendidikan Dasar? Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 3 No. 1, 2002: 52-61.
----------------. 2002. "Sosialisasi Pangan Berbasis Bahan Pangan Lokal Melalui Pendidikan". Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Hasil-hasil Penelitian Makanan Tradisional Pengembangan dan Sosialisasi Pangan Lokal.  Unesa University Press, Universitas Negeri Surabaya
-----------------. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Terintegrasi (Integrated Learning) untuk Meningkatkan Pemahaman Pendidikan Ketahanan Pangan di SD. Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 7 No. 1, Maret 2006.
-----------------. 2008. Pengaruh Model Pembelajaran, Gaya Belajar dan Kemampuan Membaca terhadap Hasil Belajar Siswa SD di Kota Surabaya. Dalam Jurnal Pendidikan Dasar. Vol. 9 No. 1, Maret 2008.
Nurlaela, Luthfiyah dan Rita Ismawati. 2007. Pemetaan dan Pendokumentasian Makanan Tradisional Jawa Timur. Laporan Penelitian Fundamental. Belum Dipublikasikan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. 2007.
Sulandjari, Siti; Bahar, Asrul; Amaria. 2002. Penelitian dan Pengkajian Pola Konsumsi Melalui Diversifikasi Menu dan Gizi di Jawa Timur. Laporan Penelitian Kerjasama antara Balitbang Propinsi Jawa Timur dan Universitas Negeri Surabaya. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.
Soenardi, Tuti. 2002. Makanan Alternatif untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Suryanti, dkk. 2007. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Tematik untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Kelas Rendah Sekolah Dasar. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Lanjutan. Belum Dipublikasikan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya. 2007.
Tampubolon, SMH. 2002. Suara dari Bogor, Sistem dan Usaha Agribisnis, Kacamata sang Pemikir. Pusat Studi Pembangunan IPB dan USESE Foundation.
Tejasari, dkk. 2001. Kajian Tepung Umbi-Umbian Lokal sebagai Bahan Pangan Olahan. Laporan Penelitian kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember dan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Tidak diterbitkan.
Tim Universitas Brawijaya Malang. 2001. Kajian Pangan Olahan Pengganti Beras. Laporan Penelitian Kerjasama antara Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan Badan Ketahanan Pangan Jawa Timur. Tidak diterbitkan.
Thiagarajan, S., Doroty S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Source Book. Bloominton: Center for Innovation on Theaching the Handicapped.