Laki-laki itu tentu saja sudah banyak berubah. Tubuhnya agak membulat,
rambutnya—meski ada topi yang menutupi kepalanya—sepintas kulihat, telah rata
memutih. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan betapa berbagai pengalaman hidup
telah dilakoninya. Senyumnya yang mengembang, meskipun terkesan ragu,
mengekspresikan kematangannya. Duapuluh tahun. Waktu yang tidak singkat untuk
sebuah perpisahan.
Dia berdiri menyambutku, mengulurkan
tangan. Dan entahlah, aku
merasakan ada nyeri di dada ketika tangan kami berjabatan.
Kami duduk di sebuah sofa, di lobi hotel itu. Dia—Prasetya—laki-laki itu, duduk di sudut sana
dan aku di sudut satunya. Beberapa saat hanya diam. Aku sendiri agak jengah, dan
sedang berusaha menguasai keadaan. Sejenak kemudian kami saling bersapa dan menanyakan kabar, berbasa-basi. Tentu
tidak terlalu nyaman duduk dengan posisi saling menyamping seperti ini. Di lobi
hotel yang lagi ramai lagi. Tapi inilah tempat terbaik yang bisa kami dapatkan.
Semua kursi dan sofa penuh. Orang ramai lalu-lalang di depan kami. Belasan
temanku bahkan masih belum mendapatkan kamar, dan sedang menunggu untuk check-in.
Laki-laki itu, adalah masa laluku. Kami memang berjanji untuk saling ketemu sore ini. Tepatnya, aku yang
memintanya untuk menemuiku. Setelah sekian kali kuminta, yaitu sejak beberapa
bulan kudapatkan nomer ponselnya dari seorang teman. Setiap ada tugas ke
Jakarta, aku hampir selalu menghubunginya, setidaknya sekedar say hello. Dan berharap dia berinisiatif
untuk menemuiku. Tapi inisiatif itu tak kunjung datang. Selalu saja ada alasan yang dia katakan untuk
tidak menemuiku. Setidaknya seperti itulah kesanku. Entah karena dia merasa
tidak punya nyali untuk menemuiku…entah karena dia merasa itu tidak penting….
Sebenarnya aku juga tidak menganggap terlalu
penting pertemuan itu. Kalaupun tidak bisa bertemu, yang sudah-sudah, aku juga
tidak terlalu kecewa. Mungkin aku hanya penasaran saja, seperti
apa dia kini. Masalah perasaan, rasanya semuanya sudah lewat. Duapuluh tahun
yang lalu kami bepisah. Aku memang sempat sakit ketika itu. Lebih-lebih dengan
caranya memutuskanku. Tapi semuanya bisa kulalui dengan baik. Meski itu
kejadian putus cinta yang pertama dalam hidupku, aku tidak terlalu lama jatuh. Atau setidaknya, aku berusaha untuk tidak
berlama-lama. Aku segera bangkit dan melupakan Pras.
Detik ini dia di hadapanku.
Menceriterakan bagaimana perjalanan hidupnya. Mulai dari ketika dia masih
sebagai mahasiswa miskin yang kuliah di departemen teater IKJ. Bagaimana
perjuangannya sebagai anak desa yang hidup di Jakarta yang keras. Masa sulit yang penuh tantangan. Hidup di
antara keinginan kuat untuk menjadi seniman dan pesimisme untuk mewujudkan
keinginan itu. Tangannya sesekali bergerak-gerak sepanjang ceritanya, mengisyaratkan
kesungguhan hati untuk menaklukkan hidup seperti yang diinginkannya. Matanya
kadang-kadang menerawang jauh ke depan mengingat-ingat masa-masa sulit yang
telah dilaluinya. Wajahnya
kadang-kadang mengeras. Suaranya –meskipun tidak keras—tegas dan bersemangat.
Dan aku menikmati pemandangan di
depanku itu. Laki-laki yang
—katanya—dulu, pernah mencintaiku. Laki-laki yang membuatku belajar setia, menjaga cinta, tanpa reserve.
Laki-laki yang membuatku merasa berdosa besar saat sedetik saja aku sempat
berpaling darinya. Laki-laki yang sepanjang hubungan kami lebih banyak berkeluh-kesah
daripada mengumbar rayuan. Laki-laki yang selalu gelisah—yang seringkali tak
bisa kupahami kegelisahannya. Kegelisahan yang bagiku terlalu berlebihan. Hidup
di matanya seolah begitu sulit. Begitu tidak bersahabat. Sementara dalam
falsafah hidupku, “nrimo” adalah kewajiban . Menghayati setiap yang terjadi
dengan ikhlas adalah keniscayaan. Berkeluh-kesah adalah wujud dari
ketidaksyukuran. Dan selalu kutanyakan padanya, dalam surat-surat balasanku,
kenapa selalu mengeluh dan mengeluh. Bukankah semua yang terjadi adalah
keinginannya? Bukankah sudah menjadi tekadnya untuk hidup berkesenian? Dan
dengan segala konsekuensi atas pilihan itu, bukankah itu sebuah proses yang
harus dilaluinya?
Tapi yang ada di depanku saat
ini adalah sosok Prasetya yang lain. Sangat lain. Bukan laki-laki pemalu yang
menyerahkan surat cintanya malam-malam di rumah tetangga sebelah, karena tidak
berani datang ke rumah. Bukan laki-laki remaja berseragam putih abu-abu yang
setia menemaniku menunggu angkutan sepulang sekolah. Bukan laki-laki yang
beraninya main ke rumah kalau beramai-ramai. Bukan laki-laki yang suka
berkeluh-kesah. Prasetya telah menjadi sosok lain. Gurat-gurat di wajahnya menggambarkan
kekuatan hatinya. Kata-katanya yang berjejalan mempresentasikan kekayaan
batinnya. Caranya menceriterakan keluarganya—seorang istri dengan enam, ya,
enam orang anak—menunjukkan betapa dia menikmati semua itu.
Istrinya
orang Magelang. Dia katakan, semuanya berjalan begitu saja. Lulus dari IKJ—dia
kuliah selama tujuh tahun—dia khawatir dengan statusnya, mahasiswa tidak,
bekerja tidak, berkeluarga tidak. Maka diputuskannyalah untuk menikah, karena
itu yang paling mungkin untuk memperjelas statusnya. Maka dinikahinyalah Siti
Handayani, tanpa berlama-lama pacaran, perempuan adik temannya yang sudah agak
lama dikenalnya. Lantas mereka hidup sebagai ‘kontraktor’, tinggal di rumah
kontrakan selama bertahun-tahun. Menulis skenario, menulis naskah drama,
menjadi sutradara, dilakoninya sebagai mata pencahariannya. Sampai akhirnya dia
bisa membeli sebuah rumah di pinggiran Jakarta .
Pras juga mendirikan teater yang dinamainya ‘Teater Lukisan’, dan puluhan
naskah teater telah dihasilkannya. Salah satu naskahnya bahkan menjadi wakil Indonesia
dalam Festival Seni Enam Negara. Bersama “Teater Lukisan”-nya, Pras juga telah
berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik, penulis naskah
terbaik, dan grup teater terbaik dalam
Festival Teater di Jakarta. Lebih
dari seratus naskah skenario telah ditulisnya dan ditayangkan di beberapa
stasiun TV seperti RCTI, Lativi, Trans TV dan TPI. Terakhir, prestasi yang termasuk prestisius,
adalah menjadi casting director
sebuah film Indonesa yang sangat terkenal. Film yang diangkat dari sebuah novel
bernuansa religi.
Sepanjang ceritanya, sesekali perih menusuk-nusuk
hatiku. Heran. Aku sudah
membuang Pras jauh-jauh. Menghempaskannya dalam kubangan lumpur masa lalu,
berserak dengan semua kenangan tentang dia. Tapi berlama-lama dengannya seperti
ini, semuanya seperti berdesak-desakan di dada.
Teringat ketika saat pertama kali dia menyatakan cinta. Teringat ketika
aku menerimanya dengan setengah hati karena cinta belum bisa kuhayati
sepenuhnya saat itu. Aku baru kelas tiga SMP waktu dia mengatakan, “Iffah, aku
cinta kamu”. Dia bukan orang pertama yang menyatakan cinta. Tapi dialah orang
pertama yang kuberi harapan. Orang pertama yang membuatku belajar mencintai. Kupupuk
terus dengan sepenuh hati. Kujaga rapat-rapat sampai tak tertembus oleh cinta
yang lain.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kujalani hubungan jarak jauh itu dengan
segunung harapan. Prasetya di Jakarta mengejar impiannya, dan aku di kota
kecilku menyelesaikan SMA-ku. Bagiku, Pras sangat luar biasa. Tekadnya
untuk hidup di Jakarta
sebagai seniman, adalah sebuah cita-cita yang ‘tidak umum’ bagi lingkungan kami
pada saat itu. Seorang remaja desa
yang cinta mati pada teater dan betekad menjadikan bidang yang sangat tidak
jelas jenjang karir dan masa depannya itu sebagai pilihan hidup. Saat sebagian
besar teman-temannya pergi tersebar mengejar cita-cita untuk menjadi dokter,
insinyur, arsitek, ahli hukum, guru….Pras tanpa bisa dicegah oleh siapapun
pergi ke Jakarta untuk menekuni teater. Hanya berbekal tekad membara. Menjadikan
seni sebagai hidupnya.
Sepanjang hubungan kami, bertemu bagi kami adalah hal yang sangat langka.
Kalaupun bisa bertemu saat Pras pulang kampung, kami sudah terpuaskan hanya
dengan ngobrol beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Tidak ada sentuhan, kecuali jabat tangan.
Itulah pacaran versi kami. Betul-betul menjaga tetap di koridor. Pergi atau
jalan berdua tak pernah sekalipun kami lakukan, selalu beramai-ramai. Ngobrol
berdua, hanya bisa kami lakukan mungkin dua-tiga kali, ketika aku sudah kuliah
di Malang. Itupun di ruang tamu rumah kos, yang setiap saat teman-teman kos
berlalu-lalang. Dudukpun tidak pernah berdekatan. Seperti itulah. Hanya seperti itu!
Hanya seperti itu, namun Pras telah mengisi ruang hatiku selama
bertahun-tahun. Telah membuatku tidak mau berpikir sosok lain. Telah menyita
penuh-penuh perhatian dan kesetiaan. Dan menyediakan diriku untuk menjadi
tumpuan segala keluh kesah dan kegelisahannya menghadapi kerasnya hidup di
Jakarta. Tanpa pamrih—kecuali hanya demi cinta—menunggunya menjadi seperti apa
yang dia inginkan…tanpa tahu entah mau jadi apa dia…
Sampai suatu ketika kuterima suratnya. “Surat-surat telah membuat kita jadi
pintar berbohong, Iffah.” Awalnya tak kupahami apa makna kata-kata itu. Hingga
beberapa hari setelah itu dia datang menemuiku, dan menyatakan, semua yang terjadi
selama ini hanyalah cinta monyet. Oleh sebab itu, simpan semuanya, masukkan
laci, tutup rapat, kunci, dan buang kuncinya jauh-jauh. Kalimatnya mengalir
dari mulutnya tanpa gejolak, datar, sangat tenang….namun aku dibuatnya terkejut-kejut.
Terbengong-bengong seperti
orang baru terbangun dari mimpi buruk. Mencari-cari nada bercanda dalam
kata-katanya.
Tapi tidak, Pras serius. Hebatnya lagi, dia katakan itu semua nyaris tanpa
beban. Aku terdiam seperti anak kecil yang dinasehati saudara tuanya. Tak berkata
sepatah pun. Tak bisa merasakan apa pun. Cinta yang kujaga bertahun-tahun
hancur berkeping. Kesetiaan yang kupupuk kandas tak berbekas. Di matanya,
ternyata selama ini aku hanya anak kecil yang sedang mengalami cinta monyet.
Bukan gadis remaja yang dengan setia menjaga cinta untuk laki-laki yang
dikasihi dan diharapkan.
Dan sore ini, ketika maghrib mulai merangkak, entah kenapa, aku
menyampaikan perasaan hatiku yang sudah lama terpendam itu, begitu saja. Rasa
sakit dan kecewa yang sudah lama kukubur. Menyeruak pelan-pelan mengalir dari
mulutku. Aku agak terbata mengatakannya. Mengimbangi kecamuk di dadaku. Pras
tidak pernah tahu, aku sempat sakit setelah dia mengambil keputusan berpisah
itu. Bahkan ibuku menanyakan,
kenapa aku kurus, apa karena memikirkan Pras? Pras tidak pernah tahu, ibuku—yang
tidak siap mempunyai menantu seorang seniman—mungkin sempat merasa bersalah
telah melarangku berhubungan dengannya. Pras tidak tahu bahwa kujaga cinta dan
kesetiaan untuknya lewat pintu belakang; tanpa restu orang tua, tanpa dukungan
saudara-saudaraku, bahkan tanpa dukungan sahabat-sahabatku. Semuanya mempertanyakan, apa yang kucari
dengan menunggu seorang seniman yang sangat tidak jelas masa depannya?
Ketika semuanya sudah bisa kukendalikan, hatiku yang hancur sudah tertata
rapi, harapan demi harapan telah mampu kubangun kembali, kusadari kemudian,
cinta dan kesetiaan yang selama itu kujaga…hanyalah sebuah kekonyolan. Hal
terbodoh dalam hidupku. Sedikitpun aku tak salahkan Pras atas semua yang
terjadi. Tak pernah kubebani dia dengan rasa berdosa karena telah meninggalkanku.
Yang salah adalah diriku sendiri…. sok setia, sok menjaga cinta….sok
dewasa…padahal sesungguhnya aku hanyalah gadis kecil belasan tahun yang tidak
paham apa itu cinta….
Namun sore ini, Pras akhirnya tahu semua itu. Kuceritakan apa yang terjadi
setelah dia pergi. Dan dia terpana. Termangu-mangu seperti tak percaya.
Berkali-kali beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum-senyum
tanpa kupahami apa makna senyumnya, antara menyesal, mengejek, atau berbangga
karena dicintai.
”Di mana aku ketika kamu sakit itu?” tanyanya, dengan suara agak parau.
Matanya mendadak layu. ”maafkan aku...maafkan aku....”
”Soal maaf, kamu bisa ambil sendiri. Sebanyak yang kamu mau....” Aku
tersenyum masam. ”Kamu tahu di mana tempatnya kan?”
Pras menjelaskan betapa Ibu Kota
telah membuatnya menjadi berubah, sehingga mungkin itulah yang menyebabkannya mengambil
keputusan untuk hubungan kami, tanpa mempertimbangkan perasaanku. Dia jelaskan, mungkin saat itu dia hanya
memperhitungkan segi kepraktisan. Jakarta dan Malang betapa jauhnya. Dia tidak
mampu membiayai hubungan jarak jauh itu.
”Pertimbangan kepraktisan. Begitukah?” Aku bertanya dengan hati penuh luka.
Tragis betul. Ini urusan perasaan apa urusan menata perabot rumah tangga? Biar
dia tidak terbebani untuk mengunjungi aku di Malang, maka lebih baik akhiri
semuanya. Begitu? Dan tidak mampu membiayai? Biaya apa? Bukankah selama ini hanya surat-surat saja
yang mewakili hubungan ini? Bukankah aku tak pernah menuntut untuk bertemu
dengannya, kecuali atas inisiatifnya sendiri? Bukankah selama ini aku memposisikan
diri hanya menunggu dia datang… dan tak pernah sekalipun memintanya untuk datang
kepadaku, sebesar apapun kerinduanku padanya? Apakah semahal itu harga satu-dua
buah perangko sehingga dia tak mampu membelinya untuk “membiayai” cinta kami?
Semakin kusadari, Pras tak pernah serius mencintaiku. Aku hanya kelinci
percobaan yang dia perlukan untuk laboratorium cinta pertamanya. Perjuangannya
selama ini hanya untuk hidup sebagai seniman, tapi tidak untuk memenangkan
cinta kami. Cinta monyet yang dia tuduhkan kepadaku, sesungguhnya cerminan
cintanya sendiri. Pras hanya butuh seseorang yang bisa lebih membuatnya kaya
inspirasi. Hanya butuh media untuk menumpahkan segala keluh kesah dan
kegelisahannya. Hanya perlu
seseorang yang mau mendengar kegalauannya kapanpun dia butuhkan. Dan saat itu, akulah orangnya. Entah
setelah itu siapa dan siapa….
Tapi semua sudah berlalu. Aku sudah
mendapatkan kesimpulan itu dua puluh tahun yang lalu. Dan aku sudah berjalan
sedemikian jauh. Memiliki seorang suami dan seorang anak yang mencintaiku
sepenuh hati. Memberiku ruang gerak yang leluasa berlandaskan keyakinan dan
kepercayaan. Tak kan
kutukar dengan apapun.
Dan Pras….biarlah tetap menjadi bagian dari masalaluku . Setidaknya telah
pernah kureguk keindahan bersamanya. Dan tetaplah menjadi kenangan indah….
Hanya serpihan nostalgi
Larut bersama gurat wajah
Dan manis senyuman….
Jakarta,
12 Februari 2010
Surabaya,
7 Mei 2013