Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 08 Mei 2013

PRAS


Laki-laki itu tentu saja sudah banyak berubah. Tubuhnya agak membulat, rambutnya—meski ada topi yang menutupi kepalanya—sepintas kulihat, telah rata memutih. Gurat-gurat di wajahnya menunjukkan betapa berbagai pengalaman hidup telah dilakoninya. Senyumnya yang mengembang, meskipun terkesan ragu, mengekspresikan kematangannya. Duapuluh tahun. Waktu yang tidak singkat untuk sebuah perpisahan.
 Dia berdiri menyambutku, mengulurkan tangan. Dan entahlah, aku merasakan ada nyeri di dada ketika tangan kami berjabatan.
Kami duduk di sebuah sofa, di lobi hotel itu. Dia—Prasetya—laki-laki itu, duduk di sudut sana dan aku di sudut satunya. Beberapa saat hanya diam. Aku sendiri agak jengah, dan sedang berusaha menguasai keadaan. Sejenak kemudian kami saling bersapa dan menanyakan kabar, berbasa-basi. Tentu tidak terlalu nyaman duduk dengan posisi saling menyamping seperti ini. Di lobi hotel yang lagi ramai lagi. Tapi inilah tempat terbaik yang bisa kami dapatkan. Semua kursi dan sofa penuh. Orang ramai lalu-lalang di depan kami. Belasan temanku bahkan masih belum mendapatkan kamar, dan sedang menunggu untuk check-in.
             Laki-laki itu, adalah masa laluku. Kami memang berjanji untuk saling ketemu sore ini. Tepatnya, aku yang memintanya untuk menemuiku. Setelah sekian kali kuminta, yaitu sejak beberapa bulan kudapatkan nomer ponselnya dari seorang teman. Setiap ada tugas ke Jakarta, aku hampir selalu menghubunginya, setidaknya sekedar say hello. Dan berharap dia berinisiatif untuk menemuiku. Tapi inisiatif itu tak kunjung datang. Selalu saja ada alasan yang dia katakan untuk tidak menemuiku. Setidaknya seperti itulah kesanku. Entah karena dia merasa tidak punya nyali untuk menemuiku…entah karena dia merasa itu tidak penting….
            Sebenarnya aku juga tidak menganggap terlalu penting pertemuan itu. Kalaupun tidak bisa bertemu, yang sudah-sudah, aku juga tidak terlalu kecewa.  Mungkin aku hanya penasaran saja, seperti apa dia kini. Masalah perasaan, rasanya semuanya sudah lewat. Duapuluh tahun yang lalu kami bepisah. Aku memang sempat sakit ketika itu. Lebih-lebih dengan caranya memutuskanku. Tapi semuanya bisa kulalui dengan baik. Meski itu kejadian putus cinta yang pertama dalam hidupku, aku tidak terlalu lama jatuh. Atau setidaknya, aku berusaha untuk tidak berlama-lama. Aku segera bangkit dan melupakan Pras.
            Detik ini dia di hadapanku. Menceriterakan bagaimana perjalanan hidupnya. Mulai dari ketika dia masih sebagai mahasiswa miskin yang kuliah di departemen teater  IKJ.  Bagaimana perjuangannya sebagai anak desa yang hidup di Jakarta yang keras. Masa sulit yang penuh tantangan. Hidup di antara keinginan kuat untuk menjadi seniman dan pesimisme untuk mewujudkan keinginan itu. Tangannya sesekali bergerak-gerak sepanjang ceritanya, mengisyaratkan kesungguhan hati untuk menaklukkan hidup seperti yang diinginkannya. Matanya kadang-kadang menerawang jauh ke depan mengingat-ingat masa-masa sulit yang telah dilaluinya. Wajahnya kadang-kadang mengeras. Suaranya –meskipun tidak keras—tegas dan bersemangat.
            Dan aku menikmati pemandangan di depanku itu. Laki-laki yang —katanya—dulu, pernah mencintaiku. Laki-laki yang membuatku belajar setia, menjaga cinta, tanpa  reserve. Laki-laki yang membuatku merasa berdosa besar saat sedetik saja aku sempat berpaling darinya. Laki-laki yang sepanjang hubungan kami lebih banyak berkeluh-kesah daripada mengumbar rayuan. Laki-laki yang selalu gelisah—yang seringkali tak bisa kupahami kegelisahannya. Kegelisahan yang bagiku terlalu berlebihan. Hidup di matanya seolah begitu sulit. Begitu tidak bersahabat. Sementara dalam falsafah hidupku, “nrimo” adalah kewajiban . Menghayati setiap yang terjadi dengan ikhlas adalah keniscayaan. Berkeluh-kesah adalah wujud dari ketidaksyukuran. Dan selalu kutanyakan padanya, dalam surat-surat balasanku, kenapa selalu mengeluh dan mengeluh. Bukankah semua yang terjadi adalah keinginannya? Bukankah sudah menjadi tekadnya untuk hidup berkesenian? Dan dengan segala konsekuensi atas pilihan itu, bukankah itu sebuah proses yang harus dilaluinya?
            Tapi yang ada di depanku saat ini adalah sosok Prasetya yang lain. Sangat lain. Bukan laki-laki pemalu yang menyerahkan surat cintanya malam-malam di rumah tetangga sebelah, karena tidak berani datang ke rumah. Bukan laki-laki remaja berseragam putih abu-abu yang setia menemaniku menunggu angkutan sepulang sekolah. Bukan laki-laki yang beraninya main ke rumah kalau beramai-ramai. Bukan laki-laki yang suka berkeluh-kesah. Prasetya telah menjadi sosok lain. Gurat-gurat di wajahnya menggambarkan kekuatan hatinya. Kata-katanya yang berjejalan mempresentasikan kekayaan batinnya. Caranya menceriterakan keluarganya—seorang istri dengan enam, ya, enam orang anak—menunjukkan betapa dia menikmati semua itu.
            Istrinya orang Magelang. Dia katakan, semuanya berjalan begitu saja. Lulus dari IKJ—dia kuliah selama tujuh tahun—dia khawatir dengan statusnya, mahasiswa tidak, bekerja tidak, berkeluarga tidak. Maka diputuskannyalah untuk menikah, karena itu yang paling mungkin untuk memperjelas statusnya. Maka dinikahinyalah Siti Handayani, tanpa berlama-lama pacaran, perempuan adik temannya yang sudah agak lama dikenalnya. Lantas mereka hidup sebagai ‘kontraktor’, tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun. Menulis skenario, menulis naskah drama, menjadi sutradara, dilakoninya sebagai mata pencahariannya. Sampai akhirnya dia bisa membeli sebuah rumah di pinggiran Jakarta. Pras juga mendirikan teater yang dinamainya ‘Teater Lukisan’, dan puluhan naskah teater telah dihasilkannya. Salah satu naskahnya bahkan menjadi wakil Indonesia dalam Festival Seni Enam Negara. Bersama “Teater Lukisan”-nya, Pras juga telah berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik, penulis naskah terbaik,  dan grup teater terbaik dalam Festival Teater di Jakarta. Lebih dari seratus naskah skenario telah ditulisnya dan ditayangkan di beberapa stasiun TV seperti RCTI, Lativi, Trans TV dan TPI.  Terakhir, prestasi yang termasuk prestisius, adalah menjadi casting director sebuah film Indonesa yang sangat terkenal. Film yang diangkat dari sebuah novel bernuansa religi.
            Sepanjang ceritanya, sesekali perih menusuk-nusuk hatiku. Heran. Aku sudah membuang Pras jauh-jauh. Menghempaskannya dalam kubangan lumpur masa lalu, berserak dengan semua kenangan tentang dia. Tapi berlama-lama dengannya seperti ini, semuanya seperti berdesak-desakan di dada.  Teringat ketika saat pertama kali dia menyatakan cinta. Teringat ketika aku menerimanya dengan setengah hati karena cinta belum bisa kuhayati sepenuhnya saat itu. Aku baru kelas tiga SMP waktu dia mengatakan, “Iffah, aku cinta kamu”. Dia bukan orang pertama yang menyatakan cinta. Tapi dialah orang pertama yang kuberi harapan. Orang pertama yang membuatku belajar mencintai. Kupupuk terus dengan sepenuh hati. Kujaga rapat-rapat sampai tak tertembus oleh cinta yang lain.
Setahun, dua tahun, tiga tahun, kujalani hubungan jarak jauh itu dengan segunung harapan. Prasetya di Jakarta mengejar impiannya, dan aku di kota kecilku menyelesaikan SMA-ku. Bagiku, Pras sangat luar biasa. Tekadnya untuk hidup di Jakarta sebagai seniman, adalah sebuah cita-cita yang ‘tidak umum’ bagi lingkungan kami pada saat itu. Seorang remaja desa yang cinta mati pada teater dan betekad menjadikan bidang yang sangat tidak jelas jenjang karir dan masa depannya itu sebagai pilihan hidup. Saat sebagian besar teman-temannya pergi tersebar mengejar cita-cita untuk menjadi dokter, insinyur, arsitek, ahli hukum, guru….Pras tanpa bisa dicegah oleh siapapun pergi ke Jakarta untuk menekuni teater. Hanya berbekal tekad membara. Menjadikan seni sebagai hidupnya.
Sepanjang hubungan kami, bertemu bagi kami adalah hal yang sangat langka. Kalaupun bisa bertemu saat Pras pulang kampung, kami sudah terpuaskan hanya dengan ngobrol beramai-ramai dengan teman-teman yang lain. Tidak ada sentuhan, kecuali jabat tangan. Itulah pacaran versi kami. Betul-betul menjaga tetap di koridor. Pergi atau jalan berdua tak pernah sekalipun kami lakukan, selalu beramai-ramai. Ngobrol berdua, hanya bisa kami lakukan mungkin dua-tiga kali, ketika aku sudah kuliah di Malang. Itupun di ruang tamu rumah kos, yang setiap saat teman-teman kos berlalu-lalang. Dudukpun tidak pernah berdekatan. Seperti itulah.  Hanya seperti itu!
Hanya seperti itu, namun Pras telah mengisi ruang hatiku selama bertahun-tahun. Telah membuatku tidak mau berpikir sosok lain. Telah menyita penuh-penuh perhatian dan kesetiaan. Dan menyediakan diriku untuk menjadi tumpuan segala keluh kesah dan kegelisahannya menghadapi kerasnya hidup di Jakarta. Tanpa pamrih—kecuali hanya demi cinta—menunggunya menjadi seperti apa yang dia inginkan…tanpa tahu entah mau jadi apa dia…
Sampai suatu ketika kuterima suratnya. “Surat-surat telah membuat kita jadi pintar berbohong, Iffah.” Awalnya tak kupahami apa makna kata-kata itu. Hingga beberapa hari setelah itu dia datang menemuiku, dan menyatakan, semua yang terjadi selama ini hanyalah cinta monyet. Oleh sebab itu, simpan semuanya, masukkan laci, tutup rapat, kunci, dan buang kuncinya jauh-jauh. Kalimatnya mengalir dari mulutnya tanpa gejolak, datar, sangat tenang….namun aku dibuatnya terkejut-kejut. Terbengong-bengong seperti orang baru terbangun dari mimpi buruk. Mencari-cari nada bercanda dalam kata-katanya.
Tapi tidak, Pras serius. Hebatnya lagi, dia katakan itu semua nyaris tanpa beban. Aku terdiam seperti anak kecil yang dinasehati saudara tuanya. Tak berkata sepatah pun. Tak bisa merasakan apa pun. Cinta yang kujaga bertahun-tahun hancur berkeping. Kesetiaan yang kupupuk kandas tak berbekas. Di matanya, ternyata selama ini aku hanya anak kecil yang sedang mengalami cinta monyet. Bukan gadis remaja yang dengan setia menjaga cinta untuk laki-laki yang dikasihi dan diharapkan.
Dan sore ini, ketika maghrib mulai merangkak, entah kenapa, aku menyampaikan perasaan hatiku yang sudah lama terpendam itu, begitu saja. Rasa sakit dan kecewa yang sudah lama kukubur. Menyeruak pelan-pelan mengalir dari mulutku. Aku agak terbata mengatakannya. Mengimbangi kecamuk di dadaku. Pras tidak pernah tahu, aku sempat sakit setelah dia mengambil keputusan berpisah itu. Bahkan ibuku menanyakan, kenapa aku kurus, apa karena memikirkan Pras? Pras tidak pernah tahu, ibuku—yang tidak siap mempunyai menantu seorang seniman—mungkin sempat merasa bersalah telah melarangku berhubungan dengannya. Pras tidak tahu bahwa kujaga cinta dan kesetiaan untuknya lewat pintu belakang; tanpa restu orang tua, tanpa dukungan saudara-saudaraku, bahkan tanpa dukungan sahabat-sahabatku. Semuanya mempertanyakan, apa yang kucari dengan menunggu seorang seniman yang sangat tidak jelas masa depannya?
Ketika semuanya sudah bisa kukendalikan, hatiku yang hancur sudah tertata rapi, harapan demi harapan telah mampu kubangun kembali, kusadari kemudian, cinta dan kesetiaan yang selama itu kujaga…hanyalah sebuah kekonyolan. Hal terbodoh dalam hidupku. Sedikitpun aku tak salahkan Pras atas semua yang terjadi. Tak pernah kubebani dia dengan rasa berdosa karena telah meninggalkanku. Yang salah adalah diriku sendiri…. sok setia, sok menjaga cinta….sok dewasa…padahal sesungguhnya aku hanyalah gadis kecil belasan tahun yang tidak paham apa itu cinta….
Namun sore ini, Pras akhirnya tahu semua itu. Kuceritakan apa yang terjadi setelah dia pergi. Dan dia terpana. Termangu-mangu seperti tak percaya. Berkali-kali beristighfar sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum-senyum tanpa kupahami apa makna senyumnya, antara menyesal, mengejek, atau berbangga karena dicintai.
”Di mana aku ketika kamu sakit itu?” tanyanya, dengan suara agak parau. Matanya mendadak layu. ”maafkan aku...maafkan aku....”
”Soal maaf, kamu bisa ambil sendiri. Sebanyak yang kamu mau....” Aku tersenyum masam. ”Kamu tahu di mana tempatnya kan?”
 Pras menjelaskan betapa Ibu Kota telah membuatnya menjadi berubah, sehingga mungkin itulah yang menyebabkannya mengambil keputusan untuk hubungan kami, tanpa mempertimbangkan perasaanku. Dia jelaskan, mungkin saat itu dia hanya memperhitungkan segi kepraktisan. Jakarta dan Malang betapa jauhnya. Dia tidak mampu membiayai hubungan jarak jauh itu.
”Pertimbangan kepraktisan. Begitukah?” Aku bertanya dengan hati penuh luka.
Tragis betul. Ini urusan perasaan apa urusan menata perabot rumah tangga? Biar dia tidak terbebani untuk mengunjungi aku di Malang, maka lebih baik akhiri semuanya. Begitu? Dan tidak mampu membiayai? Biaya apa?  Bukankah selama ini hanya surat-surat saja yang mewakili hubungan ini? Bukankah aku tak pernah menuntut untuk bertemu dengannya, kecuali atas inisiatifnya sendiri? Bukankah selama ini aku memposisikan diri hanya menunggu dia datang… dan tak pernah sekalipun memintanya untuk datang kepadaku, sebesar apapun kerinduanku padanya? Apakah semahal itu harga satu-dua buah perangko sehingga dia tak mampu membelinya untuk “membiayai” cinta kami?
Semakin kusadari, Pras tak pernah serius mencintaiku. Aku hanya kelinci percobaan yang dia perlukan untuk laboratorium cinta pertamanya. Perjuangannya selama ini hanya untuk hidup sebagai seniman, tapi tidak untuk memenangkan cinta kami. Cinta monyet yang dia tuduhkan kepadaku, sesungguhnya cerminan cintanya sendiri. Pras hanya butuh seseorang yang bisa lebih membuatnya kaya inspirasi. Hanya butuh media untuk menumpahkan segala keluh kesah dan kegelisahannya. Hanya perlu seseorang yang mau mendengar kegalauannya kapanpun dia butuhkan. Dan saat itu, akulah orangnya. Entah setelah itu siapa dan siapa….
Tapi semua sudah berlalu. Aku sudah mendapatkan kesimpulan itu dua puluh tahun yang lalu. Dan aku sudah berjalan sedemikian jauh. Memiliki seorang suami dan seorang anak yang mencintaiku sepenuh hati. Memberiku ruang gerak yang leluasa berlandaskan keyakinan dan kepercayaan. Tak kan kutukar dengan apapun.
Dan Pras….biarlah tetap menjadi bagian dari masalaluku . Setidaknya telah pernah kureguk keindahan bersamanya. Dan tetaplah menjadi kenangan indah….

Hanya serpihan nostalgi
Larut bersama gurat wajah
Dan manis senyuman….

Jakarta, 12 Februari 2010
Surabaya, 7 Mei 2013

Selasa, 07 Mei 2013

JEJAK MASA LALU


Mendung tebal menggayut di langit. Angin berhembus kencang, suaranya mendesis-desis. Batang dan ranting pohon sonokembang bergoyang-goyang, sebagian daunnya berguguran. Sebentar saja halaman gedung rektorat telah basah. Suasana yang sejenak tadi sejuk, berubah menjadi agak menakutkan. Hujan di bulan Desember. Berangin, penuh dengan kilat dan petir. Menyambar-nyambar di langit yang gelap.
            Lula memarkir mobilnya dengan tergesa. Meraih tas laptopnya, payung, dan membuka pintu mobil, menghambur ke teras gedung. Uff. Payungnya tersenggol sesuatu—tepatnya—seseorang.  
            “Maaf.” Kata pertama yang spontan meluncur dari mulutnya. “Maaf, tidak sengaja.” Dia anggukkan kepala pada laki-laki di depannya, dan tersenyum. Tapi senyumnya begitu saja menggantung. Senyum laki-laki di depannya juga.
            “Dik Lula?” Sapa laki-laki itu.
            Desiran halus begitu saja mengalir di dada Lula. Sejenak. Karena dia harus cepat menguasai perasaan. Dia segera meraih tangan yang mengulur di depannya. Menyalaminya, masih dengan perasaan berkecamuk yang dia coba untuk menenangkan..  “Mas Gilang? Kok ada di sini, Mas?”
            “Ya. Ada rapat. Diundang Rektor.
“Oya? Rapat apa?”
“Pembentukan panitia Forum Ilmiah Ikatan Alumni”.
            “O, begitu.” Lula manggut-manggut. Mengusapkan tisu di mukanya yang sedikit basah karena air hujan. Laki-laki itu, Gilang Susanto, memandanginya dengan perasaan yang sama berkecamuk. Dua puluh tahun. Tak disangka bertemu lagi. Dan perempuan itu, Lula Amanda, tidak banyak berubah. Masih saja manis. Meski ada yang berbeda. Rambut hitam dan ikalnya yang dulu terurai, sekarang tertutup rapat dengan kerudung merah hati. Senada dengan busana kerja yang membungkus tubuhnya yang ramping. Masih seperti dulu.
            “Saya duluan ya, Mas. Ditunggu rapat di PR 3”.
            “O ya, ya.” Gilang terjaga. Tetap dengan pandangan yang belum lepas dari wajah Lula, yang bergegas pergi. Rasanya dia ingin menahan perempuan itu, mengajaknya ngobrol, sejenak saja, untuk melepaskan perasaan yang tiba-tiba menggumpal di benaknya. Tapi dia tidak mempunyai keberanian. Karena dia sendiri tidak memahami perasaan itu. Rasa yang begitu lama tidak pernah menghinggapinya, sejak dua puluh tahun. Saat ini, ketika usianya menjelang empat puluh lima tahun, mendadak rasa itu mengusiknya.
            Lula menaiki tangga. Ruang PR 3 ada di lantai dua. Dia sedang ditunggu untuk acara technical meeting Lomba Karya Ilmiah Mahasiswa. Dia harus ikut memberikan pengarahan untuk acara yang dua hari lagi akan digelar itu. Setumpuk karya tulis sudah menunggu untuk dibacanya.
Tapi pertemuan satu dua menit tadi, lebih mendominasi pikirannya.
Gilang—meski hanya sebentar pernah mengisi hatinya, dulu—tak urung sempat membuat jantungnya berdesir halus. Tidak pernah dia bayangkan bisa bertemu lagi. Meski sebenarnya Gilang bekerja di kota yang sama, namun seolah laki-laki itu tenggelam ditelan waktu. Sesekali pernah terbersit Lula ingin bertemu, hanya untuk tahu keadaannya, atau sekedar bertegur sapa. Kalau dia mau, tentu tidak sulit melakukannya. Teman-temannya banyak yang mengajar di perguruan tinggi yang sama dengan Gilang. Sekedar untuk mengetahui nomer telepon genggam Gilang, bukanlah hal yang sulit. Tapi Lula merasa tidak pantas, merasa tidak perlu. Bukan karena takut membangkitkan perasaan yang pernah ada, namun lebih karena dia ingin menghormati suaminya. Dengan alasan itu jugalah dia menolak tawaran temannya untuk membantu mengajar di perguruan tinggi itu. Dia tidak ingin Anggoro, suaminya, merasa tidak nyaman karena dia bekerja di satu institusi dengan Gilang.
  Kabar terakhir yang didengarnya dari seorang teman, Gilang merupakan kandidat Guru Besar yang pertama di jurusannya. Hebat. Dari dulu, Gilang memang hebat. Gilang yang angkatannya setahun di atas Lula itu adalah fungsionaris mahasiswa yang aktif di dalam lingkungan institut maupun di luar institut. Agamis dan idealis. Juga cerdas. Penampilannya lugu, bicaranya lugas. Gilang sangat menonjol dalam forum-forum ilmiah mahasiswa. Dan sebagai pemimpin redaksi media mahasiswa, kecerdasannya juga nampak dari tulisan-tulisannya. Meskipun begitu lugu, Gilang bisa menjadi sangat mengagumkan karena kecerdasannya.
            “Selamat siang, Bu Lula.”
            “Oh, siang.” Lula agak terkejut, terjaga dari lamunannya. Pak Hardi, staf PR 3, menyapanya ramah. “Saya tidak terlambat kan, pak?”
            “Tidak, Bu. Silahkan makan siang dulu, sudah disiapkan.”
            Lula mengambil tempat duduk. Menyalami pak Fuad dan bu Merry yang sudah lebih dulu duduk. Meraih nasi kotak di depannya. Hm, ayam goreng lalap. Cocok untuk perutnya yang lagi lapar.
*
            Lula tertegun membaca surat Gilang, meski sebenarnya dia sudah menduga hal itu akan terjadi: Gilang menyatakan cintanya. Sikap Gilang yang belakangan agak lain, dapat ia rasakan bahwa Gilang memiliki perasaan khusus. Meski Gilang tidak pintar mengungkapkannya, Lula tahu laki-laki itu jatuh hati padanya.
            Dan Lula bertanya pada diri sendiri, cinta jugakah aku pada Gilang? Lula tidak tahu. Yang jelas, dia sangat mengagumi Gilang. Sebagai seorang gadis dua puluh tahun, dia sudah memiliki gambaran tentang laki-laki ideal untuk pendamping hidupnya kelak: agamis dan cerdas. Soal penampilan tidak terlalu penting, asal lebih tinggi dari dia yang tingginya 162 centi meter. Dan Gilang memenuhi semua kriteria pria idaman yang diangankannya. Oleh sebab itu, rasanya tidak akan sulit mencintai Gilang. Maka ketika Gilang meminta jawabannya, meski tidak yakin, Lula memberanikan diri mengatakan: “Okelah, mas Gilang, kita coba jalan. Saya tidak yakin dengan perasaan saya, tapi saya akan belajar mencintai.”
            Belakangan, jawaban itu menyelamatkan Lula ketika dia harus memutuskan meninggalkan Gilang, dan berpaling kepada Anggoro. Tiga bulan. Hanya tiga bulan Lula bertahan dengan usahanya untuk belajar mencintai Gilang. Usaha yang ternyata sia-sia. Anggoro sedikitpun tidak memberinya kesempatan untuk itu. Dengan segala daya upaya, Anggoro berusaha keras merebut hati Lula. Menyita hampir seluruh waktunya untuk membuat Lula tidak berpikir yang lain kecuali memikirkannya. Tidak peduli Gilang yang seolah berdiri di atas bara panas.  
            “Beri kesempatan aku untuk belajar mencintai mas Gilang, mas. Tolonglah. Jangan datang-datang lagi. Aku sudah berjanji, aku akan belajar mencintainya.” Pinta Lula pada Anggoro, di suatu sore, ketika untuk kesekian kalinya, Anggoro menyatakan cintanya.
            Tapi Anggoro hanya menggeleng, tak peduli. “Tidak. Aku tidak bisa.” Dia menggelengkan kepala lagi. “Aku terlanjur sangat, sangat mencintaimu.” Matanya menatap Lula tajam untuk meyakinkan.
            Dan Anggoro terus mengunjungi Lula. Melimpahinya dengan perhatian dan kelembutan. Memenuhi buku catatan kuliahnya dengan puisi-puisi cinta. Membawakannya sekantong melati yang harumnya semerbak menyebar di segala penjuru ruang kamarnya. Menemaninya di perpustakaan. Menghadiahinya dengan buku-buku Kahlil Gibran yang sangat dikagumi Lula.  
            Nama Gilang semakin terkikis dari hati Lula. Semakin ia ingin menjangkau, semakin jauh saja rasanya. Gilang yang idealis, meminta Lula untuk meninggalkan aktivitasnya di Mapala. Menuntutnya untuk tidak mendaki gunung, caving, rock climbing, dan segala aktivitas yang menurut Gilang tidak pantas dilakukan oleh seorang wanita. Memintanya untuk membatasi pergaulan dengan teman-teman yang di mata Gilang akan memberi pengaruh tidak baik. Mengharuskannya untuk mengerti bahwa dia tidak bisa setiap saat bersama Lula, karena dia punya banyak kesibukan di berbagai organisasi.
            Lula akhirnya harus memilih. Dan pilihan itu jatuh pada Anggoro. Orang yang tidak punya kelebihan apapun dibanding Gilang, kecuali bahwa Lula lebih mencintainya. Gilang yang cerdas dan idealis adalah sosok yang sangat dingin baginya. Sosok yang tidak mampu memberinya rasa aman ketika sedang berjalan bersama. Sosok yang tidak  pernah bisa membuat hati Lula tersentuh oleh kata-katanya, oleh perhatiannya. Sekeras apapun Lula berusaha mencintai, ternyata tidak berhasil. Baru disadarinya, sebagai perempuan, dia tidak hanya butuh laki-laki yang agamis dan cerdas. Lebih dari itu, dia membutuhkan perhatian, perlindungan, dan rasa aman. Dan semua itu ada pada Anggoro.
            Gilang pun terluka. Sangat. Lula sendiri sungguh tidak menduga Gilang akan seterluka itu. Sosoknya yang selalu tegar dan cenderung angkuh mendadak luruh hanya dengan beberapa kalimat Lula: “Maafkan aku, mas Gilang. Aku tidak bisa. Aku tidak berhasil belajar mencintai mas. Maafkan aku. Kita jalan sendiri-sendiri.”
            Gilang seperti tidak percaya, meski sebenarnya dia lamat-lamat bisa merasakan, Lula tak penah serius belajar mencintainya. Lula terlalu sibuk dengan perhatian orang lain, yaitu Anggoro. Setiap kali Gilang datang mengunjungi Lula di sela-sela kesibukannya, Anggoro hampir selalu ada bersama Lula. Meski Gilang tahu Anggoro adalah senior Lula di Mapala, tapi dia juga tahu mereka bertemu tidak untuk urusan organisasi. Maka bagai harimau yang terluka parah, Gilang bertanya:. “Apa karena ada orang ketiga?”
            Lula terkejut, tidak menyangka Gilang akan bertanya seperti itu. Dia menatap Gilang. Mata laki-laki itu berembun. Oh, batu karang itu menangis. Lula telah mencabik-cabik hatinya. Membuatnya jatuh tersungkur dari ketinggian yang tak pernah dibayangkannya. Terpuruk, sakitnya luar biasa.  Lula juga ingin menangis merasakan darah yang mengucur deras dari luka hati Gilang. Tapi dia harus berkata jujur. “Mas Anggorokah maksud mas?” Tanyanya. Dan dia menguatkan hati. “Ya.”
            Sejak itu, Gilang seperti terbawa angin. Hilang ditelan bumi. Pergi membawa cintanya ke tempat di mana dia bisa menyibukkan diri. Membunuh waktu untuk bisa melupakan Lula. Andai bisa, dia ingin mencuci otaknya. Agar kenangan tentang Lula terbuang sama sekali dari benaknya. Sampai suatu saat dia akan menemukan tambatan hati yang lain.
            Tiga tahun bersama, akhirnya Lula pun disunting Anggoro. Saat itu, Lula bahkan sama sekali tidak teringat Gilang. Cara Anggoro mencintainya tak membuka peluang sedikitpun bagi Lula untuk memikirkan orang lain. Anggoro telah merebut hatinya. Utuh-utuh. Dan menutupnya rapat-rapat untuk hadirnya cinta yang lain.    Sekarang, setelah hampir dua puluh tahun pernikahan itu, dengan seorang anak semata wayang hasil buah kasih, perhatian Anggoro nyaris tidak berubah. Sikapnya yang melindungi, penuh perhatian, semakin sarat sejalan dengan usianya yang semakin matang. Anggoro yang romantis selalu memenuhi hari-harinya dengan ungkapan sayang, penuh perhatian bahkan untuk hal-hal kecil, tak pernah lupa memberinya bingkisan dan kado—meski hanya sebuah puisi—untuk hari-hari istimewa. Membuat Lula merasa menjadi perempuan yang sangat dibutuhkan dan berarti.
            Meski begitu, pertemuan dengan Gilang tadi siang ternyata mampu mengusik hati Lula. Wajah Gilang yang lugas dan cerdas, dengan penampilan yang semakin matang, masih memenuhi benaknya. Mata tajamnya yang menatap Lula lekat-lekat masih terbayang jelas. Entah kenapa, Lula merasa senang dengan pertemuan tadi.            Rasanya, kekaguman ini belum sirna, pikir Lula. Meski bukan cinta, namun pertemuan dengan orang yang pernah dikaguminya itu, ternyata membuat perasaannya agak berbeda. Mungkin karena setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Dan bagaimana pun, Gilang pernah dekat, meski tidak sangat dekat.  
*
            Lula tertegun. Ada SMS berupa sebuah puisi. Dari Gilang. Dibacanya puisi itu: “Terkadang terang, terkadang gelap, semua dilalui. Ketika bertemu masa lalu, terasa menjadi muda kembali. Digapai-gapai kedamaian, diam didapat. Ketika hanya pandangan dilakukan, justru bergerak seluruh jiwa ini. Ah, bidadari itu terbang lagi ke singgasana. Apa yang terjadi nanti, bila raga hanya dapat bersandar di kursi? Akankah masa lalu itu, dan bayangan mendatang, disatukan dalam periuk jiwa muda? Ah. Bayang-bayang semakin lenyap bersama lenyapnya angan. Hanya senyum tersisa, mendengkur, menyongsong hidup baru esok hari.”
            Padahal jam telah menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Lula memang masih terjaga karena dia harus membaca karya ilmiah yang akan dinilainya lusa. Dan Gilang, apa yang dilakukannya pada malam selarut ini? Melamunkan dirinya? Begitukah? Tapi bila tidak, kenapa mengirim SMS seperti ini? Malam-malam lagi. Tidakkah dia terlalu berani mengambil risiko? Bagaimana kalau Anggoro tahu?
Lula membaca puisi itu lagi. Diresapinya setiap kata, satu per satu. Dan hatinya berdesir. Desiran halus seperti ketika bertemu Gilang tadi siang. Ada perasaan bahagia menyusupi relung hatinya. Sejenak Lula linglung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia ingin membalas, namun ditahannya. Tapi akhirnya jari-jarinya menekan telepon genggamnya. “Mas, tidur, dah malam. Jangan melamun, daripada ngelantur. Ok?” Akhirnya SMS itupun terkirim.
            Sejak itu, puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya mengalir deras lewat SMS. Lula selalu menyimpannya. Membacanya dengan cermat. Meresapinya diam-diam. Dan membiarkan hatinya berbunga-bunga. Dia tidak pernah mendapatkan satu puisi pun dari Gilang, dulu. Dia tidak pernah melihat sisi romantis Gilang, kecuali sosoknya yang dingin dan pengatur. Ketika sekarang, setelah dua puluh tahun berlalu, tiba-tiba dia menemukan sosok Gilang yang lain. Maka dia bertanya pada Gilang lewat SMS: “Setahuku, dulu mas Gilang tidak bisa membuat puisi. Dari mana mas belajar?”
            “Dari orang yang saat ini sedang membaca SMS-ku. Andai dari dulu aku tahu harus lakukan ini, mungkin aku tidak harus kehilangan.....”
            Hari-hari pun terus berlanjut. Puisi-puisi Gilang dan kata-kata lembutnya terus mengalir. Lula menikmatinya. Bahkan selalu menunggu-nunggu. Andai saja dari dulu Gilang selembut dan seromantis ini. Andai saja dia tidak terlalu dingin dan keras hati.... Lula mulai berandai-andai. Sosok Gilang yang cerdas selalu membuatnya kagum. Dan kekaguman itu semakin lengkap ketika dia temukan sisi lembutnya. Sisi yang tak pernah dirasakannya ketika itu.
             Tapi tiba-tiba Lula tersadar ketika Gilang bertanya: “Apakah dik Lula sekarang sudah berhasil belajar mencintai saya?”
            Oh, tidak. Aku tidak mau terjebak. Lula betul-betul seperti baru tersadar. Pintu selingkuh terbuka lebar di depan matanya. Ponsel memberinya kemudahan untuk itu. Anggoro yang mempercayainya membuat jalan menjadi serba aman. Aktivitasnya sebagai wanita bekerja di luar rumah memungkinkannya untuk bisa mengambil kesempatan. Mengendalikan waktu dengan leluasa untuk sekedar mencari selingan.
            Tapi Lula sudah memiliki Anggoro dan Raga yang mencintainya. Tak akan dia menukarnya dengan apapun untuk kedua belahan jiwanya itu. Tidak juga dengan kesenangan yang mungkin akan membuat hidupnya lebih berwarna. Lula merasa, semuanya harus diakhiri. Sebelum pintu itu semakin terbuka lebar, dan menjebaknya dalam hidup yang pasti tidak akan pernah sama lagi. Hidup yang sudah ternoda dengan pengkhianatan.
            “Aku rasa, sekarang sudah bukan waktunya lagi belajar untuk itu, mas Gilang.” Jawabnya. Lega. Karena dia telah mengambil keputusan yang paling tepat. Menghapus jejak masa lalunya yang tiba-tiba datang menawarkan manisnya madu sekaligus pahitnya racun kebahagiaan sesaat.
            Lama Lula menunggu balasan Gilang. Dua jam lebih. Dan dia sudah mulai tidak peduli ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. SMS dari Gilang.
            “Ya, sudah tidak waktunya. Sudah kadaluarsa.” Tulis Gilang. “Namun telah kupetik keindahannya....” *


Surabaya, akhir tahun 2006
Surabaya, 7 Mei 2013



Minggu, 05 Mei 2013

Dzikir Kuliner

Waktu masih menunjukkan pukul 08.15 ketika saya tiba di Bandara Ahmad Yani Semarang. Cetak tiket, check in, boarding pass, beres. Langsung masuk ke ruang tunggu. Sriwijaya Air yang akan membawa saya ke Surabaya dijadwalkan terbang pukul 09.35. Masih banyak waktu untuk melakukan sesuatu sebelum boarding time.

Saya pun menggeser tas koper saya ke dekat mas Ali Sidik, staf Puskom Unesa yang sejak kemarin menemani saya mengikuti Rapat Koordinasi SM-3T di Hotel Patra Jasa. Memastikan dia menjaga barang  saya itu. Saya pamit jalan-jalan, 'nglemeske sikil.' 

Tentu saja saya hanya jalan-jalan dari satu konter ke konter lain yang berderet di sepanjang sisi kanan-kiri ruang tunggu. Tak bermaksud membeli sesuatu pun, sekedar window shopping. Tapi ketika masuk ke sebuah toko buku, saya menghabiskan waktu membaca-baca. Memilih-milih. Ada beberapa yang cukup menarik perhatian dan menarik hati saya untuk membelinya. Namun saya bertahan untuk sekedar membaca ringkasan di cover belakang buku-buku tersebut. Belasan buku yang saya beli beberapa waktu yang lalu masih terbungkus rapi dalam sampul plastiknya. Saya tidak mau menambah tumpukan buku-buku baru itu. Menumpuk buku baru yang belum dibaca seperti menumpuk hutang saja.

Tapi sebuah buku berjudul 'Dzikir Kuliner' tak mampu membuat hati saya menolak. Saya sudah bisa meraba seperti apa isinya dari membaca ringkasannya di cover belakang. Tapi saya belum puas. Lagi pula, semua yang berbau kuliner memang harus saya minati. Apalagi dengan embel-embel 'dzikir'. Ini pasti menarik. Sama menariknya dengan rahasia konsep Kurikulum 2013 yang muncul dari sebuah 'dzikir' saat Pak Nuh menunaikan umroh pada tahun 2006. Haha....

Makan adalah dzikir. Begitulah kata Tauhid Nur Azhar (TNA), penulis buku itu, dalam prakatanya. Pertanyaannya, bagaimana kita mengingat Allah SWT lewat proses makan? 

Menurut TNA, jawabannya memang bukan hanya pada gurihnya tengkleng di depan Pasar Klewer ataupun mak nyussnya coto makasar pelabuhan 45, tetapi justeru melekat pada proses makan dan makanannya. Setiap unsur sampai elemen subatomik dalam makanan semuanya bertasbih. Mereka berthawaf dan membentuk orbital atom, membangun medan elektromagnetik, mengadakan perjanjian perikatan van der Walls atau hidrogen. Mereka kaffah memerankan diri sebagai pemenuh kebutuhan yang harus memenuhi persyaratan. Acap kali tubuh meminta zat berpolaritas tertentu, acap kali pula ia meminta hanya ion-ion kecil untuk menjaga tekanan osmotik agar tetap kharismatik. 

Di balik semua kebutuhan serta pemenuhannya yang dapat berjalan dengan cantik, sungguh tersimpan tanda-tanda keajaiban-Nya yang begitu nyata. Jadi, rujak cingur, tahu campur, beberuk terung, pallu basa, kaledo, cakalang fufu sampai ayam bengawan solo adalah serangkaian komposisi sonata kerinduan makhluk terhadap Sang Komposer Agungnya! (hal. VIII).

Saya menahan diri untuk langsung membaca isi buku yang pasti sangat menarik ini. Saya ingin tahu siapa sebenarnya penulis buku yang dicetak pada Mei 2012 ini. TNA yang kelahiran Bandung pada 1970 ini ternyata lulusan S1 Kedokteran Undip dan S2 Kedokteran UI. Ia juga sempat terdampar di Fakulti Perubatan Universiti Kebangsaan Malaysia dan di Health Science Technology Harvard-MIT, AS. Dia juga aktif sebagai peneliti, penulis, sutradara, penulis naskah drama, menjadi konsultan tesis dan disertasi khususnya bidang biomedis dan biomolekuler. Karena kepakarannya, dia pun menjadi salah satu konsultan dan tim ahli PT Telkom, PT KAI, PT Angkasa Pura, PT Unilever dan banyak instansi yang lain. Dia telah menulis lebih dari dua puluh buku yang terbit sejak 2007. Dan banyak lagi pengalamannya, yang pasti akan terlalu panjang bila saya tuliskan semua di sini.

Pantas, tulisannya tentang makanan dan bagaimana makan itu sesungguhnya adalah suatu proses dzikir begitu memukau. Lengkap ditinjau dari berbagai sudut pandang. 

Dia berbicara tentang manajemen makan sebagai suatu seni (art) pengelolaan diri yang dinamis, sebagaimana seni pemenuhan kebutuhan primer manusia lainnya. 

Dia juga meninjau proses makan sebagai proses biologis.  Rasa lapar sebagai suatu sinyal melibatkan banyak unsur biologis di dalam sistem tubuh dengan mekanisme yang sangat rumit. Sinyal awal berasal dari impuls molekuler yang secara kumulatif akan memberikan pertanda atau gejala awal. Misalnya, menurunnya kadar gula di dalam darah atau hipoglekemi.
Dst dst...... Dikatakan bahwa fenomena biologis ini akan berintegrasi dengan fungsi luhur analitik dan bermanifestasi pada 'cara mendapatkan makanan'.

Pada titik ini, konsep 'makan-memakan' menjadi sangat krusial dan bergeser menuju ranah filosofis. Konsep halal dan haram berkembang bukan hanya terfokus pada substansi bahan makanannya, melainkan juga menambah kawasan 'bagaimana cara memperolehnya?' Dijelaskan di sini, bahwa makanan yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak halal akan memberikan pengaruh pada pribadi anak setelah mereka dewasa, dan bahkan akan mempengaruhi kualitas sebuah keluarga, dunia sampai akhiratnya. 

Terkuaklah makna doa sebelum makan, yang memiliki arti tidak sekedar mengharapkan berkah dari makanan yang tersedia, tetapi juga permohonan agar terhindar dari azab neraka. Doa makan merupakan proses stelirilasi dan pengeliminasian unsur-unsur dosa (haram) dalam sebuah makanan.

Pada saat bahan makanan yang halal dan thayib telah didapatkan, berkembang pula suatu proses pelatihan diri yang tidak kalah menariknya. Pada tahap ini, kita dihadapkan pada permasalahan pengelolaan dan pengendalian hawa nafsu. Kita harus secara jernih dan mandiri mengukur tingkat kebutuhan dan kepatutan, baik dari aspek metabolisme maupun finansial.

Penjabaran sunnah Rasulullah SAW, 'berhentilah makan sebelum kenyang' mengharuskan kita untuk menemukan ambang batas yang tidak mengganggu kesetimbangan kecerdasan intgeratif. Kegiatan tersebut harus selalu direvitalisasi setiap hari, mengingat kita juga makan setiap hari. Proses revitalisasi itu juga harus mengakomodasi setiap perubahan yang secara dinamik pasti terjadi setiap waktu (sunnatullah di ranah waktu yang relatif). 

Seandainya konsep filosofis dari ritual makan-memakan ini bisa kita pahami, prosesi makan sesungguhnya merupakan bentuk ibadah ghairu mahdhah yang sangat bermanfaat bagi peningkatan kualitas keimanan.

Dalam buku ini, TNA menyajikan tulisannya dalam tema-tema: Cita Rasa Kuliner Laut, Cita Rasa Kuliner Darat, Kuliner dari berbagai Penjuru, dan Refleksi Kuliner. Dalam setiap tema itu dia mendeskripsikan tempat-tempat makan favorit di banyak tempat baik di dalam maupun di luar negeri, tidak hanya dari kelezatan makananya, kenyamanan tempatnya, eksotisme alamnya, namun juga historis, kandungan gizi, serta hikmah spiritual dan manajerial. Dia menulis dengan gaya feature yang alurnya enak mengalir namun sarat dengan muatan akademis-ilmiah, memukau sejak dari judul sampai pada akhir tulisan. Lihat saja beberapa judulnya: Karamba di Teluk Donggala, Suatu Siang di Bosphorus, Palling dari North Sea, Angkringan Pasar Kembang, Merpati tak Pernah Ingkar Janji, Apakah Warung Padang sudah Buka di Bulan, dan judul-judul lain yang sederhana tapi tetap menarik. 

Beberapa kalimat kunci dalam buku ini: Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu (QS al-Baqarah (2):57). Makanlah dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan (QS al-An'am (6):142). 

Inti dari buku ini adalah: makan adalah ibadah, kelezatannya yang tercecap adalah dzikir.

Dalam penutupnya, TNA mengingatkan kita semua: Maka, Nikmat Tuhan Manakah yang Kau Dustakan?


Semarang, 5 Mei 2013

Wassalam,
LN

SEPI

Sebuah puisi
Bicara tentang hati
Rasa yang tak terkatakan
Kata yang tak teruraikan

Dalam sepi
Puisi kian sunyi
Membuai lamunan diri
Tentang rindu dan mimpi-mimpi
Tentang makna hidup sejati

Ke mana arah tujuan
Dermaga tak jua dalam jangkauan
Meski sang surya hampir mencapai peraduan 

Detik demi detik
Seperti berputar
Seperti bergerak
Tak kunjung sampai ke titik harapan

Sebuah puisi
Adalah lukisan hati
Adalah sepi...


Patra Jasa Semarang, 5 Mei 2013

Wassalam,
LN

Sabtu, 04 Mei 2013

Presentasi Laporan Pelaksanaan Program SM-3T Angkatan Kedua

Pagi ini, di Hotel Patra Jasa Semarang, kami dari 17 LPTK penyelenggara Program SM-3T, berkumpul. Di depan tim SM-3T Dikti, sejak tadi malam kami mempresentasikan laporan pelaksanaan program SM-3T, mulai dari pendaftaran, seleksi, prakondisi, pemberangkatan, serta monitoring dan evaluasi.

Begitu luar biasa pengalaman yang dibagikan di ruang sidang 'Kayangan' di Patra Jasa ini. Mulai dari beratnya medan yang harus ditempuh untuk mencapai lokasi pengabdian,  berbagai persoalan dalam bidang pendidikan, dan juga banyaknya persoalan karena perbedaan kultur dan agama. 

Koordinator dari Unsyiah  menayangkan sebuah gambar seorang peserta SM-3T di Anambas yang dari mata dan hidungnya keluar darah. Gadis dari prodi Pendidikan Bahasa Inggris itu konon terkena ilmu hitam karena dia menolak cinta kepala sekolah. Meski tempat tugasnya sudah dipindahkan jauh dari tempat tugas kepala sekolahnya tersebut, ternyata itu tidak menjadikan dia terbebas dari ancaman mengerikan itu. Minggu ini, koordinator SM-3T Unsyiah akan menjemput gadis malang tersebut agar bisa disembuhkan di tempat yang lebih aman. 

Penyakit nonmedis semacam ini ditemukan di mana-mana, termasuk di NTT, Aceh dan Talaud. Nai ular, nai api, swanggi, adalah istilah-istilah yang umum disebut untuk sakit-sakit nonmedis ini.  

Di Aceh Singkil, ada beberapa peserta  yang terus-menerus diteror oleh perilaku orang yang memiliki kegemaran mengintip, apa pun aktivitas mereka. Kadang-kadang pintu mess mereka juga diketuk-ketuk. Tentu saja hal ini sangat mengganggu, tidak hanya kenyamanan namun juga, terutama, keamanan.

Itu hanya sekelumit kisah yang memprihatinkan dari puluhan atau bahkan ratusan kisah memprihatinkan yang lain. Serangan 'agas', semacam nyamuk, juga menjadi gangguan yang sangat menyiksa. Nyamuk itu kalau sudah menggigit menyebabkan kulit melepuh seperti terbakar, panas dan pedihnya bukan main, serta sembuhnya lama sekali. Beberapa peserta dari UNM harus dipulangkan dan dirawat di rumah sakit di Makasar karena luka gigitan agas itu menyebabkan infeksi yang berkepanjangan. Beberapa dari mereka kabarnya harus dioperasi untuk menyembukan infeksinya. 

Saya kira hal ini hanya dialamai oleh anak-anak kami di Maluku Barat Daya (MBD), ternyata di Papua dan Papua Barat juga terjadi. Bahkan bisa dikatakan, di tempat-tempat itu, nyaris tak seorang pun yang bisa terbebas dari serangan agas.

Keterbatasan air bersih juga menjadi kendala yang cukup berat. Banyak lokasi yang sulit air. Kalau pun ada air, air itu payau. Sudah begitu, yang memanfaatkan tidak hanya manusia, tetapi juga binatang: babi, anjing, kambing, sapi.... Untuk berwudhu mereka lebih banyak bertayamum, dan, ini yang sangat memperihatinkan, mereka tidak pernah lagi menunaikan sholat jumat. Tidak ada masjid, apa lagi jamaahnya....  

Beberapa peserta sempat protes begitu dia tahu tempat tugasnya. Bagaimana mungkin Dikti dan LPTK menugaskan mereka di tempat seperti itu? Untuk mencapainya saja harus penuh perjuangan, lewat udara, laut, darat, menyeberang sungai yang arusnya deras, berbukit-bukit, terisolir, tidak ada sinyal, tidak ada listrik, air susah. Belum lagi kondisi keamanan di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah yang rentan konflik, betapa kompleksnya persoalan yang harus mereka hadapi.

Berbagai persoalan dalam bidang pendidikan juga tidak ringan. Kadangkala mereka merasa kehabisan akal menghadapi siswa-siswa yang sangat sulit, bukan hanya dalam masalah akademik tapi juga perilaku. Ditambah dengan etos kerja yang rendah dari kepala sekolah dan guru. Dukungan orang tua yang minim, yang lebih mementingkan anak-anak mereka mencari kayu bakar di hutan atau menggembala sapi atau mencari air. 

Lambat laun, memang semua tantangan itu bisa diurai satu per satu. Setidaknya, para guru pengabdi itu sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan berbagai kendala. Mandi seminggu sekali adalah biasa, berebut air dengan binatang merupakan lagu wajib, gigitan agas ditunggu saja sampai musim binatang kecil itu berlalu, dan bahkan yang suka diintip pun meyakinkan diri bahwa suatu saat si pengintip itu akan bosan dengan sendirinya....

Ya, memang berat jalan yang harus ditempuh untuk menjadi guru. Hanya mereka yang benar-benar terpanggil sajalah yang akhirnya akan mengejar profesi itu.

Saya sendiri lebih menekankan pada pentingnya memastikan kesiapan peserta sebelum mengirimkan mereka ke tempat tugas. Fisik dan mental harus benar-benar prima. Maka tahap seleksi dan prakondisi harus benar-benar menjadi tahap yang sangat penting. 

Kerjasama dengan pemda setempat juga harus optimal. Ada pemda yang terkesan tidak butuh program ini, meski pun sebenarnya kondisi pendidikan dan masyarakatnya sangat membutuhkan bantuan. Sikap pemda yang kurang kooperatif seperti ini berimbas pada tingkat keamanan dan kenyamanan para peserta dalam mengemban tugasnya. 
Hal lain yang saya dan teman-teman rekomendasikan adalah pentingnya survei awal ke tempat tugas sebelum pengiriman peserta. Ini penting, karena menyangkut ketepatan wilayah sasaran, pemahaman pada medan, dan juga pendekatan pada pemda setempat. 

Di akhir presentasi, saya menayangkan feature SM-3T, baik yang dimuat di Jawa Pos, di Majalah Unesa, dan juga, saya katakan bahwa kisah lebih lengkapnya bisa di-klik di www.ikaunesa.net dan di www.luthfiyah.com. Saya juga membawa beberapa majalah Unesa, yang saya peroleh dari mas Rohman, yang tadi malam sudah saya serahkan ke Dikti beserta laporan SM-3T Unesa, beberapa juga saya bagikan ke teman-teman sesama koordinator.

Mas Rukin, terimakasih sudah menemani kami melakukan monev, terimakasih untuk liputannya, untuk versi pdf-nya juga. Mas Samsul, Mas Fiki, dan juga Mas Rukin sebagai pemred, terimakasih untuk tulisan-tulisan SM-3T yang sudah diunggah di website ikaunesa. Mas Rohman dan tim Humas Unesa, terimakasih untuk majalah Unesanya. 

Sukses untuk kita semua.

Patra Jasa Semarang, 4 Mei 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 03 Mei 2013

TERKENANG PULAU BABAR

Pohon-pohon kelapa
Hamparan pantai
Bukit, laut
Bebatuan
Desa-desa yang indah
Orang-orang yang ramah
Gereja di mana-mana

Para bapa dan mama-mama
Tete-tete dan nene-nene
Para nyong dan nona-nona

Bapa pendeta, bapa tua
Bapa guru, nona guru
Mama piara, bapa piara

Jagung, kasbi, pisang, patatas
Daun pepaya dan daun singkong
Kacang panjang dan terong
Ikan, penyu, gurita
Colo-colo
Kelapa muda
Wow......

Patra Jasa Semarang, 3 Mei 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 02 Mei 2013

SELAMAT ULANG TAHUN, ANAKKU

Selamat ultah, sayangku
Dua puluh satu tahun sekarang usiamu
Rasanya baru kemarin
Hari itu begitu menyiksa
Berat beban tubuhmu yang meronta dalam perut ibu
Sejak sebelum matahari terbit
Sampai terbenam
Dan terbit kembali


Raungan kerasmu seperti menghalau semua lelah
Gerak kaki-kaki kecilmu menghapus seluruh sakit
Wajah mungilmu yang tampan adalah embusan angin yang mengusap segala peluh
Jari-jari mungilmu membimbing kesadaran kami semua untuk bersimpuh


Terimakasih, Tuhan
Telah Kau titipkan pada kami
Sosok mungil yang begitu kami damba
Akan kami jaga dia
Demi kebaikan di dunia dan akhiratnya...


Selamat ulang tahun, sayangku
Dua puluh satu tahun
Sudah dewasa
Ibu dulu sudah bertemu dengan bapakmu pada usia itu
Sudah tertambat hatinya
Sudah mengangankan betapa indahnya
Dalam satu naungan, dengan anak-anak buah cinta
Mengarungi samudra bersama
Dengan sebuah bahtera
Dan bapakmu sebagai nakhodanya....
Indahnya....


Hadirmu membuat hidup menjadi begitu lengkap
Ada suka ada tawa
Ada duka ada gulana
Kau ajari kami tentang berjuang
Tentang kesabaran dan keikhlasan
Tentang menerima dengan apa adanya


Selamat ulang tahun, Anak Lanangku
Hari ini hari pendidikan nasional
Di mana-mana orang bicara tentang meningkatkan kualitas dan akses berkeadilan
Pak menteri minta maaf untuk persoalan Unas
Juga bicara tentang penyakit sosial
Kemiskinan, ketidaktahuan, keterbelakangan peradaban
Kita harus meningkatkan imunitas sosial
Pendidikan bisa menjadi vaksin sosial
Pendidikan juga menjadi elevator sosial
Agar dapat meningkatkan status sosial
Pahamkah kau akan semua itu?


Bahwa layanan pendidikan harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat
Maka sekolah dibangun di mana-mana
Juga di wilayah terdepan, terluar, tertinggal
Ada juga bantuan operasional sekolah
Bantuan perguruan tinggi negeri
Bantuan siswa miskin
Bidik misi
Akademi komunitas


Tahukah kau?
Adanya penyebaran pusat unggulan
Adanya peran sebagai sabuk pengaman
Untuk keutuhan NKRI tercinta
Tahu jugakah kau
Tentang program afirmasi pendidikan tinggi
Tentang posko anti DO
Juga tentang kurikulum 2013
Sebagai antisipasi kebutuhan kompetensi abad 21
Dan menyiapkan generasi emas 2045


Anakku,
Kau harus tahu semua itu
Karena kau akan menjadi bagian dari perjuangan
Kau juga menjadi bagian yang saat ini sedang diperjuangkan
Marilah himpun kekuatan
Susun strategi menyongsong masa depan
Hidupmu harus mapan
Supaya tidak menjadi beban
Dan bisa ikut mengemban
Memberi makna bagi kehidupan


Selamat ulang tahun, Anak Lanangku
Selamat hari pendidikan....


Surabaya, 2 Mei 2013


Wassalam,
LN