Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 14 September 2013

Mamberamo (3): Sepuluh jam perjalanan, melewati ratusan jembatan

Setelah berjalan sekitar tiga jam, kami singgah di sebuah tempat makan. Yang punya orang Boyolali. Menunya ramai, mulai dari tempe goreng, ikan goreng dan bakar, ayam goreng dan bakar, bebek goreng, sampai kare ayam dan kare bebek. Ada juga lodeh nangka muda dan sayur bening. 

Pagi tadi sebagian dari kami tidak makan, karena tidak terlalu terbiasa sarapan terlalu pagi. Maka saya, mas Rukin, pak Kadis, Ferry dan mas Joko, pesan makanan. Saya mengambil sayur lodeh dan kare ayam. Rasanya cocok sekali dengan lidah saya. Persis masakan Tuban. Pedas, sedap, segar. 

Anak-anak tidak mau makan, mereka minta dibungkuskan saja. Ya, mereka tentu masih kenyang. Lagi pula, jam masih menunjukkan pukul 11.00. Belum waktunya makan siang. Maka sebanyak 27 bungkus nasi ayam segera disiapkan oleh penjualnya yang ramah. Sementara menunggu nasi bungkus, anak-anak minum dan makan kletikan seperti kerupuk dan rempeyek.

Kami juga membeli jeruk manis untuk bekal di perjalanan. Jeruk manis itu, per lima buahnya seharga sepuluh ribu. Apel, tiga buah, empat puluh ribu. Jeruk itu ditanam oleh para transmigran. Kalau apel, jelas, apel import. Pasti dibawa dari kota, mungkin dari Jayapura atau bahkan langsung dari Jawa.

Melanjutkan perjalanan lagi.  
Melewati ratusan jembatan yang kondisinya membuat hati deg-deg-an. Jembatan yang sebagian besar belum jadi, dengan kayu-kayu yang diatur rapat, dan terlihat tidak terlalu aman. Seperti itu harus kami lalui sebanyak ratusan kali. Ya, ratusan. Jayapura-Sarmi jaraknya sekitar 280 km, dan hampir setiap kilometernya melintasi jembatan. Ada juga yang musti melewati jembatan hanya dengan jarak beberapa ratus meter saja. Tidak heran kalau bus tidak bisa berjalan kencang. Kencang sebentar, lantas pelan, menceburkan diri di jembatan yang bergelombang. Kalau ada gelombang laut, di Papua inilah terjadi gelombang darat.

Lima jam yang dijanjikan pak Kadis saat presentasi di kegiatan prakondisi di Kodikmar tempo hari, ternyata hanya isapan jempol. Lima jam lebih, saat waktu sudah menunjukkan pukul 14.30, kami baru tiba di distrik Bonggo. Jarak ke Sarmi masih kurang seratus kilometer lebih, terbaca di pal kuning sepanjang jalan. Saat saya protes pada pak Kadis, pria hitam yang ramah itu hanya tertawa, menampakkan gigi-gigi putihnya (pak Kadis tidak makan sirih pinang, tidak merokok, dan tidak minum alkohol. Tidak ada bekas kemerahan di gigi dan mulutnya, tidak seperti kebanyakan orang Papua).
Kata beliau, kalau tempo hari beliau katakan bahwa jarak Papua-Sarmi sepuluh jam, maka dia khawatir nanti akan banyak peserta SM-3T yang mengundurkan diri. Dan beliau tidak mau itu. Maka dikatakan saja kalau jarak Jayapura-Sarmi lima jam. Saya menuduh pak Kadis telah melakukan kebohongan publik. Beliau malah tertawa berderai.

Di Bonggo, kami singgah di warung makan. Anak-anak membuka nasi bungkusnya. Sebagian ragu-ragu untuk makan. Perjalanan dengan gelombang darat yang hebat masih harus dilalui lima jam ke depan. Sementara tadi saja, satu dua di antara mereka sudah mengalami mabuk kepayang. Kalau makan, perut penuh, hal itu akan membuat mabuk kepayang mereka semakin parah.

Warung makan itu, yang punya, orang Kebumen. Transmigran sejak 1996. Memiliki empat anak, satu di antaranya adalah angkatan darat, dan satunya lagi arsitek yang kerja di Sorong. Dilihat dari kondisi rumah dan keluarganya, keluarga itu bisa dibilang transmigran yang cukup berhasil. Keberhasilan yang dirintis puluhan tahun. Berjuang, berusaha bertahan hidup, menghadapi berbagai kendala, baik ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga keamanan. 

Kami numpang sholat di tempat itu. Air berlimpah dan cukup bersih. Hanya, karena ternyata warung itu baru buka dua hari, maka belum ada tempat khusus untuk sholat. Kami disediakan satu kamar, di bagian belakang rumah, untuk menunaikan sholat dhuhur-ashar jama' takdim.

Melanjutkan perjalanan lagi. Laut ada di sebelah kanan. Rawa-rawa hampir di sepanjang jalan. Ada yang warna airnya hijau rata, pekat sekali. Di atasnya adalah pepohonan dari segala jenis, tumbuh sangat rapat. Diseling-seling pohon kelapa. Sungai, rawa, genangan-genangan air yang menghiasi sepanjang jalan, membuat saya paham, kenapa sebagian besar wilayah Papua adalah endemik malaria.  

Sampai di kampung Arare, distrik Pantai Timur Barat. Rumah-rumah panggung. Anak-anak kecil dan orang dewasa, duduk-duduk di teras, ada juga yang bermain di halaman. Sebagian bertelanjang dada, menampakkan tubuh mereka yang hitam legam. 

Lepas dari kampung, kembali ke rimba, rawa, masuk perkampungan lagi, rimba dan rawa-rawa lagi. Air rawa, seperti tadi, berwarna hijau, meski tidak terlalu pekat.

Singgah di jembatan dengan sungai-sungai lebar, panjang, dan indah. Ada juga sungai yang langsung bertemu dengan laut (muara). Sore yang jatuh membuat langit yang dihiasi awan menggantung hanya menyisakan sedikit kilau di beberapa bagian. Kilau itu berpendar menghiasi permukaan sungai. Indahnya...

Kami juga mengamati orang-orang yang sedang mencari biak (semacam kerang besar). Mereka, ibu, anak, dan mungkin cucu, berada di tepian sungai, naik ke jalan menaiki jalan setapak yang menanjak, membawa karung-karung berisi biak. Biak, bisa dijual di kota Sarmi, dengan harga 150 ribu per karung. Para perempuan itu bahu-membahu mengangkati karung-karung ke atas, dan seorang lagi memanggulnya di atas kepala, dijadikan satu dengan tumpukan lainnya. Meski tubuh mereka kotor, kulit hitam dan rambut keriting mereka tetap memancarkan kecantikan. Mereka cantik sekaligus kekar dan kuat.

Pukul 18.15. Kami tiba di Sarmi. Ya, sepuluh jam perjalanan. Tidak apa, tidak ada pilihan. Yang penting, malam ini bisa segera masuk hotel, mandi, makan, tidur. Sambil menunggu apa yang akan terjadi besok. Saya agak mendesak kepada pak Kadis supaya kami besok pagi bisa melanjutkab perjalanan menuju Kasonaweja. Speedboat supaya disiapkan malam ini. Siapa tahu, tiba-tiba para pemilik speedboat bersedia mengantar kami, meski besok adalah hari Minggu. Ya, siapa tahu...  

Sarmi, 14 Sept 2013

Wassalam,
LN

Mamberamo (2): Digojlok karena noken

06.00 WITA. Bangun pagi dengan tubuh segar. Ferry, kru JTV, masih pulas. Saya masuk ke kamar mandi. Terdengar ketukan di pintu kamar  berkali-kali. Pasti ulah iseng teman-teman tim pendamping. 
Semalam, saya dan teman-teman tim pendamping sempat pergi ke Jayapura, sekitar 30 km dari Sentani. Semua peserta kami sewakan mobil juga, untuk berbelaja kebutuhan mereka ke plaza Sentani. Beras, sabun, hanger, dan sebagainya. 

Saya sendiri, jauh-jauh ke Jayapura, hanya untuk mencari noken. Pesanan suami tercinta. Teman-teman nggojloki saya, noken itu password bagi saya, untuk bisa dibukakan pintu oleh suami kalau pulang nanti. Maka mereka bertiga, mas Beni, mas Julianto, dan mas Theo, setia mengawal saya, dengan driver mobil charteran, mas Rahmad. Mas Rukin memilih tidur, katanya dua malam melekan, dan perlu istirahat sebelum melanjutkan perjalanan esok hari.

08.15 WITA. Kami semua sudah makan pagi di resto hotel, dengan menu nasi putih, ca sawi, telur berbumbu (mirip bumbu bali), dan tempe goreng. Ada juga roti tawar dengan pilihan isi selai dan coklat. Tentu saja, juga the dan kopi.

Kadis Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Mamberamo Raya, Isak Torobi, S.Pd, sudah hadir, dengan dua bus Damri yang disewanya untuk kami. Satu bus khusus untuk barang dan lima peserta, satu bus lagi khusus untuk kami. Kadis yang tinggi besar dan berkulit legam itu sangat ramah. Beliau bahkan menyediakan diri untuk menemani kami sepanjang perjalanan. Saya pikir beliau akan menemui kami di Kasonaweja, ibukota Kabupaten Mamberamo Raya, dengan menumpang pesawat kecil. Ternyata, beliau memilih bersama-sama naik bus, dan berspeedboat menuju Kasonaweja. Senasib sepenanggungan, katanya.

Perjalanan menuju Sarmi dimulai. Berteman mentari yang sinarnya telah cukup terik meski masih pagi. Danau Sentani yang lar biasa indah ada di sebelah kiri kami. Benar-benar indah. Dilengkapi dengan lagu-lagu khas Papua, jalan yang berkelok-kelok dan rimba, bukit, danau, menciptakan rasa takjub berbalut puji syukur. Maha Besar Allah yang telah menciptakan keindahan ini, dan Maha Pemurah Allah yang telah memberi kami kesempatan untuk menikmati ciptaan-Nya serta mengagungkan-Nya.

09.00 WITA. Danau Sentani tak nampak lagi. Berganti dengan rimba raya. Bukit-bukit tinggi menjulang yang tertutup dengan rerimbunan yang juga tinggi menjulang. Jalan tetap berkelok-kelok, naik-turun, sepi. Hanya beberapa kali bertemu dengan kendaraan pribadi dan sepeda motor. Jurang dalam ada di sebelah kiri. Pohon-pohon yang sudah kering berserak di jurang-jurang itu.

Ada yang sedikit membuat saya gulana. Sore ini kami akan tiba di Sarmi. Perhitungan kami, besok pagi kami sudah bisa meneruskan perjalanan menuju Kasonaweja dengan speedboat. Ternyata perhitungan kami mungkin akan meleset. Hari Minggu adalah hari beribadah dan hari keluarga untuk masyarakat Papua. Tidak ada orang bekerja. Maka speedboat pun harus disandarkan. Artinya kami harus menginap semalam lagi di Sarmi. Oh God...

Ya sudah, mari nikmati saja perjalanan ini.

Sabtu, 14 September 2013.

Wassalam,
LN

Jumat, 13 September 2013

Mamberamo (1)

Panorama Membramo Tengah dari atas udara.
06.00. Bandara Juanda. Boarding. Menuju Jayapura dengan menumpang Lion. Sebagian besar dari kami, sebelum boarding tadi,  telah menyelesaikan sarapan pagi nasi kotak, yang dibawa dari Kodikmar. Juga sudah minum dua butir chloroquin, obat anti malaria.

Ada 39 peserta SM-3T yang bersama kami. Sebanyak 20 orang akan bertugas ke Mamberamo Tengah, pendampingnya adalah Beni Setiawan, S. Pd., M. Si dan Drs. Theodorus Wiyanto, M. Pd. Sedang 19 orang akan bertugas ke Mamberamo Raya, pendampingnya adalah Julianto, S. Pd., M. Pd, Drs. Rukin Firda, M. Ikom, dan saya sendiri. Ada juga Ferry Maulina dan Joko Agus, dua orang kru JTV. Secara kebetulan, saya, mas Rukin, dan Ferry, sama-sama anggota Himapala saat mahasiswa. Saat ini disatukan lagi untuk melakukan sebuah perjalanan menuju Mamberamo Raya.  

09.00 WIT. Mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Ujungpandang. Transit sekitar satu jam, lantas melanjutkan perjalanan lagi menuju Jayapura. 

Pukul 14.00. Mendarat di Bandara Sentani, Jayapura. Langsung mencari-cari toilet. Toilet wanita, membuat saya keheranan. Semua pintunya tak bisa dikunci. Bahkan pada tempat kunci di setiap pintu itu, bolong. Ketika saya tanya pada seorang petugas perempuan berambut keriting berkulit legam, beranting monte warna-warni, kenapa pintu pada tidak bisa dikunci,  katanya karena sering orang pakai toilet terkunci di dalam, jadinya kuncinya rusak.

Di teras dan halaman bandara, air ludah sirih pinang di mana-mana, sehingga di mana-mana merah. Meski di beberapa tempat disediakan kantung-kantung plastik untuk buang ludah sirih pinang, kantung plastik itu lebih sebagai pajangan.  

Oleh karena bagasi kami banyak sekali, kami menggunakan bantuan porter. Porter berkulit hitam. Ada belasan porter, dan hanya dua atau tiga orang berwajah bukan wajah Papua. Salah satunya dari Bojonegoro. Bayangkan. Jauh-jauh dari Bojonegoro, hanya jadi porter di bandara. Tapi tunggu dulu. Ternyata dia juga punya warung di area bandara Sentani. 

Masuk sebuah hotel di Sentani, tidak terlalu jauh dari bandara. Hotel yang nampaknya bagus. Tapi, mungkin kebetulan di kamar saya saja, kamar mandi tidak terlalu terawat. Wastafel tanpa saluran, sehingga airnya 'terjun bebas' ke bawah. Dinding keramik yang kusam dan kotor di sana-sini, dan pintu kamar mandi yang bagian bawahnya sudah mulai aus.

Sore ini istirahat dulu. Besok masih melanjutkan perjalanan panjang. Yang ke Mamberamo Tengah, akan menumpang pesawat Trigana menuju Wamena, lanjut ke Kobakma, dengan menumpang pesawat-pesawat kecil. Yang ke Mamberamo Raya, akan menempuh perjalanan darat selama sekitar 7 jam menuju Kabupaten Sarmi, lanjut sekitar 7 jam lagi mengarungi sungai Mamberamo dengan speedboat menuju Kasonaweja.

Bismillah. Semoga semua lancar.

Jayapura, 13 September 2013.

Wassalam,
LN

Rabu, 11 September 2013

Malam Ini, Pertemuan Itu...

Ada yang sudah sepuuuhh sekali. Badannya sudah bungkuk. Jalannya dituntun kiri kanan. Tapi ada juga yang masih bayi, terlelap dalam gendongan. Semua tumplek blek di sini. Di Gedung Bapra, salah satu gedung di kompleks Kodikmar ini. Tua muda, laki perempuan. Ratusan orang itu memenuhi kursi-kursi, dan para peserta SM-3T, anak-anak mereka, berdiri di belakang mereka.

Mereka adalah orang tua, adik, kakak, kerabat para peserta SM-3T. Sengaja disediakan waktu malam ini, selama dua jam, mulai jam 19.00-21.00, untuk mereka bisa bersemuka dengan para peserta SM-3T. Menukar pakaian dan barang-barang mereka untuk dibawa pulang, dan diganti dengan pakaian dan barang-barang untuk dibawa pergi ke tempat tugas. Melampiaskan rasa rindu mereka, pesan-pesan, doa-doa, karena setahun ke depan, mungkin mereka tak akan bersua.

Tidak ada pertemuan lagi setelah ini. Sebagian besar dari 190 peserta itu, akan diberangkatkan ke lokasi penugasan pada tanggal 13 September dini hari. Berangkat dari Kodikmar pada pukul 03.00, menuju Bandara Juanda, dan pesawat akan membawa mereka ke berbagai tujuan pada sekitar pukul 06.00. 

Sumba Timur, Aceh Singkil, Talaud, Maluku Barat Daya (MBD), Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, adalah daerah-daerah tujuan mereka. Setahun mengemban tugas pengabdian sebagai guru di sekolah-sekolah terpencil. Meninggalkan orang tua dan orang-orang tercinta. Mempersembahkan tenaga dan pikiran mereka, berperan serta dalam percepatan pembangunan pendidikan di titik-titik terdepan, terluar dan tertinggal, di NKRI tercinta.

Tidak ada yang tahu seperti apa daerah tempat tugas mereka. Kecuali hanya mengandalkan pada cerita-cerita dari angkatan sebelumnya, atau browsing di internet, atau informasi yang dibawa oleh para pejabat kabupaten yang memang didatangkan khusus untuk memberikan informasi tentang daerah itu. Selebihnya hanya mengandalkan pada tekad, niat tulus untuk mengabdi, doa restu orang tua dan kerabat, serta perlindungan Tuhan Yang Maha Melindungi.

Malam ini Kodikmar tiba-tiba seperti pasar tumpah. Keramaian itu sudah nampak mulai sore. Mereka berteduh di bawah pohon-pohon, berkerumun di masjid dan teras-teras. Puluhan bahkan ratusan mobil memadati hampir sepanjang jalan sejak dari depan kolam renang, memenuhi halaman, memanjang ke arah selatan, ke arah timur, sepanjang ratusan meter. Tiba-tiba saja, entah dari mana, para penjual makanan juga berjajar. Rombong-rombong mereka ada di mana-mana. Mungkin dengan mempertimbangkan kondisi para keluarga yang datang dari jauh itu, Kodikmar memperbolehkan para penjual itu untuk menggelar dagangan mereka, guna memenuhi kebutuhan makan dan minum para tamu itu.

Doa, dukungan, dan semangat, adalah harapan yang diharapkan dari para orang tua dan kerabat. Tugas berat yang harus  diemban oleh para guru pengabdi itu hanya membutuhkan itu semua dari mereka. Juga pikiran positif. Juga kepercayaan dan keyakinan bahwa Allah SWT akan melindungi dan menjaga mereka dalam menjalankan tugas negara itu.

Satu tahun bukanlah waktu yang singkat. Terutama untuk sebuah perpisahan. Apa lagi kalau dalam waktu setahun itu, mereka tidak bisa saling berkabar, karena ketiadaan signal telepon seluler atau sambungan telepon satelit. Apa lagi yang bisa diandalkan, kecuali doa, keyakinan, dan pikiran baik pada perlindungan Tuhan?

Malam ini, adalah malam pertemuan itu. Saat di mana mereka bisa saling berdekatan, bertatap muka, berkangen-kangenan, sebelum berpisah untuk setahun ke depan. 

Kami adalah saksi, atas air mata yang tumpah, doa-doa yang berhamburan, dan pelukan-pelukan penuh keharuan. Kami adalah saksi, atas keteguhan tekad, kebulatan semangat, dan kerelaan untuk mengabdi. Demi masa depan anak-anak bangsa. Demi keutuhan NKRI tercinta.

Kodikmar, 11 September 2013. 20.30.

Wassalam,
LN

Minggu, 08 September 2013

Tulisan Yang Datar-datar Saja....

Saya membaca deretan kalimat-kalimat itu. Untaian cerita tentang kisah perjalanan saya di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di daerah 3T. Ada kisah yang happy-happy, sekedar berbagi cerita tentang makanan, tempat wisata, rute perjalanan, dan aktivitas-aktivitas yang lain. Ada juga cerita tentang kesedihan, keprihatinan, dan ketertegunan karena melihat kegetiran hidup sebagian besar masyarakat dan kondisi guru, siswa, sekolah, dan pendidikan yang begitu terpuruk. Ada pesan-pesan pada kepala sekolah, kepala dinas, bahkan juga pada pemerintah, agar lebih mengedepankan pendidikan sebagai sebuah sarana untuk membangun masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

Saya ingat, beberapa dari tulisan itu di-share ke berbagai milis oleh satu-dua orang teman. Beberapa tanggapan dari para miliser juga bermacam-macam. Mulai dari sekedar memuji sebagai tulisan yang manis, tulisan yang inspiratif, atau tulisan yang maknyuss, seru, benar-benar laporan petualangan, dan lain-lain. Bahkan ada juga yang iseng mengusulkan supaya ada event pemberian award untuk saya (haha...kalau yang ini, suweerrr....menurut saya tanggapan yang berlebihan). Beberapa juga mempertanyakan, kapan tulisan-tulisan itu akan dibukukan.

Menulis kisah perjalanan bagi saya sekedar memenuhi tuntutan hati. Menulis memberi keasyikan tersendiri. Memberi kenikmatan. Menulis yang tanpa beban. Tanpa tuntutan dari siapa pun kecuali dari diri sendiri. Kalau kemudian tulisan itu disukai oleh yang membaca, bahkan dibagikan pada pihak-pihak lain, atau dimuat di media (meski hanya media kampus), bagi saya, itu sekedar ekses saja. Ekses positif tentunya. Ada tanggapan atau tidak, disukai atau tidak, saya tetap saja menulis.

Mungkin karena itulah, tulisan-tulisan saya nyaris tidak ada yang istimewa. Biasa-biasa saja. Datar-datar saja. Hanya beberapa yang mungkin mampu menguras emosi, atau membuka mata siapa pun yang membaca, tentang apa saja yang mungkin belum mereka ketahui sebelumnya. Tentang budaya di suatu daerah, adat-istiadat, hubungan sosial-kemasyarakatan, kondisi pendidikan dan pembelajaran, dan lain sebagainya.

Meski begitu, meski tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya ingin membukukannya. Alasannya, pertama, karena saya ingin, sebagaimana yang sering saya dengung-dengungkan, turut serta membudayakan literasi, salah satunya dengan cara menulis dan membukukan tulisan-tulisan itu. Alasan kedua, saya sudah terlanjur berjanji pada banyak orang, bahwa saya akan membukukan tulisan-tulisan saya. Kalau tidak saya penuhi janji saya itu, maka saya akan menanggung hutang seumur hidup saya dan bahkan akan menjadi hutang anak-cucu saya kelak, iya nggak?

Alasan ketiga, saya sedang belajar untuk konsekuen. Kalau saya memaksa-maksa anak-anak saya peserta program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) untuk menuliskan kisah-kisah mereka, rasanya tidak adil kalau saya tidak melakukannya juga. Omdo namanya, begitulah. 

Alasan keempat, ternyata, buku 'Jejak-jejak Penuh Kesan', buku sederhana yang sebenarnya saya siapkan untuk kado pernikahan emas bapak ibu dulu itu, cukup memotivasi beberapa teman untuk menulis buku serupa. Ali Asy'ari, salah satunya. Peserta SM-3T angkatan pertama yang sekarang menempuh PPG di Unesa itu, mengirim SMS-nya ke saya setelah membaca buku kecil itu. 'Ibu, saya ingin punya buku yang seperti buku bergambar perempuan berpayung itu...'. Seorang teman dosen, juga terdorong untuk membukukan kisah-kisahnya setelah membaca buku itu. Juga, meski buku sederhana, namun ada saja teman dan sahabat yang request untuk bisa memilikinya, termasuk pak rektor, Prof. Muchlas Samani (mungkin karena gratis ya...hehe). Oleh sebab itulah, saya ingin menulis buku serupa.

Jadi, meski pun tulisan-tulisan saya itu datar-datar saja, saya akan membukukannya. Saya pikir, saya memerlukan seorang penyunting untuk membantu saya mencermati tulisan-tulisan itu. Setidaknya, dengan memeriksakannya pada seorang penyunting, tulisan-tulisan spontan saya itu akan menjadi lebih rapi. 

Namun, mungkin tidak mudah mendapatkan penyunting yang tertarik untuk menyunting tulisan-tulisan yang biasa-biasa saja seperti itu. Apa nikmatnya menyuting tulisan yang datar-datar saja? Menyadari itu, saya memutuskan untuk menyuntingnya sendiri. Ya penulis, ya penyunting. Bukan karena apa-apa. Saya tidak ingin membebani seseorang yang bersedia menyunting naskah saya hanya karena pertemanan dan persahabatan, bukan karena ketertarikan pada isi naskah itu. Kasihan kan. Bisa tersiksa ntar dia....

Tapi tentu saja, saya masih mengandalkan seorang sahabat saya untuk menghimpun tulisan-tulisan itu. Kalau sudah dihimpun, saya nanti akan menyuntingnya, menambahkan foto-foto, dan mengembalikannya pada sahabat saya itu untuk finalisasi. Layout, sampul, ISBN, dan cetak. Jadilah buku itu. Taratattaaa......

Rencananya, buku itu akan saya beri judul 'Berbagi di Ujung Negeri'. Tapi bisa jadi saya berubah pikiran nanti. Bisa jadi buku itu akan berjudul 'Surat dari MBD', mengambil sebuah judul di salah satu tulisan. Atau...entahlah, judul bisa dipikir nanti. Judul kan hanya bungkus saja. Meski juga sangat menentukan kemenarikan sebuah buku, tapi yang penting isinya dulu disiapkan.

Bulan depan adalah ulang bulan saya (meminjam istilah Prof. Kisyani, karena tahun tidak pernah berulang, yang berulang adalah bulan). Saya berharap buku itu akan menjadi kado untuk ulang bulan saya sendiri (untuk memancing kado-kado yang lain...haha). Saya akan mencetaknya secara terbatas, dengan cetakan yang sederhana saja, bukan yang mewah (menyesuaikan dengan isi buku yang memang hanya terdiri dari tulisan-tulisan yang sederhana). Ya, tentu saja, saya akan menghadiahkannya untuk para kerabat dan sahabat. Juga untuk oleh-oleh ketika saya berkunjung ke suatu tempat, misalnya dalam rangka memenuhi undangan dalam sebuah seminar atau workshop. Buku itu, dan buku kuliner Jawa Timur saya, rasanya cukup mewakili siapa saya.

Ya, insyaallah bulan depan, untuk menandai usia saya yang ke-46, buku itu akan terbit. Itulah kado kecil saya untuk dunia literasi. Semoga berterima dan bermanfaat.

Selamat menikmati hari Minggu, kawan...

Surabaya, 8 September 2013

Wassalam,
LN

Jumat, 06 September 2013

Jakarta Hujan

Sepagi ini
Hujan membasahi Jakarta
Langit gelap penuh awan
Membuat kota seperti berkabut kelam

Sepagi ini
Hujan sudah membasahi Jakarta
Tanah Abang, Slipi, sejauh jalan tol menuju Soekarno Hatta
Jalanan berkilauan 
Air berpendar digilas roda-roda
Lampu-lampu gemerlapan
Dan dingin menusuk tulang

Sepagi ini
Jakarta hujan
Mengantar langkah-langkah kecilku
Menggapai tempat tujuan...

Jakarta, 6 September 2013. 03.50 WIB.

Kamis, 05 September 2013

Pernikahan Intan Soekisman Dan Harini: Sebuah Buku Tanda Bakti

Saya menerima buku ini saat halal bi halal Unesa pada 14 Agustus yang lalu. Prof. Dr. Kisyani, Pembantu Rektor I Unesa, yang memberi. Sebuah buku yang ditulisnya sendiri, untuk menandai pernikahan intan bapak dan ibunya. 

Ya, pernikahan intan. Enam puluh tahun. Subhanallah. Siapa sih yang tidak ingin mencapai usia pernikahan selanggeng itu, dalam keadaan yang relatif sehat dan sejahtera?

Bisa dipastikan semua pasangan suami istri menginginkannya. Tapi tentu saja tidak semua bisa meraihnya, entah karena pernikahan yang tidak langgeng, atau karena panggilan Illahi. Begitulah tulis Kisyani. Maka tidaklah berlebihan kalau peristiwa itu sangat layak untuk disyukuri, baik bagi pasangan yang bersangkutan, maupun bagi keluarganya.

Tentang pernikahan intan, Kisyani memaknainya dari sifat-sifat intan atau berlian, sebagai benda yang sangat bernilai. Sebagaimana emas, berlian dapat merujuk pada prestise seseorang. Usia 60 tahun pernikahan identik dengan intan yang sifatnya keras, sebagai simbol pernikahan yang telah ditempa dengan pengalaman hidup yang kerasnya luar biasa sehingga berhasil lulus dengan bentuk yang cemerlang, bercahaya, bermutu, berharga, dan berprestise.

Ada yang sangat menarik dan inspiratif dalam kehidupan Harini, ibunda Kisyani. Wanita kelahiran 8 Agustus 1935 di Boyolali itu, selalu mencatat setiap kejadian dalam hidupnya dalam sebuah buku harian. Setiap hari, dia selalu meluangkan waktu sekitar 10-15 menit untuk mencatat. Sampai sekarang buku hariannya sudah bertumpuk. Ada atau tidak ada peristiwa khusus, dia selalu mencatatnya setiap hari. Ya, setiap hari. Kisyani melampirkan sebagian catatan harian ibundanya pada buku ini, perjalanan hidup beliau saat menunaikan ibadah umrah. Harini, di mata Kisyani, begitu luar biasa dengan semangat menulisnya itu, bahkan sampai saat ini. Sayangnya tidak semua anak cucunya mewarisi ketelatenan menulis tersebut.

Yang unik, kehidupan Harini selalu diwarnai dengan angka 8. Meski beliau tidak mengkultuskan angka itu, namun itulah angka terindah bagi Harini. "Saya lahir pada tanggal 8 bulan 8 tahun 1935, menikah pada bulan 8, tahun pernikahan 53 jika dijumlah menjadi angka 8, anak saya 8, menantu saya 8, cucu saya 8 belas, tinggal di rumah nomor 88". Begitulah pernyataan Harini di tahun 2003, saat melaksanakan syukuran untuk pernikahan emas.

(Mengingatkan saya pada angka 7. Saya dikukuhkan menjadi guru besar pada tanggal 7 Januari 2010, pada usia saya ke 43, dan sebagai guru besar Unesa yang ke-43. Mudah untuk mengingatnya, karena 4 ditambah 3 sama dengan 7).

Soekisman (ayahanda Kisyani) bertemu dengan Harini di rumahnya karena Harini berstatus sebagai siswa SGB di Solo. Rajutan benang cinta mereka terjalin erat dan membawa mereka melangkah ke pelaminan. Pernikahan dilangsungkan di Boyolali pada tanggal 9 Agustus 1953.

Soekisman sendiri sebenarnya terlahir dengan nama Soenarto. Lahir di Solo, 9 Oktober 1927, dia memiliki masa kecil yang penuh dengan keceriaan, serta tergolong anak yang pemberani dan keras hati. Saking pemberaninya, saat usianya 11 tahun, dia terjatuh dari pohon jambu dan koma berhari-hari. Semua anggota keluarga sudah galau. Maka begitu dia sembuh, namanya diubah menjadi Soekisman.

Bagi Soekisman dan Harini, pendidikan adalah nomor satu. Pendidikan anak, cucu dan cicit, harus diutamakan karena pendidikan akan menjadi bekal kehidupan, baik di dunia maupun dalam pertanggungjawaban orang tua di akhirat kelak. Dengan pandangan hidupnya seperti itu, tidaklah heran kalau kedelapan putra-putri berkesempatan menikmati pendidikan tinggi dan berhasil dalam kehidupan mereka.

Anak pertama, Kisrini, dosen di FK-UNS. Anak kedua, Kismami, bekerja di BKKBN Jambi, juga mengajar di beberapa sekolah kebidanan dan perawat di Jambi. Anak ketiga, Kiswanto, bekerja sebagai kepala BPN Pontianak. Anak keempat, Kiswanti, ibu rumah tangga tapi sebelumnya bekerja du KLI Jakarta. Anak kelima, Kisyani, dosen di FBS Unesa, pernah menjabat sebagai Kepala UPBJJ-UT Surabaya dan sekarang menjabat PR 1 Unesa. Anak keenam, Kisyana, adalah guru SMA di Bekasi. Anak ketujuh, Kistini, bekerja di BKKBN Solo. Anak bungsu, Kistina, bekerja sebagai guru BK di MTs Negeri di Tenggarong, Kaltim. 

Masih ada banyak hal unik dan inspiratif di buku yang ditulis dengan runtut dan indah ini. Terasa betul kalau buku ini ditulis dengan penuh rasa cinta, dengan penuh rasa kasih. Cinta kasih seorang anak pada bapak ibunya. Berpadu dengan ungkapan syukur karena telah diberi kesempatan panjang bagi bapak ibu untuk mengarungi bahtera rumah tangga, serta berbahagia bersama anak, cucu dan cicit.

Kisyani, profesor cantik yang dikenal sangat suka berpantun itu, adalah sahabat, teman, ibu, kolega, kakak, yang baik dan sangat menyenangkan. Dia ramah pada siapa saja. Senyum dan sapanya membawa keceriaan. Ketegasan sekaligus kelembutannya menebarkan kesejukan. Seorang wanita yang cerdas, tangguh, sekaligus berhati kapas penuh persahabatan.

Tidak heran, karena dia lahir dari keluarga yang sangat menjunjung tinggi pendidikan, menyandarkan diri pada ajaran agama sebagai pedoman, dan selalu mengajarkan arti saling menghargai dan mengasihi demi kebersamaan dan kerukunan. 

Hotel Millenium Jakarta, 5 September 2013.

Wassalam,
LN