Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 02 April 2014

Mamteng 2: Biasakan...

Juan, supir kami semalam, tak sebaik dugaan kami. Setidaknya, untuk urusan menepati janji. Seharusnya pukul 04.30 pagi dia sudah menjemput kami di hotel, tapi ternyata kami tunggu sampai tiga puluh menit lebih dia tidak muncul juga. Padahal kami harus sudah lapor ke Trigana Air pada 05.30. Bagasi kami cukup banyak, sehingga kami memutuskan untuk datang lebih awal.

Sampai pukul 05.00, Juan tidak bisa kami hubungi. Ponselnya mati. Saya mengambil inisiatif meminta disediakan mobil oleh hotel. Resepsionisnya yang tak ramah itu mengatakan kalau supir hotel baru tiba pukul 05.30. Dengan sikapnya yang tidak 'ngresepsionisi', dia mencoba menelepon supir hotel. Berhasil, dan mungkin sebelum pukul 05.30, supir sudah sampai hotel. Baguslah. Jarak hotel ke bandara tak sampai sepuluh menit, jadi dalam hitungan waktu, masih cukup aman.

Bandara Sentani masih sepi ketika kami tiba. Kami disambut dua orang porter berseragam merah. Berkulit hitam, berambut keriting, bermata tajam. Mereka tidak ada ramah-ramahnya, tapi sangat baik membantu kami dan memastikan semua bagasi sudah masuk.

Saat kami sedang menunggu boarding di ruang tunggu, Juan menelepon mas Beni. Menanyakan apa kami sudah sampai di bandara dan meminta maaf untuk keterlambatannya. Maaf? Enak aja....kata saya. Tentu saja bercanda. Saya sadar ini Papua. Kata sahabat saya, Sirikit Syah, yang biasa diundang sebagai narasumber pelatihan menulis di Papua, di Tanah Sirih Pinang ini, kita harus siap dengan 'unexpected conditions'. Jadi nikmati saja setiap kondisi, termasuk kondisi yang tak terduga.

Dua jam lebih kami berada di ruang tunggu Bandara Sentani. Boarding time seharusnya pada pukul 06.45, lebih dari satu jam yang lalu. Tapi tanda-tanda kami akan segera diberangkatkan belum juga nampak. Tidak ada pengumuman apa pun dari petugas tentang keterlambatan ini.

Saya bertanya pada petugas perempuan berbadan subur berkulit putih. Bukan tipikal orang Papua. Dia bilang, mungkin sebentar lagi Trigana Air akan siap. Mungkin. Baiklah...

Saya membunuh waktu dengan mengobrol bersama Huli dan Uli, kenalan baru saya. Keduanya perempuan Wamena. Turun ke Sentani karena ada keluarganya yang meninggal, dan tinggal di Sentani selama seminggu. Seperti kami, mereka juga sedang menunggu Trigana.

Kulit hitam Huli dan Uli terbungkus celana dan sweater berbahan kain kaus. Tanpa alas kaki. Keduanya membawa noken warna-warni yang besar sekali, semua barang mereka masuk dalam noken itu. Saya coba angkat nokennya, aduh, berat banget. Noken itu, dibuat sendiri oleh mereka. Semua orang Wamena bisa bikin noken katanya. 

Rambut keriting Huli dijalin, ada lima jalinan di kepalanya. Dia bilang, dia menjalin rambutnya sendiri. Tanpa ditali, jalinan itu tahan bahkan sampai sebulan. Saya sempat berpikir, tahan sebulan...artinya, sebulan tanpa harus cuci rambut?

Huli sudah berkeluarga, anaknya dua, perempuan semua, lima tahun dan tiga tahun. Sedangkan Uli belum berkeluarga. Keduanya nampaknya kerabat dekat.

Tiba-tiba Huli melepas gelang warna-warninya dan menyorongkannya ke saya.
"Ibu bisa pakai?"
Saya terkejut. Senang sekali tentu saja.
"Gelang ini? Untuk saya?"
Dia mengangguk. Mata hitamnya bulat penuh menatap saya, meyakinkan.
"Wah, senang sekali." Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kiri saya. Bersanding dengan jam tangan. Serasi. Manis. Huli nampak puas, Uli ikut tersenyum simpul.

"Saya kasih apa ya ke Huli?" Tanya saya pada Huli. 
"O, tidak apa-apa, ibu..."

Ketulusan Huli dan Uli, dan banyak orang Papua yang lain, yang pernah saya temui, terasa sampai di hati. Tidak perlu waktu lama untuk menjadi akrab dengan mereka. Di Sarmi, beberapa bulan yang lalu, waktu kami mengantar para peserta SM-3T, kami diundang makan papeda oleh seorang penduduk, sebagai bentuk penghormatan. Para ibu di pasar tradisional juga dengan luwes menggoda saya dengan segenggam ulat sagu dan tertawa kegirangan melihat 'penderitaan' saya. Mereka, orang-orang Papua itu, hanya perlu disapa lebih dulu dengan ketulusan kita, supaya kita mendapatkan ketulusan yang sama dari mereka.

Tidak selalu seperti itu memang. Ada yang ketika disapa, menoleh pun tidak. Ditanya, tidak merespon. Diminta berfoto, menolak. Dihampiri, menghindar. Tapi yang seperti itu, sepanjang pengalaman saya, tidak banyak. Saya selalu berpikir positif. Mungkin hanya perlu waktu saja untuk menjadi akrab. Perlu ketelatenan.

Saya mengambil dua buah apel dari tas logistik saya. "Ini untuk Huli, dan ini untuk Uli." Saya menyorongkan apel merah itu. Mata keduanya berbinar. 
"Terima kasih, ibu..."

Kami mengobrol lagi. Bercerita-cerita ringan. Kadang-kadang saya tidak paham apa yang diceritakan Huli dan Uli. Bahasa mereka lebih banyak yang tidak saya kenal daripada yang saya kenal. Tapi saya mengangguk-angguk, sok paham, dan tertawa-tawa saat mereka tertawa. SKSD, sok kenal sok dekat. Mereka nampak senang sekali berteman dengan saya (ge er kalee...).

Di tengah keasyikan kami, bu Lucia yang baru saja bertanya pada petugas, memberi tahu kalau kondisi cuaca di Wamena buruk, sehingga pesawat tertunda keberangkatannya. Tapi tidak sampai sepuluh menit kemudian, ada pengumuman dari petugas yang menyilakan kami untuk segera memasuki pesawat.

Mendung tebal menggantung di langit. Gelap sekali. Kami berjalan cepat menuju Trigana Air yang sudah menunggu. Di dalam pesawat, aroma Papua begitu terasa. Bu Lucia dan pak Prapto mengendus-endus dan berkali-kali menutup hidungnya. Saya, meski juga sebenarnya sangat terganggu, berbisik ke mereka: "biasakan..."

Sampai ketemu di Wamena....
        
Sentani, 2 April 2014. 8.45 WIT.

Wassalam,
LN

Selasa, 01 April 2014

Mamteng 1: Menyapa Jayapura

Akhirnya, tepat pukul 13.40 WIT, pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani. Panas menyengat langsung menyambut kami begitu kami keluar dari pesawat. Kami, adalah pak Suprapto (Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan/TPP), pak Beni Setiawan (Sekprodi Pendidikan Sain), bu Lucia Tri Pangesthi (tim ahli PPG, koordinator Program KKT), dan saya sendiri. Kami adalah tim monev SM-3T yang akan bertugas ke Mamberamo Tengah (Mamteng).

Berempat kami berangkat dari Bandara 2 Juanda pada pukul 05.10 WIB tadi pagi. Menumpang pesawat Garuda tipe Bombardier, turun di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, transit sekitar satu jam. Sekitar pukul 08.50 kami bertolak ke Jayapura menumpang Garuda lagi. 

Begitu sampai di tempat pengambilan bagasi, saya langsung meminta mas Beni untuk menyewa porter. Bagasi kami cukup banyak, ada sembilan koli. Selain musti menghemat tenaga untuk empat lima hari ke depan dalam rangka menjelajahi pelosok Mamteng, menyewa porter kami niatkan sebagai cara berbagi rezeki juga pada para pekerja keras itu.

Sentani yang panas semakin panas dengan 'serangan' para supir taksi di teras bandara. Saya membiarkan mas Beni bernego dengan salah seorang supir taksi. Begitu keduanya saling bersepakat, porter mengangkat semua bagasi kami ke sebuah mobil Avanza putih. Supirnya berpostur tinggi jangkung, berkulit hitam, berambut keriting, berkalung dan bergelang monel. Matanya besar dan agak kecoklatan.

Saya duduk di depan, di sebelah supir, sedang mas Beni dan kawan-kawan duduk di jok tengah. Bagasi kami semuanya ada di jok belakang.

John, nama supir itu, berasal dari Ambon. Saya pikir dia asli Papua. Memang susah membedakan orang asli Papua dengan orang asli Ambon. 'Cetakan' keduanya sangat mirip.

"Wah, orang Ambon? Berarti pinter nyanyi dong..." Kata saya pada John. Dia tersenyum, tipis. Mahal banget senyumnya. Saya mencoba-coba mencari keramahan di wajahnya. Tidak menemukan. Tapi pandangan matanya menyiratkan kalau dia dapat dipercaya dan siap membantu.

Kami diantar John ke Hotel Ratna, setelah mencoba ke hotel lain, tapi tidak cocok karena bau rokok di kamar hotel itu membuat kami susah bernafas. Bagi saya dan mas Beni, ini adalah kedatangan kedua kami di hotel yang hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara ini. Pertengahan September tahun lalu, kami juga menginap di hotel ini saat mengantar anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang akan bertugas di Mamberamo Raya dan di Mamberamo Tengah. Saya sendiri seperti sedang 'napak tilas' jejak-jejak kami beberapa bulan yang lalu bersama teman-teman pendamping dan para peserta.

Siang sampai sore ini, kami hanya punya satu agenda: tidur. Bangun kami terlalu awal pagi tadi, karena sebelum pukul 04.00 kami harus sudah berada di Bandara Juanda untuk check in. Saya sendiri, seperti biasa, masih sempat menyiapkan menu makan pagi dan membuatkan jus jambu biji untuk anak bojo. Itulah kalau jadi ibu rumah tangga yang sok rajin. Rasanya ada yang aneh kalau pergi keluar rumah di pagi hari tanpa menyiapkan menu sarapan lebih dulu. Konsekuensinya, saya harus bangun 'mruput'.  

Kami beristirahat sampai sore di kamar hotel yang lumayan nyaman dan sejuk. Sekitar pukul 17.00, kami baru bangun. Tidur kami adalah tidur yang lelap dan menyehatkan.

***
Selepas magrib, kami berkendara menyusuri jalan menuju Jayapura. Mobil yang membawa kami adalah mobil yang sama, Avanza putih. Tapi supirnya bukan John, melainkan rekannya. Namanya sebenarnya Safrun, tapi dia lebih sukan dipanggil Juan. Juan adalah anak laki-lakinya yang saat ini berusia tiga tahun.

Kami hanya ingin melihat-lihat Jayapura saja. Meski malam sudah jatuh sempurna, kami masih bisa melihat bukit-bukit dan danau-danau. Juga menikmati makan malam yang lezat di sebuah pujasera di dekat GOR Jayapura.

Juan adalah supir yang ramah dan cukup lihai jadi pemandu. Dia menjelaskan hampir setiap tempat yang kami lewati. Dia juga bercerita tentang perseteruan antara 'orang pantai' dan 'orang gunung' yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Meski perseteruan itu sudah agak mereda setelah ada perjanjian yang ditandatangani oleh 'orang gunung', namun itu tidak berarti stabilitas keamanan di Jayapura dan sekitarnya selalu terjamin. 

Juan juga bercerita tentang keluarganya. Istrinya adalah perawat, berasal dari Timor, keturunan Timor-Jawa. Juan sendiri, keturunan Papua-Sulawesi. Juan beragama Islam seperti mamanya, sedangkan kakaknya beragama Kristen seperti papanya. Istrinya, namanya Maria Margareta, juga beragama Islam, meski papanya beragama Kristen. Juan sekeluarga merayakan natal sekaligus hari raya Idul Fitri setiap tahun bersama keluarga besarnya. Dari caranya bercerita, nampak sekali betapa Juan menikmati keragaman dalam keluarga besarnya itu dan menghayatinya sebagai sebuah berkah.

Masa SD dan SMP Juan dihabiskan di Kendari, daerah asalnya. Sejak SMA, dia mengikuti keluarganya yang hijrah ke Sentani untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ternyata benar. Papua lebih memberi harapan secara ekonomis dibanding Kendari. Menurut Juan, biaya hidup di Kendari murah, tapi cari uang susah. Di Jayapura, semuanya mahal, tapi cari uang gampang. Itulah sebabnya, orang tua Juan akhirnya memilih bermukim di  Jayapura sampai saat ini.

Dari Jayapura, kami kembali ke Sentani, sambil mendengarkan cerita Juan, dan melihat-lihat suasana jalanan di malam hari. Kami juga menyempatkan mampir di sebuah supermarket untuk membeli permen, biskuit, dan wafer, untuk kami bagikan pada anak-anak sekolah di pelosok Mamteng besok. 

Cukuplah menyapa Jayapura malam ini. Besok, sekitar pukul 06.00, kami akan bertolak dari Bandara Sentani menuju Wamena dengan menumpang Trigana Air. Dari Wamena, kami akan langsung menempuh perjalanan darat ke Distrik Illugwa. Besoknya, ke Distrik Eragayam dan Kelila. Perjalanan masih panjang, namun semoga tidak melelahkan.

Selamat malam, selamat beristirahat.

Sentani, 1 April 2014. 11.49 WIT.

Wassalam,
LN

Minggu, 23 Maret 2014

Ke Pamekasan, Membayar Hutang

Adik ibu saya, Bulik Karimah, meninggal dunia tanggal 29 Januari 2014 yang lalu, pada usia 75 tahun. Beliau berdomisi di Pamekasan, tepatnya di Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Suaminya, Kyai Bakir, sudah berpulang beberapa puluh tahun yang lalu, waktu saya masih kecil.
  
Bulik Karimah selama ini tinggal bersama anak perempuannya sekeluarga, namanya Dik Khoiriyah. Suami Dik Khoiriyah, Dik Ghofur, adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mujtama'. Sebuah pesantren yang mengelola sekitar 1500 santri laki-laki dan perempuan, mulai dari santri kecil sampai santri mahasiswa.
  
Ibu tiba dari Tuban ke rumah kami kemarin sore, diantar mas Ipung sekeluarga. Mas Ipung adalah kakak saya. Dia dan anak istri, serta dua anak saudara kami yang lain, berniat menikmati akhir pekan di Surabaya, sekalian mengantar ibu.

Para keponakan saya itu memang sudah lama ingin berkunjung ke Surabaya. Kebetulan di dekat rumah kami ada taman baru, namanya Taman Jangkar (Jambangan Karah). Lumayan menarik untuk tempat bermain anak-anak. Juga dekat dengan Masjid Al-Akbar, yang bila hari Sabtu dan Minggu, ramainya luar biasa. Banyak hiburan, banyak orang jualan, banyak tontonan. Juga dekat dengan Royal Plaza, yang bisa membuat betah siapa pun yang ingin melemaskan kaki, dengan belanja atau sekedar window shopping. 

Jadi pagi ini, kami hanya berangkat berempat. Saya sekeluarga dan ibu. Mas Ipung sekeluarga mau jalan-jalan sendiri, karena kebetulan dia sudah takziyah ke Pamekasan saat hari H bulik kami berpulang waktu itu. Saya sekeluarga yang belum sempat takziyah.  

Kami berangkat pukul 08.48, setelah membereskan rumah. Setelah semua sarapan dan dapur serta rumah kembali rapi. Arga pegang kemudi, mas Ayik di sebelahnya, sementara saya dan ibu duduk di belakang.

Yang namanya Arga, doyan ngomongnya luar biasa. Ada saja topiknya. Mulai dari musik, fotografi, mobil, burung, sepeda, apa saja. Karena bapaknya juga sama doyan ngomongnya, jadilah mobil kami ramainya seperti ruang diskusi. Saya dan ibu hanya sekali-sekali saja berkomentar.

Persis saat adzan dhuhur, kami tiba di Masjid Syuhada di alun-alun Pamekasan. Kami salat di masjid tersebut. Masjid berlantai tiga yang megah dan bersih, namun sepi. Di mana-mana, saya sering menemui kondisi seperti ini, masjid yang megah tapi sepi. Ramainya hanya sesaat, yaitu waktu salat lima waktu. Atau pada saat salat Jumat dan tarawih.

Kami tiba di Ponpes Al Mujtama' pada sekitar pukul 13.00. Disambut dengan hangat oleh Dik Khoiriyah sekeluarga. Saudara misan saya yang dipanggil bu Nyai Khoir ini usianya sepantaran saya. Anaknya empat, yang pertama sudah sarjana. Meski jarang bertemu, kami sangat akrab, dan peluk cium penuh kerinduan mewarnai pertemuan kami.

Siang ini, kami menghabiskan waktu mengobrol di teras rumah yang sejuk karena semilir angin, ditemani kue-kue ringan. Saya selalu menyukai suasana seperti ini. Bertemu kerabat, bercerita banyak hal, berkangen-kangenan, seperti nge-charge jiwa dan raga. 

Kami sempat beristirahat sejenak di kamar besar di rumah induk yang megah. Hanya sebentar, tidak lebih dari satu jam. Lantas kami berempat, diantar Azizah, putri sulung Dik Khoir, berziarah ke makam Bulik Karimah. Makam itu letaknya dekat saja, dalam kompleks ponpes. 

Di bawah gerimis yang hangat (karena matahari bersinar terang), kami berjalan menuju makam. Di makam yang masih baru itu, baru Bulik Karimah satu-satunya yang disemayamkan di situ. Semasa hidupnya, beliau memang sudah berpesan, di mana pun beliau meninggal, di makam itulah beliau ingin dikuburkan. Beliau memilih tempat itu karena tempat itu ada di lingkungan ponpes. Pilihan beliau tidak salah, nyatanya,  hampir setiap hari beliau ditahlilkan oleh para santri.

Kami berpamit saat sore mulai jatuh. Arga kembali pegang kemudi, tapi saat ini dia mengajukan syarat. Berhenti sejenak di pantai Camplong untuk berburu matahari terbenam.

"Kasihan Mbah Uti, Ga...nanti kemalaman," kata saya.
"Nggak kok, bu, sebentar saja. Tiga puluh menit."
"Hah, tiga puluh menit? Ya sudah, tidak apa-apa." Tukas saya. "Mboten menopo nggih, mbah uti?" Tanya saya pada ibu. 
Ibu menggeleng sambil tersenyum. "Ora popo." Beliau justeru ikut turun untuk bersama-sama menikmati pantai. 
"Ya, waktunya nuruti karepe bocah...tadi kan bocahe wis nuruti karepe orang tua.." Kata saya.

Kami melanjutkan perjalanan lagi setelah puas menikmati Pantai Camplong sambil menunggu senja. Sempat singgah di sebuah masjid di Sampang, untuk menunaikan salat maghrib.

Perasaan saya begitu lega. Sebenarnya, kami sudah lama sekali ingin berkunjung ke Pamekasan, sejak Bulik Karimah berpulang Januari yang lalu. Namun karena kesibukan, keinginan itu tidak kunjung terwujud. Alhamdulilah, hari ini Allah memberikan izin-Nya. Seperti lepas dari beban hutang saja perasaan saya saking leganya....

Tana Mera, Bangkalan, 23 Maret 2014. 18.48 WIB.


Wassalam,
LN
(OTW Surabaya) 

Minggu, 16 Maret 2014

Ngoweh Berjamaah

"Waktunya silaturahim dan wisata kuliner. Menikmati quality time bersama keluarga."

Pagi ini, kami sekeluarga meluncur ke Tuban. Kami bertiga, saya, mas Ayik, dan Arga. Sudah lama, mungkin sebulan lebih, kami tidak mudik. Sowan ibu dan mbah uti. Bersilaturahim sama mas-mas dan mbak-mbak, adik-adik, keponakan dan saudara misan. Senengnya....

Kami berangkat dari rumah jam 07.30. Hanya minum teh dan makan roti (saja). Niatnya memang mau melaparkan perut dulu. Merencanakan wisata kuliner setibanya di kota Tuban nanti.

Perjalanan kami relatif lancar. Biasalah, kalau bertemu dengan truk-truk besar dan bus umum. Juga mobil-mobil pribadi dan sepeda motor. Namanya juga jalan raya. Bukan jalannya nenek moyang.  Kalau mau lengang, ya bikin jalan sendiri.... 

Sepanjang perjalanan, ibu beberapa kali telepon. Memantau. Biasalah, namanya juga orang tua. Apa lagi kalau sudah sebulan lebih tidak ketemu sama anak perempuannya yang paling manis dan cucunya yang paling ngganteng serta anak menantunya yang paling hitam....hehe (hitam tapi manis poll, dan yang penting....baik hati, tidak sombong dan suka menabung).

Masuk kota Tuban pukul 10.03. Langsung menuju Belut Jangkar. Lokasinya di desa Tegalagung, Pronggahan. Dari sebelah barat Pasar Baru, ke arah selatan. Terusss ke selatan. Ketemu Pasar Klampok, belok kanan. Itu sudah.... Tanya saja di mana Belut Jangkar. Semua orang tahu. Karena ternyata yang punya adalah Riyani Jangkaru....(Haha, kalau ini suwerr...hanya bercanda).

Belut jangkar ini terkenal puwedes dan suwedep. Bagi Anda yang bukan penyuka makanan pedas, boleh coba. Dijamin Anda akan lupa kalau Anda tidak suka pedas. Pedasnya belut jangkar ini ngangeni. Sekali coba pasti ketagihan. Atau kalau tidak.... perut Anda pasti mulas, lantas tergopoh-gopoh pergi ke belakang....(Maksudnya ke kamar kecil...kamar yang keciiiillll sekali....). 

Belut itu sebenarnya hanya belut goreng saja. Digoreng nyel, tentu saja setelah dipotong-potong sekitar 2-3 centi-an. Setelah digoreng, dibumbu. Bumbu itu lho yang maut. Mirip bumbu rujak, tapi cita rasa rempahnya sangat kuat, dan pedasnya super duper mantap. Wehhh....siapa pun yang makan di situ, coba perhatikan, nggak ada yang nggak gobyos dan ngoweh-ngoweh. Terbayang kan? Puluhan orang yang gobyos dan ngoweh-ngoweh bareng? Suweru....

Seperti itulah yang terjadi pada kami bertiga. Arga terutama. Anak gendut itu seperti balas dendam saja. Seperti sudah ratusan tahun tidak makan. Lahapnya bukan kepalang. Dua porsi belut, dua porsi nasi jagung, dan dua porsi nasi putih, ludes dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Meskipun mulutnya ngoweh-ngoweh dan mukanya basah kuyup. Dasar anak kost.....

Sebelum pulang, kami pesan 15 bungkus belut dan 15 bungkus nasi jagung. Untuk ibu dan para keponakan. Saya ingin melihat pemandangan yang saya tunggu-tunggu. Mbah Uti dan para anak mantu serta para cucu ngoweh berjamaah...huwah.....huwah....huwah....heboh kan? Hehe...


Tuban, 16 Maret 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 15 Maret 2014

Gurunnya Manusia

Beberapa hari yang lalu (12 Maret 2014), saya ditugasi pak Rektor untuk menjadi pembahas pada acara bedah buku best seller "Gurunya Manusia". Acara itu diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, dan tempat acaranya di lantai dua kantor itu juga. 

Penulis "Gurunya Manusia" adalah Munif Chatib, seorang pemerhati dan praktisi pendidikan. Buku sebelumnya, "Sekolahnya Manusia" (2009), juga menjadi best seller dan sudah berkali-kali dicetak ulang serta lebih dari 40 kali dibedah di seluruh Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua.

Munif Chatib sendiri adalah lulusan S1 Hukum Universitas Brawijaya. Setahun sempat menjadi lawyer, namun kemudian menyadari, hatinya tidak berada di tempat itu. Dia pun menyeberang menjadi guru. Kecintaannya pada profesi guru mendorongnya untuk mengambil program Magister Pendidikan PAUD di UNJ, serta mengambil diploma di Supercamp-nya Bobbie DePorter di USA. DePorter sendiri adalah pakar pendidikan yang melambungkan quantum teaching dan menjadi salah satu sumber ide munculnya accelerated learning. Munif, selain beruntung karena bisa belajar pada Bobbie DePorter secara langsung, dia juga sempat belajar langsung pada Howard Gardner, siapa lagi kalau bukan tokoh multiple intelligence (MI).

Saya juga sangat beruntung bertemu dengan pria yang berdomisili di Sidoarjo ini. Wajah Timur Tengahnya yang terkesan dingin ternyata begitu hangat bersahabat saat menyampaikan topik tentang bagaimana menjadi guru yang berhasil membawa setiap siswa menjadi juara. Dia tidak hanya berteori, namun juga memberikan contoh-contoh nyata di kelas dengan melibatkan semua peserta. Dia juga menayangkan video tentang bagaimana setiap anak sejatinya adalah seorang bintang sekali pun dia anak autis, down syndrom, tuna daksa, bahkan cerebral palsi. Video-video yang ditayangkannya sungguh berhasil mengaduk-aduk perasaan dan tidak sedikit peserta yang lantas dibuatnya menangis karena terharu. Pesan dari semua tayangan video yang dia sajikan adalah, setiap anak itu istimewa. Anak berkebutuhan khusus hanya memiliki satu klastes di otaknya yang rusak, namun jutaan klaster yang lain baik-baik saja. Masuklah melalui klaster yang baik itu, dan temukan bintang di sana.  

Munif tidak hanya penulis yang andal, namun juga penyaji yang memukau. Dia menyajikan analogi pendidikan yang seragam itu ibarat burung yang dipaksa berenang atau kelinci yang dipaksa untuk terbang. Itulah pada umumnya pendidikan kita. Memaksakan kurikulum yang tidak selalu sesuai dengan bakat dan minat anak. Mereka dianggap robot yang bisa diprogram.
  
Menurut Munif, untuk berubah menjadi guru yang hebat, setiap guru harus merubah paradigma/pola pikirnya. Tentu saja hal itu sangat sulit. Tapi dengan terus mencoba, berlatih, memegang komitmen, guru itu akan berhasil. 

Munif meminta semua peserta yang terdiri dari guru-guru itu menuliskan nama dan membubuhkan tanda tangan mereka dengan cepat di atas selembar kertas. Semua dilakukan dengan tangan kanan. Kemudian Munif meminta guru mengulang apa yang mereka lakukan itu, namun dengan menggunakan tangan kiri. Tentu saja semua merasa kesulitan. "Tapi bagaimana kalau itu dilatih? Setiap hari bapak ibu menulis dengan tangan kiri? Kira-kira selama lima enam bulan ke depan, akankah itu berhasil? Bapak ibu terampil menulis dengan tangan kiri?"
Semua guru menjawab ya.
"Itu artinya, semua butuh pembiasaan. Merubah pola pikir itu juga harus dibiasakan. Sulit memang, tapi dengan terus mencoba dan berlatih dengan penuh kesungguhan, kita semua akan berhasil."

Ada lima bingkisan yang harus dibuka oleh guru. Bingkisan pertama adalah memandang setiap anak yang dilahirkan itu juara. Guru harus merobohkan penghalang-penghalang yang dibuat sendiri, seperti anak itu bodoh, nakal, menjengkelkan, dan lain sebagainya. Munif menayangkan kisah Lena Maria, seorang perempuan tanpa tangan, dan dia melakukan semuanya dengan dua kakinya. Memasak, menyulam, mengendarai mobil, mengetik, semuanya. Kisah Lena benar-benar membuka mata hati kita, seperti apa pun siswa kita, senakal apa pun, sebodoh apa pun, dia pasti memiliki sebuah 'bintang'. Setiap anak adalah karya masterpiece Sang Pencipta. Tak ada satu pun anak yang merupakan produk gagal. Tugas guru adalah membuka jalan bagi setiap anak untuk menjadi bintang. Implikasinya dalam pendidikan adalah dikembangkannya sekolah inklusi: semua anak, dengan apa pun jenis kebutuhan khusus (ABK) harus diterima.

Bingkisan kedua yaitu bahwa kemampuan anak kita seluas samudera. Tugas orang tua dan guru adalah menyelami samudera luas itu untuk mengembangkan segala potensinya. "Jangan memandang kemampuan anak kita sempit". Perkembangan anak tidak perlu dilihat dari ranking dia di kelas, namun yang lebih penting adalah mengukur kemajuan dan perkembangannya dibandingkan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu sendiri (ipsativei).

Bingkisan ketiga, setiap anak cerdas dengan multiple intelligence (MI). MI merupakan harta karun. Redefinisi kecerdasan menurut teori MI adalah kebiasaan, perilaku yang diulang-ulang (habit). Kebiasaan menciptakan produk-produk baru yang bernilai budaya. Cirinya adalah creative (lebih kepada aspek psikomotorik) dan kemampuan memecahkan masalah (problem solving, lebih kepada aspek kognitif dalam arti luas). Dengan begitu beragamnya kecerdasan dan gaya belajar anak, guru dan orang tua harus bisa memberikan stimulus yang tepat. Gaya belajar siswa harus dipahami dan mengajar harus menggunakan multistrategi. Howard Gardner memastikan bahwa setiap anak memiliki spektrum kecerdasan dan tugas kita adalah membukakan jalan bagi mereka untuk mengembangkan semua spektrum kecerdasannya. Tidak perlu ada kastanisasi bidang studi, bahwa IPA lebih unggul daripada IPS, bahwa anak cerdas adalah mereka yang nilai matematikanya tinggi, dan seterusnya.

Bingkisan keempat adalah discovering ability. Setiap orang tua dan guru harus menjelajahi kemampuan anak meskipun sekecil debu. Kembangkan kemampuan dan 
kubur ketidakmampuan anak. Untuk menjelaskan topik ini, Munif menunjukkan bagaimana seorang anak cerebral palsi berhasil menjuarai triathlon. Tidak terbayangkan bagaimana seorang cerebral palsi bisa mengikuti kejuaraan berat itu. Ternyata ada seorang ayah yang luar biasa.
Seorang ayah yang selalu melakukan 'discovering ability'.
Berkaitan dengan hal ini, seorang guru haruslah lebih banyak sebagai fasilitator, 
katalisator dan melakukan
penilaian otentik.

Bingkisan kelima adalah bakat. Setiap anak memiliki bakat dan tugas guru adalah menemukan bakat anak. 

Guru adalah profesi yang profesional. Dia dituntut untuk terus berkarya dan mampu memecahkan masalah. Tantangan bagi guru yaitu bagaimana menghayati profesinya supaya mereka menjadi profesional. Guru yanhg profesional adalah guru yang "mengajar dengan hati".

Surabaya, 15 Maret 2014. 19.50 WIB.

LN
(Nunggu boarding di Bandara Yogya)

Rabu, 05 Maret 2014

Kisah Mobil Dinas

Hari ini saya memperoleh mobil dinas. Merk-nya Toyota Avanza, keluaran tahun 2008. Sama seperti mobil dinas para Dekan dan Direktur Pasca serta Kepala Lembaga dan UPT di lingkungan Unesa. 

Saya menandatangani Berita Acara Serah Terima mobil itu siang tadi, di kantor kabag perlengkapan. Setelah tanda tangan, saya menerima kunci kontak dan STNK. Satu kunci kontak dan STNK mobil, dan satu kunci kontak dan STNK sepeda motor. Sepeda motor itu untuk digunakan staf PPG yang tugasnya sebagai pengantar surat.

Karena mobil dinas, mobil itu berplat merah. Saya bilang mobilnya bengesan (pakai lipstick). Saya langsung menyerahkan kunci kontak dan STNK kepada Anang, driver PPG.

"Kamu ambil mobil dinasnya, di kabag perlengkapan. Biar aku nyetir sendiri bawa mobilku."
"Terus, ibu, saya bawa ke mana mobilnya?"
"Ke PPG."
"Terus ibu ke PPG-nya gimana? Masak ibu mau nyetir sendiri."
"O iya ya..." Saya berpikir sejenak. Malas juga nyetir sendiri ke Lidah. Macetnya itu lho, apa lagi kalau sore hari, waktunya pulang, bisa bikin stres di jalan. "Bagaimana sebaiknya ya?"
"Apa ibu saya antar ke PPG dulu, terus nanti saya balik ke sini untuk ambil mobil dinas?"
"Terus, pulangnya aku gimana?"
"O iya ya...." Gantian Anang yang linglung.
"Gini aja. Aku akan parkir mobilku di rumah, kamu nyusul. Ntar kita ke PPG pakai mobil dinas saja."
"Inggih, ibu."

****

Siang ini, saya meluncur ke PPG dengan mobil dinas. Mobil itu, maaf, baunya apek. Saya membuka jendela meski AC menyala, berharap bau apek dan aroma tembakau tidak mulek di dalam. Jok mobil juga kotor di beberapa bagian, karpetnya berdebu, dan ada bekas-bekas oli di beberapa bagian dinding dan langit-langitnya. 
"Nang, ini mobil jorok banget sih..." Kata saya.
"Iya, ibu....kurang terawat."
"Padahal sebelum diserahkan ke kita, bu Ratih bilang kalau mobil diservis, di-balancing, di-spooring...." Bu Ratih adalah kabag perlengkapan.
"Ya, tapi kan bu Ratih tidak bilang kalau dibersihkan, ibu..."
"Iya ya... Bener juga."
Saya gebres-gebres. Aroma di dalam mobil benar-benar memancing penyakit alergi saya kambuh.
"Nang, ntar minta duit mbak Evi, bawa mobil ini ke salon mobil. Biar bersih, biar wangi."
Mbak Evi adalah PUMK PPG.
"Inggih, ibu."
"Dirawat, Nang, mobilnya. Cek olinya, cek rodanya, cek semua. Ini fasilitas, musti dirawat dengan baik. Jangan mentang-mentang punya negara. Ngerti ya, Nang."
"Inggih, ibu..."

***
Mas Ayik, suami saya, setelah beberapa tahun bekerja sebagai kabag personalia di PT Jacobs Biscuits, sejak 2004 dapat mobil dinas. Panther Touring. Karena mas Ayik bekerja di perusahaan swasta, mobil dinasnya tidak berplat merah, tapi hitam.

Mobil dinas itu bukan mobil baru. Tapi mobil itu terawat. Mas Ayik juga merawatnya dengan baik, seperti mobil milik sendiri. Memang BBM dan biaya perawatan dari perusahaan, namun meskipun begitu, mas Ayik sesekali tidak eman mengeluarkan dana pribadi untuk perawatan-perawatan kecil yang dia merasa cukup pakai dana pribadinya.

Untuk masalah sifat 'melu handarbeni', mas Ayik adalah tauladan saya. Waktu kami masih belum punya rumah sendiri, ketika baru saja menikah, kami mengontrak rumah. Rumah itu masih baru, belum ada plafonnya, dindingnya belum diplamir apalagi dicat, kamar mandinya juga masih semipermanen.

Dengan menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya (waktu itu saya belum bekerja selain jadi koasisten di jurusan PKK), mas Ayik membeli plamir dan cat. Dia melakukan sendiri, saya membantunya sebisa saya, me-mlamir dan mengecat rumah kontrakan kami, setiap hari sepulang kerja. Dia juga minta izin pada pemilik rumah untuk memasang plafon. Tentu saja pemilik rumah senang-senang saja. Mas Ayik tidak minta pemilik rumah untuk 'nguruni'. Prinsipnya, meski pun rumah kontrakan, tidak milik sendiri, toh kami sekeluarga yang menempati. Kalau tidak nyaman, kami juga yang merasakan. Kalau nyaman, kami juga yang menikmati. Jadi rawatlah rumah seperti milik sendiri.

Seperti itu jugalah sikap mas Ayik pada mobil dinasnya. Sampai suatu ketika, mas Ayik ingin mobil dinas itu jadi miliknya, saking sayangnya. Dia sampaikan keinginannya itu pada manager perusahaan, bahwa dia ingin membeli mobil dinas itu. Ternyata tidak dikabulkan. Sebagai gantinya, mas Ayik malah diberi mobil baru. Tapi mas Ayik harus membayar sebesar 40 persen dari harga mobil itu, yang 60 persen dibayar perusahaan. Ya tentu saja mas Ayik mau-mau saja. Mobil pun dikirim ke rumah. Mas Ayik memilih Swift saja, yang terjangkau dengan uangnya, dan supaya ada mobil kecil. Sementara ini, yang kami miliki adalah mobil keluarga.

***

Sebelum saya memperoleh mobil dinas, saya tentu saja menggunakan mobil saya pribadi. Unesa menyediakan driver. BBM saya atasi sendiri. Saya, waktu itu hanya meminta ke pak PR 2, supaya saya diberi driver. Kondisi jalan yang macetnya luar biasa bila pergi pulang dari rumah ke PPG dan sebaliknya, membuat saya suka stres di jalan.

Bila ada keperluan ke bank, ke jasa pengiriman, menjemput tamu, dan sebagainya, PPG selalu pakai mobil pribadi saya. Kadang-kadang, kalau saya sedang tidak di PPG, mobil bu Yanti atau pak Sulaiman, juga digunakan untuk berbagai keperluan. 

Belakangan ini, para staf, sering menanyakan, kapan PPG dapat mobil dinas. Memang volume kegiatan di PPG semakin lama semakin besar, sehingga keberadaan mobil operasional sangat penting. Teman-teman staf kadang merasa sungkan kalau harus pakai mobil pribadi kami untuk berbagai keperluan itu. Makanya mereka menanyakan tentang mobil dinas untuk PPG.

*** 
Mobil dinas itu, inginnya saya parkir di kantor, di PPG sana. Atau di parkiran di kampus Ketintang.  
"Gimana kalau kamu setiap pagi ambil mobil di kantor, Nang, baru jemput saya?" Saya meminta pertimbangan Anang,
"Ibu, apa tidak riskan?"
"Maksudnya?"
"Rumah saya di Driyorejo. Kalau harus ambil di PPG atau di Ketintang, apa tidak riskan telat, ibu? Di Wiyung dan Gunungsari itu macetnya luar biasa. Belum lagi kalau ibu ngajar jam tujuh pagi..."
"Jadi gimana sebaiknya?" 
"Seperti biasa saja, ibu, saya langsung ke rumah ibu, parkir motor di rumah ibu.."
"Maksudmu, mobil dinas diparkir di rumah saya?"
"Iya, ibu..."
"Alamakkkk..."
Anang tertawa. 

Kalau boleh memilih, sebenarnya saya lebih senang mobil dinas itu tidak parkir di rumah saya. Rumah saya yang kecil mungil dan sangat sederhana, sepertinya tidak cocok menjadi tempat parkir mobil berplat merah. Apa lagi kalau mempertimbangkan segi kenyamanan jiwa dan raga, mobil berplat hitam tentulah lebih nyaman.

Tapi tentu saja saya harus mempertimbangkan banyak hal. PPG membutuhkan mobil operasional, dan driver di PPG adalah Anang. Saya membutuhkan Anang untuk mengantar saya mondar-mandir, dan sangat tidak praktis kalau dia harus mengambil mobil ke kampus dulu, baru menjemput saya di rumah. 

Tapi saya sudah woro-woro ke para staf, siapa pun yang memerlukan mobil itu untuk keperluan dinas, mobil bisa digunakan, dan tidak perlu sungkan-sungkan. Kalau kemarin ada rasa sungkan karena berurusan dengan mobil pribadi, sejak saat ini, rasa sungkan itu tidak perlu lagi. Para staf nampaknya ikut bersuka ria menyambut mobil dinas itu.....

Surabaya, 4 Maret 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 01 Maret 2014

Selamat Datang, Para Peserta PPG.....

Kamis, 27 Februari 2013, dilaksanakan acara pembukaan Program Pengenalan Akademik (PPA) Program Profesi Guru (PPG) Prajabatan SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Kegiatan secara resmi dibuka oleh Pembantu Rektor III (PD III) Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. 

Dalam laporannya, Direktur PPPG Unesa, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, menyampaikan bahwa jumlah peserta PPG angkatan kedua ini sebanyak 213 orang. Mereka berasal dari berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidkan (LPTK), meliputi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Universitas Negeri Makasar (UNM), Universitas Negeri Gorontalo (UNG), universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan Universitas Mulawarman (Unmul). Para peserta tersebut terbagi dalam 9 program studi, meliputi: Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Bimbingan Konseling (BK), Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Sejarah, Pendidikan Kewarganegaan (PKn), Pendidikan Geografi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan Pendidikan Ekonomi.

Prof. Luthfiyah juga menyampaikan betapa pentingnya program PPG. Program ini merupakan tumpuan harapan terakhir LPTK sebagai lembaga pencetak tenaga pendidikan yang profesional. Berbagai upaya yang sudah dilakukan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru masih dianggap belum membuahkan hasil yang signifikan, dan hal tersebut menjadi salah satu tantangan berat LPTK. PPG diharapkan menjadi jawaban atas tantangan tersebut.

Sebagaimana diketahui, saat ini di seluruh Indonesia terdapat 415 LPTK. Sebanyak 12 LPTK eks IKIP negeri, 26 FKIP Negeri, 1 FKIP Universitas Terbuka (UT), dan selebihnya (376) adalah LPTK swasta. Masalah penjaminan mutu LPTK dan lulusannya menjadi tantangan tersendiri. 

Unesa secara resmi telah menyelenggarakan PPG angkatan kedua, sebagai salah satu LPTK, di antara 17 LPTK yang diberi kepercayaan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seluruh peserta akan menempuh PPG selama 1 semester (untuk PGSD) dan 2 semester (untuk program studi yang lain). Selama menempuh PPG, semua peserta diasramakan, dengan demikian kegiatan pengembangan kepribadian dan kompetensi tidak hanya di dalam kampus dan di sekolah mitra, tetapi juga dirancang sedemikian rupa, termasuk kehidupan di asrama. Bahkan kehidupan di asrama juga turut menentukan kelulusan peserta dalam mengikuti PPG. 

Kegiatan workshop PPG sepenuhnya dilaksanakan di Gedung PPPG (Gedung Wiyata Mandala). Kegiatan Praktek Pengenalan Lapangan (PPL) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) akan dilaksanakan di sekolah mitra. Dengan demikian, selain para dosen yang menjadi instruktur di kegiatan workshop, para guru pamong juga akan terlibat secara cukup intens. Dosen pengampu minimal harus berlatar belakang S2, dan salah satu latar belakang pendidikannya harus dari program studi kependidikan.  

Prof. Warsono, selain membuka acara dalam kapasitasnya mewakili Rektor Unesa, juga memberikan kuliah umum tentang guru profesional. Bahasannya menarik, menyangkut pendidik versus guru, karakter guru yang meliputi ikhlas, kasih sayang dan memiliki idealisme, serta kekayaan tak ternilai yang dimiliki oleh seorang guru. Beliau juga mengkaitkan berbagai praktek kependidikan dan tuntutan akan sosok guru di masa dulu, masa kini dan masa depan, dengan teori-teori belajar behavioristik, sosial, kognitif dan konstruktivis. Para tokoh Psikologi Pendidikan seperti Piaget, Vigotsky, Albert Bandura, dan Pavlov, menjadi sebagian rujukannya. Prof. Warsono juga menegaskan, tugas guru tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantarkan peserta didik menjadi pebelajar yang mandiri. Metode pembelajaran harus mampu mengaktifkan peserta didik, dan guru lebih banyak menjadi fasilitator. Pembelajaran dengan 'paradigma adalah' harus segera ditinggalkan, dan lebih mendorong kepada peserta didik untuk menanya.  

PPA selain diisi dengan kuliah umum dari Prof. Warsono, juga dipenuhi dengan materi-materi penting seperti gambaran umum PPG Prajabatan SM-3T oleh Direktur PPG, sistem pembelajaran oleh Pembantu Direktur II (Dr. Suryanti), sistem penilaian oleh Pembantu Direktur I (Dr. Raden Sulaiman), etika dan estetika guru oleh Pembantu Rektor I (Prof. Dr. Kisyani, M.Hum), motivasi dan dinamika kelompok oleh Kepala Humas (Dr. Suyatno), dan juga kehidupan berasrama oleh pengelola asrama (Dra. Retno Lukitaningsih, M.Kons dan Drs. Soeprajitno, M.Pd). Materi tentang Kebijakan SOTK (Sistem Organisasi dan Tata Kelola) juga diberikan dengan pemateri dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Kegiatan dilaksanakan selama tiga hari, dan ditutup pada Sabtu, 1 Maret 2014.

Selamat datang, para peserta PPG. Selamat membangun ke-Indonesiaan, menimba ilmu, dan berjejaring di bumi Unesa, the 'growing with character campus'.

Surabaya, 1 Maret 2014

Wassalam,
LN