Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 09 April 2014

Menulis sebagai Tagihan

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terpikir di benak saya, untuk mewajibkan setiap peserta SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal) Unesa, agar membuat minimal dua buah tulisan khas (feature)tentang pengalaman mereka selama mengikuti program tersebut. Waktu itu, saya hanya berpikir, sayang sekali kalau pengalaman-pengalaman mereka selama setahun mengabdi di daerah 3T yang penuh dengan pernak-pernik itu menguap begitu saja. Sayang sekali kalau tidak diabadikan. Padahal sebagian besar pengalaman itu begitu luar biasa. Mengharukan, menggemaskan, memprihatinkan, sekaligus menginspirasi. 

Pucuk dicinta ulam tiba. Pembantu Rektor I, Prof. Dr. Kisyani, memiliki keinginan yang sama. Bahkan beliau membuka pintu lebar-lebar untuk membiayai penerbitan buku kumpulan pengalaman pengabdian itu. Kebetulan pada hampir tiap tahun, beliau mengalokasikan sejumlah dana dari Bidang I untuk penerbitan buku. Program ini tentu saja sudah jelas maksud dan tujuannya, yaitu menggairahkan budaya menulis di kalangan mana pun di lingkungan Unesa, baik dosen maupun mahasiswa, termasuk peserta SM-3T juga.

***

Program SM-3T sendiri adalah sebuah program yang diluncurkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sejak tahun 2011. Sebuah program yang merupakan salah satu perwujudan Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI). Penanggung jawab program ini adalah Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik), Dikti. 
Sasaran program SM-3T yaitu Sarjana Pendidikan yang belum bertugas sebagai guru, untuk ditugaskan selama satu tahun pada daerah 3T. Salah satu misi program tersebut adalah membantu mengatasi kekurangan guru di daerah 3T, sekaligus mempersiapkan calon guru profesional yang tangguh, mandiri, dan memiliki sikap peduli terhadap sesama, serta memiliki jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa. Muaranya adalah membawa anak-anak di ujung negeri itu maju bersama mencapai cita-cita luhur seperti yang diamanahkan para pendiri bangsa Indonesia.

Daerah-daerah 3T yang secara administratif maupun realitasnya berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memiliki berbagai permasalahan dalam peyelenggaraan pendidikan. Salah satu permasalahan yang sangat dominan adalah yang terkait SDM guru, antara lain meliputi kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan yang lain adalah angka putus sekolah yang juga masih relatif tinggi, hal ini memperparah rendahnya angka partisipasi sekolah.

Oleh sebab itu, peningkatan mutu pendidikan di daerah 3T perlu dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh, agar daerah 3T dapat maju bersama sejajar dengan daerah lain. Hal ini harus menjadi perhatian khusus berbagai pihak, termasuk Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, mengingat daerah 3T memiliki peran  strategis dalam memperkokoh ketahanan nasional dan keutuhan NKRI. 

***

Sejak diluncurkan pada tahun 2011, program SM-3T menjadi salah satu program unggulan Kemendikbud.  Ada 12 Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang ditunjuk Dikti sebagai penyelenggaranya, salah satunya adalah Unesa. Selanjutnya sejak tahun kedua (2012), LPTK penyelenggara meningkat menjadi 17. Kuota yang disediakan pemerintah adalah untuk 3000 peserta setiap tahun. Para peserta diseleksi dengan ketat melalui berbagai tahapan, mulai dari seleksi administrasi, tes potensi akademik, tes bidang studi, tes wawancara, dan tahap prakondisi. 

Tahun pertama, 2011-2012, SM-3T Unesa mengirimkan 241 peserta ke Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama setahun para peserta SM-3T ini mengabdikan dirinya di Tanah Marapu tersebut.

Pada angkatan kedua (tahun 2012-2013), SM-3T Unesa memiliki 4 wilayah penugasan, meliputi Sumba Timur, Maluku Barat Daya (MBD), Talaud, dan Aceh Singkil. Sebanyak 178 peserta disebar ke empat daerah 3T tersebut. Rinciannya, 73 orang di Sumba Timur, 33 orang di MBD, 30 orang  di Talaud, dan 42 orang di Aceh Singkil. 

Saat ini, adalah pelaksanaan Program SM-3T angkatan ketiga (2013-2014). Peserta dari Unesa sebanyak 190 orang, dan tersebar di enam kabupaten. Rinciannya, Sumba Timur sebanyak 79 orang,  Aceh Singkil 25 orang, Talaud 19 orang, MBD 26, Mamberamo Tengah 20, Mamberamo Raya 19.

Sebagai ‘reward’ dari proses yang telah mereka lalui, peserta SM-3T akan menempuh Pendidikan profesi Guru (PPG) di LPTK. Saat ini, peserta PPG SM-3T untuk angkatan pertama sudah lulus, dan sedang berlangsung PPG SM-3T untuk angkatan kedua.  Sebagai bukti bahwa mereka telah menyelesaikan program PPG adalah dimilikinya sertifikat sebagai guru profesional.

***

Selama di tempat pengabdian, para peserta SM-3T selain harus melaksanakan tugas dalam bidang pendidikan, mereka juga harus melakukan tugas di bidang sosial kemasyarakatan. Semua kegiatan mereka harus dilaporkan. Laporan ditulis dalam bentuk catatan harian, laporan tengah semester dan laporan akhir semester. Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), media pembelajaran, evaluasi, dan berbagai bukti fisik lain musti dilampirkan. Seluruh tagihan tersebut sudah dilengkapi dengan panduan dan format penulisannya. Semua tagihan ini juga merupakan tagihan standar Program SM-3T secara keseluruhan, di semua LPTK penyelenggara SM-3T.

Khusus SM-3T Unesa, ada tagihan tambahan, yaitu setiap peserta harus menyerahkan minimal dua tulisan dalam bentuk feature. Satu tulisan ditagih di semester pertama, dan satu tulisan di semester kedua. Feature ini, sebagaimana tagihan yang lain, hukumnya wajib. 

Tidak bisa tidak, peserta pun terpaksa harus menulis. Pengelola Program SM-3T Unesa akan mengecek semua tugas tiap peserta, dan kalau ada yang belum menyerahkan feature, maka yang bersangkutan akan ditagih terus, sampai akhirnya dia harus menyerahkan. Selama yang bersangkutan belum menyerahkan feature, maka dia dianggap belum memenuhi tugas-tugasnya. 

Tidak semua tulisan peserta baik dan layak. Bahkan para peserta yang dari program studi bahasa pun, tidak berarti terampil menulis. Banyak dari tulisan mereka harus disunting habis-habisan agar pantas untuk dibukukan. Sebuah pekerjaan berat tentu saja bagi pengelola SM-3T.

Untunglah ada Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, dua orang alumni Unesa yang selalu siap membantu untuk melakukan penyuntingan. Rukin Firda adalah wartawan senior Jawa Pos yang sempat turun langsung ke daerah pengabdian di Sumba Timur, sehingga dia tahu persis seperti apa kondisi di sana. Hal ini tentu saja sangat membantu dalam proses penyuntingan. Sedangkan Fafi Inayatillah adalah mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Unesa, yang saat ini sedang melakukan penyuntingan untuk buku pengalaman para peserta PPG (Pendidikan Profesi Guru) angkatan pertama. 

Syukurlah, untuk angkatan pertama (2011), telah dihasilkan dua buku: "Ibu Guru, Saya Ingin Membaca" dan "Jangan Tinggalkan Kami". Buku yang lain, yaitu "Setahun Hatiku untuk Sumba", merupakan tulisan penulis tunggal, yaitu Ali As'ari. Buku "Senandung Anak Sulung", merupakan antologi puisi yang dihasilkan oleh peserta PPG SM-3T angkatan pertama dari Prodi Bahasa Indonesia. Ada juga buku "Berbagai di Ujung Negeri", yang merupakan kumpulan tulisan pengalaman saya saat melakukan kunjungan ke berbagai daerah 3T. 

Ternyata, ketika atmosfir cinta menulis itu dibangun, hal ini mampu memberikan inspirasi bagi munculnya para penulis baru. Dua buah buku yang sudah disebut di atas. "Setahun Hatiku untuk Sumba" dan "Senandung Anak Sulung", adalah buku yang ditulis atas inisiatif pribadi para penulisnya. Mereka tidak perlu didorong-dorong untuk menulis. Saat ini pun, para alumni peserta SM-3T angkatan kedua, yang sekarang sedang menempuh PPG, juga tengah menghimpun puisi-pusi yang mereka hasilkan selama mengabdi di tempat penugasan, dan akan diterbitkan sebagai buku antologi puisi.

Saat ini, sebuah buku yang merupakan kumpulan pengalaman peserta SM-3T angkatan kedua, sedang dipersiapkan dengan penyuntingnya Rukin Firda dan saya sendiri. Buku yang lain, yang merupakan kumpulan pengalaman peserta PPG angkatan pertama, juga sedang dipersiapkan, dengan penyuntingnya Fafi Inayatillah dan juga saya sendiri. Selain Rukin Firda dan Fafi Inayatillah, Abdur Rohman, alumnus Unesa juga, sangat berperan dlam membuat layout, desain sampul buku, serta proses pencetakan dan penerbitan 
buku-buku tersebut. 

Menulis memang harus dipaksa bagi orang-orang yang tidak suka atau tidak terampil menulis. Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap orang bila dia ingin bisa bertahan dalam era saat ini dan ke depan. Lebih-lebih bagi seorang calon guru, kemampuan menulis harus dikembangkan dan dilatihkan serta menjadi tuntutan, karena menulis berarti melatih kemampuan berpikir kritis serta pemecahan masalah. Merujuk pendapat Wagner (2008) yang mengemukakan konsep 'the survival skills for new generation', bahwa keterampilan-keterampilan penting untuk bisa bertahan hidup pada generasi baru ini antara lain adalah  critical thinking and problem solving serta effective oral and written communication. 

Jadi, ingin bertahan hidup? Maka menulislah.

Surabaya, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 08 April 2014

Baca, Baca, Baca!!!

Salah satu tagihan akhir mahasiswa adalah menulis tugas akhir atau skripsi. Di Unesa, pada umumnya, tugas akhir (TA) merupakan tagihan untuk mahasiswa program D3, sedangkan menulis skripsi merupakan tagihan untuk mahasiswa S1.

Menulis TA dan skripsi memerlukan keterampilan yang kompleks. Tidak hanya menyangkut wawasan dalam bidang kajian yang akan ditulis, namun juga kemampuan memahami dan melaksanakan penelitian. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah keterampilan menulis itu sendiri.

Sebagai mahasiswa semester terakhir, seharusnya kemampuan menulis sudah dimiliki, setidaknya keterampilan menulis dasar. Sejak semester awal, tugas-tugas yang berkaitan dengan membaca dan menulis sudah sering diberikan oleh dosen, misalnya dalam bentuk membuat ringkasan, menyiapkan makalah untuk presentasi, membuat proposal dan laporan kegiatan kunjungan atau karyawisata, membuat perencanaan bisnis dan laporannya, dan sebagainya. Namun ternyata, tidak semudah itu melatih keterampilan menulis mahasiswa meskipun semua proses tersebut sudah dilalui. Berbagai hal, baik dari keterbatasan dosen maupun mahasiswa sendiri, seringkali menjadi kendala dalam penulisan TA atau skripsi. 

Pada awal penulisan, mahasiswa cenderung dangkal dalam membuat rasional pentingnya ujicoba atau penelitian, tidak mampu mengidentifikasi masalah, tidak tajam dalam mendeskripsikan masalah, terkesan dipaksakan dalam menyodorkan alternatif pemecahan masalah. Landasan pustaka juga miskin referensi, kalau pun ada, lebih banyak sebagai tempelan, sangat kurang adanya analisis dan atau sintesis atas teori-teori yang digunakan sebagai landasan, tidak berhasil membuat kerangka berpikir, dan pada akhirnya gagal merumuskan hipotesis atau pertanyaan penelitian.

Belum lagi masalah tata tulis. Penulisan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya, titik dua, masih sering terjadi kesalahan. Membedakan awalan dan kata depan, masih banyak yang belum bisa. Membuat kalimat, masih banyak yang kacau strukturnya. Tidak memahami apa itu paragraf dan bagaimana seharusnya sebuah paragraf. Lebih-lebih dalam masalah keruntutan alur pikir, kecermatan dalam membuat kutipan, dan lain sebagainya, semuanya seperti mengajari mulai dari nol.

Khusus untuk referensi, hampir semua dosen pembimbing, khususnya dosen pembimbing mahasiswa S2,  menuntut mahasiswa tidak hanya mengandalkan pada buku-buku, namun juga memperkaya dengan artikel-artikel hasil penelitian dari jurnal, baik jurnal dalam negeri maupun luar negeri. Kemutakhiran juga menjadi tuntutan, buku atau jurnal yang diterbitkan sebelum tahun 2000, tidak diperkenankan. Sumber referensi bila diambil dari internet, tidak boleh dari wikipedia, blog dan sumber yang tidak jelas siapa penulisnya; tetapi harus diambil dari e-journal atau journal online. Hindari sumber referensi yang anonim.

Orisinalitas juga selalu menjadi perhatian bagi setiap dosen pembimbing. Ide, kalau pun bukan sama sekali baru, mahasiswa harus mempu mendeskripsikan 'state of the art' dari penelitiannya. Untuk itu dia harus mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan, sehingga dia bisa menunjukkan di mana kebaruan (novelty) dari penelitian yang akan dilakukannya. Juga kejujuran dalam menuliskan sumber-sumber referensi. Apa lagi pada saat-saat sekarang ini, plagiasi merupakan isu yang sangat krusial. 

Perlu kesabaran, ketelatenan, dan kemampuan memberikan motivasi saat kita membimbing mahasiswa dalam mengerjakan TA atau skripsinya. Pada awal-awal pembimbingan, setelah melihat bagaimana kualitas tulisan mereka, saya selalu tekankan, supaya mereka bersabar. Saya mungkin akan memenuhi kertas-kertas konsultasi mereka dengan banyak catatan, coretan, dan mereka harus terbiasa dengan hal tersebut. Saya yakinkan kepada mereka, bahwa mereka memerlukan proses itu. Bila mereka memahami apa yang saya tuntut, mengikuti saran-saran saya, selanjutnya mereka akan tinggal jalan saja.

Membaca tulisan yang di dalamnya banyak terjadi kesalahan tata tulis membuat saya akhirnya lebih banyak fokus membetulkan kesalahan-kesalahan itu, dan menjadi kehilangan fokus pada konten. Maka saya harus tekankan kepada mahasiswa, jangan melakukan kesalahan yang sama, perhatikan catatan-catatan saya, dan benahi tulisan dengan teliti dan cermat.

Namun, tidak semua mahasiswa memiliki kesabaran untuk dibimbing. Seringkali mereka tidak mengindahkan masukan dosen pembimbing. Kesalahan-kesalahan yang sama terus dilakukannya. Penulisan tanda baca, penggunaan awalan dan kata depan, masih berkali-kali terjadi kesalahan. Struktur kalimat dan paragraf tidak kunjung rapi. Referensi masih tetap kering kurang gizi. Mereka terkesan meremehkan caatan-catatan dosen pembimbing, tidak melakukan pengendapan, tidak melakukan perbaikan sesuai saran-saran. Nampak sekali mereka tidak cukup berusaha. Kalau sudah seperti itu, saya juga habis kesabaran. 

Saya akan tulis di berkasnya dengan tulisan besar-besar: "Baca, baca, baca! Atau saya menyerah untuk membimbing Anda, dan silakan Anda cari dosen pembimbing yang lain!"

Tentu saja saya tidak serius dengan ancaman saya. Namun sepanjang pengalaman saya, dalam kondisi tertentu, mahasiswa harus diancam. Hal itu kita maksudkan untuk shock therapy. Dosen pembimbing tahu, pada kondisi seperti apa shock therapy itu harus dilakukan.  

Tak disangka, ternyata cara itu cukup manjur untuk meningkatkan kinerja mahasiswa. Begitu ada ancaman supaya dia cari dosen pembimbing yang lain, dia keder, dan akan jauh lebih hati-hati dalam menulis TA atau skripsinya. Tidak serampangan, tidak asal-asalan. 

Tulisannya akan lebih cermat dan rapi. Kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukannya, meski belum sepenuhnya hilang, sudah sangat berkurang. Dia juga terlihat berusaha untuk membaca lebih banyak referensi. Berusaha melakukan analisis dan sintesis, meski pada umunya, lebih banyak sekadar membuat kesimpulan dari berbagai pendapat para ahli atau dari berbgai teori yang . 

Tidak hanya dosen yang perlu kesabaran dalam membimbing, mahasiswa juga harus bersabar ketika dibimbing. Kesabaran itu akan mengantarkan pada hasil yang cemerlang. 

Tanggulangin, 6 April 2014

Wassalam,
LN

Menjelang Coblosan

Masuk kelas pagi ini, saya menyapa mahasiswa dengan salam dan pertanyaan-pertanyaan "apa kabar? Sudah sarapan belum? Sehat semua kan?" Dan sapaan-sapaan lain, sekadar untuk menghangatkan suasana, sebelum masuk ke materi kuliah.

"Minggu yang lalu kita sudah membahas tentang perencanaan dan penyelenggaraan pangan kemasan, dan pagi ini, kita akan lanjutkan membahas pangan jajanan. Betul?"
"Betul, bu...." Sebagian besar menjawab serempak.
Kemudian saya memberi gambaran singkat tentang perencanaan dan penyelenggaraan pangan jajanan, sambil melakukan tanya jawab, sekedar untuk mengkaitkan pengetahuan awal mahasiswa dengan topik yang akan didiskusikan.

"Baik, siapa yang akan tampil hari ini?"
Tiga orang mengangkat tangan. Mereka satu kelompok. Pagi ini mereka akan mempresentasikan makalah kelompok mereka. 

"Siapa lagi?"
Tiga orang angkat tangan lagi. Mereka juga satu kelompok. Sebagai kelompok penyaji kedua, dengan topik yang sama. Ya, setiap topik memang disajikan oleh dua kelompok, supaya pembahasan topik lebih lengkap, dan supaya ada semangat di antara kedua kelompok penyaji itu untuk membuat makalah presentasi dan menampilkannya sebaik mungkin. 

"Baik, silakan, kelompok pertama dulu."

Sementara kelompok pertama bersiap untuk presentasi, saya berkeliling kelas. 

"Ngomong-ngomong, besok coblosan ya. Semua nyoblos?"
"Tidaaakkkkk....!!!"
"Hah?" Saya kaget. Tidak menyangka jawaban mereka sekompak itu. Mereka malah tertawa melihat kekagetan saya.

"Tidak bagaimana?"
"Tidak nyoblos, bu."
"Kenapa?"
"Malas pulang, bu".
"Banyak tugas, bu". 
"Mending di kost saja, bu, ngerjakan tugas".
"Pulang juga belum tentu dapat tambahan sangu, bu".
"Mau jalan-jalan saja, bu".
"Golput, bu".

Jawaban itu bersahut-sahutan. Kelas jadi riuh-rendah. Saya penasaran.

"Saya ingin tahu, siapa yang besok berniat nyoblos? Angkat tangan. Saya ingin tahu."

Beberapa dari mereka mengangkat tangan. Tidak lebih dari sepuluh orang. Padahal sekelas sekitar 50 orang. Hanya sekitar seperlimanya saja yang berniat akan menyoblos.

Saya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka justeru tertawa melihat saya geleng-geleng kepala penuh keheranan. Saya benar-benar tidak mengira respon mereka seperti itu. Mereka masih berusia 19 tahun, dan ini adalah pengalaman pertama mereka untuk menyoblos para caleg. Pengalaman pertama. Dan mereka tidak peduli, tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Tidak ada rasa ingin tahu seperti apa menyoblos itu dan bagaimana suasana penyoblosan itu.

"Kalian bukan warga negara yang baik". Kata saya, dengan mimik serius. Sekali lagi, mereka justeru tertawa.

"Kok malah tertawa, gimana sih? Generasi muda macam apa kalian?"

Tawa mereka justeru lebih keras. 
"Heh, ketawa lagi." Saya pura-pura marah. "Sudah, besok harus nyoblos semua. Harus."
"Disangoni ya, bu?"
"Nggak mau, bu."
"Sudah pernah, bu."
"Lhoh, kok sudah pernah?" Saya penasaran lagi.
"Pilkada tahun lalu, bu...."
"Kalau sudah pernah, kan sudah cukup, bu..."
Saya melenggang ke depan kelas. "Wis mbuh rek, sekarepmu...."
"Hahaha...." Kelas kembali riuah rendah, dan baru tenang saat diskusi kewirausahaan dimulai.

Selesai mengajar, saya ke kantor jurusan, menengok ruang saya, mengambil seabgrek berkas konsultasi mahasiswa. Juga mengambil setumpuk undangan rapat. Seminggu di luar kota, membuat meja saya penuh sesak.

Lantas saya pamit ke Ketua Jurusan, menuju PPG. Sebelum ke PPG, mampir ke sekretariat IKA Unesa, janjian sama mbak Fafi, mengambil buku dari mas Satria Darma. Buku untuk saya dan mas Rukin, saya ambil dua-duanya. Mbak Fafi wajahnya mengkilat, berlapis pelembab, beberapa hari beraktivitas di pantai Lombok membuat wajah bersihnya musti dinormalkan lagi.

Keluar dari sekretariat, sudah dihadang dua anak Himapala. Biasa, minta tanda tangan surat-surat untuk kegiatan. Kali ini untuk kegiatan hari bumi. Sambil duduk di mobil, saya tanda tangani setumpuk surat itu. 
"Dik, besok nyoblos?"
"Emmm......"
"Nyoblos kan?"
"Emmmm.....insyaallah, mbak."
"Kok ragu-ragu gitu?"
"Ya....insyaallah, mbak."
"Kamu dik?" Saya tanya yang satunya.
"Hehe..."
"Kok hehe?"
"Sama mbak"
"Sama apanya?"
"Sama-sama insyaallah, mbak."
"Sama ragu-ragunya juga?"
"Hehe"
"Yang lain gimana?"
"Banyak yang males pulang, mbak."
"Pulanglah....nyobloslah...."
"Hehe..."
"Haha hehe ae dik kok iku..."
"Hehe..."

Saya meluncur ke PPG. Bersama Anang, yang tenang pegang kemudi. Nanti sore, saya balik ke Ketintang, ngajar di S3 TP sampai maghrib. Pasti capek. Tidak apa-apa. Besok kan libur, bisa istirahat.

Horeee.....besok liburrrr....

BTW, mas Satria, terima kasih bukunya. Akan saya baca besok, mumpung libur. 

Mas Rukin, bukumu di PPG. Bisa diambil kalau naskah buku SM-3T angkatan kedua sudah selesai diedit dan siap saya baca. Kalau belum, jangan harap....


Surabaya, 8 April 2014. 10.00.


Wassalam,
LN
(OTW PPG)  

Jumat, 04 April 2014

Mamteng 4: Bendera-Bendera Partai, Wah Wah Wah.....(2)

Sepanjang perjalanan menuju Ilugwa, saya lebih banyak menikmati alam dan mengabadikannya dengan  tablet saya. Saya juga sibuk mengusili Lani yang kebetulan suka bercanda.
"Kakak, kenapa pilih jalan yang jelek begini? Pilih jalan yang baik to?"
Laki-laki 38 tahun itu tertawa. 
"Pilih jalan yang lurus-lurus saja, Kakak." Tambah saya.
"Yang lurus-lurus? Jadi ini lurus saja?" Dia menunjuk jalan berkelok-kelok di depannya. "Ini lurus saja?"
Kami seisi mobil tertawa sekaligus ngeri.
"Jangan Kak Lani, kasihan anak istri Kakak di Rumah." Kata Bu Lucia.
"Siapa tadi yang minta jalan lurus? Saya ikut saja to?"

Saya juga belajar sedikit-sedikit Bahasa Wamena. Satu, dua, tiga dan empat. Ambi, bere, bereambi, bereum bereo. Saat saya tanya apa untuk 'lima', Lani bilang "tidak ada lima, hanya sampai empat saja". Wah, jawaban ini jelas membuat saya penasaran. Lani mencoba menjelaskan, tapi terus-terang, entah karena lafal Lani yang kurang jelas, atau telinga saya yang tidak normal, saya tidak bisa memahami penjelasan Lani.

Tiba-tiba Lani menghentikan mobilnya. "Kenapa berhenti, Kakak?"
"Kita su sampai di perbatasan. Harus singgah dulu." Lani turun dari mobil. Kami semua mengikutinya.

Ternyata kami sudah tiba di perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sebuah jalan yang agak lebar, yang di sisinya kita bisa parkir mobil dan duduk-duduk melepas penat setelah terkocok-kocok selama dua setengah jam lebih di dalam mobil. Namun alih-alih melepas penat dengan duduk-duduk, kami semua memilih memandangi suguhan alam yang begitu mempesona. Bukit-bukit yang indah, berpadu dengan langit Papua yang biru. Udara dingin dan sejuk melengkapi keindahannya. Kalau ada yang menganggu pemandangan indah itu, maaf, adalah bendera-bendera partai yang berbaris di salah satu sisi jalan.

Bendera-bendera partai memang menjadi pemandangan yang tak terpisahkan dari alam Papua sejak kami memulai perjalanan dari Wamena. Bendera-bendera itu, dengan warna-warninya yang beragam, berkibar-kibar ditiup angin, sekali lagi, maaf, menjadi sesuatu yang dalam pandangan saya, menodai keaslian alam. Barisan itu begitu asing di tengah-tengah kehijauan, kerimbunan, kemurnian, dan keaslian alam, masyarakat dan budayanya. Mungkin karena saya menyukai segala hal yang natural, melihat bendera-bendera bertebaran di mana-mana seperti itu, maaf lagi, sangat-sangat mengganggu kenikmatan saya dalam mengakrabi alam. Mereka sama sekali tidak menyatu dengan lingkungan.

Tapi tentu saja saya tidak bisa menyalahkan keadaan tersebut. Menjelang pesta demokrasi, semua partai sedang giat-giatnya melakukan sosialisasi, kampanye, dan berbagai upaya untuk menarik simpati masyarakat di mana pun. Pembelajaran politik sedang berlangsung. Meski, sejujurnya saya ragu, apakah masyarakat belajar sesuatu dari proses tersebut.

Bagi orang-orang pedalaman yang masih primitif ini, saya yakin, ini hanyalah saat di mana mereka bisa melihat hiburan berupa konvoi-konvoi dan yel-yel, panggung yang penuh pesta-pora, dan juga bagi-bagi hadiah berupa sembako dan bahkan rupiah, karena 'kebaikan hati' para aktor politik. Tidak hanya di pedalaman, bahkan di kota-kota besar pun, saya nyaris tidak bisa melihat ada sebuah proses pembelajaran politik, saat orang-orang baik itu tiba-tiba blusukan ke pasar-pasar membagikan sembako dan rupiah, menyapa para WTS di lokalisasi, bersalam pada para pasien di rumah sakit, bersurat pada masyarakat memohon doa restu, bersilaturahim ke para tokoh, menebar pesona di televisi, dan menyapa orang-orang dari lapisan mana pun dengan kata-kata manis penuh gula-gula. Saya justeru sedang menyaksikan sebuah sandiwara di panggung besar dengan para aktornya orang-orang besar dan melihat betapa besar hati, jiwa dan cita-cita mereka. Begitu besarnya sampai tak terbayangkan bagaimana mewujudkan semua itu.

Hanya selang beberapa menit kami berada di tempat itu, satu per satu tiba-tiba muncul para mama, papa, anak-anak, dari segala penjuru. Mereka bergerak pelan-pelan, beringsut mendekati kami, tersenyum malu-malu. Kami mengulurkan tangan, menjabat tangan-tangan mereka. Tangan-tangan itu, begitu kasar, kotor, dan di beberapa bagian ada luka. Baju mereka kotor, tubuh mereka kotor, sebagian dari mereka, hidungnya beringus. 

Dada saya sesak. Inikah orang-orang penghuni alam indah ini? Inikah pemilik kebun keladi, buah merah, sarang semut, dan segerombolan babi itu? Inikah mama-mama dan papa-papa yang merawat anak-anak ingusan itu setiap hari? Bagaimana mungkin mereka mengajarkan mengeja huruf A, B, C dan berhitung? Bagaimana mereka mengajarkan tentang hidup bersih dan sehat? Bagaimana mungkin?

Saya bersimpuh di sisi seorang anak berambut keriting yang menatap saya dengan takut-takut. Mata hitam dan bulunya yang lentik mengerjap-ngerjap. Saya lemparkan senyum termanis saya, dan mengulurkan sebuah gula-gula ke arahnya. Tangannya mengulur, sejenak setelah menyeka ingusnya. Diterimanya gula-gula itu. Pendar-pendar di matanya semakin indah. Jauh lebih indah dibanding lambaian bendera warna-warni di atas kepalanya. Begitu murni, begitu jujur, begitu bersahaja.

"Wah wah wah...."
Kata-kata itu meluncur dari para mama, papa, dan anak-anak itu saat kami membagikan wafer, gula-gula, dan sosis. "Wah" artinya terima kasih. Kalau kata-kata itu diulang-ulang, artinya terima kasih yang sangat dalam. Menurut Bu Perty, "wah" adalah bahasa asli daerah pegunungan, meliputi Wamena, Jayawijaya, Mamteng, Tolikara, Yalimo, Lani Jaya, Nduga, Yahokimo, Pegununan Bintang, Puncak, dan Pucak Jaya.

Sosis. Untuk jenis makanan yang terakhir ini, saya khawatir kami telah salah pilih. Kami telah menjadi korban iklan dan membelikan sosis yang tinggal makan itu untuk anak-anak pedalaman ini. Saya lupa jangan-jangan mereka tidak tahu ini makanan apa bukan, sementara mereka melihat televisi saja tidak pernah. Kalau gula-gula dan wafer, saya yakin, mereka tahu itu makanan enak. Tapi sosis? Itu selera anak-anak kota. Sangat kota. Jangan-jangan anak-anak ingusan ini malah tidak doyan sosis-sosis itu. Keladi dan ikan sungai pasti lebih nikmat dibanding gulungan-gulungan daging kenyal beraroma asap itu. 

Kami bersama orang-orang ramah itu beberapa saat. Lani dan Wakela memberikan rokok ke para papa. Saya dan teman-teman hanya sibuk melempar senyum saja pada mereka dan mengangguk-angguk ketika mereka mengatakan "wah, wah, wah." 

Ketika berpamit, kami kembali menyalami mereka. Menjabat erat tangan-tangan mereka meski tangan itu kotor, kasar dan penuh luka. Kami ingin, jabat erat tangan-tangan kami mampu mewakili kehangatan dan persaudaraan yang kami ingin tawarkan. Melalui sorot mata mereka, senyum mereka, saya tahu, mereka memahami maksud kami, menerima ketulusan kami. 

Kami memasuki mobil. Bersiap menuju Ilugwa. Mereka melepas kami dengan senyum manis. Menunjukkan gigi-gigi mereka yang sama sekali tidak putih. 

"Yogo....yogo..." Mereka melambai. Kami membalas lambaian mereka.
"Mereka bilang apa, Kak?" Tanya saya pada Lani.
"Yogo, artinya daah..."
Spontan saya melongokkan kepala ke arah orang-orang itu, melambaikan tangan dan berteriak. "Yogo, yogo...."

Sampai jumpa di Ilugwa....

Mamteng, 2 April 2014. 

Wassalam,
LN 

Kamis, 03 April 2014

Mamteng 3: Menyusuri Jayawijaya (2)

Tepat pukul 09.10 WIT, Trigana Air yang kami tumpangi mendarat mulus di Wamena. Meski cuaca buruk menemani hampir sepanjang perjalanan, udara sejuk Wamena menepis kecemasan. Wajah-wajah khas dengan aksesoris khas itu bertebaran di lapangan bandara, seperti menyambut kedatangan kami. Para lelaki dengan topi berhias bulu unggas yang memutari kepala, atau bertopi benang rajutan warna-warni. Para perempuan dengan noken-noken besar yang indah menggantung di kepala atau di leher menutupi tubuh bagian depannya. Sungguh artistik.

Bandara Wamena penuh oleh orang yang menjemput dan orang yang akan berangkat serta para pengantar. Mereka bergerombol di luar pagar dan di dalam bangunan yang sebagian masih semi permanen. Tidak terbayang di benak saya, Wamena yang merupakan salah satu tempat destinasi wisata favorit, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara itu, memiliki bandara yang, maaf, seburuk itu. 

Ibu Perty, staf Dinas Pendidikan Kabupaten Mamberamo Tengah, yang ada di antara kerumunan para penjemput, melambaikan tangannya, menyambut kami. Senyumnya merekah, ramah. Rambut ikalnya yang di-rebounding membuat penampilannya jauh berbeda dibanding saat beliau hadir ke Kodikmar Surabaya dalam rangka memberi materi pada kegiatan Prakondisi SM-3T angkatan ketiga, beberapa bulan yang lalu. Namun kehangatannya tak berubah, dengan sepenuh hati dia memeluk saya dan bu Lucia.

Bu Perty meminta Ibu Yapina, PJS Kepala Sekolah SMPN Ilugwa, yang turut menjemput kami, mengantarkan kami ke mobil. Sementara beliau dan mas Beni akan mengurus bagasi. 

Kami keluar dari bandara. Sederetan ibu penjual komoditi khas Papua menarik perhatian. Sebagai daerah pegunungan, Wamena kaya akan hasil bumi. Jeruk, markisa, terung Belanda, apokat, kelapa hutan, sarang semut, bunga plastik, dan tentu saja, buah pinang. Semua komoditi itu berjajar di luar pagar bandara. 

Kami membeli sedikit kelapa hutan, sekadar supaya tahu seperti apa rasanya. Buah yang mirip kayu kecil-kecil dan lonjong itu memiliki daging di bagian dalamnya yang rasanya perpaduan antara kelapa dan kenari. Gurih.

Bunga plastik, bukanlah bunga yang dibuat dari plastik. Itu jenis bunga, yang setahu saya sebangsa aster, dengan warna-warna cerahnya yang sangat beragam, dihimpun begitu saja dalam sebuah gulungan kertas. Dinamakan bunga plastik mungkin karena saking tahan lamanya bunga-bunga itu, tidak kunjung layu.  

Saya memilih membeli beberapa buah gelang khas Papua yang dibuat dari bahan kulit kayu. Biasa, memenuhi pesanan suami tercinta. Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kanan. Jadilah kedua pergelangan tangan saya penuh dengan aksesoris. Sesampai di Surabaya nanti, gelang-gelang ini akan segera pindah ke tangan pemilik yang sebenarnya.

Ibu Yapina yang kecil mungil adalah tipikal orang Papua. Kulitnya hitam, rambutnya keriting, dan yang unik, meski perempuan, beliau memiliki cambang dengan rambut keriting halus di dagunya. Pembawaannya ramah, gerakannya cekatan, dan beliau akan menemani kami selama perjalanan menuju SMPN Ilugwa, tempatnya bertugas. Di sana ada lima guru SM-3T, anak-anak kami.

Mobil yang membawa kami adalah mobil Strada, double gardan. Supirnya, Lani, seorang laki-laki yang aslinya dari Distrik Bugi, Kabupaten Jayawijaya. Dia dari suku Walat, nama marganya Mongkar. Posturnya tinggi besar, kulitnya hitam legam, rambutnya yang panjang dijalin besar-besar menyerupai tambang. Lani mengenakan kaus dan sweater abu-abu, bercelana jeans yang sobek di kedua lututnya, berkaus tangan hitam. Meski penampilannya terkesan sangar, dia sangat ramah.

Rekan Lani, yang jadi kondekturnya, bernama Wakela. Rambutnya juga dijalin, tapi jalinannya kecil-kecil. Wajah hitamnya sangat manis. Tidak seperti Lani yang lebih terbuka, Wakela yang murah senyum itu terkesan pemalu. Usianya lebih muda dari Lani. Satu suku, tapi beda marga. Wakela dari marga Siyep. 

Saya menggoda Lani dan Wakela. "Bolehkah saya minta rambutnya satu-satu saja untuk saya bawa pulang ke Surabaya? Lani satu jalin, Wakela satu jalin? Mau saya pigura."
Mereka tertawa lebar. "Tuhan bisa marah nanti, ibu." Kata Lani.
"Mintalah izin pada Tuhan, boleh?"
Mereka tertawa saja dan saya yakin apa pun yang terjadi, mereka tidak akan memberikan satu jalin pun rambut mereka untuk saya.

Sebelum memulai perjalanan menuju Ilugwa, kami mampir ke rumah makan di dekat bandara, namanya rumah makan Banyumas. Seperti namanya, penjualnya adalah orang Banyumas. Menunya juga sangat Jawa. Sayur lodeh, oseng tahu tempe, mendoan, botok, ikan gurami, ikan kembung, oseng daun pepaya dan oseng bunga pepaya. Kedua makanan yang terakhir itu adalah menu khas di wilayah timur Indonesia seperti Papua dan Sumba.

Di mana-mana, penjual makanan dan barang-barang lain, hampir semua berasal dari luar Papua, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan sebagainya. Tanah-tanah di kota juga dikuasai oleh para pendatang. Pemilik aslinya, yaitu orang-orang asli Papua, sudah menjualnya pada para pendatang itu. Mereka hanya berpikir pendek. Dapat uang banyak, lantas memilih hidup di dekat danau, pantai, gunung-gunung dan hutan. Tidak terpikirkan pada benak mereka, bahwa tanah yang mereka lepas, dalam waktu sekejap akan naik tiga empat-kali lipat harganya dibanding harga waktu mereka jual. Selanjutnya mereka lebih banyak sebagai penonton dan termarginalkan dari arus modernisasi. Mereka tetap menjadi komunitas yang bodoh, tidak berpendidikan, miskin, dan tak tersentuh oleh kemajuan zaman.

Perjalanan menuju Ilugwa adalah perjalanan yang sangat menakjubkan. Papua menyimpan keindahan yang luar biasa, tidak hanya dari alamnya, namun juga budaya masyarakatnya. Warna-warni etnik bertaburan: perempuan-perempuan bernoken, lelaki-lelaki bertopi khas, berkoteka, tubuh mereka penuh lukisan, anak-anak dan para remaja dengan rambut modisnya ala Papua. Berpadu dengan alam yang berlembah, berhutan, berbukit-bukit, bergunung-gunung. Juga rumah-rumah adat 'honai', yang menyerupai gundukan-gundukan jamur raksasa. Indah dan menawan. Saya berkali-kali mengucap tasbih dan takbir menyaksikan mahakarya Sang Khaliq yang begitu menakjubkan. Mata saya terasa berkabut diliputi keharuan. Betapa kecilnya kita, manusia, dan semua makhluk-Nya. Betapa tak berartinya kita di tengah alam yang maha luas ini.  

Distrik Ilugwa berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Wamena. Untuk mencapainya, kita harus menyusuri Jayawijaya sepanjang lebih dari dua setengah jam. Meski ada banyak jalan beraspal, tapi kondisi jalan menuju Ilugwa lebih banyak yang berbatu-batu, berlumpur, dengan kedalaman yang hanya mungkin ditembus oleh mobil double gardan, berkelok-kelok dan naik turun dengan sangat tajam. Di Sumba saja, mobil semacam Panther Touring masih bisa digunakan untuk menembus pelosoknya. Di sini, mobil-mobil semacam itu akan 'nyerah'. Tidak heran kalau di mana-mana terlihat mobil-mobil double gardan. Hanya mobil seperti itulah yang paling layak untuk mengakrabi alam Papua, khususnya untuk menyusuri Jayawijaya dan mencapai Mamberamo Tengah.

Di mobil, saya duduk di sebelah Lani yang memegang kemudi. Di belakang saya adalah Pak Prapto, Bu Lucia dan Pak Beni. Di belakang, di bak yang terbuka itu, duduk bu Perty dan bu Yapina. Kedua perempuan itu tidak mau duduk di jok tengah meski kami paksa. Nampaknya mereka sudah sangat terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan menumpang mobil bak terbuka. Mereka justeru mengkhawatirkan keadaan kami semua dan memastikan kami duduk di dalam, terlindung dari panas dan hujan, agar tidak masuk angin.
  
Sepanjang perjalanan menyusuri Jayawijaya, selain pemandangan alam dan masyarakatnya yang kami nikmati, kami juga berkali-kali berpapasan dengan binatang yang khas, yang hampir selalu ada di wilayah timur Indonesia. Ya, babi dan anjing. Menurut Lani, bagi masyarakat Papua, babi hukumnya wajib. Persoalan apa pun diselesaikan dengan babi. Urusan apa pun dipastikan ada babi. Kata Lani,  "Kalau orang tidak punya babi, berarti dia bukan manusia." 

Alam Jayawijaya mirip sekali dengan Sumba Timur kalau dilihat dari bukit-bukit dan kondisi jalannya. Bedanya, Jayawijaya tidak memiliki padang sabana seluas Sumba Timur. Tidak ada kuda-kuda juga. Karena daerah pegunungan, Jayawijaya juga tidak memiliki pantai-pantai yang indah. Namun ada sungai yang cukup panjang dan cukup menawan, karena letaknya yang menghampar di bawah perbukitan dan pegunungan yang hijau dan biru. Bedanya lagi, kondisi jalannya jauh lebih ekstrim, namun naik-turun dan kelok-keloknya yang mengular menyerupai jalan-jalan di Sumba. 

Pohon buah merah, buah yang terkenal untuk mengobati segala macam penyakit itu, bertebaran di sepanjang jalan. Pohonnya mirip dengan pohon kelapa hutan, tapi lebih jangkung dan daunnya lebih panjang. Bunga-bunga di sepanjang jalan juga membuat suasana sejuk menjadi terasa hangat dan cerah.

Lani, supir kami, ternyata memiliki empat anak. Istrinya dua. Satu di kampung, satu di kota. Papa Lani adalah kepala suku, isterinya delapan belas. Mama Lani  merupakan istri kesebelas. Kata Lani, kepala suku istrinya tidak pernah sedikit. Di mana-mana ada istrinya. 
"Apa Kakak Lani juga akan punya banyak istri?" Tanya saya.
"Ya, kalau nanti mahkota papa  pindah ke saya, saya harus punya banyak istri. Seperti itu sudah...."

Saya mahfum. Inilah budaya. Babi menjadi binatang yang sangat berharga, bahkan seringkali lebih berharga dari nyawa manusia. Jumlah istri menjadi simbol kekuasaan bagi masyarakat khususnya para tetua adat dan kepala suku. Budaya seperti ini tentu saja tidak selalu berterima di tempat lain. Terutama pada masyarakat yang budayanya sudah lebih maju dan modern.

Kami terus melaju. Sebentar lagi kami akan mencapai perbatasan Jayawijaya-Mamteng. Di sana, kami bermaksud beristirahat sebentar, sebelum melanjutkan perjalanan menuju Ilugwa. 

Jayawijaya, 2 April 2014. 13.30 WIT

Wassalam,
LN

Rabu, 02 April 2014

Mamteng 2: Biasakan...

Juan, supir kami semalam, tak sebaik dugaan kami. Setidaknya, untuk urusan menepati janji. Seharusnya pukul 04.30 pagi dia sudah menjemput kami di hotel, tapi ternyata kami tunggu sampai tiga puluh menit lebih dia tidak muncul juga. Padahal kami harus sudah lapor ke Trigana Air pada 05.30. Bagasi kami cukup banyak, sehingga kami memutuskan untuk datang lebih awal.

Sampai pukul 05.00, Juan tidak bisa kami hubungi. Ponselnya mati. Saya mengambil inisiatif meminta disediakan mobil oleh hotel. Resepsionisnya yang tak ramah itu mengatakan kalau supir hotel baru tiba pukul 05.30. Dengan sikapnya yang tidak 'ngresepsionisi', dia mencoba menelepon supir hotel. Berhasil, dan mungkin sebelum pukul 05.30, supir sudah sampai hotel. Baguslah. Jarak hotel ke bandara tak sampai sepuluh menit, jadi dalam hitungan waktu, masih cukup aman.

Bandara Sentani masih sepi ketika kami tiba. Kami disambut dua orang porter berseragam merah. Berkulit hitam, berambut keriting, bermata tajam. Mereka tidak ada ramah-ramahnya, tapi sangat baik membantu kami dan memastikan semua bagasi sudah masuk.

Saat kami sedang menunggu boarding di ruang tunggu, Juan menelepon mas Beni. Menanyakan apa kami sudah sampai di bandara dan meminta maaf untuk keterlambatannya. Maaf? Enak aja....kata saya. Tentu saja bercanda. Saya sadar ini Papua. Kata sahabat saya, Sirikit Syah, yang biasa diundang sebagai narasumber pelatihan menulis di Papua, di Tanah Sirih Pinang ini, kita harus siap dengan 'unexpected conditions'. Jadi nikmati saja setiap kondisi, termasuk kondisi yang tak terduga.

Dua jam lebih kami berada di ruang tunggu Bandara Sentani. Boarding time seharusnya pada pukul 06.45, lebih dari satu jam yang lalu. Tapi tanda-tanda kami akan segera diberangkatkan belum juga nampak. Tidak ada pengumuman apa pun dari petugas tentang keterlambatan ini.

Saya bertanya pada petugas perempuan berbadan subur berkulit putih. Bukan tipikal orang Papua. Dia bilang, mungkin sebentar lagi Trigana Air akan siap. Mungkin. Baiklah...

Saya membunuh waktu dengan mengobrol bersama Huli dan Uli, kenalan baru saya. Keduanya perempuan Wamena. Turun ke Sentani karena ada keluarganya yang meninggal, dan tinggal di Sentani selama seminggu. Seperti kami, mereka juga sedang menunggu Trigana.

Kulit hitam Huli dan Uli terbungkus celana dan sweater berbahan kain kaus. Tanpa alas kaki. Keduanya membawa noken warna-warni yang besar sekali, semua barang mereka masuk dalam noken itu. Saya coba angkat nokennya, aduh, berat banget. Noken itu, dibuat sendiri oleh mereka. Semua orang Wamena bisa bikin noken katanya. 

Rambut keriting Huli dijalin, ada lima jalinan di kepalanya. Dia bilang, dia menjalin rambutnya sendiri. Tanpa ditali, jalinan itu tahan bahkan sampai sebulan. Saya sempat berpikir, tahan sebulan...artinya, sebulan tanpa harus cuci rambut?

Huli sudah berkeluarga, anaknya dua, perempuan semua, lima tahun dan tiga tahun. Sedangkan Uli belum berkeluarga. Keduanya nampaknya kerabat dekat.

Tiba-tiba Huli melepas gelang warna-warninya dan menyorongkannya ke saya.
"Ibu bisa pakai?"
Saya terkejut. Senang sekali tentu saja.
"Gelang ini? Untuk saya?"
Dia mengangguk. Mata hitamnya bulat penuh menatap saya, meyakinkan.
"Wah, senang sekali." Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kiri saya. Bersanding dengan jam tangan. Serasi. Manis. Huli nampak puas, Uli ikut tersenyum simpul.

"Saya kasih apa ya ke Huli?" Tanya saya pada Huli. 
"O, tidak apa-apa, ibu..."

Ketulusan Huli dan Uli, dan banyak orang Papua yang lain, yang pernah saya temui, terasa sampai di hati. Tidak perlu waktu lama untuk menjadi akrab dengan mereka. Di Sarmi, beberapa bulan yang lalu, waktu kami mengantar para peserta SM-3T, kami diundang makan papeda oleh seorang penduduk, sebagai bentuk penghormatan. Para ibu di pasar tradisional juga dengan luwes menggoda saya dengan segenggam ulat sagu dan tertawa kegirangan melihat 'penderitaan' saya. Mereka, orang-orang Papua itu, hanya perlu disapa lebih dulu dengan ketulusan kita, supaya kita mendapatkan ketulusan yang sama dari mereka.

Tidak selalu seperti itu memang. Ada yang ketika disapa, menoleh pun tidak. Ditanya, tidak merespon. Diminta berfoto, menolak. Dihampiri, menghindar. Tapi yang seperti itu, sepanjang pengalaman saya, tidak banyak. Saya selalu berpikir positif. Mungkin hanya perlu waktu saja untuk menjadi akrab. Perlu ketelatenan.

Saya mengambil dua buah apel dari tas logistik saya. "Ini untuk Huli, dan ini untuk Uli." Saya menyorongkan apel merah itu. Mata keduanya berbinar. 
"Terima kasih, ibu..."

Kami mengobrol lagi. Bercerita-cerita ringan. Kadang-kadang saya tidak paham apa yang diceritakan Huli dan Uli. Bahasa mereka lebih banyak yang tidak saya kenal daripada yang saya kenal. Tapi saya mengangguk-angguk, sok paham, dan tertawa-tawa saat mereka tertawa. SKSD, sok kenal sok dekat. Mereka nampak senang sekali berteman dengan saya (ge er kalee...).

Di tengah keasyikan kami, bu Lucia yang baru saja bertanya pada petugas, memberi tahu kalau kondisi cuaca di Wamena buruk, sehingga pesawat tertunda keberangkatannya. Tapi tidak sampai sepuluh menit kemudian, ada pengumuman dari petugas yang menyilakan kami untuk segera memasuki pesawat.

Mendung tebal menggantung di langit. Gelap sekali. Kami berjalan cepat menuju Trigana Air yang sudah menunggu. Di dalam pesawat, aroma Papua begitu terasa. Bu Lucia dan pak Prapto mengendus-endus dan berkali-kali menutup hidungnya. Saya, meski juga sebenarnya sangat terganggu, berbisik ke mereka: "biasakan..."

Sampai ketemu di Wamena....
        
Sentani, 2 April 2014. 8.45 WIT.

Wassalam,
LN

Selasa, 01 April 2014

Mamteng 1: Menyapa Jayapura

Akhirnya, tepat pukul 13.40 WIT, pesawat Garuda yang kami tumpangi mendarat di Bandara Sentani. Panas menyengat langsung menyambut kami begitu kami keluar dari pesawat. Kami, adalah pak Suprapto (Ketua Tim Perencanaan dan Pengembangan/TPP), pak Beni Setiawan (Sekprodi Pendidikan Sain), bu Lucia Tri Pangesthi (tim ahli PPG, koordinator Program KKT), dan saya sendiri. Kami adalah tim monev SM-3T yang akan bertugas ke Mamberamo Tengah (Mamteng).

Berempat kami berangkat dari Bandara 2 Juanda pada pukul 05.10 WIB tadi pagi. Menumpang pesawat Garuda tipe Bombardier, turun di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar, transit sekitar satu jam. Sekitar pukul 08.50 kami bertolak ke Jayapura menumpang Garuda lagi. 

Begitu sampai di tempat pengambilan bagasi, saya langsung meminta mas Beni untuk menyewa porter. Bagasi kami cukup banyak, ada sembilan koli. Selain musti menghemat tenaga untuk empat lima hari ke depan dalam rangka menjelajahi pelosok Mamteng, menyewa porter kami niatkan sebagai cara berbagi rezeki juga pada para pekerja keras itu.

Sentani yang panas semakin panas dengan 'serangan' para supir taksi di teras bandara. Saya membiarkan mas Beni bernego dengan salah seorang supir taksi. Begitu keduanya saling bersepakat, porter mengangkat semua bagasi kami ke sebuah mobil Avanza putih. Supirnya berpostur tinggi jangkung, berkulit hitam, berambut keriting, berkalung dan bergelang monel. Matanya besar dan agak kecoklatan.

Saya duduk di depan, di sebelah supir, sedang mas Beni dan kawan-kawan duduk di jok tengah. Bagasi kami semuanya ada di jok belakang.

John, nama supir itu, berasal dari Ambon. Saya pikir dia asli Papua. Memang susah membedakan orang asli Papua dengan orang asli Ambon. 'Cetakan' keduanya sangat mirip.

"Wah, orang Ambon? Berarti pinter nyanyi dong..." Kata saya pada John. Dia tersenyum, tipis. Mahal banget senyumnya. Saya mencoba-coba mencari keramahan di wajahnya. Tidak menemukan. Tapi pandangan matanya menyiratkan kalau dia dapat dipercaya dan siap membantu.

Kami diantar John ke Hotel Ratna, setelah mencoba ke hotel lain, tapi tidak cocok karena bau rokok di kamar hotel itu membuat kami susah bernafas. Bagi saya dan mas Beni, ini adalah kedatangan kedua kami di hotel yang hanya berjarak beberapa kilometer dari bandara ini. Pertengahan September tahun lalu, kami juga menginap di hotel ini saat mengantar anak-anak kami, para peserta SM-3T, yang akan bertugas di Mamberamo Raya dan di Mamberamo Tengah. Saya sendiri seperti sedang 'napak tilas' jejak-jejak kami beberapa bulan yang lalu bersama teman-teman pendamping dan para peserta.

Siang sampai sore ini, kami hanya punya satu agenda: tidur. Bangun kami terlalu awal pagi tadi, karena sebelum pukul 04.00 kami harus sudah berada di Bandara Juanda untuk check in. Saya sendiri, seperti biasa, masih sempat menyiapkan menu makan pagi dan membuatkan jus jambu biji untuk anak bojo. Itulah kalau jadi ibu rumah tangga yang sok rajin. Rasanya ada yang aneh kalau pergi keluar rumah di pagi hari tanpa menyiapkan menu sarapan lebih dulu. Konsekuensinya, saya harus bangun 'mruput'.  

Kami beristirahat sampai sore di kamar hotel yang lumayan nyaman dan sejuk. Sekitar pukul 17.00, kami baru bangun. Tidur kami adalah tidur yang lelap dan menyehatkan.

***
Selepas magrib, kami berkendara menyusuri jalan menuju Jayapura. Mobil yang membawa kami adalah mobil yang sama, Avanza putih. Tapi supirnya bukan John, melainkan rekannya. Namanya sebenarnya Safrun, tapi dia lebih sukan dipanggil Juan. Juan adalah anak laki-lakinya yang saat ini berusia tiga tahun.

Kami hanya ingin melihat-lihat Jayapura saja. Meski malam sudah jatuh sempurna, kami masih bisa melihat bukit-bukit dan danau-danau. Juga menikmati makan malam yang lezat di sebuah pujasera di dekat GOR Jayapura.

Juan adalah supir yang ramah dan cukup lihai jadi pemandu. Dia menjelaskan hampir setiap tempat yang kami lewati. Dia juga bercerita tentang perseteruan antara 'orang pantai' dan 'orang gunung' yang sampai saat ini masih terus berlangsung. Meski perseteruan itu sudah agak mereda setelah ada perjanjian yang ditandatangani oleh 'orang gunung', namun itu tidak berarti stabilitas keamanan di Jayapura dan sekitarnya selalu terjamin. 

Juan juga bercerita tentang keluarganya. Istrinya adalah perawat, berasal dari Timor, keturunan Timor-Jawa. Juan sendiri, keturunan Papua-Sulawesi. Juan beragama Islam seperti mamanya, sedangkan kakaknya beragama Kristen seperti papanya. Istrinya, namanya Maria Margareta, juga beragama Islam, meski papanya beragama Kristen. Juan sekeluarga merayakan natal sekaligus hari raya Idul Fitri setiap tahun bersama keluarga besarnya. Dari caranya bercerita, nampak sekali betapa Juan menikmati keragaman dalam keluarga besarnya itu dan menghayatinya sebagai sebuah berkah.

Masa SD dan SMP Juan dihabiskan di Kendari, daerah asalnya. Sejak SMA, dia mengikuti keluarganya yang hijrah ke Sentani untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ternyata benar. Papua lebih memberi harapan secara ekonomis dibanding Kendari. Menurut Juan, biaya hidup di Kendari murah, tapi cari uang susah. Di Jayapura, semuanya mahal, tapi cari uang gampang. Itulah sebabnya, orang tua Juan akhirnya memilih bermukim di  Jayapura sampai saat ini.

Dari Jayapura, kami kembali ke Sentani, sambil mendengarkan cerita Juan, dan melihat-lihat suasana jalanan di malam hari. Kami juga menyempatkan mampir di sebuah supermarket untuk membeli permen, biskuit, dan wafer, untuk kami bagikan pada anak-anak sekolah di pelosok Mamteng besok. 

Cukuplah menyapa Jayapura malam ini. Besok, sekitar pukul 06.00, kami akan bertolak dari Bandara Sentani menuju Wamena dengan menumpang Trigana Air. Dari Wamena, kami akan langsung menempuh perjalanan darat ke Distrik Illugwa. Besoknya, ke Distrik Eragayam dan Kelila. Perjalanan masih panjang, namun semoga tidak melelahkan.

Selamat malam, selamat beristirahat.

Sentani, 1 April 2014. 11.49 WIT.

Wassalam,
LN