Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 08 Mei 2014

Sorong 3: We Love Papua

Pagi ini, pukul 09.00 WIT, kami semua sudah siap di lobi. Direktur Diktendik, Prof. Supriadi Rustad, sudah hadir bersama para direktur selingkung Dikti yang lain, yaitu Direktur Litabmas dan Lemkerma. Direktur Belmawa, Dr. Illah Saillah, tidak hadir karena sedang berkunjung ke China. 

Ada beberapa mobil yang sudah disiapkan untuk kami semua. Enam mobil di antaranya disediakan oleh Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS). UMS merupakan salah satu PT swasta yang cukup diminati di Sorong, saat ini mahasiswanya sebanyak lima ribu lebih. Selain UMS, ada juga STKIP Muhammadiyah serta Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), satu-satunya PTN di Sorong. Universitas swasta yang lain adalah Universitas Victory, Universitas Kristen Papua (UKIP), Poltek Saint Paul, IKIP Kristen Papua, dan sebagainya.

Kami bergerak menjemput rombongan Mendikbud di Hotel Royal Mamberamo. Tepatnya bukan menjemput, tapi bergabung. Bertemu dengan para pejabat kemdikbud yang lain. Juga bertemu Dr. Sukemi, staf ahli Mendikbud. Beramah-tamah sekedarnya, sebelum akhirnya konvoi bergerak menuju SD-SNP Satap Ninjemor 1, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong. Salah satu SD yang menjadi tempat mengajar para peserta SM-3T. Jaraknya sekitar 60 km, dua jam dari Kota Sorong.

Jalan menuju Kabupaten Sorong kebanyakan adalah jalan beraspal, cukup baik, dan beberapa bagian adalah jalur yang ramai. Sebagian lagi jalan berkelok-kelok, naik turun, berhutan, berbukit. Batas kota dan kabupaten, adalah Taman Wisata Alam (TWA), yang sampai saat ini konon masih menjadi sengketa, apakah TWA itu milik kota atau kabupaten. Di sepanjang jalan ditemui para penjual manggis, langsap, dan buah-buahan lain. Langsap merupakan buah asli Sorong, juga matoa dan durian. Sayang sekali saat ini sedang tidak musim matoa dan durian. Kalau durian bisa didapatkan di mana pun, tapi matoa bukanlah buah yang mudah diperoleh. Buah yang berwarna coklat tua, berkulit tebal, rasa dagingnya mirip kelengkeng itu, baru saya nikmati dua kali saja, saat seorang teman pulang dari Papua. Matoa, adalah hasil bumi khas Papua, selain buah merah, sarang semut dan daun gatal.

Mobil kami melaju cepat. Berlomba dengan mendung tipis yang menggantung di langit. Sorong, bila tidak sedang hujan, suhunya panas sekali. Kata seorang teman dari Dikti, panasnya Makassar digabung Surabaya belum dapat Sorong. Syukurlah hari ini agak mendung, membantu mengurangi panas yang biasanya sangat menyengat.

Jalan antara kota dan kabupaten dulunya merupakan jalan yang rawan dengan tindak kekerasan pemalakan. Para pemalak kebanyakan adalah penduduk asli yang tinggal di hutan-hutan. Mabuk juga menjadi 'budaya', yang sering menimbulkan banyak kericuhan. Beberapa waktu yang lalu, gara-gara ulah orang mabuk yang memukul imam masjid, sempat menimbulkan pertikaian sengit yang menjurus ke SARA.  

Kabupaten Sorong merupakan daerah transmigrasi, mayoritas penduduknya adalah orang Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur). Para transmigran itu datang sejak tahun 1980-an. Yang membuat kabupaten Sorong ramai pada awalnya adalah para transmigran ini. Saat ini, masyarakatnya sudah sangat heterogen, Jawa, Ambon, Sulawesi, China, dan penduduk asli (suku Moi), Ayamaru dan dari suku yang lain. Selain suku Moi, semua suku di sini dianggap sebagai pendatang.  

Jalan mulus hanya sekitar tiga puluh menit saja, sisanya adalah jalan-jalan rusak. SP1, SP2, SP3 dan seterusnya adalah lebih popules untuk menyebut wilayah daripada nama desa. SP singkatan dari satuan pemukiman. Di wilayah SP3, ada sejunlah rumah yang bentuk dan ukurannya seragam, dibangun oleh departemen sosial untuk para penduduk asli. Namun rumah-rumah itu tidak semua ditempati, melainkan disewakan pada orang lain, dan mereka kembali hidup di hutan-hutan.

Memasuki kawasan SP4, barisan anak sekolah dan guru-guru berjejer di sepanjang jalan, mereka bernyanyi sambil melambai-lambaikan bendera. Menyambut para pejabat negara yang hanya lewat di depan mereka sekejap saja. Sekedar melambai terus berlalu. Mengharukan, hanya karena jalan dan sekolah mereka dilewati konvoi mobil pejabat, mereka rela memasang ratusan bendera dan berbaris berpanas-panas di pinggir jalan. 

Saya sedang membayangkan menjadi mereka. Membayangkan bermimpi melihat wajah menteri. Begitu raungan sirine terdengar, tegopoh merapikan barisan, dan bersiap melemparkan senyum termanis. Dalam balutan seragam sekolah, keringat yang mengucur deras, haus dan mungkin lapar, tapi betapa puas karena sudah melambai pada belasan mobil yang lampunya terus berkelip-kelip itu. Di manakah pak Menteri? Pasti di mobil yang terdepan. Sudah berlalu. Mungkin yang tadi tangannya keluar melambai-lambai. Puas sekali rasanya bisa menyambut orang besar itu.  

Mobil terus melaju di jalan yang sangat berdebu. Anak-anak sekolah dan guru-guru terus berbaris dan tertepa debu-debu itu. Pohon-pohon sagu berbaris di kanan-kiri jalan. Menurut Mas Lestari, driver UMS yang bersama kami, ulat sagu disukai penduduk setempat. Dijual juga di pasar-pasar tradisonal. Saya jadi ingat, kemarin saya ke pasar Remu, untung tidak menemui ulat sagu. Tapi itu warning bagi saya, musti hati-hati dan waspada kalau berkunjung ke pasar tradisonal lagi, supaya saya tidak kaget dan lantas berteriak histeris saking ketakutannya. Ulat, apa pun jenisnya, adalah makhluk teraneh dan ter'nggilani' di mata saya. Saya lebih baik disuruh ngepel alun-alun daripada disuruh lihat ulat. Hehehe.

Gerimis menyambut kami saat mendekati Distrik Moisegen. Hanya sekejap. Berbaur dengan debu tebal dari jalan-jalan yang berbatu dan bertanah kering. Semakin mendekati tempat kegiatan, keramaian terlihat di mana-mana. Juga bunyi-bunyian dari alat-alat musik tradisional. 

Tari Yospan, tari penyambutan,  dibawakan oleh sekelompok anak sekolah. Dengan bertelanjang dada, dan tubuh dicat warna-warni, tarian itu rancak diiringi dengan bunyi-bunyian. 

Rombongan Mendikbud, Pemda Sorong, Universitas Negeri Papua (UNIPA), Univesitas Negeri Makassar (UNM) masuk ke ruang SD yang sudah disiapkan. Lagu Indonesia Raya dibawakan oleh sekelompok anak SMP diikuti oleh semua yang hadir. Sambutan wakil peserta SM-3T UNM, Suwandi, mencairkan sekaligus membekukan suasana. Cerita tentang perjuangannya mengabdi di tempat terpencil, sulitnya medan, harapan anak didik dan masyarakat, serta kerinduannya pada keluarga, memancing applaus sekaligus air mata. 

Dalam dialog Mendikbud dengan siswa, beberapa kelucuan terjadi. Mendikbud merangkul seorang siswa SD dan bertanya. 
"Siapa namamu?"
"Anita."
"Kelas berapa?"
"Empat."
"Berapa usiamu?"
"Tidak apa-apa."
"Lho?"
"Umur, berapa umurmu?"
Anita diam.
"Ya sudah, tidak pakai umur tidak apa-apa, yang penting sekolah ya?"
Semua tertawa.

Seorang anak laki-laki, juga ditanya dengan pertanyaan yang sama oleh Mendikbud. Saat ditanya tentang nama dan kelas, dia bisa menjawab. Tapi begitu ditanya umur, dia bingung lalu menjawab: "Dua bulan." Tentu saja jawaban itu mengundang tawa. Giliran ditanya, "di mana rumahmu?", dia menjawab: "di belakang."

Meski mungkin terdengar lucu, tapi hati saya justeru menangis mendengar jawaban siswa itu. Betapa terbelakangnya mereka. Betapa tertinggalnya. Seperti itu, tentulah tidak hanya di tempat ini. Seperti itu, tersebar di ratusan bahkan ribuan tempat di berbagai pelosok Tanah Air.

Perjuangan para peserta SM-3T, bukan sekedar kisah pengabdian pada dunia pendidikan, namun kisah pengabdian untuk kemanusiaan. Lihatlah anak-anak itu, para orang tua itu. Mereka kotor, kurus kering, miskin. Mereka bisa jadi tidak peduli dengan pendidikan bukan karena tidak butuh.  Mereka hanya perlu hidup. Kebutuhan dasar mereka yang tidak pernah tercukupi memerlukan perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan pendidikan itu sendiri. Belajar bagi mereka tidak hanya baca tulis hitung. Menggembala ternak, mencari kayu bakar, menanam ubi, mencari air, adalah bagian dari belajar itu sendiri, dan dengan itu semua mereka bisa bertahan hidup. 

Guru-guru SM-3T itu, mempunyai tugas berat untuk kedua-duanya. Memastikan mereka tetap bisa bertahan dalam kondisi serba kekurangan, sembari meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan, kesehatan dan kecintaan pada Tanah Air. Memastikan di dada mereka tetaplah merah putih, meyakinkan bahwa Papua adalah bagian dari NKRI, dan NKRI itu menghampar dari Sabang sampai Merauke.

Pendidikan di Papua harus bangkit. Tugas kita adalah menyentuh mereka, mengantarkan mereka, agar mereka bisa bangun, keluar dari matarantai ketidaktahuan, kemiskinan, menuju dunia terang-benderang. Salah besar jika kita, sebagai bangsa dan negara, tidak memberikan perhatian pada mereka.

Berapa banyak energi, berapa lama waktu, yang dibutuhkan untuk membuat Papua sejajar, atau setidaknya tidak ketinggalan terlalu jauh dengan saudara-saudaranya di belahan lain di Indonesia? Itu PR besar bagi negera besar bernama Indonesia. Tugas berat bagi siapa pun pemimpin negeri kaya raya tapi miskin ini. Namun, kebijakan apa pun yang diambil oleh para pemimpin negeri, pendidikan harus menjadi prioritas. Pendidikan telah terbukti mampu memangkas matarantai kemiskinan dan kebodohan. Pendidikan memberikan multiplier effect terhadap peningkatan kesehatan dan ekonomi, yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu SDM seutuhnya. 

Di akhir dialognya, Mendikbud mengatakan: "Kami bangga Papua, Kami cinta Papua. We love Papua, we love Indonesia". 

Sorong, 8 Mei 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 07 Mei 2014

Sorong 2: Daun Gatal

Daun gatal yang dijual penjual sayur.
Pagi ini, saya dan Ayu, salah satu Duta SM-3T (wakil dari UPI), mencuri kesempatan untuk naik taksi melihat-lihat Kota Sorong. Taksi, jangan dibayangkan sebagaimana taksi di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya dan kota besar yang lain. Taksi di Sorong adalah sebutan untuk angkutan kota (angkot), berwarna kuning, dengan simbol beragam, A, B, H, dan seterusnya.

Kami naik taksi dari depan hotel. Begitu duduk, saya bertanya pada pak supir, "mas, ini jurusan mana?" Tentu saja pak supir heran. "Lha ibu mau ke mana?" Tanyanya balik. "Kemana aja deh. Putar-putar Sorong."
Pak Supir yang baik hati itu, menjelaskan kalau taksi sedang menuju Pasar Remu.
"Pasar Remuk?" Tanya saya. "Pasar Hancur?"
Pak supir langsung tertawa, begitu juga penumpang di sebelahnya. Rupanya dia tahu juga kalau remuk itu dalam Bahasa Jawa artinya hancur.

Di Sorong, para pendatang menguasai hampir semua sektor. Mulai dari pasar tradisional, toko-toko kecil sampai mall, di hotel, di jalan-jalan, wajah-wajah yang bertebaran lebih banyak bukan wajah asli Papua. Mereka dari Jawa, Sulawesi, Maluku, Sumatra, dan beberapa pendatang dari bagian lain Indonesia. Jawa dan Sulawesi yang paling mendominasi. Meskipun begitu, penduduk asli, yaitu suku Moi, mayoritas  tetap eksis di antara para pendatang tersebut. Suku Moi pada dasarnya mudah berinteraksi dengan masyarakat luar, dan melebur, sehingga jumlah mereka yang meskipun tidak terlalu banyak tetap mendapatkan tempat dan berperan dalam pembangunan dan kemajuan kota. Bupati Sorong, Dr. Stevanus Malak, adalah orang asli suku Moi. Salah satu universitas swasta, Universitas Victory (Unvic), pemiliknya juga orang Moi bermarga Kalami. Kalagison, Osok, Kalami, adalah beberapa marga suku Moi yang tetap eksis di Sorong. Agama mereka yang fifty-fifty antara Kristen Protestan dan Muslim, membuat mereka tidak hanya memiliki para pendeta namun juga para ustadz.
    
Kami turun di Pasar Remu, setelah diberi petunjuk oleh pak supir dan seorang ibu, taksi lyn apa yang bisa kami tumpangi untuk kembali ke kawasan Yohan, tempat hotel kami. Ayu ragu waktu saya ajak masuk ke dalam pasar. Dia sudah bergidik duluan melihat kondisi pasar yang becek.

"Ayo, masuk. Kalau mau lihat apa-apa yang khas, di pasar tradisionallah tempatnya." Ajak saya pada Ayu. 

Di pasar, saya dan Ayu sibuk memotret-motret saja. Memotret komoditi yang dijual maupun penjualnya. Para perempuan berkulit hitam gelap berambut keriting. Ramah-ramah. Di depannya gundukan-gundukan berbagai sayur dan buah, ubi-ubian, ikan tongkol besar-besar yang sudah dipanggang, dan juga, yang selalu khas di wilayah timur, buah pinang dan sirih segar maupun kering. 

Para perempuan itu, kebanyakan bukan dari suku Moi, tetapi dari suku Ayamaru. Suku Ayamaru, Aitinyo, dan Aifat, mereka dari Sorong Selatan. Meski sirih pinang banyak dijual di mana-mana, tapi bertemu orang mengunyah sirih pinang tidak sesering di Jayapura, Sarmi atau di Mamberamo. Pengkonsumsi sirih pinang di sini lebih banyak para orang tua, dan jarang dikonsumsi para anak muda.

Salah satu jenis komoditas yang khas, yang belum pernah saya lihat di tempat lain, adalah irisan bunga pisang dengan daun pepaya. Pada wadah-wadah plastik, bahan untuk sayur itu dijual per gundukan. Sayang saya lupa tidak bertanya berapa harganya. 

Komoditas lain yang juga unik adalah daun gatal. Daun ini bentuknya mirip daun jati tapi bagian pangkalnya lebih lancip dan ukurannya juga lebih kecil. Daun-daun itu diikat setumpuk demi setumpuk, dan dari teksturnya saja sudah kelihatan kalau permukaannya sangat kasar. Saya bertanya pada ibu penjual berkulit hitam yang ramah, apa nama daun itu. "Daun gatal." Jawabnya. "Kenapa namanya daun gatal?" Tanya saya lagi. Dia minta saya menjulurkan tangan saya, supaya dia bisa menggosokkan daun itu. Tentu saja saya menolak.
"Mama dulu." Kata saya. "Kasih contoh." 
Ternyata ibu itu tanpa ragu-ragu menggosokkan tumpukan daun itu ke lengannya. Saya pun, meski agak ragu, menjulurkan lengan saya.
"Waw!" Kaget sekali saya, meski sudah menduga sebelumnya, begitu daun itu menggerus punggung tangan saya, tak ayal teksturnya yang kasar mengagetkan saya. Dan tak perlu menunggu lama, tangan saya langsung terasa gatal. Semakin lama semakin gatal. Beberapa menit kemudian bahkan keluar bintik-bintiknya, seperti habis kena ulat. 
"Sampai berapa lama gatalnya, Mama?" Tanya saya.  "Terserah ibu."
Terserah? Saya tidak paham maksud kata itu. Tapi saya tidak bertanya lebih lanjut, khawatir semakin tidak paham. Kata-katanya yang sepatah dua patah tidak terdengar jelas di telinga saya. 

"Ibu, kenapa sih mau digaruk pakai daun kasar begitu?" Protes Ayu. "Itu tangan Ibu jadi keluar bintik-bintik."
"Tenang aja, Ayu, pengalamannya ini yang mahal..."

Belakangan, saya bertanya pada driver dari Universitas Muhammadiyah Sorong (UMS) yang mengantar kami ke lokasi kegiatan, daun gatal ternyata fungsinya untuk menghilangkan pegal-pegal. Daun itu digosokkan ke punggung atau bagian tubuh yang capek, dia akan bekerja sendiri. Rasa gatal-gatal itulah yang menghilangkan pegal-pegal. 

Saya pikir, menarik juga daun gatal ini. Dia pasti punya kandungan yang berkhasiat obat, setidaknya obat pegal-pegal. Obat luar semacam balsam atau obat gosok. Saat saya coba googling, ternyata benar, daun dari tumbuhan famili Urticaceae ini memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid, dan lain-lain. Kandungan ini disebut juga asam semut. Asam semut ini sendiri terkandung di dalam kelenjar duri pada permukaan daun. Saat duri lunak tersebut mengenai tubuh, asam semut dalam kelenjar itu terlepas dan mempengaruhi terjadinya pelebaran pori-pori tubuh. Pelebaran pori-pori ini disinyalir merangsang peredaran darah, dan alhasil, hilanglah pegal-pegal di bagian tubuh tersebut.

Papua Barat, seperti Indonesia pada umumnya, begitu kaya akan hasil alam yang memiliki banyak khasiat obat. Masih ingat buah merah dan sarang semut yang asli Papua dan memiliki khasiat menyembuhkan berbagai penyakit? Nah, saat ini wawasan saya tentang hasil alam khas Papua yang berkhasiat obat itu tambah satu lagi: daun gatal.

Sorong, 7 Mei 2014

Wassalam,
LN

Selasa, 06 Mei 2014

Sorong 1: Tidur Pulas Dulu

Hujan deras menyambut kami begitu Garuda tipe Bombardier yang kami tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok. Waktu masih menunjukkan pukul 06.10, berbeda dua jam lebih cepat dari WIB. Perjalanan malam sejak berangkat dari Bandara Juanda pukul 23.30 semalam, transit di Bandara Sultan Hasanuddin Makasar selama sekitar satu jam, kemudian lanjut ke Sorong, cukup melelahkan saya. Apa lagi kondisi saya memang tidak terlalu prima, sejak dua hari yang lalu terus mengonsumsi obat flu dan vitamin C demi menopang aktivitas. Tapi udara Sorong yang sejuk cukup menyegarkan jiwa dan raga di pagi yang tidak terlalu pikuk ini.

Provinsi Papua Barat, dulu bernama Irian Jaya Barat, sempat diakui sebagai provinsi yang berdiri sendiri hasil pemekaran dari Provisi Papua pada 1999. Namun lantas ditangguhkan karena terjadi demonstrasi besar-besaran oleh warga Papua yang menolak pemekaran tersebut. Tahun 2003, pemekaran Irian Jaya Barat kembali diaktifkan oleh Presiden Magawati dan perlahan provinsi ini membentuk dirinya menjadi provinsi yang definitif. Nama Provinsi Papua Barat sendiri resmi diakui sejak 2007.

Nama bandara di mana pun selau mengusik rasa ingin tahu saya. Termasuk bandara di Sorong ini, Domine Eduard Osok (sebenarnya Dominique Edward Osok disingkat DEO). Ini pasti nama seseorang. Saya coba googling. Ternyata dia adalah pahlawan asal Papua. Hanya itu, selebihnya, belum berhasil menemukan informasi lain.

Bahwa DEO adalah nama pahlawan, siapa yang tidak tahu? Sama halnya nama sebagian besar bandara di tempat-tempat lain di Indonesia. Juanda, Adisucipto, Adi Sumarno, Abdur Rahman Saleh, Soekarno Hatta, Sultan Hasanudin, El Tari, Umbu Mehang Kunda, Ngurah Rai, dan banyak lagi.  

Sorong merupakan pintu gerbang bagi para wisatawan yang akan mengunjungi Raja Ampat. Ya, siapa tak kenal Raja Ampat? Salah satu destinasi wisata favorit bagi para pelancong. Surga bagi mereka yang hobi melakukan ekspedisi bawah laut, karena di sanalah, konon, tempat ekspedisi bawah laut terbaik di dunia. Terus-terang, kedatangan kami ke Sorong ini, bukan hanya karena diamanahi tanggung jawab untuk membantu panitia pusat dalam rangka Puncak Hardiknas yang akan dihadiri Mendikbud, namun karena iming-iming wisata Raja Ampat juga. Siapa tahu?

Bandara Sorong tidaklah sepikuk Sentani. Tidak nampak porter yang berserakan di mana-mana. Namun seorang petugas yang membawa selembar kertas bertuliskan nama ketua rombongan kami menentramkan hati. Kami, adalah delapan orang Dikti, satu orang dari Unimed, satu dari Unesa (saya sendiri) dan satu dari Undiksha. Dalam rangka Puncak Hardiknas yang dirayakan di Sorong, kami datang untuk mempersiapkan serangkaian acara yang sudah dirancang, bersama-sama dengan panitia UNM, PIH Dikbud, dan, tentu saja, bagian protokoler Kemdikbud.

Di bawah gerimis yang masih rinai, kami berkendara menuju Hotel Sahid Mariat, tempatnya tidak terlalu jauh dari bandara. Bukan hotel terbaik. Hotel Royal Mamberamo, hotel terbaik, sudah full-booked oleh rombongan Mendikbud. Tidak masalah. Yang penting, pagi sampai siang nanti, kami semua akan menikmati tidur yang pulas. Tidur pulas pertama di pagi pertama di Kota Sorong.

Tidur dulu ah......

Sorong, 6 Mei 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 04 Mei 2014

Memaknai Kehilangan

Siang kemarin, ketika saya sedang ada di acara peresmian gedung dekanat FMIPA, tiba-tiba saya ingat ibu (mertua) dan ingin meneleponnya. Saya keluar ruangan yang hiruk-pikuk karena campursarinya grup Bharada sedang manggung, untuk mencari tempat yang agak terhindar dari keriuhan.
"Nembe nopo, Uti?" Sapa saya pada ibu.
"Iki lho, Fi....resik-resik..." Lantas pecahlah tangis ibu. Menceritakan semua aktivitasnya sepanjang pagi sambil terisak-isak. Melipat baju-baju bapak, selimut, sarung, membenahi tempat tidur. Membayangkan bapak yang biasanya pada jam-jam seperti ini sedang duduk-duduk di teras di depan dapur sambil minum teh manis dilengkapi sepotong dua potong polopendem, menemani ibu yang lagi sibuk di dapur.
"Ti..." Lembut suara saya. "Uti tidak boleh terus-menerus sedih seperti itu. Bapak meniko sampun dipun pilihaken yang terbaik kalih Gusti Allah. Ingkang dipun suwun Uti, putro wayah, lak inggih meniko to? Sing paling sae kagem bapak..."
"Iyo, Fi...yo kuwi sing menghiburku. Tapi jenenge ati, Fi..."
"Uti berdoa terus kagem akung.."
"Uwis, Fi..., mesti tak dongakne...tapi aku kelingan terus bapak sak tingkah polahe, kebiasaane, remenane...."
"Inggih mesti, Ti... Tapi mboten sisah dipun inget-inget terus, didongakne mawon saben kemutan..."

Saya mengakhiri telepon setelah berhasil sedikit menenangkan ibu. Saya katakan ke ibu, saya dan Mas Ayik akan sowan nanti sore, dan tidur di Tanggulangin untuk menemani. Setelah berpulangnya bapak, saya dan Mas Ayik memang harus sering mondar-mandir dan tidur di Tanggulangin untuk menemani ibu.

Saya pernah kehilangan bapak (sendiri, bukan mertua). Ketika itu saya masih menempuh Program S2 di Yogyakarta, dan tidak sempat melihat bapak pada hari-hari terakhirnya. Saat pulang ke rumah, bapak baru saja selesai dimakamkan, tapi ratusan tamu masih memenuhi rumah dan halaman kami yang besar. Saya yang sempat sempoyongan dan tidak sadar, dibangunkan oleh ibu dan beliau menguatkan saya untuk bersabar dan bertahan. Ibu, yang saya pikirkan akan 'jatuh' karena kehilangan bapak, ternyata justeru yang menguatkan saya dan kami semua, anak-anaknya. 
"Alhadulilah, Nduk....bapak apiiiikkk kapundhute. Kowe ora usah nangis yo? Bapak wis kepenak. Awake dewe kabeh kudu bersyukur, bapak kepenak banget kapundhute. Mugo-mugo awake dewe kabeh yo iso dipundhut kepenak koyo bapak..."

Berhari-hari setelah itu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun setelah meninggalnya bapak, ibu masih terus teringat bapak. Ya, namanya juga suami, belahan hati, yang telah puluhan tahun menemani membangun dan mengayuh bahtera rumah tangga, siapa pun akan mengalami hal yang sama. Terus teringat, terus terkenang, bahkan mungkin sampai mati. 

Tapi ada yang begitu mengagumkan pada diri ibu setiap kali teringat bapak. Caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangan. Suatu ketika, kami sedang menikmati makan bersama di meja makan, dan salah satu makanan itu adalah kesukaan bapak. "Dadi eling bapak...iki remenane bapak..." Kata saya sambil menunjuk gule kambing. 
"Bapak wis luwih enak dahare ning kono...ngersakke opo wae ono..." Tukas ibu. Wajahnya datar saja, tanpa kesedihan, malah menyungging senyum. "Bar maem ndang podho salat, ojo lali kirim Fatihah ning bapak."

Suatu saat, ibu berkata. "Iki lho, bapak iki lho....wis kapundhut isih saget nafkahi anak bojo terus. Alhamdulilah, Gusti... Panjenengan Ingkang Moho Sugih." Waktu itu ibu habis terima uang pensiun. Bapak adalah guru PNS, sehingga beliau masih memperoleh uang pensiun bahkan saat beliau sudah berpulang.

Saya dan kami semua tidak pernah melihat ibu begitu terbebani dengan meninggalnya Bapak. Meskipun kami yakin, pasti ibu sangat merasa kehilangan. Sangat sedih. Tapi ibu tidak pernah menunjukkan rasa khilangan itu dengan menangis, mengeluh, apa lagi menyesali meninggalnya bapak. Ibu meyakini, semua yang sudah digariskan oleh Allah untuk bapak, untuk kami semua, adalah yang terbaik. "Gusti Allah wis noto kanthi apik." Begitu selalu yang dikatakan ibu. "Awake dewe sing syukur. Bapak wis kepenak. Mugo-mugo awake dewe kabeh ngko yo kepenak. Kepenak ndunyo akhirat sak anak bojo lan kabeh keturunan."

Semangat ibu seperti tak pernah padam dan bahkan terus memberikan energi pada kami semua. Benar sekali apa yang dikatakan orang bijak. Selalu berpikir positif, banyak bersyukur, akan membuat orang yang bersangkutan selalu memancarkan energi positif. Itulah yang kami rasakan dari ibu. Senyumnya, kekuatan batin sekaligus kepasrahannya, adalah energi buat kami semua untuk terus memaknai hidup ini dengan segala hal yang berarti demi kehidupan yang lebih abadi kelak.

Memang beda sekali dengan cara ibu (mertua) dalam memaknai kehilangan bapak (mertua). Kesedihan dan kedukaan yang mendalam menjadi warna-warna dominan di hari-hari setelah kepergian bapak. Dalam pembicaraan melalui telepon, dalam keseharian, ibu lebih banyak menangis. Membalut setiap ucapan, ingatan, dengan kesedihan dan kedukaan. Kadang terselip penyesalan kenapa tidak begini, tidak begitu. Kadang mempertanyakan, kenapa begini, kenapa begitu. 

Setiap kali kami ingatkan, bahwa inilah hal terbaik untuk bapak dan kami semua, ibu bisa menerima dengan mudah. Ya, karena ibu sebenarnya juga tahu betul tentang hal itu. Namun pemahamannya itu, sayang sekali, belum diejawantahkan dari caranya memaknai kesedihan dan rasa kehilangannya. Belum bisa membalut kesedihannya dengan senyum tulus yang menunjukkan keihklasan dan kerelaan. Siapa pun yang di dekatnya akan menjadi tumpuan kesedihan dan keluh kesahnya. Meskipun ibu mengatakan bahwa ibu sudah ikhlas bapak pergi, namun sikap dan ucapannya tidak mencerminkan keikhlasan itu.

Kami yakin, ibu hanya perlu waktu untuk merasa "lego lilo". Mudah-mudahan segera. Dengan keteguhan hati kami anak-anaknya, ibu akan menjadi kuat dan kembali 'hidup'. Ya, karena roda terus berputar, dan hidup harus terus berlanjut.

Begitulah, setiap orang memiliki cara yang tidak sama dalam memaknai sebuah kehilangan. Namun setiap orang yakin, kehilangan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali harus terus bersyukur bahkan saat kita harus kehilangan. Rasa syukur itu akan menjadi energi abadi dalam diri kita, dan akan selalu memancarkan energi bagi orang-orang di sekitar kita. Meski kehilangan, kita harus tetap dapat memberikan makna dan manfaat bagi orang lain. Rasa syukur itulah kuncinya....


PPPG, Kampus Lidah Wetan, 4 Mei 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 03 Mei 2014

Pendidikan Memberikan Multiplier Effect

Pagi tadi, di Gedung Dekanat FMIPA yang baru, dilaksanakan acara peresmian gedung dan Kuliah Umum Penguatan Kurikulum 2013. Peresmian ditandai dengan penandatanganan prasasti oleh Mendikbud M. Nuh, dan kuliah umum langsung diberikan oleh Mendikbud juga.

Gedung baru ini adalah gedung tiga lantai. Merupakan pengganti dari gedung dekanat dan Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS) yang dulu terbakar. Secara berseloroh, dalam sambutannya, Rektor Unesa Muchlas Samani melontarkan, "lek kepingin oleh gedung baru, bakar sik gedungmu..."

Pembangunan gedung baru tersebut sepenuhnya dibiayai oleh kemdibud. Menurut Mendikbud, karena kebakaran yang terjadi adalah murni kecelakaan, bukan sebab sengaja dibakar misalnya karena demo-demo, maka kementerian bisa membantu membangunnya kembali. Tapi kalau kebakarannya karena demo, yang berarti sengaja dirusak, kementerian tidak akan membantu serupiah pun. Bahkan kalau perlu program studi yang bersangkutan ditutup dulu, begitu jelas menteri sambil menyebut sebuah LPTK yang gedungnya dibakar oleh mahasiswa dan kementerian tidak memberikan bantuan untuk membangunnya kembali.

Gedung yang dinamakan Gedung D1 ini selain untuk dekanat, juga untuk Laboratorium Pembelajaran Matematika dan Sains Sekolah (LPMSS, pengganti PSMS). LPMSS merupakan laboratorium untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah khususnya untuk bidang Matematika dan Sains. 

Dalam kuliah umumnya, M. Nuh menyampaikan, tidak ada satu pun di antara kita yang tidak percaya bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh SDM. Oleh sebab itu, pengembangan SDM mejadi hal yang sangat prioritas.

Kualitas SDM sebagaimana yang kita tahu, diukur melalui indeks pembangunan manusia  (IPM) atau human development index (HDI). Ada tiga komponen dalam IPM, meliputi pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per kapita. Ketiga-tiganya penting. 
"Masia pinter pol," begitu kata Pak Nuh, " tapi lara-laranen, ya tidak baik. Kalau ada dosen matematika, daftar log dia hafal, tapi saat mengajar dia batuk-batuk terus, mahasiswa yang mau  tanya bisa nggak tega. Mengko tak takoni muntah getih..." Seloroh Pak Nuh, tentu saja mengundang gelak tawa.
"Seorang perempuan, cantik pol...tapi buta huruf....nggilani. Sama dengan wong lanang, gede duwur, ngguwanteng, tapi hahok. Begitu juga kalau ada dosen MIPA Unesa, ganteng, gede duwur, puwinter, tapi utange akeh."

Contoh-contoh di atas hanya untuk menunjukkan betapa pendidikan, kesehatan dan pendapatan per kapita sama-sama pentingnya. Tapi yang mana dari ketiga hal itu sebagai prime-mover-nya? Sebagai penggerak utamanya?

Hasil kajian Unesco dan World Bank menunjukkan hubungan antara pendidikan dengan pendapatan perkapita, pendidikan dengan kesehatan, dan pendidikan dengan IPM secara keseluruhan. Kesimpulannya, pendidikan ternyata memberikan multiplier effect.

Hubungan pendidikan dengan pendapatan per kapita dalam bahasa statistik digambarkan r = 0,93. Artinya hubungannya sangat erat. Sedangkan bila pendidikan dihubungkan dengan pendapatan per kapita dan kesehatan, ternyata menghasilkan r=0,98. Berarti, pendidikan mempunyai multiplier effect terhadap komponen lain.

Oleh sebab itu, pendidikan harus digenjot sedemikian rupa agar bisa memberikan efek pada peningkatan kesehatan dan pendapatan per kapita. Pendidikan harus mampu memotong mata rantai kemiskinan. Masyarakat menjadi miskin karena mereka tidak mendapatkan akses. Akses meliputi ketersediaan dan keterjangkauan. Di pelosok, daerah perbatasan, daerah-daerah terpencil, ada masalah dengan ketersediaan. Sedangkan untuk masalah keterjangkauan, tidak hanya menjadi masalah di daerah pelosok, tapi juga di perkotaan, misalnya karena biaya pendidikan yang mahal. Karena keterjangkauan terkait masalah ekonomi, penyelesainnya dari bidang ekonomi. BOS, BOSDA, dan berbagai beasiswa adalah untuk mengatasi masalah ekonomi tersebut.


M. Nuh juga menambahkan, lima sampai sepuluh tahun lagi akan terjadi kebangkitan kaum dhuafa. Pada saat itu akan ada puluhan ribu lulusan S1, S2, S3, generasi baru yang berasal dari keluarga tidak mampu. Anak-anak bidik misi sekarang sudah lulus S1, saat ini sedang dipersiapkan S2 dan S3-nya. Mereka bisa memasuki perguruan tinggi terbaik di dalam maupun di luar negeri. Mereka akan menjadi para motor penggerak dan agen perubahan dalam pembangunan. Inilah yang dimaksudkan memotong kemiskinan melalui dunia pendidikan.

Untuk Unesa, M. Nuh berharap, agar Unesa terus memperkuat intellectual capital. Karena kekuatan Unesa ada di situ. Tulisan-tulisan, hasil-hasil riset, itulah harga termahal yang dimiliki Unesa. Buka seluas-luasnya bagi para dosen yang belum S3 supaya menempuh S3. Namun riset-riset eksperimental jangan sekadar berhenti di paper-work, tapi ditawarkan ke sekolah-sekolah, sehingga hal itu menjadi lahan riset bagi Unesa dan semua pihak yang berkepentingan. 

Di sinilah salah satu letak kemuliaan Unesa, begitu kata menteri. Mengurus pendidikan adalah jalan yang benar. Tidak semua orang ditakdirkan mencintai dunia pendidikan. Kita harus bersyukur karena di dalam diri kita ditanamkan rasa cinta itu.


Surabaya, 3 Mei 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 02 Mei 2014

Pamit Mendikbud dan Rektor

Upacara Hari Pendidikan Nasional pagi ini dimulai pukul 07.30. Bertempat di halaman Rektorat, upacara diikuti oleh perwakilan semua unsur di Unesa, mulai dari fakultas, pascasarjana, karyawan, dharma wanita, Senat, dan PPPG. 

Dalam sambutannya, Rektor Prof. Dr. Muchlas Samani membacakan sambutan Mendikbud. Salah satu harapan Mendikbud adalah, pendidikan yang semakin terjangkau dan semakin berkualitas bisa segera berhasil diwujudkan. 

Tema Hardiknas tahun ini adalah "Pendidikan untuk Peradaban Indonesia yang Unggul". Artinya, pendidikan tidak hanya untuk menjawab masalah-masalah yang sifatnya praktis dan teknis. Tapi tujuan pendidikan adalah  memanusiakan manusia untuk membangun peradaban unggul.

Salah satu program dalam rangka mencapai peradaban yang unggul adalah perluasan akses pendidikan. BOS, Bantuan Siswa Miskin, program rehabilitasi sekolah, sekolah berasrama, dan lain-lain, termasuk pengiriman guru di daerah 3T dalam Program SM-3T, merupakan perwujudan dari upaya itu. Setidaknya berbagai program tersebut saat ini sudah berhasil meningkatkan angka partisipasi kasar pada tingkat 
SMP, SMA, dan perguruan tinggi.

Terkait dengan program peningkatan kualitas pendidikan, Mendikbud menyebut salah satunya adalah penerapan Kurikulum 2013. Tahun 2014-2015 ini merupakan momentum yang tepat untuk peningkatan kapsitas para guru, kepala sekolah, dan pembenahan perbukuan. Penerapan Kurikulum 2013 diharapkan dapat membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan anak didik agar menjadi manusia yang unggul. 

Mendikbud juga menyampaikan, tahun 2014 ini adalah tahun terakhir sebagai Mendikbud. Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya atas kerjasama, partisipasi dan dukungan semua pihak. Prestasi yang telah diraih adalah prestasi kita semua. Masih banyak kekurangan di sana-sini dan juga kekhilafan, oleh sebab itu Mendikbud memohon maaf yang sebesar-besarnya pada seluruh pemangku kepentingan. Di akhir sambutannya, Mendikbud menyampaikan harapannya, mudah-mudahan dunia pendidikan kita ke depan semakin maju. Dan semua yang telah disumbangkan bagi dunia pendidikan, baik oleh guru, anak didik, kepala sekolah, pemerhati pendidikan, dan lain-lain, semoga menjadi bagian dari amal kerbajikan kita.

Mengakhiri pembacaan sambutan Mendikbud, Rektor meminta waktu dua menit untuk menyampaikan sesuatu. Rektor mengemukakan, pada tanggal 26 Juni nanti, masa jabatannya sebagai Rektor Unesa akan berakhir. Tinggal 54 hari. Rektor menyampaikan permintaan maaf bila selama masa kepemimpinannya, ada banyak kekurangan dan kekhilafan. Rektor juga berharap, Unesa ke depan akan semakin baik dan maju. 

Selamat untuk Pak Nuh dan Pak Muchlas. Selamat sudah mengemban amanah dengan sebaik-baiknya, dengan segala suka dukanya, dengan segala dukungan dan kritik yang mewarnainya. Semoga Allah SWT selalu memberikan berkah kesehatan dan kesuksesan.

Selamat memperingati Hardiknas... 


Surabaya, 2 Mei 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 01 Mei 2014

Cowok Bispak

Suatu siang, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. "Tanteee...."
Saya spontan membalas. "Siapa nih?"
Sebagian anak teman memanggil saya 'budhe', tapi tidak sedikit juga yang menyebut saya 'tante'. Saya tidak menyimpan sebagian besar nomor ponsel mereka, karena memori ponsel saya tidak muat. Beberapa di antara mereka terkadang menelepon atau mengirim SMS hanya untuk bertanya tentang pelajaran mereka, yang sering adalah pelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. Kalau untuk Bahasa Inggris, saya hampir selalu bisa menjawab, tapi kalau untuk Matematika, pertanyaan mereka lebih sering saya lemparkan ke Mas Ayik atau teman dosen Matematika.

"Mmmuuuuaahhh...."
Saya kaget dengan balasan seperti itu. Seingat saya, para 'keponakan' saya tidak ada yang punya kebiasaan genit begitu. Saya tidak membalasnya. Saya lagi malas menyelidik siapa pengirim SMS itu.

Siangnya, SMS dari pengirim yang sama masuk lagi. "Tante gi pain?" Saya tidak membalasnya. "Tante dah makan siang?" Saya tetap tidak membalasnya. "Tanteeee....." Saya biarkan saja orang yang super iseng itu.

SMS semacam itu ternyata tidak berhenti pada hari itu saja. Besoknya, pagi, siang, malam, terus masuk. Semakin lama isi SMS-nya semakin 'nggilani'. 'Tante, telpun sex yuk..." Malam-malam, dia SMS "Kalau suami tante tidak sedang di rumah, bercumbu yuk..." Pernah juga dia SMS, "Tanteeee, hhhhhssssss...ahhh...."

SMS itu tidak ada satu pun yang saya balas, tapi juga tidak ada satu pun yang saya hapus. Saya simpan semua. Anak gila ini sedang menguji kesabaran saya. Ingin rasanya saya laporkan ke polisi saja dia, dengan bukti SMS-SMS itu. Tapi saya malas berurusan dengan polisi untuk hal semacam ini. Eman-eman waktu dan tenaga yang musti saya keluarkan hanya karena bocah sableng itu. 

Belakangan, ternyata anak itu malah berani telepon. Tidak hanya di siang hari, tapi, terutama, malam hari. Setelah tengah malam juga. Untungnya, saya selalu melihat layar ponsel setiap kali ada telepon masuk, supaya bisa memastikan siapa yang menelepon. Meski mata masih 'riyip-riyip', saya tahu siapa penelepon itu, maka kalau di layar terbaca 'cowok bispak', saya tidak mengangkatnya. 

Saya ceritakan hal itu pada Mas Ayik, dan menanyakan bagaimana sebaiknya. "Jarne ae, ngko lak kesel-kesel dewe." Begitu kata Mas Ayik. Tapi ternyata anak itu tidak kesel-kesel juga. Teleponnya setiap malam atau dini hari masuk. Mas Ayik masih tidak bereaksi. Saya juga ikut adem-ayem saja meski sebenarnya sangat amat terganggu. 'Gak ngurus wong edan", begitu pikir saya.

Belakangan ini memang sering ada SMS masuk. 'Invite PIN BB saya xxxxxx. Cewek bispak. Cantik, seksi, hot'. Saya sampai ngeres dengan SMS-SMS seperti itu. Haduh.....sudah demikian rusaknya moral kita, sekspun diobral dengan begitu murah-meriah. Yang jadi pikiran saya, bagaimana kemudian kalau ada banyak remaja, para suami, dan lelaki hidung belang yang iseng menanggapinya, lantas kebablasan. Maka terjadilah apa yang akan terjadi. Naudzubillah mindalik...

Kata Mas Ayik, kadang-kadang SMS seperti itu hanya untuk nyedot pulsa kita. Jadi tidak perlu ditanggapi. Abaikan saja. "Kok Mas Ayik tahu?", tanya saya. "Katanya begitu..."
"Katanya apa katanya..." Goda saya.
"Hush....sembarangan."

Nah, ternyata tidak hanya para cewek yang menawarkan seks murahan itu. Ternyata cowok juga. Malah lebih berani, tidak hanya SMS, tapi telepon-telepon juga.

Kemarin pagi, sepulang dari Tanggulangin setelah menemani ibu, di perjalanan, sebuah telepon masuk ke ponsel saya. Saya lihat layar ponsel. Lantas ponsel saya serahkan ke Mas Ayik. "Anak itu lagi..." Kata saya.

Mas Ayik menerima telepon itu. "Halo". Suara Mas Ayik langsung bernada tinggi. "Kalau kamu terus-teruskan kirim SMS dan telepon, urusan bisa panjang. Berhenti mengganggu istri saya!" Suara Mas Ayik, galak banget.

Tentu saja tak ada jawaban. Tapi di layar telepon terlihat kalau si penelepon mendengarkan suara Mas Ayik. Lantas dia mematikan telepon. Saya coba meneleponnya, tersambung sebentar, mati lagi. Saya ulang menelepon lagi, tersambung sebentar, terputus lagi. Selanjutnya setiap kali saya telepon, yang terdengar adalah nada sibuk.

Sejak pagi kemarin, setelah Mas Ayik menjawab telepon itu, tidak ada lagi SMS dan telepon dari anak gendeng itu. Rupanya keder juga dia sama suara Mas Ayik yang sangar dan seram. 

Oalah....
Dasar cowok bispak!

Surabaya, 1 Mei 2014

Wassalam,
LN