Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 21 November 2014

New Zealand, Akhirnya Terwujud

Delapan mahasiswa itu berdiri tegak di sudut panggung. Tangan kiri mereka mengepal,  tangan kanan mengacungkan dayung. Di belakangnya adalah perahu karet besar berwarna biru. Di sebelah kiri mereka berdiri sebuah banner bertuliskan New Zealand Rafting Expedition 2014. Beberapa meter di belakang mereka, backdrop bertuliskan "Persembahan Himapala Unesa untuk Almamater dan Negeriku Tercinta, New Zealand Rafting Expedition 2014." Di depan panggung, belasan awak media cetak dan TV sedang mengambil gambar mereka.

Ya. Setelah diperjuangkan sejak lebih dari setahun yang lalu, mimpi itu, ekspedisi ke New Zealand, akhirnya terwujud. Ekspedisi rafting untuk mengakrabi tiga sungai sekaligus, Sungai Kaituna, Rangitaiki, dan Ngaruroro.

Ketiga sungai itu memang penuh dengan jeram yang curam dan sudah dikenal sebagai tempat untuk rafting yang menantang. Sungai Kaituna memiliki panjang sekitar 50 kilometer. Rangitaiki memiliki panjang 155 kilometer. Sedangkan Ngaruroro, terpanjang di antara ketiganya, yakni 164 kilometer.

Delapan orang itu, adalah Dimas Prasetyo Kurniawan, Anggar Sukmana Saputra, Dwi Zulaikah, Rizal Fanani Aziz, Fitria Indriani, Choirul Huda, Ulumuddin Fanani, dan Nafisa Ratna Sari. Tiga perempuan, lima laki-laki. Dua perempuan di antaranya adalah dari Program Studi Pendidikan Tata Busana. Ya, meski sehari-hari berurusan dengan fashion dan jahit-menjahit, nyali mereka besar juga untuk menjadi atlit rafting di lokasi yang bahkan belum pernah mereka kunjungi kecuali lewat dunia maya.

Tim delapan itu, tentu tidak terbentuk begitu saja. Ada proses panjang yang harus mereka lalui. Dari sebanyak 37 pendaftar, disaring sedemikian rupa, baik fisik maupun mental, tinggallah 10. Dari 10 orang, karena hanya diperlukan 8, maka gugurlah 2  di antaranya. 

Mereka juga harus masuk training center. Rutin fitness dan latihan dayung di Rolak dua kali seminggu. Bahkan pada hampir setiap akhir pekan, mereka turun ke Sungai Pekalen dan sungai lain untuk latihan. Mereka juga melakukan tryout di Dampit, Malang, juga ke Sungai Citandui, Jawa Barat. Sampai akhirnya, setelah fisik dan keterampialn mereka dinilai siap, mereka harus menjalani karantina di Roks (Rolak Outbound Kids) mulai tanggal 17 November sampai menjelang pemberangkatan nanti. Karantina itu dimaksudkan untuk lebih membangun kekompakan dan kebersamaan mereka. Lepas dari itu, sejak berbulan-bulan sebelumnya, korespondensi, perizinan, pengurusan passport dan visa, serta persiapan logistik, terus dilakukan.

Pada tanggal 27 November nanti, tim akan berangkat dari Surabaya menuju Auckland, New Zealand. Semua perjuangan yang telah dilakukan sejak setahun yang lalu, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang harus dihadapi, akhirnya terbayar sudah. Benar. Bukan perjuangan yang ringan untuk mendapatkan dana sekitar 180 juta, bernegosiasi dan beaudiensi kesana kemari untuk mencari dukungan, di antara waktu-waktu kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk, dan jadwal latihan yang padat. Mereka melalui semunya benar-benar dengan penuh perjuangan, dengan segala daya upaya, tetesan keringat, bahkan air mata, demi mewujudkan mimpi itu.

Siang itu, di Gedung Gema Kampus Ketintang, upacara pelepasan Tim New Zealand digelar. PR 3, Dr. Ketut Prasetyo, menyerangkan bendera Merah Putih sebagai simbol menitipkan nama baik negeri untuk mereka. Pembina Himapala, Luthfiyah Nurlaela, menyerahkan bendera Unesa, sebagai simbol menitipkan kejayaan Unesa. Dan Ketua Umum Himapala, Maratus Sholihah, Menyerahkan bendera Himapala, sebagai simbol menitipkan kehormatan Himapala untuk mereka. Semua yang hadir menyaksikan dengan penuh rasa haru dan bangga. Para orang tua, para senior Himapala, juga para awak media.

Ini bukan ekspedisi pertama untuk Himapala. Setidaknya sudah ada lima kali ekpedisi besar yang sudah dilakukan sejak puluhan tahun silam. Ekspedisi Cartenz, ekspedisi Lawe Alas, ekspedisi Tebing Bambapuang, ekspedisi Sulsel 3 divisi (panjat, caving, rafting), ekspedisi ladies team Selelo Sumatera, dan ekspedisi elit (5 tebing dalam satu bulan penuh). 

Ekspedisi New Zealand, sejatinya, adalah juga mimpi para senior Himapala. Dan saat ini, anak-anak muda itu, mewujudkan mimpi itu, dengan dukungan penuh para seniornya. Betapa indahnya sebuah silaturahim yang terus terjaga sebagaimana layaknya seorang adik-kakak.    

Ekspedisi semacam ini, tidaklah dimaksudkan untuk menaklukan alam. Alam sama sekali bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk diakrabi. Juga bukan sebagai simbol kekuatan, keperkasaan. Ini tentang perjuangan mengalahkan rasa takut, tentang ketegaran, sekaligus tentang kerendah hatian, kebersamaan, serta kemampuan untuk bertahan. Sebagai bagian dari peningkatan kesadaran akan betapa kecil dan tak berartinya manusia, di tengah alam yang maha luas dan tak terhingga nilainya. Sebagai wujud rasa syukur dari sosok-sosok makhluk yang begitu tak berarti di hadapan Sang Pencipta. Ini tentang menjaga reputasi, menjaga kejayaan sebuah organisasi, almamater, dan kejayaan negeri.

Tanggal 7 Desember nanti, Tim New Zealand akan kembali dari petualangan mereka. Mereka akan membawa banyak pengalaman. Mereka akan membawa oleh-oleh berupa dokumentasi foto dan video. Mereka akan membawa banyak cerita. Namun, sebagai bagian dari masyarakat akademis, mereka akan menuliskan cerita pengalaman petualangan itu dalam sebuah buku. Buku yang menceritakan seluruh perjuangan mereka, suka duka mereka, dan juga--mungkin--tentang pelajaran berharga bagi semua untuk lebih mencintai alam semesta. 

Buku itu, akan menjadi kado indah untuk Ulang Tahun Unesa yang ke-50. Selamat Ulang Tahun, Unesa. Semoga kejayaan semakin dekat dan senantiasa dalam genggaman.

Selamat jalan, selamat berjuang, kawan. Kami di sini menanti kalian, lengkap dengan doa penuh harapan untuk kesuksesan kalian. Jaga kesehatan, jaga keamanan, jaga kehormatan. 

Salam lestari.

Surabaya, 21 November 2014.

Wassalam,
LN

Senin, 10 November 2014

Melbourne 2: Hidup Tidak Selamanya Mudah

Kami menuju Stasiun Moreland yang tidak terlalu jauh dari Hotel Dolma. Ditemani Tiwik dan Adzra, namun keduanya tidak ikut jalan-jalan, hanya melepas kami di stasiun tersebut. Untuk pertama kalinya, kami menggunakan myki di stasiun ini. 

Tujuan kami adalah Camberwell Market. Sebuah pasar yang tidak buka setiap hari, dan berbagai barang 'branded' bekas dijual di sana. Mulai dari pernak-pernik merchandise, sepatu, tas, baju, topi, alat-alat rumah tangga, alat-alat musik, alat-alat tukang, alat-alat menjahit, sampai sepeda bekas. 

Sepanjang perjalanan ke Camberwell market adalah perjalanan yang hijau dan teduh. Di mana-mana padang rumput, taman-taman, bukit-bukit, hutan-hutan kecil yang pohon-pohonnya berbaris rapi, rumah dan gedung-gedung berwarna tanah, dan tidak ada sampah berserakan. Tepatlah kalau Australia dikatakan sebagai negera terbersih di dunia dan Victoria disebut city of green. 

Suhu yang dingin tetap kami rasakan di dalam train. Musim seharusnya sudah masuk ke summer, tapi sisa-sisa spring masih sangat terasa. Hari ini tidak hanya cuaca yang dingin, namun juga berangin dan sedikit gerimis. Melbourne benar-benar membuat kami mengalami shock weather. 

Kami turun di Parliament. Ganti naik train ke arah Belgrave, menuju pasar Camberwell.

Saya sebenarnya lelah sekali. Tapi sangat sayang membuang waktu hanya untuk duduk-duduk atau tertidur di lobi hotel. Maka, pada siang hari pertama di Melbourne ini,  kami habiskan dengan berjalan-jalan ke Camberwell Market. Berbelanja barang-barang bekas. Saya sendiri tidak terlalu tertarik dengan barang bekas. Pikiran terlanjur tidak terlalu bisa menerima barang bekas, terutama untuk kelompok baju dan aksesoris.  Beda dengan orang-orang Melbourne, me-'recycle' barang-barang mereka sudah menjadi budaya. Oleh sebab itu, di mana-mana ditemukan toko barang bekas. Penampilan orang-orang itu selalu up to date, fashionable, modern, meski tidak selalu mengenakan barang baru.

Saya hanya membeli sebuah CD rekaman kelompok musik yang judulnya The Scrimshaw Four Bazaar. Kelompok musik itu sedang bermain di tempat itu juga. CD itu, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Arga.  

Kami juga melakukan window shopping di kawasan Fliders Road, dan lanjut ke Queen Victoria Market (Vicmart). Di Vicmart ini, anak sulung Tiwik, Ganta, yang beberapa waktu yang lalu sudah diwisuda lulus high school, bekerja membantu buka-tutup toko, untuk sekedar mengisi waktu luangnya. Dia mendapatkan 50 dollar untuk empat jam waktu kerja per hari, dan bekerja selama lima hari seminggu. Pendapatan yang sangat lumayan. Lebih dari sepuluh juta per bulan. Hm....

Sore ini kami benar-benar lelah. Juga kelaparan. Sepotong dua potong fried chicken dan french fries, yang kami dapatkan di ujung Swanston street, membantu mengusir lapar dan dingin. Masih harus naik satu kali tram lagi sebelum sampai ke hotel kami.

Nanti malam, kami harus briefing, untuk mempersiapkan presentasi pada esok harinya, di Victorian Institute of Teaching (VIT) dan di University of Melbourne. Tiwik akan datang ke hotel untuk membantu persiapan kami. Tempo hari saya katakan pada Tiwik: "berkali-kali aku bersyukur pada Tuhan, Wik, betapa beruntungnya aku punya kamu. Huwaaa...." 

Karena kami akan berkunjung ke tiga institusi, kami berbagi tugas. Kesempatan pertama, di VIT, saya yang akan presentasi. Pak Sulaeman kebagian giliran kedua, di University of Melbourne. Dan lusa, di Victorian University (VU), Pak Yoyok yang akan presentasi. 

Kami tiba kembali ke Hotel Dolma saat matahari bersiap untuk tenggelam. Tubuh kami sangat lelah. Tujuh pack nasi padang yang kami beli dari penjual yang berasal dari Vietnam, ya dari Vietnam--bukan dari Padang--kami bawa pulang, untuk makan malam nanti. 

Menyapa Melbourne yang baru sepintas ini memberikan kesan mendalam bagi saya. Hidup di tempat ini seolah begitu nyaman. Lihat di mana-mana. Kota yang bersih. Taman di mana-mana. Hiburan dan kemudahan di mana-mana. Transportasi yang sangat rapi dan serba otomatis. Jalanan tanpa macet. Orang-orang yang mondar-mandir dengan penampilan  dan wajah-wajah yang bersemangat. Semua serba modern, fashionable, dan mewah.

Tapi coba sedikit menengok ke Pasar Camberwel. Seorang tua berjualan sepeda dan barang-barang "rongsokan". Sweater yang dikenakannya koyak dan terburai di beberapa bagian. Sepatunya adalah sepatu butut. Juga sepasang suami istri yang berjualan pernak-pernik, dan menawar-nawarkannya dengan wajah memelas. "Everything is two dollars, everything is two dollar..... All must go, all must go....". 

Secara berseloroh, Pak Yoyok berkomentar. "Lihat mereka. Ternyata para turis yang sering kita lihat di Indonesia, seperti ini kerja mereka di sini. Isih keren awak dewe. Haha....."

Memang tidak semua orang yang berjualan barang bekas di tempat itu berpenampilan memelas. Banyak orang dewasa dan anak muda yang nampaknya berjualan hanya sekedar mengisi waktu luang atau melampiaskan hobi. Mereka cantik-cantik dan keren, bahkan ada yang wajahnya secantik Sandra Bullock.

Beberapa tuna wisma, meski tidak banyak, juga saya temukan di beberapa tempat, di stasiun dan emperan pertokoan di Flinders street dan Bourke street. Salah seorang dari mereka bahkan memasang tulisan: "Hello, my name is Sarah. I am homeless and if any one could help with food, coffee and any spare clothes...", dan seterusny. Ada juga yang menengadahkan topinya dengan tatapan kosong. Musisi jalanan, mirip di kawasan Malioboro, menyanyi dan memainkan berbagai instrumen, mungkin dengan tujuan benar-benar mencari uang atau sekadar menyalurkan hobi, baik sendiri maupun berkelompok, dan mengharap koin dari para pengguna jalan.

Ya, bahkan di Melbourne pun, hidup tidak selamanya mudah.


Melbourne, 2 November 2014

Wassalam,
LN

Melbourne 1: Princess Pinus untuk si Princess

Pukul 07.30 waktu Melbourne. Garuda Indonesia mendarat mulus di landasan Tullamarine Airport. Udara dingin terasa menggingit kulit begitu kami keluar dari badan pesawat jumbo itu. 

Kami bertujuh. Saya, Pak Sulaiman, Bu Kisyani, Pak Yoyok, Pak Heru, Bu Lucia, dan Mbak Silfia. Kami semua tim PPPG (Program Pengembangan Profesi Guru) Unesa, kecuali Bu Kisyani yang baru saja mengakhiri masa jabatan sebagai PR 1 Unesa. Juga Mbak Silfia, staf Kantor Urusan Internasional Unesa. 

Kedatangan kami ke Melbourne adalah untuk melakukan benchmarking ke tiga institusi, yaitu Victorian Institute of Teaching (VIT), University of Melbourne, dan Victoria University (VU). Kawasan benchmarking kami seputar sistem sertifikasi guru dan pendidikan guru. Korespondensi dengan ketiga institusi itu sudah kami lakukan sejak tiga empat bulan yang lalu, untuk menyampaikan tujuan kami dan menentukan  hari di mana kami bisa berkunjung. Bahan presentasi sudah kami persiapkan juga, termasuk mempelajari berbagai hal tentang profil ketiga institusi.  

Kami semua tidur hanya sebentar semalam. Perbedaan waktu antara Indonesia dan Australia yang selisih empat jam, membuat tidur kami tidak sempat lelap. Tiba-tiba saja setelah sekitar dua jam terbang, pramugari membangunkan kami dan membagikan breakfast. Oh God. Ini seperti makan sahur saja. Tapi saat kami mengintip keluar jendela, ternyata hari sudah mulai terang. Meski masih ada sekitar dua setengah jam lagi waktu yang tersedia sebelum mendarat, kebanyakan kami sudah tidak bisa melanjutkan tidur yang tertunda setelah menghabiskan breakfast yang terlalu cepat itu.

Kami berjalan memasuki gedung terminal, mengikuti petunjuk arah. Mengisi custom form, menuju counter imigrasi yang antriannya mengular. Lanjut mengambil bagasi, berjalan ke arah yang ditunjukkan petugas. Berdiri lurus di line 4. Semua bagasi, termasuk tas tenteng, diminta meletakkan di lantai, di depan kami berdiri. Anjing pelacak mengendus-endus tas-tas kami. Semua aman kecuali ransel Pak Yoyok. Dia membawa roti daging, dan meskipun sudah dia 'declare', tetap saja dia harus berurusan dengan petugas, dan rotinya disita. Hiks.... 

Kami berjalan keluar, menunggu penjemput. Berdiri di meeting point sembari menahan dingin. Mbak Silfia menelepon Bu Pratiwi, teman kami yang sedang menempuh program Ph.D dalam bidang cultural studies di University of Melbourne. Bu Pratiwilah yang membantu menyiapkan semua keperluan kami selama di Melbourne, akomodasi, transportasi, dan juga konsumsi. Bu Pratiwi juga yang membantu mengoreksi bahan presentasi kami untuk ketiga institusi yang akan kami kunjungi nanti. Kami menyiapkan power point, dan power point itu saya narasikan, supaya bisa lebih membantu memperlancar presentasi kami. Maklum, dengan keterbatasan keterampilan bahasa Inggris kami, apa pun harus kami lakukan, supaya tidak terlalu mengecewakan ketika presentasi dan diskusi nantinya.  

Bu Pratiwi. Sebenarnya dia bukan orang lain bagi saya. Tiwik, begitu saya menyebutnya, adalah teman seperjuangan. Satu angkatan di Himapala IKIP Surabaya (Unesa sekarang), sama-sama aktif di senat fakultas, sama-sama penyuka kegiatan tulis-menulis, teman satu kost ketika kuliah di S2 di Yogyakarta, dan sama-sama menjadi dosen di Unesa.

Kami dijemput oleh Bang Luhut, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Melbourne. Menurut Mbak Silfia, kebanyakan mahasiswa Indonesia berkuliah sambil bekerja. Juga para pelajar SMA. Mengisi waktu dengan bekerja part-timer, gajinya cukup menjanjikan. Satu jam rata-rata tidak kurang dari 8 dollar. Mereka bekerja apa saja, mencuci piring di rumah makan, membuka dan menutup lapak di pasar atau toko, menjadi driver, dan sebagainya.

Setelah berkendara selama sekitar dua puluh menit dari Tullamarine Airport, kami tiba di penginapan Dolma, di kawasan North Coburg. Sebuah penginapan sederhana, tapi cukup nyaman. Kami membayar 'hanya' 1.750 dollar untuk tiga kamar, selama lima hari, dengan tambahan satu microwave dan satu toaster. Namun kami datang terlalu pagi, oleh sebab itu kami belum bisa check in. Petugas meminta kami memasukkan koper-koper kami ke ruang di sisi ruang resepsionis.  

Udara pagi yang dingin, sekitar 13 derajat Celcius membuat tubuh kami lumayan menggigil. Bu Lucia sampai membungkus tangannya dengan kaus tangan. Jaket kulitnya menutup rapat-rapat tubuhnya. Kami semua menutup tubuh kami dengan jaket. Untungnya, kami semua membawa jaket. Beberapa hari sebelum keberangkatan kami, Tiwik sudah mengingatkan kami untuk membawa baju hangat, payung dan topi.  

Tak berapa lama, Tiwik datang dengan Adzra, anak bungsunya yang masih kelas 1 SD. Kami menyambutnya dengan suka cita. Saya memeluk tubuh mungil Tiwik dengan sepenuh hati. Kerinduan pada seorang sahabat. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan menemui Tiwik di sini. Selama ini kami hanya berkomunikasi via BBM dan mendengar ceritanya dari mailing list keluarga Unesa. Apa yang dia ceritakan semuanya berkesan, semua ceritanya, cerita sedih maupun menyenangkan. Tiwik mengalami banyak hal selama menempuh studinya, banyak hal, yang menguras energi lahir dan batin, dan dia bisa melaluinya dengan baik. Tiwik, dengan tubuh mungilnya itu,  adalah pejuang yang sangat tangguh dan tak kenal menyerah. 

Tiwik membawakan kami nasi kotak plus sebotol air mineral. Wow, benar-benar saat yang tepat. Meski di pesawat tadi kami sudah sarapan dengan menu nasi goreng dan ayam berbumbu, udara dingin membuat perut kami sudah lapar lagi. Menu nasi putih, tahu isi, nugget, dan balado terong, begitu pas dengan suasana pagi ini. 

Adzra, gadis kecil Tiwik, begitu  ceriwis. Kemarin dia berultah. Dia bercerita tentang ultahnya, sekolahnya, apa saja, dengan bahasa Inggrisnya yang sangat lancar. Tentu saja. Anak itu telah bersekolah di Melbourne selama sekitar dua tahun. Untuk anak seusia dia, belajar bahasa sangatlah cepat, apa lagi dalam lingkungan belajar yang sangat mendukung, baik di rumah, di sekolah maupun di lingkungan teman sebayanya. Maka dia berbicara dalam bahasa Inggris dengan begitu natural, dengan body languange yang sungguh menggemaskan. 

Saya memberinya oleh-oleh  tas ransel biru dan sebuah buku bacaan. Sebenarnya saya tidak tahu kalau dia sedang berultah. Tapi tas biru dan buku itu membuat matanya berbinar-binar.

"It's gift for you. For your birthday." Kata saya. 
"Oh, really?" Dia seperti tidak percaya. 
"Yes, sure."

Adzra melompat-lompat sambil melambai-lambaikan tas biru dan bukunya. 

Bu Kisyani bertanya. "Adzra, what is the meaning of Adzra?"
"Princess."
"Princess?" Saya menyahut. "You got the book of Princess Pinus."

Ini benar-benar kebetulan yang menyenangkan. Adzra, si princess itu, sedang berulang tahun, dan dia mendapatkan buku berjudul Princess Pinus sebagai hadiah ultahnya. Tentu ini bukan buku yang ditulis dalam bahasa Inggris. Buku tentang kisah inspiratif regu penggalang SMP IT Auliya,  yang dihimpun oleh sahabat baik kami, Mas Basir Aidi, dan kebetulan saya diminta untuk memberikan endorsement dalam buku itu, saya harapkan bisa membantu Adzra untuk tidak melupakan bahasa ibunya, bahasa Indonesia.

Saya membongkar koper. Mengeluarkan kering tempe dan sambal pecel pesanan Tiwik. Juga buku-buku titipan Mas Khoiri, teman dosen dan juga sahabat kami, juga buku-buku dari saya sendiri. Salah satunya adalah buku 'Cermin', kumpulan tulisan saya dan Dik Utik, adik saya, buku yang menandai ulang tahun kami pada Oktober yang lalu.

Setelah selesai makan, kami bersiap untuk jalan-jalan, sekadar menunggu waktu. Tiwik membagikan 'myki visitor", sebuah kartu pass untuk memanfaatkan transportasi umum, yaitu train, tram dan bus. Kami akan memerlukannya selama sekitar seminggu kami di sini. Sejumlah 42 dollar per orang kami membelinya, dengan-- tentu saja-- dibantu Tiwik. 

Baik, mari kita mulai menyapa Melbourne yang dingin meski matahari bersinar cerah.

North Coburg, Melbourne, 2 November 2014


Wassalam,
LN

Jumat, 17 Oktober 2014

Buku Ultah: Cermin

Sebuah buku berjudul 'Menulis itu Membebaskan', karya Peter Elbow, dalam kata pengantarnya, Radhar Panca Dahana memastikan bahwa menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis saat ini adalah sebuah kerja 'alamiah', sebagaimana kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Menulis adalah suatu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Oleh sebab itu, setiap manusia harus bisa menulis, dan bahkan penjadi penulis.

Bagi kami berdua, menulis merupakan salah satu cara kami untuk berbagi dan bersyukur. Ide yang sederhana, pengalaman sehari-hari, selalu mengandung hikmah, selalu mengandung nikmat,  sepanjang kita mau mengambil hikmah dan pandai mensyukuri nikmat. Hikmah dan rasa bersyukur itulah yang ingin kami bagikan melalui buku sederhana ini. 

Menulis juga melatih kita untuk berpikir. Seseorang tidak bisa menulis tanpa berpikir. Semakin sering menulis, pikiran akan semakin tajam, seperti pisau yang selalu diasah. Pikiran yang tidak pernah dirangsang, lama-lama akan tumpul, seperti layaknya pisau yang tidak pernah diasah. 

Menulis juga menata nalar. Berbeda dengan saat kita berbicara, yang secara spontan kita bisa mengungkapkan apa yang ingin kita sampaikan, seringkali tidak membutuhkan waktu lama; menulis perlu mencari atau mengolah ide, menyusun kata demi kata, perlu pengendapan, perlu wawasan. Dengan demikian, menulis itu mencerdaskan.

Menulis juga membebaskan. Dengan menulis, kita bisa mengungkapkan segala rasa dan pikiran kita. Rasa dan pikiran yang paling jujur, apa adanya, termasuk luapan kekaguman, kebahagiaan, kesedihan, kecintaan, kejengkelan, ketulusan, rasa syukur, ide-ide, dan ungkapan rasa serta pikiran yang lain.      
Kami persembahkan buku ini ke hadapan bapak dan ibu kami tercinta, suami kami, anak-anak kami, saudara-saudara kami, dan semua sahabat kami. Buku sederhana, sekedar untuk menandai hari kelahiran kami. Sekedar sebagai wujud rasa syukur kami pada Allah SWT yang telah memberikan usia yang insyaallah barakah,  rezeki yang halal, ilmu yang bermanfaat, suami dan anak-anak yang membahagiakan, saudara dan para sahabat yang mencerahkan dan menentramkan, dan segala nikmat yang lain.

Allah SWT telah memberi kemampuan pada kami, sedikit kemampuan menulis, namun kami tidak ingin menyia-nyiakannya. Dengan menulis, kami ingin mengabadikan pengalaman dan pikiran-pikiran kami, agar bisa menjadi 'legacy', menjadi warisan bagi anak cucu. Pengalaman dan ide serta pikiran-pikiran akan cepat menguap bila tidak ditulis dan tidak diabadikan. 

Alhamdulilah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena hanya atas kemurahan dan izin-Nya, buku sederhana ini bisa kami selesaikan. Terimakasih juga kepada ibu tercinta, Ibu Hajjah Basjiroh Zawawi, yang telah melahirkan dan membimbing kami dengan penuh kasih sayang tanpa batas. Ibu, dengan segala kerendahan hati, dengan sepenuh cinta, kami persembahkan buku ini untuk Ibu. Semoga Ibu senantiasa dalam lindungan Allah, diberikan usia panjang yang barakah, sehat lahir dan batin, dan diberikan kebahagiaan fiddunya wal akhirat.

Terimakasih untuk almarhum Bapak Zawawi Chusain, yang meski sudah tiada, bimbingan dan nasehatnya masih sangat kami rasakan, dan insyaallah akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya bagi Bapak. Amin Ya Rabbal Alamin.

Terimakasih untuk Mas Ib sekeluarga, Mas Zen sekeluarga, Mas Ipung sekeluarga, Dik Hisyam sekeluarga. Terimakasih untuk Mas Ayik dan Arga, untuk Mas Antok, Ima, Haris dan Aliya. Apa pun yang terjadi, apa pun yang akan dan telah kita alami, Allah SWT telah menghadirkan kalian semua dalam kehidupan kami, dan membuat kebahagiaan kami begitu lengkap. Semoga kebahagiaan dan rasa syukur ini menjadi pemersatu kita semua selamanya.

Terimakasih juga pada sahabat baik kami, Mas Abdur Rohman, yang telah membantu memilih tulisan-tulisan dari laman www.luthfiyah.com, me-layout naskah buku dan merancang cover, bahkan mengurus ISBN serta memastikan proses pencetakan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Mas Rohman dengan kebaikan yang berlipat. Amin.

Terimakasih pada para sahabat, sanak saudara dan handai taulan, yang selalu memberikan dukungan dalam pertemanan, persahabatan, dan persaudaraan yang indah lagi mencerahkan.

Semoga buku ini bermanfaat.

Oktober, 2014
Luthfiyah Nurlaela
Mariyatul Qibtiyah

Doa Ultahku

Ya Allah, syukurku kepada-Mu, kau izinkan aku menghuni dunia-Mu sampai saat ini, menghirup segar udara-Mu, dengan sepenuh kasih sayang dan cinta, dari-Mu Yang Maha Rahman dan Rahim
Izinkan aku lebih lama memiliki waktu, agar dapat kuisi setiap detiknya untuk bersyukur atas nikmat dan karunia-Mu, dan menularkan rasa syukur itu pada setiap orang di sekitarku

Ya Allah, Kau berkahi aku dengan sedikit ilmu, setitik kepandaian, senoktah kecakapan, izinkanlah aku untuk memanfaatkannya sebaik mungkin, memberikan kebaikan bagi keluarga dan sesama
Kau hadiahi aku dengan sepotong hati, penuhilah hati ini dengan kesabaran, keikhlasan, ketabahan, cinta kasih, ketangguhan, dan biarkan dia menebarkannya kepada siapa pun, di tempat mana pun

Ya Allah ya Tuhanku, masih banyak tugasku, berikan aku kesempatan untuk menunaikannya. Membimbing keluargaku, mendewasakan anak-anak didikku, menebarkan ilmu-Mu, dan mengajarkan kebaikan-kebaikan-Mu. Limpahkan selalu hidayah dan petunjuk-Mu, agar kami semua mampu meraih cita-cita dan mimpi-mimpi kami, serta membangkitkan cita-cita dan mimpi-mimpi setiap anak negeri

Ya Allah, meski telah Kau limpahi aku dengan segala nikmat dan karunia, tetap izinkan aku untuk memohon dan meminta: berikan aku dan keluargaku, orang tua dan saudara-saudaraku, sahabat dan kerabatku, semua anak didikku, dengan ilmu yang bermanfaat, rezeki yang barakah, dan usia yang panjang, serta keselamatan di dunia dan akhirat

Ya Allah Yang Maha Memberi Pertolongan, hanya kepada-Mu aku memohon lindungan dan naungan. Lindungi dan naungilah setiap langkahku,  mudahkan dan lancarkan semua urusanku, demi meraih ridho-Mu

Ya Allah Yang Maha Memberi Ampunan, ampunilah semua dosa dan kesalahanku, dosa dan kesalahan orang tuaku, keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat.

Ya Allah Yang Maha Kasih, terima kasih telah Kau berkahi aku orang-orang yang penuh kasih, yang selalu mendukungku dengan cinta, maka senantiasa limpahkan cinta dan kasih-Mu.

Amin Ya Mujibassailin.


Surabaya, 18 Oktober 2014

NB: Terimakasih, teman-teman, atas semua ucapan dan doa. Semoga Allah mengabulkan semua doa indah tersebut untuk kita semua. Amin.

Wassalam,

LN

Jumat, 10 Oktober 2014

Silaturahim SM-3T

Ruang Birawa Hotel Bidakara. Sekitar 1500 orang memenuhi kursi-kursi. Mendikbud, para pejabat eselon satu dan dua, para rektor LPTK, dan peserta PPG SM-3T, PPGT, PPG Kolaboratif, dan peserta SM-3T, perwakilan dari seluruh Indonesia.
  
Dalam sambutannya, Mendikbud mengemukakan, penyakit sosial ada tiga, yaitu: kemiskinan, ketidaktahuan, keterbelakangan peradaban.
Lingkaran penyakit sosial tersebut harus dipotong, dan pisau pendidikanlah yang paling tajam untuk memotongnya. Tidak hanya sekedar teori, praktek telah membuktikan, bahwa ketiga hal tersebut bisa diatasi dengan pendidikan. Para peserta SM-3T adalah pisau-pisau yang memotong tiga penyakit sosial itu.

Pendidikan sebagai penggerak dalam pembangunan. Hasilnya belum bisa dilihat hasilnya secara signifikan dalam lima-enam tahun. Namun pada lima belas sampai dua puluh lima tahun ke depan, karena disentuh oleh tangan-tangan halus, pikiran-pikiran cerdas para peserta SM-3T, maka keadaan akan berubah. Perubahan itu karena tangan-tangan peserta SM-3T. Mereka tidak hanya menyentuh dengan sentuhan-sentuhan fisik, namun lebih dari itu, dengan sentuhan-sentuhan nilai kemanusiaan. Bagaimana mungkin seorang guru dan para siswanya bisa menangis bersama, kalau bukan karena sentuhan kasih sayang. Para guru SM-3T itu bergerak dan berjuang bukan karena didasari adat-istiadat dan agama, namun karena sejatinya, kita semua adalah bersaudara.

Tidak ada satu ungkapan yang bisa kita ucapkan untuk para guru SM-3T, kecuali keharuan dan tetesan air mata. Mereka tidak perlu diberi penghargaan, tapi perjuangan mereka sudah dicatat oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Merekalah para pejuang itu. Ada merah putih di dadanya.

Terkait dengan menjelang akhir masa baktinya di Kemdikbud, yaitu pada tanggal 20 Oktober nanti, Mendikbud merekomendasikan supaya program yang memiliki rasionalitas dan manfaat yang bisa dirasakan langsung, harus terus dilanjutkan.

Kata Mendikbud: "Plis deh...jangan dilupakan SM-3T. Ini bukan program politik, bukan utk mencari popularitas."

SM-3T adalah solusi temporer untuk mengatasi berbagai masalah pendidikan di daerah 3T. Sebelum solusi permanen bisa didapatkan, solusi temporer pun harus dilakukan.

Untuk pengangkatan guru tahun 2014, Mendikbud juga menjelaskan, ada jatah khusus untuk alumni SM-3T. Rekrutmen dibuat skenario sendiri. Dengan kecintaannya, para guru SM-3T itu akan kembali ke tempat-tempat di mana mereka mengabdi itu. Selain itu, juga ada pemberian beasiswa bagi alumni SM-3T untuk memasuki program Magister dan Doktor.

Mendikbud juga berpesan, tidak semua orang punya kesempatan untuk mengikuti SM-3T. Maka setiap peserta SM-3T sebaiknya menulis semua pengalaman mereka selama di tempat tugas. Tambah Mendikbud, alangkah indahnya bila peserta SM-3T bertemu dengan peserta SM-3T. Bersatu menorehkan sejarah dalam pembangunan pendidikan di daerah 3T.  Memberikan sentuhan pada mereka yang lemah.

Pesan Mendikbud juga, sebagai pejuang, guru SM-3T jangan sekali-sekali mengeluh. Setiap persoalan, harus dihadapi. Setiap persoalan itu, selalu ada jawaban. Bila tidak menemukan jawaban, tidak ada jawaban atas persoalan itu sendiri, juga merupakan bagian dari jawaban.

Jakarta 17 September 2014

Wassalam,
LN

Dirimu

Oleh: Luthfiyah Nurlaela

Diriku masih berdiri mematung. Menatap nanar pusara itu. Seperti tak percaya diri ini. Benarkah itu dirimu, yang berbaring di bawah taburan kembang merah berseling hijau, yang harumnya semerbak mewangi? Berbaur dengan wewangian yang menebar dari bunga-bunga kamboja? Aroma wangi yang lain, entah wangi apa, wangi sekali, itukah wewangian dari surga yang dibawa malaikat yang menjemputmu untuk diantarkan ke haribaan-Nya?

Semalam, diriku dan dirimu masih berbincang, meski hanya lewat SMS.
"Liburan telah usai.....kerja....kerja...kerja...." Katamu.
Lantas kubalas: "Jadi hari ini dirimu sudah di kantor? Selamat bekerja ya."

Diriku juga bertanya, apakah besok pagi, dirimu akan hadir di acara halal bi halal. Dirimu bilang ya, namun paginya, dirimu akan menghadiri pernikahan seorang teman dulu, baru meluncur ke acara halal bi halal di kampus.

Diriku juga mengingatkan acara halal bi halal besoknya lagi, di rumahsenior kita, yang dirimu diminta untuk menjadi seksi dokumentasi.
"Nah, ya itu yang aku masih ada ganjalan," katamu.
"Kenapa?"
"Minggu itu, aku harus ke Jember, ngantar adiknya Dik Yuni."
"Walah, ya deh."
"Aku tidak punya hari libur lagi selain hari itu."
"Ya deh."
"Kok ya deh, ya deh. Coba kalau dirimu di posisiku."
"Ya deh, paham."

Karena malam sudah larut, diriku pamit berangkat tidur. Namun tiba-tiba, SMS-mu masuk lagi. "Nemu foto..." Tulismu. Sebuah gambar, diriku dan Arga kecil di gendonganku, membuatku keheranan.

"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Tanyaku.
"Lha dirimu gimana lho, naruh foto sembarangan. Untung yang nemu wartawan baik-baik. Kalau yang nemu wartawan yang suka bikin sensasi, gimana?"
Aku tak mempedulikan pertanyaanmu. Kalau yang menemukan foto itu wartawan yang suka bikin sensasi pun, tidak masalah. Tidak ada yang aneh dalam foto itu. Adakah yang aneh dari foto seorang ibu yang menggendong anaknya?

"Dari mana dirimu dapat foto itu?" Aku mengulang pertanyaan. Itu foto zaman baheula, puluhan tahun silam. Tidak tersimpan dalam bentuk file. Kok bisa-bisanya dirimu memperolehnya. Diriku punya file-nya saja tidak.

Tapi dirimu tidak menjawab pertanyaanku.
"Jawab dong." Pintaku. "Kalau dirimu tidak menjawab, tak siwak."
"Wakakak....ancaman lama muncul lagi."
"Hayo, jawab. Siwak lho."
"Wakakakak...see you tomorrow?"

See you tomorrow. Itu kata-kata terakhirmu malam itu. Tapi, seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak terlalu berharap dirimu muncul pada siang itu, saat acara halal bi halal digelar. Dirimu sering mblenjani janji. Meski ingkar janjimu selalu karena sesuatu hal yang memang tidak terduga, termasuk karena dirimu bangun kesiangan. Seingatku, beberapa kali dirimu meminta maaf karena tidak bisa hadir di suatu acara, atau tidak bisa tepat waktu untuk suatu pertemuan, hanya karena terlambat bangun. Alamak....dasar wartawan.

Sore ini, baru kusadari, 'see you tomorrow', adalah kata-katamu yang benar-benar terakhir. Tidak akan ada kata-kata lain lagi setelah itu. Benar-benar kata-kata terakhir. 

***

Hatiku kosong memandangi namamu yang tertulis di pusara. Senja yang jatuh, meski dihiasi matahari jingga yang tersangkut di pepohonan, begitu sendu. Para pelayat mengerubungi kuburmu yang tanahnya masih basah, membacakan tahlil dan doa-doa. Suaranya seperti menggema menuju langit. Di sana, aku bayangkan, ribuan bidadari telah siap menyambut arwahmu. Mereka semua tersenyum, aromanya semerbak mewangi, dan wajahnya berseri-seri.

Meski di sini, semua orang menunduk layu. Yuni, istri tercintamu, menyandarkan kepalanya pada anak lelakimu. Lunglai. Dua anakmu yang lain ada di sisi kanan kirinya, terisak pilu. Betapa teriris hati ini menyaksikan semua itu.

Adzan maghrib berkumandang, mengiringi langkah para pelayat menjauh dari kuburmu. Istri dan ketiga anakmu melangkah dengan berat, juga menjauh dari kuburmu. Mata mereka sembab. Wajah mereka kehilangan sinarnya. Namun bibir mereka tetap mencoba tersenyum saat menyampaikan ucapan terima kasih pada para pelayat, serta memintakan maaf untuk dirimu. Senyum yang pahit. Teramat pahit.

Yuni, siang tadi, meneleponku saat aku dan Mas Ayik, suamiku, serta teman-teman kita semua, sedang berada di sekretariat Himapala. Aku baru saja selesai memberikan kata sambutan untuk acara halal bi halal itu.

"Mbak, apa Mas Rukin di situ?" Tanya Yuni.
"Tidak, Yun, belum datang"
"Aku  kira Mas Rukin di situ, Mbak. Dia pergi dari pagi."
"Aku dari jam sembilan-an ada di sini, Yun, Mas Rukin belum datang sampai sekarang."
"Mbak, aku dengar dia kecelakaan...."
"Hah, kecelakaan gimana? Kamu dengar dari siapa?"
"Dari Radar, Mbak... Tapi hapenya aku telepon nggak nyambung-nyambung...."
"Yun, coba hubungi terus, aku juga akan coba hubungi. Semoga Mas Rukin baik-baik saja."

Lantas aku mencoba meneleponmu. Tersambung. Tapi bukan dirimu yang mengangkat. Suara seorang perempuan, menjelaskan semuanya dengan terbata-bata. Dirimu mengalami kecelakaan, dan meninggal.  Jasadmu ada di RS Siti Khatijah.

Oh Tuhan. Tubuhku terasa berguncang hebat. Dadaku berdegup keras. Bibirku bergetar. Tangisku pun pecah. Dengan hati hancur aku menghambur ke arah Mas Ayik, berbisik di telinganya.

"Mas..... Mas Rukin kecelakaan, dan meninggal...."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun."
"Sekarang jenazahnya di RS Siti Khatijah, Mas...."
"Ayo kita langsung ke sana."

Sebelum bangkit dari duduknya, Mas Ayik berbisik di telinga Mas Joko, senior kita.
"Rukin kecelakaan, Mas... Meninggal."
"Apa? Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Wajah Mas Joko langsung merah padam, matanya berkaca-kaca.

Kami pun pamit dari acara yang sedang ramai-ramainya itu. Tak mempedulikan pertanyaan teman-teman kenapa kami pamit lebih dulu, dengan wajah yang diliputi kepanikan sekaligus kesedihan. Biarlah Mas Joko yang menjelaskan kabar itu pada mereka. Aku sudah tidak sanggup berkata-kata. Aku hanya ingin segera sampai di tempat di mana dirimu berada.

Begitu sampai di depan ruang jenazah RS Siti Khadijah, Mbak Yani, rekan kerjamu, yang menerima teleponku tadi, menyambut kami. Mas Arif, rekan sekantormu juga, bertanya, apakah aku dan Mas Ayik ingin melihat jenazahmu. Kami berdua mengangguk. Tapi Mas Ayik melarangku.
"Biar aku dulu yang lihat, Sayang. Kamu nanti saja..."

Mas Ayik tahu aku tidak akan tegar melihatmu sudah tiada. Mas Ayik tahu aku tak akan kuat melihatmu dengan tubuh penuh luka. Maka aku pun menurut. Terpekur di sudut. Menghayati kedukaanku. Membiarkan air mata mengaburkan pandanganku.

Tak berapa lama, adzan dhuhur berkumandang. Kami, aku dan belasan teman Himapala yang sudah mulai berdatangan, menunaikan salat di mushala. Air mataku tumpah di atas sajadah. Tak kuasa aku menahan kesedihan ini. Kutanyakan pada Tuhan, mengapa harus dirimu? Yang begitu setia dan berarti dalam menemaniku dan kawan-kawan seperjuangan?

****

Tak akan pernah kulupa betapa berartinya jejak-jejak yang telah dirimu ukir di setiap perjuangan kita. Pedalaman Sumba Timur telah dirimu jelajahi, bahkan melebihi dari yang pernah kami semua singgahi. Waingapu, Katala Hamulingu, Tabundung, Pinupahar, lanjut ke Ramuk, tempat guru perempuan muda yang tinggal sendirian di tengah hutan itu. Juga SD Umandudu, sekolah yang dikelilingi bukit dan lembah menakjubkan. Sebagian rute Tawui-Okatana bahkan dirimu tempuh dengan berjalan kaki. Menembus hutan belantara, menaiki dan menuruni bukit, melanggar sungai-sungai. Tak ada keluhan sedikit pun dari mulutmu. Wajah basahmu yang penuh keringat tetap tersenyum. Sekali-sekalinya dirimu mengeluh hanya ketika, tanpa dirimu sadari, kertas-kertas catatan perjalanan yang dirimu simpan di kantung celana, basah terendam air saat dirimu melanggar sungai yang arusnya sangat deras. Dengan rapi dirimu menjemur kertas-kertas itu, di teras SD Okatana, sambil menunggu singkong rebus yang disiapkan para guru muda itu.

Beberapa hari setelahnya, tulisan hasil liputanmu muncul di koran nasional. Tidak tanggung-tanggung. Tiga hari berturut-turut. Tulisan yang mengabarkan betapa mengenaskan kondisi pendidikan di daerah Sumba Timur. Betapa miskin masyarakatnya. Betapa memprihatinkan etos kerja kepala sekolah dan guru-guru asli putra daerah. Namun betapa menakjubkan alamnya yang masih murni. Padang savana, kuda-kuda Sumba, dan pantai-pantai yang permai. Juga, betapa mengagumkan semangat belajar anak-anak negeri. Meski harus menembus hutan belantara, naik-turun bukit, menempuh jarak berkilo-kilo meter, mereka datang ke sekolah, dengan kaki telanjang yang penuh luka karena tergores bebatuan dan duri-duri yang tajam.

"Ibu Guru, Saya Ingin Membaca," adalah buku pertama hasil kompilasimu atas tulisan ratusan guru pengabdi di Sumba Timur. Buku yang mengabarkan tentang betapa memprihatinkan kondisi pendidikan, sarana-prasarana, etos kerja guru dan kepala sekolah, daya dukung orang tua dan masyarakat. Juga betapa besar arti perjuangan para guru muda itu untuk membangunkan cita-cita dan mimpi-mimpi anak bangsa. Mereka tak kenal lelah berbagi, menyapa anak-anak di titik-titik terjauh. Benar-benar pengabdian yang tak kenal batas wilayah. Mereka tidak hanya mengajar membaca dan menulis. Mereka datang sebagai guru-guru berjubah kasih-sayang.

Dirimu bekerja keras untuk mewujudkan buku itu, juga buku-buku tentang Sumba Timur lainnya. Bahkan dirimu merasa harus kembali ke Sumba Timur untuk melengkapi data agar tulisan itu lebih sempurna. Dirimu pergi berlayar ke Pulau Nusa, berbaur dengan masyarakat setempat dan para guru pengabdi. Menyelami kehidupan mereka, mendengarkan cerita dan keluh-kesah, menyemangati. Dua buku yang lain, yang terasa sekali betapa dirimu mengemasnya dengan sepenuh jiwa, adalah 'Jangan Tinggalkan Kami', dan 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita'.

Masih ingat jugakah dirimu, saat kita bertiga berlayar dari Saumlaki menuju Pulau Babar? Kita terayun-ayun di atas Laut Banda selama sembilan jam. Ketika tiba di Pelabuhan Tepa, malam telah merangkak, dan kita begitu lelah. Namun sambutan Bapak Pendeta dan orang-orang di sana begitu ramah. Sepiring ubi rebus, lengkap dengan sayur bunga pepaya dan ikan laut, dibalut dengan keramahan dan kehangatan mereka, mengusir rasa lelah seketika.

Diriku, dirimu dan Mas Heru, adalah tiga orang yang terdampar di pulau yang begitu asing. Menyapa setiap jengkalnya dengan ketulusan berbalut kenekadan. Ya. Apa yang membawa kita sampai di pulau kecil di bagian Maluku Barat Daya itu, kecuali dorongan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi pendidikan dan masyarakatnya, serta sekedar berbagi sapa dan senyuman?

Selama tiga hari itu, kita menyusuri Pulau Babar, mulai dari Tepa, Nakarhamto, Letwurung dan Ahanari. Kita saksikan betapa memprihatinkannya kondisi pendidikan di sana. Sekolah berlantai tanah, berdinding papan, beratap kayu-kayu lapuk. Sekolah tanpa buku, bahkan tanpa guru. Kalau pun ada guru, kaki para guru itu pada baminyak. Seng betah di tempat. Begitulah kebanyakan guru-guru di daerah-daerah terpencil itu, suka mangkir dari tugas.

Di pulau asing itu, salib ada di mana-mana. Tidak hanya di gereja-gereja, namun juga di dinding-dinding rumah, di pohon-pohon kelapa. Orang-orang selalu menyapa 'selamat pagi, Bapak' atau 'selamat malam, Ibu', begitu ramah, meski segelas sopi hampir selalu setia mendampingi. Di tanah itu, kita belajar tentang toleransi yang sebenarnya. Kita menghayati makna harmoni dalam perbedaan dengan nyata. Menepiskan rasa saling curiga, meski baru pertama berjumpa.

Begitu banyak pengalaman menakjubkan. Suatu sore, ketika kita bertiga terayun-ayun di Kapal Marsela, bertolak dari Pelabuhan Tepa menuju Pelabuhan Galala, Ambon, kita mendapatkan pengalaman yang bagi diriku, begitu traumatis. Seekor kura-kura ditangkap para ABK. Kura-kura itu tubuhnya penuh tali. Dia ditarik kuat-kuat dari laut, dan tubuhnya yang penuh luka itu terhempas keras di dalam kapal. Semua orang mengerubunginya. Dirimu dan Mas Heru sibuk memotret. Aku ikut mendekat, dan hatiku teriris-iris. Pedih. Dirimu pasti masih ingat, mata kura-kura itu berair. Dia menangis. Dia kesakitan. Mata itu, adalah mata yang memohon belas kasihan. Tapi tak ada satu pun dari kita yang peduli. Aku beringsut masuk kamar, dengan kepala dipenuhi bayangan tentang kura-kura yang kesakitan itu. Aku hanya bisa menuliskan kesedihanku. Aku terus menulis dan menulis sampai larut malam. Sampai akhirnya tertidur dan bayang-bayang kura-kura yang menangis itu terbawa dalam mimpi.

Selama dua malam di kapal Marsela itu, kita melihat kerumunan orang di mana-mana. Mereka bermain kartu, sebotol sopi dan gelas-gelas plastik ada di tengah-tengah mereka. Mushala mereka penuhi dengan baju-baju, kasur, dan tikar untuk bermain kartu. Namun begitu mereka melihat kita mengambil air wudhu, mereka semua semburat membuyarkan diri. Menggulung tikar mereka, menghimpun kartu-kartu, gelas-gelas plastik dan botol sopi. Dengan ramah dan sopan, mereka menyilakan kita menggunakan mushala untuk shalat.

Kita, mungkin hanya kita, tiga orang yang berbeda di antara mereka. Kita seperti tengah terdampar di dunia lain. Namun betapa mereka menghargai keberadaan kita, dengan cara mereka. Mereka tahu kita perlu ketenangan ketika kita bersujud di mushala yang menjadi ruang multifungsi itu, namun mereka sedikit pun tidak mengusik. Mereka begitu indah dalam balutan kulit hitamnya, mata bulat yang kadang bersemu merah. Bahkan dalam diam pun, mereka begitu indah.

Lebih dari sepekan kita habiskan waktu untuk menelusuri Pulau-Pulau Babar itu. Sinyal antara ada dan tidak. Begitu unik perilaku sinyal di sana. Dia ada di pohon-pohon, ada di bukit-bukit terjal, ada di pantai. Kadang ada di jendela-jendela. Seringkali dia seperti memenuhi ponsel kita, tapi tak ada sesuatu pun yang kita bisa lakukan dengannya. Tidak bisa menelepon dan mengirim SMS, namun SMS bisa masuk. Begitulah. Tidak salah jika mereka, guru-guru muda yang kita kunjungi itu, menyebut sinyal di MBD adalah sinyal parlente.

***
Pertengahan September tahun lalu kita kembali berpetualang. Mendampingi sembilan belas guru muda yang akan mengabdikan diri di Kabupaten Mamberamo Raya. Sebuah kabupaten baru di pelosok Papua.

Bersama kita, adalah dua orang kru sebuah stasiun televisi swasta. Dirimulah yang akhirnya harus memandu mereka. Meski mereka cukup berpengalaman, namun pengalaman dirimu sebagai jurnalis senior membuat mereka memerlukan ide-ide yang berbeda dan cermerlang dari orang seperti dirimu.

Kita terbang dari Surabaya menuju Jayapura saat pagi masih gelap. Sebuah perjalanan yang menyenangkan. Dengan anak-anak muda, yang semuanya laki-laki, yang sangat bersemangat. Ya, tak ada seorang pun guru perempuan yang kita bawa. Kondisi medan dan keamanan di Mamberamo Raya yang belum terlalu menjanjikan membuat kita belum berani mengambil risiko dengan menugaskan guru perempuan di sana.

Esoknya, dari Jayapura, kita menumpang bus menuju Kabupaten Sarmi. Bus Damri milik pemerintah daerah. Selama sepuluh jam kita menempuh perjalanan dengan kondisi jalan yang sangat bergelombang, dan melintasi ratusan jembatan. Ya, ratusan jembatan. Hampir setiap kilometer kita melintasi jembatan rusak atau jembatan yang setengah jadi sepanjang perjalanan sejauh dua ratus kilometer lebih itu. Kalau ada laut bergelombang, di sinilah kita menemukan daratan yang bergelombang. Beberapa dari anak-anak mabuk karenanya. Mereka muntah-muntah, muka mereka pucat pasi, dan tubuh mereka nampak lemas. Perjalanan yang begitu panjang dan melelahkan.

Ternyata itu baru awalnya saja. Esoknya, kita harus menumpang speedboat, mengarungi Samudra Pasifik, menuju muara Sungai Mamberamo. Tiga speedboat melaju di atas laut yang bergelombang, terhentak-hentak dengan sangat keras. Selama tiga jam itu, sekali lagi, beberapa anak kita mengalami mabuk laut. Kasihan mereka. Perjalanan dari Surabaya menuju Jayapura, ditambah dengan perjalanan darat yang panjang dari Jayapura menuju Sarmi, telah membuat mereka mengalami kelelahan yang cukup parah. Namun, meski wajah mereka kelelahan, semangat mereka tidaklah padam. Semangat untuk mengabdi, mengambil bagian dalam pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.

Setelah tiga jam berspeedboat melintasi Samudera Pasifik, tibalah kita di muara Sungai Mamberamo. Di sebuah rumah singgah di Warembori. Kita sempat menyapa kampung nelayan yang ramah itu. Memasuki sebuah sekolah dasar dan bercengkerama bersama para siswa dan guru yang hanya satu-satunya. Bangunan sekolah itu terbuat dari kayu dan papan-papan. Beberapa kelas disekat-sekat karena kelas tidak cukup untuk semua jenjang. Oya, meski anak-anak itu sudah akan lulus SD, beberapa dari mereka masij belum bisa membaca dengan lancar.

Tapi kita tentu saja tidak heran dengan kondisi itu. Kita sudah mengunjungi berbagai pelosok negeri ini. Kemampuan baca tulis dan hitung anak-anak di tempat-tempat yang nyaris tak terjangkau itu memang sangatlah rendah. Pernah suatu ketika, di pelosok Sumba Timur, kita melihat seorang siswa yang menghitung 24 + 16 = 13. Ya, dia mengitungnya dengan cara 2 + 4 + 1 + 6. Lucu? Tentu saja tidak. Kita merasa begitu prihatin. Bodohkah dia? Juga tidak. Dia hanya tidak mendapatkan pembelajaran yang benar. Dia hanya belum menemukan seseorang yang tepat untuk mengajarinya berhitung dengan baik. Dia hanya perlu waktu untuk membuktikan bahwa dia pun memiliki kemampuan yang cemerlang, sama cemerlangnya dengan teman-temannya di kota. Dia hanya perlu tangan-tangan lembut yang menyentuhnya dengan penuh kasih-sayang. Dia perlu sosok panutan. Dia perlu guru-guru yang mampu membangkitkan kecintaannya pada belajar dan ilmu pengetahuan.

Suatu ketika, di sebuah sekolah, diriku bertanya pada seorang siswa. Dia ada di antara belasan temannya yang mengerumuniku. Baju mereka semua lusuh, sebagian ada yang koyak-koyak. Bau badan mereka, maaf, begitu tak sedap, sepertinya jarang sekali mandi. Mereka anak-anak ingusan, dalam arti yang sebenarnya. Ya, hidung mereka hampir semuanya beringus.

"Selamat pagi..." Sapa diriku.
"Selamat pagi.." Jawab mereka malu-malu.
"Siapa namamu?" Tanyaku, pada seorang anak, sembari memasang senyum termanisku.
Tapi anak itu diam saja. Aku bertanya pada seorang anak di sebelahnya. Sama. Anak perempuan mungil yang manis tapi dekil itu hanya diam.

"Ibu jangan begitu bertanyanya." Kata seorang guru, yang ada di antara mereka, dan sejak tadi memperhatikanku.
"Maksudnya?"
Guru itu mendekat pada seorang anak.
"Siapa kamu punya nama?" Tanyanya, dengan logat yang sangat khas.
"Melki." Jawab anak itu.

Diriku tercengang. Serta merta aku menyadari, betapa tidak kontekstualnya caraku bertanya. Mereka sama sekali tidak mengenal struktur kalimat pertanyaanku, meski itu benar dari kaidah bahasa. Mereka, lebih-lebih, sama sekali tidak mengenal logatku.

Kembali ke perjalanan kita menuju Mamberamo Raya. Dari rumah singgah di Warembori, kita melanjutkan perjalanan menuju Kasonaweja. Tentu saja setelah menyantap makan siang yang disiapkan oleh ibu kepala sekolah. Menu makan siang yang sangat spesial. Nasi putih, mie instan rebus, dan ikan kering.

Perjalanan ke Kasonaweja begitu menegangkan. Selama empat jam kita terhentak-hentak dalam speedboat yang sedang melaju di atas sungai Mamberamo. Ya, sebenarnya hanya sungai, namun arus deras di bawahnya membuat perjalanan tidak terlalu aman. Tetapi ketegangan kita semua terhibur dengan pemandangan di sepanjang perjalanan yang begitu indah, meski sejauh mata memandang hanyalah bentangan air dan air. Juga tertutup dengan niat kuat dan pikiran positif. Tuhan akan melindungi kita, melindungi orang-orang yang sedang berjuang di jalan-Nya. Menggapai tempat-tempat terjauh demi sebuah pengabdian mencerdaskan anak-anak negeri, bukankah itu bisa dikatakan berjuang di jalan-Nya? Kalau pun terjadi sesuatu pada kita semua, Tuhan telah memilihkan jalan terbaik untuk menemui-Nya. Jalan jihad. Jalan orang-orang yang dijanjikan tempat terindah di surga-Nya. Namun, syukurlah, Tuhan begitu mengasihi kita, mengasihi anak-anak di pelosok-pelosok itu, sehingga memberi kita kesempatan dan kesempatan lagi untuk mengunjungi mereka, berbagi ketulusan dan kepedulian.

Kasonaweja tercapai saat hari sudah menjelang sore namun cuaca begitu panas. Benar apa yang dikatakan kepala dinas pendidikan Mamberamo Raya. Tentang cuaca, orang mengatakan, "hujan sungguh mati, panas sungguh mati." Menandakan hujan yang tak pernah absen, dan bahkan hampir selalu menyebabkan banjir tahunan. Sekaligus, karena Mamberamo Raya menghampar di atas batubara, maka panasnya juga luar biasa.

Sumba Timur, Maluku Barat Daya, dan Mamberamo Raya, adalah tiga tempat yang begitu berarti bagi kita. Beberapa karya buku telah terlahir untuk mengabadikan keindahannya dan juga suka duka perjuangan para guru muda itu. "Jangan Tinggalkan Kami," "Berbagi di Ujung Negeri", dan "Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", telah menjadi saksi semua keindahan dan perjuangan itu. Namun, sedihnya, meski dirimu sudah menuntaskan "Memeluk Pelangi Negeri Kalwedo", dirimu ternyata tidak sempat melihat wujud akhirnya. Dirimu pergi saat buku itu belum selesai dicetak. Cover di buku itu adalah karyamu, tata letaknya juga, baris-baris setiap kalimat di dalamnya, begitu kental oleh sentuhanmu.

Setidaknya, telah dirimu tinggalkan semuanya itu untuk kami semua sebagai warisanmu.

***
Siang ini, kuterima SMS dari sahabat kita, Sirikit Syah.
"Bu, aku dan teman-teman siap mengajar di kelas literasi besok siang. Bu, jadi ingat Mas Rukin. Pingin nangis rasanya...."

Diriku sebenarnya sudah tidak mau lagi membiarkan kesedihan terus-menerus memberati hatiku. Sudah dua minggu berlalu, sejak kami mengantar dirimu ke peristirahatan terakhirmu. Sejak saat itu, hari-hariku dipenuhi dengan bayang-bayangmu. Meratapi terus kepergianmu. Menangis setiap kali mengingatmu. Mempertanyakan pada Tuhan, kenapa harus dirimu, yang begitu kami butuhkan? Setiap saat kuhadirkan doa, berharap Tuhan mengampuni semua dosamu, dan merengkuhmu dalam dekapan hangat-Nya. Memberikan surga terindah-Nya. Seperti keindahan yang telah dirimu taburkan di mana-mana.

"Kukenang dirimu dengan begitu indah." Begitu sebuah bunyi status di akun facebook seorang mahasiswa. Dia, dan juga teman-temannya, begitu merasa kehilangan. Gambar-gambarmu terpasang di status akun mereka. Saat dirimu ada di pelosok-pelosok wilayah tempat penugasan bersama mereka. Juga saat dirimu ada di kelas, ada di ruang seminar, di lorong-lorong gedung,  mengajari mereka tentang literasi.

"Dirimu tidak hanya mengajari kami bagaimana menulis dengan baik, namun juga mengajari kami bagaimana menjalani kehidupan dengan berguna." Begitu kata seorang mahasiswa. Dirimu telah membuatnya yakin bahwa dia bisa dan mampu menulis, dan tulisan-tulisannya itu akan menjadikan hidupnya lebih berarti.

Terlalu banyak yang sudah dirimu lakukan untuk kami. Terlalu banyak goresan tinta yang telah dirimu tuliskan tentang anak-anak negeri. Terlalu banyak kesedihan dan keprihatinan dari tempat-tempat terjauh itu, yang telah dirimu kabarkan kepada setiap orang. Berharap itu semua akan mengetuk hati para penguasa negeri, para guru, para orang tua, para pejabat, siapa pun juga, untuk lebih peduli mengurus pendidikan. Memastikan mereka di titik-titik terjauh dari NKRI ini tersentuh dan tak terabaikan.

Sore ini, diriku berkendara dari bandara Juanda sepulang dari tugas luar kota, menuju rumah. Saat melintasi tempat di mana kecelakaan itu terjadi, kecelakaan yang merenggut nyawamu, dadaku bedegup kencang. Hatiku menangis pilu. Pagar oranye yang berjajar di sepanjang jalan yang menjadi pembatas untuk kendaraan umum itu, yang dipasang sejak kecelakaan itu terjadi, semakin merobek-robek hati. Kenapa baru sekarang pagar pembatas itu dipajang? Kenapa harus menunggu korban jatuh dulu? Kenapa harus dirimu yang jadi tumbal?

Beberapa hari yang lalu, saat diriku melintas di jalan ini, kulihat ada karangan bunga di tempat di mana dirimu tergilas bus gila itu. Beberapa hari yang lalu, selama beberapa hari, orang-orang melakukan tabur bunga di tempat itu. Media massa menulis tentang kecelakaan yang menimpa dirimu, membeberkan betapa bobroknya pengaturan lalu-lintas di tempat itu, betapa tak berdayanya para petugas untuk melakukan penertiban, betapa tak beradabnya para supir kendaraan umum. Meski di sana sudah terpasang rambu-rambu jalan, semuanya itu tak ada gunanya.

Negeri ini mungkin ditakdirkann untuk menjadi negeri yang haus tumbal. Sekolah diperbaiki setelah ada  siswa yang terluka atau meninggal karena tertimpa langit-langit yang runtuh. Bendungan dibuat setelah sungai meluap dan menelan puluhan bahkan ratusan korban banjir. Pelajaran tanggap bencana diajarkan di sekolah-sekolah setelah terjadi tsunami dan gunung meletus yang meluluh-lantakkan sebagian negeri. Penyuluhan anti narkoba dan penyakit kelamin dilakukan di mana-mana setelah ribuan bahkan jutaan orang terpapar dan terjangkiti. Dan kini, di tempat itu, pagar pembatas dipasang setelah terjadi kecelakaan yang meminta korban. Dan korban itu adalah dirimu.

Bagaimana pun, meski harus mempertaruhkan nyawa, dirimu telah berhasil membuka mata semua orang untuk menyadari betapa lemahnya penegakan hukum dan peraturan berlalu-lintas. Ya, bahkan setelah dirimu berpulang pun, dirimu masih meninggalkan hikmah untuk kita semua. Masih memberikan kemanfaatan bagi sesama. Setidaknya, setelah kejadian kecelakaan yang menimpa dirimu itu, lalu lintas di tempat itu menjadi lebih teratur, dan memberikan kenyamanan bagi setiap pengguna jalan.

Dirimu memang sudah tiada. Namun dirimu akan selalu menyemangati siapa pun yang pernah mengenalmu. Lihatlah, di kelas-kelas itu, sahabat-sahabat kita tetap bertahan mengajarkan literasi pada para calon pendidik yang datang dari segala penjuru Tanah Air itu. Sirikit Syah, Much. Khoiri, Eko Prasetyo, Anwar Djaelani, mereka semua mengisi kelas-kelas di mana anak-anak muda itu belajar tentang menulis dan tentang kehidupan. Ya, seharusnya dirimu ada di sana, ada di antara mereka. Bukankah dirimu yang telah memulai semuanya ini? Tapi, baiklah, apa boleh buat, Tuhan berkehendak lain. Dia memanggilmu begitu cepat karena Dia begitu mencintaimu. Tapi, seperti kata sahabat kita, Sirikit Syah, semangatmu terus hadir bersama kami semua.

"You may have died, dear friend
But the memory of you will stay forever
I promise to continue our journey, even without you...
With you, in spirit...."

Dan orang baik itu, dirimu, sekarang sudah pergi, pergi untuk selamanya
Namun kenangan-kenangan itu tak mungkin sirna
Hal-hal baik yang telah kau wariskan
Juga ribuan cita-cita yang masih kau gantungkan
Semangat yang tak pernah padam untuk mengabdi pada kehidupan

Sahabat,
Kulantunkan Al Fatihah dan doa-doa,
Untuk mewakili kesedihanku, menggantikan cucuran air mataku, menyiratkan rasa kehilanganku
Di sini, aku, sahabatmu
Dan ratusan rekan baikmu, ratusan pendidik muda generasi setelahmu
Hanya mampu mengucap
Selamat jalan, sahabat kami, bapak kami, guru kami
Allah telah memanggilmu ke pangkuan abadi-Nya
Dalam rengkuhan kasih sayang-Nya
Semoga kau damai selalu di sisi-Nya

Surabaya, 15 September 2014


(Mengenang 40 hari berpulangnya sahabat Rukin Firda, 10 September 2014).