Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 12 Juni 2015

Surat Dari Rheza

Untuk Prof. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd

Ass.Wr.Wb

Mbak Ellla, bagaimana kabarnya? Semoga sehat selalu dan juga selalu dalam lindungan Allah. Ini surat saya yang ketiga kalinya. Mbak Ella pasti sudah mendengar kabar duka dari SM3T MBD. Kemarin sempat ke Ambon dngan Pak Rahman ya Mbak? Sebenarnya kemarin waktu Pak Heru dan rekan ke Tiakur (MBD) saya ingin menulis surat untuk dititipkan. Akan tetapi saat itu kami sedang dalam keadaan berduka cita. Jangankan untuk menulis surat, menatap warga yang berdatangan saja kami enggan.

Pak Heru dan keluarga Mas Is pasti sudah sampai di Jawa kan Mbak? Saya mau titip salam untuk Pak Heru. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Heru karena telah bersedia datang dan merawat/berpartisipasi dalam acara pemakaman.

Saya juga ingin meminta maaf kepada Pak Heru karena waktu beliau ke Sermata, saya dan ketiga rekan yang lain tidak bisa berangkat. Saya dan Nafida  (yang bertugas di Luang Timur) kebetulan baru saja rehat dari sakit. Kami masih lemah. Apalagi saat itu sudah masuk musim timur. Gelombangnya mulai datang meski tak sebesar musim barat.

Kemudian Mbak Nisa dan Eti (yang bertugas di Rumkisar, saat itu sudah move ke Luang Barat karena mendengar kabar Pak Heru turun ke Luang) juga tidak bisa hadir. Mereka berdua khawatir tidak bisa pulang ke Rumkisar jika berada di Mahaleta (pulau Sermata). Karena di Mahaleta, bodi (motor laut) tidak sebanyak di Pulau Luang.

Mbak, kami yang ada di sini merasa sangat terpukul dan kehilangan dengan adanya musibah tersebut. Kejadiannya tepat pada saat saya turun dari Kapal Sabuk Nusantara 43 dari Ambon. Saat itu sekitar pukul 01.00 dini hari, saat meti kering (air surut) dan mulai naik lagi. Malam itu tak ada bulan dan tepat penghabisan angin musim barat. Saat itu memang ada arus laut karena sedang mulai pasang dari surut. Bodi yang saya tumpangi saja orang-orangnya ikut heboh waktu ada arus dan gelombang besar di depan. Untungnya bodi sempat belok, berputar dan berbalik arah menghindari serangan arus. Saya terus membaca syahadat, sementara orang-orang di sekitar saya terus menyebut nama Yesus. Tidak pernah saya setakut itu sebelumnya ketika naik bodi. Ternyata ketakutan saya tidak seberapa jika dibandingkan dengan kecelakaan yang dialami oleh bodi Luang Barat  (di dalamnya ada Renzi dan Mas Is) yang hendak menuju kapal beberapa jam yang lalu.

Untungnya bodi yang saya tumpangi bisa sampai di Pulau Luang dengan selamat sekitar pukul 03.00 dini hari. Namun kabar tentang musibah itu baru kita dengar pagi hari sekitar pukul 07.00 WIT. Awalnya kami tidak percaya karena penyampai berita adalah murid SMP. Tapi ketika banyak warga berdatangan dan guru SMP rekan saya yang bertempat tinggal di Luang Barat menceritakan sendiri kejadiannya, barulah kami syok. Apalagi waktu beliau menyatakan kami diminta pasrah saja karena sudah semalam Mas Is belum ditemukan.

Kami bergegas berjalan ke Luang Barat dengan hati yang entah bagaimana. Apalagi saat melihat orang-orang yang melihat kami dengan tatapan prihatin. Sepanjang perjalanan dari Luang Timur, hingga mendaki dan menuruni bukit sampai rumah Mama Weli (mama piara dari teman kami di Luang Barat), rasanya seluruh Pulau Luang sedang berduka. Entah kenapa saat itu perasaan saya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Tapi kami berempat (saya, Nafida, Arga dan Mas Taufik) terus berharap semoga Mas Is bisa ditemukan dengan selamat.

Sampai di rumah Renzi, Kami melihat tatapan mata merah dan berair dari Renzi dan Mama Weli. Dari Renzi kami bisa mendengar lengkap peristiwa detik terakhir sebelum terpisah dari almarhum. Ternyata bodi dari Luang Barat berangkat sekitar pukul 21.00 WIT. Bodinya adalah jolor (bodi kecil memanjang) yang seharusnya tak boleh berisi banyak orang (maksimal delapan orang tanpa barang bawaan).Tapi saat itu karena hanya ada satu bodi yang berangkat (karena meti surut dan banyak bodi yang kandas di pantai), jadinya bodi tersebut kelebihan muatan. Ada yang bilang, muatannya tiga belas orang, ada yang bilang empat belas orang. Belum lagi barang bawaan yang banyak sebagai bekal untuk berlayar jauh.

Ada yang bawa ikan, teteruga (penyu) dan agar-agar kering serta tas-tas besar. Sebenarnya  pemilik kapal sudah menolak, akan tetapi orang-orang tetap memaksa. Sampai di kepala meti (perbatasan laut dangkal dan laut dalam) gelombang besar mulai datang. Kemudian ombak besar masuk ke bodi saat bodi berusaha menghindari gelombang menuju pulau terdekat (berbalik arah). Kata Renzi, saat itu semua orang berteriak ‘loncat’. Akhirnya karena panik banyak orang yang meloncat. Herannya kenapa mereka tidak memilih membuang barang- barang bawaan dan menguras bodi. Justeru manusianya yang disuruh loncat. Renzi meloncatnya belakangan, Mbak. Bahkan dia sempat melihat Mas Is loncat dan terapung, serta melihat air perlahan-lahan masuk bodi. Barulah Renzi loncat waktu air mulai penuh.

Saat Renzi loncat itulah, Mas Is langsung berenang ke arah dia dan berpegangan pada Renzi. Tapi karena panik, akhirnya Mas Is yang mendorong- dorong Renzi ke bawah hingga Renzi tidak bisa bernafas. Renzi sempat bilang ‘sabar’ kepada Mas Is, tapi Mas Is tetap panik. Akhirnya Renzi berusaha melepaskan diri untuk mengambil nafas. Renzi berniat menolong Mas Is, tapi gelombang besar setinggi tiga meter memisahkan mereka berdua. Setelah Renzi membuka mata, semuanya gelap. Renzi tidak tahu Mas Is ada di mana. Yang terdengar hanya suara teriakan minta tolong dari orang-orang. Renzi juga teriak minta tolong, memanggil-manggil bapak, ibu, mama dan papa piaranya. Beruntung sekali dia bisa mengapung dan mengambil nafas. Dia sudah hampir menyerah saat itu, tapi untungnya kakinya menyentuh pasir hingga dia bisa berdiri dan bernafas karena air hanya setinggi dada. Tapi di sekitarnya, laut sudah dalam sekali. Renzi adalah korban hidup yang terakhir ditemukan. Saya yakin ini adalah mukjizat dari Allah. Begitu Renzi naik ke kapal, yang keluar dari mulutnya adalah menanyakan di mana Mas Is. Sayangnya, orang-orang tidak mendapatkannya, begitu juga dengan dua orang penumpang yang lain.

Dua orang korban mayatnya ditemukan pada pagi harinya pada jam yang berbeda. Dalam pencarian itu, kabar salah datang tiga kali yang menyatakan bahwa pak guru sudah ditemukan. Tiga kali kami merasa lemas dan sedih karena ternyata kabar itu tidak benar. Pencarian terus berlanjut hingga hari Rabu (kejadiannya Selasa dini hari), Kamis, hingga Jumat. Sebelumnya orang-orang hanya menemukan sandal sebelah dan celana pendek yang dikenakan Mas Is.

Mbak, selama pencarian beberapa dari kami ikut. Saat itu ada empat orang dari Sermata yang sempat datang ke Luang. Pada hari terakhir (hari Jumat) semua dari kami ikut mencari bersama warga. Saat itu saya merasa sedih dan berduka. Tetapi di sisi lain saya terharu dengan bantuan warga di sini yang dengan ikhlas membantu. Bersama-sama mereka menyisir meti mulai tempat kejadian hingga kepala meti. Tiada lelahnya mereka menyelam dan timbul lagi untuk mencari jenazah. Bahkan pada hari Jumat pukul 00.00 WIT, mereka menggelar doa bersama di gereja. Kami juga ikut menghadiri. Bapak Pice (papa piara Renzi dan Mas Is) terlihat sangat terpukul dan  menyesal tidak ikut mengantar ke kapal. Beliau yang paling gigih mencari dari pagi sampai sore, hingga malam hari. Mbak, sungguh besar jasa dan kebaikan orang Luang ini. Kita yang baru beberapa bulan di sini sudah mendapat perhatian yang luar biasa dari mereka. Mereka sangat peduli kepada kita, padahal kita hanya guru kontrak yang berbeda agama dan suku bangsa dan baru tinggal beberapa bulan. Saya sampai menangis membayangkan kebaikan mereka.

Bahkan pada hari Kamis, yang saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya Mas Is, Mama Weli (mama piaranya Mas Is), membuatkan kue untuk ulang tahun sesuai pesanannya Mas Is. Pada saat pencarian hari terakhir Mama Weli ikut mencari, ikut naik bodi sambil mengenakan topi Mas Is. Bapak Pice dan Mama Weli duduk dalam satu bodi. Dari wajah mereka terlihat sekali gurat cemas dan sesal. Bapak Pice malah kemana-mana selalu membawa selimut yang dilipat rapi dalam tas plastik hitam. Saya ikut sedih melihat kesedihan dan sesal mereka berdua, Mbak.

Hari Jumat adalah saat terakhir kami mencari jenazah, apapun yang terjadi. Semua bodi berangkat sekitar pukul 07.00 WIT (di sini pukul 06.00 matahari baru terbit). Kami bersembilan masing-masing dipencar di bodi yang berbeda, kecuali yang perempuan, satu bodi selalu berisi dua orang perempuan guru SM-3T. Sebelum berangkat kami semua berdoa di dermaga (dermaga bodi, bukan dermaga kapal). Seusai berdoa, mata saya tiba-tiba menatap bangkai anjing yang terapung di dekat dermaga. Bangkainya sudah menggembung. Tiba-tiba saya kepikiran, bagaimana kondisi Mas Is pada saat ditemukan nanti. Orang-orang Luang yang kemarin sudah mulai putus asa bilang, ‘’biar cuma tangan atau kakinya yang penting kita bisa menemukan jasadnya." Saat saya mendengar percakapan mereka, rasanya sedih sekali. Tapi ternyata Mama Weli juga mengamini hal itu.

Mbak, pada Kamis malam, kami sempat berdoa bersama. Saya pun sempat shalat istikharah dan meminta petunjuk. Tapi hati saya terasa ciut ternyata, Mbak. Saya nggak berani menerima petunjuk sehingga setelah mengaji saya tidak bisa tidur. Setiap mata akan terpejam dan masuk dalam mimpi, saya sudah bangun dan gelagapan. Begitu terjadi berulang kali hingga pukul 03.00 WIT. Barulah saya pindah tempat  tidur (saat itu saya tidur di kamar Mas Is ), ke ruang tengah bersama dengan orang-orang lain, dan saya baru bisa tidur.

Sekitar setengah jam kemudian bodi berangkat. Ada berbagai macam rasa di dalam hati ini, Mbak. antara harap-harap cemas agar bisa ketemu, sedih karena masih belum ketemu, dan terharu melihat bodi-bodi berjalan berjajar di depan dan belakang, di samping-samping, bersama-sama menyisir laut. Saya hanya bisa meneteskan air mata melihat semua itu. Bodi menuju Uparui (Pulau Ikan, pulau kecil dekat Luang Barat). Saya teringat waktu piknik ke Uparui bersama Renzi, Mas Is, dan Wahyu. Kami sempat berfoto bersama. Saya bercerita ke Mbak Nisa (yang saat itu satu bodi dengan saya) saat-saat piknik itu sambil terus bersedih.

Meti yang kita sisir cukup panjang. Selama perjalanan saya berusaha menghilangkan kesedihan dengan terus bercerita tentang keindahan meti di Luang. Sementara Mbak Nisa menceritakan pantai Rumkisar yang ombaknya besar sehingga dia tak pernah berani belajar berenang di sana. 

Perjalanan kami menuju Pulau Kelapa, pulau dimana orang-orang menemukan bau yang sangat menyengat yang merupakan bau bangkai, tapi bukan bangkai hewan. Lalat juga banyak dan ada di mana-mana. Tapi tak seorang pun bisa menemukan apa pun karena lokasi baunya berpindah-pindah.

Ternyata bodi kami adalah bodi terakhir yang sampai di Pulau Kelapa. Sementara bodi-bodi yang lain sudah berangkat karena bau sudah tidak ada lagi. Saat itu matahari mulai naik, tapi orang-orang di bodi kami tetap memutuskan untuk turun dan menyisir. Di sisi pantai terdapat batu karang cadas yang di atasnya ditumbuhi semak-semak. Setiap kali ada celah kami melihat dan mencari-cari dengan teliti, tapi kami tak menemukan apa pun. Kami terus berjalan sampai kami bertemu dengan Arga dan Tomi. Kami saling bercerita dan bertanya sambil terus menyisir, tapi kami tak menemukan apa pun.

Sampai pada suatu sisi saya terduduk di tepi pantai. Bukan karena kelelahan, tapi karena saya merasa mulai putus asa. Saat itu rasanya saya kecil sekali di alam semesta ini. Rasanya saya bagaikan setitik debu dibandingkan luasnya lautan yang menghampar. Dalam otak saya, logika saya berkata, ’’tidak mungkin pencarian seperti ini berhasil,’’ tetapi dalam hati saya berkata, ‘’kecuali jika Allah memberikan mukjizat-Nya!’’

Sampai pada suatu tempat, di suatu celah, Arga, Tomi, dan Mbak Nisa mencium bau yang cukup kuat. Saya sendiri tidak mencium bau apa-apa. Tapi kami terus menyisir hingga sampai ke atas batu. Di pasir (di atas batu) ada beberapa orang yang ikut mencari dan mencakar-cakar tanah dengan tongkat. Arga berkata dia menemukan anjing yang berlari. kami sempat mencari anjing itu, tapi anjing tiba-tiba menghilang. 

Akhirnya semua orang pergi, tinggallah kami berempat dan seorang kakak laki-laki. Kakak tersebut dan juga saya sendiri mendengar suara halus yang jelas tetapi kecil sekali dan tidak kami ketahui artinya.

Kami terus berjalan dan sesekali melongok dan mencari-cari jika bau muncul. Kami sudah berjalan cukup jauh waktu kakak tadi (yang mendengar suara dengan saya) meyakinkan kami untuk kembali ke tempat semula. Akhirnya dengan ditemani Om Jawa (keturunan dari pernikahan campuran orang Jawa dan orang Luang ), kami kembali ke tempat tersebut. Tetapi waktu kami sampai di sana, bau sudah hilang dan tak ada suara-suara lagi. Kami yang sudah putus asa kembali terduduk di batu karang. Empat botol air minum yang kami bawa sudah habis. Dari pagi kita belum makan dan matahari mulai tinggi. Perut kami terasa mulai lapar dan kami tak membawa  makanan apa pun.

Akhirnya kami tinggal duduk dan bercerita tentang Mas Is. Om Jawa ternyata cukup dekat dengan Mas Is karena sering mengikat agar-agar bersama. Kami masih sempat tertawa bersama ketika orang-orang mengabarkan bahwa bodi yang kami tumpangi tadi sudah pulang lebih dulu ketika meti mulai surut. Saat itu kami tak merasa kecewa atau marah. Bersama Om Jawa kami memutuskan menuju kebun kelapa terdekat untuk mendapat air kelapa dan kelapa muda untuk mengisi perut. Jarak kebun kelapa dengan tempat kami duduk sejauh perjalanan dari Unesa Ketintang ke Royal Plaza.

Saat itu mungkin matahari sudah tepat di atas kepala. Tomi sudah mulai tak bersemangat. Dia berkata, ’’sepertinya semakin kita mencari, semakin kita tak menemukannya. Jadi lebih baik kita anggap ini perjalanan piknik saja.’’ Saya menambahkan, ’’seperti sinetron, kalau sutradaranya belum mengijinkan pemeran utamanya bertemu, seberapa jauh tegangnya menonton film itu.’’

‘’Tapi, Rek !’’ Saya menambahkan. ’’Sehabis shalat istikharah kemarin saya buka ayat Alquran secara acak lalu saya menemukan suatu ayat yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Daud As. Dari situ saya berpikir hanya mukjizat Allah yang bisa mempertemukan kita dengan Mas Is.’’

‘’Ya mudah-mudahan,’’ jawab teman-teman.

Sesampainya di kebun kelapa kami memperoleh sebutir kelapa dan meminum airnya. Daging kelapa yang sudah mulai tua tetap saja saya makan karena perut saya mulai melilit. Selepas makan kelapa, Tomi dan Mbak Nisa tertidur, sementara saya dan Arga mengobrol dengan penduduk sekitar. Saat air meti mulai naik ada satu bodi besar yang menjemput kami berempat dan orang-orang yang tertinggal, termasuk Kapolsek Lelang, Kepsek SMP Limarna Luang Barat, syahbandar Luang-Sermata, dan Om Jawa, serta beberapa orang lain. Dengan bodi ‘Ganesis’ (nama bodi tersebut) kami melanjutkan pencarian. Matahari masih di atas kepala, laut terlihat sangat indah tapi hati kami sedang murung.

Bodi masih menyisir Pulau Kelapa. Kali ini di dalam bodi ada Arga dan Tomi. Meskipun hati kami murung pulau-pulau penyusun gerbang tetap terlihat indah. Namun tetap saja kami tak bisa menikmati keindahannya dengan suasana duka seperti ini. Kami terus menyisir hingga ujung pulau. Bodi bergerak menuju laut dalam meninggalkan meti.

Di perbatasan meti, arus kuat menerjang bodi. Dalam hati saya terus berdoa supaya kami selamat. Kami juga terus berharap dalam hati masing-masing supaya pencarian ini segera berakhir. Dalam hati saya berkata, ’’Ya Allah, bagaimanapun kondisinya saya siap untuk menemukannya, daripada tidak ada yang bisa kami temukan.’’

Ternyata di balik Pulau Kelapa ada celah kecil, ada satu pulau lagi. Bodi bergerak ke sana. Di sana arusnya sangat tenang. Lautnya berwarna biru muda menawan. Saya terus melihat ke celah sebelah kanan, tetapi saya tak menemukan apa pun. Hampir tiga puluh menit berlalu, ketika tiba-tiba saya mendengar, "Astaghfirullohaldzim, itu apa?’’ "Rapat-rapat!’’ " Yesus ’e’’. Saya segera melempar pandangan ke arah orang-orang memandang. Dengan mata kepala saya sendiri, saya melihat sosok tubuh yang sudah mengapung dengan posisi tengkurap, kedua tangan dan kaki terbuka. Kulit luarnya sudah terkoyak, tinggal kulit dalam yang berwarna putih pucat. Yang membuat kami yakin itu Mas Is adalah jaket SM-3T hitamnya yang terpasang rapat tak koyak atau sobek sedikit pun. Laa haula wala quwwata illaa billah. Innalillahi wa inna illaihi roojiun.

Bersambung....

Minggu, 07 Juni 2015

Surat Untuk Rheza di MBD

Assalamualaikum, Rheza. Semoga kamu dan kawan-kawan selalu dalam keadaan sehat dan tetap bersemangat dalam mendampingi anak-anak didik kalian. Semoga kalian selalu menjadi sosok-sosok yang mereka rindukan.

Rheza, ini adalah kali ke sekian saya mencoba menulis untukmu. Mencoba membalas suratmu yang saya terima lebih dari sebulan yang lalu. Beberapa kali saya coba menulis, mata saya selalu kabur dipenuhi air mata dan saya tidak kuasa melanjutkan. Suratmu telah membawa saya pada situasi yang bercampur-aduk, antara bangga, sedih, merasa bersalah, dan mungkin juga trauma.

Terbayang semuanya, bagaimana rasa kehilangan kamu dan kawan-kawan karena kepergian Isnaeni. Upaya kalian untuk menemukan seorang sahabat seperjuangan yang hilang di keluasan samudera, begitu jelas tergambar di pelupuk mata. Kalian menyisiri tempat-tempat yang memberi harapan akan keberadaannya, apa pun yang terjadi. Kalian bertekad untuk menemukannya, dalam keadaan hidup atau mati. Dalam kondisi lelah fisik dan mental, kalian terus mencari, dengan hati yang hancur namun penuh harap.

Rheza, seringkali saya bertanya-tanya, sudah benarkan kami menugaskan kalian ke tempat-tempat terpencil yang penuh dengan tantangan itu? Sudah tepatkah keputusan kami memilih anak-anak muda yang kami nilai mampu mengabdi di daerah-daerah tersebut? Tidakkah itu terlalu berat bagi mereka? Tidakkah itu merupakan beban yang berlebihan bagi pundak-pundak muda mereka?

Termasuk keputusan kami untuk menugaskan kamu ke Maluku Barat Daya (MBD), ke sebuah pulau terpencil bernama Mdona Hyera. Saya melihat kamu adalah sosok yang kuat, bertahun-tahun tertempa dalam organisasi pecinta alam yang memberimu pengalaman berat secara fisik dan mental. Kamu pasti bisa menghadapi rintangan seberat apa pun. Saya yakin kamu mampu menghadapinya. Dan keyakinan saya itu benar. Kamu berjuang dengan segala yang kamu punya, dengan segala tenaga dan pikiran kamu, untuk mendidik anak-anak murid kamu. Kamu berjuang mengatasi semua rintangan yang datang dari segala penjuru, berupa sakit, minimnya dukungan masyarakat, dan juga rasa rindumu pada kampung halaman. Kamu terus berjuang meski dengan hati yang diliputi kesedihan dan ketakutan. Kamu tetap tegar meski air mata tumpah karena kepedihan demi kepedihan yang terus-menerus bergantian menerpamu. 

Puncaknya adalah saat musibah itu terjadi menimpa Isnaeni. Tahukah kamu, Rheza, sampai saat ini, saya masih terngiang-ngiang suara Wahyu Puspita yang menelepon dari Tiakur mengabarkan musibah itu. Tangisnya menyiratkan betapa sedih dan hancur hatinya. Juga suara parau ayahanda Isnaeni, Bapak Ali Mashar, saat saya mengabarkan bahwa Isaneni tenggelam dan sedang dalam pencarian. Di antara riuh-rendah suara anak-anak muridnya, beliau mendengarkan penjelasan saya, dan dengan suaranya yang tertahan-tahan karena kesedihan, beliau menanyakan bagaimana kejadian musibah itu. Juga mengamini, saat saya melantunkan doa, semoga Isnaeni segera ditemukan dalam keadaan selamat.

Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti paham betul, program SM-3T ini adalah program yang sangat berisiko. Medan yang begitu berat, budaya masyarakat yang masih sangat tradisional, malaria yang mengancam tak kenal waktu, dan kerinduan yang tak tertanggungkan pada kampung halaman. Sepanjang pengalaman saya mendampingi program ini, malaria adalah makanan wajib bagi kalian. Kalian jatuh bangun karena penyakit endemik ini, bahkan nyaris kehilangan nyawa karenanya. Penyakit ini membuntuti kalian ke mana pun kalian pergi. Menunggu kalian di setiap sudut mana pun yang kalian jangkau. Menggerogoti fisik dan mental kalian, membuat kalian nyaris putus asa. 

Namun semangat untuk berjuang dan mengabdi itu seperti menjadi nyawa cadangan kalian, yang membuat kalian tetap bisa bertahan hidup. Suara anak didik yang memanggil-manggil kalian dengan sebutan 'pak guru' dan 'bu guru' adalah suara dari surga yang membangkitkan asa dan menyalakan api perjuangan kalian. Dalam kondisi antara hidup dan mati, kalian dibawa melintasi bukit dan menembus belantara serta menyeberangi samudera, mencari pertolongan untuk menyelamatkan nyawa kalian. Hanya api perjuangan itulah, yang terus dihembuskan oleh Dzat Yang Maha Kuasa di dalam relung-relung hati dan mengaliri darah di seluruh tubuh kalian, yang membuat kalian selalu hidup, dan bersedia selalu ada untuk anak-anak itu.  

Tidak hanya malaria. Swanggi, nai, dan banyak hal magis lain, juga melolosi sedikit demi sedikit kekuatan kalian. Tiba-tiba saja sekujur tubuh kalian terpapar sakit yang tak jelas namanya, sakit yang merusak kulit, menyakiti perut, membuat kepala kalian berat, tubuh lemas, bahkan merusak jiwa dan pikiran kalian. Kadangkala darah keluar dari mulut dan hidung, tak henti-henti, dan tak ada ahli medis mana pun yang bisa menghentikannya. Akhirnya  kalian harus dievakuasi dan diberi perlakuan khusus untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental kalian. 

Astaghfirullah. Saya seringkali hanya bisa terpekur dengan semua yang terjadi, merasa prihatin, berdosa, dan trauma. Saya hanyalah seorang ibu, yang tidak tahan saat mendengar kepedihan dan ketakutan anak-anaknya, lebih-lebih karena saya juga mengambil peran dalam semua kepedihan dan ketakutan kalian. Saya hanya bisa menyapa kalian dengan doa-doa saya, menghibur kalian dengan kata-kata manis saya, dan menyemangati kalian dengan keyakinan penuh bahwa kalian akan cepat pulih dan semuanya akan kembali baik-baik saja. 

Ternyata tidak sampai di situ. Tiba-tiba saja musibah itu terjadi. Isnaeni tenggelam saat menumpang perahu yang akan membawanya menunaikan tugas. Empat hari kemudian jenazahnya baru ditemukan. Ya Allah, maafkan hamba-Mu. Sayalah yang paling bersalah dalam musibah ini. Sayalah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua yang terjadi. Saya yakini semua musibah semata-mata karena takdir-Mu. Namun, Ya Allah, sayalah yang mengambil keputusan ke mana saya harus menugaskan mereka. Adakah keputusan yang saya ambil ini atas bimbingan-Mu, Tuhan? Bila demikian, maka bimbinglah juga mereka selalu dalam lindungan-Mu, jauhkan mereka dari penyakit dan segala marabahaya. Izinkan mereka kembali pulang, tetap dengan seutuhnya kesehatan dan kekuatan mereka, dan bertemu kembali dengan keluarga dan kampung halaman.

Rheza, jujur, benak saya dipenuhi rasa bersalah. Dalam sisa ketegaran yang saya punya, saya berusaha untuk menghibur diri sendiri. Program ini adalah program mulia. Ada jiwa-jiwa kecil yang memerlukan uluran tangan kita. Kalianlah yang mereka tunggu. Pak Guru dan Ibu Guru yang mengajar dengan hati. Yang tak pernah menampakkan raut muka marah di wajahnya. Yang tak pernah membawa rotan di tangannya. Yang selalu ada untuk mendengar cerita dan keluh-kesah mereka. Yang merangkul tubuh-tubuh kecil dekil itu dengan sepenuh cinta. Dan selalu meyemaikan cita-cita dan masa depan yang indah.

Program ini merupakan harapan kita. Tidak hanya untuk mengatasi kekurangan guru dan disparitas pembangunan pendidikan di republik yang luas ini. Namun juga untuk membangun ke-Indonesiaan. Rheza, kamu dan kawan-kawan pasti sudah melihat dengan mata kepala kalian sendiri, betapa anak-anak dan masyarakat di wilayah-wilayah 3T itu begitu rindu akan sentuhan, haus akan sapaan. Mereka juga menghadapi ancaman disintegrasi dan seringkali berada dalam situasi  tertekan karena kondisi keamanan yang parah. 

Dan kalian, adalah para pendamai bagi mereka. Duta NKRI. Kalian adalah bukti bahwa sesungguhnya NKRI tidak melupakan mereka. Ya, kalianlah buktinya. Kalian datang untuk menyapa dan memberi sentuhan. Mengetuk hati setiap jiwa yang kosong, mengisinya penuh-penuh dengan semangat hidup dan keceriaan. Kalian seperti pelita yang menyala menerangi kegelapan yang telah bertahun-tahun melingkupi mereka. 

Seperti itu, tegakah kita mengabaikannya? Tegakah kita menutup mata dan tak memerdulikannya? Seringkali kita jengkel dengan sambutan pejabat pemerintah daerah yang tidak simpatik, jengkel pada sikap tak kooperatif guru-guru asli daerah setempat. Namun teriakan anak-anak itu seperti memanggil-manggil kita untuk mendekat dan memeluk mereka. 

Jadilah kita semua berada di sini, berkomitmen pada program ini. Apa pun yang terjadi, kita harus turun. Menjejakkan kaki di tanah-tanah terdepan dan terluar itu, meski nyawa taruhannya. Isnaeni bukanlah yang pertama merelakan hidupnya untuk program ini. Ada nama-nama lain yang telah mendahului. Dan mereka semua gugur sebagai pahlawan, sebagai syuhada. 

Meski kesedihan kita begitu berat, namun kita sudah bertekad, perjuangan harus terus berlanjut. Tak ada kata mundur. Isnaeni dan semua yang telah pergi akan berbangga karena kita tetap melanjutkan perjuangan mereka. 

Rheza, saya bersyukur, kamu dan kawan-kawan seperjuanganmu begitu kuat, begitu tegar. Kalian mengendapkan keraguan dan rasa bersalah saya. Kalian menghapus kepedihan dan trauma di hati saya. Bersama kalian, saya yakin, kita akan kuat menghadapi segalanya. 

Saya juga bersyukur, Rheza, kamu bisa bertahan untuk tetap tidak mau terlibat dalam kecurangan UN. Meski kepala sekolah mempersoalkan keteguhanmu untuk tidak mau membuat jawaban soal-soal UN, dan guru-guru menyindirmu dengan sindiran-sindiran pedas, kamu bergeming. Hebat, Rheza, kamu hebat. Tidak banyak anak muda yang setegar kamu dalam urusan UN. Saya bangga dan sangat respek padamu.  

Demikianlah, Rheza, maka telah kubalas suratmu. Lega rasanya bisa menuntaskan ini. Terima kasih sudah menjadi bagian dari program pengabdian ini. Terima kasih untuk kalian semua yang punya jiwa keterpanggilan dan kesepenuh hatian untuk melayani. Kalian adalah mutiara indah yang dimiliki negeri ini. Teruslah bersinar dan teruslah menyinari. 

Rheza, salam hangat dan rinduku untukmu dan untuk kalian semua. Tiga bulan lagi kita bertemu, semoga kalian semua baik-baik saja. Tetap dengan semangat mengabdi dan memelihara cita-cita kalian sebagai guru. 

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan meridhoi setiap langkah kita. Amin YRA.

Salam hangat,
Mbak Ella

Bidakara Hotel, Jakarta, 4 Juni 2015 

Minggu, 10 Mei 2015

Aceh Singkil Lagi 2: Kadisdik yang Gemar Membaca

Ini adalah kali kedua saya menjejakkan kaki di pulau ini. Namanya Pulau Balai, Kecamatan Pulau Banyak. Mendung dan badai di ujung perjalanan laut tadi mengantarkan speedboat kami mendarat di dermaga kecilnya. Sedikit kecemasan langsung sirna begitu menjumpai wajah-wajah ramah yang menyambut. Mereka adalah para kepala sekolah, guru, dan peserta SM-3T di Pulau Balai ini.

Sungguh beruntung saya dan teman-teman tim monev SM-3T Unesa. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh Singkil, Yusfit Helmi, S.Pd, sengaja menjadwalkan agenda kunjungan kerjanya bersamaan dengan kunjungan monev kami. Dengan begitu kami bisa mengirit banyak biaya, dan--tentu saja--dengan tambahan berbagai fasilitas, akomodasi dan konsumi gratis. Yang lebih penting lagi, kami bisa mengunjungi banyak sekolah, bahkan semua sekolah yang ditempati para guru SM-3T di Pulau Banyak. Juga, karena kunjungan monev ini bareng dengan kunjungan kerja Kadisdik, maka berbagai problem pendidikan yang diutarakan oleh guru dan kepala sekolah dapat kami rekam juga. 

Dalam rombongan, ada Kadisdik dan jajarannya, kabid program, kabid dikdas, kasi sarpras, dan kasek SMK Kuba. Kasek SMK Kuba sengaja diikutkan dalam rombongan karena beliau sekaligus mensosialisasikan dan mempromosikan SMK Kuba. Menurut kasek, siswa SMK Kuba terbanyak justeru berasal dari Pulau Banyak.

Sekitar pukul 09.00, kami sudah berada di ruang guru SMP Pulau Banyak. Dua tahun yang lalu, tepatnya pada 1 Februari 2013, saya bersama tim monev berada di ruang ini juga. Keadaannya tidak banyak berubah, hanya dindingnya saja yang saat ini terlihat lebih bersih, dan lantainya berlapis karpet plastik. Selebihnya hampir sama.    

Di depan kami, ada kepala sekolah SMP Pulau Banyak, kepala sekolah PAUD, kepala sekolah SD, dan kepala sekolah SMA. Juga belasan guru peserta SM-3T Unesa dan UNP. Satu kepala sekolah lagi, yaitu kepala sekolah SMP Satap Teluk Nibung, tidak ikut hadir di sini, tetapi menunggu kami di sekolahnya, di Teluk Nibung sana.
  
Banyak hal yang dikemukakan dalam pertemuan kunjungan kerja kadisdik dan monev SM-3T ini. Yang jelas, sebagaimana di setiap tempat yang kami kunjungi, selalu terlontar harapan dari hampir semua yang hadir tentang keberlanjutan program SM-3T. Para guru SM-3T dinilai telah begitu banyak berjasa dalam membantu memajukan pendidikan di Pulau Banyak, dan mereka berharap, program ini dapat terus berlanjut. 

Kepala SDN 1 Pulau Balai misalnya, menyatakan sangat mendukung program SM-3T, karena guru SM-3 memberikan kontribusi yang sangat tinggi pada sekolah, dan oleh sebab itu, program ini jangan terhenti. Kepala Sekolah SDN Teluk Nibung juga menyampaikan hal yang sama, dan menambahkan, sejak ada guru SM-3T, guru-guru bisa belajar komputer setiap hari Jumat sore, dan juga ada kegiatan pramuka secara rutin di sekolah. 

"Kedatangan guru-guru sangat bermanfaat, sangat membantu memajukan pendidikan di Pulau Balai ini, jadi mohon supaya program ini dapat terus dilanjutkan. Demi kemajuan pendidikan, khususnya di Pulau Balai ini."

Sementara itu, berbagai keluhan disampaikan kepada kepala dinas oleh para guru dan kepala sekolah. Terutama tentang kondisi sarana prasarana sekolah yang sebagian besar sangat memprihatinkan. Juga kekurangan guru. Kadisdik sengaja membawa jajarannya dalam kegiatan ini, supaya apa pun yang disampaikan oleh guru dan kepala sekolah bisa langsung dicatat, diobservasi, dan dibuat rencana tindak lanjut serta prioritas program. 

Sambil mengikuti acara dan memperhatikan berbagai keluhan yang disampaikan guru dan kepala sekolah, saya berharap semoga apa yang dilakukan kadisdik dan jajarannya ini bukan sekadar formalitas. Bukan hanya untuk 'show of performance' di depan kami, tim monev SM-3T.
Tempo hari, saat masih tahap koordinasi agenda monev, kadisdik mengatakan pada saya, kalau dua tahun yang lalu saya dan tim datang ke Aceh Singkil dan menjadi tamu Pak Dasir, staf beliau yang mendampingi kami untuk melakukan kunjungan monev, maka kali ini, kami akan menjadi tamu beliau. Beliau akan sepenuhnya mendampingi dan memastikan semua kebutuhan transportasi dan akomodasi kami selama berada di Aceh Singkil. Secara berseloroh, beliau bilang: "Nanti biar tulisan Prof Luthfi tentang Aceh Singkil jadi baik." 

Tentang tulisan, saya senang sekali karena Kadisdik ternyata suka membaca. Buku saya berjudul "Berbagi di Ujung Negeri" langsung dibacanya tuntas begitu saya memberikannya, sekitar setahun yang lalu, saat rapat koordinasi di Jakarta. Semalam pun, beliau sampai tertidur sekitar pukul 03.00 karena menghabiskan satu dari tiga buku yang kami bawakan sebagai oleh-oleh: "Untukmu Indonesia, Inilah Langkah Kecil Kami". Kisah tentang pengalaman pengabdian para peserta SM-3T di Aceh Singkil yang disunting oleh sahabat saya Drs. Jack Parmin, M.Pd,  itu.

Yang juga menarik, buku itu ternyata menjadi data penting bagi beliau. Kalau selama ini beliau mendengar laporan tentang kondisi sekolah, guru, siswa, hanya dari staf atau kepala sekolah dan pengawas, maka tulisan di buku itu juga menjadi laporan yang lebih memiliki nilai orisinalitas yang tinggi. Dalam dialognya dengan semua stakeholder pendidikan di Pulau Balai ini, beliau mempertanyakan: "Kenapa beberapa guru SM-3T menulis, bahwa masih banyak anak sekolah yang tidak bersepatu? Bukankah selama ini kita punya program pengadaan ribuan sepatu untuk anak sekolah? Bukankah selama ini laporan yang saya terima mengatakan kalau semua anak sekolah di Aceh Singkil ini sudah bersepatu?" 

Beliau juga menambahkan: "Saya seperti tidak percaya dengan kondisi yang sebenarnya, kalau saja saya tidak membaca laporan dari buku itu."

Kadisdik yang gagah, tinggi besar dan berkulit hitam itu, ramah sekali. Tidak hanya ramah, tapi beliau juga suka membaca. Bagi saya, itu sangat membanggakan. Terus-terang, saya tidak banyak menemui pejabat dinas yang suka membaca. Buku-buku yang kami bawakan sebagai oleh-oleh, entah disimpan di mana. Entah diapakan. Padahal kalau mau, tulisan di dalamnya adalah tulisan-tulisan yang bisa dimanfaatkan sebagai dasar untuk menyusun kebijakan pembangunan bidang pendidikan di wilayahnya,

Dalam sambutan saya, secara jujur saya melontarkan kekaguman saya pada kadisdik, sebagai seorang pejabat yang tidak alergi pada kritik, serta mau membuka diri atas kenyataan yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Tulisan para guru SM-3T adalah tulisan yang polos khas anak muda. Apa adanya. Tidak ada dramatisasi, tidak ada manipulasi. Menjadi alat untuk mengabarkan kondisi pendidikan di tempat-tempat penugasan mereka, termasuk di Aceh Singkil. Tidak hanya untuk mengetuk pintu hati pemerintah kabupaten, namun juga pemerintah pusat, dan semua stakeholder pendidikan, mengetuk hati kita semua. Jadi kalau kadisdik membaca tulisan-tulisan itu, dan menganggapnya sebagai bahan evaluasi untuk kinerjanya, maka buku-buku itu adalah salah satu sumber data otentik.

Hari ini kami akan menghabiskan waktu di Pulau Banyak. Masih ada Teluk Nibung yang kami harus mencapainya dengan menumpang speedboat. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar lima belas menit dari Pulau Balai. Dengan suguhan pemandangan laut yang indah. Barisan nyiur melambai di atas hamparan garis pantai yang putih berkilau.  

Di antara waktu-waktu kunjungan, Mas Syamsul Sodiq, membuat sebuah pantun, yang saya baca saat pamit dari SMP Pulau Banyak. 

"Pergi berlayar ke Pulau Balai
Bertemu saudara di Pulau Banyak
Mari kita berjuang dan terus berbagi
Semoga ridha dan berkah untuk semua."


Pulau Banyak, Aceh Singkil, 21 April 2015

Wassalam,
LN

Jumat, 08 Mei 2015

Pulang Kerja

Subuh baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar nomor 723 tempat saya menginap selama tiga hari ini, dalam rangka menghadiri undangan dari Komisi Nasional untuk Unesco. Agenda pertemuan adalah pembahasan satu dari lima prioritas aksi Unesco ESD GAP, tentang peningkatan kualitas pendidikan calon guru. Bersama beberapa guru besar dari lima LPTK, dari Unesa adalah Prof. Muchlas Samani dan saya, selama tiga hari itu kami berdiskusi di salah satu ruang di lantai 3 Hotel Millenium ini.

Lorong menuju lift sepi. Karpet tebal yang menghampari lantainya meredam suara detak sepatu saya. Seorang diri saya menguasai lift yang membawa saya turun ke lobi.

"Check out, Mas." Saya meletakkan kunci kamar di depan petugas front desk. Sambil mengucapkan terima kasih sudah membangunkan saya tepat pukul 04.00 tadi, sesuai pesanan saya semalam. Petugas itu tersenyum ramah dan mengucapkan selamat jalan.

Begitu keluar dari pintu lobi, seorang petugas menyambut saya. "Taksi, Bu?"
"Ya, Mas."
Dia langsung menuju sudut, memanggil sebuah taksi lewat sebuah alat komunikasi. Suasana sepi, sejuk, cukup dingin.

Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depan kami. Petugas membukakan pintunya, dan keluarlah dua orang perempuan muda. Cantik dan seksi. Busana hitam membalut tubuh mereka yang dibiarkannya terbuka di sana-sini. Belahan dada nampak dengan leluasa, begitu juga dengan bagian samping kanan kiri dadanya. 

Saya bergidik. Bukan karena apa-apa. Hanya membayangkan, betapa dinginnya udara pagi ini, dan dengan busana 'you can see' seperti itu, tidakkah mereka merasa kedinginan?

Ini bukan pertama kali pemandangan seperti itu saya lihat. Sudah berkali-kali, hampir setiap kali saya pulang kerja seperti sekarang ini. Pernah suatu ketika saya dibuat terkagum-kagum melihat penampilan seorang perempuan muda yang tidak hanya mengenakan busana minim, namun juga tipis transparan. Dandanannya seronok. Mengundang siapa pun untuk memandanginya dengan decak kekaguman atau decak yang lain. Kecuali bagi para lelaki yang ingin selalu berusaha menjaga pandangannya. Tapi, sungguh, saya tidak yakin, lelaki manakah--sealim apa pun dia--yang ingin melewatkan suguhan kemolekan tubuh yang begitu indah? Bukankah mengagumi keindahan ciptaan Tuhan juga dianjurkan oleh agama? Begitulah kata seorang teman 'alim' saya suatu ketika.

"Mereka juga baru pulang kerja, seperti kita." Kata saya pada teman saya saat itu. Dengan penuh keprihatinan. Ya, prihatin. Dengan penampilan seperti itu, dan berkeliaran masuk hotel menjelang pagi, entah apa yang mereka lakukan semalaman. Juga malam-malam yang telah mereka lewati sebelumnya. Yang jelas, mereka tidak sedang pulang dari kantor bank atau dari kantor dinas. Apa lagi dari pengajian atau istighotsah.

Entahlah. Meski nampaknya para perempuan itu baik-baik saja dan wajahnya memancarkan kebahagiaan, siapa tahu dalam hati dan pikiran mereka. Bisa jadi mereka seperti para perempuan yang digambarkan oleh Titik Puspa dalam lagunya yang mengisahkan kehidupan kupu-kupu malam. "Kadang dia tersenyum dalam tangis, kadang dia menangis di dalam senyuman..." Atau memang mereka merasa 'nothing wrong' dalam kehidupan mereka dan bahkan bangga bisa menjadi penghibur dan membahagiakan para lelaki tak kuat iman. 

Apa pun, saya tetap merasa sangat prihatin. Mereka kaum saya. Para perempuan yang seharusnya menjaga diri dan martabatnya. Menjaga kehormatannya. Menjadi ibu bagi anak-anaknya dan menjadi istri sholehah bagi suaminya. Entah di mana anak dan suami mereka saat ini, sementara mereka mengais rezeki dari belas kasihan para lelaki hidung belang sepanjang malam.

Lagu Titik Puspa kembali mengalun di benak saya. "Dosakah yang dia kerjakan. Sucikah mereka yang datang...."

Taksi pesanan saya tiba. Dua orang petugas bergerak. Satu mengangkat koper kecil saya, satunya lagi membukakan pintu taksi. Saya menyelipkan selembar uang ke tangan mereka masing-masing dan mengucapkan terima kasih. 

Ini hari Jumat. Saya ingin mengawali hari baik ini dengan melakukan hal-hal baik. Konon, kalau Anda memulai hari Anda dengan hal-hal yang baik, maka sepanjang hari itu, kebaikan-kebaikan akan terus mengalir menghampiri Anda. Apa lagi di hari Jumat. Namun jangan demi itu semua kita berbuat baik, kecuali--semata-mata--hanya demi mendapatkan ridho dan kasih sayang-Nya.

Happy Friday....

Garuda Lounge, Soetta, 8 Mei 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 23 April 2015

Mengujungi Kuba

Pagi ini, sekitar pukul 09.30, saat saya masih terlelap, saya dikejutkan oleh sebuah telepon. Dengan malas, saya raih ponsel di atas meja di sebelah kiri saya.

"Assalamualaikum, Bu Prof..."
"Waalaikum salam...."
"Masih istirahat?"
"Ya..." Suara saya mungkin seperti suara orang setengah mabuk. "Tadi pukul setengah enam baru masuk penginapan...." Lanjut saya.
"Baik. Saya hanya ingin sampaikan, bupati rupanya sudah berangkat tadi malam ke kegiatan lain. Tapi saya sudah melapor ke sekda, kalau hari ini kita akan menghadap."
"Melapor ke sekda?"
"Ya, betul."
"Melapor bagaimana?"
"Ya, melapor kalau hari ini kita akan menghadap."
"Lho?"
"Maaf, Bu Prof, saya sudah di lobi."
"Di lobi?" Saya langsung 'jenggirat'. Ya Allah, saya ini ada di mana?"
"Maaf, ini pak kadiskah?"
"Betul, Bu Prof."
"Oh, maaf, Bapak.... Maaf, saya belum sepenuhnya sadar ini." Kepala saya terasa berat. "Maaf, Bapak....nyawa saya belum kembali semua ini...."
Pak Kadis tertawa keras.
"Baik, tidak apa-apa, Bu Prof. Saya tunggu di lobi."

Maka saya pun 'njrantal' ke kamar mandi. Untungnya, tadi pagi, begitu masuk penginapan, saya langsung mandi. Mbak Ully juga. Semalaman berada dalam perjalanan dari Medan ke Aceh Singkil membuat tubuh seperti 'katutan' macam-macam, sehingga begitu ketemu air, maunya langsung membersihkan badan.

Jadi kalau sekarang kami tidak mandi, memang kami tidak perlu mandi lagi. Apa lagi Pak Kadis sudah menunggu di lobi. Waduh, bisa kualat kami nanti kalau membuat beliau menunggu terlalu lama.

Bertiga kami keluar menemui Pak Kadis dan stafnya, kabid program. Berbincang sebentar, dan berangkatlah kami. 

Saya, Bu Ully, dan Mas Syamsul (Dr. Syamsul Sodiq, Kajur Pendidikan Bahasa Indonesia), masuk ke mobil dinas yang semalam menjemput kami dari Bandara Kualanamu Medan dan membawa kami menuju penginapan ini. Pak kadis, Yusfit Elmi, S.Pd, duduk bersebelahan dengan driver di depan. Pak kabid duduk di jok belakang.

Tujuan kami pagi ini adalah Kuala Baru. Namun sebelum ke sana, kami menuju kantor kabupaten, dan bertemu sekda, Drs. Azmi. Berkenalan dan berbincang sebentar tentang Program SM-3T dan masukan-masukan sekda untuk kepala dinas dalam melayani dan merespon program tersebut. Juga harapan-harapannya untuk keberlanjutan program. Juga kekagumannya pada semangat pengabdian para guru SM-3T. Dari apa yang dikatakannya, nampaknya Bapak Sekda ini cukup memahami apa itu Program SM-3T.  

Dari kantor kabupaten, kami langsung menuju ke Kuala Baru. Di sana ada SMK 1 Kuala Baru dan dua anak kami, peserta SM-3T, bertugas. Kami akan mengarungi Sungai Singkil, sungai terbesar di Aceh Singkil, untuk mencapai Kuala Baru. 

Cerita tentang Sungai Singkil yang diapit rawa-rawa sudah sering kami dengar. Rawa-rawa itu luasnya sekitar 5000 ha dan menjadi paru-paru dunia. Juga cerita tentang buaya predator yang tak jarang memakan korban manusia. Setahun ini ada dua orang sudah dimangsanya, dan satu orang yang nyaris menjadi mangsa. Para predator itu ada di sepanjang sungai, di rawa-rawa, berjemur, sambil menunggu korban.

Kami bertujuh menaiki spreedboat. Sekitar empat puluh menit perjalanan dari Singkil ke Kuba, singkatan dari Kuala Baru. Tak terbayang sebelumnya saya akan mengunjungi Kuba, dan berspeedboat bersama Fidel Castro-nya, yaitu Kepala Sekolah SMK 1 Kuba.

Panas menyengat. Suhu di Aceh Singkil jauh lebih panas daripada di Surabaya. Syukurlah saya sudah terbiasa dengan suhu panas. Kulit hitam saya adalah bukti kalau saya tahan panas.

Sungai penuh, dan airnya meluber memenuhi rawa-rawa di sepanjang bantaran sungai. Untunglah. Pak Kadis bilang, kalau air penuh seperti ini, buaya tidak keluar. Artinya, perjalanan jadi lebih aman.

Bicara tentang keamanan dalam perjalanan laut dan sungai, tempo hari sebelum berangkat, saya sudah wanti-wanti pada pak Kadis, supaya kami disiapkan pelampung. Tapi beliau bilang: "Saya kira itu tidak perlu, Bu Prof...kita hanya mengarungi sungai." Dan saya tetap ngotot minta disediakan pelampung. Enteng saja beliau bilang..."Itu hanya mengarungi sungai?" 

Beliau menyanggupi, tapi ternyata itu sekadar menghibur hati saya saja. Saat ini kami berspeedboat tanpa pelampung, dan saya agak bergidik melihat air sungai yang coklat keruh itu  melimpah sementara tepi sungai berjarak puluhan bahkan mungkin ratusan meter dari speedboat kami. Itu pun, berupa rawa-rawa. Kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk, entah bagaimana kami bisa menyelamatkan diri, sementara di antara kami tidak semua bisa berenang. Tidak, insyaallah itu tidak akan terjadi. Lihatlah, driver speedboat itu begitu lihai. Meski kadang-kadang speedboat terasa miring ke kanan atau ke kiri, dia begitu tenang, dan mengesankan semua baik-baik saja. Sesekali dia mengurangi kecepatan speedboat saat berpapasan dengan robin. Laju speedboat yang menyebabkan air sungai bergelombang membahayakan keselamatan robin, si perahu kecil itu.

Robin, adalah sebutan utk perahu bermotor kecil yang biasa digunakan masyarakat setempat untuk melakukan perjalanan dari Kuba ke Singkil dan sebaliknya, dengan ongkos Rp. 10.000,- untuk sekali jalan. Dinamakan robin, sebenarnya karena mesin perahu itu merk-nya robin. Seperti banyak orang menyebut yamaha atau honda untuk sepeda motor, sanyo untuk pompa air, dan aqua untuk air mineral, dan sebagainya.
    
SMK Negeri 1 Kuba merupakan SMK Kelautan dan Perikanan. Memiliki 80 siswa, dengan sebanyak 22 guru dan tenaga kependidikan. Bukan sekolah yang buruk, meski dia berada di kecamatan tertinggal. Kuba dikelilingi oleh sungai dan laut, dan satu-satunya tempat mengungsi bila terjadi gempa adalah masjid. Belum ada akses keluar kampung yang luasnya hanya sekitar 14 km persegi itu selain melalui sungai menuju Singkil.

Singkil adalah tempat terdekat untuk berbelanja keperluan sehari-hari masyarakat Kuba. Juga tempat terdekat bagi anak-anak kami, Wenni dan Dewi, untuk mengambil insentif bulanannya. Sebulan sekali mereka menumpang robin ke Singkil dan berbelanja keperluan bulanan mereka. Mereka tinggal di mes sekolah dan memasak sendiri. 

SMK 1 Kuba berada di ujung kampung dan sekitar 500 meter dari sekolah adalah kampung nelayan. Di lokasi tertinggal itu hanya ada 2 SD, 1 SMP, dan 1 SMK. Bukan persoalan mudah menyedot animo masyarakat yang hanya terdiri dari sekitar 60 KK itu untuk masuk sekolah. Kalau siswa SMK saat ini bisa mencapai 80 siswa, itu bukan karena kebetulan. Tapi salah satunya karena promosi  gencar yang dilakukan oleh kepala sekolah yang masih muda itu. Selain itu, karena outcome sekolah dinilai cukup baik oleh masyarakat. Tahun kemarin, sekolah berhasil mengeksport sejumlah lulusannya ke perusahaan di China dan Argentina. Sekolah juga sudah melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan di Medan dalam rangka penyaluran lulusan, selain juga sebagai tempat  untuk praktek industri.  

Kami pamit dari SMK Negeri 1 Kuba sekitar pukul 14.30, setelah makan siang dengan menu nasi putih, sayur kangkung, dan pepes ikan. Menu yang lezat pada saat yang tepat. Sejak pagi belum ada sebutir nasi pun yang masuk mulut. Tidak ada waktu untuk sarapan karena begitu bangun tidur kami sudah langsung berkegiatan.

Di bawah terik matahari yang panas menyengat, kami kembali berspeedboat menuju Singkil. Mengarungi sungai yang airnya coklat keruh dan ribuah hektar rawa mengapitnya. Mungkin ada puluhan atau ratusan buaya predator sedang mengintai. Namun ada Dia Yang Maha Memberi Keselamatan yang selalu melindungi.  

Aceh Singkil, 20 April 2015

Senin, 06 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (4): Dihormati sebagai Pahlawan

Pagi masih gelap ketika saya keluar dari kamar di lantai 7, turun ke lobby, dan meminta tolong resepsionis untuk memanggilkan taksi. Semalam, rapat dengan P2TK Dikdas, terkait dengan persiapan perekrutan calon pendidik yang akan ditugaskan di Sabah dan Mindanau, selesai, dan pagi ini kami bisa checkout dari Golden Boutique Hotel di kawasan Blok M Melawai ini.

Sampai di lounge Bandara Soekarno Hatta, sebuah telepon masuk. Dari Prof. Supriyadi Rustad, Direktur Direktorat Pendidik dan Tenaga Pendidikan. Sejak kemarin beliau telah beberapa kali menelepon saya untuk meminta update perkembangan upaya pencarian Moh. Isnaeni. Kami juga sudah dua kali bersurat kepada beliau untuk mengabarkan kondisi secara tertulis. Kondisi di lapangan saya mintakan ke Wahyu dan beberapa petugas di MBD, termasuk asisten bupati.

"Bu Luthfi, terima kasih untuk laporan tertulisnya yang sudah kami terima. Perkembangan terakhir bagaimana, Bu Luthfi?" Begitu tanya Pak Direktur.

"Inggih, Bapak. Kemarin sore Isnaeni sudah ditemukan, meninggal."

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un."

"Keluarga sudah diberitahu juga, Bapak. Juga sudah ikhlas jika jenazah Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan."

"O begitu. Baik. Terus rencana selanjutnya?"

"Kami sudah berkoordinasi dengan Pemda. Kalau perjalanan normal, kapal yang ditumpangi Tim Unesa dan keluarga Isnaeni baru tiba di Tiakur besok, Bapak. Tapi rencananya, sebelum sampai Tiakur, rombongan akan turun, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Tiakur dengan menumpang speedboat. Bila kondisi laut memungkinkan, maka sore atau malam nanti, rombongan bisa tiba di Tiakur. Sementara jenazah Isnaeni pagi ini akan dibawa dari Pulau Luang ke Tiakur. Sampai di Luang diperkirakan sore hari juga. Dengan demikian, pemakaman Isnaeni bisa dihadiri oleh Tim Unesa dan keluarga Isnaeni."

"Pagi tadi, Kepala Dinas Pendidikan dan Asisten Bupati sudah menelepon saya, bahwa jenazah akan dishalatkan di rumah Bapak Kepala Dinas, dipimpin oleh imam masjid Tiakur. Begitu juga dengan acara tahlilan, semuanya sudah disiapkan di rumah kepala dinas." Saya menambahkan.

"Baik, Bu Luthfi, terima kasih. Sekitar pukul 08.00 ini nanti, kami akan konferensi pers."

Sementara menunggu boarding, saya berkoordinasi dengan Bu Yanti, PD II PPPG, tentang rencana ke rumah keluarga Isnaeni di Jember. Sayang sekali hari-hari ini Tim PPPG sedang tersebar di berbagai wilayah untuk menjalankan tugas monev SM-3T dan Jatim Mengajar. Maka saya memutuskan, saya yang akan berangkat ke Jember, mungkin dengam Bu Ully, kasubag PPPG. 

Begitu turun di Terminal 2 Bandara Juanda, saya bersama Bu Ully, Anang dan Juliar, langsung meluncur menuju Jember. Sebenarnya tubuh saya lelah sekali, tapi keperluan ke Jember juga tidak baik kalau ditunda. Sore atau malam ini Isnaeni akan dikuburkan. Sementara ayah dan kakaknya masih berada di MBD untuk menghadiri pemakamannya, biarlah kami yang di sini menemani Ibunda Isnaeni yang pasti sedang dirundung duka mendalam karena kehilangan anak bungsu tercintanya, tanpa bisa menyaksikan pemakamannya.

Sekitar pukul 16.30, kami sudah tiba di rumah duka, di Desa Balung Kulon, Jember. Dipandu oleh tiga peserta SM-3T angkatan pertama, yang kebetulan mereka berasal dari Jember dan Banyuwangi. 

Rumah duka itu, menempel pada sebuah sekolah. Di sekolah itulah Bapak Ali Mashar, ayah Isnaeni, mengajar sebagai guru agama. Saat saya menelepon beberapa hari yang lalu, untuk mengabarkan tentang musibah yang menimpa Isnaeni, beliau juga sedang berada di kelas, dan suara anak-anak sekolah terdengar begitu jelas.

Puluhan pentakziyah memenuhi rumah duka. Begitu kami tiba, mereka berdiri menyalami kami. Di atas tikar yang digelar di ruang tamu yang tidak luas itu, duduk seorang perempuan setengah baya, bergamis dan berhijab. Matanya sayu, kelopak matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, namun masih tersisa kepasrahan dan ketegaran terpancar dari wajahnya yang berduka. Dia mengulurkan tangan saat saya mendekat, dan dengan sepenuh hati, saya memeluk tubuhnya. 
"Nderek belosungkowo, nggih, Bu..." Saya merasakan tubuhnya bergetar. "Ikhlas nggih, Bu, insyaallah Mas Isnaeni chusnul chotimah. Mas Is gugur sebagai syuhada."
"Inggih, Bu. Amin. Matur nuwun." Ucapnya lirih.

Kami duduk di atas tikar, menemani ibunda Isnaeni menyambut para pentakziah yang datang silih berganti. Beliau memperkenalkan saya pada tamu-tamunya sebagai dosennya Isnaeni. 

Sementara itu, update situasi di MBD terus saya terima, bergantian dari Pak Gayus dan Bu Maria. Beberapa waktu yang lalu, mereka semua bersama masyarakat Tiakur, sedang berada di pelabuhan, menunggu jenazah Isnaeni. Saat ini, jenazah sudah tiba, dan sedang disemayamkan di rumah Kadis, sambil menunggu rombongan keluarga datang. 

Saya sempat berkomunikasi dengan Wahyu, apakah di Tiakur banyak muslimnya. Wahyu bilang, tidak banyak, tetapi ada masjid dan ada imam masjid yang akan memimpin salat jenazah. Juga ada puluhan peserta SM-3T dari Unesa dan UNP yang sengaja datang ke Tiakur untuk bisa ikut menyalatkan jenazah Isnaeni dan memberikan penghormatan terakhir pada rekan seperjuangan mereka itu. 

Sejujurnya, sebagai wilayah yang masyarakatnya mayoritas pemeluk Nasrani, saya mengkhawatirkan nasib jenazah Isnaeni. Namun Wahyu memastikan, di Tiakur ada komunitas muslim, dan mereka sudah berpengalaman menangani pemakaman orang muslim.

Saat upacara pemakaman berlangsung, Pak Gayus sengaja menghubungi saya, dan membiarkan saya mendengar dan mengikuti prosesi tersebut beberapa saat. Dipimpin oleh Asisten Bupati (karena Bupati dan Kepala Dinas sedang ada di Ambon), dan dihadiri oleh semua pejabat MBD, aparat,  serta masyarakat luas, Isnaeni dihormati sebagai pahlawan. Bendera Merah Putih dihamparkan sebagai penutup peti jenazahnya, sekaligus sebagai penutup kuburnya. Mas Heru juga mengabarkan, di samping keihlasan dan kerelaan kehilangan putra tercintanya, ayah dan kakak Isnaeni juga merasa sangat lega dan berbangga, karena Isnaeni mendapatkan penghormatan yang sangat tinggi dari Pemda MBD dan seluruh masyarakat. 

Maghrib menjelang, dan kami pamit pada Ibunda Isnaeni. Senja yang meredup mengantarkan perjalanan kami kembali menuju Surabaya. Ada kesedihan yang amat sangat di hati, namun bagaimana pun, Allah SWT telah memberikan petunjuk dan kemurahan-Nya. Meski Isnaeni ditemukan dalam kondisi sudah tak bernyawa, Allah masih memperkenankan ayah dan saudaranya untuk melihatnya pada detik-detik terakhir dia dimakamkan. Juga menyaksikan betapa Pemda dan masyarakat MBD memberikan penghargaan dan memuliakannya sebagai sosok yang dicintai. Semoga Isnaeni mendapatkan kemuliaan dan kecintaan juga di sisi Sang Khalik, Pemilik Tunggal atas Semua Makhluk. Amin.

Surabaya, 27 Maret 2015

Kamis, 02 April 2015

Kabar Duka Dari MBD (3): Isnaeni Ditemukan

Sejak pagi saya terus memantau perkembangan upaya pencarian. Wahyu dan Bapak Gayus juga memberikan laporannya dari waktu ke waktu. Sementara itu, Bapak Agus Susilohadi, Kasubdit Program dan Evaluasi Direktorat Diktendik, meminta update informasi juga.

Maka siang hari, berdasarkan hasil koordinasi saya dengan Pak Heru dan Pemda MBD semalam, juga dengan Wahyu, saya menulis laporan ke Dikti. 

"Yang saya hormati, Bapak Direktur Dit. Diktendik. Berdasarkan informasi dari Wahyu Puspita Ningtyas, peserta SM-3T Unesa yang bertugas di Tiakur, kronologis peristiwa musibah tersebut adalah sebagai berikut: 
Senin, 23 Maret 2015, kapal perintis Sabuk Nusantara 43 dari Pulau Sermata dijadwalkan tiba di Pulau Luang sekitar pukul 23.00 WIT. Karena musim barat, kapal Sabuk 43 berlabuh di Pulau Kelapa yg berjarak sekitar 13 mil dari desa Luang Barat. Karena jarak yang lumayan jauh, perahu motor berukuran GT 6 yang dikemudikan oleh Fendi Hayer membawa 13 penumpang, termasuk Kepala Desa Luang Barat, 2 orang guru SM-3T yang bertugas di SMP Illimarna Luang Barat--mereka akan menuju ke ibukota kabupaten untuk sosialisasi UN--berangkat dari kampung pukul 21.00 WIT. Setelah sampai di Pulau Liakra sekitar pukul 22.00 WIT, perahu motor tersebut berencana menuju ke daratan karena jarak antara Pulau Liakra dan tempat kapal berlabuh masih cukup jauh dan ombak cukup besar. Belum sampai di daratan, ombak setinggi 3 meter menerjang perahu motor dari arah samping dan mengakibatkan perahu terbalik. Kejadian itu diketahui mengakibatkan 11 orang selamat, termasuk bapak Kades dan 1 guru SM-3T bernama Renzy Dea Anggraeni--sarjana Pendidikan Olah Raga. Sedangkan 3 orang hilang, termasuk 1 guru SM-3T bernama Mohammad Isnaeni, sarjana pendidikan Matematika, alumni Universitas Muhammadiyah Jember. Pada pagi hari pencarian dilakukan terhadap 3 korban yg hilang. Sekitar pukul 07.00 WIT,  1 korban perempuan ditemukan tersangkut di tali agar-agar dan diketahui bernama Elvi Selviana warga Jawa Barat yang bekerja di Luang Barat sebagai sales alat-alat therapi. Dan pada pukul 10.00 WIT ditemukan 1 korban lagi, laki-laki, warga Luang barat bernama Bapak Poly Palpialy, seorang pensiunan Dinas Penerangan di Tual. Sampai tanggal 24 Maret pencarian terus dilakukan terhadap Mohamad Isnaeni. Dan pada pukul 17.00 WIT ditemukan celana pendek yang dipakai korban saat kejadian, yang berjarak 200 meter dari tempat kejadian. Hingga sampai tanggal 25 Maret pagi ini, korban belum juga ditemukan dan pencarian terus dilakukan.

Tim dari Unesa, atas nama Drs. Heru Siswanto, M.Pd dan Febry Irsyiato W.U, S.Pd., M.Pd, pada hari Selasa, 24 Maret 2015, pukul 21.00 WIB, bertolak ke Ambon. Selanjutnya, Rabu, 25 Maret 2015, satu tim dari Unesa juga, Drs. Abdur Rahman Syam Tuasikal, M.Pd., bertolak ke Ambon, bersama keluarga Mohamad Isnaeni, yaitu Bapak Ali Mashar (ayah) dan Mohamad Nadir (kakak).  Selanjutnya pada hari itu juga, pukul 20.00 WIB, tim dan keluarga Isnaeni bertolak ke MBD dengan menumpang Kapal Feri Marsela. Kapal dijadwalkan tiba di Tiakur pada hari Sabtu, 28 Maret 2015. Dari Tiakur, perjalanan menuju Luang, lokasi kejadian musibah, masih memerlukan waktu sekitar 5 jam dengan menumpang speedboat, atau sekitar 9 jam dengan menumpang kapal.

Berdasarkan hasil koordinasi pengelola SM-3T Unesa dengan Pemda Kabupaten MBD, bila kemungkinan terburuk yang terjadi, yaitu Mohamad Isnaeni ditemukan dalam keadaan meninggal, Pemda MBD akan menunggu kedatangan tim Unesa dan keluarga korban di lokasi penemuan, dan selanjutnya akan memfasilitasi pengangkutan jenazah sampai kepada keluarga korban di Jember. 

Sampai tadi malam, dan siang ini, berdasarkan hasil komunikasi pengelola SM-3T Unesa dengan Kepala Dinas Kabupaten MBD dan Wahyu Puspita Ningtyas, upaya pencarian masih nihil. 

Demikian hal-hal yang bisa kami laporkan, bila ada perkembangan baru, akan segera kami laporkan secepatnya. 

Terima kasih atas perhatian dan dukungannya."

***

Sore pukul 16.30. Sebuah dering mengejutkan saya. Bukan dering teleponnya, tapi kabar yang saya terima. Wahyu di seberang sana kembali menangis hebat.
"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Ibu....Mas Isnaeni sudah meninggal......"

Saya kembali terduduk lemas di kursi di ruang rapat. Tangan saya kembali gemetaran memegang ponsel. Mata saya mendadak kabur karena air mata saya tumpah meski saya berusaha menahan kuat-kuat kesedihan saya.

"Wahyu, kamu tenang...." Saya menguatkan Wahyu sekaligus diri saya sendiri. "Kamu tenang dulu, baru kamu bercerita lagi."

"Ibu, Mas Isnaeni sudah ditemukan. Meninggal. Jasadnya sudah tidak memungkinkan untuk dibawa ke Jawa." Wahyu menjelaskan lagi setelah dia tenang.

"Baik, Wahyu."

Pikiran saya melayang pada rombongan yang sedang di atas kapal. Perkiraan normal, kapal akan tiba di Pulau Sermata pada hari Sabtu, artinya dua hari lagi. Dari Sermata, masih perlu waktu sekitar dua jam untuk menyeberang ke Pulau Luang dengan menumpang kapal kecil. 

Sementara jenazah tidak mungkin untuk menunggu. Bukan hanya karena kondisinya, namun juga memang seharusnya jenazah itu segera dikuburkan. Namun bagaimana kami bisa memutuskan, sementara keluarga Isnaeni masih di tengah samudra, dan tidak ada sinyal?

Seperti menjawab kegundahan saya, Wahyu menyampaikan, kalau staf dinas sudah berhasil berkomunikasi dengan Pak Heru via Ratelda dan alat komunikasi kapal. Wahyu mengabarkan kalau orang tua Isnaeni sudah diberi tahu tentang kabar Isnaeni meninggal, dan beliau sudah ikhlas kalau jasad Isnaeni tidak bisa dibawa ke Jawa.

Bapak Ali Mashar, ayahanda Isnaeni, adalah seorang guru agama. Saya belum pernah bertemu beliau, hanya mendengar suaranya dari percakapan via telepon. Namun saya membayangkan, beliau adalah seorang ayah yang ikhlas dan tegar, dan bisa menerima musibah ini sebagai bagian dari skenario Allah yang telah digariskan untuk putra bungsu tercintanya, Mohamad Isnaeni.

Saya sedikit lega. Lega karena keluarga Isnaeni sudah tahu kabar tersebut. Lega juga karena beliau mengikhlaskan Isnaeni dikuburkan di MBD. Sebuah tempat yang jauh di sana. Di tempat di mana dia mengabdikan diri sampai akhir hayatnya. Dekat dengan anak-anak sekolah dan masyarakat yang mencintainya. 


Jakarta, 26 Maret 2015.

Salam,
LN