Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 01 Desember 2015

Go To America (4): Andreas dan Firda

Sore yang dingin, pukul 18.30. Saya janjian sama Andreas dan Firda untuk pergi ke public laundry yang ada di kompleks apartemen kami. Kebetulan kami, meski tidak berdekatan, berada dalam satu kompleks apartemen, yaitu Aggie Village. Saya di 28 H, dan Andreas bersama Firda di 16 J.

Andreas dan Firda adalah pasangan muda. Andreas, S1 dan S2-nya lulusan UI, jurusan Ilmu Komputer, sedang mengambil Ph.D di USU, dalam bidang Engineering Education. Ini adalah tahun ketiga dia di USU. Firda, isterinya, baru menyusul sekitar sebulan ini. Sekitar dua bulan yang lalu mereka menikah. Firda juga lulusan UI, jurusan Manajemen Rumah Sakit.

Di mata saya, kedua orang muda itu begitu baik. Dalam kondisi apa pun, mereka seperti siap menolong siapa saja. Tempo hari mereka datang ke apartemen kami, setelah sehari sebelumnya bertemu di rumah Pak Oenardi,  tiga hari setelah kedatangan kami. Tujuan mereka tentu saja bersilaturahim, dan mengajak kami untuk barbecue bersama teman-teman Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya, pada hari Sabtu. 

Tentu saja kami menyambut ajakan Andreas dengan suka cita. Bertemu dengan banyak orang dan makan-makan, adalah dua di antara hobi saya. 

Sebelum saya turun tadi (apartemen saya ada di lantai 2), Firda sudah menelepon lewat WA.
"Bu, apa jadi mau ke laundry?"
"Ups, boleh, Firda. Tapi saya masih masak?" 
"Berapa lama lagi kira-kira, Bu?"
"Setengah jam?"
"Ehm....boleh. Kami tunggu di taman dekat playground."
"Oke. Thank you."

Kebetulan Bu Lusi, teman seapartemen, sedang di kamar, mungkin tidur. Saya segera berbenah. Menyiapkan makanan di meja makan. Mengambil baju-baju kotor saya yang sengaja saya tumpuk saja, tidak ada yang saya cuci kecuali underwear. Sudah saya niatkan untuk mencucinya di public laundry. Bukan apa-apa. Saya hanya butuh pengalamannya. Seperti yang saya lihat di film-film. Orang biasa mencuci baju-baju mereka di public laundry, membayar dengan koin atau credit card. Saya ingin pengalaman itu. Udik banget ya? Nggak apa, mumpung lagi di sini. Di tempat saya, di Karah, tidak ada fasilitas semacam itu. Ada sih, jasa laundry, tapi yang mencuci pemilik jasa, bukan pelanggan. 
Dari kejauhan, saya sudah bisa melihat Andreas dan Firda yang lagi duduk-duduk di taman. Saya melambai dan mereka membalas lambaian saya. Public laundry hanya sekitar lima puluh meter dari tempat itu. Kami langsung menuju ke sana.

Andreas meminta saya membaca manual di mesin cuci. Melakukan instruksi setahap demi setahap. "O, kamu sedang mengajariku dengan metode direct teaching, Ndre." Kata saya. "Yap. Betul."

Tapi saya tidak punya koin sebagaimana yang seharusnya. Lima buah 0.25 dollar. Ternyata untuk hal begini pun, Andreas sudah menyiapkannya.

Maghrib tiba dan kami meninggalkan tempat laundry untuk menunaikan salat di apartemen Andreas. Apartemen Andreas berjarak sekitar 100 meter dari tempat laundry. Lebih dekat daripada apartemen saya. Makanya saya lebih memilih menumpang salat di rumah Andreas daripada pulang ke apartemen, dan nanti kembali lagi untuk mengambil pakaian saya.

Saat salat berjamaah itulah keharuan saya menyeruak. Andreas yang menjadi imam kami, membaca surat Ar-Rahman. Tidak utuh. Mungkin sekitar dua puluh ayat di rakaat pertama dan lima belas ayat di rakaat kedua. Namun setiap kali bacaannya sampai pada ayat "fa bi ayyi alaai robbikumaa tukadzibaan," hati saya bergetar. 

Saya sedang berada jauh dari tempat tinggal saya. Berjarak terbang lebih dari 20 jam. Berbeda waktu sekitar 13 sampai 14 jam. Semua seperti terjadi begitu saja. Proses yang saya lalui untuk sampai bisa ke sini, tidaklah terlalu sulit. Satu-satunya yang berat bagi saya adalah berpisah dengan keluarga. Berat sekali rasanya.

Ini adalah perpisahan saya terlama dengan keluarga. Saat saya menempuh S2 di Yogyakarta, hampir setiap minggu kami bertemu. Saat mengemban berbagai tugas di luar kota, seingat saya yang terlama selama sepuluh hari, yaitu saat saya melakukan monitoring Program SM-3T di Maluku Barat Daya. 

Namun hati saya yang ragu untuk berangkat ke sini,  justeru dikuatkan oleh Mas Ayik, suami saya. Juga oleh ibu. Keraguan saya antara berangkat dan tidak, dipatahkan dengan dorongan keluarga. Bahwa ini adalah peluang. Kesempatan emas untuk menambah wawasan dan pengalaman. Kesempatan emas untuk melihat dan belajar banyak hal di belahan dunia yang lain.

Saat ini, ketika saya sudah berada di sini, perasaan berat karena jauh dari keluarga, sedikit terobati karena kehadiran orang-orang baik seperti Andreas dan Firda. Belum genap seminggu saya mengenal mereka. Namun kami seperti sudah kenal lama sekali. Langsung akrab. Mereka meminjami kami pisau, talenan, pirex, bahkan serbet dan gantungan baju. Lampu kecil yang setiap malam menemani tidur saya juga punya mereka. Mereka siap membantu apa saja, dan menunjukkan pada kami di mana membeli sayur, buah, tahu dan tempe. Dan masih banyak lagi kebaikan mereka. Bagi kami pendatang baru, uluran tangan orang-orang seperti Andreas dan Firda betapa sangat berarti.

Salat selesai dan saya menyeka mata saya saat menutup doa. Meski mata saya sudah kering tapi hati saya masih terasa basah karena rasa haru tak juga hilang. Namun saya melarikannya dengan mengucap banyak syukur. 

Tak pernah terbayang, suatu saat, saya akan berada di sini, di negeri yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah saya angankan. Allah begitu Maha Kuasa, menjadikan apa yang seolah tidak mungkin menjadi terjadi karena kuasanya.

"Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhdhibaan."

Terima kasih, Ya Allah.
Terima kasih, bapak ibu, suami, anakku, dan keluarga besarku.

Terima kasih Andreas dan Firda...

Aggie Village Apt, Logan, Utah, USA, 8 Oktober 2015

Kamis, 26 November 2015

Go To America (3): The Aggies, Sepeda, dan Kedisiplinan

Saya menyebutnya Kampus biru putih. Ya, The Utah State University (USU) adalah kampus yang warna dominannya biru dan putih Meski gedung-gedungnya yang artistik dan rapi berwarna tanah atau warna batu bata, tapi aksen biru dan putih tetap ada di banyak bagian. Pada bingkai-bingkai jendela dan pintu, papan-papan nama, kursi-kursi taman, tempat parkir, dan juga interiornya.

Bahkan busana, aksesoris dan perlengkapan yang dikenakan para penghuni kampus pun dominan biru dan putih. Sweater, celana panjang, jaket, ransel, sepatu, bahkan sepeda dan botol tempat minum. Biru tua, biru langit, abu-abu, hitam, dan putih. 

Pink, juga merupakan warna yang lumayan disukai, meski warna ini tidak terlalu dominan. Namun dia seperti memecah dominasi warna-warna yang ada. Berbagai busana dan aksesoris dengan warna pink seperti sweater, topi, t-shirt, jaket, dan sepatu, menjadi "center of piece" di deretan barang-barang fashion, baik di USU store atau di store dan mall di luar USU.  

USU dilambangkan dengan banteng. Warnanya biru dan putih juga. Di mana-mana gambar banteng ini bisa ditemukan. Mengapa banteng (buffalo), karena awal mula USU yang berdiri sejak 8 Maret 1888 ini adalah universitas pertanian (Agriculture). Banteng mungkin menjadi representasi yang sangat lekat dengan pertanian. 

Warga USU, siapa pun mereka--mahasiswa, dosen, visiting scholar--disebut The Aggies. Sebutan itu bagi saya pribadi begitu berkesan, terasa  hangat dan bersahabat. Membuat kami merasa benar-benar menjadi bagian dari USU. Dalam email-email yang kami terima, mereka selalu mengawali dengan sapaan "Hello, Aggies". Selama di sini, belasan kali kami menerima email, terkait dengan informasi apa pun, antara lain  jadwal check up kebersihan dan keamanan apartemen, jandwal berbagai event, termasuk undangan pesta halloween dan pameran-pameran.
  
Kampus utama USU di Logan merupakan satu dari aset terbesar universitas. Luasnya sekitar 500 acres (2.0 km2), sekitar satu mil timur laut downtown Logan, lokasinya ada di ujung Logan Canyon. Namun sebagai city campus, bangunan USU menghampar di mana-mana, dan jarak dari satu titik ke titik lain seringkali  membutuhkan bus kampus untuk mencapainya. 

Kampus USU seperti terletak pada sebuah "bangku", atau kaki bukit yang menyerupai rak-rak yang menghadap ke lembah ke arah barat. Mount Logan dan Bear River Range melengkapi keindahannya. USU memiliki lebih dari seratus bangunan utama. Kegiatan mahasiswa lebih terpusat pada bagian selatan kampus, yang merupakan tempat bagi sebagian besar jurusan, the Quad, the Taggart Student Center, dan Old Main Building.

Bangunan yang terkenal termasuk Old Main, bangunan pertama di USU. Juga Merriel-Cazier Library (luasnya 28.300 meter persegi), perpustakaan universitas yang ultra-modern, yang menampung lebih dari 1.549.000 volume total. Perpustakaan juga menawarkan area arsip dan koleksi-koleksi khusus yang luas, sistem penyimpanan dan pengambilan otomatis, dan lebih dari 150 workstation dan 33 ruang belajar kelompok. Gedung penting lainnya adalah Manon Caine Russel-Kathryn Caine Wanlas Performance Hall, yang konon memiliki beberapa akustik terbaik di seluruh Western United States.

Logan City Cemetery membagi kampus menjadi dua bagian. Pada bagian selatan, menghampar gedung-gedung akademik. Sedangkan pada bagian barat dan utara masing-masing terdapat Dee Glen Smith Spectrum dan Romney Stadium. Banyak gedung penelitian pertanian dan sain berlokasi di bagian utara. Logan Canyon yang terdekat, adalah tempat rekreasi yang populer bagi mahasiswa, dengan jalan dan taman di sepanjang sungai. Selain untuk berkemah dan hiking, ngarai juga berfungsi sebagai rute utama Beaver Mountain Ski Resort dan Bear Lake. Program Outdoor Recreation USU menyewakan peralatan camping, olah raga air, olah raga gunung, dan olah raga musim dingin, kepada mahasiswa; sekaligus menyediakan peta jalan area dan pemandu untuk perjalanan mereka ke canyon atau tempat lain. Pendek kata, bagi Anda para penyuka aktivitas outdoor, Anda akan benar-benar terpuaskan dengan kondisi alam Logan dan fasilitas yang disediakan USU untuk menikmatinya.

Apartemen kami, Aggie Village, sebenarnya masih dalam kompleks kampus, namun karena lumayan jauh, kalau ke kampus kami menumpang bus kampus. Sekitar sepuluh menit menumpang bus. Kecuali setelah kami memperoleh sepeda dari Aggie Bike, kami-saya dan Pak Asto- menempuhnya dengan bersepeda. Waktunya lebih singkat dibanding naik bus, karena bisa mengambil jalan pintas melewati Logan City Cemetery yang letaknya hanya di seberang apartemen kami. Tidak perlu menunggu bus. Kadang-kadang yang membuat lama saat naik bus kampus, karena kami harus menunggu bus yang akan membawa kami. Bus-bus itu melintas setiap lima belas menit sekali, tentu saja dengan jadwal yang sudah pasti. 

Di Logan, setiap orang bisa mendapatkan peta apa saja, termasuk rute transportasi dan jadwal. Peta itu bisa diperoleh di sembarang tempat, di airport, di tempat wisata dan pusat perbelanjaan, atau di institusi pendidikan seperti USU.

Saya dan Pak Asto hampir setiap hari bersepeda ke kampus. Bahkan untuk berbelanja ke Walmart, Smiths, atau swalayan lain pun, kami menempuhnya dengan bersepeda. Meski sepulang dari tempat-tempat belanja tersebut, jalanan menanjak sekitar tiga puluh menit waktu tempuh harus kami lalui. Tidak masalah. Rasanya memang sangat sensasional, karena kami seringkali bersepeda dengan suhu mendekati nol derajat Celcius. Wow bangets. Nafas memburu berpadu dengan hempasan udara dingin yang seolah siap membekukan tubuh. Kami pernah beberapa kali menyerah, turun dari sepeda, dan menuntunnya saat jalan menanjak dan nafas seperti mau putus. Kalau kami berhasil melewatinya, kami merayakan kemenangan di rerumputan tempat parkir Aggie Village Apartement dengan minum air mineral dan makan apa yang ada dari belanjaan kami, buah atau roti. Kemudian kami bergantian berfoto dengan latar belakang Logan City Cemetery. Pernah suatu ketika, Pak Asto pucat sekali setelah berjuang keras menaklukkan jalan menanjak, dan saya malah tertawa terbahak-bahak melihatnya. "Dik, lungguho Dik, goleko nggon gawe semaput." Ledek saya.  

Saya ingin bercerita tentang sepeda. Sejak awal, begitu kami melihat banyak penghuni apartemen bersepeda dan tempat parkir seperti selalu penuh, kami berkeinginan juga untuk bisa bersepeda. Amanda, staf USU Global Engagement, menunjukkan pada kami di mana kami bisa meminjam sepeda, yaitu ke USU Aggie Bike, sebuat pusat layanan bagi warga USU yang memerlukan sepeda. Namun ternyata, meskipun kami sudah menunjukkan identity card dan A-number (nomor unik untuk semua mahasiswa dan visiting scholar di USU), kami tidak diperbolehkan meminjam. Sepeda bisa dipinjam hanya khusus bagi mahasiswa atau visiting scholar yang mengambil waktu minimal sekitar enam bulan. Bukan visiting scholar seperti kami yang hanya singkat waktunya.  Peminjaman maksimal satu semester, dan seterusnya bisa diperpanjang lagi. Tidak ada syarat yang berat, peminjam hanya harus menyiapkan kunci yang diameternya tidak kurang dari 12 mm, harus menjawab kuis (terkait dengan tata-tertib bersepeda), dan harus melakukan check up sepeda dua minggu sekali ke USU Aggie Bike. 

Untung ada Andreas dan Kevin. Oya, Kevin adalah putra pertama Pak Oenardi Lawanto, associate professor di Engineering Education Department. Beliau yang menjadi salah satu alasan kami datang ke Utah ini. Sedangkan Andreas adalah lulusan UI yang saat ini sedang mengambil Ph.D dalam bidang Engineering Education. Andreas meminjam sepeda untuk saya, dan Kevin meminjam sepeda untuk Pak Asto. Tapi tentu saja atas nama mereka berdua, dan tanggung jawab apa pun terkait dengan sepeda itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Saking baiknya mereka saja mau meminjam sepeda hanya supaya cita-cita kami untuk bisa bersepeda selama di Utah ini bisa kesampaian. 

Sebenarnya masih ada Silvia Landa, mahasiswa Master Degree dalam bidang  Civil Engineering. Gadis hitam manis yang berasal dari Sumba Barat ini memperoleh beasiswa dari Usaid Prioritas. Saya kagum pada prestasinya untuk memperoleh beasiswa itu, dan juga perjuangannya untuk menempuh studi di Utah. Saya tahu seperti apa tempat asalnya, dan keberadaan dia di sini benar-benar membuat saya salut.

Silvia sebenarnya bersedia juga meminjamkan sepeda untuk Bu Lusia, tapi nampaknya Bu Lusia bukan penggemar sepeda. Jadi hanya kami berdua yang bersepeda ke mana-mana, dan Bu Lusia memilih setia naik bus. Tidak masalah. Bus ke mana pun gratis, dan lebih aman karena terhindar dari kedinginan dan "menggos-menggos." Hehe.

Logan, sebuah kota kecil, dengan populasi sebanyak 48.174 jiwa. Berjarak 81 mil sebelah tenggara Salt Lake City. Sekitar lima jam perjalanan darat menuju Yellowstone yang terkenal itu, tempat yang diimpikan oleh para fotografer. Dan hanya sekitar dua menit, ya, dua menit menuju Logan Canyon.

Transportasi ke mana pun, di Kota Logan ini, free. Ada bus yang rutenya khusus dalam kampus, ada bus kota, namanya CVTD (Cache Valley Transit District), yang rutenya di seluruh penjuru Kota Logan. Tentu saja, bus yang nyaman, dengan driver yang profesional, dan, ini yang penting, gratis. 

Segalanya serba rapi dan teratur di Logan. Tidak ada kebut-kebutan di jalan raya. Mendengar klakson mobil berbunyi adalah hal yang sangat langka. Sepeda motor bisa dihitung dengan jari, semuanya jenis moge (motor gede). Tidak ada kendaraan yang parkir sembarangan. Ada jalur khusus untuk pedestrian dan pesepeda. Pedestrian dan pesepeda menjadi raja di jalan, dalam arti pengguna jalan yang lain selalu memberikan prioritas. 

Perilaku di jalan raya memang sangat berbeda dengan perilaku kita di Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu kekaguman saya. Sebagai pejalan kaki atau pesepeda, saya merasa begitu nyaman dan aman. Jalur-jalur khusus yang tersedia untuk kami memungkinkan kami berjalan dan bersepeda dengan aman tanpa dibayangi ketakutan tersenggol kendaraan lain. Kalau pun kami harus menyeberang jalan atau menempuh jalan yang tidak dilengkapi dengan jalur khusus, kendaraan-kendaraan besar akan memberikan prioritas pada kami. Dilengkapi dengan rambu-rambu jalan yang jelas dan semua beroperasi dengan baik, dan perilaku berlalu-lintas yang juga baik, maka Logan menjadi kota yang sangat nyaman bagi siapa saja. 

Tentu saja ada banyak hal baik yang bisa kita pelajari selain perilaku berlalu-lintas. Tata kota yang ramah lingkungan, salah satu buktinya adalah tidak ada gedung-gedung yang tinggi menjulang. Sesuatu yang menjulang di Logan adalah barisan Rocky Mountain itu. Taman dan rumput hijau ada di mana-mana. Kantor-kantor rapi, layanan cepat dan ramah.  Kedisiplinan pada waktu yang mengagumkan. Di USU, saat break pergantian jadwal perkuliahan, mahasiswa memenuhi hampir semua jalanan kampus, berpindah dari satu kelas ke kelas lain, karena sistem perkuliahan dengan moving class. Mereka berjalan cepat-cepat, sebagian bersepeda dan ber-skateboard, sebagian bahkan berlari-lari, untuk mengejar waktu kuliah. Begitu kuliah mulai, kampus seperti tak berpenghuni, jalanan sepi sekali. Semua ada di dalam kelas-kelas, belajar. Untuk masalah kebersihan kampus dan kesadaran warganya untuk selalu menjaga kebersihan, jangan tanya. Sangat-sangat mengagumkan.

Suatu siang, saya sedang berjalan, dan seorang mahasiswa menyapa saya. Dia mengatakan kalau kerudung saya bagus sekali dan dia suka. Saat mengatakan itu, makanan yang dibawanya terjatuh sebagian, hanya berupa remah kecil sebesar biji jagung. Tapi dengan sigap dia mengambil remah itu dengan tisu sambil mengatakan, makanan itu bisa membuat seseorang terpeleset. Saya terpesona sekali dengan sikapnya, meskipun saya yakin, remah makanan itu terlalu kecil untuk membuat seseorang terpeleset.

Inilah mungkin yang dinamakan peradaban maju itu, begitulah saya sering berpikir. Saya yang sering berkunjung ke daerah-daerah tertinggal di pelosok Tanah Air,  merasa sudah memiliki peradaban yang sangat maju dibanding mereka. Namun begitu saya ada di Logan ini, menghayati budaya dan tata kehidupan warga dan segala fasilitas yang tersedia, sayalah masyarakat tertinggal itu. Ya, benar-benar tertinggal. Tapi saya yakin, ada hal-hal tertentu yang tetap membuat kita memiliki keunggulan. Hal-hal apakah itu? Mari coba kita renungkan.... 

Aggie Village Apartment, Logan, Utah, Senin, 5 Oktober 2015. 

Minggu, 22 November 2015

Aceh Singkil Lagi 4: Sukamakmur yang Tidak Makmur

Kami meninggalkan PBB pada sekitar pukul 13.00. Setelah menyantap makan siang yang lezat. Beramai-ramai bersama kepala dinas dan jajarannya, guru-guru, dan para peserta SM-3T.

Matahari semakin condong ke barat dan kepala dinas meminta kami bergegas. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami singgahi, yaitu desa Sukamakmur. Sekitar 30 menit berspeedboat. Tidak jauh. Namun saat pulang nanti, laut bisa jadi sudah tidak teduh lagi. Maka kami harus berkejar-kejaran dengan waktu.

Dengan dilepas para guru dan peserta SM-3T di dermaga, speedboat kami melaju membelah samudera. Suaranya berdebum-debum. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu membuat nyali ciut. Kami bahkan masih sempat bercanda dan berdiskusi, meski dengan sudah payah. Ya, karena harus berteriak-teriak mengimbangi raungan speedboat.

Desa Sukamakmur. Jangan bayangkan dia sebuah desa yang makmur. Dia hanya suka makmur saja. Baru pada tahap suka. Kondisi sebenarnya, jauh dari makmur. Tempatnya terpencil, kondisi alamnya tidak menampakkan kesuburan, rawa-rawa yang mengelilinginya, dan juga rumah-rumah serta orang-orangnya yang amat sederhana. Semuanya semakin menegaskan betapa tertinggalnya desa ini. Masih jauh dari makmur.

Kami turun dari speedboat di dermaga yang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan yang memanjang dari laut menuju daratan. Panjang sekali jalan itu. Lurus, tanpa belokan. Itulah satu-satunya jalan untuk akses ke dan dari desa Sukamakmur. Di kanan-kiri jalan itulah rawa-rawa, tanaman-tanaman khas laut semacam mangrove, dan di kejauhan adalah ilalang dan pepohonan liar.  

Sukamakmur merupakan satu dari empat desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tiga desa yang lain adalah desa Haloban, Asantola, Ujung Sialit. Dengan singgah di Sukamakmur ini, berarti semua desa di PBB sudah pernah saya kunjungi. 

Di PBB, menurut data, penduduk paling banyak terdapat di desa Pulau Balai, desa yang baru pagi tadi kami tinggalkan. Penduduk paling sedikit di desa Sukamakmur. Pantaslah. Di desa ini, kami menangkap kesan sepi. Tidak banyak orang. Jauh keadaanya dengan di Pulau Balai. 

Sukamakmur memang desa yang sepi, jauh dari mana-mana. Akses ke luar desa satu-satunya hanya melalui laut. Penduduk asli mayoritas dari Suku Nias. Kalau dikatakan bahwa jumlah penduduk Sukamakmur paling sedikit dibanding desa lain di PBB, memang terasa dari suasana sepinya.  

Kami mengunjungi sebuah sekolah yang sepi, karena memang kegiatan belajar sudah selesai. Melongok ke kelas-kelas dan perpustakaan. Mengamati halaman sekolah yang tak terlalu luas, dan sebuah bendera merah putih kusam melambai-lambai di ujung tiangnya yang langsing.  

Kami tidak lama di Sukamakmur. Ada kekhawatiran pada situasi laut. Semakin sore, perjalanan tidak semakin aman, tapi dibayang-bayangi dengan angin dan ombak. Kekhawatiran itu membuat kami bergegas kembali ke speedboat.

Dan benar. Sepanjang perjalanan laut dari Sukamakmur ke Singkil, adalah perjalanan yang sangat mendebarkan. Speedboat berdentum-dentum sangat keras digoncang angin dan ombak. Tidak seperti saat berangkat dari Haloban tadi siang, goncangan-goncangan yang sangat kuat seperti tidak memberi kesempatan kami bernafas dengan tenang. Bahkan tiba-tiba saja speedboat berhenti di tengah laut. 

"Ada apa, Pak?" Tanya saya pada driver.
"Ombak dari samping kanan samping kiri, angin kencang dari depan dari belakang." Jawabnya. Nafasnya terengah-engah. Tapi wajahnya tetap menunjukkan ketenangan. Atau dia berusaha untuk tetap tenang. 

Seisi speedboat diam. Orang-orang yang tadinya mengobrol juga diam. Saya yang di sepanjang perjalanan nyaris tidak pernah berhenti membaca salawat, semakin khusyu membacanya. Juga doa Nabi Nuh. Bismillahi majreeha wamursaha, inna robbi laghafuurur rohiim. Mbak Ully yang agak tidak sehat karena kelelahan, nampak pucat wajahnya, meski berusaha tenang. 

Diam-diam saya melirik tumpukan pelampung di bagian belakang speedboat. Sebelum berangkat tadi driver bilang, pelampung yang ada sudah banyak yang rusak. Pelampung itu hanya mampu bertahan sekitar satu jam di dalam air. Artinya, bila terjadi keadaan darurat, orang yang mengenakannya hanya bisa terapung selama sekitar satu jam. Selebihnya, bila pertolongan tidak segera tiba, wallahu a'lam.

"Tenang, Bu. Tidak apa-apa, kita jalan lagi, pelan-pelan." Kata driver, seperti memahami kegalauan saya. 

Perjalanan dari tempat kami berhenti menuju ke Singkil masih satu jam lagi. Tidak lama. Tapi cobalah, Kawan, cobalah menumpang speedboat atau kapal kecil atau perahu pada saat laut tak terlalu bersahabat. Angin kencang dan ombak yang menampar-nampar speedboat seperti menampar-nampar ketahanan kita. Hidup serasa di ujung tanduk. Dan waktu begitu lamanya berjalan. Bahkan seperti diam tak beranjak.

Akhirnya, kelegaan pun tiba. Pantai di depan mata. Warung di pinggir dermaga sudah nampak. Syukurlah. Cukup sudah ujian mentalnya hari ini. Wajah kami semua cerah. Mbak Ully yang semua sakit seperti sembuh total. Sehat seperti sediakala. Apa lagi saat segelas kopi panas ada di depan hidungnya. Aroma harum kopi aceh seolah mengembalikan semangat yang sempat porak-poranda dihempas badai laut beberapa waktu yang lalu. Nyawa kembali utuh. 

Besok, waktunya kembali ke Surabaya. Tempat kami mengisi hari demi hari bersama keluarga, kolega, dan mahasiswa. Hidup begitu berarti saat kita berusaha terus untuk memberinya arti. Bismillah. Amin.

Aceh Singkil, 23 April 2015

Wassalam,
LN

Sabtu, 21 November 2015

Go To America (2): Welcome To America

Jumat, 2 Oktober 2015. Pukul 09.36. Tibalah kami di Seattle. Kota pertama di USA yang kami singgahi. Setelah menempuh perjalanan hampir 20 jam. Dua jam dari Surabaya menuju Singapura. Transit sekitar enam jam. Untung Mbak Silfia, staf Kantor Urusan Internasional Unesa, sudah mengatur perjalanan kami dengan 'agak' baik, sehingga kami bisa mendapatkan free lounge di Premium Plaza Lounge di Changi Airport. Sangat membantu. Enam jam sejak pukul 22.00 sampai pagi pukul 04.30, kami bisa beristirahat dengan tenang dan tidur selonjor. 

Saya katakan Mbak Slifia sudah mengatur perjalanan kami dengan 'agak' baik karena dia lupa tidak mengingatkan kami untuk memesan halal food secara online sebelum keberangkatan. Jadilah kami bertiga mengalami kelaparan dalam penerbangan mulai dari Singapura ke Jepang. Dua kali waktu makan kami lewati dengan 'tirakat', karena tidak ada halal food atau vegetarian food untuk kami bertiga. Untungnya, pramugari yang tidak tega melihat kami, mengupayakan satu porsi vegetarian food, kebetulan ada kelebihan, entah seharusnya milik siapa, untuk kami. Seporsi kecil itu, yang dimakan sendiri saja mungkin tidak cukup kenyang atau 'ngepas', musti kami nikmati bertiga. Apa boleh buat. Salah kami sendiri kenapa tidak online pesan dulu. Siapa juga yang 'ngeh'? Kami tidak tahu kalau kami harus melakukannya. Kami tidak punya pengalaman itu. Dan celakanya, Mbak Silfia juga tidak mengingatkan, atau sudah memesankan untuk kami.

Tidak masalah. Pengalaman adalah guru. Begitu kami transit di Bandara Narita, Tokyo, yang hanya sekitar satu jam itu, kami memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Di counter gate, kami mencoba bertanya dan meminta pada petugas, supaya kami dipesankan menu vegan untuk penerbangan menuju Seattle. Sekitar sembilan jam di pesawat tak akan lagi kami lalui dengan menahan dingin sekaligus lapar. Tidak lagi. Alhamdulilah, mungkin karena tidak tega melihat wajah memelas kami bertiga, petugas yang cantik itu langsung bertindak sigap. Meskipun dia bilang, seharusnya kami sudah pesan maksimal 24 jam sebelumnya, tapi dia meminta boarding pass kami dan secepat itu menelepon bagian kitchen. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya, berhasil, Saudara. Petugas itu tersenyum manis pada kami dan mengatakan bahwa kami akan mendapatkan menu vegan selama penerbangan kami menuju Seattle. Sungguh. Senyum manisnya pasti masih kalah dengan senyum manis kami yang seperti mendengar bedug maghrib tanda berbuka puasa.

Dan sekarang kami sudah di sini. Di Salt Lake City (SLC) Airport. Shelly, direktur USU Global Engagement sudah menjemput kami. Dia bersama suaminya, Ortiz, asal Guatemala. Sambil menunggu bus yang akan mengantar kami ke Logan, kami mengobrol banyak hal. Tentang keluarga, tentang makanan, tentang agama. Ortiz bertanya kenapa kami berkerudung, dan kenapa kerudung kami berbeda. Kebetulan bu Lusia mengenakan kerudung polos dan saya mengenakan kerudung motif bunga. 'It's just fashion." Jawab saya. Sambil menjelaskan bahwa pada prinsipnya agama Islam mengajarkan perempuan harus menutup aurat. Saya menjelaskan semampu saya apa yang dimaksud aurat. Dia manggut-manggut. Ortiz juga bercerita, di Guatemala, orang biasa mengatakan 'ohala' sebagaimana Muslim mengatakan 'inshaallah' dengan makna yang sama. 'God will."

Bus kami datang. Shelly memeluk kami dengan gaya khas Amerika. Tangannya mengembang, mendekap kami dan pipi kami saling menempel. Satu pipi saja. Bukan "cipika-cipiki" seperti kebiasaan kita. Shelly dan Ortiz tidak menemani kami dalam perjalanan, karena mereka ada acara keluarga di SLC. Tapi Shelly memastikan, Amanda Castillo, staf dia, sudah menunggu kami di Aggie Village Apartment, tempat tinggal kami selama di Logan. 

Sebelum berpisah, Shelly memberi kami sebuah tas plastik biru dengan logo Utah State University (USU), yang di dalamnya berisi kue-kue kecil. Juga ada tempat name tag, bendera biru kecil, dan sebuah botol minuman, yang semuanya berlogo USU. Manis sekali. 

Perjalanan dari SLC ke Logan adalah perjalanan yang nyaman. Dengan bus bermoncong yang tidak terlalu besar, hanya untuk sekitar 15 orang. Dengan kontainer khusus untuk bagasi yang ditarik semacam truk gandeng, kami menikmati keramahan driver perempuan yang tinggi besar namun cekatan. Juga keramahan para penumpang lain, tiga orang perempuan, dan seorang laki-laki. Belum lagi keindahan yang tersaji di sepanjang jalan yang mulus, rapi, bersih, tenang, dan menyenangkan. Rumah-rumah berwarna merah bata, rumput dan pepohonan hijau di mana-mana, dan bukit serta pegunungan yang indah. Namun sayang, rasa kantuk yang tidak bisa saya tahan membuat saya terlelap di separo perjalanan.

Kami tiba di Aggie Village saat petang sudah jatuh sempurna. Seorang perempuan tinggi, cantik, berambut pirang dan panjang, menyambut kami dengan begitu hangat. Dialah Amanda Castillo. Dia membantu kami mengangkat koper-koper. Mengantarkan kami masuk ke apartemen dan menjelaskan segala sesuatunya. Termasuk memastikan makan malam kami sudah tersedia. Dua kotak besar nasi putih, dua lembar naan bread, dan dua pak makanan India yang lembek seperti sambal. Kami mengucapkan terima kasih untuk itu semua. Juga untuk seperangkat alat masak dan alat makan serta rice cooker kecil yang sudah disediakannya.

Tentang rice cooker itu, saya berspekulasi saja waktu memintanya lewat email. Shelly mengatakan bahwa kami akan disediakan satu bin berisi alat makan, alat masak, dan linen. Rice cooker tidak tersedia. Dia bilang: "Rice cookers are not part of the bin, though you can purchase one for about $15. You may also be able to find a used one in the local second-hand store." 

Namun satu dua hari setelah itu, Shelly mengirim email: "I want to let you know I was able to obtain a rice cooker and we will have that in the apartment with the other supplies upon your arrival. We will also have some food prepared for you as well so you can rest once you have arrived." Wow, betapa baiknya dia. Bahkan waktu saya tanya ke Amanda, "The rice cooker is new, so how much we have to pay for this?", Amanda menjawab, "No no no, you don't need to pay."

Shelly dan Amanda adalah tipikal orang yang ramah, helpful dan siap melayani. Cocok sekali kalau mereka ada di bagian Global Engagement. Dengan ribuan international students plus ratusan visiting scholars seperti kami ini, tentu tidak mudah menangani tanpa ketangkasan sekaligus keramahan. 

Mungkin hanya perasaan saya saja, tapi kami merasa layanan mereka begitu istimewa. Menjelaskan semua keperluan kami mulai dari apartemen dan kelengkapannya, transportasi ke kampus dan ke seluruh kota, prosedur pengurusan ID Card supaya kami bisa akses ke semua fasilitas kampus seperti bookstore, computer lab/printouts, Aggie Ice Cream, Health Center, Library, bahkan juga ke Theatre Events. Juga termasuk akses ke wifi USU sebagai student atau sebagai guest. Semua yang mereka jelaskan dilengkapi dengan map biru yang di dalamnya tersedia semua informasi yang kami butuhkan, termasuk peta dan rute layanan transportasi.

Malam ini kami lelah sekali dan Amanda ingin kami segera membersihkan diri, makan, dan istirahat. Esok, dia akan menjemput kami pukul 10.00, dan memandunya ke walmart untuk berbelanja barang-barang kebutuhan kami. Dia juga akan mengantar kami melihat sebagian kota Logan dan mengantarkan kami kembali ke apartemen kami untuk menyiapkan makan siang.

Selamat malam, Amerika.
Selamat pagi, Indonesia.


Aggie Village Apartment, Logan, Utah, USA, Sabtu, 2 Oktober 2015.

Kamis, 19 November 2015

Go To America (1): Mengurus Visa

Pagi yang cerah dan jalan-jalan padat. Bertiga, saya, pak Asto, dan bu Lusia, menuju Konsulat Amerika. Diantar Anang, driver P3G. Membaurkan diri di keramaian lalu lintas. Pukul 07.30, saatnya orang-orang berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah. Beberapa kali mobil kami terjebak dalam kemacetan. Tak mungkin menghindar. Namun karena jarak tempuh normal dari gedung P3G menuju Kantor Konsulat Amerika hanya sekitar 10 menit, maka kemacetan itu tidak terlalu merisaukan karena waktu kami cukup longgar.

Tiba di depan kantor konsulat yang sekelilingnya dijaga oleh sekuriti, kami turun, dan langsung disambut dengan prosedur standar. Lapor diri, serahkan KTP dan passport, letakkan semua berkas di keranjang (satu orang satu keranjang), matikan semua ponsel dan gadget, dan bediri di tempat yang sudah disediakan untuk menunggu panggilan. Begitulah, maka kami bertiga berdiri, dan menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya pintu dibuka dan seorang petugas menyilakan kami untuk masuk.

Di dalam ruang, dua petugas menyambut kami, satu perempuan, satu laki-laki. Kembali kami berdiri berjajar. Bu Lusia di depan sendiri, membiarkan tas dan keranjang berkasnya di-scan. Semua gadget harus ditinggal, hanya dompet yang boleh dibawa. Seorang petugas memberikan sebuah kartu pengunjung, dan kartu itu harus disematkan di dada. Sambil membawa berkas dan dompet, Bu Lusia disilakan keluar menuju tempat verifikasi berkas dan wawancara. 

Begitu jugalah proses yang saya lalui bersama Pak Asto. Hanya saat giliran saya, petugas perempuan itu bertanya: "Ibu, ibu masih muda kok gelarnya banyak begini, waktu kuliah ambil jurusan dobel gitu tah bu?"
Saya menggeleng. "Secara bertahap, mbak." Jawab saya sambil tersenyum.
"Tadi juga ada bapak-bapak yang gelarnya seperti ibu, tapi beliau sudah tua."
Saya tersenyum lagi sambil mbatin. "Aku yo wis tuwo kok mbak, saking masih kelihatan cantik dan awet muda saja, suwerrr...", gumam saya dengan penuh percaya diri.

Saat berjalan menuju ruang wawancara, saya sempatkan melihat sekeliling. Dinding-dinding warna tanah yang bersih, tanaman-tanaman yang dominan hijau, lantai dove yang nyaman tapi tidak ramah, kaca di mana-mana. Saat saya berjalan, saya membayangkan ada kamera yang mungkin sedang merekam setiap gerak saya, dan seseorang sedang mengamatinya dari sebuah monitor. Memastikan saya tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan. Siapa tahu tiba-tiba saya memanjat pohon untuk memetik bunga-bunga dan merontokkan daun-daunnya.  

Begitu saya tiba di depan pintu, pintu terbuka. Anda tidak perlu mengetuk pintu dan meminta seseorang untuk membukakannya. Begitu Anda tiba di depan pintu, pintu akan terbuka begitu saja.

Saya memasuki ruangan dan mengambil nomor antrian, lantas duduk di ruang tunggu yang langsung berhubungan dengan konter-konter. Saya jadi tahu ternyata orang di dalam ruang ini bisa melihat siapa pun yang sedang berjalan di luar menuju ke ruang ini. Makanya begitu kita sampai di depan pintu, petugas langsung membukakannya untuk kita.

Ada sekitar sebelas orang di ruangan. Satu per satu kami dipanggil menuju konter untuk verifikasi data dan menyerahkan enam berkas pokok: Passport, form DS-160, non-refundable visa application fee receipt, pas foto, form DS-2019, dan original interview appointment letter. Semua berkas ini kami siapkan sejak beberapa waktu yang lalu, berkorespondensi dengan Global Engagement Office, The Utah State University (USU), tempat kami mengambil short course pada awal Oktober sampai pertengahan November nanti. Juga melakukan registrasi online serta membayar sejumlah uang untuk visa dan SEVIS melalui Standard Chartered Bank. 
  
Setelah verifikasi data, kami menunggu sebentar, dipanggil lagi di konter sidik jari. Empat jari kiri, empat jari kanan, dua jari jempol. Menunggu lagi, untuk dipanggil di konter wawancara.

Dua petugas bagian verifikasi, perempuan, Indonesia. Petugas sidik jari, orang Amerika, agak gendut. Petugas pewawancara, orang Amerika juga. Bahasa Indonesia kedua orang itu sangat fasih, meski dengan logat Amerika yang kental. Kebanyakan dari kami diwawancarai dalam Bahasa Inggris, kecuali hanya satu dua orang yang mungkin tidak bisa berbahasa Inggris. Kami bertiga diwawancarai satu per satu, ditanya ini-itu. Saat saya ditanya "what is engineering education?", saya jawab sekenanya: "It's about instructional technology or learning strategies implemented in engineering field." Petugas langsing dan ngganteng itu manggut-manggut. Gumam saya: "mudeng ra? Ora toh? Aku wae yo ra mudeng...."

Mengurus visa untuk pergi ke Amerika ternyata ada seninya tersendiri. Saya ada kesempatan pergi ke luar negeri beberapa kali, termasuk ke Melbourne, setahun yang lalu. Selama ini, visa cukup diuruskan oleh Kantor Urusan Internasional Unesa dan Biro Travel. Tapi untuk ke Amerika, no choice, kami harus mengurusnya sendiri karena ternyata ada banyak tahapan yang tidak mungkin diuruskan orang lain. 

Tujuan kami bertiga pergi ke Amerika adalah untuk mengikuti short course di USU. Saya dan pak Asto dalam bidang yang sama. Curriculum development on Engineering Education. Kepentingan kami lebih demi lembaga, bukan pribadi. Sejak 2013, Unesa telah memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan USU. Namun implementasi dari MoU itu belum terlalu nyata, kecuali sekadar mengundang beberapa professor atau associate professor ke Unesa untuk menjadi dosen tamu atau narasumber seminar. Selebihnya belum ada.

Nah, kebetulan Unesa memiliki beberapa proyek yang didukung oleh Islamic Development Bank (IDB). Salah satunya adalah pemberian beasiswa untuk Non Degree Training (NDT), baik di dalam maupun di luar negeri. Bersama beberapa dosen yang berminat, mencobalah saya untuk mendapatkan dana itu. Membangun korespondensi dengan pihak USU, membuat proposal, presentasi, dan mengurus segala persyaratan. Saat presentasi, saya sempat juga ditanya oleh Kabag Kepegawaian Unesa; "Ibu kan menjabat? Masak mau pergi selama itu?"
Lantas saya jawab: "Saya sudah mempertimbangkan timing-nya, Pak. Saat saya menempuh short term program itu, kegiatan di PPPG agak jeda. Prakondisi SM-3T sudah selesai, peserta sudah diberangkatkan semua, PPL PPP juga sudah selesai, jadi puncak kesibukannya insyaallah sudah reda. Lagi pula, saya perlu tambahan pengalaman untuk upgrading kompetensi saya, selain dalam rangka mewujudkan nota kesepahaman itu."
"Ya sudah, yang penting pimpinan mengizinkan."

Alhamdulilah, surat izin Rektor turun. Surat-surat yang lain seperti financial support letter dan scholarship letter, tidak ada masalah. Mengurus visa dengan segala lika-likunya, setidaknya sampai tahap ini, lancar. 

Begitu juga yang terjadi pada Pak Asto dan Bu Lusia. Meskipun bidang program short term Bu Lusia berbeda, yaitu bidang Image Processing, tapi kami mengurus segala sesuatunya bersama-sama, saling membantu, saling mendukung. Alhamdulilah, Allah benar-benar bermurah hati, dan melancarkan segala urusan kami. Alhamdulilah. Jadi, mari kita menuntut ilmu ke Amerika.


Surabaya, 16 September 2015

Sabtu, 26 September 2015

Aceh Singkil Lagi 3: Sekolah yang Memprihatinkan

Akhirnya, speedboat kami merapat di sebuah dermaga kecil tak bernama. Setelah sekitar empat puluh menit kami mengarungi laut dari Pulau Banyak. Meninggalkan Pulau Balai dengan segala hiruk pikuknya. 

Benar-benar hiruk pikuk. Sejak kemarin pagi saat kedatangan kami, kami sudah berpindah dari satu tempat ke tempat lain yang hampir selalu dipenuhi manusia. Bahkan penginapan kami pun ramai sekali. Ada banyak orang luar Pulau Balai yang menginap. Kebetulan kemarin itu bersamaan dengan kedatangan wakil bupati dan kepala dinas pariwisata beserta puluhan atau bahkan ratusan kru dinas, termasuk para duta wisatanya. Juga ada lomba memancing dan acara-acara lain. Mereka semua sedang menggelar satu kegiatan semacam promosi wisata, dan salah satu obyek wisatanya adalah Pulau Banyak. Jadilah Pulau Balai yang kecil itu, yang pada dasarnya sudah ramai, semakin ramai dipenuhi rombongan wakil bupati, dinas pariwisata, dan dinas pendidikan.

Semalam pun, kami sempat disuguhi acara penyambutan yang memamerkan berbagai macam kreasi seni, kebanyakan tari, yang ditampilkan anak-anak sekolah mulai tingkat PAUD sampai SMA. Dalam guyuran hujan yang cukup deras, acara itu berlangsung sangat meriah di dekat pantai. Kalau dituruti, kami bisa sampai pagi berada di sana, di antara masyarakat yang bergantian menyanyikan lagu-lagu dangdut sambil berjoget. Tapi begitu acara untuk para orang dewasa itu akan dimulai, saya memohon izin kepala dinas untuk undur diri, dan ternyata beliau juga malah ikut undur diri. Ya, besok masih ada perjalanan panjang yang harus kami tempuh, dan cukuplah romantika Pulau Balai ini kami nikmati.

Saat ini, setelah sekitar satu jam tadi pagi kami berbincang dengan para guru SM-3T, kami sudah berada di sini. Di sebuah pulau yang bernama Pulau Banyak Barat (PBB). 

Di pulau ini, ada satu alumni PPG SM-3T Unesa yang namanya dikenal sebagai Alfi Haloban. Haloban adalah nama salah satu desa di pulau ini, tempat tinggal Alfi. 

Kami akan mengunjungi beberapa sekolah di sini. Selain mengunjungi sekolah-sekolah, kami--maksudnya saya--juga akan mengunjungi Alfi. Menemui ibu dan adiknya. Ayah Alfi sudah tiada.

Sebagaimana kegemaran saya bila pergi ke mana pun, saya berusaha untuk selalu menyempatkan bersilaturahim ke rumah saudara, mahasiswa, atau teman. Rasanya bahagia sekali bila bertemu banyak saudara di tempat yang jauh semacam ini.

Haloban panas meski pagi belum lagi berajak siang. Panasnya menyengat sampai menyakiti kulit. Kami berkunjung dari satu sekolah ke sekolah lain, mulai dari PAUD, SD, SMP, dan SMA. Kami melihat betapa guru-guru SM-3T itu begitu dicintai siswa-siswanya, dan disayang guru-guru serta masyarakat setempat. Meskipun memang selalu saja ada hal-hal yang tidak mengenakkan hati, seperti guru setempat yang malas, guru yang tidak peduli, namun pada umumnya, hal-hal tersebut tidak menghambat para guru muda itu untuk melaksanakan tugas mengabdinya secara optimal.  

Di Pulau Banyak Barat ini, kami menemukan satu sekolah yang sangat amat memprihatinkan. Sekolah yang pintu-pintunya hancur, papan tulisnya bolong, kursi siswa seadanya, papan penyekat kelas tidak utuh, dan tanpa ruang guru. 'Ruang guru' ada di halaman depan sekolah, jauh dari bangunan sekolah. Ruang guru yang lebih tepat disebut warung kopi, malah lebih baik warung kopi. Sedih saya melihat itu semua. Sampai seperti tak bisa berkata-kata. Entah siapa yang salah dengan keadaan ini. Tapi kalau saya jadi kepala sekolahnya, saya pasti akan sulap sekolah ini menjadi lebih layak. Toh ada dana BOS yang sebagian dananya bisa dimanfaatkan untuk perbaikan sarana sekolah. Ada orang tua dan masyarakat sekitar yang sangat mungkin bersedia membantu asal kita pandai melakukan pendekatan. Ada kepala dinas dan jajarannya yang saya yakin tak setega itu melihat sekolah yang hancur berantakan macam ini. Kuncinya, menurut saya, adalah kreativitas dan komitmen pimpinan sekolah. Pengalaman menunjukkan, sekolah-sekolah yang maju dan unggul, kunci utamanya ada pada kepala sekolah. Kepala sekolahlah yang membangun komitmen guru dan seluruh warga sekolah bahkan masyarakat sekitar. Membangun kepedulian dan prakarsa. Membangun kecintaan stakeholder pada sekolah dan pendidikan. Perlu kerja keras. Perlu energi besar. Perlu bersusah-payah. Perlu kerelaan dan passion. 

Pertanyaannya, adakah ini semua dimiliki oleh kepala sekolah? Jawabannya bisa dilihat dari apa yang nampak secara kasat mata.

Pulau Banyak Barat, Aceh Singkil, 22 April 2015

Wassalam,
LN

Jumat, 25 September 2015

ARTIKEL ILMIAH POPULER DAN MAKALAH

Luthfiyah Nurlaela

A. PENDAHULUAN
Menulis bukan lagi sebuah kerja elit. Setiap orang bisa dan harus bisa menulis. Menulis saat ini bahkan dianggap sebagai sebuah kerja alamiah, sebagaimana makan, tidur, bernyanyi, dan beranak. Menulis menjadi sebuah kebutuhan dasar.
Menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan. Ide dan pikiran akan menguap tanpa ditulis. Perkataan dan pendapat akan cepat hilang tanpa ditulis. Dengan menulis, kita mengabadikan ide, pikiran, dan mungkin impian atau cita-cita. Dengan menulis, kita memberikan sebuah ‘warisan’, karena tulisan memiliki kemampuan untuk menembus ruang dan waktu.
Kegiatan menyusun artikel ilmiah, baik berupa artikel ilmiah populer maupun makalah ilmiah, merupakan kegiatan yang erat kaitannya dengan aktivitas guru.  Namun ada sebagian guru – bahkan mungkin sebagian besar – yang menganggap bahwa membuat suatu karya ilmiah adalah pekerjaan yang sulit dan memerlukan banyak waktu. Oleh sebab itu karya ilmiah yang dihasilkan oleh guru, setiap tahunnya sangat terbatas jumlahnya, itu pun dengan kualitas yang belum terlalu menggembirakan. Dari segi substansi keilmuan maupun dari segi metodologi dan sistematikanya masih perlu dibenahi.
Kondisi ini tentunya tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena karya ilmiah adalah bagian dari tugas profesional guru yang seharusnya dipenuhi. Selain itu, dengan sering menyusun karya ilmiah, sebenarnya ada proses mengasah wawasan, logika, dan penalaran, agar lebih kritis, kreatif, dan berpengetahuan luas.
Merujuk Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (PermenPAN & RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru, guru yang akan naik jenjang menjadi golongan III-b ke atas, wajib menyusun karya tulis, sebagai bukti profesional dalam tugasnya. Dalam aturan itu terdapat 10 item yang bisa dipilih para guru PNS yang akan naik pangkat antara lain penelitian tindakan kelas (PTK), jurnal ilmiah, presentasi, dan pembuatan buku pelajaran. Setiap guru PNS diwajibkan melaksanakan salah satu item sebelum naik pangkat.
Beberapa kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menulis karya ilmiah dengan baik antara lain adalah: a) pengetahuan dasar tentang penulisan karya ilmiah, baik yang berkenaan dengan teknik penulisan maupun yang berkenaan dengan notasi ilmiah. Di samping itu, keterampilan menggunakan bahasa tulisan dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku; b) memiliki wawasan yang luas mengenai bidang kajian keilmuan; c) pengetahuan dasar mengenai metode penelitian.
Kemampuan-kemampuan tersebut hendaknya ditunjang oleh motivasi dan kemauan yang tinggi. Bagaimanapun luasnya wawasan dan keterampilan, tanpa adanaya kemauan untuk mencoba melakukannya, maka karya tulis tersebut tidak akan pernah terwujud.
Tulisan ini menyajikan penulisan artikel ilmiah popular dan makalah.
B. ARTIKEL ILMIAH POPULER
Untuk memahami jenis artikel ilmiah populer, perlu dikaji pengertian kata: artikel, ilmiah, dan populer. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artikel merupakan karya tulis lengkap, misalnya berupa laporan berita atau esai di majalah, surat kabar, dan sebagainya. Pendapat lain tentang artikel adalah sebuah karangan prosa yang dimuat dalam media massa, yang membahas isu tertentu, persoalan, atau kasus yang berkembang dalam masyarakat secara lugas. Lebih lanjut, artikel merupakan: 1) karya tulis atau karangan; 2) karangan nonfiksi; 3) karangan yang tak tentu panjangnya; 4) karangan yang bertujuan untuk meyakinkan, mendidik, atau menghibur; 5) sarana penyampaiannya adalah surat kabar, majalah, dan sebagainya; dan 6) wujud karangan berupa berita khas atau karkhas atau feature (Pranata 2002: 120).
Ilmiah berarti bersifat ilmu, atau memnuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan. Karya ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan mengkaji suatu masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Karya ilmiah menggunakan metode ilmiah dalam membahas permasalahan, menyajikan kajiannya dengan bahasa baku dan tata tulis ilmiah, serta menggunakan prinsip-prinsip keilmuan yang lain seperti objektif, logis, empiris (berdasarkan fakta), sistematis, lugas, jelas, dan konsisten. Pada mulanya karya tulis ilmiah adalah tulisan yang didasarkan atas penelitian ilmiah. Namun belakangan mulai berkembang suatu paradigma baru bahwa suatu karya tulis ilmiah tidak harus didasarkan atas penelitaian ilmiah saja, melaikan juga suatu kajian terhadap suatu masalah yang dianalisis oleh ahlinya secara profesional.
Populer berarti dikenal dan disukai orang banyak (umum). Populer juga bisa berarti sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya, atau mudah dipahami orang banyak. Istilah populer merujuk kepada penggunaan bahasa yang relatif lebih santai, padat, serta mudah dicerna oleh masyarakat pembacanya yang beragam.
Dengan demikian bisa disimpullan, karya tulis ilmiah populer merupakan karya tulis yang berpegang kepada standar ilmiah, tetapi ditampilkan dengan bahasa yang umum sehinggamasyarakat awam  mudah memahaminya. Artikel ilmiah populer dapat dikatakan sebagai sarana komunikasi antara ilmu dengan masyarakat awam.
1. Karakteristik
Beberapa karakteristik artikel ilmiah popular adalah sebagai berikut:

Judul
Judul merupakan hal pertama yang dibaca dan menjadi perhatian para pembaca. Oleh sebab itu, judul harus mampu menawarkan sesuatu yang istemewa dan menggigit.  Judul seharusnya mampu membuat orang penasaran dan ingin tahu lebih jauh tulisan kita.
Beberapa cara yang dapat dilakukan agar judul tulisan kita menarik perhatian pembaca, adalah bahwa judul sebaiknya: a) unik, lain dari yang lain ; b) sensasional dan bombastis; c) kontroversial, yaitu pendapat yang berbeda dengan pandangan umum; d) mengandung rahasia; e) memberikan jawaban atas persoalan hidup; f) mengikuti judul sebelumnya yang booming di pasaran; dan g) memanfaatkan istilah yang lagi ngetrend di masyarakat.

Topik Bahasan
Dari segi topik bahasan, tulisan ilmiah populer cenderung membahas permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat di sekitarnya. Jika anda sebagai tenaga pendidik, maka cakupan bahasan tertuju pada kegiatan pendidikan. Berbeda dengan karya tulis ilmiah murni yang lebih sering berkutat dalam bidang ilmiah yang jauh dari jangkauan masyarakat awam.   
Kecerdasan menentukan topik bahasan akan sangat berpengaruh kepada menarik atau tidaknya hasil karya tulis. Ada beberapa kiat untuk menarik minat pembaca terhadap sebuah tulisan seperti ilmiah populer, di antaranya: a) kaitkan dengan kondisi atau issu actual; b) kaitkan dengan aktivitas sehari-hari; c) perkenalkan ilmu atau temuan baru sehingga membawa khalayak terpengaruh oleh pemikiran yang terdapat pada tulisan; dan d) bahas permasalahan dengan sudut pandang yang baru atau berbeda dengan bahasan-bahasan topik sejenis.

Bahasa
Bentuk sajian tulisan ilmiah berbeda-beda. Isi tulisan yang sama akan mempunyai bentuk sajian berbeda bila disajikan untuk tujuan dan melalui media yang berbeda. Hal ini sesungguhnya terletak pada bahasa penyampaian yang digunakan.  
Makalah ilmiah dan tulisan ilmiah tertentu pada umumnya mempersyaratkan bentuk sajian tulisan dengan penggunaan bahasa yang baku dan sangat  terikat dengan kaidah bahasa Indonesia resmi. Sedangkan artikel ilmiah populer yang dimuat di media masa seperti koran, justru mempersyaratkan tulisan ilmiah dengan bahasa yang luwes, agak longgar, dan komunikatif atau mudah dipahami masyarakat umum. Oleh karena target pembacanya adalah khalayak umum, kita perlu mencermati bahasa yang kita gunakan dalam menulis artikel ilmiah populer ini. Karena meskipun bersifat ilmiah (karena memakai metode ilmiah), bukan berarti tulisan yang kita hasilkan ditujukan untuk kalangan akademisi. Artikel ilmiah populer ditujukan kepada para pembaca umum.
Mengingat hal tersebut, kita perlu membedakan antara kosakata ilmiah dan kosakata populer. Kata-kata populer merupakan kata-kata yang selalu akan dipakai dalam komunikasi sehari-hari, baik antara mereka yang berada di lapisan atas maupun di lapisan bawah, demikian sebaliknya. Sedangkan kata-kata yang biasa dipakai oleh kaum terpelajar, terutama dalam tulisan-tulisan ilmiah, pertemuan-pertemuan resmi, diskusi-diskusi khusus disebut kata-kata ilmiah. (Keraf 2004: 105-106).

Beberapa kata ilmiah dan populer, antara lain:

analogi
kiasan
anarki
kekacauan
bibliografi
daftar pustaka
biodata
biografi singkat
definisi
batasan
diskriminasi
perbedaan perlakuan
eksentrik
aneh
final
akhir
formasi
susunan
format
ukuran
friksi
bagian, pecahan
indeks
penunjuk
konklusi
kesimpulan
kontemporer
masa kini, mutakhir
kontradiksi
pertentangan
menganalisa
menguraikan
prediksi
ramalan
pasien
orang sakit

2. Menguji Gagasan
Menentukan atau memastikan topik atau gagasan yang hendak dibahas merupakan prinsip utama dalam menulis artikel ilmiah. Ketika sudah menentukan gagasan tersebut, kita bisa melakukan sejumlah pengujian. Pengujian ini terdiri dari lima tahap sebagai berikut:
a.        Apakah gagasan itu penting bagi sejumlah besar orang?
b.       Dapatkah gagasan ini disempitkan sehingga mempunyai fokus yang tajam?
c.        Apakah gagasan itu terikat waktu?
d.       Apakah gagasan itu segar dan memiliki pendekatan yang unik?
e.        Apakah gagasan Anda akan lolos dari saringan penerbit?
3. Pola Penggarapan
Ketika hendak menyajikan artikel, kita tidak hanya dihadapkan pada satu kemungkinan pola. Setidaknya ada  lima pola yang bisa kita gunakan untuk menyajikan artikel ilmiah popular tersebut, meliputi:
a.        Pola pemecahan topik
Pola ini memecah topik yang masih berada dalam lingkup pembicaraan yang ditemakan menjadi subtopik atau bagian-bagian yang lebih kecil dan sempit kemudian menganalisis masing-masing.
b.       Pola masalah dan pemecahannya
Pola ini lebih dahulu mengemukakan masalah (bisa lebih dari satu) yang masih berada dalam lingkup pokok bahasan yang ditemakan dengan jelas. Kemudian menganalisa pemecahan masalah yang dikemukakan oleh para ahli di bidang keilmuan yang bersangkutan.
c.        Pola kronologi
Pola ini menggarap topik menurut urut-urutan peristiwa yang terjadi.
d.       Pola pendapat dan alasan pemikiran
Pola ini baru dipakai bila penulis yang bersangkutan hendak mengemukakan pendapatnya sendiri tentang topik yang digarapnya, lalu menunjukkan alasan pemikiran yang mendorong ke arah pernyataan pendapat itu.
e.        Pola pembandingan
Pola ini membandingkan dua aspek atau lebih dari suatu topik dan menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Inilah pola dasar yang paling sering dipakai untuk menyusun tulisan.
Kelima pola penggarapan artikel di atas dapat dikombinasikan satu dengan yang lain sejauh dibutuhkan untuk menghadirkan sebuah tulisan yang kaya.
4. Sistematika Penyajian
Kerangka isi atau sistematika penyajian dalam artikel ilmiah populer disesuaikan dengan persyaratan atau kelaziman (gaya selingkung) dari media massa yang akan mempublikasikan tulisan tersebut. Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah beberapa hal terkait dengan menulis artikel ilmiah populer secara sederhana.
Adapun cara penyajiannya meliputi; (1) Pendahuluan, (2) Inti atau Isi, dan (3) Penutup.
Pendahuluan
Pendahuluan menguraikan hal yang dapat menarik perhatian pembaca dan memberikan acuan terhadap permasalahan yang dibahas, misalnya menonjolkan hal-hal kontroversial atau belum tuntas dalam pembahasan permasalahan terkait dalam artikel-artikel atau naskah lain yang telah dipublikasikan.
Untuk bagian pendahuluan, setidaknya ada tujuh macam bentuk pendahuluan yang bisa digunakan. Salah satu dari ketujuh bentuk pendahuluan berikut ini dapat kita jadikan alternatif untuk mengawali penulisan artikel kita.
a.        Berbentuk ringkasan, mengemukakan pokok isi tulisan secara garis besar.
b.       Pernyataan yang menonjol, biasanya disebut juga sebagai "pendahuluan kejutan", diikuti kalimat kekaguman untuk membuat pembaca terpesona.
c.        Pelukisan, merupakan pendahuluan yang melukiskan suatu fakta, kejadian, atau hal untuk menggugah pembaca karena mengajak mereka membayangkan bersama penulis apa-apa yang hendak disajikan dalam artikel itu nantinya.
d.       Anekdot, pembukaan jenis ini sering menawan karena memberi selingan kepada nonfiksi, seolah-olah menjadi fiksi.
e.        Pertanyaan, pendahuluan ini merangsang keingintahuan sehingga dianggap sebagai pendahuluan yang bagus.
f.         Kutipan orang lain, pendahuluan berupa kutipan seseorang dapat langsung menyentuh rasa pembaca, sekaligus membawanya ke pokok bahasan yang akan dikemukakan dalam artikel nanti.
g.        Amanat langsung, pendahuluan berbentuk amanat langsung kepada pembaca sudah tentu akan lebih akrab karena seolah-olah tertuju kepada perorangan.
Inti atau Isi
Bagian inti atau isi disarankan dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Masing-masing dibatasi dengan subjudul-subjudul. Selain memberi kesempatan agar pembaca beristirahat sejenak, subjudul juga bertugas sebagai penyegar, pemberi semangat baca yang baru. Oleh karena itu, ada baiknya subjudul tidak ditulis secara kaku. Pada bagian ini, kita bisa membahas topik secara lebih mendalam. Uraikan persoalan yang perlu dibahas, bandingkan dengan persoalan lain bila diperlukan.
Isi bagian ini sangat bervariasi, berisi kupasan, analisis, argumentasi, komparasi, keputusan, dan pendirian atau sikap penulis mengenai masalah yang dibicarakan. Kupasan yang argumentatif, analitik, dan kritis serta sistematika yang runtut dan logis serta berciri komparatif dan menjauhi sifat tertutup dan instruktif. Isi bagian ini jangan terlalu panjang dan menjadi bersifat enumeratif seperti halnya diktat atau laporan.
Penutup 
Penutup biasanya berisi tentang kesimpulan atau penegasan penulis atas masalah yang dibahas pada bagian sebelumnya atau menampilkan segala yang telah dibahas terdahulu secara ringkas. 
Ketika hendak mengakhiri tulisan, kita tidak harus secara tegas menuliskan subjudul berupa "Penutup" atau "Simpulan". Penutupan artikel bisa kita lakukan dengan menggunakan gaya berpamitan. Gaya pamit itu bisa ditandai dengan pemarkah seperti "demikian", "jadi", "maka", "akhirnya", dan bisa pula berupa pertanyaan yang menggugah pembaca.
5. Pemeriksaan Isi Artikel
Jika sudah selesai menulis artikel, hal selanjutnya ialah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Untuk meyakinkan bahwa artikel yang kita hasilkan sudah baik, kita harus memeriksa tulisan kita.
Beberapa pertanyaan berikut perlu kita jawab untuk memandu mengecek artikel yang kita tulis. Pada bagian pembukaan, beberapa pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah kalimat pembuka mampu menarik perhatian pembaca? Dapatkah pembaca mulai mengerti ide yang kita tuangkan? Jika tulisan kita serius, adakah kata-kata yang kurang tepat? Apakah pembukaan kita menyediakan cukup informasi?
Pada bagian inti atau isi, apakah kalimat pendukung sudah benar-benar mendukung pembukaan? Apakah masing-masing kalimat berhubungan dengan ide pokok? Apakah ada urutan logis antarparagraf?
Pada bagian simpulan, apakah disajikan dengan cukup kuat? Apakah mencakup semua ide tulisan? Bagaimana reaksi kita terhadap kata-kata dalam simpulan tersebut? Sudah cukup yakinkah kita bahwa pembaca pun akan memiliki reaksi yang sama seperti kita? Jika kita menjawab "tidak" untuk tiap pertanyaan tersebut, berarti kita perlu merevisi artikel itu dengan menambah, mengganti, menyisipi, dan menulis ulang bagian yang salah.

C. MAKALAH ILMIAH
Makalah ilmiah adalah karya tulis yang memuat pemikiran tentang suatu masalah atau topik tertentu yang ditulis secara sistematis dan runtut disertai analisis yang logis dan objektif. Makalah biasanya ditulis untuk disajikan dalam forum ilmiah. Makalah harus mengandung permasalahan yang menuntut pemecahan, adanya prosedur atau metode pemecahan masalah, adanya hasil pemecahan masalah atau pembahasan masalah, dan adanya kesimpulan pembahasan.
Berdasarkan prosedur pemecahan masalah, ada dua jenis makalah ilmiah: a) makalah deduktif atau makalah yang pemecahan masalahnya didasarkan atas berpikir rasional dan atau melalui telaah kepustakaan (nonpenelitian); b) makalah induktif atau makalah yang pemecahan masalahnya didasarkan atas berpikir empiris melalui data dan fakta yang diperoleh dari lapangan (hasil penelitian).
Isi keseluruhan makalah setidak-tidaknya terdiri atas pendahuluan, permasalahan, pembahasan masalah, simpulan dan saran.
Ada dua langkah yang harus ditempuh dalam menyusun makalah ilmiah, yaitu: 1) merancang isi makalah; 2) menulis makalah berdasarkan rancangan yang telah dibuat.
1. Merancang Isi Makalah
Tahap-tahap dalam merancang isi makalah yang paling mendasar adalah sebagai berikut:
a.       Menentukan tema, permasalahan, dan judul makalah
Tema makalah adalah bidang kajian makalah, misalnya bidang pengajaran, penilaian, kesulitan belajar, motivasi belajar, dan lain-lain. Permasalahan adalah pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang tersebut, sedangkan judul adalah refleksi dari permasalahan sehubungan dengan tema yang dipilih.
b.      Tahap berikutnya adalah merancang alternatif pembahasan untuk setiap masalah yang diajukan. Alternatif pembahasan menggunakan pendekatan deduktif  melalui kajian teori atau tinjauan pustaka. Oleh sebab itu penulis makalah harus mempelajari bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dipilih dan alternatif pemecahan masalah tersebut.
c.       Rancangan simpulan dan saran
Simpulan merupakan sintesis dari isi pembahasan sehubungan dengan permasalahan yang diajukan.
2. Menulis Makalah
Keterampilan menulis menjadi persyaratan utama dalam menyusun makalah karena bagaimanapun baiknya rancangan, jika tidak ditulis secara lengkap dan baik, tidak akan menghasilkan sesuatu yang berarti. Hal-hal yang diperlukan dalam keterampilan menulis antara lain adalah: a) alur pikir bahan yang akan ditulis; b) bahasa tulisan untuk mengekspresikan buah pikiran tersebut; c) kedua keterampilan ini dapat dilatihkan melaui kebiasaan menulis.
Beberapa petunjuk yang harus diperhatikan dalam menulis makalah berdasarkan rancangan yang telah dibuat adalah:
  1. Kumpulkan bahan-bahan (buku, majalah ilmiah, hasil penelitian, dan lain-lain) yang berkaitan denganm isi rancangan yang telah dibuat.
  2. Setelah bahan diperoleh dan setiap butir dianalisis menjadi beberapa subbutir untuk ditulis lebih lanjut, mulailah menuliskannya. Pada tahap pertama tuliskan apa yang ada dalam pikiran kita, namun tetap berpedoman pada rambu-rambu yang ada dalam rancangan. Selesaikan satu bagian secara lengkap sebelum dilakukan koreksi, baca kembali dan koreksi yang telah diselesaikan itu sebelum melanjutkan ke bagian berikutnya.
  3. Setelah semua bagian selesai ditulis, baca kembali hasil tulisan tersebut. Periksa kesinambungan isi dari setiap bagian atau bab, konsistensinya, bahasannya, kelengkapannya, kebenaran isisnya, aturan penulisannya, dan aspek lain yang dianggap perlu.
Berdasarkan koreksi tersebut, mintalah orang lain yag dianggap lebih mengerti atau ahli untuk memeriksa atau mempelajarinya, sekaligus memberikan komentar dan masukannya.

D. PENUTUP
Tulisan ilmiah yang tersaji dengan menggunakan bahasa dan forum yang lebih populer disebut dengan tulisan ilmiah populer, seperti tulisan yang dimuat di surat kabar. Perlu ditekankan bahwa sebagai sebuah titian yang menjembatani dunia ilmiah dengan masyarakat umum, tulisan ilmiah populer memiliki peran penting dalam misi pencerdasan kehidupan umat. Standar kecanggihan sebuah tulisan ilmiah populer tidaklah terletak pada bahasa ilmiah yang membingungkan. Justeru ia menemukan nilainya di pemilihan bahasa yang mampu dicerna orang banyak. Di situlah ia menemukan hakikat populer yang melekat di ujung nama.
Bila akan menulis makalah ilmiah, tema dan masalah yag akan dibahas dalam makalah tersebut haruslah dipilih yag paling dikuasai dan diminati. Tema dan masalah yag kurang dikuasai akan menghambat selesainya penulisan. Tema dan masalah yag dikuasai dan diminati itu selanjutnya diperkaya melalui bacaan dari berbagai literatur agar wawasan dan kajian terhadap permasalahan tersebut bias lebih mendalam dan menyeluruh
Sebagai penutup dalam tulisan singkat ini, perlu disadari oleh semua guru bahwa kemampuan menulis pada dasarnya memerlukan keberanian, jangan takut salah dan jangan takut dikritik orang lain. Di samping itu, kebiasaan, pelatihan dan kesungguhan menulis mutlak diperlukan. Banyak membaca tulisan orang lain sangat membantu keterampilan menulis.
RUJUKAN
Elbow, Peter.1998. Writing without Teachers. New York: Oxford University Press.
Eneste, Pamusuk. 2005. "Buku Pintar Penyuntingan Naskah". Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga tahun 2002. Diterbitkan oleh Balai Pustaka; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  
Keraf, Gorys. 2004. "Diksi dan Gaya Bahasa". Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pranata, Xavier Quentin. 2002. "Menulis dengan Cinta: Belajar Mandiri dan Mengajarkan Kembali Jurnalisme Kasih Sayang". Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. "Kamus Besar Bahasa Indonesia". Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Soeseno, Slamet. 1982. "Teknik Penulisan Ilmiah-Populer". Jakarta: Gramedia.
Sudjana, N. 1989. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung: CV. Sinar Baru.

Tartono, St. S. 2005. "Menulis di Media Massa Gampang!". Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.