Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 01 Desember 2015

Go To America (5): Barbecue dan Seuntai Doa

Minggu pagi yang cerah, dan kami punya acara menarik hari ini. Ya, barbecue. Bersama orang Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya. Tentu saja mereka tidak hanya datang dari Logan, namun juga dari Wyoming dan Idaho.

Semalam, Andreas dan Firda ada di apartemen kami. Sekeranjang besar daging domba yang sudah dipotong-potong dalam ukuran besar dibawanya. Bersama seorang temannya, namanya Adam. Saya tidak sempat beramah-tamah dengan Adam karena dia juga tidak berlama-lama di apartemen kami. Sekadar mengantarkan daging domba yang menurut saya entah untuk berapa puluh orang itu. Banyak sekali.

Saya 'kamitenggengen.' 
"Ndre, maksudnya, ini kita yang harus mempersiapkan?"
"Ya, Bu. Dipotong-potong, ditusuk-tusuk, untuk barbecue besok."
'Hah?" Saya menahan diri untuk tidak menunjukkan kekagetan saya. Tidak tega melihat Andreas dan Firda yang sudah langsung menyingsingkan baju dan siap dengan pisau dan talenan. 

Saya sebenarnya ingin protes. Kok bisa-bisanya sih kami yang harus kerepotan seperti ini? Saya tidak membayangkan akan jadi tamu istimewa dalam barbecue itu, tapi setidaknya saya tidak dibebani dengan pekerjaan berat mempersiapkan daging-daging ini. Kami ini kan orang baru, orang tua-tua lagi. Masak sih, disuruh ngurusin daging satu ekor domba utuh begini, sama anak-anak muda ini?

"Ndre, tahu gini aku nggak mau, Ndre...." Tidak tahan, akhirnya saya protes juga.
"Terus, gimana?"
"Kupikir kita nggak ikut-ikutan repot begini...."
"Jadi tamu begitu?"
"Tidak juga. Tapi tidak repot begini. Ini namanya kalian ngerjain kami."
"Terus, gimana?" 
"Ya sudah, gimana lagi."

Siang ini, kami sudah berkumpul. Daging yang semalam kami persiapkan, sudah berada di atas alat barbecue yang tersedia di taman. Oya, hampir di setiap kompleks apartemen, tersedia taman, playground, dan alat untuk barbacue. Siapa saja penghuni apartemen bisa menggunakannya, asal mendaftar lebih dulu. Kalau mau acaranya di dalam ruang, ruang yang cukup luas juga tersedia. Lengkap dengan pantry, alat-alat memasak dan menghidangkan, bumbu-bumbu, bahkan piano dan sound system. 

Tapi kami hari ini memilih tempat di taman, persis di belakang apartemen Andreas. Ada meja-meja panjang dan kursi-kursi, yang juga bisa dipinjam di FASA, kantor yang melayani semua keperluan penghuni asrama. Suhu udara yang meskipun dingin masih memungkinkan kami untuk menikmati sate domba dan berbagai makanan lain di luar. Sate udang, nasi basmati, couscous makanan khas Meksiko, dan makanan lain yang dibawa oleh para undangan. Reyla dan suaminya Ryan, membawa bihun goreng. Reyla dari Cibinong dan Ryan, suaminya, asli Amerika. Silvia, mahasiswa S2 Civil engineering dari Sumba Barat, membawa es krim Aggie Blue yang terkenal lezat itu. Es krim itu diproduksi sendiri oleh USU. Saya dan Bu Lusia, meskipun tidak membawa apa-apa kecuali buah apel,  menyiapkan sambal salsa, couscous, nasi basmati, dan juga memanggang naan bread sejak pagi tadi. Pak Asto juga sudah membantu memanggang sate di taman, bersama para bapak yang lain. 
Ternyata lumayan juga orang Indonesia di Utah. Setidaknya ada sekitar dua puluh orang yang siang ini hadir. Termasuk Pak Oenardi dan Bu Nanik, isterinya. Yang lain adalah para laki-laki yang bekerja sebagai chef. Mas Andi, Pak Agus, Mas Fuad, dan Mas Aries, serta beberapa nama lain. Ada Adam yang juga mahasiswa S2 USU, yang asli kelahiran dan warga negara Saudi Arabia, namun ibunya adalah perempuan Sunda. Adam fasih berbahasa Indonesia karena ibunya mengajarinya sebagai bahasa sehari-hari. Juga ada beberapa nama yang datang dari Idaho dan Wyoming. 

Berteman dengan para chef itu sungguh menyenangkan. Mereka ramah, humoris, cerdas. Kebanyakan atau mungkin hampir semua, mereka sarjana. Tapi bidang kerja yang saat ini mereka geluti, sama sekali tidak ada hubungannya dengan bidang yang ditekuninya di bangku kuliah. Mereka semua bekerja di restoran. Dengan gaji awal USD 1500, dan sekarang rata-rata gaji mereka sudah di atas USD 3000. Sangat amat lumayan. Jauh lebih tinggi dibanding gaji dosen di Indonesia, bahkan gaji guru besar sekali pun. 

Itulah yang membuat mereka bertahan di sini. Meski jauh dari anak istri. Meski harus bekerja dari pagi hingga malam, hampir setiap hari. Dunia mereka adalah apartemen dan tempat kerja. Sekali-sekali pergi pesiar dengan teman-teman bila ada lbur kerja. Di awal-awal kedatangan mereka di sini, memang sebagian dari mereka sempat mengalami stres. Tapi sekarang semua baik-baik saja, sudah terbiasa dengan kondisi yang ada. Komunikasi dengan keluarga juga mudah dan murah, karena bisa via skype atau watssapp yang hanya memanfaatkan free wifi. Mengirim uang pada keluarga di Tanah Air juga tidak sulit karena bisa dilakukan di bank mana pun yang mereka mau. 

Para pekerja itu datang ke Amerika sebenarnya dengan visa turis. Visa yang hanya berlaku enam bulan. Namun mereka tidak pulang meski masa berlaku visa sudah habis. 
"Tidak dikejar-kejar seperti di Arab atau di Malaysia begitukah, Mas?" Tanya saya pada Mas Aries, pria asal Yogyakarta, yang sudah lebih dari sepuluh tahun di Amerika.
"Tidak, Bu. Di sini semua pendatang seperti kami aman. Bisa hidup tenang, bisa punya rumah, punya mobil. Keluarga bisa datang setahun sekali berlibur di sini bersama kami. Yang penting kita tidak melakukan tindak kriminal, semuanya baik-baik saja." Jelasnya.

Okay, jelas. Dan itulah hidup. Selalu dihadapkan pada pilihan. Di sini uang mudah dan berlimpah, tapi Anda harus bekerja selama sepuluh sampai dua belas jam sehari. Dari pagi hingga malam. Jangankan salat Jumat, menunaikan salat wajib saja musykil. Salat setiap hari dikumpulkan saja, dirapel setelah pulang kerja. Di tempat kerja, Anda tidak bisa memilih-milih pekerjaan. Bila Anda seorang chef dan harus menyiapkan makanan berbahan dasar daging babi atau bahan-bahan tidak halal yang lain, maka Anda harus lakukan itu. Tidak ada pilihan.

"Tidak pingin pulang ke Tanah Air, Mas?" Tanya saya pada Mas Andi, pria asal Pulogadung, Jakarta, yang sudah tujuh tahun di Amerika.
"Aduh, pingin sekali, Bu. Tapi gimana lagi."
"Kan bisa ambil cuti, Mas?"
"Sekali kami pulang, selamanya kami tidak bisa balik ke sini, Bu. Langsung di-black list."
"Ow." Saya surprised. "Begitu ya?" 

Hati saya terenyuh. Mereka sedang berjuang demi hidup yang lebih layak, yang mungkin akan sulit mereka dapatkan bila berada di Tanah Air. Meski mereka mengakui, "seenak-enak bekerja di negeri orang, lebih enak bekerja di negeri sendiri." Namun demi sebuah kehidupan yang lebih baik, saat ini mereka harus bertahan dulu dalam situasi ini. Mas Andi bahkan sudah mulai ancang-ancang menyekolahkan anaknya di Amerika, supaya anaknya dapat dekat dengan dia dan dia tetap bisa membiayai sekolah anaknya dengan aman.  

Siang semakin larut dan saya pamit pulang ke apartemen dulu untuk menunaikan salat dhuhur. Sambil melangkahkan kaki, pikiran saya masih dipenuhi dengan bayangan Mas Aries, Mas Andi, Mas Fuad, Pak Agus, dan wajah-wajah lain yang datang dari Wyoming dan Idaho. Mereka adalah saudara-saudara saya. Merekalah pejuang sejati bagi keluarga mereka. Saya seperti bisa merasakan betapa rasa rindu pada anak isteri itu begitu menyiksa, namun mereka harus mampu mengendapkan itu semua justeru karena sayang mereka pada keluarga terkasih. Dalam hati, saya menguntai doa. Ya Allah, berikan kesehatan dan perlindungan selalu bagi mereka dan seluruh keluarga mereka. Dalam naungan kasih dan sayang-Mu yang tak pernah putus. Selalu. 

Aggie Village Apt., Logan, Utah, Minggu, 11 Oktober 2015

Go To America (4): Andreas dan Firda

Sore yang dingin, pukul 18.30. Saya janjian sama Andreas dan Firda untuk pergi ke public laundry yang ada di kompleks apartemen kami. Kebetulan kami, meski tidak berdekatan, berada dalam satu kompleks apartemen, yaitu Aggie Village. Saya di 28 H, dan Andreas bersama Firda di 16 J.

Andreas dan Firda adalah pasangan muda. Andreas, S1 dan S2-nya lulusan UI, jurusan Ilmu Komputer, sedang mengambil Ph.D di USU, dalam bidang Engineering Education. Ini adalah tahun ketiga dia di USU. Firda, isterinya, baru menyusul sekitar sebulan ini. Sekitar dua bulan yang lalu mereka menikah. Firda juga lulusan UI, jurusan Manajemen Rumah Sakit.

Di mata saya, kedua orang muda itu begitu baik. Dalam kondisi apa pun, mereka seperti siap menolong siapa saja. Tempo hari mereka datang ke apartemen kami, setelah sehari sebelumnya bertemu di rumah Pak Oenardi,  tiga hari setelah kedatangan kami. Tujuan mereka tentu saja bersilaturahim, dan mengajak kami untuk barbecue bersama teman-teman Indonesia yang ada di Logan dan sekitarnya, pada hari Sabtu. 

Tentu saja kami menyambut ajakan Andreas dengan suka cita. Bertemu dengan banyak orang dan makan-makan, adalah dua di antara hobi saya. 

Sebelum saya turun tadi (apartemen saya ada di lantai 2), Firda sudah menelepon lewat WA.
"Bu, apa jadi mau ke laundry?"
"Ups, boleh, Firda. Tapi saya masih masak?" 
"Berapa lama lagi kira-kira, Bu?"
"Setengah jam?"
"Ehm....boleh. Kami tunggu di taman dekat playground."
"Oke. Thank you."

Kebetulan Bu Lusi, teman seapartemen, sedang di kamar, mungkin tidur. Saya segera berbenah. Menyiapkan makanan di meja makan. Mengambil baju-baju kotor saya yang sengaja saya tumpuk saja, tidak ada yang saya cuci kecuali underwear. Sudah saya niatkan untuk mencucinya di public laundry. Bukan apa-apa. Saya hanya butuh pengalamannya. Seperti yang saya lihat di film-film. Orang biasa mencuci baju-baju mereka di public laundry, membayar dengan koin atau credit card. Saya ingin pengalaman itu. Udik banget ya? Nggak apa, mumpung lagi di sini. Di tempat saya, di Karah, tidak ada fasilitas semacam itu. Ada sih, jasa laundry, tapi yang mencuci pemilik jasa, bukan pelanggan. 
Dari kejauhan, saya sudah bisa melihat Andreas dan Firda yang lagi duduk-duduk di taman. Saya melambai dan mereka membalas lambaian saya. Public laundry hanya sekitar lima puluh meter dari tempat itu. Kami langsung menuju ke sana.

Andreas meminta saya membaca manual di mesin cuci. Melakukan instruksi setahap demi setahap. "O, kamu sedang mengajariku dengan metode direct teaching, Ndre." Kata saya. "Yap. Betul."

Tapi saya tidak punya koin sebagaimana yang seharusnya. Lima buah 0.25 dollar. Ternyata untuk hal begini pun, Andreas sudah menyiapkannya.

Maghrib tiba dan kami meninggalkan tempat laundry untuk menunaikan salat di apartemen Andreas. Apartemen Andreas berjarak sekitar 100 meter dari tempat laundry. Lebih dekat daripada apartemen saya. Makanya saya lebih memilih menumpang salat di rumah Andreas daripada pulang ke apartemen, dan nanti kembali lagi untuk mengambil pakaian saya.

Saat salat berjamaah itulah keharuan saya menyeruak. Andreas yang menjadi imam kami, membaca surat Ar-Rahman. Tidak utuh. Mungkin sekitar dua puluh ayat di rakaat pertama dan lima belas ayat di rakaat kedua. Namun setiap kali bacaannya sampai pada ayat "fa bi ayyi alaai robbikumaa tukadzibaan," hati saya bergetar. 

Saya sedang berada jauh dari tempat tinggal saya. Berjarak terbang lebih dari 20 jam. Berbeda waktu sekitar 13 sampai 14 jam. Semua seperti terjadi begitu saja. Proses yang saya lalui untuk sampai bisa ke sini, tidaklah terlalu sulit. Satu-satunya yang berat bagi saya adalah berpisah dengan keluarga. Berat sekali rasanya.

Ini adalah perpisahan saya terlama dengan keluarga. Saat saya menempuh S2 di Yogyakarta, hampir setiap minggu kami bertemu. Saat mengemban berbagai tugas di luar kota, seingat saya yang terlama selama sepuluh hari, yaitu saat saya melakukan monitoring Program SM-3T di Maluku Barat Daya. 

Namun hati saya yang ragu untuk berangkat ke sini,  justeru dikuatkan oleh Mas Ayik, suami saya. Juga oleh ibu. Keraguan saya antara berangkat dan tidak, dipatahkan dengan dorongan keluarga. Bahwa ini adalah peluang. Kesempatan emas untuk menambah wawasan dan pengalaman. Kesempatan emas untuk melihat dan belajar banyak hal di belahan dunia yang lain.

Saat ini, ketika saya sudah berada di sini, perasaan berat karena jauh dari keluarga, sedikit terobati karena kehadiran orang-orang baik seperti Andreas dan Firda. Belum genap seminggu saya mengenal mereka. Namun kami seperti sudah kenal lama sekali. Langsung akrab. Mereka meminjami kami pisau, talenan, pirex, bahkan serbet dan gantungan baju. Lampu kecil yang setiap malam menemani tidur saya juga punya mereka. Mereka siap membantu apa saja, dan menunjukkan pada kami di mana membeli sayur, buah, tahu dan tempe. Dan masih banyak lagi kebaikan mereka. Bagi kami pendatang baru, uluran tangan orang-orang seperti Andreas dan Firda betapa sangat berarti.

Salat selesai dan saya menyeka mata saya saat menutup doa. Meski mata saya sudah kering tapi hati saya masih terasa basah karena rasa haru tak juga hilang. Namun saya melarikannya dengan mengucap banyak syukur. 

Tak pernah terbayang, suatu saat, saya akan berada di sini, di negeri yang bahkan dalam mimpi pun tidak pernah saya angankan. Allah begitu Maha Kuasa, menjadikan apa yang seolah tidak mungkin menjadi terjadi karena kuasanya.

"Fabiayyi aalaa irobbikumaa tukadhdhibaan."

Terima kasih, Ya Allah.
Terima kasih, bapak ibu, suami, anakku, dan keluarga besarku.

Terima kasih Andreas dan Firda...

Aggie Village Apt, Logan, Utah, USA, 8 Oktober 2015

Kamis, 26 November 2015

Go To America (3): The Aggies, Sepeda, dan Kedisiplinan

Saya menyebutnya Kampus biru putih. Ya, The Utah State University (USU) adalah kampus yang warna dominannya biru dan putih Meski gedung-gedungnya yang artistik dan rapi berwarna tanah atau warna batu bata, tapi aksen biru dan putih tetap ada di banyak bagian. Pada bingkai-bingkai jendela dan pintu, papan-papan nama, kursi-kursi taman, tempat parkir, dan juga interiornya.

Bahkan busana, aksesoris dan perlengkapan yang dikenakan para penghuni kampus pun dominan biru dan putih. Sweater, celana panjang, jaket, ransel, sepatu, bahkan sepeda dan botol tempat minum. Biru tua, biru langit, abu-abu, hitam, dan putih. 

Pink, juga merupakan warna yang lumayan disukai, meski warna ini tidak terlalu dominan. Namun dia seperti memecah dominasi warna-warna yang ada. Berbagai busana dan aksesoris dengan warna pink seperti sweater, topi, t-shirt, jaket, dan sepatu, menjadi "center of piece" di deretan barang-barang fashion, baik di USU store atau di store dan mall di luar USU.  

USU dilambangkan dengan banteng. Warnanya biru dan putih juga. Di mana-mana gambar banteng ini bisa ditemukan. Mengapa banteng (buffalo), karena awal mula USU yang berdiri sejak 8 Maret 1888 ini adalah universitas pertanian (Agriculture). Banteng mungkin menjadi representasi yang sangat lekat dengan pertanian. 

Warga USU, siapa pun mereka--mahasiswa, dosen, visiting scholar--disebut The Aggies. Sebutan itu bagi saya pribadi begitu berkesan, terasa  hangat dan bersahabat. Membuat kami merasa benar-benar menjadi bagian dari USU. Dalam email-email yang kami terima, mereka selalu mengawali dengan sapaan "Hello, Aggies". Selama di sini, belasan kali kami menerima email, terkait dengan informasi apa pun, antara lain  jadwal check up kebersihan dan keamanan apartemen, jandwal berbagai event, termasuk undangan pesta halloween dan pameran-pameran.
  
Kampus utama USU di Logan merupakan satu dari aset terbesar universitas. Luasnya sekitar 500 acres (2.0 km2), sekitar satu mil timur laut downtown Logan, lokasinya ada di ujung Logan Canyon. Namun sebagai city campus, bangunan USU menghampar di mana-mana, dan jarak dari satu titik ke titik lain seringkali  membutuhkan bus kampus untuk mencapainya. 

Kampus USU seperti terletak pada sebuah "bangku", atau kaki bukit yang menyerupai rak-rak yang menghadap ke lembah ke arah barat. Mount Logan dan Bear River Range melengkapi keindahannya. USU memiliki lebih dari seratus bangunan utama. Kegiatan mahasiswa lebih terpusat pada bagian selatan kampus, yang merupakan tempat bagi sebagian besar jurusan, the Quad, the Taggart Student Center, dan Old Main Building.

Bangunan yang terkenal termasuk Old Main, bangunan pertama di USU. Juga Merriel-Cazier Library (luasnya 28.300 meter persegi), perpustakaan universitas yang ultra-modern, yang menampung lebih dari 1.549.000 volume total. Perpustakaan juga menawarkan area arsip dan koleksi-koleksi khusus yang luas, sistem penyimpanan dan pengambilan otomatis, dan lebih dari 150 workstation dan 33 ruang belajar kelompok. Gedung penting lainnya adalah Manon Caine Russel-Kathryn Caine Wanlas Performance Hall, yang konon memiliki beberapa akustik terbaik di seluruh Western United States.

Logan City Cemetery membagi kampus menjadi dua bagian. Pada bagian selatan, menghampar gedung-gedung akademik. Sedangkan pada bagian barat dan utara masing-masing terdapat Dee Glen Smith Spectrum dan Romney Stadium. Banyak gedung penelitian pertanian dan sain berlokasi di bagian utara. Logan Canyon yang terdekat, adalah tempat rekreasi yang populer bagi mahasiswa, dengan jalan dan taman di sepanjang sungai. Selain untuk berkemah dan hiking, ngarai juga berfungsi sebagai rute utama Beaver Mountain Ski Resort dan Bear Lake. Program Outdoor Recreation USU menyewakan peralatan camping, olah raga air, olah raga gunung, dan olah raga musim dingin, kepada mahasiswa; sekaligus menyediakan peta jalan area dan pemandu untuk perjalanan mereka ke canyon atau tempat lain. Pendek kata, bagi Anda para penyuka aktivitas outdoor, Anda akan benar-benar terpuaskan dengan kondisi alam Logan dan fasilitas yang disediakan USU untuk menikmatinya.

Apartemen kami, Aggie Village, sebenarnya masih dalam kompleks kampus, namun karena lumayan jauh, kalau ke kampus kami menumpang bus kampus. Sekitar sepuluh menit menumpang bus. Kecuali setelah kami memperoleh sepeda dari Aggie Bike, kami-saya dan Pak Asto- menempuhnya dengan bersepeda. Waktunya lebih singkat dibanding naik bus, karena bisa mengambil jalan pintas melewati Logan City Cemetery yang letaknya hanya di seberang apartemen kami. Tidak perlu menunggu bus. Kadang-kadang yang membuat lama saat naik bus kampus, karena kami harus menunggu bus yang akan membawa kami. Bus-bus itu melintas setiap lima belas menit sekali, tentu saja dengan jadwal yang sudah pasti. 

Di Logan, setiap orang bisa mendapatkan peta apa saja, termasuk rute transportasi dan jadwal. Peta itu bisa diperoleh di sembarang tempat, di airport, di tempat wisata dan pusat perbelanjaan, atau di institusi pendidikan seperti USU.

Saya dan Pak Asto hampir setiap hari bersepeda ke kampus. Bahkan untuk berbelanja ke Walmart, Smiths, atau swalayan lain pun, kami menempuhnya dengan bersepeda. Meski sepulang dari tempat-tempat belanja tersebut, jalanan menanjak sekitar tiga puluh menit waktu tempuh harus kami lalui. Tidak masalah. Rasanya memang sangat sensasional, karena kami seringkali bersepeda dengan suhu mendekati nol derajat Celcius. Wow bangets. Nafas memburu berpadu dengan hempasan udara dingin yang seolah siap membekukan tubuh. Kami pernah beberapa kali menyerah, turun dari sepeda, dan menuntunnya saat jalan menanjak dan nafas seperti mau putus. Kalau kami berhasil melewatinya, kami merayakan kemenangan di rerumputan tempat parkir Aggie Village Apartement dengan minum air mineral dan makan apa yang ada dari belanjaan kami, buah atau roti. Kemudian kami bergantian berfoto dengan latar belakang Logan City Cemetery. Pernah suatu ketika, Pak Asto pucat sekali setelah berjuang keras menaklukkan jalan menanjak, dan saya malah tertawa terbahak-bahak melihatnya. "Dik, lungguho Dik, goleko nggon gawe semaput." Ledek saya.  

Saya ingin bercerita tentang sepeda. Sejak awal, begitu kami melihat banyak penghuni apartemen bersepeda dan tempat parkir seperti selalu penuh, kami berkeinginan juga untuk bisa bersepeda. Amanda, staf USU Global Engagement, menunjukkan pada kami di mana kami bisa meminjam sepeda, yaitu ke USU Aggie Bike, sebuat pusat layanan bagi warga USU yang memerlukan sepeda. Namun ternyata, meskipun kami sudah menunjukkan identity card dan A-number (nomor unik untuk semua mahasiswa dan visiting scholar di USU), kami tidak diperbolehkan meminjam. Sepeda bisa dipinjam hanya khusus bagi mahasiswa atau visiting scholar yang mengambil waktu minimal sekitar enam bulan. Bukan visiting scholar seperti kami yang hanya singkat waktunya.  Peminjaman maksimal satu semester, dan seterusnya bisa diperpanjang lagi. Tidak ada syarat yang berat, peminjam hanya harus menyiapkan kunci yang diameternya tidak kurang dari 12 mm, harus menjawab kuis (terkait dengan tata-tertib bersepeda), dan harus melakukan check up sepeda dua minggu sekali ke USU Aggie Bike. 

Untung ada Andreas dan Kevin. Oya, Kevin adalah putra pertama Pak Oenardi Lawanto, associate professor di Engineering Education Department. Beliau yang menjadi salah satu alasan kami datang ke Utah ini. Sedangkan Andreas adalah lulusan UI yang saat ini sedang mengambil Ph.D dalam bidang Engineering Education. Andreas meminjam sepeda untuk saya, dan Kevin meminjam sepeda untuk Pak Asto. Tapi tentu saja atas nama mereka berdua, dan tanggung jawab apa pun terkait dengan sepeda itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab mereka. Saking baiknya mereka saja mau meminjam sepeda hanya supaya cita-cita kami untuk bisa bersepeda selama di Utah ini bisa kesampaian. 

Sebenarnya masih ada Silvia Landa, mahasiswa Master Degree dalam bidang  Civil Engineering. Gadis hitam manis yang berasal dari Sumba Barat ini memperoleh beasiswa dari Usaid Prioritas. Saya kagum pada prestasinya untuk memperoleh beasiswa itu, dan juga perjuangannya untuk menempuh studi di Utah. Saya tahu seperti apa tempat asalnya, dan keberadaan dia di sini benar-benar membuat saya salut.

Silvia sebenarnya bersedia juga meminjamkan sepeda untuk Bu Lusia, tapi nampaknya Bu Lusia bukan penggemar sepeda. Jadi hanya kami berdua yang bersepeda ke mana-mana, dan Bu Lusia memilih setia naik bus. Tidak masalah. Bus ke mana pun gratis, dan lebih aman karena terhindar dari kedinginan dan "menggos-menggos." Hehe.

Logan, sebuah kota kecil, dengan populasi sebanyak 48.174 jiwa. Berjarak 81 mil sebelah tenggara Salt Lake City. Sekitar lima jam perjalanan darat menuju Yellowstone yang terkenal itu, tempat yang diimpikan oleh para fotografer. Dan hanya sekitar dua menit, ya, dua menit menuju Logan Canyon.

Transportasi ke mana pun, di Kota Logan ini, free. Ada bus yang rutenya khusus dalam kampus, ada bus kota, namanya CVTD (Cache Valley Transit District), yang rutenya di seluruh penjuru Kota Logan. Tentu saja, bus yang nyaman, dengan driver yang profesional, dan, ini yang penting, gratis. 

Segalanya serba rapi dan teratur di Logan. Tidak ada kebut-kebutan di jalan raya. Mendengar klakson mobil berbunyi adalah hal yang sangat langka. Sepeda motor bisa dihitung dengan jari, semuanya jenis moge (motor gede). Tidak ada kendaraan yang parkir sembarangan. Ada jalur khusus untuk pedestrian dan pesepeda. Pedestrian dan pesepeda menjadi raja di jalan, dalam arti pengguna jalan yang lain selalu memberikan prioritas. 

Perilaku di jalan raya memang sangat berbeda dengan perilaku kita di Indonesia. Hal inilah yang menjadi salah satu kekaguman saya. Sebagai pejalan kaki atau pesepeda, saya merasa begitu nyaman dan aman. Jalur-jalur khusus yang tersedia untuk kami memungkinkan kami berjalan dan bersepeda dengan aman tanpa dibayangi ketakutan tersenggol kendaraan lain. Kalau pun kami harus menyeberang jalan atau menempuh jalan yang tidak dilengkapi dengan jalur khusus, kendaraan-kendaraan besar akan memberikan prioritas pada kami. Dilengkapi dengan rambu-rambu jalan yang jelas dan semua beroperasi dengan baik, dan perilaku berlalu-lintas yang juga baik, maka Logan menjadi kota yang sangat nyaman bagi siapa saja. 

Tentu saja ada banyak hal baik yang bisa kita pelajari selain perilaku berlalu-lintas. Tata kota yang ramah lingkungan, salah satu buktinya adalah tidak ada gedung-gedung yang tinggi menjulang. Sesuatu yang menjulang di Logan adalah barisan Rocky Mountain itu. Taman dan rumput hijau ada di mana-mana. Kantor-kantor rapi, layanan cepat dan ramah.  Kedisiplinan pada waktu yang mengagumkan. Di USU, saat break pergantian jadwal perkuliahan, mahasiswa memenuhi hampir semua jalanan kampus, berpindah dari satu kelas ke kelas lain, karena sistem perkuliahan dengan moving class. Mereka berjalan cepat-cepat, sebagian bersepeda dan ber-skateboard, sebagian bahkan berlari-lari, untuk mengejar waktu kuliah. Begitu kuliah mulai, kampus seperti tak berpenghuni, jalanan sepi sekali. Semua ada di dalam kelas-kelas, belajar. Untuk masalah kebersihan kampus dan kesadaran warganya untuk selalu menjaga kebersihan, jangan tanya. Sangat-sangat mengagumkan.

Suatu siang, saya sedang berjalan, dan seorang mahasiswa menyapa saya. Dia mengatakan kalau kerudung saya bagus sekali dan dia suka. Saat mengatakan itu, makanan yang dibawanya terjatuh sebagian, hanya berupa remah kecil sebesar biji jagung. Tapi dengan sigap dia mengambil remah itu dengan tisu sambil mengatakan, makanan itu bisa membuat seseorang terpeleset. Saya terpesona sekali dengan sikapnya, meskipun saya yakin, remah makanan itu terlalu kecil untuk membuat seseorang terpeleset.

Inilah mungkin yang dinamakan peradaban maju itu, begitulah saya sering berpikir. Saya yang sering berkunjung ke daerah-daerah tertinggal di pelosok Tanah Air,  merasa sudah memiliki peradaban yang sangat maju dibanding mereka. Namun begitu saya ada di Logan ini, menghayati budaya dan tata kehidupan warga dan segala fasilitas yang tersedia, sayalah masyarakat tertinggal itu. Ya, benar-benar tertinggal. Tapi saya yakin, ada hal-hal tertentu yang tetap membuat kita memiliki keunggulan. Hal-hal apakah itu? Mari coba kita renungkan.... 

Aggie Village Apartment, Logan, Utah, Senin, 5 Oktober 2015. 

Minggu, 22 November 2015

Aceh Singkil Lagi 4: Sukamakmur yang Tidak Makmur

Kami meninggalkan PBB pada sekitar pukul 13.00. Setelah menyantap makan siang yang lezat. Beramai-ramai bersama kepala dinas dan jajarannya, guru-guru, dan para peserta SM-3T.

Matahari semakin condong ke barat dan kepala dinas meminta kami bergegas. Masih ada satu tempat lagi yang akan kami singgahi, yaitu desa Sukamakmur. Sekitar 30 menit berspeedboat. Tidak jauh. Namun saat pulang nanti, laut bisa jadi sudah tidak teduh lagi. Maka kami harus berkejar-kejaran dengan waktu.

Dengan dilepas para guru dan peserta SM-3T di dermaga, speedboat kami melaju membelah samudera. Suaranya berdebum-debum. Tidak terlalu keras. Tidak terlalu membuat nyali ciut. Kami bahkan masih sempat bercanda dan berdiskusi, meski dengan sudah payah. Ya, karena harus berteriak-teriak mengimbangi raungan speedboat.

Desa Sukamakmur. Jangan bayangkan dia sebuah desa yang makmur. Dia hanya suka makmur saja. Baru pada tahap suka. Kondisi sebenarnya, jauh dari makmur. Tempatnya terpencil, kondisi alamnya tidak menampakkan kesuburan, rawa-rawa yang mengelilinginya, dan juga rumah-rumah serta orang-orangnya yang amat sederhana. Semuanya semakin menegaskan betapa tertinggalnya desa ini. Masih jauh dari makmur.

Kami turun dari speedboat di dermaga yang kecil yang langsung berhadapan dengan jalan yang memanjang dari laut menuju daratan. Panjang sekali jalan itu. Lurus, tanpa belokan. Itulah satu-satunya jalan untuk akses ke dan dari desa Sukamakmur. Di kanan-kiri jalan itulah rawa-rawa, tanaman-tanaman khas laut semacam mangrove, dan di kejauhan adalah ilalang dan pepohonan liar.  

Sukamakmur merupakan satu dari empat desa di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Tiga desa yang lain adalah desa Haloban, Asantola, Ujung Sialit. Dengan singgah di Sukamakmur ini, berarti semua desa di PBB sudah pernah saya kunjungi. 

Di PBB, menurut data, penduduk paling banyak terdapat di desa Pulau Balai, desa yang baru pagi tadi kami tinggalkan. Penduduk paling sedikit di desa Sukamakmur. Pantaslah. Di desa ini, kami menangkap kesan sepi. Tidak banyak orang. Jauh keadaanya dengan di Pulau Balai. 

Sukamakmur memang desa yang sepi, jauh dari mana-mana. Akses ke luar desa satu-satunya hanya melalui laut. Penduduk asli mayoritas dari Suku Nias. Kalau dikatakan bahwa jumlah penduduk Sukamakmur paling sedikit dibanding desa lain di PBB, memang terasa dari suasana sepinya.  

Kami mengunjungi sebuah sekolah yang sepi, karena memang kegiatan belajar sudah selesai. Melongok ke kelas-kelas dan perpustakaan. Mengamati halaman sekolah yang tak terlalu luas, dan sebuah bendera merah putih kusam melambai-lambai di ujung tiangnya yang langsing.  

Kami tidak lama di Sukamakmur. Ada kekhawatiran pada situasi laut. Semakin sore, perjalanan tidak semakin aman, tapi dibayang-bayangi dengan angin dan ombak. Kekhawatiran itu membuat kami bergegas kembali ke speedboat.

Dan benar. Sepanjang perjalanan laut dari Sukamakmur ke Singkil, adalah perjalanan yang sangat mendebarkan. Speedboat berdentum-dentum sangat keras digoncang angin dan ombak. Tidak seperti saat berangkat dari Haloban tadi siang, goncangan-goncangan yang sangat kuat seperti tidak memberi kesempatan kami bernafas dengan tenang. Bahkan tiba-tiba saja speedboat berhenti di tengah laut. 

"Ada apa, Pak?" Tanya saya pada driver.
"Ombak dari samping kanan samping kiri, angin kencang dari depan dari belakang." Jawabnya. Nafasnya terengah-engah. Tapi wajahnya tetap menunjukkan ketenangan. Atau dia berusaha untuk tetap tenang. 

Seisi speedboat diam. Orang-orang yang tadinya mengobrol juga diam. Saya yang di sepanjang perjalanan nyaris tidak pernah berhenti membaca salawat, semakin khusyu membacanya. Juga doa Nabi Nuh. Bismillahi majreeha wamursaha, inna robbi laghafuurur rohiim. Mbak Ully yang agak tidak sehat karena kelelahan, nampak pucat wajahnya, meski berusaha tenang. 

Diam-diam saya melirik tumpukan pelampung di bagian belakang speedboat. Sebelum berangkat tadi driver bilang, pelampung yang ada sudah banyak yang rusak. Pelampung itu hanya mampu bertahan sekitar satu jam di dalam air. Artinya, bila terjadi keadaan darurat, orang yang mengenakannya hanya bisa terapung selama sekitar satu jam. Selebihnya, bila pertolongan tidak segera tiba, wallahu a'lam.

"Tenang, Bu. Tidak apa-apa, kita jalan lagi, pelan-pelan." Kata driver, seperti memahami kegalauan saya. 

Perjalanan dari tempat kami berhenti menuju ke Singkil masih satu jam lagi. Tidak lama. Tapi cobalah, Kawan, cobalah menumpang speedboat atau kapal kecil atau perahu pada saat laut tak terlalu bersahabat. Angin kencang dan ombak yang menampar-nampar speedboat seperti menampar-nampar ketahanan kita. Hidup serasa di ujung tanduk. Dan waktu begitu lamanya berjalan. Bahkan seperti diam tak beranjak.

Akhirnya, kelegaan pun tiba. Pantai di depan mata. Warung di pinggir dermaga sudah nampak. Syukurlah. Cukup sudah ujian mentalnya hari ini. Wajah kami semua cerah. Mbak Ully yang semua sakit seperti sembuh total. Sehat seperti sediakala. Apa lagi saat segelas kopi panas ada di depan hidungnya. Aroma harum kopi aceh seolah mengembalikan semangat yang sempat porak-poranda dihempas badai laut beberapa waktu yang lalu. Nyawa kembali utuh. 

Besok, waktunya kembali ke Surabaya. Tempat kami mengisi hari demi hari bersama keluarga, kolega, dan mahasiswa. Hidup begitu berarti saat kita berusaha terus untuk memberinya arti. Bismillah. Amin.

Aceh Singkil, 23 April 2015

Wassalam,
LN

Sabtu, 21 November 2015

Go To America (2): Welcome To America

Jumat, 2 Oktober 2015. Pukul 09.36. Tibalah kami di Seattle. Kota pertama di USA yang kami singgahi. Setelah menempuh perjalanan hampir 20 jam. Dua jam dari Surabaya menuju Singapura. Transit sekitar enam jam. Untung Mbak Silfia, staf Kantor Urusan Internasional Unesa, sudah mengatur perjalanan kami dengan 'agak' baik, sehingga kami bisa mendapatkan free lounge di Premium Plaza Lounge di Changi Airport. Sangat membantu. Enam jam sejak pukul 22.00 sampai pagi pukul 04.30, kami bisa beristirahat dengan tenang dan tidur selonjor. 

Saya katakan Mbak Slifia sudah mengatur perjalanan kami dengan 'agak' baik karena dia lupa tidak mengingatkan kami untuk memesan halal food secara online sebelum keberangkatan. Jadilah kami bertiga mengalami kelaparan dalam penerbangan mulai dari Singapura ke Jepang. Dua kali waktu makan kami lewati dengan 'tirakat', karena tidak ada halal food atau vegetarian food untuk kami bertiga. Untungnya, pramugari yang tidak tega melihat kami, mengupayakan satu porsi vegetarian food, kebetulan ada kelebihan, entah seharusnya milik siapa, untuk kami. Seporsi kecil itu, yang dimakan sendiri saja mungkin tidak cukup kenyang atau 'ngepas', musti kami nikmati bertiga. Apa boleh buat. Salah kami sendiri kenapa tidak online pesan dulu. Siapa juga yang 'ngeh'? Kami tidak tahu kalau kami harus melakukannya. Kami tidak punya pengalaman itu. Dan celakanya, Mbak Silfia juga tidak mengingatkan, atau sudah memesankan untuk kami.

Tidak masalah. Pengalaman adalah guru. Begitu kami transit di Bandara Narita, Tokyo, yang hanya sekitar satu jam itu, kami memanfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Di counter gate, kami mencoba bertanya dan meminta pada petugas, supaya kami dipesankan menu vegan untuk penerbangan menuju Seattle. Sekitar sembilan jam di pesawat tak akan lagi kami lalui dengan menahan dingin sekaligus lapar. Tidak lagi. Alhamdulilah, mungkin karena tidak tega melihat wajah memelas kami bertiga, petugas yang cantik itu langsung bertindak sigap. Meskipun dia bilang, seharusnya kami sudah pesan maksimal 24 jam sebelumnya, tapi dia meminta boarding pass kami dan secepat itu menelepon bagian kitchen. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya, berhasil, Saudara. Petugas itu tersenyum manis pada kami dan mengatakan bahwa kami akan mendapatkan menu vegan selama penerbangan kami menuju Seattle. Sungguh. Senyum manisnya pasti masih kalah dengan senyum manis kami yang seperti mendengar bedug maghrib tanda berbuka puasa.

Dan sekarang kami sudah di sini. Di Salt Lake City (SLC) Airport. Shelly, direktur USU Global Engagement sudah menjemput kami. Dia bersama suaminya, Ortiz, asal Guatemala. Sambil menunggu bus yang akan mengantar kami ke Logan, kami mengobrol banyak hal. Tentang keluarga, tentang makanan, tentang agama. Ortiz bertanya kenapa kami berkerudung, dan kenapa kerudung kami berbeda. Kebetulan bu Lusia mengenakan kerudung polos dan saya mengenakan kerudung motif bunga. 'It's just fashion." Jawab saya. Sambil menjelaskan bahwa pada prinsipnya agama Islam mengajarkan perempuan harus menutup aurat. Saya menjelaskan semampu saya apa yang dimaksud aurat. Dia manggut-manggut. Ortiz juga bercerita, di Guatemala, orang biasa mengatakan 'ohala' sebagaimana Muslim mengatakan 'inshaallah' dengan makna yang sama. 'God will."

Bus kami datang. Shelly memeluk kami dengan gaya khas Amerika. Tangannya mengembang, mendekap kami dan pipi kami saling menempel. Satu pipi saja. Bukan "cipika-cipiki" seperti kebiasaan kita. Shelly dan Ortiz tidak menemani kami dalam perjalanan, karena mereka ada acara keluarga di SLC. Tapi Shelly memastikan, Amanda Castillo, staf dia, sudah menunggu kami di Aggie Village Apartment, tempat tinggal kami selama di Logan. 

Sebelum berpisah, Shelly memberi kami sebuah tas plastik biru dengan logo Utah State University (USU), yang di dalamnya berisi kue-kue kecil. Juga ada tempat name tag, bendera biru kecil, dan sebuah botol minuman, yang semuanya berlogo USU. Manis sekali. 

Perjalanan dari SLC ke Logan adalah perjalanan yang nyaman. Dengan bus bermoncong yang tidak terlalu besar, hanya untuk sekitar 15 orang. Dengan kontainer khusus untuk bagasi yang ditarik semacam truk gandeng, kami menikmati keramahan driver perempuan yang tinggi besar namun cekatan. Juga keramahan para penumpang lain, tiga orang perempuan, dan seorang laki-laki. Belum lagi keindahan yang tersaji di sepanjang jalan yang mulus, rapi, bersih, tenang, dan menyenangkan. Rumah-rumah berwarna merah bata, rumput dan pepohonan hijau di mana-mana, dan bukit serta pegunungan yang indah. Namun sayang, rasa kantuk yang tidak bisa saya tahan membuat saya terlelap di separo perjalanan.

Kami tiba di Aggie Village saat petang sudah jatuh sempurna. Seorang perempuan tinggi, cantik, berambut pirang dan panjang, menyambut kami dengan begitu hangat. Dialah Amanda Castillo. Dia membantu kami mengangkat koper-koper. Mengantarkan kami masuk ke apartemen dan menjelaskan segala sesuatunya. Termasuk memastikan makan malam kami sudah tersedia. Dua kotak besar nasi putih, dua lembar naan bread, dan dua pak makanan India yang lembek seperti sambal. Kami mengucapkan terima kasih untuk itu semua. Juga untuk seperangkat alat masak dan alat makan serta rice cooker kecil yang sudah disediakannya.

Tentang rice cooker itu, saya berspekulasi saja waktu memintanya lewat email. Shelly mengatakan bahwa kami akan disediakan satu bin berisi alat makan, alat masak, dan linen. Rice cooker tidak tersedia. Dia bilang: "Rice cookers are not part of the bin, though you can purchase one for about $15. You may also be able to find a used one in the local second-hand store." 

Namun satu dua hari setelah itu, Shelly mengirim email: "I want to let you know I was able to obtain a rice cooker and we will have that in the apartment with the other supplies upon your arrival. We will also have some food prepared for you as well so you can rest once you have arrived." Wow, betapa baiknya dia. Bahkan waktu saya tanya ke Amanda, "The rice cooker is new, so how much we have to pay for this?", Amanda menjawab, "No no no, you don't need to pay."

Shelly dan Amanda adalah tipikal orang yang ramah, helpful dan siap melayani. Cocok sekali kalau mereka ada di bagian Global Engagement. Dengan ribuan international students plus ratusan visiting scholars seperti kami ini, tentu tidak mudah menangani tanpa ketangkasan sekaligus keramahan. 

Mungkin hanya perasaan saya saja, tapi kami merasa layanan mereka begitu istimewa. Menjelaskan semua keperluan kami mulai dari apartemen dan kelengkapannya, transportasi ke kampus dan ke seluruh kota, prosedur pengurusan ID Card supaya kami bisa akses ke semua fasilitas kampus seperti bookstore, computer lab/printouts, Aggie Ice Cream, Health Center, Library, bahkan juga ke Theatre Events. Juga termasuk akses ke wifi USU sebagai student atau sebagai guest. Semua yang mereka jelaskan dilengkapi dengan map biru yang di dalamnya tersedia semua informasi yang kami butuhkan, termasuk peta dan rute layanan transportasi.

Malam ini kami lelah sekali dan Amanda ingin kami segera membersihkan diri, makan, dan istirahat. Esok, dia akan menjemput kami pukul 10.00, dan memandunya ke walmart untuk berbelanja barang-barang kebutuhan kami. Dia juga akan mengantar kami melihat sebagian kota Logan dan mengantarkan kami kembali ke apartemen kami untuk menyiapkan makan siang.

Selamat malam, Amerika.
Selamat pagi, Indonesia.


Aggie Village Apartment, Logan, Utah, USA, Sabtu, 2 Oktober 2015.

Kamis, 19 November 2015

Go To America (1): Mengurus Visa

Pagi yang cerah dan jalan-jalan padat. Bertiga, saya, pak Asto, dan bu Lusia, menuju Konsulat Amerika. Diantar Anang, driver P3G. Membaurkan diri di keramaian lalu lintas. Pukul 07.30, saatnya orang-orang berangkat kerja dan anak-anak berangkat sekolah. Beberapa kali mobil kami terjebak dalam kemacetan. Tak mungkin menghindar. Namun karena jarak tempuh normal dari gedung P3G menuju Kantor Konsulat Amerika hanya sekitar 10 menit, maka kemacetan itu tidak terlalu merisaukan karena waktu kami cukup longgar.

Tiba di depan kantor konsulat yang sekelilingnya dijaga oleh sekuriti, kami turun, dan langsung disambut dengan prosedur standar. Lapor diri, serahkan KTP dan passport, letakkan semua berkas di keranjang (satu orang satu keranjang), matikan semua ponsel dan gadget, dan bediri di tempat yang sudah disediakan untuk menunggu panggilan. Begitulah, maka kami bertiga berdiri, dan menunggu beberapa saat, sebelum akhirnya pintu dibuka dan seorang petugas menyilakan kami untuk masuk.

Di dalam ruang, dua petugas menyambut kami, satu perempuan, satu laki-laki. Kembali kami berdiri berjajar. Bu Lusia di depan sendiri, membiarkan tas dan keranjang berkasnya di-scan. Semua gadget harus ditinggal, hanya dompet yang boleh dibawa. Seorang petugas memberikan sebuah kartu pengunjung, dan kartu itu harus disematkan di dada. Sambil membawa berkas dan dompet, Bu Lusia disilakan keluar menuju tempat verifikasi berkas dan wawancara. 

Begitu jugalah proses yang saya lalui bersama Pak Asto. Hanya saat giliran saya, petugas perempuan itu bertanya: "Ibu, ibu masih muda kok gelarnya banyak begini, waktu kuliah ambil jurusan dobel gitu tah bu?"
Saya menggeleng. "Secara bertahap, mbak." Jawab saya sambil tersenyum.
"Tadi juga ada bapak-bapak yang gelarnya seperti ibu, tapi beliau sudah tua."
Saya tersenyum lagi sambil mbatin. "Aku yo wis tuwo kok mbak, saking masih kelihatan cantik dan awet muda saja, suwerrr...", gumam saya dengan penuh percaya diri.

Saat berjalan menuju ruang wawancara, saya sempatkan melihat sekeliling. Dinding-dinding warna tanah yang bersih, tanaman-tanaman yang dominan hijau, lantai dove yang nyaman tapi tidak ramah, kaca di mana-mana. Saat saya berjalan, saya membayangkan ada kamera yang mungkin sedang merekam setiap gerak saya, dan seseorang sedang mengamatinya dari sebuah monitor. Memastikan saya tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan. Siapa tahu tiba-tiba saya memanjat pohon untuk memetik bunga-bunga dan merontokkan daun-daunnya.  

Begitu saya tiba di depan pintu, pintu terbuka. Anda tidak perlu mengetuk pintu dan meminta seseorang untuk membukakannya. Begitu Anda tiba di depan pintu, pintu akan terbuka begitu saja.

Saya memasuki ruangan dan mengambil nomor antrian, lantas duduk di ruang tunggu yang langsung berhubungan dengan konter-konter. Saya jadi tahu ternyata orang di dalam ruang ini bisa melihat siapa pun yang sedang berjalan di luar menuju ke ruang ini. Makanya begitu kita sampai di depan pintu, petugas langsung membukakannya untuk kita.

Ada sekitar sebelas orang di ruangan. Satu per satu kami dipanggil menuju konter untuk verifikasi data dan menyerahkan enam berkas pokok: Passport, form DS-160, non-refundable visa application fee receipt, pas foto, form DS-2019, dan original interview appointment letter. Semua berkas ini kami siapkan sejak beberapa waktu yang lalu, berkorespondensi dengan Global Engagement Office, The Utah State University (USU), tempat kami mengambil short course pada awal Oktober sampai pertengahan November nanti. Juga melakukan registrasi online serta membayar sejumlah uang untuk visa dan SEVIS melalui Standard Chartered Bank. 
  
Setelah verifikasi data, kami menunggu sebentar, dipanggil lagi di konter sidik jari. Empat jari kiri, empat jari kanan, dua jari jempol. Menunggu lagi, untuk dipanggil di konter wawancara.

Dua petugas bagian verifikasi, perempuan, Indonesia. Petugas sidik jari, orang Amerika, agak gendut. Petugas pewawancara, orang Amerika juga. Bahasa Indonesia kedua orang itu sangat fasih, meski dengan logat Amerika yang kental. Kebanyakan dari kami diwawancarai dalam Bahasa Inggris, kecuali hanya satu dua orang yang mungkin tidak bisa berbahasa Inggris. Kami bertiga diwawancarai satu per satu, ditanya ini-itu. Saat saya ditanya "what is engineering education?", saya jawab sekenanya: "It's about instructional technology or learning strategies implemented in engineering field." Petugas langsing dan ngganteng itu manggut-manggut. Gumam saya: "mudeng ra? Ora toh? Aku wae yo ra mudeng...."

Mengurus visa untuk pergi ke Amerika ternyata ada seninya tersendiri. Saya ada kesempatan pergi ke luar negeri beberapa kali, termasuk ke Melbourne, setahun yang lalu. Selama ini, visa cukup diuruskan oleh Kantor Urusan Internasional Unesa dan Biro Travel. Tapi untuk ke Amerika, no choice, kami harus mengurusnya sendiri karena ternyata ada banyak tahapan yang tidak mungkin diuruskan orang lain. 

Tujuan kami bertiga pergi ke Amerika adalah untuk mengikuti short course di USU. Saya dan pak Asto dalam bidang yang sama. Curriculum development on Engineering Education. Kepentingan kami lebih demi lembaga, bukan pribadi. Sejak 2013, Unesa telah memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan USU. Namun implementasi dari MoU itu belum terlalu nyata, kecuali sekadar mengundang beberapa professor atau associate professor ke Unesa untuk menjadi dosen tamu atau narasumber seminar. Selebihnya belum ada.

Nah, kebetulan Unesa memiliki beberapa proyek yang didukung oleh Islamic Development Bank (IDB). Salah satunya adalah pemberian beasiswa untuk Non Degree Training (NDT), baik di dalam maupun di luar negeri. Bersama beberapa dosen yang berminat, mencobalah saya untuk mendapatkan dana itu. Membangun korespondensi dengan pihak USU, membuat proposal, presentasi, dan mengurus segala persyaratan. Saat presentasi, saya sempat juga ditanya oleh Kabag Kepegawaian Unesa; "Ibu kan menjabat? Masak mau pergi selama itu?"
Lantas saya jawab: "Saya sudah mempertimbangkan timing-nya, Pak. Saat saya menempuh short term program itu, kegiatan di PPPG agak jeda. Prakondisi SM-3T sudah selesai, peserta sudah diberangkatkan semua, PPL PPP juga sudah selesai, jadi puncak kesibukannya insyaallah sudah reda. Lagi pula, saya perlu tambahan pengalaman untuk upgrading kompetensi saya, selain dalam rangka mewujudkan nota kesepahaman itu."
"Ya sudah, yang penting pimpinan mengizinkan."

Alhamdulilah, surat izin Rektor turun. Surat-surat yang lain seperti financial support letter dan scholarship letter, tidak ada masalah. Mengurus visa dengan segala lika-likunya, setidaknya sampai tahap ini, lancar. 

Begitu juga yang terjadi pada Pak Asto dan Bu Lusia. Meskipun bidang program short term Bu Lusia berbeda, yaitu bidang Image Processing, tapi kami mengurus segala sesuatunya bersama-sama, saling membantu, saling mendukung. Alhamdulilah, Allah benar-benar bermurah hati, dan melancarkan segala urusan kami. Alhamdulilah. Jadi, mari kita menuntut ilmu ke Amerika.


Surabaya, 16 September 2015