Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 07 Juni 2016

Menu Ramadan 2: Nasi Boranan Khas Lamongan

MENU berbuka dan sahur yang ideal bisa memilih dari hidangan yang membangkitkan selera. Salah satunya ialah sajian khas asal Kabupaten Lamonga, yaitu Nasi Boranan. Dinamakan nasi boranan karena menu ini menggunakan boranan sebagai wadah nasi. Nasi boranan merupakan sajian nasi putih yang dihidangkan bersama lauk dan rempeyek. Bumbu dari nasi boranan terdiri atas rempah-rempah yang sudah dihaluskan, serta lauk yang bervariasi, di antaranya daging ayam, jeroan, ikan bandeng, telur dadar, telur asin, tahu, tempe hingga ikan sili. Lauk-lauk pelengkap lainnya berupa empuk, pletuk, dan pelas pohong.
Dalam perkembangannya, nasi boranan kini menjadi ikon kuliner Lamongan yang bisa dijumpai di kawasan jalanan kota Lamongan dengan penjual para ibu-ibu, dan disajikan secara lesehan (duduk di atas tikar).
Nasi boranan disajikan dengan wadah yang dilapisi daun pisang. Pelengkapnya, urap atau krawu dari daun pepaya, kacang panjang, dan taoge.
Empuk merupakan campuran tepung beras, gaplek, dan terigu. Adonan ini dibentuk bulatan kecil dan digoreng. Rasanya gurih karena dicampur bawang putih dan garam.
Sementara gimbal pohong dibuat dari singkong dan parutan kelapa. Sama seperti empuk, gimbal pohong dimatangkan dengan cara digoreng.


BAHAN-BAHAN:
P Ikan Sili                            100 grm
P Ikan Bandeng                250 grm
P Ikan Gabus                     250 grm
P  Ayam                               250 grm
P Tahu                                100 grm
P Tempe                             100 grm

Bumbu:
P Cabe rawit                      5 grm
P Tomat                              2 grm
P Bawang merah             25 grm
P Bawang putih                15 grm
P Kemiri                              5 grm
P Ketumbar                       2 grm
P Merica                             2 grm
P Kelapa Parut                  1 butir
P Daun Jeruk Purut        4 lembar
P Kunyit                              2 cm
P Laos                                  2 cm
P Terasi                               1 grm    

PEMBUATAN
1.       Semua bumbu digoreng, kemudian dihaluskan dan selanjutnya dimasukkan ke dalam rebusan ayam.
2.       Ikan Sili, ikan bandeng, ikan gabus, tahu digoreng kemudian dimasukkan ke dalam rebusan ayam
3.       Tempe mentah dan parutan kelapa dimasukkan kedalam rebusan ayam
4.       Semua adonan yang sudah tercampur direbus hingga masak.

Hasil untu 10 Porsi


Komposisi gizi per porsi:
CEnergi              : 441,12 Kal
CKarbohidrat      : 4,01 gram
CProtein           : 126,63 Kal
CLemak          : 32,59 gram



Ikan Sili adalah sejenis ikan sungai. Ikan ini termasuk sajian yang khas pada menu nasi boranan. Namun karena ketersediaannya tidak kontinyu, ikan yang lain misalnya ikan bandeng dan ikan gabus bisa digunakan.

Senin, 06 Juni 2016

Menu Ramadan 1: Garang Asem Kepala Manyung Khas Tuban

Kabupaten Tuban memiliki beberapa menu khas yang nikmat disajikan sebagai menu berbuka maupun sahur, salah satunya adalah Garang Asem Kepala Manyung. Menu berkuah tentu sangat cocok untuk sajian awal puasa kita. Manyung adalah sejenis ikan lele (Plotosus lineatus), salah satu jenis ikan yang dihasilkan dari budidaya perikanan darat; tapi manyung merupakan ikan laut. Kepalanya yang panjang sangat cocok dimasak menjadi hidangan berkuah, agar daging-dagingnya yang masih menempel di beberapa bagian kepalanya masih bisa dinikmati. Kepala manyung bisa dimasak utuh-utuh, bisa juga dibelah memanjang. Bumbu yang tajam dimaksudkan untuk mengurangi aroma amis pada kebanyakan hasil laut. Dengan mengolah kepala manyung menjadi garang asam, maka akan diperoleh hidangan kepala manyung yang pedas, asam dan segar.

BAHAN:
P Kepala ikan manyung               1.000 gram
P Minyak goreng                         30 gram               
P Air                                            400 gram

Bumbu:
P Bawang merah                             8 siung
P Bawang putih                              5 siung
P Cabe rawit                                   20 buah
P Kemiri                                         4 butir
P Kunyit                                         1 cm
P Lengkuas                                    1 cm
P Belimbing wuluh                          4 butir 
P Garam                                         15 gram

PEMBUATAN:
1.    Bersihkan kepala ikan manyung. Bisa juga kepala dibelah menjadi dua memanjang.
2.    Haluskan semua bumbu, kecuali lengkuas, belimbing wuluh, dan 10 butir cabe rawit. 
3.    Tumis bumbu sampai harum. Masukkan lengkuas, belimbing wuluh dan cabe rawit utuh.
4.    Tuangkan air, biarkan sampai mendidih. Masukkan kepala ikan manyung.
5.    Biarkan sampai bumbu meresap. Angkat dan hidangkan.

Hasil 2 Porsi (Untuk 4 Orang).


Komposisi gizi per porsi:
C Energi                 : 293,65 Kal
C   Karbohidrat         : 0 gram
C   Protein                  : 34 gram
C   Lemak                : 16,5 gram


TAHUKAH? Ikan manyung adalah ikan laut yang biasa ditangkap dan diolah sebagai ikan asin yang disebut jambal roti. Ikan ini adalah anggota bangsa ikan berkumis (Siluriformes), famili Ariidae.

Minggu, 05 Juni 2016

Menyapa Sumba Lagi: UN Jujur

Tanggal 26 April 2016, pukul 07.15 waktu Waingapu. Saya dan Dr. Rita Ismawati, M. Kes, bersama tiga guru peserta Program SM-3T, Cholik, Zuhal, dan Isnu. Cholik adalah koordinator SM-3T Sumba Timur, alumni Program Studi PPKN Unesa. 

Pagi ini kami akan ke Lewa. Mengunjungi empat sekolah. Menemui kepala sekolah, guru, dan anak-anak sekolah. Tentu saja, dalam rangka monitoring dan evaluasi Program SM-3T. Juga yang terpenting, memastikan 75 peserta SM-3T Unesa angkatan ke-5 berada dalam kondisi baik-baik saja.

Pukul 07.20, mobil kami bergerak dari Hotel Elvin, hotel tempat kami menginap. Menyusuri jalan-jalan berliku menuju Lewa, dengan pemandangan bukit-bukit dan padang sabana, seolah mengobati rindu saya pada Tanah Humba. 

Akhir 2014 yang lalu, saya berkunjung ke Sumba, untuk yang kesekian kalinya, dan melakukan perjalanan monev ke Pulau Salura, Kecamatan Karera. Sensasinya melaut bersama 'orang gila' seperti masih saya rasakan sampai sekarang. Mengarungi samudera luas yang berbatasan dengan Australia itu, hanya dengan perahu nelayan, dan kami tidak berpelampung, dengan hujan deras menerpa hampir sepanjang satu jam perjalanan, sungguh pengalaman yang sangat mendebarkan. Kepala sekolah SMP Satap Salura, Pak Heri, hanya tersenyum saja ketika saya protes kenapa kami tidak disiapkan pelampung. Beliau hanya berujar, "tidak apa-apa, ibu, tidak apa-apa, aman."

Kami sebenarnya sudah tiba di Waingapu dua hari yang lalu. Hari pertama kami gunakan untuk berbincang dengan para peserta SM-3T di rumah kontrakan mereka di Waingapu. Oya, mereka memang sedang ada di kota, kecuali yang sekolahnya akan dikunjungi tim monev. Selain untuk mempermudah kami dalam menggali data monev, juga karena mereka sedang mempersiapkan acara seminar nasional yang akan digelar besoknya.  

Kemarin, acara seminar itu dihelat. Tempatnya di Aula SMA 1 Waingapu. Tema seminar adalah "Upaya peningkatan kompetensi guru di Kabupaten Sumba Timur." Narasumbernya tentu saja saya, karena memang mereka memanfaatkan kehadiran saya dalam rangka monev. Narasumber kedua adalah kepala dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (PPO) yang diwakili oleh sekretaris dinas, Ruben Nggulindima, S.Sos, M. Pd. 

Seminar diikuti oleh sekitar 75 guru dari seluruh Kabupaten Sumba Timur. Pak Heri, kepala sekolah SMP Satap Salura itu,  ada di antara para peserta seminar. Luar biasa bahagianya saya bertemu dengan 'orang gila' itu. Laki-laki asal Muncar, Banyuwangi, yang telah mengabdikan dirinya sebagai guru puluhan tahun di Sumba Timur itu tak kalah lebar senyumnya. Membuat rindu saya pada Salura membuncah. "Salam saya pada Salura, Pak Heri." Kata saya. Andai waktu memungkinkan, ingin rasanya saya mengunjungi Salura, sebuah pulau berpenduduk para nelayan muslim itu. Namun saya harus menahan diri, dan membiarkan rindu pada Salura tersimpan rapi. Berharap semoga suatu ketika saya bisa menuntaskannya.

Semalam kami juga masih sempat on air di Radio Max FM. Berbincang tentang Program SM-3T dan Pendidikan di Sumba Timur. Karena interaktif, obrolan tema tersebut jadi lebih gayeng karena ada pertanyaan dan komentar dari pendengar yang harus ditanggapi. Hari yang cukup padat tapi menyenangkan.

Hari ini, kami mengunjungi beberapa sekolah di Kecamatan Lewa, yaitu di SDN Matawai Kurang, SMPN Satap Matawai Kurang, SMPN Satap Kangeli, SMPN Satap Praimarada, dan SMAN 1 Lewa Tidahu. Bertemu dengan beberapa kepala sekolah, guru, dan siswa. Mengobrol tentang keseharian mereka dan guru-guru SM-3T, tentang impian dan cita-cita mereka, juga bercanda bersama. Makan menu mi instan dan ayam goreng hasil masakan guru-guru SM-3T dan guru-guru setempat. Minum kelapa muda hasil petik para siswa. Melihat anak-anak sekolah yang sedang belajar dan bermain voli.

Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Sekolah-sekolah yang kami datangi adalah sekolah yang kering. Tidak hanya kering dalam arti sebenarnya, karena kebetulan saat ini air sedang sulit. Namun juga kering inovasi, kreativitas, dan motivasi. Kekeringan itu nampak mulai dari pintu depan sampai ke kelas-kelas. Dinding-dinding hanyalah dinding-dinding polos tanpa pajangan. Halaman yang luas dipenuhi tanaman yang tumbuh bukan karena ditanam, lebih banyak berupa tanaman liar. Jangan tanya seperti apa perpustakaan, ruang guru, dan bangunan lain seperti kamar mandi misalnya. Sebagian besar cukup memprihatinkan.

Namun begitu, di beberapa sekolah, kami masih menemukan keceriaan dan semangat. Setidaknya ada guru-guru SM-3T yang bertugas di sana, dan merekalah tumpuan harapan untuk memberi warna yang berbeda pada sekolah-sekolah tempat mereka bertugas. Menanamkan benih-benih semangat dan kecintaan pada ilmu, pendidikan dan kepedulian.

Sumba Timur sesungguhnya berkembang dengan cukup pesat, setidaknya dengan perubahan-perubahan yang saya lihat di Waingapu, kota kabupatennya. Akhir 2011 adalah kunjungan pertama saya ke Waingapu. Bersamaan dengan sosialisasi Program SM-3T yang waktu itu baru saja diluncurkan. Saat itu, Waingapu adalah kota yang sepi. Tidak banyak pertokoan dan tenda-tenda para penjual makanan. Hotel Elvin hanya memiliki belasan kamar. Di sekitarnya sepi-sepi saja. Mobil dan motor juga hanya sesekali melintas. Pusat keramaian ada di Taman Kota, dengan beberapa penjual es kelapa muda di sekelilingnya.  

Saat ini, setelah lima tahun berlalu, Waingapu telah menjelma menjadi kota yang cukup ramai. Tanah kosong di depan Hotel Elvin tempat kami menginap, kini telah dipenuhi dengan pertokoan. Swalayan ada di mana-mana, meski bukan swalayan waralaba semacam indomart dan alfamart. Penjual makanan bisa ditemukan di sembarang tempat, kebanyakan adalah penjual makanan dari Jawa, Madura, dan beberapa makanan Padang. Toko-toko fashion juga menjamur. Pendeknya, Waingapu bersolek, meski belum secantik kota-kota kabupaten di Jawa misalnya.

Satu lagi perkembangan yang saya lihat, Sumba sudah banyak dikunjungi turis mancanegara. Ketika menumpang pesawat dari Denpasar kemarin, kami satu pesawat dengan belasan turis. Beberapa obyek wisata alam dan budaya telah banyak diunggah di dunia maya, dan dari sanalah salah satunya yang menarik turis datang mengunjungi Sumba.

Namun begitu, di pelosok Sumba, keadaan tidak banyak berubah. Air menjadi barang langka dan ketiadaan listrik adalah hal biasa. Anak-anak dalam keadaan dekil dan kurang terurus. Makanan mereka setiap hari kebanyakan bubur dan sayur pucuk labu, sekali-sekali dengan lauk ikan kering. Orang-orang tua tak kalah dekilnya, dengan baju-baju sederhana yang menempeli tubuh mereka. Rumah mereka, kebanyakan beratap rumbai dan seng, dengan babi-babi dan anjing piaraan mereka berkeliaran.  

Menurut data, Sumba Timur, sebagaimana kabupaten lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebenarnya tidak kekurangan guru. Rasio guru-siswa adalah 18. Masih normal. Namun memaknai angka rasio guru-siswa di kabupaten-kabupaten 3T tidaklah sesederhana itu. Sekolah-sekolah yang tersebar berjauhan jaraknya, dengan kondisi medan yang tidak mudah dan bahkan seringkali berbahaya, hanya diurusi oleh seorang kepala sekolah dan beberapa guru. Seringkali, sekolah yang ada, siswanya hanya dalam hitungan belasan. Sekecil apa pun jumlah siswa, kebutuhan guru pada dasarnya sama dengan sekolah yang jumlah siswanya besar, karena setiap mata pelajaran membutuhkan guru yang seharusnya sesuai dengan mata pelajaran tersebut. Menghitung kecukupan jumlah guru di daerah 3T hanya bertumpu pada rasio guru-siswa, sesungguhnya tidak banyak bermakna. Seperti itulah yang dikemukakan Sekdin PPO. Sangat rasional.

Belum lagi bila dikaitkan dengan fakta yang lain, misalnya kualifikasi guru. Banyak guru yang underqualified, juga mismatch. Guru yang belum S1 atau D4, dan guru yang mengajar bukan pada bidang yang sesuai dengan kompetensinya. Namun di antara begitu banyaknya masalah guru, bagi saya, yang paling memprihatinkan adalah etos kerja guru yang rendah.

Kepala dinas, kepala sekolah, dan guru-guru, kebanyakan mengakui rendahnya etos kerja tersebut. Sepertinya hal itu sudah menjadi rahasia umum. Guru yang PNS, jarang ke sekolah atau bahkan mangkir dari tugasnya, banyak. Guru yang mengajar asal-asalan, tak terhitung. Guru yang mengandalkan kekerasan dalam mendidik siswa, sudah sangat lazim. Seringkali diperparah dengan rendahnya kepemimpinan kepala sekolah dan pejabat terkait yang lainnya, lengkap sudah penyakit komplikasi di sekolah-sekolah tersebut.

Namun begitu, saya mulai melihat ada setitik harapan. Saat di seminar nasional tempo hari, sekdin PPO menyatakan, bahwa Sumba Timur memperoleh tingkat integritas baik saat UN tahun lalu. Artinya, tingkat kejujuran dalam UN dinilai baik. Meski skor UN siswa rendah, namun itu lebih baik daripada skor tinggi namun curang. 

Tentu saja saya sepakat dengan statemen sekdin. Meski ada keraguan dalam hati. Praktik kecurangan saat UN tidaklah sebersih itu, juga di Sumba Timur. Namun saya angkat topi dengan keberanian sekdin menyatakan bahwa kejujuran saat UN adalah lebih penting dari sekadar skor UN. Ini pernyataan yang baru sekali ini saya dengar dari pejabat di Sumba Timur, sejak sekitar lima tahun saya blusukan di kota tertinggal ini.

Lebih membanggakan lagi, pernyataan sekdin tersebut ternyata ditindaklanjuti oleh para guru. Mungkin belum semua guru, namun beberapa hari setelah itu, saat UN digelar, beberapa guru menyampaikan pada saya, bahwa mereka melaksanakan UN dengan jujur. Beberapa status di media sosial mereka juga menampilkan status UN jujur itu. Bagi saya, ini kemajuan luar biasa. Betapa membahagiakan mendengar kabar seperti ini. 

Harapan saya, Sumba Timur, juga kabupaten-kabupaten 3T lainnya di seluruh Tanah Air, mulai bangkit mengejar ketertinggalannya dengan cara-cara yang elegan. Kompetensi dan komitmen guru terbangun. Kepala daerah dan kepala dinas yang peduli dan menjunjung tinggi integritas. Orang tua dan semua komponen masyarakat bersinergi. 

Kalau tahun lalu kabupaten tertinggal di Indonesia masih 183 kabupaten, dan tahun ini tinggal 122 kabupaten, semoga pada tahun-tahun yang akan datang, semakin banyak kabupaten yang telah terentaskan dari ketertinggalannya dalam arti yang sebenarnya. Program-program afirmasi harus terus dilakukan supaya apa yang menjadi salah satu tujuan Nawacita yang telah dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dapat terwujud sesuai harapan.

####

Salam,
LN

Jumat, 03 Juni 2016

PUISI CINTA UNTUK SUMBA

Kamis, 10 Maret 2016

P3G, Kualitas Guru dan LP3

Program Pengembangan Profesi Guru (P3G) Unesa beroperasi sejak awal 2013. Saat itu, akhir Februari 2013, Program Pengenalan Akademik (PPA) bagi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG)angkatan I digelar di Auditorium FIP Unesa. Mengapa di Auditorium FIP? Padahal sudah ada Gedung P3G berlantai sembilan yang megah itu?
            Meski sudah ada gedung P3G, gedung itu belum siap untuk digunakan.Di dalam gedung maupun di luar gedung, semuanya masih berantakan.Bahan-bahan material, tumpukan kardus-kardus dan kayu-kayu bekas perabot dan mebeler, berbaur dengan suara bising dan debu di mana-mana.Lift tidak bisa digunakan. Kursi, meja, rak-rak, bertumpuk-tumpuk di sembarang tempat.Para pekerja memenuhi setiap sudut.
            Dalam kondisi seperti itu, kegiatan PPG harus tetap berjalan.Tak ayal, mahasiswa dan dosen harus mengenakan masker di minggu-minggu pertama, bahkan di bulan-bulan pertama. Mereka harus menerima apa adanya, termasuk kondisi asrama PGSD--asrama yang digunakan untuk mahasiswa PPG putra--yang sangat memprihatinkan. Bangunan yang kurang terurus, kamar-kamar yang kotor, dan MCK yang sangat tidak memadai dan tidak layak.Sungguh mengenaskan.
            Syukurlah, sebanyak 279 mahasiswa PPG itu dapat dipahamkan, meski hal itu tidak mudah.Bayangkan.Mereka tidak hanya berasal dari Unesa saja, namun datang dari berbagai LPTK di Tanah Air, dari Unimed, UNP, UNY, Unnes, UM, Unima, UNG dan Undiksha.Dari barat sampai timur. Jauh-jauh datang ke Unesa, tentu mereka tidak membayangkan akan ditempatkan di asrama yang begitu memprihatinkan. Berjejal-jejal lagi.Juga gedung tempat belajar yang berdebu dan bising.Tapi seperti itulah yang terjadi.

            Namun kondisi itu tidak terlalu lama.Pada tanggal 22 Juni2013, Gedung PPG diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh.Semuanya seperti disulap.Gedung mendadak rapi, mebeler semua berada pada tempatnya, bahan-bahan material menyingkir entah ke mana, dan bunga-bunga bertumbuhan di taman-taman.P3G menjadi begitu bernyawa.Denyutnya memompa semangat siapa pun yang menyapanya.Sejak saat itu, Gedung P3G mendapatkan nama baru sebagai Gedung Wiyata Mandala (Gedung W1).
Gambar 1: Peresmian Gedung Wiyata Mandala oleh Mendikbud M. Nuh

Setahun kemudian, saat mahasiswa angkatan pertama sudah meninggalkan P3G, datanglah 178 mahasiswa PPG angkatan kedua.Sama dengan mahasiswa sebelumnya, mereka berasal dari berbagai LPTK.Namun mereka lebih beruntung.Saat mereka datang, Gedung P3G adalah gedung yang megah, bersih, tertata.Lengkap dengan berbagai fasilitas, termasuk fasilitas olah raga.Begitu juga dengan asrama PGSD.Meski masih harus terus berbenah, namun wajah asrama itu sudah jauh lebih layak.
            Beberapa saat yang lalu, mahasiswa PPG angkatan ketiga menjadi penghuni gedung P3G dan asrama.Sebanyak 224 mahasiswa menghayati perjuangan mereka menuju guru profesional.Workshop SSP (subject-specific pedagogy) menjadi makanan sehari-hari selama satu semester penuh.Mengembangkan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, media, evaluasi), presentasi perangkat, peerteaching, begitu terus-menerus. Juga menyiapkan proposal penelitian tindakan kelas (PTK), tentu saja diawali dengan kunjungan ke sekolah untuk menemukenali masalah yang akan diangkat sebagai PTK. Di antara kesibukan itu, mereka masih harus mengikuti PBB (pelatihan baris-berbaris) yang langsung ditangani oleh Kodikmar, Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka dengan kegiatan di dalam ruangan maupun di lapangan, Porseni, dan berbagai aktivitas lain, yang semuanya dipantau dan dinilai.Belum lagi kegiatan kehidupan berasrama, baik kegiatan keagamaan, seni, sosial, dan sebagainya.
            Tapi anak-anak muda itu sudah sangat terlatih.Pengalaman setahun penuh mengabdi di daerah 3T saat mereka mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal), telah sangat menempa daya juang mereka.Di daerah penugasan mereka, segala kesulitan dan tantangan hidup telah mereka lalui.
            Sampai tibalah saat mereka dikukuhkan sebagai guru professional.Pada 20 Februari 2016.Saat Rektor dan jajarannya hadir di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG Lantai 9, pada acara Yudisium PPG III.Sebanyak 222 yudisiawan PPG SM-3T dan 28 yudisiawan PPGT PGSD, hari itu, resmi menyandang gelar Gr di belakang nama mereka. Masih ada 1 mahasiswa PPG SM-3T dan 2 mahasiswa PPGT PGSD yang belum lulus, dan mereka masih diberi kesempatan untuk mengulang menempuh Ujian Tulis Nasional (UTN) pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, PPG angkatan 3 ini juga sempat berduka karena berpulangnya salah satu mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Fisika, karena sakit.
           

Payung besar bernama PPPG
            Nama P3G Unesa tidaklah serta merta.Dia muncul setelah terjadi diskusi panjang antara pimpinan Unesa dan timyang ditugasi untuk mengelola P3G. Juga dengan task force Statuta Unesa yang diketuai oleh PR IV saat itu, Prof. Dr. Nurhasan. Nama Program Pengembangan Profesi Guru (P3G) mengandung arti bahwa institusi ini tidak hanya mengurusi PPG (Pendidikan Profesi Guru).PPG hanya salah satu saja yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang lain meliputi: SM-3T, PPGT (Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi), KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan), Jatim Mengajar, PPL/PPP S1, Pekerti/AA, dan program peningkatan kompetensi guru selain studi lanjut S2 atau S3.
            Terkait dengan Program SM-3T, Unesa merupakan salah satu LPTK dari 17 LPTK penyelenggara. Sejak 2011 sampai saat ini, peserta SM-3T Unesa berturut-turut 278 (2011), 197 (2012), 189 (2013), 203 (2014) ,dan 241 (2015). Jumlah seluruhnya sampai saat ini adalah 1108 peserta.
            Sementara secara nasional, peserta SM--3T 2011-2015 sebanyak 13.334.Pada tahun 2014 peserta SM3T diterjunkan di 45 kabupaten yang tersebar di 10 provinsi. Provinsi NTT mendapatkan proporsi yang paling besar yaitu 621 peserta atau sekitar 23,5% diikuti oleh provinsi Papua (561 peserta) dan Papua Barat (302 peserta) yang masing-masing mendapatkan 21% dan 11%. Distribusi peserta SM3T per provinsi dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Distribusi Peserta SM3T Berdasarkan Provinsi
Penyebaran peserta SM3T selama 2011-2014 dapat dilihat pada gambar berikut.
Peta Sebaran Penempatan Peserta SM-3T
Sementara untuk Unesa, wilayah penugasan saat ini meliputi tujuh kabupaten, yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Talaud, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 2015, sebanyak 241 peserta disebar dengan distribusinya sebagai berikut: Kabupaten Sumba Timur (75 orang), Kabupaten Aceh Singkil (30 orang), Kabupaten Talaud (23 orang), Kabupaten MBD (34 orang), Kabupaten Mamberamo Raya (28 orang), Kabupaten Mamberamo Tengah (30 orang), dan Kabupaten Raja Ampat (21 orang).
            Selanjutnya, terkait dengan PPG, peserta PPG adalah sarjana pendidikan yang telah melaksanakan pengabdian di derah 3T selama satu tahun, oleh sebab itu program ini disebut PPG Pasca SM-3T. PPG Unesa berturut-turut, tahun 2013 sebanyak 279 mahasiswa terbagi dalam 11 program studi; tahun 2014 sebanyak 178 mahasiswa yang terbagi dalam 9 program studi; dan saat ini, angkatan ketiga (2015), sebanyak 224 mahasiswa juga terbagi dalam 9 program studi. Penentuan jumlah mahasiswa dan prodi ditentukan secara terpusat, dan setiap LPTK tinggal menerima penugasan tersebut dengan berbagai standar yang dipersyaratkan.

Selanjutnya terkait dengan PPGT, program ini laksana “tanaman keras”. Lulusan bias “dipanen’ setelah lima tahun menyelesaikan masa studi. Peserta program adalah lulusan SMA/SMK terbaik terseleksi dari berbagai kabupaten dan dikirim oleh pemerintah daerah. Dengan partisipasi dan kerjasama pemerintah daerah, lulusan PPGT akan kembali ke daerah asal dan bertugas sebagai guru. Program pembelajaran diselenggarakan dengan mengintegrasikan pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Sehingga pada akhirnya nanti, lulusan program ini akan memperoleh sekaligus ijazah akademik S-1 dan sertifikat profesi.
            P3G Unesa juga memiliki Program Jatim Mengajar, yang merupakan kerja sama antara YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah) dengan Unesa. Program ini hampir sama dengan Program SM-3T, baik dalam hal persyaratan peserta, prosedur perekrutan, dan juga penugasan. Bedanya, Program Jatim Mengajar khusus untuk Jawa Timur, sementara SM-3T untuk seluruh wilayah Indonesia yang tergolong 3T.
            Menurut data dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), di seluruh Indonesia, ada sebanyak 183 daerah tertinggal, 5 di antaranya ada di Jawa Timur. Lima kabupaten di Jawa Timur tersebut adalah Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.Namun di luar kabupaten tersebut, banyak sekali desa tertinggal, termasuk di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan dan kabupaten lain, yang sebenarnya dari letak geografisnya relatif dekat dengan ibukota provinsi (Surabaya).Apa lagi di kabupaten-kabupaten lain seperti Ngawi, Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro, Tuban, Banyuwangi, Jember, dan seterusnya, keberadaan desa tertinggal tersebut hampir tak terhitung jumlahnya. Oleh sebab itu, program pengiriman guru ke berbagai pelosok Jawa Timur masih sangat dibutuhkan, dan Jatim Mengajar merupakan salah satu bentuknya.
Berkunjung di Desa Sendang, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, salah satu desa tempat penugasan peserta Jatim Mengajar

Bermetamorfosis Menjadi LP3
           Tanggal 3 Maret 2016.P3G berubah menjadi lembaga, bernama Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi (LP3).Di bawah punggawanya Prof. Dr. Ismet Basuki, LP3 memayungi semua urusan yang dulunya menjadi urusan P3G.Ditambah dengan urusan yang lain. Bedanya, sekarang setiap urusan itu dipegang oleh seorang kepala pusat dan sekretaris pusat.Setidaknya ada lima pusat di bawah LP3, yaitu: pusat yang mengurus PPL dan PPP; pusat yang mengurus PPG, SM-3T, Jatim Mengajar, dan program-program lain yang sejenis; pusat yang mengurus pengembangan karakter; pusat yang mengurus kurikulum dan sumber belajar; serta pusat yang mengurus peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional. Tentu saja, dengan perubahan organisasi seperti ini, LP3 akan menjadi lembaga yang besar.
           Menjadi besar atau tidak, tentunya bergantung pada bagaimana lembaga itu dikelola.Bergantung pada bagaimana setiap orang dalam lembaga itu beserta seluruh masyarakat kampus berkomitmen.Bergantung pada bagaimana sinergi yang terjadi untuk mencapai visi dan misi.
Dan Unesa sudah berpengalaman dalam mengelola lembaga.Berpengalaman dalam membangun komitmen dan sinergi.Tidak ada yang perlu diragukan. Yang penting adalah: komitmen dan sinergi.

Surabaya, 10 Maret 2016
Luthfiyah Nurlaela

Jumat, 29 Januari 2016

Go To America (11): Pulang

Pukul 03.30 dini hari. Dering panggilan via watsapp berbunyi. Dari Mas Ayik. Dia sedang membangunkan saya. Setiap hari dia bertugas membangunkan saya. Bukan karena saya tidak bisa bangun sendiri. Alarm di ponsel saya bisa membantu saya bangun kapan pun waktu yang saya inginkan. Tapi tentu saja berbeda rasanya kalau suami yang sedang berada jauh di sana yang membangunkan. Tidak hanya saat bangun pagi. Tapi juga saat bangun dini hari untuk qiyamul lail dan sahur. 

Kebetulan selama di Utah, bersamaan dengan waktu puasa Muharam. Selain itu juga puasa Senin-Kamis. Nah, pada saat sahur, Mas Ayik pasti akan membangunkan saya. 

Oya, puasa di sini nyaman sekali. Karena Winter, waktu puasanya sedikit lebih pendek dibanding di Indonesia. Cuaca yang dingin membuat rasa haus berkurang. Pada kondisi puasa pun, saya tetap bersepeda. 

Dik Asto tidak pernah puasa. Katanya, puasa di sini, hanya dapat lapar dan haus saja. Godaan melihat cewek cantik dengan busana yang kadang-kadang minim atau superketat membuat puasa tidak fokus. 
"Ha ha. Salah sendiri kenapa tergoda. Tundukkan pandangan," kata saya.
"Eman-eman, Mbak." Jawabnya.
"Dasar gak niat."
Dia tertawa saja.

Pagi ini kami akan pulang ke Surabaya. Ya, akhirnya. Tentu saja kami menunggu waktu ini. Hanya enam minggu kami di sini, tapi rasanya sudah lama sekali. Meski banyak hal yang membuat kami merasa berat untuk meninggalkan Utah, namun kerinduan pada keluarga lebih memenuhi benak kami.

Pagi masih gelap dan kami sudah bersiap. Sekitar pukul 05.00 kami akan dijemput mobil biro travel yang sudah disiapkan oleh pihak Global Engagement. 

Siang kemarin kami menemui Shelly dan Amanda di kantor mereka, dan berpamit pada mereka dan semua staf Global Engagement. Amanda bilang, mobil yang akan membawa kami dari SLC Travel sudah disiapkan dan kami tidak perlu membayar sedollar pun. Tapi kalau kami ingin memberi tip pada driver-nya karena kami merasa puas pada pelayanannya, diperbolehkan. 

Udara sangat dingin menyergap saat kami keluar apartemen dan membantu driver mengangkat koper-koper kami. Driver, seorang lelaki yang tidak lagi muda, tinggi besar, dengan kalimat sapa yang hanya sepatah dua patah, menyilakan kami masuk ke mobil. Kami tidak langsung ke SLC, tapi singgah dulu ke International House untuk menjemput beberapa penumpang. Tidak masalah. Waktu pasti sudah diperhitungkan dan kami tidak akan terlambat tiba ke SLC. 

Turun di bandara SLC, kami kembali membantu driver menurunkan koper-koper. Ternyata bersama kami ada seorang dosen USU, saya lupa namanya, tapi saya ingat wajah manisnya ketika kami berpamit pada semua staf Engineering Education Department kemarin sore. Wanita ramah itu memeluk saya dengan gaya khas Amerika, dan berucap, "safe flight."
"Thank you, safe flight too".

Kami akan menempuh perjalanan panjang, tidak kurang dari dua puluh jam di udara. Namun kami yakin kali ini kami tidak akan kelaparan, karena jauh-jauh hari kami sudah memesan halal food mulai penerbangan dari Seattle sampai Singapura.

Meskipun hari ini kami pulang kembali ke Tanah Air, tidak berarti urusan kami dengan USU selesai. Kami harus melanjutkan penulisan artikel sampai final dan layak muat di jurnal internasional, mendesiminasikan perangkat perkuliahan yang sudah kami kembangkan selama di USU, dan menyusun proposal collaborative research. Wow, masih jauh jalan yang harus kami tempuh untuk bisa dikatakan short-term program kami di USU ini berhasil.

Baiklah, sampai bertemu di Tanah Air.  

Selesai.

SLC, Rabu, 16 November 2015

Kamis, 07 Januari 2016

Go To America (10): Park City

Suhu dingin sekali pagi ini. Sebenarnya udara dingin itu sudah saya rasakan sejak semalam. Saya sempat terbangun di tengah malam dalam keadaan tubuh menggigil karena kedinginan.

Tapi cuaca hari ini tentu saja tak akan mengurungkan niat kami untuk mengunjungi Park City. Rencana melancong ke Park City itu seharusnya sudah terlaksana seminggu yang lalu. Namun karena pada saat itu Pak Oenardi tidak enak badan--sementara kami perginya bergantung pada Pak Oenardi--jadilah acara itu baru bisa terlaksana hari ini. 

Pak Oenardi, seperti biasa, menjemput kami dari apartemen kami. Dibawanya kami singgah ke rumah beliau dulu. Bu Oenardi sudah menyiapkan nasi pecel untuk makan siang kami semua. Nasi pecelnya 'Madiun banget', karena sambalnya dari Madiun, begitu juga dengan lempeng atau kerupuk pulinya. Benar-benar hidangan yang lezat, seperti biasa. 

Bu Oenardi memang jago memasak. Masakan apa saja beliau bisa membuat. Kadang-kadang hanya dengan sentuhan kecilnya, makanan biasa jadi istimewa. Apel dipotong-potong, ditusuk seperti sate, dicelup coklat leleh dan butiran kacang. Biscuit asin diberi topping selai dan irisan keju, kadang ditambah irisan strawberry, jadi jauh lebih cantik dan lezat. Pokoknya bu Oenardi bisa mengkreasikan makanan apa saja sehingga makanan menjadi jauh lebih mewah dan enak.

Setelah makan siang dan salat dhuhur, kami berangkat. Pak Oenardi memegang kemudi, Bu Oenardi di sebelahnya. Kami bertiga di jok tengah, Kevin dan Stefani di jok belakang. Mobil besar yang disewa Pak Oenardi cukup leluasa bagi kami untuk duduk dengan nyaman.

Tidak seperti kita--pada umumnya keluarga Indonesia kalau pergi pesiar--mobil kita biasanya penuh dengan cemilan, minuman, bahkan makanan lengkap, untuk bekal selama perjalanan. Bepergian di Logan tidaklah seribet itu. Dua kali kami melakukan perjalanan keluar kota--pertama dengan Amanda--tidak ada bekal makanan apa pun yang disiapkan oleh orang yang mengajak kami. Sepanjang perjalanan tidak ada ngemil-ngemil. Saat kami ngemil dan kami menawari Amanda, dia menolak dan selalu bilang : "I'm okay." Dan sekarang, Bu Oenardi juga tidak menyiapkan cemilan apa pun. Saya jadi sungkan sendiri mau mengeluarkan chips yang sudah kami bawa. Ternyata seperti inilah rekreasi di sini. Tidak perlu ribet menyiapkan bekal makanan. Kalau Anda lapar atau haus, Anda tinggal singgah di kedai-kedai atau di restoran yang ada di beberapa titik di sepanjang perjalanan. Makan malam kami nanti pun, oleh Pak Oenardi, sudah direncanakan di Restoran Thailand yang nanti akan kami lewati saat menempuh perjalanan pulang.

Salju menutupi sebagian bukit-bukit dan pepohonan di sepanjang jalan saat kami sudah menempuh perjalanan sekitar dua jam. Artinya, Park City sudah dekat. Udara lebih dingin, jauh lebih dingin, menyergap kami begitu kami turun di sebuah pelataran parkir yang luas. Tempat ini memang berada di ketinggian, sehingga suhunya lebih dingin dibanding di Logan tempat kami tinggal.

Dan inilah Park City itu. Sebuah kota di kawasan Summit County, Utah, USA. Merupakan bagian dari Wasatch Back. Berjarak 32 mil (51 km) sebelah tenggara Salt Lake City dan 19.88 mil (31.99 km) dari sisi timur Salt Lake City. 

Menurut catatan, Park City dahulu adalah kota pertambangan. Setelah area pertambangan berkurang, sekitar tahun 1980-an dan 1990-an, kota ini berekspansi dalam bisnis pariwisata. Belakangan ini, Park City rata-rata per tahunnya memberi sumbangan terhadap ekonomi Utah sebesar $529,800,000 sebagai tempat wisata, dan $80,000,000 dari Sundance Film Festival. Kota ini memiliki dua resort ski utama: Deer Valley Resort dan Park City Mountain Resort. Kedua resort ski tersebut merupakan lokasi utama dalam event ski dan snowboarding pada Winter Olympics tahun 2002. 

Park City juga menjadi lokasi utama festival film terbesar di US, Sundance Film Festival, menjadi tuan rumah bagi  United States Ski Team, sebagai pusat pelatihan bagi anggota  Australian Freestyle Ski Team, dan juga memiliki koleksi terbesar toko-toko factory outlet (FO). 

Nah, di kawasan FO inilah kami sekarang berada. Kay, Under Armour, Polo, Adidas, Nike, Fossil, Guess, Ralph Lauren, Tommy Hilgiger, Calvin Klein, dan lain-lain berderet dari pangkal sampai ujung. Kalau mau menjelajah semuanya, sepertinya kita harus menyediakan waktu dan energi ekstra.

Tempat seluas dan sepanjang itu, ramai dengan para pelancong dari berbagai negara. Hampir semua mereka mengenakan baju hangat tebal-tebal karena udara dingin begitu menusuk. Meski begitu, udara dingin itu tak cukup untuk membekukan semangat berbelanja mereka.

Pak Oenardi memberi kami kesempatan untuk berkeliling. Beliau merasa, mumpung lagi di sini, kami harus shopping barang-barang branded dengan harga murah, sebelum kami pulang ke tanah Air. Ya, empat hari lagi kami pulang, dan satu-satunya kesempatan berkunjung ke Park City adalah sekarang ini. Maka, "manfaatkanlah sebaik-baiknya", begitu pesan Pak Oenardi.
    
Tapi dasar saya. Terlanjur tidak terlalu tergiur dengan barang branded. Biasa-biasa saja. Tawar-tawar saja. Jadi saya dingin-dingin saja melihat-lihat ratusan  produk itu. Jam tangan, tas, sepatu, T-shirt, celana panjang, kosmetik, apa pun. Saya sudah punya beberapa jam tangan, setumpuk tas sampai bingung menyimpannya, berpasang-pasang sepatu, setumpuk baju, beberapa kotak aksesoris. Jadi, sepertinya saya sudah punya semuanya. Lebih dari cukup. Selera belanja saya sore ini pun membeku, persis seperti tumpukan salju di atas barisan pegunungan di atas sana.

Namun sebuah jam tangan berwarna hijau, cantik sekali, sempat menggoda saya. Harganya juga tidak terlalu mahal, tidak lebih dari USD 100. Jadi ingat tas hijau saya. Wah, kalau saya pakai jam tangan ini dipadu dengan tas hijau saya, pasti cakep sekali. Tapi ternyata hanya sampai di situ saja. Setelah itu saya sudah lupa dan melihat-lihat produk lain dengan perasaan yang sama. Tawar. He he.

Saya coba berkomunikasi dengan Mas Ayik dan Arga, apakah mereka menginginkan sesuatu, mumpung saya sedang ada di kawasan FO barang-barang branded. Mas Ayik bilang tidak memerlukan apa-apa, dan Arga bilang, "aku perlu lensa kamera". Lensa kamera, tentu tidak harus saya yang membeli, tapi biar Arga sendiri, daripada nanti saya salah beli.

Begitu keluar dari toko bersama Dik Lusia dan Dik Asto, saya berteriak. 
"Yes!" 
"Apa, Mbak?" Tanya Dik Asto dan Dik Lusi hampir serempak.
"Saya terbebas dari godaan syaiton,"
"Ha ha. Betul. Tidak tergoda untuk membeli apa pun,"
"What is the brand mean?" Tanya Dik Asto seperti untuk dirinya sendiri.
"It means nothing." Jawab saya cepat. Dan juga tepat. Saya selama ini memang tidak pernah tergoda pada barang-barang branded. Sekedar untuk tahu, ya. Tapi tergoda, tidak terlalu. Saya punya beberapa barang branded, tapi saya membelinya sama sekali bukan karena 'branded'-nya. Tapi memang saya lagi butuh, barangnya nyaman, dan harganya rasional. 

"Itu salah satu ciri masyarakat hedon." Tambah saya. "Tergila-gila pada barang branded. Seringkali bukan karena kebutuhan, tapi sekadar menuruti keinginan, sekadar untuk prestise dan gengsi."
"Yes." Kata Dik Asto."
"So?"
"Makan itu branded." 
Kami tertawa bersama. Mentertawakan diri kami masing-masing. 

Senja jatuh sempurna dan udara semakin dingin. Tubuh seperti beku rasanya. Kami memasuki mobil dengan barang-barang belanjaan kami. Dik Asto dengan sepasang jam tangan, dik Lusia dengan beberapa jam tangan dan beberapa tas, Stefani entah membawa apa, dan saya tetap dengan tas yang saya bawa sejak berangkat tadi.

Setidaknya, saya sudah melihat Park City dan tahu sepintas seperti apa tempat itu. Kalau pun saya tidak membawa barang sebagai oleh-oleh, setidaknya tulisan inilah oleh-oleh itu. Murah meriah, dan siapa pun yang mau, tinggal ambil saja.

Park City, Utah, Sabtu, 14 November 2015.