Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Senin, 12 September 2016

Tindak Kekerasan Pada Anak Sekolah di Daerah 3T

Oleh Luthfiyah Nurlaela
Jurusan PKK, FT, Unesa

Abstrak:  Pendidikan ramahanak merupakan pendidikan yang mengedepankan rasa kasih sayang dan bukan kekerasan, mengedepankan pujian bukan umpatan, mengedepankan asah, asih, dan asuh, dan bukan intimidasi atau tekanan. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2) mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi.Subyek penelitian adalah siswa dan guru di sekolah-sekolah kabupaten 3T (terdepan, terluar, tertinggal).Teknik analisis data dengan deskriptif kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1) kejadian kekerasan pada anak sekolah masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran; 2) pelaku tindak kekerasan pada anak adalah guru, keluarag, dan beberapa pihak lain; dan 3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak baru sebatas upaya persuasif,yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah, dan LSM. Rekomendasi yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan ramah anak di daerah 3T; dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan hukum.
                                                       
Kata Kunci: Kekerasan pada anak sekolah, Daerah 3T

Pendahuluan
Pendidikan adalah investasi jangka panjang.Pendidikan tidak hanya menjawab masalah-masalah yang sifatnya praktis dan teknis pada saat ini. Tujuan pendidikan adalah  memanusiakan manusia untuk membangun peradaban unggul di masa depan. Dengan demikian, pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang. Masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal,  yaitu: 1) dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan keterbelakangan. 2)  mampu berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis, dan 3) memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Pentingnya pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia tidak dapat disangkal lagi.Tidak ada satu orang pun yang tidak percaya bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh SDM.Lebih jauh, Tatyana (2000: 35) menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat vital dalam pembangunan ekonomi. Di samping modal fisik seperti mesin, bangunan dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi juga. Oleh sebab itu, pengembangan SDM menjadi hal yang sangat prioritas.
Bagi sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki, terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan (Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014).
Pendidikan yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada akhirnya  dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Pendidikan dan kesejahteraan memang tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, namun melalui proses panjang di mana pendidikan  yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Mekanisme tersebut dapat terjadi dengan proses sebagai berikut: Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan prasayat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas maka masyarakat akan memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan berkontribusi sangat signifikan pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi (Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014)
Kesempatan untuk dapat memperoleh pelayanan pendidikan, dengan demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen yang paling efektif untuk memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), di mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin yang disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan) orang miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan kondisi kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi untuk pendidikan dan kesehatan.
Oleh sebab itu, program yang berpihak pada anak-anak dari keluarga miskin dan daerah-daerah tertinggal harus terus ditingkatkan.Nuh (2014) menyebutnya sebagai program keberpihakan (afirmasi), atau pendidikan yang ramah secara sosial.Tujuannya adalah agar anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan terbaik.Program semacam ini, selain berperan untuk memotong mata rantai kemiskinan, juga sekaligus meningkatkan harkat dan martabat.Prinsip dasar pendidikan adalah untuk semua, tidak boleh ada diskriminasi, termasuk karena status sosial ekonomi.Akses ke dunia pendidikan harus terbuka luas bagi setiap lapisan masyarakat.
Daerah 3T di Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut.Ditinjau dari nilai strategis dan potensinya, daerah 3T memiliki keunggulan dan keunikan tersendiri baik dari sumber daya alam maupun budayanya.Daerah 3T juga merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi sebagaimana diketahui, pembangunan di daerah 3T masih sangat jauh tertinggal dan kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perkotaan di Indonesia.Daerah 3T dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh dari sejahtera dan sangat tertinggal.Masih belum banyak tersentuh oleh program pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infratruktur, pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat terbatas.
Dalam bidang pendidikan, daerah 3T memerlukan upaya peningkatan mutu yang harus dikelola secara khusus dan sungguh-sungguh. Berbagai permasalahan pendidikan antara lain yang terkait dengan tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification),  kurang kompeten (low competencies), dan ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched). Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T adalah angka putus sekolah yang masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah yang masih rendah, sarana prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan akses dalam mengikuti pendidikan yang masih sangat kurang.
Ketimpangan pendidikan di daerah 3T semakin diperparah dengan ‘budaya’ guru-guru yang mendidik anak-anak dengan cara kekerasan.  ‘Di ujung rotan ada roti’menjadi jargon yang sudah sangat umum di daerah 3T. Jargon tersebut menunjukkan bahwa kekerasan fisik mutlak diperlukan untuk membuat anak menjadi lebih baik, menurut, dan pintar. Tanpa kekerasan, anak-anak tidak akan bisa diatur dan menjadi anak yang tidak ‘tahu adat’.
Tindak kekerasan terhadap anak adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik, mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat, berdampak trauma psikologis bagi korban. Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2007), di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru.
Di Indonesia,masih cukup banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip, 2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat.
Berdasarkan laporan, di kawasan Jabodetabek saja, pada 2010, kekerasan pada anak mencapai 2.046 kasus.Laporan kekerasan pada anak tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus.Pada 2012 naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339 kasus.Bahkan, dalam tiga bulan pertama 2014, sejumlah 252 kasus kekerasan pada anak dilaporkan.Parahnya, kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini dianggap sebagai surga bagi anak-anak, yakni di rumah dan sekolah.
Data yang lain menyebutkan bahwa jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus (Depsos, 2004). Jumlah ini diyakini lebih banyak lagi, seperti fenomena gunung es (the tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
Bagaimana dengan kondisi di daerah 3T?Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran pendidikan di daerah 3T khususnya yang terkait dengan perilaku guru terhadap anak-anak sekolah. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2) mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah.

Metode
            Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan memaparkan data dan hasil penelitian dalam bentuk uraian-uraian.Teknik pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi.Observasi dilakukan secara tak berstruktur dan tersamar, di mana peneliti sebagai instrumen penelitian utama.Pelaksanaan observasi dilakukan pada saat peneliti berada di sekolah. Wawancara juga dilakukan secara tak berstruktur dengan informan kunci (key informan) adalah guru-guru para peserta Program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,Terluar, Tertinggal) dan siswa. Selain itu, angket juga digunakan untuk keperluan pengecekan dan pembanding (triangulasi).Triangulasi yang dilakukan meliputi triangulasi metode (observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi) dan sumber data (guru dan siswa).Para peserta program SM-3T merupakan sarjana pendidikan yang ditugaskan di berbagai daerah 3T selama setahun. Unesa sebagai salah satu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang dipercaya sebagai penyelenggara Program SM-3T, memiliki lokasi tempat penugasan meliputi: Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Talaud, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil, Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, dan Kabupaten Raja Ampat. Observasi dan wawancara dilakukan saat peneliti melaksanakan tugas monitoring dan evaluasi pelaksanaan program, yaitu pada rentang tahun 2013-2015. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data terkait dengan tindak kekerasan pada anak sekolah, dengan memanfaatkan buku-buku yang sudah diterbitkan oleh Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa.Selanjutnya, analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kejadian kekerasan pada anak sekolah
            Kejadian kekerasan pada anak sekolah terjadi hampir setiap hari.Kekerasan tersebut terjadi karena anak terlambat datang sekolah, anak gaduh di kelas, anak tidak mengerjakan tugas, dan karena anak tidak disiplin. Berikut adalah kutipan beberapa catatan para guru peserta Program SM-3T:

Satu hal yang membuatku prihatin dengan sistem pendidikan di sini adalah kekerasan terhadap siswa.Selain itu, terkesan sekali bahwa guru sangat menjaga jarak dengan mereka.Kepatuhan siswa terhadap guru lebih karena ketakutan mereka. Siswa tidak berani membolos karena takut akan ditampar atau ditendang saat masuk sekolah.

Rasanya ingin membongkar kebiasaan tersebut.Aku sering tidak kuasa menahan tetesan air mata melihat anak-anak kecil di kelas I yang berbaris—tepatnya dibariskan—untuk mendapatkan pukulan satu per satu karena terlambat datang ke sekolah.

“Biasa itu di sini, Ibu.”Jawab seorang guru ketika aku tanyakan tentang perlakukan keras pada siswa.

“Kalau anak dimanja dan kita terlalu lembek pada mereka, mereka akan malas, “ tambah guru tersebut.

Bahkan menurutnya, benar atau tidak, sudah ada aturan yang memperbolehkan guru bertindak kasar pada siswa.Aturan itu sudah disosialisasikan kepada guru dan orang tua siswa.

“Asal tidak sampai keluar darah,” katanya.

Aku tidak percaya bahwa aturan itu memang pernah dibuat dan diterapkan.Apalagi dengan ukuran “asal tidak sampai keluar darah.”Menurutku, luka dalam lebih berbahaya daripada luka luar yang mengeluarkan darah (Oktavianti, 2014).

            Kutipan di atas menunjukkan betapa kekerasan sudah menjadi ‘budaya’ dalam dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah di daerah tersebut. Kekerasan dianggap sebagai bagian penting sebagai cara mendidik anak. Begitu pentingnya sampai harus didukung oleh semacam peraturan yang itu diterima oleh masyarakat sekolah dan orang tua.Memukul dan bicara keras adalah salah satu aturan yang berlaku.Itu artinya, kekerasan fisik dan kekerasan psikis menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak-anak.

Setibanya di sekolah yang sederhana itu, tidak ada rasa lain selain kaget dan tercengang melihat anak-anak SD yang polos. Raut mereka yang sedih dan terlihat minder sambil menyapukantor guru dan halaman sekolah membuatku penasaran. Sepertinya, mereka terpaksa melakukannya.Ya, ternyata hal itu benar. Aku melihat seorang guru keluar dari kantor dan berteriak meminta mereka menyapu. Dengan wajah polos dan tercengang, aku dan siswa saling memandang. Hatiku bertanya: “Mengapa mereka diperlakukan demikian? Mengapa guru bisa setega itu?

………Setiba di rumah kepala sekolah, rasa kaget menyeruak kembali ketika aku melihat hal yang sama. Seorang murid dengan wajah murung, sedang mencuci baju dan piring yang bertumpuk. Hatiku pun bertanya: “Mengapa mereka diminta bekerja seberat ini?”(Syarifuddin, 2014).

Berdasarkan catatan di atas, nampak bahwa guru tidak segan-segan memperlakukan siswa seolah-olah siswa itu adalah pembantu atau buruh mereka.Mereka memanfaatkan ketidakberdayaan siswa dan memaksa mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak ada sangkut-pautnya dengan tugas sekolah.Relevan dengan hal tersebut, data penelitian yang diperoleh dari beberapa informan kunci menunjukkan kondisi yang lebih parah, di mana siswa bisa mendapatkan hukuman berupa pukulan, ditarik rambutnya, ditempeleng, dihukum tidak boleh masuk kelas, dicoret-coret bagian tubuh dan wajahnya dengan spidol permanen, hanya karena siswa tidak membawa air, parang, atau kayu bakar, untuk para guru mereka.
Berikut adalah salah satu kutipan hasil angket yang disampaikan oleh seorang guru SM-3T di Kabupaten Maluku Barat Daya, yang menunjukkan betapa guru bahkan tidak segan-segan menyamakan siswa dengan binatang.

Kami telah mencoba memberikan pengertian jika hukuman fisik (terlebih pada anak dibawah umur) tidak hanya menyakiti anak secara fisik namun juga akan berpengaruh secara psikis pada masa perkembangan anak. Dan itu artinya sedikit banyak juga akan berpengaruh pada kemampuan berfikir anak tersebut. Namun jawaban mereka semua hampir sama.

“Ibu guru, dong (mereka) itu kepala batu, beda dengan anak-anak disana (Jawa). Seng (tidak) bisa dikasih hati. Jadi harus dipukul.”

Dong (mereka) ini paling bodo. Sama deng (dengan) kuda. Kalau seng (tidak) dipukul, dong (mereka) seng (tidak) akan mengerti.”

Pada setiap pembahasan mengenai hukuman fisik yang masih dilakukan selalu berujung pada kalimat “Di ujung rotan ada roti”. Dan seakan kalimat tersebut sudah sangat mereka yakini bahwa mendidik anak dengan cara seperti itu akan menjadikan anak tersebut sukses di kemudian hari.

Selanjutnya adalah tabel ringkasan hasil wawancara dan angket yang diperoleh dari berbagai kabupaten tempat penugasan peserta Program SM-3T, meliputi Sumba Timur, Talaud, Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Raja Ampat.

Tabel 1: Gambaran Tindak Kekerasan pada Anak Sekolah di Daerah 3T
No.
Pertanyaan
Jawaban
1.       
Pernahkah Saudara menyaksikan kejadian kekerasan pada anak-anak di sekolah tempat tugas Saudara?
Pernah
2.       
Seberapa seringkah Saudara melihat kejadian kekerasan yang dialami anak-anak tersebut?
Hampir setiap hari
3.       
Mengapa anak-anak itu mengalami tindak kekerasan?
a.    Terlambat datang ke sekolah
b.    Gaduh di kelas
c.    Berkelahi dengan temannya
d.    Tidak memakai sepatu (walau tidak punya atau sepatu satu-satunya basah karena hujan)
e.    Tidak mengerjakan PR
f.     Tidak membawa barang yang diminta guru (air, parang, kayu bakar, dll).
g.    Melakukan pelanggaran tata tertib sekolah seperti mencoret-coret meja dan tembok, melompat pagar, membolos, dsb.
a.    Merokok, minum-minuman keras, berbuat asusila, mencuri.

4.       
Bentukkekerasansepertiapakah yang diterimaanak-anaktersebut?

a.    Kekerasan fisik: ditempeleng/dipukul/dicubit/dijewer
b.    Kekerasan psikis: dicemooh/dibentak/dilecehkan/dihina/tidak diperkenankan masuk kelas, tidak dimasukkan dalam daftar hadir, muka atau bagian tubuh lain dicoret-coret dengan spidol permanen, distrap di depan semua siswa dan guru saat apel.
c.     Pembiaran/penelantaran: kelas dibiarkan kosong, tidak diajar.


Berdasarkan tabel tersebut semakin jelas bagaimana bentuk tindak kekerasan terjadi pada siswa di daerah 3T.Kondisi tersebut tentu saja sangatlah memprihatinkan dan perlu segera dilakukan upaya untuk menguranginya. Upaya yang sudah dan yang seharusnya dilakukan akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah

            Sebagaimana data di atas, pelaku tindak kekerasan pada umumnya adalah guru.Selain itu, kepala sekolah juga sesekali ikut serta melakukan tindak kekerasan.Begitu juga dengan pihak berwenang (polisi) serta kepala dan staf UPTD setempat.Para pihak tersebut turut serta dalam menangani anak bila anak tersebut dinilai telah melakukan pelanggaran berat seperti mencuri dan minum-minuman keras.
Minum-minuman keras sebenarnya merupakan kebiasaan yang sangat masif di daerah 3T. Mulai dari pejabat kabupaten, kecamatan, desa, dan hampir semua masyarakat, bahkan di segala usia, minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Melihat orang berjalan sempoyongan di jalan-jalan karena mabuk merupakan hal yang lazim. Kegiatan kantor baik dinas mau pun tidak dalam rangka dinas, diwarnai dengan botol-botol minuman keras dan diakhiri dengan mabuk juga sudah menjadi hal biasa.
Di sinilah letak ketimpangan itu, di satu sisi, anak dihukum bila mereka melakukan minum-minuman keras, sementara mereka yang memberi hukuman itu sesungguhnya biasa melakukan hal yang sama. Benarlah sebagaimana yang disinyalir oleh Nurlaela (2013), bahwa salah satu faktor penghambat kemajuan pembangunan pendidikan di daerah 3T adalah karena miskin figur panutan, rendahnya etos kerja, rendahnya daya dukung masyarakat dan orang tua, termasuk tumbuh suburnya ‘budaya’ negatif yang telah berterima secara luas.
Namun demikian, tindak kekerasan juga diterima anak saat mereka berada di rumah, yang hal itu dilakukan oleh anggota keluarga terutama orang tua.Memperlakukan anak dengan keras sepertinya sudah menjadi hal yang sangat biasa di daerah 3T, baik di rumah maupun di sekolah. Bahkan dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa orang tua, orang tua sudah menyerahkan anak pada sekolah dan tidak pernah merasa keberatan dengan perlakuan apa pun dari pihak sekolah terhadap anak mereka.Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena anak semakin tidak mempunyai tempat untuk berlindung dari kekerasan.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah.

            Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran angket, diperoleh data bahwa telah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan. Upaya tersebut meliputi: 1) Guru SM-3T memberikan bimbingan dan arahan kepada murid yang bermasalah secara persuasif dengan melihat latar belakang kenapa melakukan hal yang tidak diinginkan oleh guru; 2) Dewan guru mengubah bentuk hukuman menjadi hukuman push-up untuk siswa yang terlambat, dan denda bagi yang tidak masuk tanpa izin;  3) Adanya penyuluhan tentang kekerasan terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga oleh lembaga hukum kabupaten setempat; dan 4) PNPM dan Wahana Visi Indonesia, Komisi Perlindungan Anak  di daerah setempat, memberikan penyuluhan kepada orang tua tentang pentingnya anak sebagai penerus bangsa, dan bagaimana bentuk dukungan yang harus dilakukan orang tua terhadap anak.
Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik guru, kepala sekolah, maupun pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).Namun tentu tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah berurat-berakar sejak puluhan tahun, karena hal tersebut menyangkut bagaimana mengubah budaya.

Simpulan dan Saran
            Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: 1) Kejadian kekerasan pada anak sekolah masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran; 2) pelaku tindak kekerasan pada anak adalah keluarga, guru, dan/atau teman sejawat; dan 3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada anak baru sebatas upaya persuasif,yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah, dan LSM.
Selanjutnya, rekomendasi yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan ramah anak di daerah 3T; dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan sosial, dan pendekatan hukum.

Daftar Pustaka
Nuh, Mohammad. 2014. Nuh, Mohammad. Menyemai Kreator Peradaban. Jakarta: Zaman. 2014.
Nurlaela, Luthfiyah. 2014. Unesa untuk Pendidikan di Daerah Tertinggal, dalam 50 Tahun Unesa Emas Bermartabat. Surabaya: Unesa University Press.
Nurlaela, Luthfiyah. 2015. Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah tertinggal, dalam Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka. Jakarta: Prenadamedia Group.
Nurlaela, Luthfiyah. 2013. Berbagi di Ujung Negeri. Surabaya: PT Revka Media Surabaya.
Oktavianti, E. 2014. Asal Tidak Keluar Darah, dalam Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita. Ed. Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela. Surabaya: PT Revka Media Surabaya.
Risadi, Aris Ahmad. 2013. Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal. http://www.kemenegpdt.go.id/artikel/85/ketenagakerjaan-dan-daerah-tertinggal. Diakses 2 Mei 2014.
Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2007. Pembangunan Pendidikan dan MDGs di Indonesia: Sebuah Refleksi Kritis. Jurnal Kependudukan Indonesia, Vol. II No. 2. 2007
Syarifuddin, S. 2014. Anakku, Buruhku, dalam Porodisa di Talaud. Ed. Luthfiyah Nurlaela dan Anas Ahmadi. Sidoarjo: Sarbikita Publishing.

UNICEF. 2007. Annual Report 2006. 

Kamis, 08 September 2016

Laporan dari XXIII IFHE World Congress (5)

Kami benar-benar banyak belajar dari pengalaman mengikuti IFHE Congress ini. Mulai dari pengemasan acara, pelaksanaannya, dan pernak-pernik lain sebagai kelengkapan acara.

Di antara agenda kongres dan konferensi internasional yang padat, peserta disuguhi dengan pameran berbagai macam produk unggulan Korsel, seperti gingseng, teh, dengan berbagai variannya. Juga dimanjakan dengan produk hand-made seperti sumpit, kipas, tas dan dompet, serta merchandising lainnya. Juga, yang tak kalah menariknya, ada juga pameran busana hanbok, busana tradisional Korea, dan peserta boleh mengenakannya dan berfoto sebagai kenang-kenangan. Free of charge. Oya, tata cara minum teh juga diperagakan oleh para wanita cantik, lengkap dengan busana tradisionalnya. Sangat menarik dan sarat makna. 

Pada saat closing ceremony, ditampilkan juga peserta termuda dari lima benua. Serta ada pemberian penghargaan bagi artikel terbaik. Selain memperoleh piagam penghargaan, penulis artikel terbaik juga memperoleh dana scholarship. Tidak banyak, hanya sekitar USD 700, namun dengan dimuatnya artikel terbaik tersebut dalam jurnal internasional, nilainya tentu jauh lebih berarti daripada sekadar dana yang diterima.

Closing ceremony juga dihiasi dengan tayangan foto-foto kegiatan. Tak disangka, foto-foto kami bertiga juga muncul beberapa kali dan meski hanya seperti itu, kami cukup bangga. Setidaknya wajah-wajah wakil dari Indonesia menghiasi dokumentasi IFHE dalam perhelatan internasional ini.

Yang juga menarik, ada penghargaan bagi para panitia dan para pendukung acara. Mereka tidak hanya disebut namanya, namun diminta tampil ke panggung untuk menerima piagam penghargaan dari Presiden IFHE. Kebanggaan dan keharuan memancar dari wajah-wajah mereka karena mereka telah berhasil menyuguhkan sebuah perhelatan besar yang pasti sangat menyita energi. Ya, sejak empat tahun yang lalu, saat IFHE World Congress XXII di Melbourne memutuskan bahwa Korsel akan menjadi host pada event selanjutnya, maka praktis sejak itulah panitia bekerja keras. Dan saat ini, kerja keras mereka terbayar dengan kebahagiaan dan kebanggaan atas kesuksesan seluruh acara.

Ketua panitia juga diberi kesempatan untuk menyampaikan closing remark, dan sepertinya inilah puncak dari seluruh kebahagiaan, kebanggaan, dan keharuan itu. Profesor Mae Sok Park, ketua panitia yang cantik itu, meski berusaha untuk tegar, suaranya sempat terbata-bata juga karena menahan haru. Bisa dibayangkan, betapa lega dan bangganya dia setelah tugas berat selama empat tahun ini terlepas dari pundaknya.

Satu lagi yang menarik, setelah pelantikan Presiden IFHE yang baru, ditampilkan juga para presiden IFHE periode sebelumnya. Beberapa perempuan yang sudah tidak muda lagi tampil di panggung, wajah-wajah cerah memancar dari raut muka mereka. Harus diakui betapa panitia begitu pintar memanfaatkan momen ini sebagai ajang pemberian penghargaan bagi siapa pun yang telah menorehkan sejarah dalam perkembangan IFHE. Bagi saya pribadi, semuanya itu menjadi inspirasi untuk menyajikan hal-hal yang menarik dan menyentuh tersebut dalam event seminar nasional dan mungkin internasional yang akan dilaksanakan oleh Jurusan PKK di waktu-waktu yang akan datang.  

Ajang ini juga menjadi begitu menarik dan prestisius karena dari ratusan artikel peserta konferensi dari seluruh dunia, dipilih 10 nominasi artikel terbaik. Makalah tersebut akan dimuat di International Home Economic Journal. Pada ajang ini, makalah terbaik berhasil disabet oleh peserta dari Jepang, Korea, Nigeria, Virginia, dan peserta lain dari Afrika Selatan dan Asia Selatan.  

Home economics begitu luas bidangnya, dan kalau di dunia internasional, ilmu itu begitu tinggi penghargaannya, maka tidak begitu di negara kita. Perlu waktu panjang agar ilmu itu berterima secara luas sebagai sebuah cabang ilmu. Banyak pihak yang masih meragukan bahwa IKK adalah sebuah ilmu yang memenuhi syarat ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Adalah tugas para ahli IKK, termasuk saya, untuk terus mengembangkannya dan meningkatkan kemanfaatakannya bagi kemaslahatan umat.

Daejeon, Korsel, 4 Agustus 2016

Kamis, 01 September 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (4)

Sore ini tibalah jadwal saya untuk presentasi paper di sesi concurrent session 2. Dalam ruang nomor 105 yang berisi sekitar 30 partisipan, saya bersama pemakalah dari USA, Finlandia, Thailand, Korea, dan Jepang, masing-masing diberi waktu sekitar 15 menit untuk presentasi. Sisa waktu sekitar 30 menit dialokasikan untuk tanya jawab.

Saya ingin berbagi pada teman-teman dosen yang masih belum memiliki keberanian untuk presentasi makalah di luar negeri. Bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus atau bahkan pas-pasan. Awalnya saya agak ragu juga, apakah saya berani presentasi makalah pada ajang konferensi internasional, dan itu di luar negeri. Pengalaman menyajikan makalah pada seminar internasional yang dilaksanakan di dalam negeri sudah terlalu sering saya ikuti, dan sebagian tidak membuat saya semakin terampil berkomunikasi dalam bahasa Inggris, karena saat presentasi, tidak selalu dituntut untuk menggunakan bahasa Inggris. Satu-satunya pengalaman presentasi dalam bahasa Inggris di dalam negeri adalah saat mengikuti seminar internasional Aptekindo di UPI-Bandung, karena saat itu di kelompok saya, partisipannya lebih banyak dihadiri dari akademisi luar negeri. Pengalaman saat menjadi delegasi Indonesia di Seameo Innotech di Manila pada 2011 dan benchmarking di beberapa universitas di Thailand pada 2011 dan Melbourne pada 2014, tidak terlalu memaksa saya untuk berkomunikasi intensif.  

Saat mengikuti presentasi makalah di concurrent session pertama tadi, di mana pesertanya adalah dari USA dan New Zealand, saya agak keder juga. Tentu saja speaking kelima penyaji itu sangat bagus karena mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka. Tapi saya berusaha berpikir positif. English is not your language, so don't worry if you can't speak as good as them. 

Begitu memasuki sesi kelompok saya, dan melihat presentasi penyaji dari Thailand dan Jepang, sungguh, kepercayaan saya membengkak, melambung tinggi. Ada untungnya saya mendapatkan giliran terakhir, yaitu kelima, dengan demikian saya bisa menjajagi seberapa bagus presentasi peserta yang lain.

Sungguh, saya bisa melakukan lebih baik dari itu, atau setidaknya, samalah. So, saat giliran saya tiba, maka dengan keyakinan penuh saya memperkenalkan diri. Let me just start by introducing myself. My name is Luthfiyah Nurlaela, I'm lecturer of Home Economic Department, Universitas Negeri Surabaya. Today, I would like to talk about....bla, bla, bla....cas, cis, cus. Maka terjadilah apa yang terjadi. Saya menyampaikan artikel penelitian saya yang berjudul "Implementing lesson-planning tools of family welfare science course to enhance problem-solving skill of students of Home Economics Education". Dengan lancar, dengan suara tanpa bergetar, dan mendapat applaus setelahnya. Sama seperti penyaji yang lainnya.

Tunai sudah. Ternyata selama ini apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Ternyata apa yang selama ini membuat saya ragu, tidak terbukti. Benar ternyata. Kalau kita tidak berani mencoba, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa kita mampu. 

Meskipun, memang betul, bagaimana pun kita harus terus berusaha meningkatkan keterampilan komunikasi kita. Dan itulah yang saya coba terus lakukan sampai saat ini. Saya membaca buku-buku, membaca koran, melihat film, mengikuti kursur gratis seperti English for Presentation yang disediakan Unesa, dan juga kursus di luar, dan  itu semua sangat-sangat membantu.

Bagi teman-teman yang sudah tidak ada masalah dalam hal speaking in English, saya yakin apa yang saya sampaikan ini kedengaran sepele. Masalah kecil. Tapi bagi orang-orang yang bahasa Inggrisnya terbatas, seperti saya ini, betapa hal itu menjadi kendala besar. Tetapi sekali lagi, tidak usah takut. Ternyata kita seringkali under-estimate pada kemampuan kita sendiri. Begitu kita berada di ajang internasional, kita bisa dan tidak jelek-jelek amat. Tentu saja, jangan dulu berharap memperoleh award sebagai presenter terbaik. Dalam ajang seperti yang saya ikuti sekarang ini, di mana diikuti oleh puluhan negara dari segala penjuru dunia, dan hanya dilakukan selama 4 tahun sekali, dengan proses pendaftaran dan seleksi abstrak yang relatif ketat, mampu mempresentasikan paper dengan baik saja sudah cukup.

Daejeon, 2 Agustus 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (3)

Ruang utama DCC (Daejeon Convention Center) lantai 2 itu penuh. Para profesional home economics dari berbagai negara bertemu. Saya perkirakan ada sekitar 800 orang. Setiap orang duduk menghadap podium dan backdrop yang menjadi pusat perhatian di depan sana. Di sepanjang meja di depan peserta disediakan satu alat translator, karena beberapa kata sambutan dan presentasi keynote speaker akan dilakukan dalam bahasa Korea.

Pembawa acara pada pembukaan ini adalah seorang perempuan Korea yang cantik, cerdas dan begitu luwes mengantarkan acara demi acara. Dimulai dengan penampilan tari dan musik khas dari para pemuda Korea, sambutan Presiden IFHE (2012-2014), Carrol Warren, dilanjutkan sambutan Ketua Panitia, yaitu Mae Sok Park, yang juga Wakil Presiden IFHE. Sambutan juga disampaikan oleh Hae-Kyung Chung, Presiden KHEA, serta Jaesoon Cho, Presiden Korean Home Economics Education Association (KHEEA). Tidak tanggung-tanggung, Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga (Gender Equality and Family), Eun-hee Kang, serta Mayor Daejeon Metropolitan City, Sun-taik Kwon, juga memberikan sambutannya.

Kegiatan ini memang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Korsel. Dukungan ini tentu saja menjadi pertimbangan penting bagi IFHE Organization sebelum memutuskan Korea sebagai host untuk kawasan Asia. Korea menjadi wakil Asia sebagai tempat kongres IFHE bukan hanya karena kekayaan budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena kepeduliannya pada pendidikan, terutama pada pendidikan keluarga. Kiprah Korean Home Economics Association (KHEA) sebagai organisasi profesi telah cukup mantap dan memiliki rekam jejak dalam bidang riset dan pendidikan yang berskala internasional. 

Siapa pun yang mengikuti agenda IFHE ini akan semakin menyadari, betapa keluarga adalah sangat prioritas. Tema 'Hope and Happiness, the role of Home Economics in the pursuit of Hope and Happiness for individual and communities now and in the future ' sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini yang cenderung melupakan peran dan fungsi keluarga sebagai penentu kesejateraan bangsa dan negara. Banyak negara yang mengejar kemakmuran dan berhasil menjadi negara dengan tingkat pendapatam tetinggi, tetapi di balik itu, kesejahteraan keluarga seringkali terlupakan. Anak-anak terlantar, mengalami kekerasan, perempuan termarginalkan, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain yang pada intinya menganggap sepele eksistensi institusi keluarga.

Siapa pun yang mengikuti kongres ini juga akan semakin menyadari, betapa eksisnya bidang home economics atau family and consumer sciences. Meskipun di beberapa negara, khususnya di Indonesia, PKK ini masih banyak pihak yang memandangnya dengan sebelah mata. Tentu hal ini menjadi tantangan tersediri bagi para ahli PKK, bagaimana supaya bidang ini lebih dihargai dan diperhitungkan sebagai sebuah cabang ilmu. Keberadaan asosiasi profesi bidang PKK yang masih sangat lemah, juga sepatutnya menjadi agenda perjuangan tersendiri bagi saya sendiri dan rekan-rekan sesama peminat bidang IKK di Indonesia.

Pada hari pertama ini, selain acara pembukaan yang berbobot dan sangat efisien, juga diisi penyajian dari para keynote speaker yang membawakan topik yang sungguh sangat menarik dan bernas. Mereka adalah pembicara dari University of Wyoming, Helsinki University, Griffith University, Yokohama National University, dan Ewha Woman University. Semua pembicara menyajikan kurikulum home economics saat ini dan arahnya ke depan di negaranya masing-masing.

Acara coffee break juga tidak kalah menariknya bagi kami. Bukan karena beragamnya makanan. Tapi karena justeru kesederhanannya. Menu utamanya tentu saja teh dan kopi, dilengkapi dengan dua macam kue tradisional yang kalau di Indonesia semacam getuk, dan kue-kue kemasan kecil-kecil. Juga ada buah plum dan peach. Kue-kue dan minuman itu disediakan di beberapa meja dan peserta bisa mengambilnya sesuka hati. Benar-benar sesuka hati. Kami lihat beberapa peserta terang-terangan meminta lebih untuk dimasukkan tas mereka, dan kue-kue selalu diisi ulang. Kami pun  jadi ikut-ikutan. Plum dan peach di Indonesia bukan buah yang murah, itu pun tidak selalu ada, kalau di sini kita boleh makan sepuasnya, kenapa tidak. Roti dan kue-kue kecil juga bisa kami bawa selain yang sudah kami makan di tempat, namun tentu tidak berlebihan. Intinya, makanan yang disedikan memang sederhana, praktis, umumnya buah dan makanan kemasan yang tinggal beli di toko. Diletakkan begitu saja di keranjang-keranjang, namun makanan itu seperti tak pernah habis karena diisi lagi dan diisi lagi.

Lebih menariknya lagi ketika makan siang. Peserta tidak memperoleh makan siang, kecuali peserta yang membayar biaya registrasi untuk paket lengkap (USD 700). Untuk peserta seperti kami yang membayar 'hanya' USD 500, makan siang tidak disediakan, namun panitia mengadakan semacam kantin dan kita bisa makan di tempat itu, atau menikmati bekal yang kita bawa sendiri, atau membeli makanan di kantin tersebut. Menu yang disediakan di kantin adalah menu sederhana seperti sandwich dan jenis roti yang lain. Setiap waktu makan tiba, kami bertiga memilih pulang ke penginapan kami yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari DCC. Shalat, makan, dan kembali lagi ke tempat acara.

Dibandingkan di Indonesia, bila ada acara apa pun semacam ini, urusan makan seolah menjadi begitu penting dan seringkali menjadi ukuran suksesnya sebuah event. Dana kepanitiaan terserap cukup banyak untuk konsumsi. Seksi konsumsi juga begitu repot karena harus membuat berbagai alternatif menu dan menyiapkannya sedemikian rupa. Satu pelajaran dari mengikuti konggres IFHE ini, bahwa urusan konsumsi memang penting, namun itu tidak berarti harus mewah dan beragam. Konsumsi yang sederhana, praktis, dengan menampilkan kekayaan lokal, menjadi daya tarik tersendiri. 

Setelah pemaparan keynote speaker, setiap hari, sampai hari keempat, acara dilanjutkan dengan concurrent session. Pada acara ini, peserta dibagi menjadi 7 kelompok sesuai tema. Dalam setiap kelompok, peserta menyajikan papernya. Saya sendiri kebagian jadwal hari pertama ini tapi pada sesi kedua. Jadi saya memiliki kesempatan untuk melihat lebih dulu bagaimana para peserta yang lain tampil, dan mempersiapkan penampilan terbaik saya.

Daejeon, 2 Agustus 2016 

Selasa, 30 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (2)

Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Korea kami tempuh dalam waktu sekitar 6 jam 35 menit. Sekitar pukul 01.00 dini hari tadi kami bertolak dari Bandara KLIA 2, dan saat ini, pukul 08.50, kami sudah mendarat di Incheon Airport. 

Mengikuti arus ke mana para penumpang yang lain bergerak, kami berjalan mengular sambil membaca petunjuk. Menaiki train, mengantri di bagian custom, mengambil bagasi, kemudian menuju meja airport information. Menanya bagaimana caranya kami bisa menuju Daejeon. Petugas memberi tahu kami dengan sebuah peta, dan menunjuk ke satu arah supaya kami bisa memperoleh tiket bus. Di Platform 9B.

Ternyata tidak hanya bus yang tersedia, tapi juga taksi. Kami memilih taksi sebagai alternatif pertama. Demi kepraktisan. Kalau naik bus, kami hanya bisa sampai ke Daejeon Terminal Complex. Masih harus naik bus atau taksi lagi ke Innopolis Guest House Dae Deok, penginapan kami. Penginapan kami sebenarnya di Daejeon juga, tapi bus tersebut tidak sampai ke sana. 

Wow, ternyata harga taksi cukup mahal, 250,000 Won, atau sekitar 3 juta rupiah. Kami mundur teratur. Beralih ke konter penjualan tiket bus. Membayar 69,000 Won bertiga. Sekitar 828 ribu rupiah. 

Di Incheon Airport, hampir semua petunjuk ditulis dalam Bahasa Korea. Beberapa petunjuk yang kami bisa baca adalah Transfer, Arrival, Foreigner Passport, Bagagge Claim, dan angka-angka. Selebihnya tak terbaca oleh kami, karena menggunakan huruf Hangeul.

Tentang aksara Hangeul, sebuah sumber menyebutkan, Hangeul adalah satu-satunya aksara yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan teori dan maksud yang telah direncanakan dengan baik. Orang itu adalah Raja Sejong yang Agung (1397-1450), seorang pemimpin sekaligus ilmuwan dan pelopor budaya. Melalui upaya keras bertahun-tahun, ia meneliti unit dasar Bahasa Korea menggunakan kemampuannya sendiri tentang kebahasaan dan akhirnya berhasil menuangkannya dalam bentuk aksara. Dibanding aksara bangsa lain, Hangeul tidak didasarkan pada satu bahasa tulis atau meniru aksara lain, namun unik khas Korea. Hangeul merupakan sistem penulisan yang bersifat ilmiah, didasarkan pada pengetahuan kebahasaan yang mendalam dan asas-asas filosofis. Begitulah yang saya baca sambil menunggu bus di bus stop di bagian depan bandara yang ramai.

Sebelum naik bus, saya menyempatkan diri menghampiri vending machine. Rasa haus tak bisa saya tahan karena saya tidak minum semalaman, sejak masuk pesawat. Bodohnya saya. Sudah tidak pesan makanan di pesawat, tidak bawa minuman lagi.  

Tapi saya beruntung. Waktu saya mau membeli minuman di vending machine, ternyata saya harus membayar dengan koin 1000 Won. Padahal saya tidak punya koin. Dan vending machine tidak menerima jenis uang yang lain, misalnya uang kertas dan memberi kembalian. Seorang pria membantu saya dan membelikan saya sebotol air mineral dingin dengan uangnya. "Oh, it's your money." Kata saya. Dia menggerak-gerakkan tangannya dan saya mengartikannya "no problem". Benar-benar rezeki anak sholehah.

Perjalanan dari Incheon menuju Bus Terminal Complex, Daejeon bisa ditempuh selama sekitar 3 jam. Di sepanjang jalan, adalah laut yang mengering, gunung-gunung di kejauhan, bukit-bukit yang rimbun pepohonan, dan bangunan-bangunan menjulang. Semua papan petunjuk dilengkapi dengan tulisan dengan aksara Hangeul. 

Tibalah kami di Bus Terminal Complex. Sedihnya, tidak ada petunjuk dalam Bahasa Inggris sama sekali. Saya bertanya pada seseorang, dan entah dia bicara apa, tapi saya artikan, "silakan terus saja ke sana". 

Syukurlah, seperti mendapat durian runtuh ketika kami dapati seorang pemuda membawa papan nama besar dengan tulisan: XXIII IFHE World Congress and International Conference. Oh, thanks God. Kami langsung menghampiri dia dan menyapa dengan riang-gembira. "We are participants the IFHE Congress from Indonesia". Dan....bedudak-beduduk bedudak-beduduk. Ternyata dia tidak bisa berbahasa Inggris juga. Tapi dia berbaik hati mengantarkan kami ke tempat taksi mangkal dan menyampaikan pada driver ke mana tujuan kami.

Penginapan kami ternyata berada satu kompleks dengan Daejeon Convention Center (DCC), tempat di mana konferensi digelar. Hari ini sebenarnya acara sudah dimulai, namun agendanya adalah IFHE Council/Pre-Congress Conference. Tentu saja kami tidak perlu mengikuti acara itu. Tapi saya sempat mengintip tema pre-congress, yaitu: Current Status and Future Directions of Home Economics Curriculum around the World. 

Kami cukup melakukan lapor diri ke panitia saja saat ini. Namun sewaktu kami akan menuju ruang DCC, seorang pemuda berjas lengkap menyambut kedatangan kami dan menanyakan apakah kami sudah melakukan registrasi online dan membayar. Saat saya bilang sudah, dia katakan kalau kami tidak perlu melapor panitia dan sebaiknya langsung istirahat dulu setelah perjalanan jauh. Syukurlah. 

Pemuda ramah itu mengantarkan kami ke guest house yang ada di sisi kanan DCC. Membantu membawa koper-koper kami. Bahasa Inggrisnya bagus meski dengan logat Korea yang kental. Dia menyampaikan ke resepsionis tentang kedatangan kami, dengan bahasa Korea. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu isi pembicaraan mereka. Namun ujung-ujungnya, kami menerima kunci kamar. Bu Dwi dan Bu Lusi di kamar 205 dan saya di kamar 406. Maka siang itu, sekitar pukul 14.30, kami memasuki kamar kami masing-masing di Innopolis Guest House. Tak sabar rasanya membayangkan air mandi yang berlimpah dan tempat tidur yang empuk.

Siang ini kami mengemasi semuanya. Membersihkan diri dan menata bagasi bawaan. Juga menyantap makan siang pertama kami di Korea: nasi uduk instan, produksi Bu Dwi. Ya. Selama kami di Korea, kami memasak sendiri. Bukan karena kami tidak punya uang untuk membeli makanan, tetapi memperoleh makanan halal tentu tidak terlalu mudah di negara yang mayoritas penduduknya nonmuslim ini. Guest House menyediakan alat memasak di setiap kamar. Rice cooker, water boiler, kompor listrik, dan sebagainya. Tentu saja mangkuk dan sumpit khas Korea. 

Saya akan mempresentasikan paper saya besok, sedangkan Bu Dwi dan Bu Luci membawa produk penelitian masing-masing, nasi uduk instan dan nasi kuning instan, untuk dipamerkan. Kedua produk itu sudah dipatenkan. Selain membawa produk, Bu Lusi sudah menyiapkan dua bendera merah putih kecil dengan tatakannya yang manis. Besok, merah putih akan berkibar di meja pamer IFHE World Congress 2016.

Innopolis Guest House, 1 Agustus 2016