Oleh Luthfiyah Nurlaela
Jurusan PKK, FT, Unesa
Abstrak: Pendidikan
ramahanak merupakan pendidikan
yang mengedepankan rasa kasih sayang dan bukan kekerasan, mengedepankan pujian
bukan umpatan, mengedepankan asah, asih, dan asuh, dan bukan intimidasi atau
tekanan. Penelitian ini
bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2)
mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan
upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada
anak sekolah. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, angket,
dan dokumentasi.Subyek penelitian adalah siswa dan guru di sekolah-sekolah
kabupaten 3T (terdepan, terluar, tertinggal).Teknik analisis data dengan
deskriptif kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1) kejadian
kekerasan pada anak sekolah masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis,
dan penelantaran; 2) pelaku tindak kekerasan pada anak adalah guru, keluarag,
dan beberapa pihak lain; dan 3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi
terjadinya tindak kekerasan pada anak baru sebatas upaya persuasif,yang
dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah,
dan LSM. Rekomendasi yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan
ramah anak di daerah 3T; dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan
sosial, dan pendekatan hukum.
Kata Kunci: Kekerasan pada
anak sekolah, Daerah 3T
Pendahuluan
Pendidikan adalah investasi jangka panjang.Pendidikan
tidak hanya menjawab masalah-masalah yang sifatnya praktis dan teknis pada saat
ini. Tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia untuk membangun
peradaban unggul di masa depan. Dengan demikian, pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua
orang. Masyarakat yang berpendidikan setidaknya dapat mewujudkan tiga hal, yaitu: 1) dapat membebaskan dirinya dari
kebodohan dan keterbelakangan. 2) mampu
berpartisipasi dalam proses politik untuk mewujudkan masyarakat yang
demokratis, dan 3) memiliki kemampuan untuk membebaskan diri dari kemiskinan.
Pentingnya
pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia tidak dapat disangkal lagi.Tidak ada satu orang pun yang tidak percaya bahwa kemajuan suatu bangsa
ditentukan oleh SDM.Lebih jauh, Tatyana (2000: 35) menyatakan bahwa pendidikan merupakan unsur yang sangat
vital dalam pembangunan ekonomi. Di samping modal fisik seperti mesin, bangunan
dan sejenisnya, modal manusia merupakan unsur vital. Untuk mencapai pembangunan
ekonomi yang tinggi maka diperlukan modal manusia yang berpendidikan tinggi
juga. Oleh sebab
itu, pengembangan SDM menjadi hal yang sangat prioritas.
Bagi
sebagian besar orang miskin, pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas
vertikal yang paling penting. Ketika modal yang lain tidak mereka miliki,
terutama modal berupa uang atau barang, hanya dengan modal pendidikanlah mereka dapat berkompetisi untuk
mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan
(Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014).
Pendidikan
yang tinggi, yang ditunjang dengan kondisi kesehatan yang baik, pada
akhirnya dapat meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Pendidikan dan
kesejahteraan memang tidak memiliki hubungan yang bersifat langsung, namun
melalui proses panjang di mana pendidikan
yang baik akan memberi peluang pada anggota masyarakat untuk dapat
terlibat di dalam proses pembangunan ekonomi. Mekanisme tersebut dapat terjadi
dengan proses sebagai berikut: Kondisi pendidikan dan kesehatan yang baik
merupakan prasayat terbentuknya SDM yang berkualitas. Dengan SDM yang berkualitas maka masyarakat akan
memiliki produktivitas tinggi. Produktivitas yang tinggi pada gilirannya akan
berkontribusi sangat signifikan pada upaya untuk menciptakan pertumbuhan
ekonomi (Sulistyastuti, 2007; Nuh, 2014)
Kesempatan untuk dapat memperoleh
pelayanan pendidikan, dengan demikian, dapat pula digunakan sebagai instrumen
yang paling efektif untuk memotong matai rantai atau lingkaran setan kemiskinan
(the vicious circle of poverty), di
mana kemiskinan terjadi karena rendahnya produktivitas orang miskin yang
disebabkan rendahnya kualitas SDM (pendidikan dan kondisi kesehatan) orang
miskin tersebut. Rendahnya SDM orang miskin itu sendiri disebabkan kondisi
kemiskinan mereka sehingga mereka tidak mampu melakukan investasi untuk
pendidikan dan kesehatan.
Oleh sebab itu, program yang
berpihak pada anak-anak dari keluarga miskin dan daerah-daerah tertinggal harus
terus ditingkatkan.Nuh (2014) menyebutnya sebagai program keberpihakan
(afirmasi), atau pendidikan yang ramah secara sosial.Tujuannya adalah agar
anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan terbaik.Program semacam
ini, selain berperan untuk memotong mata rantai kemiskinan, juga sekaligus
meningkatkan harkat dan martabat.Prinsip dasar pendidikan adalah untuk semua,
tidak boleh ada diskriminasi, termasuk karena status sosial ekonomi.Akses ke
dunia pendidikan harus terbuka luas bagi setiap lapisan masyarakat.
Daerah 3T di Indonesia
terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut.Ditinjau dari
nilai strategis dan potensinya, daerah 3T memiliki keunggulan dan keunikan
tersendiri baik dari sumber daya alam maupun budayanya.Daerah 3T juga merupakan
wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi
sebagaimana diketahui, pembangunan di daerah 3T masih sangat jauh tertinggal dan
kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perkotaan di
Indonesia.Daerah 3T dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh
dari sejahtera dan sangat tertinggal.Masih belum banyak tersentuh oleh program
pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infratruktur,
pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat
terbatas.
Dalam
bidang pendidikan, daerah 3T memerlukan upaya peningkatan mutu yang harus dikelola
secara khusus dan sungguh-sungguh. Berbagai permasalahan pendidikan antara lain
yang terkait dengan tenaga pendidik, seperti kekurangan jumlah guru (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi
di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), dan ketidaksesuaian antara kualifikasi
pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched).
Permasalahan lain dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah 3T adalah angka
putus sekolah yang masih relatif tinggi, angka partisipasi sekolah yang masih
rendah, sarana prasarana yang belum memadai, dan infrastruktur untuk kemudahan
akses dalam mengikuti pendidikan yang masih sangat kurang.
Ketimpangan pendidikan
di daerah 3T semakin diperparah dengan ‘budaya’ guru-guru yang mendidik
anak-anak dengan cara kekerasan. ‘Di
ujung rotan ada roti’menjadi jargon yang sudah sangat umum di daerah 3T. Jargon
tersebut menunjukkan bahwa kekerasan fisik mutlak diperlukan untuk membuat anak
menjadi lebih baik, menurut, dan pintar. Tanpa kekerasan, anak-anak tidak akan
bisa diatur dan menjadi anak yang tidak ‘tahu adat’.
Tindak kekerasan terhadap anak adalah
perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal dan non verbal) yang
ditujukan untuk mencederai atau merusak anak, baik berupa serangan fisik,
mental sosial, ekonomi maupun seksual yang melanggar hak asasi
manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat,
berdampak trauma psikologis bagi korban. Kekerasan dapat terjadi dimana saja,
termasuk di sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF
(2007), di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan
yang terjadi pada siswa dilakukan oleh guru.
Di Indonesia,masih cukup
banyak guru yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa
(Phillip, 2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan
trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin kebal terhadap
hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi terhadap siswa lain
yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus berputar bisa
melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat.
Berdasarkan laporan, di
kawasan Jabodetabek saja, pada 2010, kekerasan pada anak mencapai 2.046
kasus.Laporan kekerasan pada anak tahun 2011 naik menjadi 2.462 kasus.Pada 2012
naik lagi menjadi 2.626 kasus dan pada 2013 melonjak menjadi 3.339
kasus.Bahkan, dalam tiga bulan pertama 2014, sejumlah 252 kasus kekerasan pada
anak dilaporkan.Parahnya, kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini
dianggap sebagai surga bagi anak-anak, yakni di rumah dan sekolah.
Data yang lain
menyebutkan bahwa jumlah anak korban tindak kekerasan dan perlakuan salah
pada tahun 2004 mencapai 48.526 kasus (Depsos, 2004). Jumlah ini diyakini lebih
banyak lagi, seperti fenomena gunung es (the
tip of ice berg) mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun
sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun
masyarakat sekitarnya.
Bagaimana dengan
kondisi di daerah 3T?Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan gambaran
pendidikan di daerah 3T khususnya yang terkait dengan perilaku guru terhadap
anak-anak sekolah. Secara rinci, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan kejadian kekerasan pada anak sekolah; 2)
mendeskripsikan pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah; 3) mendeskripsikan
upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada
anak sekolah.
Metode
Penelitian
ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dengan memaparkan data dan
hasil penelitian dalam bentuk uraian-uraian.Teknik pengumpulan data meliputi observasi,
wawancara, angket, dan dokumentasi.Observasi dilakukan secara tak berstruktur
dan tersamar, di mana peneliti sebagai instrumen penelitian utama.Pelaksanaan
observasi dilakukan pada saat peneliti berada di sekolah. Wawancara juga
dilakukan secara tak berstruktur dengan informan kunci (key informan) adalah guru-guru para peserta Program SM-3T (Sarjana
Mendidik di Daerah Terdepan,Terluar, Tertinggal) dan siswa. Selain itu, angket
juga digunakan untuk keperluan pengecekan dan pembanding
(triangulasi).Triangulasi yang dilakukan meliputi triangulasi metode
(observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi) dan sumber data (guru dan
siswa).Para peserta program SM-3T merupakan sarjana pendidikan yang ditugaskan
di berbagai daerah 3T selama setahun. Unesa sebagai salah satu Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang dipercaya sebagai penyelenggara
Program SM-3T, memiliki lokasi tempat penugasan meliputi: Kabupaten Sumba
Timur, Kabupaten Talaud, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Aceh Singkil,
Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, dan Kabupaten Raja Ampat.
Observasi dan wawancara dilakukan saat peneliti melaksanakan tugas monitoring
dan evaluasi pelaksanaan program, yaitu pada rentang tahun 2013-2015.
Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data terkait dengan tindak kekerasan
pada anak sekolah, dengan memanfaatkan buku-buku yang sudah diterbitkan oleh
Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Unesa.Selanjutnya, analisis data
dilakukan secara deskriptif kualitatif.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Kejadian kekerasan pada anak
sekolah
Kejadian
kekerasan pada anak sekolah terjadi hampir setiap hari.Kekerasan tersebut
terjadi karena anak terlambat datang sekolah, anak gaduh di kelas, anak tidak
mengerjakan tugas, dan karena anak tidak disiplin. Berikut adalah kutipan
beberapa catatan para guru peserta Program SM-3T:
Satu hal yang membuatku prihatin dengan
sistem pendidikan di sini adalah kekerasan terhadap siswa.Selain itu, terkesan
sekali bahwa guru sangat menjaga jarak dengan mereka.Kepatuhan siswa terhadap
guru lebih karena ketakutan mereka. Siswa tidak berani membolos karena takut
akan ditampar atau ditendang saat masuk sekolah.
Rasanya ingin membongkar kebiasaan
tersebut.Aku sering tidak kuasa menahan tetesan air mata melihat anak-anak
kecil di kelas I yang berbaris—tepatnya dibariskan—untuk mendapatkan pukulan
satu per satu karena terlambat datang ke sekolah.
“Biasa itu di sini, Ibu.”Jawab seorang
guru ketika aku tanyakan tentang perlakukan keras pada siswa.
“Kalau anak dimanja dan kita terlalu
lembek pada mereka, mereka akan malas, “ tambah guru tersebut.
Bahkan menurutnya, benar atau tidak, sudah
ada aturan yang memperbolehkan guru bertindak kasar pada siswa.Aturan itu sudah
disosialisasikan kepada guru dan orang tua siswa.
“Asal tidak sampai keluar darah,”
katanya.
Aku tidak percaya bahwa aturan itu
memang pernah dibuat dan diterapkan.Apalagi dengan ukuran “asal tidak sampai
keluar darah.”Menurutku, luka dalam lebih berbahaya daripada luka luar yang
mengeluarkan darah (Oktavianti,
2014).
Kutipan
di atas menunjukkan betapa kekerasan sudah menjadi ‘budaya’ dalam dunia
pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah di daerah tersebut. Kekerasan dianggap
sebagai bagian penting sebagai cara mendidik anak. Begitu pentingnya sampai
harus didukung oleh semacam peraturan yang itu diterima oleh masyarakat sekolah
dan orang tua.Memukul dan bicara keras adalah salah satu aturan yang berlaku.Itu
artinya, kekerasan fisik dan kekerasan psikis menjadi bagian tak terpisahkan
dari kehidupan anak-anak.
Setibanya di sekolah yang sederhana itu,
tidak ada rasa lain selain kaget dan tercengang melihat anak-anak SD yang
polos. Raut mereka yang sedih dan terlihat minder sambil menyapukantor guru dan
halaman sekolah membuatku penasaran. Sepertinya, mereka terpaksa
melakukannya.Ya, ternyata hal itu benar. Aku melihat seorang guru keluar dari
kantor dan berteriak meminta mereka menyapu. Dengan wajah polos dan tercengang,
aku dan siswa saling memandang. Hatiku bertanya: “Mengapa mereka diperlakukan
demikian? Mengapa guru bisa setega itu?
………Setiba di rumah kepala sekolah, rasa
kaget menyeruak kembali ketika aku melihat hal yang sama. Seorang murid dengan
wajah murung, sedang mencuci baju dan piring yang bertumpuk. Hatiku pun
bertanya: “Mengapa mereka diminta bekerja seberat ini?”(Syarifuddin,
2014).
Berdasarkan catatan di
atas, nampak bahwa guru tidak segan-segan memperlakukan siswa seolah-olah siswa
itu adalah pembantu atau buruh mereka.Mereka memanfaatkan ketidakberdayaan
siswa dan memaksa mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan tugas sekolah.Relevan dengan hal tersebut, data
penelitian yang diperoleh dari beberapa informan kunci menunjukkan kondisi yang
lebih parah, di mana siswa bisa mendapatkan hukuman berupa pukulan, ditarik
rambutnya, ditempeleng, dihukum tidak boleh masuk kelas, dicoret-coret bagian
tubuh dan wajahnya dengan spidol permanen, hanya karena siswa tidak membawa
air, parang, atau kayu bakar, untuk para guru mereka.
Berikut adalah salah
satu kutipan hasil angket yang disampaikan oleh seorang guru SM-3T di Kabupaten
Maluku Barat Daya, yang menunjukkan betapa guru bahkan tidak segan-segan
menyamakan siswa dengan binatang.
Kami telah mencoba memberikan pengertian jika
hukuman fisik (terlebih pada anak dibawah umur) tidak hanya menyakiti anak
secara fisik namun juga akan berpengaruh secara psikis pada masa perkembangan
anak. Dan itu artinya sedikit banyak juga akan berpengaruh pada kemampuan
berfikir anak tersebut. Namun jawaban mereka semua hampir sama.
“Ibu
guru, dong (mereka) itu kepala batu, beda dengan
anak-anak disana (Jawa). Seng (tidak)
bisa dikasih hati. Jadi harus dipukul.”
“Dong (mereka) ini paling bodo. Sama deng (dengan) kuda. Kalau seng
(tidak) dipukul, dong (mereka) seng (tidak) akan mengerti.”
Pada
setiap pembahasan mengenai hukuman fisik yang masih dilakukan selalu berujung
pada kalimat “Di ujung rotan ada roti”. Dan seakan kalimat tersebut sudah
sangat mereka yakini bahwa mendidik anak dengan cara seperti itu akan
menjadikan anak tersebut sukses di kemudian hari.
Selanjutnya adalah
tabel ringkasan hasil wawancara dan angket yang diperoleh dari berbagai
kabupaten tempat penugasan peserta Program SM-3T, meliputi Sumba Timur, Talaud,
Aceh Singkil, Maluku Barat Daya, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Raja
Ampat.
Tabel 1: Gambaran
Tindak Kekerasan pada Anak Sekolah di Daerah 3T
No.
|
Pertanyaan
|
Jawaban
|
1.
|
Pernahkah Saudara
menyaksikan kejadian kekerasan pada anak-anak di sekolah tempat tugas
Saudara?
|
Pernah
|
2.
|
Seberapa
seringkah Saudara melihat kejadian kekerasan yang dialami anak-anak tersebut?
|
Hampir
setiap hari
|
3.
|
Mengapa anak-anak
itu mengalami tindak kekerasan?
|
a.
Terlambat
datang ke sekolah
b.
Gaduh
di kelas
c.
Berkelahi
dengan temannya
d.
Tidak
memakai sepatu (walau tidak punya atau sepatu satu-satunya basah karena
hujan)
e.
Tidak
mengerjakan PR
f.
Tidak membawa barang yang diminta guru (air, parang,
kayu bakar, dll).
g.
Melakukan pelanggaran tata tertib sekolah seperti
mencoret-coret meja dan tembok, melompat pagar, membolos, dsb.
a.
Merokok, minum-minuman keras, berbuat asusila,
mencuri.
|
4.
|
Bentukkekerasansepertiapakah
yang diterimaanak-anaktersebut?
|
a.
Kekerasan
fisik: ditempeleng/dipukul/dicubit/dijewer
b.
Kekerasan
psikis: dicemooh/dibentak/dilecehkan/dihina/tidak diperkenankan masuk
kelas, tidak dimasukkan dalam daftar hadir, muka atau bagian tubuh lain
dicoret-coret dengan spidol permanen, distrap di depan semua siswa dan guru
saat apel.
c.
Pembiaran/penelantaran: kelas
dibiarkan kosong, tidak diajar.
|
Berdasarkan tabel
tersebut semakin jelas bagaimana bentuk tindak kekerasan terjadi pada siswa di
daerah 3T.Kondisi tersebut tentu saja sangatlah memprihatinkan dan perlu segera
dilakukan upaya untuk menguranginya. Upaya yang sudah dan yang seharusnya
dilakukan akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Pelaku tindak kekerasan pada anak sekolah
Sebagaimana data di atas, pelaku tindak kekerasan pada
umumnya adalah guru.Selain itu, kepala sekolah juga sesekali ikut serta
melakukan tindak kekerasan.Begitu juga dengan pihak berwenang (polisi) serta
kepala dan staf UPTD setempat.Para pihak tersebut turut serta dalam menangani
anak bila anak tersebut dinilai telah melakukan pelanggaran berat seperti
mencuri dan minum-minuman keras.
Minum-minuman keras
sebenarnya merupakan kebiasaan yang sangat masif di daerah 3T. Mulai dari
pejabat kabupaten, kecamatan, desa, dan hampir semua masyarakat, bahkan di
segala usia, minuman keras adalah konsumsi sehari-hari. Melihat orang berjalan
sempoyongan di jalan-jalan karena mabuk merupakan hal yang lazim. Kegiatan
kantor baik dinas mau pun tidak dalam rangka dinas, diwarnai dengan botol-botol
minuman keras dan diakhiri dengan mabuk juga sudah menjadi hal biasa.
Di sinilah letak
ketimpangan itu, di satu sisi, anak dihukum bila mereka melakukan minum-minuman
keras, sementara mereka yang memberi hukuman itu sesungguhnya biasa melakukan
hal yang sama. Benarlah sebagaimana yang disinyalir oleh Nurlaela (2013), bahwa
salah satu faktor penghambat kemajuan pembangunan pendidikan di daerah 3T
adalah karena miskin figur panutan, rendahnya etos kerja, rendahnya daya dukung
masyarakat dan orang tua, termasuk tumbuh suburnya ‘budaya’ negatif yang telah
berterima secara luas.
Namun demikian, tindak
kekerasan juga diterima anak saat mereka berada di rumah, yang hal itu
dilakukan oleh anggota keluarga terutama orang tua.Memperlakukan anak dengan
keras sepertinya sudah menjadi hal yang sangat biasa di daerah 3T, baik di
rumah maupun di sekolah. Bahkan dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa
orang tua, orang tua sudah menyerahkan anak pada sekolah dan tidak pernah
merasa keberatan dengan perlakuan apa pun dari pihak sekolah terhadap anak
mereka.Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena anak semakin tidak mempunyai
tempat untuk berlindung dari kekerasan.
Upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi
terjadinya tindak kekerasan pada anak sekolah.
Berdasarkan hasil wawancara dan penyebaran angket,
diperoleh data bahwa telah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi
terjadinya tindak kekerasan. Upaya tersebut meliputi: 1) Guru SM-3T memberikan bimbingan dan arahan kepada murid
yang bermasalah secara persuasif dengan melihat latar belakang kenapa melakukan hal yang tidak
diinginkan oleh guru; 2) Dewan guru mengubah bentuk hukuman
menjadi hukuman push-up untuk siswa
yang terlambat, dan denda bagi yang tidak masuk tanpa izin; 3) Adanya penyuluhan tentang kekerasan
terhadap anak dan kekerasan dalam rumah tangga oleh lembaga hukum kabupaten
setempat; dan 4) PNPM dan Wahana Visi Indonesia, Komisi Perlindungan Anak di daerah setempat, memberikan penyuluhan
kepada orang tua tentang pentingnya anak sebagai penerus bangsa, dan bagaimana
bentuk dukungan yang harus dilakukan orang tua terhadap anak.
Berdasarkan hal
tersebut, sebenarnya sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak,
baik guru, kepala sekolah, maupun pemerintah dan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat).Namun tentu tidak mudah mengubah kebiasaan masyarakat yang sudah
berurat-berakar sejak puluhan tahun, karena hal tersebut menyangkut bagaimana
mengubah budaya.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan
hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: 1) Kejadian kekerasan pada anak sekolah
masih sering terjadi,baik kekerasan fisik, psikis, dan penelantaran; 2) pelaku
tindak kekerasan pada anak adalah keluarga, guru, dan/atau teman sejawat; dan
3) upaya yang telah dilakukan untuk mengurangi terjadinya tindak kekerasan pada
anak baru sebatas upaya persuasif,yang dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu
guru SM-3T, kepala sekolah, pemerintah, dan LSM.
Selanjutnya, rekomendasi
yang diberikan adalah: 1) perlu sosialisasi pendidikan ramah anak di daerah 3T;
dan 2) perlu upaya melakukan pendekatan individu, pendekatan sosial, dan
pendekatan hukum.
Daftar
Pustaka
Nuh, Mohammad.
2014. Nuh, Mohammad. Menyemai Kreator Peradaban. Jakarta: Zaman. 2014.
Nurlaela,
Luthfiyah. 2014. Unesa untuk Pendidikan di Daerah Tertinggal, dalam 50 Tahun Unesa Emas Bermartabat.
Surabaya: Unesa University Press.
Nurlaela,
Luthfiyah. 2015. Jawa Timur untuk Pendidikan Daerah tertinggal, dalam Pintu Gerbang MEA 2015 Harus Dibuka.
Jakarta: Prenadamedia Group.
Nurlaela,
Luthfiyah. 2013. Berbagi di Ujung Negeri.
Surabaya: PT Revka Media Surabaya.
Oktavianti,
E. 2014. Asal Tidak Keluar Darah, dalam Mimpiku,
Mimpimu, Mimpi Kita. Ed. Rukin Firda dan Luthfiyah Nurlaela. Surabaya: PT
Revka Media Surabaya.
Risadi,
Aris Ahmad. 2013. Ketenagakerjaan dan Daerah Tertinggal. http://www.kemenegpdt.go.id/artikel/85/ketenagakerjaan-dan-daerah-tertinggal. Diakses 2 Mei
2014.
Soetomo. 2006.
Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sulistyastuti,
Dyah Ratih. 2007. Pembangunan Pendidikan dan MDGs di Indonesia: Sebuah Refleksi
Kritis. Jurnal Kependudukan Indonesia,
Vol. II No. 2. 2007
Syarifuddin,
S. 2014. Anakku, Buruhku, dalam Porodisa
di Talaud. Ed. Luthfiyah Nurlaela dan Anas Ahmadi. Sidoarjo: Sarbikita
Publishing.
UNICEF.
2007. Annual Report 2006.