Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 07 Maret 2017

Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Kecakapan Hidup

Oleh Luthfiyah Nurlaela


Pendahuluan
          Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.
          Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
          Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
          Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?
Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.
Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.
Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).
Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).
Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.
Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).
Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.
          Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup.  Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.
 Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).
          Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
          Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).
          Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
          Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).
          Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang  berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).

Implementasi PKH dan Kendalanya

          Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
          Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.
          Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
          Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.      Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.
          Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.
          Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.
          Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.
          Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.
          Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.
          Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter
Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan jauh berbeda.  Banyak program yang awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’ oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang sedang diterapkan.
Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal tersebut identik dengan GLS.  Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’ bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.
 Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.
Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional  Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.

Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.

Rabu, 15 Februari 2017

Pembukaan PPA PPG SM-3T Angkatan V

Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Univesitas Negeri Surabaya angkatan V mulai diselenggarakan untuk tahun Ajaran 2017-2018. Sebanyak 187 mahasiswa telah melakukan registrasi online pada tanggal 4-6 Februari 2017, dan telah seluruhnya melakukan lapor diri pada 7-8 Februari 2017. Selanjutnya para mahasiswa tersebut langsung masuk asrama Rusunawa untuk mahasiswa putri, dan asrama PGSD untuk mahasiswa putra. Mereka akan menghuni asrama selama mengikuti program SM-3T sampai Desember 2017 nanti. 

Mahasiswa PPG sampai angkatan V ini adalah mereka yang sudah melaksanakan tugas pengabdiannya setahun di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dalam program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T). Oleh sebab itu, Program PPG ini dinamakan PPG SM-3T, karena pesertanya adalah para alumni SM-3T.

Senin, 13 Februari 2017, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung LP3M Lantai 9, dilaksanakan Pembukaan Program Pengenalan Akademik (PPA). Acara pembukaan dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si, beserta Sekretaris LP3M, Dr. Suryanti, M.Pd. Ketua dan Sekretaris Pusat PPG, yaitu Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd dan Dr. Elok Sudibyo, M.Pd, tentu saja juga hadir, bersama dengan para ketua program studi penyelenggara PPG.

PPA diselenggarakan selama 3 hari, dimulai dengan kuliah umum dengan tema "Neuroscience in Education", disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik. Kemudian dilanjutkan dengan materi akademik dan pemahaman seputar tatakelola bidang pendidikan. Gambaran Umum PPG, Sistem Pembelajaran, Sistem Penilaian, Pendidikan Bela Negara, adalah beberapa materi di antaranya. Juga pengenalan lingkungan kampus dan mekanisme pemanfaatannya.

Program PPG SM-3T angkatan V ini terdiri dari sepuluh program studi. Program studi beserta jumlah mahasiswanya adalah: Pendidikan Matematika (33), Pendidikan IPA (13), Pendidikan Fisika (13), PGSD (30), Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (17), Pendidikan Kewarganegaraan (15), Pendidikan Geografi (16), Pendidikan Sejarah (13), Pendidikan Bahasa Indonesia (13), dan Pendidikan Bahasa Inggris (20). Mereka tidak hanya berasal dari Unesa saja, namun juga dari berbagai perguruan tinggi yang lain, seperti Universitas Tanjungpura (Untan), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Surabaya (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan beberapa universitas yang lain. 

Workshop akan dilaksanakan mulai tanggal 20 Februari 2017, dengan pola nonblok. Keputusan untuk menyelenggarakan PPG dengan pola nonblok didasarkan pada pengalaman empiris selama ini. Sejak awal penyelenggaraan PPG SM-3T tahun 2013, PPG dilaksanakan dengan pola blok, yaitu satu semester penuh di kampus untuk workshop, dan satu semester penuh di sekolah untuk PPL. Pola tersebut menyebabkan kejenuhan baik pada mahasiswa maupun dosen, karena mahasiswa berkutat dengan penyusunan RPP terus-menerus dan dosen juga harus terus-menerus membimbing. Kejenuhan tersebut menyebabkan kinerja mahasiswa dan dosen tidak optimal. 

Pada angkatan V ini, pola nonblok dicoba diterapkan untuk mengantisipasi kelemahan pola blok. Pola ini mengatur kegiatan mahasiswa di kampus dan di sekolah secara berseling, separo semester pertama di kampus, dilanjutkan dengan separo berikutnya di sekolah, begitu juga pada semester keduanya. Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan PPG, pola nonblok memang dimungkinkan.

PPG SM-3T tahun ini diselenggarakan di 23 perguruan tinggi. Sekitar 3000 mahasiswa tersebar di Universitas Bengkulu, Unmul, UNJ, UNM, Unima, Unimed, UNP, Unnes, Unesa, UNY, Undana, Undiksha, UPI, Unri, UNS, Unsyiah, Untan, Universitas Islam Nusantara, Unmuh Malang, Universitas PGRI Semarang, dan USD Yogyakarta.

Surabaya, 13 Februari 2016

Minggu, 29 Januari 2017

Kabupaten Seluma dan Darurat Guru

Kabupaten Seluma merupakan salah satu kabupaten tertinggal dari 122 kabupaten tertinggal di seluruh Indonesia, dan satu-satunya kabupaten tertinggal di Provinsi Bengkulu. Seluma tidak terlalu jauh dari ibukota Bengkulu, hanya memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan darat.

Pada 26-29 Oktober yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Seluma. Saya terbang dari Surabaya menumpang Garuda dan tiba di Bandara Fatmawati, Bengkulu, pada sekitar pukul 21.00. Faisal Dongoran, M.Pd, dosen dari Universitas Negeri Medan (Unimed) ternyata telah menunggu saya di pintu keluar. Pak Faisal dan saya ditugaskan oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Program Sarjana mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T) di Kabupaten Seluma. Pak Faisal yang berangkat dari Medan ternyata tiba hampir bersamaan dengan saya yang berangkat dari Surabaya, sehingga kami bisa bersama-sama menuju hotel tempat kami menginap selama tiga hari ke depan.

Dari bandara, kami menumpang taksi menuju penginapan. Sampai di penginapan, kami memesan makanan lewat room service. Di teras, sambil menikmati nasi goreng dan buah potong serta teh manis, kami berkomunikasi dengan Muhammad Yusuf, koordinator peserta SM-3T Kabupaten Seluma, untuk perjalanan monev kami besok. 

Tidak seperti kegiatan monev yang seringkali saya lakukan, monev kali ini tidak saya pastikan dulu segala sesuatunya, menyangkut hotel, tansportasi, dan juga sekolah-sekolah yang akan kami kunjungi. Saya mengandalkan Pak Faisal untuk memastikan itu semua, karena yang akan kami kunjungi ini adalah peserta Program SM-3T dari Unimed, LPTK tempat tugas Pak Faisal. Namun ternyata Pak Faisal juga belum melakukan koordinasi apa pun kecuali dengan Yusuf, itu pun juga belum serba jelas. Hotel saja kami dapatkan malam ini setelah mencoba di satu hotel dan hotel lain dipandu supir taksi. Benar-benar monev 'ala koboi'.

Malam ini kami meminta tolong resepsionis hotel untuk mencarikan mobil sewa yang akan mengantarkan kami mengujungi Kabupaten Seluma besok pagi. Yusuf juga saya hubungi untuk memastikan teman-temannya bisa berkumpul di Tais, ibukota Seluma, agar kami bisa melakukan dialog terkait program dan progres program. Juga, tentu saja untuk memastikan 65 peserta itu semua dalam keadaan baik-baik saja. 

Saya juga mencoba menelepon Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Seluma. Tidak berhasil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada telepon selulernya. 

Paginya, sekitar pukul 07.00, saya dan Pak Faisal memulai perjalanan ke Seluma. Menumpang mobil dengan supir bernama Niko, anak muda yang baru dua tahun lalu lulus dari prodi Teknik Informatika di sebuah universitas swasta di Bengkulu.

Sekitar satu setengah jam kami menempuh perjalanan dari Bengkulu menuju Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Sedikit lebih lama dari waktu normal, karena hari masih terlalu pagi untuk datang ke Kantor Diknas. Selain itu, hari itu tanggal 28 Oktober, semua kantor pemerintahan dan sekolah melaksanakan upacara hari Sumpah Pemuda. Kalau kami terlalu pagi tiba di kantor diknas, kami hanya akan menunggu di mobil. Oleh sebab itu, kami menikmati perjalanan dengan agak rileks sambil melihat-lihat jalanan yang kami lewati.

Dalam pengamatan saya, tidak ada yang istimewa dari perjalanan Bengkulu-Seluma. Jalan berbelok-belok tapi relatif datar. Kebun kelapa sawit, hutan dan pepohonan ada di sepanjang jalan. Tidak terlalu lebat. Meski kami menyusuri jalan provinsi, lalu lintas tidak terlalu padat. Saya sudah berkali-kali mengalami perjalanan dengan medan yang sulitnya mungkin sepuluh dua puluh lipat dari yang saya alami saat ini, sehingga bagi saya, Seluma adalah kabupaten yang 'tidak ekstrim'.    

Setiap kali mendekati keramaian, misalnya pasar atau pertokoan, banyak nama makanan Jawa saya temukan di warung-warung tenda, seperti bakso solo, bakso yogya, ketoprak, sate madura, lotek, mie ayam, batagor, dan lain-lain. Nampaknya Bengkulu dipenuhi oleh orang Jawa. Pada awalnya mereka adalah para transmigran, lalu beranak-pinak di Bengkulu dan sekitarnya, dan tinggal di wilayah-wilayah transmigrasi. Pada umumnya mereka berdagang, menjadi pegawai atau karyawan, dan bertani. 

Kami sampai di Tais, ibukota Kabupaten Seluma. Menemui kepala dinas pendidikan yang tidak terlalu perhatian pada kami dan kegiatan monev SM-3T ini, karena ada urusan lain yang lebih mendesak. Saya sendiri tidak terlalu terganggu dengan sikapnya. Pak Mariono, Kabid Dikmen, menemani kami dan juga mendampingi pada acara pertemuan dengan para peserta SM-3T. 

Namun dalam pertemuan singkat dengan kepala dinas tersebut, saya sempat menangkap satu hal penting. Betapa berartinya kehadiran guru SM-3T di Seluma. Tidak hanya untuk membantu kekurangan guru, namun dedikasi guru-guru muda itu begitu mengagumkan. Kata kepala dinas: "banyak yang bilang,  baru ini guru. Artinya guru-guru yang ada selama ini dianggap belum benar-benar guru." 

Kepala dinas menambahkan, kompetensi dan komitmen guru di Seluma sangat memprihatinkan. Bila dihitung, hanya sekitar 20-30 persen yang benar-benar melaksanakan tugas dengan baik. Selebihnya, tanda tanya besar. Ditambah dengan kondisi jarak rumah guru yang pada umumnya jauh, karena mereka tinggal di Bengkulu, maka datang ke sekolah terlambat bisa dikatakan sudah sangat biasa. Guru-guru tersebut seringkali kurang memperhitungkan waktu tempuh dari rumah mereka ke sekolah.

Selain itu, kepala dinas juga mengungkapkan bahwa Seluma saat ini sedang mengalami darurat guru. Sekitar 80 orang guru akan pensiun, sementara pengangkatan guru sudah tidak dimungkinkan lagi. Satu-satunya harapan adalah menunggu kehadiran guru garis depan (GGD). GGD sendiri direncanakan akan ditugaskan pada awal 2017.

Dua hari itu saya dan Pak Faisal serta puluhan peserta SM-3T Unimed mengunjungi beberapa sekolah yang terjangkau saja karena kami hanya punya waktu sehari ini. Meski jarak sekolah terjauh dari Tais hanya sekitar tiga jam, namun medan yang harus ditempuh tidak terlalu mudah, apa lagi pada musim hujan seperti ini. Selain itu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dana untuk monev kali ini tidaklah terlalu leluasa, sehingga kesempatan untuk mengunjungi peserta SM-3T di tempat-tempat terjauh juga tidak terlalu memungkinkan.  

Jumlah guru SM-3T yang bertugas di Seluma sebanyak 65 orang, yang berasal dari 19 program studi. Mereka ditempatkan di SD, SMP, SMA, dan SMK, dilengkapi dengan surat tugas dari Kepala Dinas Kabupaten Seluma. Untuk mereka yang mendapatkan tugas di SMA dan SMK, kebanyakan sekolah berada di pinggiran kota atau bahkan di kota, sehingga tidak ada kendala untuk fasilitas listrik, air, dan telepon. Namun bagi mereka yang ditugaskan di SMP dan--terutama di SD-- tempat tugas mereka bisa berada di pelosok terjauh. Beberapa tempat bahkan tidak tertembus oleh kendaraan bermotor serta tidak mudah untuk mendapatkan listrik dan sinyal telepon.

Namun demikian, bisa dibilang, tidak ada kendala berarti dengan tempat-tempat tugas di ujung negeri itu. Yang menjadi masalah justeru mereka yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota. Beberapa sekolah sebenarnya tidak terlalu tepat sebagai tempat penugasan, karena jumlah gurunya sudah cukup banyak. Rupanya kepala dinas tidak terlalu tepat dalam memahami istilah 3T. Menurutnya, 3T adalah kondisi kabupatennya. Di mana pun sekolah itu berada, yang penting ada di kabupaten yang tergolong 3T. Sehingga bila guru SM-3T ditugaskan di sekolah-sekolah yang berada di kota atau pinggiran kota, itu tidak masalah, meskipun sebenarnya masih ada sekolah-sekolah di pelosok yang jauh lebih membutuhkan kehadiran guru. 

Hal tersebut tentu saja tidak sejalan dengan misi Program SM-3T. Dalam kunjungan kami, masalah ini menjadi temuan dan rekomendasi yang kami berikan adalah memindahkan guru-guru yang ditugaskan di kota atau pinggiran kota ke sekolah-sekolah di pelosok-pelosok yang sekiranya jauh lebih membutuhkan guru-guru tersebut.

Sebagaimana sekolah-sekolah di kabupaten tertinggal, kondisi sekolah di Seluma pada umumnya masih banyak kekurangan, bahkan sekolah-sekolah yang lokasinya di pinggiran kota, meski ada beberapa sekolah model yang kondisinya sudah sangat memadai. Juga kondisi guru, baik dari jumlah maupun kualifikasinya. Di SD, kekurangan guru terjadi pada hampir 90 persen sekolah. Komitmen guru juga perlu perhatian serius. Seringkali terjadi murid  terlantar karena tidak ada guru. Guru yang seharusnya mengajar entah ke mana. Kondisi ini menimbulkan beban tersendiri bagi guru SM-3T. Meski sebenarnya guru SM-3T hanya mengajar 4 jam seminggu, tapi karena harus memegang kelas-kelas kosong, maka bila dihitung, mereka mengajar bisa lebih dari 24 jam seminggu.

Kami mengakhiri kebersamaan dengan sekitar dua puluh peserta SM-3T setelah menikmati bakso dan mie ayam di sebuah warung di sudut kota Tais, saat sore mulai menjelang. Kabupaten yang sekitar 80 persen penduduk aslinya adalah Suku Serawai itu telah menyatu dengan orang-orang dari berbagai penjuru Nusantara. Makanan apa pun seperti tersedia, karena banyak para pendatang yang mengandalkan berjualan makanan sebagai mata pencaharian. Orang Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan sebagainya, semua ada dengan membawa makanan khas mereka. Meski bukan kabupaten yang ramai, Seluma menyediakan cukup beragam pilihan makanan jajanan untuk para penduduknya dan pendatang seperti kami ini. 

Yang agak menggelikan, penduduk setempat memanggil semua orang Sumatra dengan sebutan Ibu Butet dan Pak Ucok. Siapa pun, asal dari Sumatra, akan ditempeli panggilan khas Batak tersebut.

Kami kembali ke Bengkulu saat hari semakin sore. Seikat sayur khas Bengkulu-- umbut dan telur tebu--saya dapatkan dari ibu-ibu kampung yang berjualan di pinggir jalan. Seluma yang hening berada di belakang saya, lengkap dengan doa-doa saya. Semoga para guru muda itu tetap tabah dan kuat mengemban tugas mulianya. Semoga mereka tetap memegang teguh komitmen dan niat luhur yang sudah mereka tanam sejak awal di lubuk hati. Dari tangan-tangan mereka, generasi baru akan menjelma. Generasi yang akan membawa negeri ini menjadi negeri yang lebih bermartabat. 

Selesai

Sabtu, 29 Oktober 2016

Dompu (3): Drama Satu Babak

Acara serah terima di pendopo Kabupaten Dompu berjalan lancar, meski bupati tidak hadir. Asisten Bupati menggantikan menyambut kami beserta Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Puluhan kepala sekolah juga hadir dan siap membawa serta para guru SM-3T ke lokasi tempat penugasan. Pada acara itu, setelah acara sambutan dari Asisten Bupati, Prof. Sukirno memberi sambuta selaku Koordinator SM-3T UNY, dan saya memberi sambutan sebagai wakil dari Direktorat GTK Kemdikbud.

Selepas acara serah terima, Pak Nuril menawari saya untuk bersama-sama beliau menuju Pekat, tempat terjauh yang merupakan lokasi penugasan beberapa peserta SM-3T. Saya menyetujui, tetapi driver yang membawa saya ragu, karena hari sudah terlalu sore, menjelang maghrib. Dia bilang, "bisa-bisa tengah malam kita baru tiba kembali ke sini, bu." Saya pun meminta maaf pada Pak Nuril karena tidak bisa bersama-sama beliau mengantarkan para peserta SM-3T ke Pekat. Sepertinya hari ini saya tidak terlalu bersemangat untuk 'berpetualang'. Kondisi tubuh yang sebenarnya tidak terlalu fit membuat saya memilih untuk tinggal di Kota Dompu saja. 

Selepas maghrib, Nur, adik angkatan saya di Himapala, lulusan Pendidikan Teknik Sipil Unesa, dan guru SMK 1 Woja, mengunjungi saya di hotel tempat saya menginap. Dibawakannya saya sekantung besar makanan khas Dompu, termasuk sejerigen dan sebotol madu. Juga Kue karoto sahe dan kue kahangga khas Dompu yang manis, legit, dan gurih. 

Sebelumnya, Ibu Firdan, bibinya Arifuddin, salah seorang alumnus PPG SM-3T, sudah membawakan saya madu, lengkap dengan telur lebahnya, setoples plastik ukuran tanggung. Wah, saya bisa buka toko madu nih di Surabaya. Madu asli Bima dan Dompu lagi.

Nur, seperti saudara saja bagi kami, saya dan suami. Begitulah kami para anggota Himapala. Di mana pun berada, kami akan saling mencari dan berusaha untuk bisa bertemu. 

Nur biasa kami panggil Dompu. Itu memang panggilannya di Himapala. Nama aslinya, Noerlaila Wahida, sering kami lupakan. Sekadar cerita, sebelumnya saya sendiri mengira namanya memang Dompu. Ternyata itu hanya julukan Nur saja yang diberikan oleh teman-teman Himapala, semata-mata karena dia berasal dari Kabupaten Dompu. Saya sendiri baru mengenal bahwa Dompu adalah nama sebuah kabupaten, beberapa tahun belakangan ini. Pelajaran geografi saya memang payah.

Saya memilih Dompu ini pun, salah satu pertimbangannya karena ada Nur di sini. Selain, tentu saja, karena saya belum pernah ke Dompu. Juga, Dompu adalah satu-satunya kabupaten di NTB yang digunakan sebagai wilayah penugasan SM-3T angkatan VI. Satu pertimbangan penting lagi, adalah karena Dompu merupakan kampung halaman Syahru Romadhon.

Malam ini saya bersama Nur mengunjungi keluarga Syahru Romadhon. Syahru adalah mahasiswa PPG Unesa angkatan 3 yang meninggal di asrama pada Maret 2015 yang lalu. 

Waktu itu, Syahru baru dua minggu tinggal di asrama Kampus Unesa Lidah Wetan. Saya memanggilnya ke ruangan saya, dan saya tanyakan kabar tentang ayahnya yang sakit keras. Saya tahu ayah Syahru sakit karena saat masih bertugas di Mamberamo Tengah sebagai guru SM-3T, Syahru sempat minta izin untuk pulang awal karena ayahnya kritis. Nah, seminggu setelah saya memanggilnya itu, anak muda yang patuh dan pendiam itu meninggal di kamarnya di asrama, pagi hari setelah dia menunaikan salat dhuha dan dalam keadaan sedang membaca Al Qur'an. Semoga Allah SWT memberinya chusnul khotimah. 

Siang harinya, jasad Syahru divisum di RSUD Dr. Soetomo, malamnya disalatkan di Masjid Kampus Lidah Wetan, dan pagi diterbangkan ke Dompu, NTB. Saya sendiri tidak bisa mengantarkan jenazahnya karena tidak ada penerbangan ke Bima waktu itu. Namun Pak Heru dan Pak Rahman, serta salah satu saudara sepupu Syahru yang kuliah di ITS, mendampingi jenazah Syahru ke kampung halamannya. Mereka terbang dari Surabaya menuju Lombok, dan lanjut menyeberang ke Bima dengan kapal laut. Pesawat yang menuju Bima adalah pesawat ATR, sehingga bagasinya terlalu kecil untuk memuatkan peti jenazah. Dari Bima, jenazah diangkut mobil ambulance menuju Dompu.

Saat ini, saya sudah berada di depan rumah keluarga Syahru. Ummi Ros, ibunda Syahru, dan juga bapaknya yang baru pulang dari masjid, menyambut kedatangan saya dan Nur. Dua adik Syahru juga ada bersama mereka. Tak berapa lama, nenek Syahru serta paman dan bibinya, bergabung. Saya dengan segala pemahaman saya, menyampaikan rasa syukur saya karena bisa mengunjungi abah dan ummi-nya Syahru. Kami duduk di atas tikar, ngobrol, berbasa-basi, sampai kemudian Ummi Ros tiba-tiba bertanya.

"Sebentar, apakah ini Ibu Luthfi?"

Oh Tuhan. Saya baru sadar, saya belum memperkenalkan diri sejak kedatangan saya sekitar sepuluh menit yang lalu. Jadi sejatinya keluarga ini tidak tahu mereka sedang berbicara dengan siapa. Saya terlalu percaya diri dengan mengira mereka sudah mengenal saya dengan cukup baik.    

"Ya, Ummi, betul. Saya Luthfiyah."

Dan seperti dikomando, tiba-tiba tangis pecah di ruangan kecil itu. Ummi Ros menghambur ke pelukan saya dan melepaskan tangis dan sedu-sedannya. Lelaki tua itu, sang Abah, bangkit dari duduknya sambil menutup mukanya. Dua adik Syahru menundukkan kepala dalam-dalam dengan muka memerah. Nenek, paman dan bibi Syahru, dengan isaknya masing-masing. Saya pun tak kuasa menahan air mata yang membanjir. Nur terpukau memandang semuanya. Tak menyangka akan menyaksikan drama satu babak yang begitu dramatis. Sampai akhirnya semuanya bisa menguasai diri dan suasana mulai berangsur normal meski diliputi kesedihan mendalam.

Syahru Romadhon adalah anak pertama di keluarga itu. Lulusan Prodi Pendidikan Matematika IKIP Mataram, lantas mengikuti Program SM-3T Unesa, bertugas setahun di Mamberamo Tengah, Papua. Menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga. Selama di tempat penugasan, insentif bulanannya disisihkan untuk menopang kebutuhan keluarga, termasuk membeli obat-obatan untuk ayahnya yang sakit paru-paru. Umi Ros, ibunya, adalah mantan TKW di Arab Saudi, makanya dipanggil 'Ummi', sebutan yang lazim bagi perempuan yang sudah berhaji. Kedua adiknya masih bersekolah di pendidikan menengah. Tinggal di rumah kecil dengan perabot sederhana, dengan ibunya yang berdagang kecil-kecilan, memang berat bagi keluarga tersebut untuk hidup dengan layak. Kepergian Syahru yang menjadi tumpuan keluarga menjadi pukulan berat. Apa lagi dalam kondisi Syahru sedang berada di rantau dan masih sempat mengobrol dengan abah ummi serta adik-adiknya semalam sebelum kepergiannya. Rasa kehilangan yang mendalam itu membuat Ummi Ros sangat sering menghubungi saya untuk menumpahkan kesedihannya. Tanpa pernah mengenal saya secara fisik, Ummi Ros mengenali suara saya. Saat dia menyadari bahwa yang ada di hadapannya adalah saya, juga karena dia mengenal dari suara saya.

Malam merangkak pelan dan saya berpamit pada keluarga sederhana itu setelah menyerahkan sekadar oleh-oleh dan santunan. Sebongkah rasa syukur menyeruak. Ya Allah, hanya karena kehendak dan izin-Mu, saya bisa berada di sini. Bersilaturahim dan berjumpa dengan orang-orang tabah yang dari mereka saya bisa belajar tentang keikhlasan dan kepasrahan.

Sementara Pak Nuril dan para peserta SM-3T sedang berada di tengah perjalanan menuju tempat tugas mereka, di hotel, bersama Prof. Sukirno, Pak Marsidi, dan Nur, saya merencanakan perjalanan kunjungan ke sekolah besok pagi. SMK 1 Woja, sekolah  tempat Nur bertugas, akan menjadi salah satu sekolah yang kami kunjungi. Di sana ada dua peserta SM-3T yang ditugaskan. Dua sekolah yang lain juga akan kami kunjungi, sebelum besok siang, kami tim pendamping akan terbang kembali ke tempat tugas masing-masing.

Dompu, cukuplah kukenal kau dari kesahajaanmu, kehangatanmu, keramahanmu
Meski ada bait-bait luka yang menggores dan menghunjamkan lara
Aku ingin kau bangkit dan berdiri dengan gagah perkasa
seperkasa Tambora
Menyambut masa depan yang indah seindah padang savana
Kau pantas menikmati manisnya kehidupan sebagaimana manisnya karota sahe dan kahangga
Sesekali pedihnya perjuangan mesti kau sesap sebagaimana kau sesap pedasnya minasarua
Selalu ada gurihnya masa-masa seperti gurihnya kelapa dan jagung ketan di Taman Amahami dan Jalan Panda
Juga orang-orang yang senantiasa berujar 'sentape' dan 'lemboade', itulah kau dengan segala kemurah-hatian dan kerendah-hatian

Dompu, saatnya kau dikenal sebagai negeri kecil 'Kota Tepian Air' yang murni dan damai bak surga nirwana  

Tamat.

Dompu, 6 September 2016