Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 27 Oktober 2018

Immersion 2: Guru untuk Keberlangsungan Generasi


Jam kegiatan kami setiap hari dimulai pukul 09.30 sampai 18.00. Itulah pada umumnya jam kerja di Singapura. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia, karena di sini ada selisih waktu satu jam lebih cepat. Waktu shubuh adalah 05.31, dhuhur 12.48, dan seterusnya, selisih waktu sekitar satu jam.

Kegiatan kami dilaksanakan di Kantor THF. Namun di antara lima hari tersebut, ada kesempatan bagi kami untuk melakukan observasi ke NIE-NTU pada hari ketiga, dan ke Fajar Secondary School di hari keempat. Ada tugas-tugas juga yang harus kami selesaikan selama kegiatan. Hari pertama kami diminta presentasi praktik PPG di lembaga masing-masing, dan berdasarkan hasil diskusi, observasi, wawancara pada hari-hari berikutnya, kami harus mempresentasikan model PPG ideal di hari terakhir.

Pagi ini, setelah overview program, Prof. S. Gopinathan memberikan presentasinya tentang “building a high performing education system in Singapore and the contribution of teacher education and teachers. Prof. Gopi, begitu panggilan akrabnya, saat ini menjadi academic advisor di THF. Beliau merupakan guru besar dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapura. Pernah menjabat sebagai dekan School of Education di NIE-NTU, Singapore. THF sendiri adalah organisasi nirlaba yang berbasis pada Singapore Foundation yang bertujuan untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan berkelanjutan di Asia.

Menarik sekali presentasi Prof. Gopi. Gambaran tentang bagaimana Singapura sebagai negara kecil dengan minim sumber daya ini bisa menjadi negara terdepan di Asia. Sistem pendidikan di Singapura diakui dunia sebagai sistem pendidikan terbaik di Asia. Coba cek skor Singapura untuk PISA dan TIMSS. Hampir selalu mengungguli negara-negara Asean yang lain. Singapura meyakini bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan akan mendongkrak bidang-bidang yang lain. Petumbuhan ekonomi di Singapura sungguh pesat dan peran pendidikan sangat sentral dalam hal ini.

Di Singapura, guru disiapkan dengan begitu rapi. Tujuan pendidikan guru adalah untuk menyiapkan mahasiswa calon guru (student teacher) dengan pedagogi dan landasan kependidikan yang kuat  untuk pembelajaran yang efektif serta spesialisasi pengetahuan akademik (sucject knowledge) sedikitnya pada satu disiplin. Jalur pendidikan guru terspesialisasi meliputi primary (SD), secondary (SMP/SMA), dan junior college (JC). Program penyiapan guru pemula atau ITP (Initial Teacher Preparation Programmes) memiliki beberapa jalur untuk student teachers dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada tiga jalur, yaitu Bachelor in Arts/Science (BA/BSC), Postgraduate Dploma in Education (PGDE), dan Diploma Education. Program pertama durasinya empat tahun, merupakan jalur untuk menjadi guru SD atau SMP/SMA. Mahasiswa berasal dari lulusan secondary school. Program yang kedua duarasinya 16 bulan sampai 2 tahun, disiapkan untuk mereka yang ingin menjadi guru SD, SMP/SMA, dan JC. Mahasiswa berasal dari lulusan program bachelor dari berbagai bidang ilmu. Sedangkan program ketiga, durasinya 1-2 tahun, disiapkan untuk calon guru SD dan SMP/SMA. Mahasiswa juga berasal dari lulusan secondary school. Khusus untuk proram ini, disiapkan bagi calon guru bidang bahasa, seni, musik, dan ilmu keluarga (home economics).

Untuk struktur praktek profesi atau disebut praktikum, program BA/BSC melaksanakan empat kali praktikum, meliputi: 1) school experience/SE (2 minggu), dilaksanakan selama masa libur sebelum tahun kedua;  2) teaching assistantship/TA (5 minggu) dengan local/international TA, selama masa libur sebelum tahun ketiga; 3) TP1 (5 minggu), selama masa libur sebelum tahun keempat; dan 4) TP/TP2 (10 minggu), selama tahun keempat pada semester 2. Selanjutnya untuk program PGDE yang 16 bulan, struktur praktikumnya meliputi TA (4 minggu) dan TP 10 minggu. Selama TA, student teachers setiap minggu berada di sekolah 4 hari dan di sekolah 1 hari. Struktur ini memungkinkan terjadinya early exposure sedini mungkin dan terjadinya kegiatan refleksi yang terus-menerus sehingga terjadi penguatan berbagai aspek pedagogik dan konten serta aspek lain yang penting sebagai bekal menjadi guru profesional. Sedangkan untuk PGDE 2 tahun, praktikum meliputi TP1 (5 minggu) dan TP (10 minggu). Program terakhir, yaitu Dploma in Education, untuk program durasi 2 tahun, praktikumnya meliputi TP1 (5 minggu), TP2 (10 minggu). Sementara untuk program durasi 1 tahun, kegiatan praktikumnya hanya TP (10 minggu).

Yang cukup menarik, mahasiswa tidak dituntut untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam tanya jawab kami dengan para narasumber kegiatan dan juga saat di sekolah, PTK tidak menjadi bagian dari kurikulum penyiapan guru. Penguasaan mahasiswaa calon guru terhadap konten dan metodologinya, peningkatan pemahaman pada profesi guru, keterampilan memberi dorongan pada peserta didik, menjadi model kepribadian yang baik, adalah jauh lebih penting untuk terus-menerus diupayakan. Diperlukan energi yang besar untuk hal tersebut, dan oleh sebab itu, PTK tidak menjadi prioritas.

Singapura juga tidak mengenal ujian nasional (national exam) untuk pendidikan dan pelatihan calon guru. Ya, memang Singapura masih menerapkan ujian nasional untuk siswa, namun tidak untuk calon guru. Singapura percaya bahwa untuk menjadi guru memerlukan proses yang harus terus-menerus diasah, dilatihkan, dikembangkan. Ujian nasional bagi pendidikan dan pelatihan guru tidak terlalu bermakna untuk memastikan bahwa guru yang sudah lulus ujian secara otomatis memiliki kompetensi untuk menjadi guru. Kompetensi menjadi guru perlu dilatihkan dengan sabar, bila calon guru telah dirasa cukup bekal kompetensi, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat kompetensi. Bila calon guru dinilai belum memiliki kecakapan yang diharapkan, maka yang bersangkutan perlu diberikan waktu untuk meningkatkan kecakapan mereka sampai pada batas yang ditentukan.

Hari pertama ini, selain berbincang dengan Prof. Gopi, kami juga berbincang dengan narasumber lain yang tidak asing bagi kita, yaitu Prof. Muchlas Samani. Saat ini, selain sebagai guru besar Unesa, beliau juga menjadi ketua panitia nasional Ujian Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG). Beliau juga yang menjadi salah satu inisiator program PPG di Indonesia. Pengalamannya sebagai birokrat, termasuk menjadi ketua tim sertifikasi guru-dikti, wakil rektor bidang kerja sama Unesa, rektor  Unesa, dan juga sebagai direktur ketenagaan dikti, tidak ada yang meragukan pengalaman dan keluasan wawasannya tentang pendidikan guru.

Pada kesempatan ini, Prof Muchlas berbicara tentang “Indonesia’s education system”. Tentu saja fokusnya tetap pada sistem pendidikan dan pelatihan guru. Berbagai persoalan, kebijakan, dan inspirasi untuk pendidikan guru yang lebih baik. Indonesia yang begitu luar biasa disparitasnya, tentu tidak mudah untuk mengelolanya, termasuk dalam hal mengurus bidang pendidikan, khususnya bagaimana menyiapkan guru yang profesional. Terkait hal ini, Prof. Gopi amat sangat menyadari, dan rekomendasi yang diberikan adalah bagaimana Indonesia bisa menyiapkan dan menata guru sesuai dengan kebutuhan lokalitas masing-masing wilayah yang begitu beragam. Prof Gopi mengakui, tentu hal tersebut mudah untuk diucapkannya, tidak mudah untuk dirumuskan, lebih-lebih untuk diimplementasikan. Tapi semua harus mengarah ke sana, karena guru sangat menentukan kualitas generasi bangsa. Merujuk pada model Finlandia yang begitu fokus dalam meyiapkan guru, Prof. Gopi menegaskan: one generation will be lost if you don’t have good teachers. (Habis)

Kamis, 25 Oktober 2018

Immersion 1: Hotel Bintang Lima, Makan Kaki Lima.

Minggu, 14 Oktober 2018. Udara cerah cenderung panas meski masih pagi. Kami memulai perjalanan menuju Singapura dari Juanda International Airport Terminal 2. Kami bertiga, Prof. Muchlas Samani, Rooselyna Ekawati, Ph.D (ketua program studi pendidikan matematika), dan saya. Di Singapura, bersama dengan sebelas LPTK yang lain, kami akan mengikuti program immersion. Nama programnya adalah “The Professional Learning Program: Enhancing Indonesian Teacher Education”. Program ini digagas oleh The Head Foundation (THF) yang bekerja sama dengan World Bank dan Pemerintah Australia. Program dirancang untuk memberi dukungan pada Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, dalam rangka mencari model terbaik dalam penyelenggaraan program PPG prajabatan (preservice). Oya, LPTK yang bergabung dalam kegiatan ini adalah: UPI, Unesa, UNY, UNM, Unnes, Unimed, Uninus, Unimuda, UIN Malang, UIN Yogyakarta, UIN Jakarta, dan USD.

Pukul 16.45 waktu Singapura, Garuda yang kami tumpangi mendarat. Changi International Airport basah karena gerimis. Mendung menggantung dan udara sejuk. Bersama rombongan dari LPTK lain, yang bergabung sejak transit di Jakarta tadi, dengan tertib kami melakukan proses checking bagasi dan menaiki skytrain menuju counter imigrasi. Bandara Changi tidak terlalu ramai. Antrian tidak terlalu panjang. Para petugas sangat friendly. Termasuk mengatur setiap penumpang atau rombongan penumpang di pintu keluar untuk menaiki taksi atau mobil jemputan. Tidak ada orang-orang yang berjubel. Semuanya tertib, antri sesuai urutan dan jalurnya.  

Hari ini kami belum ada acara karena kegiatan akan dimulai besok pagi. Lumayan, ada waktu longgar untuk beristirahat dan kenal medan. Jadi setelah membereskan proses administrasi di front office hotel, kami memasuki kamar masing-masing dan mencoba beristirahat.

Kami bertiga menginap di Grand Park City Hall. Oya, berempat dengan Ibu Petra Bodrogini, perwakilan dari World Bank. Hotel ini ada di kawasan Coleman Road. Tidak terlalu jauh dari Hongkong Street dan China Town. Tidak terlalu jauh juga dengan Mustafa dan Bugis, tempat belanja yang terkenal itu. Kalau mau ke Universal Studio dan Sentosa juga hanya perlu beberapa menit naik taksi. Pendek kata, mau ke mana-mana dekat. Ya, karena pada dasarnya Singapura adalah negara kecil. Bahkan merupakan negara termungil di Asia Tenggara. THF, yang menjadi tempat kegiatan kami, juga hanya beberapa meter dari hotel dan perlu waktu sekitar 5 menit untuk menuju ke sana.

Saya dan Kak Roos, begitu saya menyapa, ditugasi oleh Rekto dan Wakil Rektor Bidang Akademik, untuk mengikuti kegiatan immersion ini. Saya sebagai Ketua Pusat PPG, dan Kak Roos sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Matematika. Kenapa Pendidikan Matematika? Ya, karena apa yang akan kami pelajari mulai besok sampai 19 Oktober terkait dengan penyiapan guru bidang sains dan matematika. Singapura meyakini, melalui sains dan matematika, atau lebih lengkapnya adalah STEMs (science, technology, engineering, mathematics), pendidikan di Singapura akan maju dengan pesat. Oleh sebab itu pemerintah Singapura menggarap dengan serius bidang ini, termasuk menyiapkan guru-gurunya.

Sore selepas maghrib, sekitar pukul 20.00, kami bertiga dengan Prof. Muchlas, keluar hotel untuk mencari tempat makan. Di sebelah kiri hotel merupakan pusat pertokoan dan pusat jajanan, namun sepertinya tidak terlalu mudah untuk memperoleh menu sesuai selera kami. Kami berjalan sedikit agak jauh, menuju Mc Donald. Prof. Muchlas bilang, makan yang jelas-jelas saja. Entah apa maksudnya jelas-jelas ini. Tapi di dinding depan Mc D, kami menemukan sertifikat halal di sana dan juga logo halal yang dipasang cukup mencolok dan mudah dilihat oleh siapa pun.

Berkegiatan dengan penyelenggaranya adalah negara lain seperti Amerika, Australia, dan juga Singapura, berbeda dengan ketika kami berkegiatan dengan penyelenggaranya Kementerian Pendidikan Nasional atau Kementerian Ristek Dikti, khususnya dalam hal jam kerja. Bekerja dengan kemdikbud atau ristekdikti, jam kerja mulai pukul 08.00-22.00, dengan break dan ishoma di antaranya. Bekerja dengan USAID, misalnya, atau World Bank, tidak pernah lebih dari delapan jam sehari. Bila kegiatan dimulai pagi hari, maka sore sudah selesai. Bila kami menginap di hotel, makan pagi bisa di hotel, makan siang pada saat berkegiatan, dan makan malam harus mencari sendiri. Jadilah malam ini, dan beberapa malam setelah ini sampai akhir kegiatan, kami akan tidur di hotel bintang lima tetapi makan malam di kaki lima.

Harga makanan di Singapura relatif lebih mahal dibanding di Jakarta atau Surabaya. Untuk selembar prata tanpa isi, yang di Surabaya mungkin lebih mirip dengan roti maryam, harganya sekitar $D1,2, setara dengan Rp.13.800,- rupiah.  Tidak terlalu mahal mungkin, hanya sekitar dua kali lipat di Indonesia. Teh tarik, harganya $D 1,4, setara dengan Rp.16.100,-.  Ini kelas makanan kaki lima, bukan kelas restoran. Kalau harga Mc.D mungkin standar, sekantung french fries dengan sepotong ayam goreng sekitar Rp.75.000,-. Repotnya, karena saya suka penasaran, pinginnya mencoba makanan ini itu, mencoba beli ini itu, mencoba pergi ke sana ke situ, mencoba melihat apa ini apa itu…. Hehe, harus pinter-pinter berhemat tapi tidak perlu terlalu risaukan rupiah. Pengalaman memang mahal. (Bersambung) 

Minggu, 28 Januari 2018

Revitalisasi SMK: SMK Bisa Tidak Hanya Jargon

Pemotongan kue tart perayaan hari PGRI.

Oleh Luthfiyah Nurlaela

Pukul 12.50, tidak terlalu meleset dari perkiraan, Sriwijaya Air yang saya tumpangi mendarat di Bandara Sultan Babullah. Udara tidak terlalu panas, awan kelabu menggantung di langit. Ternate cukup ramah, seperti keramahan yang dinampakkan oleh Pak Iswanto, Bu Nuraini, dan Pak Rajak, para wakil kepala sekolah yang menjemput saya.

Perjalanan dari Surabaya sejak pukul 06.00 tadi pagi tidak terlalu melelahkan karena saya beberapa kali pulas di dalam pesawat. Oleh sebab itu, siang ini, kunjungan ke SMK Negeri 1 Kota Ternate bisa langsung saya lakukan sesuai rencana. Makan siang dan check in hotel bisa dilakukan setelah bertugas. Lagi pula, perut saya masih sangat kenyang karena meskipun saat ini sekitar pukul 13.00 di Ternate, di Surabaya masih pukul 11.00. Sepagi ini, saya sudah makan dua kali. Pertama saat transit di Makassar tadi, dan kedua saat terbang, menghabiskan menu makan siang yang disediakan oleh Sriwijaya Air.

SMK 1 Ternate berada  di tengah kota, tidak terlalu jauh dari bandara. Bertempat di Jalan Ki Hajar Dewantara—dulunya bernama Jalan Siswa—yang juga berdiri beberapa sekolah, seperti SMK 5 dan SMA 10, serta beberapa kantor pemerintahan.

Saya bertemu dengan kepala sekolah dan para wakil kepala sekolah di ruang kepala sekolah yang sejuk. Bukan hanya karena AC, namun di luar, hujan sedang turun lumayan deras. Kepala sekolah, Bapak Bahrudin Marsaaly, S.Pd, mengatakan kalau sudah beberapa hari hujan tidak turun, dan tiba-tiba hari ini turun. “Rupanya menyambut tamu”, begitu katanya. “Berarti pertanda baik, Pak”, jawab saya.

Saya menyampaikan maksud kedatangan saya—yang tentu saja sudah diketahui oleh kepala sekolah dan jajarannya. Yaitu dalam rangka melaksanakan tugas pendampingan program revitalisasi SMK. Di antara sekitar 3000-an SMK se-Indonesia, SMKN 1 Ternate terpilih dalam 125 SMK yang memperoleh block grant Revitalisasi SMK. Block grant tersebut dicanangkan oleh Direktorat Pembinaan SMK, sebagai salah satu bentuk perwujudan Inpres nomor 9 Tahun 2016 tentang revitalisasi SMK.

Sedikit menengok ke belakang, dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), menuntut SMK harus semakin dekat dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (du/di). Program Revitalisasi Pendidikan Vokasi merupakan amanah Nawacita dan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dalam rangka pemenuhan 58 juta tenaga kerja terampil sampai 2030. Melalui Nawacita, bangsa Indonesia memiliki cita-cita yang tinggi untuk menjadikan ekonomi Indonesia peringkat 7 dunia pada 2030 dan memenangkan persaingan SDM di regional dan global.

Lebih lanjut, Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan bertujuan untuk meningkatkan daya saing sumber daya manusia Indonesia, yang kemudian menjadi rujukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan SMK untuk mengimplementasikan program revitalisasi SMK di seluruh Indonesia. Aspek revitalisasi meliputi penyelarasan kurikulum dengan dunia usaha dan dunia industri, inovasi pembelajaran, peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, standarisasi sarana dan prasarana utama, peningkatan kerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri, serta penataan dan pengelolaan kelembagaan. Program  dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan potensi wilayah, sumber daya, dan kebutuhan riil tenaga kerja untuk mendukung perkembangan ekonomi dan pengembangan wilayah. Revitalisasi SMK diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan mutu SMK sekaligus memberikan pengaruh terhadap kualitas lulusan SMK yang akan menjadi sumber daya pembangunan di Indonesia.

Kondisi SMK yang beragam dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia memerlukan dukungan eksternal dari berbagai pihak dalam bentuk pendampingan untuk SMK. Oleh sebab itu, perlu adanya pendampingan. Kegiatan pendampingan program revitalisasi SMK melibatkan stakeholder, antara lain perguruan tinggi, DU/DI, P4TK, dan LP3TK. Tujuan pendampingan adalah memberikan masukan dan mengarahkan SMK untuk mampu menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing unggul dalam persaingan kebekerjaan secara nasional maupun global. Tim pendamping bersama-sama dengan SMK memprioritaskan program revitalisasi sehingga sekolah memiliki keunggulan berbasis potensi wilayah dan sumber daya yang dimiliki untuk menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan industri.

Dalam rangka mengemban amanah sebagai pendamping inilah kehadiran saya di SMKN 1 Kota Ternate ini. Tugas pendampingan sendiri dibagi dalam dua tahap, yaitu Pendampingan Tahap I dan Pendampingan Tahap II, yang dilaksanakan antara bulan Juli sampai dengan November 2017. Setiap tahap dilakukan selama lima hari kerja, sehingga total ada sepuluh hari kerja petugas pendamping berada di sekolah. Namun tentu saja komunikasi dan koordinasi tidak hanya sebatas sepuluh hari kerja itu saja, namun terus dilakukan sebelum dan sesudah pelaksanaan kegiatan. Semangatnya bukan seberapa banyak pendamping berada di sekolah, meskipun minimal sepuluh hari kerja itu menjadi keharusan. Namun yang terpenting adalah bagaimana supaya SMK yang didampingi benar-benar bisa melaksanakan program revitalisasi sesuai dengan target yang ditentukan, dan terus memilik semangat menjadi institusi penopang tenaga kerja andal yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia kerja.  

Siang itu, ditemani dengan kue-kue khas Ternate yang legit, kami juga berbincang tentang sejarah KesultananTernate dan Kesultanan Tidore dan bagaimana keduanya mewarnai sejarah kemerdekaan Indonesia. Termasuk peran Ternate dan Tidore dalam pembebasan Irian Barat. Bahkan nama ‘Papua’ yang saat ini digunakan sebagai pengganti nama Irian Barat, konon berasal dari Bahasa Tidore yang artinya ‘tidak putus’.  Adanya beberapa benteng di Ternate maupun Tidore menandakan bahwa kedua pulau tersebut merupakan salah satu wilayah pertahanan di masa perang kemerdekaan.

Beragam objek wisata Kota Ternate dan sekitarnya juga tidak luput dari perbincangan kami. Ada bekas aliran lava yang membeku pada saat terjadi letusan Gunung Gamalama pada tahun 1907, yang disebut Batu Angus. Dua danau, yang disebut sebagai Danau Tolire Kecil dan Danau Tolire Besar, juga menjadi obyek wisata yang sangat menarik. Yang dekat dan berada di dalam kota ada beberapa, yaitu Pantai Falajawa dan Landmark Ternate, yang sangat indah dinikmati pada pagi atau sore hari, sambil menikmati pisang mulu bebe dan sambalnya. Pantai Jikomalamo, Danau Laguna Ngade, wah….sepertinya semuanya harus masuk dalam daftar kunjungan saya. Dan juga, yang menurut saya paling unik adalah kebun cengkeh, yang puluhan pohon dengan dahan dan ranting kering, yang katanya kita akan merasa seperti sedang berada di Korea atau Eropa pada saat musim gugur.

Yang tak kalah menariknya lagi, adalah kuliner Ternate yang ternyata sangat luar biasa beragamnya. Siapa yang tidak kenal cakalang fufu dari Ternate? Pak Rajak berjanji akan memasaknya sendiri untuk saya, karena istrinya jago membuat cakalang fufu. Ikan yang mungkin dalam bahasa kita adalah tongkol asap itu memang istimewa. Beda dengan tongkol asap yang seringkali saya konsumsi, cakalang fufu sangat padat dagingnya, kesat, dan lapisan-lapisan dagingnya bisa dilepas-lepas sedemikian rupa. Tentu saja papeda, ikan kuah kuning, ikan soru, sayur garu, gohu, roti tawar singkong, dabu-dabu, ikan garu rica, kasbi, batatas, bĂȘte, dan sebagainya, juga tak lepas dari perbincangan kami.

Dapat kehormatan menjadi pembina upacara HUT PGRI.
Sore itu juga, saya memanfaatkan waktu untuk mengunjungi laboratorium sekolah. Ada lima program keahlian di SMKN 1 Ternate ini, yang semuanya terakreditasi A, yaitu Usaha Perjalanan Wisata (UPW), Akuntansi, Perkapalan, Multimedia, dan Administrasi Perkantoran, yang masing-masing memiliki satu laboratorium. Laboratorium UPW berupa teaching factory (tefa), yang telah berafiliasi dengan Asya Tour Ternate. Beberapa paket wisata telah dilaksanakan  oleh UPW bersama Asya Tour, yang baru-baru ini adalah Wonderful Ternate-Morotai dan Hot Promo Tour Bali.

Sesuai dengan Panduan Pendampingan Revitalisasi SMK  Tahun 2017, Peta Jalan Pendidikan Vokasi 2017-2019 menetapkan, bahwa tahun 2017 merupakan fase konsolidasi. Tiga aspek utama dalam fase tersebut yaitu: peningkatan akses layanan mutu, penyelarasan kurikulum (termasuk inovasi pembelajaran), dan inovasi kelembagaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada hari kedua kegiatan pendampingan, kami berbincang dengan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Utara, yang juga membuka secara resmi kegiatan pendampingan. Di sebuah ruang yang cukup luas di lantai tiga SMK Negeri 1 Kota Ternate, kami berdiskusi tentang target program revitalisasi pada kegiatan pendampingan pertama ini, bersama kepala sekolah dan semua jajarannya, juga guru, tenaga kependidikan, serta dunia usaha dan dunia industri (du/di). Diskusi yang bernas, dengan target menyusun program prioritas, serta berbagi tugas dan tanggung jawab. Saya selaku pendamping menyajikan gambaran program revitalisasi dan target-target yang perlu dicapai sesuai dengan kondisi potensi sekolah serta peta jalan revitalisasi SMK. Dilanjutkan dengan presentasi program sekolah yang disampaikan oleh Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, Bapak Iswanto Marjuki. Tentu saja lengkap dengan kue-kue khas Ternate dan teh manis yang harum, yang membuat diskusi terasa begitu menyenangkan, hangat dan penuh keterbukaan untuk saling belajar.

Hari itu saya semakin menyadari, betapa menyenangkannya orang-orang Ternate. Sejak kehadiran saya kemarin siang, kehangatan dan keterbukaan itu begitu kental kami rasakan. Tamu bagi mereka adalah raja. Dan mereka yakin, orang yang datang ke Ternate, akan kembali lagi suatu ketika, karena begitu dia sudah bergaul dengan orang Ternate, maka dia akan menjadi saudara bagi orang Ternate dan begitu sebaliknya. Sedemikian baiknya mereka sehingga saya seperti merasa sedang berada di rumah sendiri. Seperti sudah bertahun-tahun tinggal di Ternate dan memiliki banyak saudara orang Ternate.

****

SMK Negeri 1 Kota Ternate memiliki lahan seluas 4.026 m2, tidak terlalu luas sebagai sebuah sekolah SMK dengan lima program keahlian. Pengembangan sekolah hanya bisa dilakukan ke atas, dalam bentuk bangunan bertingkat. Saat ini, sekolah dengan tiga lantai tersebut sudah cukup padat dengan jumlah siswa 823 orang, 25 guru produktif, dan 60 guru normatif dan adaptif.

Meski bukan sekolah yang ‘besar’, SMKN 1 Kota Ternate selalu mewakili Lomba Kompetensi Sekolah (LKS) di tingkat provinsi Maluku Utara. Sekolah juga selalu menjadi spot khusus ajang penilaian Adipura. Dan, ini yang juga sangat membanggakan, di Provinsi Maluku Utara, SMKN 1 Kota Ternate adalah satu-satunya sekolah yang memiliki Program Keahlian Usaha Jasa Perjalanan Wisata. Hal ini sangat menguntungkan, mengingat Ternate dan sekitarnya memiliki banyak sekali potensi wisata dan juga memiliki andalan destinasi wisata prioritas, yaitu Morotai.

Berkaitan dengan hal tersebut, dan karena bidang pariwisata menjadi salah satu prioritas program revitalisasi SMK, maka yang memperoleh block grant revitalisasi SMK di SMKN 1 Kota Ternate adalah Program Keahlian UPW.  Meskipun begitu, empat program keahlian yang lain selalu dilibatkan dalam semua kegiatan. Ibarat sebuah lokomotif, Program Keahlian UPW melaju bersama semua program keahlian yang lain sebagai gerbongnya. Dengan demikian, revitalisasi tidak hanya berlaku bagi program keahlian penerima hibah, namun juga berlaku untuk semua program keahlian yang ada di sekolah tersebut, meskipun UPW tetap menjadi prioritas program.

Sebagai sebuah sekolah kejuruan, SMKN 1 Kota Ternate memiliki kerja sama yang erat dengan du/di. Beberapa di antaranya adalah PT. Sriwijaya Air, The Hotel Batik, Boulevard Hotel Ternate, dan PT. The Golden Tour and Travel, serta Asya Tour and Travel. Meskipun begitu,  kerja sama dalam bentuk MoU masih sangat terbatas, sehingga hal ini juga menjadi prioritas program pendampingan.

Pada bidang pengembangan  dan penyelarasan kurikulum, SMKN 1 Kota Ternate tentu saja telah menggunakan Kurikulum 2013, namun penyelarasan kurikulum bersama du/di belum pernah dilakukan, baru sebatas kerja sama dalam pelaksanaan praktik kerja industri (prakerin). Kompetensi Dasar yang disusun sudah mengacu pada SKKNI. Sementara itu, sekolah juga sedang mempersiapkan terbentuknya lembaga sertifikasi profesi (LSP) dan saat ini bersiap untuk pelaksanaan full assesment.

Dalam hal inovasi pembelajaran, guru sudah mengajar dengan menggunakan bermacam model pembelajaran di antaranya inquiry/discovery learning. Sudah ada teaching factory (tefa) di sekolah dan pembelajaran menggunakan sistem blok. Juga Sudah dilaksanakan lokakarya tentang tefa dan kewirausahaan.

Namun demikian, dalam hal pemenuhan dan peningkatan profesionalitas guru dan tenaga kependidikan, sekolah masih kekurangan guru pariwisata, karena sekarang baru ada dua guru produktif di Program Keahlian UPW. Sekolah juga tidak memiliki personil laboratorium, pengelolaan lab dirangkap guru produktif yang mengampu di program keahlian.

Kerjasama Sekolah dengan du/di baru sebatas pada penyelenggaraan praktik industri. Setiap semester ada sekitar enam guru tamu dari du/di di kelas XI dan XII. Du/di juga melaksanakan rekruitmen  bagi lulusan sesuai dengan keahlian. Sebagian siswa sudah  ‘dipesan’ oleh du/di pada saat melaksanakan prakerin. Berdasarkan data sekolah, sekitar 80% lulusan bekerja dan 20% melanjutkan sekolah.
Lepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, guru-guru di SMKN 1 Kota Ternate memiliki semangat yang sangat kuat untuk maju dan menjadi sekolah terdepan dalam mengembangkan pariwisata. Pada pendampingan kedua, yang saya lakukan pada 24-28 November 2017, berkat kerja keras mereka, sekolah sudah memiliki MoU dengan 40 du/di dari yang semula hanya 5 MoU.

Dalam acara penandatanganan MoU, kami berdialog dengan du/di dan komite sekolah. Pada kesempatan ini, saya menyampaikan apresiasi yang tinggi pada du/di yang telah bersedia sepenuh hati mendukung program revitalisasi SMKN 1 Kota Ternate. Selain du/di, hadir juga Kepala UPBJJ-UT, yang juga mendatangani MoU sebagai bentuk kerja sama antara sekolah dengan perguruan tinggi.

Saya menyampaikan, keterlibatan du/di dalam penyelenggaraan SMK tidak bisa ditawar. Setidaknya ada dua peran yang dimainkan oleh du/di. Yang pertama adalah peran sosial ekonomi. Pendidikan menghasilkan lulusan yang akan digunakan oleh du/di. Ini berarti, kualitas hasil pendidikan akan mempengaruhi kualitas du/di. Dengan demikian, tentu saja amatlah rasional jika du/di ikut mengulurkan tangan dalam mempersiapkan lulusan yang bermutu. Konsekuensinya, du/di harus menyisihkan sebagian sumberdayanya, bisa berupa bahan, alat, dana, tenaga, untuk sekolah. Seperti inilah yang dilakukan oleh negara-negara maju dalam mengembangkan pendidikan kejuruan. Sumbangsih ini juga bisa dalam bentuk resource sharing, pengiriman guru dari du/di sebagai instruktur di sekolah, guru magang di industri, pelaksanaan kelas industri, pelaksanaan job matching, serta keterlibatan du/di dalam pembelajaran tefa.

Peran kedua adalah peran sosial budaya. Du/di pada umumnya merupakan institusi yang sangat berorientasi pada mutu. Selain itu, du/di juga sangat beroerientasi pada aspek keuntungan. Fasilitas modern du/di dapat menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Begitu juga dengan budaya kerja du/di, yang senantiasa berorintasi pada mutu yang tinggi. Sekolah harus bersinergi dengan du/di untuk belajar tentang budaya mutu ini. Kesempatan belajar ini akan meningkatkan layanan mutu sekolah atau layanan mutu pendidikan pada umumnya. Peningkatan layanan mutu pendidikan akan menghasilkan lulusan yang bermutu. Lulusan yang bermutu inilah yang nantinya akan direkrut oleh du/di sebagai SDM yang bermutu. Pada intinya, sekolah dan du/di merupakan sisi mata uang yang keduanya tidak dapat dipisahkan.

Pada kesempatan pendampingan kedua itu juga, SMKN 1 Kota Ternate juga menyelenggarakan kegiatan MICE (Meeting, Incentives, Conventions, and Events). Kegiatan ini dikemas oleh guru dan siswa dengan melibatkan semua program keahlian, menyelenggarakan paket wisata ke Pulau Maitara, sebuah pulau yang sangat indah yang terkenal dengan gambar uang seribu rupiah itu. Pulau Maitara yang letaknya di antara Pulau Ternate dan Tidore—atau terletak di Tidore Kepulauan (Tikep)--dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dari Pulau Ternate, dengan mengendarai speedboat. Bagi saya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang sangat amat berkesan. Di atas pantai yang didominasi oleh pasir putih, MICE tidak hanya berupa wisata pantai, namun dilengkapi dengan tari-tarian adat penyambutan tamu, outbound, presentasi makanan tradisional Ternate, dan juga menikmati makanan khas serta kelapa muda yang berlimpah. Kegiatan ini juga diliput oleh stasiun TV Maluku Utara dan Maluku Post.

Tentu saja saya tidak hanya terkesan pada keindahan Maitara dan semua menu wisata yang tersaji. Namun lebih dari itu, kemampuan guru dan siswa untuk menyelenggarakan kegiatan MICE ini sangat patut diacungi jempol. Mereka pasti sudah menyiapkannya berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya, dengan melakukan koordinasi yang intens dengan semua pihak yang berkepentingan, Pemerintah Desa Maitara, Polsek Maitara, Pelabuhan Kota Maitara, travel biro, media televisi dan surat kabar, dan lain-lain. Bukan sesuatu yang sederhana untuk membuat semuanya tersaji dengan begitu apik dan memukau. Potensi Maitara menjadi begitu menonjol karena hasil kerja para guru dan siswa serta didukung oleh semua pihak yang terlibat dengan penuh totalitas.

SMK Bisa, sudah terbukti tidak hanya menjadi jargon. SMK Bisa benar-benar sudah mewujud pada banyak karya guru dan siswa. Namun demikian, berpuas diri haruslah dihindari. Tantangan yang beratnya luar biasa terpampang di depan mata. Era baru, yang disebut era Internet of Things, era teknologi, sudah memasuki dunia kita. Media sosial dan komersial sudah memasuki titik puncaknya. Dunia memasuki gelombang smart device yang mendorong kita semua hidup dalam karya-karya yang kolaboratif. Akan ada banyak bidang kerja atau kompetensi yang berangsur hilang digantikan dengan bidang kerja yang membutuhkan kompetensi baru. Menghasilkan lulusan SMK yang terampil dan kompeten harus menjadi tujuan setiap sekolah, namun menghasilkan lulusan yang memiliki soft skill mutlak dilakukan. Keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan problem solving, menjadi tuntutan. Soft skill inilah yang akan menjadi kompetensi sepanjang waktu, di mana pun, kapan pun, tak akan lekang oleh zaman.


****

Senin, 04 September 2017

Nunukan 4: SM-3T Berakhir dan Harapan pada GGD

Pagi ini tiba-tiba hujan. Padahal kami akan bertolak dari Nunukan menuju Tarakan. Dua speedboat sudah disiapkan untuk membawa kami dan semua bagasi kami. Meski hujan tak juga reda, setelah sarapan pagi dengan menu hotel yang hampir sama dengan menu kemarin, kami bergegas. Semua bagasi dinaikkan ke truk, bus, dan mobil pickup. Semua peserta diangkut dengan kendaraan yang sama. Saya dan Mas Febry menumpang mobil kijang hijau yang disediakan Disdik. Kami semua menuju Pelabuhan Tunon Taka.

Meski proses memasuki speedboat membutuhkan waktu yang cukup lama, karena begitu banyaknya bagasi para peserta, perjalanan kami menuju Tarakan lancar, dan hanya sesekali disuguhi hentakan-hentakan keras speedboat menghantam ombak. Saya sendiri sudah pernah ber-speedboat dengan kondisi laut dan sungai yang lebih ganas, dengan waktu yang jauh lebih lama, sehingga saya menikmati perjalanan ini dengan sangat nyaman. Meski begitu, saya sempat memastikan di mana letak pelampung dan ke arah mana kita harus keluar dari speedboat bila sesuatu yang buruk terjadi. Selebihnya adalah doa dan kepasrahan pada Yang Maha Memberi Keselamatan dan Kehidupan.

Menjelang dhuhur kami baru tiba di Pelabuhan Tarakan. Beberapa alumni S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK) sudah menunggu saya. Bu Novi, Pak Asdar, dan Pak Kurnia. Bahkan sebelum speedboat merapat tadi, masih di tengah laut, pak Eko Dani sudah menelepon saya dan memastikan keberadaan saya.

Sebelum bergabung dengan para alumni yang sudah menunggu, saya dan Mas Febry harus memastikan semuanya ‘clear’ dan 84 peserta SM-3T ini sudah stay di hotel tempat transit mereka. Besok pagi, kami akan terbang menuju Surabaya.


Buah Elai yang mirip durien.
Dan seharian ini, waktu saya nyaris saya habiskan bersama para alumni. Belasan alumni berdatangan dan bergabung saat makan siang, makan sore, dan juga saat berkumpul di lobi hotel. Luar biasa mereka itu. Sebegitunya melayani mantan dosennya ini. Tak pelak, wisata kuliner pun terjadilah. Mulai dari ikan pallumara, kapah, sanggar, kepiting, buras, bahkan elai. Ya, buah eksotis itu. Setelah kemarin kenyang makan durian di Sebatik, maka hari ini kami kenyang makan elai di Tarakan. Besoknya, seperti belum puas, saya bahkan membawa pulang sekotak plastik penuh elai yang disiapkan oleh Bu Novi.

Begitulah hikmah silaturahim. Tentu bukan hanya wisata kulinernya. Namun juga kebahagiaan dan energi positif yang dihasilkannya.

Tahun ini adalah tahun terakhir Program SM-3T. Ya. Setidaknya, sampai saat ini, rekrutmen untuk peserta SM-3T Angkatan VII belum dilakukan. Bila program itu berlanjut, seharusnya pada saat ini sudah selesai proses rekrutmen dan bahkan telah  dilakukan pemberangkatan peserta ke kabupaten-kabupaten tempat pengabdian.

Banyak yang menyesalkan berakhirnya program yang diyakini sangat menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar terkait dengan layanan pendidikan ini.  Namun inilah faktanya. Program ini berhenti, dengan berbagai rasional yang dikemukakan oleh para pemilik kebijakan dan pengambil keputusan.

Sebagai gantinya—setidaknya untuk mengatasi masalah kekurangan guru—sejak 2016, ada Program Guru Garis Depan (GGD), yaitu penugasan guru ke berbagai daerah tertinggal di seluruh Tanah Air. Ada sekitar 7000-an GGD yang telah diangkat sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara) dan mengisi kekurangan guru di berbagai pelosok Indonesia. Di pundak merekalah keberlangsungan pendidikan yang bermartabat di negeri ini kita titipkan. Sebagai alumni PPG SM-3T, GGD seharusnya adalah guru-guru yang ‘berbeda’, guru-guru yang benar-benar bisa menjadi ‘agent of change’, guru-guru yang akan menghasilkan anak didik menjadi sumber daya yang andal, yang memiliki keterampilan hidup sebagaimana tuntutan era abad 21, serta mampu menjamin terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan bangsa dan negara di masa depan.

Tarakan, 22 Agustus 2017


SELESAI

Nunukan 3: Menjelajah Pulau Sebatik

Siang yang terik tak menghalangi saya dan Mas Febry untuk mewujudkan niat menjelajah Nunukan. Sejak kedatangan kami siang hari kemarin, Nunukan terlalu biasa, dan kami yakin, pasti ada sisi-sisinya yang menarik. Memang benar, begitulah kata Bu Rus. Tapi tempat-tempat itu ada di pulau-pulau seberang, dan kita perlu berjam-jam untuk menjangkaunya. Tapi ada pulau yang terdekat yang masih mungkin dijangkau, yaitu Pulau Sebatik.

Selesai acara di kabupaten, berkat fasilitasi dari Pak Ridwan, Kabid Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nunukan, yang sejak kemarin memantau kehadiran kami, kami mengunjungi Pulau Sebatik. Namun sebelum menyeberang, kami mengunjungi Islamic Center yang megah dengan pemandangan alam laut dan Pulau Sebatik di depannya. Megah dan indah, meski untuk mencapainya, jalan yang dilalui bukan jalan beraspal. Di sinilah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-2 tingkat Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), tanggal 12-18 Mei 2017 yang lalu diselenggarakan. Kalau kita berdiri memandang sampai pada batas kaki langit di depan, di sisi kiri adalah wilayah Malaysia, dan di sini kanan adalah wilayah Indonesia.

Tidak berlama-lama di Islamic Center, mengingat hari sudah semakin siang, kami segera menuju Pelabuhan Penyeberangan Sei Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan, menuju ke Dermaga Rakyat Desa Binalawan Kecamatan Sebatik Barat. Hanya memerlukan waktu tempuh sekitar 20 menit dengan kapal motor. Di sana, Camat Sebatik Barat, Bapak Akhmad, S. IP, M. Si, telah menunggu. Lengkap dengan staf yang akan menjadi driver dan mobil double cabin.

Saya dan Mas Febry duduk di jok tengah, di depan ada Pak Achmad dan stafnya yang memegang setir. Di belakang, di bak terbuka itu, ada tiga orang peserta SM-3T yang ikut mendampingi. Kami berkendara mengelilingi Pulau Sebatik. Bila terus berkendara, kami memerlukan waktu sekitar dua jam, dengan menempuh perjalanan sekitar 60 kilometer. Dimulai dari Sebatik Barat, Sebatik Induk, Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik Tengah. Di sepanjang perjalanan, kami menikmati deretan kebun kelapa, kakao, dan juga pisang. Pisang Sebatik sangat bagus mutunya dan umumnya dijual ke Brunei. Oleh karena berdekatan dengan Tawau, Malaysia, penduduk Sebatik juga banyak yang memilih melakukan aktivitas jual beli ke Tawau daripada ke Nunukan. Mata uang ringgit beredar juga di Nunukan karenanya.

Pulau Sebatik termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Sebatik, yaitu kecamatan paling timur di kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Pulau ini memang terbagi dua. Belahan utara merupakan wilayah Negara Bagian Sabah, Malaysia, sedangkan belahan selatan merupakan wilayah Indonesia. Dengan letak wilayah seperti ini, Sebatik bisa dikatakan sebagai daerah terdepan dan terluar, dan rentan dari sisi pertahanan dan keamanannya bila tidak diurus dengan baik. Kekalahan Indonesia dalam mempertahankan Sipadan dan Ligitan salah satunya adalah karena Malaysia bisa menunjukkan fakta pada Mahkamah Internasional bahwa dialah yang selama ini mengurus pulau tersebut dan masyarakatnya, sementara Indonesia hanya bisa memberikan fakta berdasarkan penetapan wilayah.

Jalan Perbatasan di Nunukan.
Kami juga sempat menikmati makan siang di Rumah Makan Cahaya Pare di Desa Sei Nyamuk. Saya pikir pemiliknya dari Jawa, karena menu yang disediakan adalah menu Jawa: rawon, penyet ayam, soto, dan sebagainya. Tapi ternyata pemiliknya adalah orang Sebatik, entah dari mana dia berasal. Oya, Pak Camat Sebatik adalah orang asli Bojonegoro, dan terdampar di Nunukan sejak tahun 1990. Karir awalnya adalah sebagai guru sekaligus staf tata usaha SMPN 1 Nunukan. Kemudian pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Dinas Pendidikan (Kasubag Disdik) Nunukan. Beliau juga pernah menjabat di Dinas Perhubungan, Dinas Pertambangan, dan jabatan terakhir sebelum menjadi camat adalah Sekretaris Disdik Kabupaten Nunukan. Makan siang kami di sini adalah atas ‘traktiran’ Bapak Camat yang ramah dan baik hati ini.


Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara
Kami juga berhenti di Jembatan Perbatasan Desa Sei Pancang Kecamatan Sebatik Utara. Jembatan tersebut panjangnya 2000 meter. Beberapa waktu yang lalu, di tempat ini, diselenggarakan acara memecahkan rekor Muri dengan pengibaran bendera merah putih terbanyak. Kami bertemu dengan dua orang penjaga dari TNI AL. Salah seorang dari mereka dari Jawa juga, tapi saya lupa persisnya dari Jawa bagian mana. Di tempat jaga mereka, tertulis: POS TNI AL SEI PANCANG, TEGAR MENJAGA PERBATASAN. Di sisi dinding yang lain, terpampang poster Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI. Ada juga poster tentang Kekuatan Unsur Lawan. Di tengah laut yang begitu luas dan sepi, dua abdi negara itu berjaga siang dan malam, tentu saja bergantian dengan rekan-rekannya yang lain. Sedangkan sejauh mata memandang, adalah kaki langit, dengan wilayah Tawau, Malaysia di sebelah kiri, dan Wilayah Sebatik, Indonesia, di sebelah kanan. Benar-benar membuat saya takjub.

Ketakjuban kami tidak hanya sampai di situ. Saat kami berhenti di patok perbatasan 3 di Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, kami bisa menjadi orang sakti mandraguna. Betapa tidak. Pada detik yang sama, satu kaki kita bisa berada di Wilayah Indonesia, dan satu kaki yang lain berada di Wilayah Malaysia. Ya. Kami berdiri persis di bendera penanda patok perbatasan. Di dekat bendera merah putih kecil itu, berdiri tugu kecil dengan tulisan: Kokohkan MERAH PUTIH di Tapal Batas. Tugu itu diresmikan pada 17 Agustus 2009, dan ditandatangani oleh tokoh masyarakat Sebatik dan Danramil Sebatik. Begitulah masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut, bisa jadi ruang tamu rumah mereka ada di wilayah Indonesia, sementara ruang dapurnya ada di wilayah Malaysia. Bahkan jalan kecil yang ada di depan patok perbatasan itu pun namanya adalah Jalan Perbatasan.

Kekecewaan saya pada Nunukan sirnalah sudah. Meski tidak saya temukan barang-barang etnik di Kota Nunukan, saya menemukan tempat-tempat yang sangat bersejarah dan bermakna. Selain itu, kami juga menemukan durian Sebatik yang meskipun ukurannya tidak terlalu besar, tapi manis dan legitnya….wow.

Kami kembali ke Nunukan melewati Desa Sei Limau Kecamatan Sebatik tengah. Sei, artinya sungai. Di Nunukan, banyak tempat yang awal katanya Sei, karena di sana banyak sungai. Kami menyeberang lewat Dermaga Rakyat Desa Bambangan. Di sinilah keprihatinan saya kembali menyeruak. Wilayah yang katanya rutin mendapatkan kunjungan dari para pejabat daerah dan pusat ini, kondisi lingkungannya sungguh-sungguh memprihatinkan. Sampah yang memenuhi selokan-selokan dan perairan-perairan yang di atasnya padat dengan rumah-rumah penduduk. Aroma busuk air mampat bercampur dengan sampah sangat mengganggu indera penciuman. Entah bagaimana orang bisa betah hidup bertahun-tahun dalam kondisi kotor dan bau seperti ini. Perlu edukasi, perlu intervensi, perlu contoh nyata, dari para pemuka wilayah dan tokoh masyarakat.


Sebatik, 21 Agustus 2017

Nunukan 2: Kisah Pengabdian di Tau Lumbis dan Krayan Selatan

Pagi yang cerah menemani aktivitas kami di Hotel Laura. Makan pagi telah siap dan peserta SM-3T telah memenuhi ruang makan sejak pukul 06.30. Menunya sederhana, khas hotel kecil. Nasi putih, ca sayuran, ayam bumbu kecap, dan krupuk.

Hari ini pukul 09.00, akan dilaksanakan acara pelepasan peserta SM-3T di Kabupaten Nunukan. Yang melepas langsung bupati. Kepala Dinas sedang beribadah haji, dan yang mewakili pejabat dinas adalah Pak Ridwan, Kepala Bidang Ketenagaan. Pak Ridwan telah berkoordinasi dengan saya sejak beberapa minggu yang lalu terkait pelepasan dan penjemputan peserta SM-3T ini.

Kantor Kabupaten Nunukan cukup megah. Kami naik melalui lift ke lantai 7, tempat acara diselenggarakan. Ruangan cukup besar, tertata apik. Meski di luar sudah cukup panas, di dalam ruangan sejuk karena AC. Tak perlu menunggu lama, bupati hadir, dan acara pun segera dimulai. Bupati, saya, dan Pak Ridwan, duduk di depan. Ada para undangan di sebelah kiri kami, peserta SM-3T di depan kami, dan belasan fotografer-termasuk dari media - di beberapa titik.

Bupati Nunukan benar-benar cantik, secantik fotonya yang saya lihat di warung dekat Hotel Laura semalam. Posturnya tidak terlalu tinggi, tubuhnya langsing. Dandanannya tidak berlebihan, berkerudung dengan motif bunga-bunga, serasi sekali dengan baju coklat seragam pemda yang dikenakannya. Awalnya saya menangkap kesan ‘jaim’ memang, tetapi kesan itu menjadi agak cair ketika saya mengajaknya mengobrol.

Acara demi acara berjalan lancar. Yang paling berkesan adalah kesan-pesan dari dua wakil peserta. Salah satunya adalah Arham, peserta yang bertugas di Tau Lumbis. Dia bertugas di SMP 2 Lumbis Ogong. 

Saat menceritakan awal kedatangannya ke Nunukan, kemudian harus menempuh jarak berjam-jam menuju Tau Lumbis dengan perahu bermotor dan melawan riam-riam sungai yang sangat deras airnya,  sementara pelampung yang dibawanya sungguh bukan pelampung yang ‘aman’, membuatnya benar-benar seperti sedang berada di dunia lain. Namun demikian, dia mengisahkannya dengan gayanya yang khas dan sangat menarik, kocak, termasuk saat menyampaikan sindiran halus pada Bupati supaya beliau hadir menengok anak-anak sekolah di tempat tersebut. 

Arham juga bercerita, untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menyeberang dan biaya untuk menyeberang itu tidaklah murah, yaitu sekitar Rp.1.000.000,-. “Jadi, hanya untuk mendengar suara orang tua, kami harus rela mengeluarkan biaya satu juta rupiah’’ begitu katanya.         

Arham juga sangat menyayangkan etos kerja guru yang sangat rendah termasuk guru-guru yang sudah bersertifikat sebagai guru profesional, dan berharap mereka akan meningkatkan kinerjanya, karena sesungguhnya, merekalah tulang punggung sekolah. Sebagai daerah perbatasan, Arham juga melihat, betapa jauh kondisi pendidikan di Nunukan dengan kondisi di tetangga sebelah, yaitu di Malaysia. Sangat jauh bedanya, baik kondisi sarana prasarana sekolah dan infrastruktur yang lain, juga kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Namun Arham terus menanamkan rasa cinta Tanah Air pada para siswa, dan dengan tegas dia menyatakan: “di tanah ini kita dilahirkan, di tanah ini kita dibesarkan, dan tanah ini jugalah yang akan menutup jasad kita kelak”.

Wakil dari peserta yang lain, Ria Utami, ceritanya tak kalah seru. Gadis manis yang ditugaskan di Krayan Selatan itu tak pernah menyangka kalau untuk menuju tempat tugasnya, dari Nunukan dia harus menumpang pesawat kecil menuju bandara perintis Long Bawan. 

Nama Krayan sudah ada dalam kepalanya sebelum ada kepastian tempat tugas, lengkap dengan semua ‘cerita seram’ tentang tempat tersebut. Dia selalu berdoa semoga bukan Krayanlah tempat dia ditugaskan. Namun kenyataan berkata lain. 

Krayan adalah dunia baru yang akan dihuninya selama setahun. Tak ada pilihan. Dengan perasaan tak menentu, terbanglah dia bersama lima rekan lainnya menuju Krayan. Meski begitu, Ria dan kawan-kawannya tak perlu berlama-lama untuk bisa beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada. 

Mandi, mencuci, mengambil air di sungai menjadi keseharian yang dinikmatinya bersama anak-anak didik dan masyarakat setempat. Listrik dan sinyal yang langka menjadi lagu-lagu indah yang menepiskan kesedihan mereka. Lagi pula, kata Ria, Krayan menyediakan banyak kekayaan alam yang membuat mereka tak perlu takut kelaparan. Daun pakis, beragam jamur, ikan laut, kijang, landak, monyet, macan, musang, semua tersedia. Juga beras Krayan yang sangat enak itu. Putih, kenyal, seperti mengandung jeli, begitu cerita Ria. 

Kecamatan Krayan memang merupakan penghasil beras terbesar di Kabupaten Nunukan, yaitu beras adan, yang dihasilkan dari tanaman padi unggul organic. Beras ini banyak dipasarkan ke Malysia dan Brunei. Krayan juga memiliki garam gunung yang unik. Ya, garam gunung yang dihasilkan dari pengolahan sumur air bergaram, bukan garam laut seperti yang biasa kita konsumsi. Krayan sendiri terletak di bagian barat Kabupaten Nunukan dan berbatasan dengan Serawak, Malaysia. Jumlah penduduknya sekitar 1.150 ribuan jiwa yang sebagian besar adalah penduduk asli pedalaman Kalimantan yaitu Suku Dayak Lundayeh.

Saat giliran saya untuk memberi sambutan sebagai wakil dari Unesa, saya menyampaikan harapan saya pada para peserta SM-3T untuk terus menjaga passion sebagai guru yang tidak hanya menjadikan profesi tersebut sebagai ajang mengais rezeki. Guru yang mengispirasi adalah mereka yang mendedikasikan diri untuk anak didik dan pendidikan dengan sepenuh hati. 

Saya juga tegaskan pada bupati, bahwa adanya kekurangan guru di daerah 3T, termasuk Kabupaten Nunukan, baik dalam jumlah maupun kualifikasi, tak dipungkiri adanya. Namun berdasarkan pengamatan saya setelah bertahun-tahun melakukan kunjungan di berbagai kabupaten 3T, faktor penghambat terbesar dalam pembangunan pendidikan bukanlah karena kekurangan guru atau terbatasnya sarana-prasarana atau kendala geografis. 

Faktor penghambat terbesar adalah etos kerja guru yang rendah. Ya. Ditambah lagi dengan minimnya figur panutan. Kepala sekolah yang tidak segan-segan mangkir dari tugas. Guru PNS dan bahkan sudah bersertifikat pendidik yang tak merasa berdosa menelantarkan kelas dan anak didik. Artinya, kendala terberat itu ada pada kultur, pada budaya. Dengan demikian, sosok pemimpin yang ‘membumi’, yang bisa menjadi teladan, yang peduli pada peningkataan kompetensi guru dan kinerja semua pelaku pendidikan, mutlak diperlukan. Mengingat pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia yang paling rasional untuk memangkas kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan peradaban, maka tidak ada pilihan, kepala daerah harus benar-benar memberi perhatian khusus pada percepatan pembangunan pendidikan di wilayahnya.

Pagi ini acara pelepasan Guru SM-3T Unesa oleh Bupati Kabupaten Nunukan ditutup dengan penyerahan cindera mata, baik dari bupati kepada Unesa dan GTK, maupun dari Unesa kepada bupati. Seperti biasa, Unesa menyerahkan buku-buku sebagai kenang-kenangan. Buku yang berisi kisah-kisah inspiratif pengalaman mengabdi selama mengemban tugas sebagai guru SM-3T, yang ditulis oleh para peserta SM-3T angkatan sebelumnya. Harapan saya, buku itu akan dibaca oleh bupati dan jajarannya, kepala dinas pendidikan dan jajarannya, kepala sekolah dan guru-guru, dan bisa menjadi inspirasi bagi mereka semua untuk lebih meningkatkan kinerjanya dalam mengemban tugas mengurus pendidikan.


Nunukan, 21 Agustus 2017

Nunukan 1: Tak Ada yang Istimewa

Panas menyengat menyambut kedatangan kami di Bandar Udara Nunukan. Waktu sekitar pukul 14.00. Hentakan Karlstar yang keras saat menyentuh landasan beberapa menit yang lalu seperti masih terasa. Pesawat berkapasitas 48 orang itulah yang membawa kami terbang dari Tarakan menuju Nunukan dengan waktu sekitar tiga puluh menit. Sebuah perjalanan udara yang singkat. Papan nama “Selamat Datang di Bumi Penekindi Debaya” menarik perhatian saya dan begitu saja menepiskan lelah dan gerah yang saya rasakan. Spontan hati saya bertanya, “apakah artinya penekindi debaya?” Lewat Wikipedia, saya temukan bahwa istilah tersebut berasal dari Bahasa Tidung, yang artinya: “Membangun Daerah”.

Saya bersama Mas Febry Irsiyanto, staf LP3M Unesa, segera memasuki gedung terminal yang kecil itu, mengingatkan saya pada gedung terminal di Waingapu, Melongwane, Wamena, Kasonaweja, Saumlaki, dan bandara perintis lainnya yang pernah saya singgahi. Tak berapa lama, kami keluar dari gedung bandara dengan membawa bagasi kami, dan menuju hotel dengan diantar mobil kijang hijau yang sudah disiapkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Nunukan.

Kedatangan saya dan Mas Febry di salah satu kabupaten di Kalimantan Utara ini adalah dalam rangka melaksanakan tugas menjemput Peserta SM-3T Unesa Angkatan VI. Ada sebanyak 84 peserta yang saat ini seluruhnya sudah berkumpul di Nunukan. Sebagian di Hotel Maspul dan sebagian lagi di Hotel Laura. Hotel Laura, kabarnya adalah hotel milik Ibu Bupati. Nama lengkap bupati adalah Hj. Asmin Laura Hafid, SE., MM. Masih muda, 32 tahun. Cantik jelita. Setidaknya begitulah kesan yang saya tangkap saat melihat fotonya bersama Wakil Bupati yang ada di pigura di dinding sebuah warung makan di sekitar Hotel Laura.

Hari ini tidak banyak yang saya lakukan. Saya bahkan menghabiskan sore saya dengan membuka laptop dan mengerjakan pekerjaan rumah saya yang menumpuk. Menjelang maghrib, saya keluar kamar untuk berkoordinasi dengan Mas Febri dan Korlap SM-3T Nunukan, Afif, tentang rancangan acara pelepasan besok pagi di Kabupaten. Tidak ada hal yang urgen. Semua acara sudah disiapkan oleh Dinas dan staf GTK. Transportasi diatur oleh biro perjalanan yang dikondisikan langsung dari Jakarta. Konsumsi peserta sehari-hari juga semua sudah dipesan oleh GTK. Tugas saya dan Mas Febri hanya menjemput dengan peran sesuai yang tertuang dalam SOP Penjemputan.

Selepas maghrib, kami berkoordinasi, atau lebih tepatnya, berbincang dengan dua staf Dinas. Satu orang staf sedang mempersiapkan kelengkapan administrasi dan meminta para peserta SM-3T untuk menandatangani berkas-berkas. Seorang lagi, menemani kami makan malam dengan menu yang saya sebenarnya tidak terlalu berselera.

Sepertinya saya belum menemukan sesuatu yang ‘wow’ sejak siang sampai malam ini. Kota Nunukan yang diresmikan pada 4 Oktober 1999 ini bagi saya sangat-sangat biasa. Setidaknya itulah yang saya lihat di sepanjang jalan dari Hotel Laura menuju alun-alun. 

Bersama Pak Fadli, staf Dinas, dan Mas Febry, kami memilih jalan-jalan malam itu sambil menikmati suasana Kota Nunukan. Toko-toko dan minimarket serta pedagang kaki lima memenuhi sepanjang jalan. Penjual makanan dengan menu-menu Jawa, ayam penyet, soto, seafood, nasi goreng, capcay, sangat biasa. Tidak ada taman-taman kota yang indah. Tidak ada kios-kios yang menjual pernak-pernik etnik. Tidak ada hasil bumi atau hasil laut khas Nunukan. Biasa-biasa saja. Nunukan di mata saya bahkan cenderung semrawut dan kurang bersih.

Beda sekali kesan pertama saya saat mengunjungi daerah 3T yang lain. Sumba Timur dengan kain tenun dan beragam aksesorisnya yang khas, serta tumpukan ikan dan hasil bumi di pasar-pasar tradisional. Sorong yang kaya dengan hasil bumi dan—yang sangat berkesan bagi saya—daun gatal. Wamena dan Mamberamo Tengah yang memiliki bunga plastik, buah merah, noken, dan koteka. Mamberamo Raya dengan papeda dan ulat sagunya. Talaud dengan lobster, umbi-umbian, dan sambal dabu-dabu. Menado dengan  bubur tinutuan dan nasi jaha. Kupang dengan dendeng sapi dan sei. Dan sebagainya.

Kesukaan saya setiap kali mengunjungi tempat baru, selalu yang saya cari adalah apa yang khas. Bisa berupa makanan, barang kerajinan, atau adat istiadat dan budaya. Saya hobi blusukan di pasar tradisional atau ke kampung-kampung untuk melihat kehidupan masyarakat. Namun di Nunukan ini, sepertinya saya belum beruntung karena saya belum menemukan apa yang saya cari. Mungkin juga karena saya belum cukup melakukan penjelajahan.

Saat saya bertanya pada Pak Fadli, di mana pasar tradisonal, jawabannya bukan seperti harapan saya. Dia menyebut sebuah tempat dan di situ dia bilang, kita bisa mudah menemukan baju-baju dan lain-lain yang diimport dari Malaysia, termasuk baju-baju bekas. Padahal maksud saya adalah pasar tradisional yang di situ kita bisa mendapatkan hasil bumi, hasil laut, dan barang-barang khas lainnya.

Hal ini mungkin dikarenakan Nunukan sudah banyak kehilangan penduduk aslinya. Penduduk Nunukan lebih banyak para pendatang dari Jawa, Makassar, Sulawesi. Penduduk asli, Suku Tingalan atau Dayak Agabag, menjadi kelompok minoritas dan tinggal di pedalaman-pedalaman. Suku ini kabarnya tidak hanya ada di Kabupaten Nunukan, namun juga di Kabupaten Tana Tidung dan Kabupaten Malinau, bahkan juga di negara tetangga, Malaysia, yaitu di Sabah dan Tawau.

Malam ini saya dan Mas Febry sempat berbincang dengan Ibu Rus, kepala sekolah SMK Sei Menggaris. Sei Menggaris bisa ditempuh dengan speedboat dalam waktu tempuh sekitar dua jam dari Nunukan kota. Ibu Rus datang ke Nunukan dalam rangka mengantar siswanya berobat, sekaligus ingin melepas tujuh guru SM-3T yang ditugaskan di sekolahnya. Berbagai cerita mengalir deras dari mulutnya. Kisah awal mula perempuan Bugis itu terdampar di Sei Menggaris. Juga cerita tentang perjuangannya memajukan SMK tempatnya bertugas. Tentang etos kerja sebagian besar guru lokal yang memprihatinkan dan etos kerja guru SM-3T yang strong, begitu dia menyebutnya. Kehadiran guru SM-3T telah sangat amat berarti dalam mempersiapkan akreditasi sekolah serta penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Dia bilang, tanpa bantuan guru-guru yang luar biasa itu, tidak mungkin semuanya itu bisa dipersiapkan dan dilaksanakan dengan sangat baik. Yang membuatnya sedih, dia dan seluruh warga sekolah dan masyarakat Sei Menggaris harus kehilangan guru-guru SM-3T tersebut. Namun ada yang membuatnya agak lega, adalah kehadiran 6 Guru Garis Depan (GGD), yang akan ditugaskan di sekolahnya mulai minggu ini. Meski, dia menyayangkan, karena latar belakang pendidikan keenam guru tersebut dari mata pelajaran kelompok adaptif dan normatif. Padahal yang dia butuhkan adalah guru-guru dari kelompok produktif. Namun, dia menghibur diri, siapa pun yang menjadi guru di tempatnya dan juga di sekolah-sekolah lain di pedalaman Nunukan, harus bisa mengajar mata pelajaran apa pun, tak perduli latar belakang pendidikannya. Begitulah, cerita lama itu terus saja terulang, di mana guru-guru SM-3T menjelma menjadi ‘guru serba bisa’ di tempatnya bertugas. Saya katakan pada Bu Rus, semoga tidak terjadi malapraktek pendidikan. Karena bagaimana pun, guru-guru bidang adaptif dan normatif tentulah tidak memiliki bekal yang cukup untuk mengajar praktek mata pelajaran kelompok produktif.

Ya, tapi mereka bisa mengajar sambil belajar, dan belajar sambil mengajar. Begitulah saya dan Bu Rus bersepakat. Ya…ya, setidaknya mereka masih lebih baik karena mereka berada di sekolah dan memastikan siswa-siswa akan terlayani. Setidaknya mereka tidak membiarkan kelas-kelas menjadi kosong dan sepi dan siswa-siswa terlantar. Setidaknya mereka siap mendampingi siswa untuk belajar dan menjadi fasilitator yang baik serta bersama-sama mencari solusi atas masalah apa pun yang dihadapi dalam belajar.

Nunukan, 20 Agustus 2017