Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 20 Oktober 2021

Gernas BBI


Tanggal 12 Oktober kemarin, kami menghadiri Peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Acara digelar di Convention Hall Samarinda, dengan penerapan prokes ketat. Meskipun dihadiri oleh beberapa kementerian dan lembaga serta dunia usaha/dunia industri, physical distancing sangat terjaga di dalam ruangan gedung. Tidak semua orang diperbolehkan masuk. Hanya menteri dan para pejabat. Ajudan dan sespri tidak semua diperbolehkan masuk.

 

Acara sungguh apik, lancar, membanggakan. Kita punya banyak potensi, baik produk maupun layanan, yang luar biasa. Karya anak bangsa yang sangat berharga. Fashion, aksesories, kuliner, dan sebagainya, yang dihasilkan oleh UMKM dan Bumdes yang sungguh bernilai. Sebagian bahkan sudah diekspor ke mancanegara.

Btw, busana yang saya pakai itu juga karya butik Hesandra Indonesia, Samarinda. Agak kebesaran sedikit, dan sedikit agak kebesaran. Hehe. Maklum, belinya mendadak, lampu mati lagi. Ceritanya, karena kami semua yang akan menghadiri acara dihimbau untuk berbusana batik Kalimantan Timur, dan baju batik Kaltim saya ada di Surabaya, maka malam itu kami membeli baju secara mendadak. Dalam guyuran gerimis dan listrik yang padam.

Memang agak kebesaran. Tapi ternyata itu menginspirasi beberapa teman untuk juga membeli busana batik Kaltim di toko yang sama. Endorse.....endorse.....

 

Siang setelah acara, kami juga berkesempatan mengunjungi bumdes di desa Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara. Produk bumdes juga menarik, khususnya kerajinan yang dibuat dari limbah batubara. Kami sempat membelinya, berupa selusin piring anyaman.

Nah, busana batik yang saya kenakan bukanlah batik Kaltim. Tetapi dijamin buatan Indonesia. Pemiliknya adalah anak muda yang inspiratif, namanya Raden Mas Setiawan . Nama batiknya adalah Batik Wistara. Saya punya beberapa baju dari Batik Wistara ini. Nyaman dipakai. Adem.

 

Oya, saya sempat ketemu juga dengan Susiloning Mila Wati . Bu Guru yang dulu adalah mahasiswa Tata Boga. Anaknya lengket sama saya karena saya dikira mbah-nya. Kami sempat menikmati view di malam hari di Panorama Kafe. Juga menikmati kuliner kepiting asap yang kesohor itu. Semua adalah buatan Indonesia.

Mila, terima kasih pijitannya ya. Jangan kapok, kapan-kapan diulang lagi. Numan.

 

#GERAKANNASIONAL

#BanggaBuatanIndonesia

Jumat, 15 Oktober 2021

Ambon Manise


Ambon menjadi kota yang memiliki banyak kenangan untuk saya. Meskipun saya tidak sering ke Ambon--ini adalah kali ketiga saya mengunjungi Ambon--namun Ambon selalu mampu membangkitkan ingatan saya bertahun-tahun yang lalu. Ingatan yang membanggakan sekaligus memprihatinkan, yang menyenangkan sekaligus memilukan. Semua catatan tersebut sudah saya rekam dalam website saya www.luthfiyah.com. Antara lain kisah saat berlayar bersama Marsela yang sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Sila baca di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-10-berlayar-bersama-marsela.html?m=1 dan juga di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-11-semalam-di-marsela.html?m=1. Juga kisah yang sangat memilukan yang Anda bisa baca di http://www.luthfiyah.com/2015/04/kabar-duka-dari-mbd-1-kapal-tenggelam.html?m=1.

 

By the way, Nanda Okkyanti , Ratri Seto Karyaning Utami , Mudho Sasono , Noval Dwi Cahyono , dkk, apa kabar kalian? Bayangan kalian berkelebat-kelebat dalam benak saya nih. 

 

Kunjungan saya ke Ambon kali ini dalam rangka melakukan penandatangan perjanjian kerja bersama antara BPSDM Kemendes PDTT dengan Universitas Pattimura (Unpatti) dan juga dengan Balai Pelatihan Perikanan Ambon. Selain itu juga dalam rangka pengambilan gambar untuk promosi program akademi desa serta--sebagai agenda wajb--adalah bertemu dengan para pendamping desa.

 

Ambon yang disebut sebagai City of Music ini sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Daratannya tidak lebih dari 30%. Maka di mana-mana, bahkan sejak menjelang pesawat kita mendarat, kita sudah bisa melihat bentangan laut yang berpadu dengan bukit serta jajaran rumah di beberapa titik garis pantai. Indah.

 

Sebagai wilayah maritim, hasil laut melimpah. Ikan, udang, cumi, yang berkualitas tinggi, sangat mudah kita dapatkan di pasar tradisional sampai di meja makan di rumah-rumah dan restoran. Menu hasil laut biasanya dipadukan dengan oseng sayuran seperti kangkung--seringkali dicampur dengan bunga pepaya--dan ca wortel, sawi, jamur yang diolah ala chinese food. Yang terakhir ini pasti karena memang pengaruh budaya kuliner China. Beragam sambal melengkapi semuanya, dan yang paling saya suka adalah sambal mangganya.

 

Salah satu menu favorit saya adalah papeda dan ikan kuah kuning. Saya tidak tahu, sejak pertama kali mengenal papeda bertahun-tahun yang lalu di Papua, tepatnya di Kabupaten Sarmi, saya jatuh cinta begitu saja dengan makanan pokok yang terksturnya lembut itu. Dipadukan dengan ikan kuah kuning yang bercita rasa asin dan asam, hidangan ini terasa begitu pas di lidah saya yang pada dasarnya sembarang doyan.

 

Hidangan lain yang juga menjadi favorit saya adalah gorengan ubi, pisang, singkong, yang cara makannya selalu dicocol dengan sambal. Kalau yang ini, tidak hanya bisa kita dapatkan di wilayah timur saja. Di Kalimantan juga sangat lazim gorengan dinikmati dengan cocolan sambal. Halo mas Dani Anto , bu Novita Carolina Supriadi Himakpa , dkk, jadi ingat kalian nih. Mungkin seperti di Madura juga, yang menikmati ubi-ubian, juga kerupuk ubi, yang dicocol dengan petis.

 

Satu lagi yang saya suka setiap kali berkunjung ke mana pun, adalah kelapa muda. Di Ambon, juga di banyak tempat di Tanah Air, kelapa muda berlimpah. Sepanjang pantainya banyak ditumbuhi pohon kelapa. Di mana pun kita membeli kelapa muda, maka kita benar-benar mendapatkan kelapa muda yang ranum dan segar. Bisa disajikan utuh atau dalam gelas. Kalau saya lebih suka disajikan dalam gelas. Tidak repot.

 

Nah, satu lagi. Kalau ini menjadi makanan favorit banyak orang. The most wanted deh. Durian. Saya sendiri heran, mengapa buah satu ini begitu dielu-elukan keberadaannya. Padahal menurut saya, dia itu memang istimewa. He he. Rasanya yang legit, aromanya yang harum, dan di beberapa tempat, harganya yang mahal, membuat durian menjadi buah primadona. Kami biasanya 'dilulu' oleh teman-teman yang kami kunjungi. Durian yang berkualitas wahid disediakan banyak-banyak, dan kami dikompori untuk makan sepuas-puasnya. Kami yang penyuka durian ini menikmatinya dengan sepenuh hati sekaligus dengan penuh kewaspadaan. Kami tahu durian adalah simalakama. Dalam setiap gigitan mengandung ancaman. Bahkan karena begitu jahatnya durian, beberapa teman kami yang sesungguhnya adalah maniak durian, sudah tidak mau lagi menyentuhnya sama sekali. Yang saya herankan, merekalah yang justeru mengiming-ngimingi kami. "Ibu, kami sudah sediakan durian untuk Ibu dan kawan-kawan. Durian di sini beda, Bu. Ibu bisa buktikan nanti." Begitulah kalimat bujuk rayu yang sering saya dengar. Di mana-mana. Untunglah saya orang yang tabah. Tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu. Maka selama saya menikmati durian, saya selalu mengaktifkan alarm kesadaran saya dengan kewaspadaan penuh. Saya berdoa semoga Allah selalu menjaga saya dengan ketabahan dan kesehatan. Amiin. Hehe.

 

Oya, ada satu lagi sebenarnya yang juga khas di Ambon. Rujak natsepa. Ya, di Papua juga ada. Saya menikmatinya di Papua beberapa waktu yang lalu. Saya tidak sempat menikmatinya di

Ambon karena agenda sangat padat dan sudah terlalu banyak kuliner yang disajikan. Rujak yang bahan dasarnya buah-buahan ini hampir sama dengan yang kita kenal di Jawa. Bahkan sambal rujaknya pun hampir sama, bedanya hanya porsinya yang jauh lebih banyak. Saking banyaknya sampai buah-buahnya tenggelam semua dalam sambal.

 

Baiklah, ini adalah sekelumit kisah tentang Ambon. Dan karena Ambon adalah kota  musik, maka menyanyi juga seperti menjadi menu utama dalam setiap pertemuan, khususnya saat gathering makan malam. Saya dengan bakat terpendam saya pun, akhirnya harus ikut menyumbangkan lagu, dalam arti yang sebenarnya, membuat lagu menjadi sumbang. Sudah saya jelaskan kalau saya memang memiliki bakat terpendam, tapi terpendamnya terlalu dalam sehingga susah digali, teman-teman tetap meminta saya menyanyi. Maka menyanyilah saya dengan suara cempreng saya tanpa merasa berdosa.....

 

Ambon, 20-21 Oktober 2021

Rabu, 06 Oktober 2021

Quality Weekend


Jumat, 1 Oktober 2021  kemarin, saya nyambangi kampus Pascasarjana Unesa. Menguji ujian disertasi terbuka Bapak Heri Sudarmaji. Beliau adalah Kepala Pusat PSDMPU di Kemenhub RI. Kebetulan saya promotornya.

 

Ini adalah kali pertama ujian terbuka teramai selama pandemi. Meskipun ramai, prokes tetap terjaga. Undangannya adalah para pejabat di Kemenhub. Sekjen Kemenhub bahkan menjadi salah satu pengujinya. Sehari sebelumnya, saya seruangan dengan beliau di DPR Pusat saat rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR RI.

 

Pak Heri Sudarmaji bagi saya adalah sosok mahasiswa yang sangat mengagumkan. Pepatah 'berikan pekerjaan pada orang yang sibuk' berlaku untuknya. Meskipun beliau adalah pejabat di Kemenhub, tapi urusan kuliah, tugas-tugas, disertasi, publikasi, toefl, semua beres dengan cepat dan dengan hasil yang juga sangat mengagumkan.  Maka luluslah beliau pada Hari Kesaktian Pancasila itu, dengan predikat cumlaude.

 


Pak Heri Sudarmaji adalah lulusan pertama angkatan 2019 dan Doktor ketiga yang dihasilkan oleh Prodi S3 Pendidikan Vokasi Unesa. Beliau layak menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama mahasiswa. Inspirasi tentang ketekunan, kerja keras, integritas, kemandirian, dan kesantunan.

 

Salah satu temuan penting dari disertasinya adalah bahwa morality merupakan kompetensi inti dalam pengembangan kualitas SDM, tidak hanya skill, knowledge, dan attitude (SKA). Pertanyaan kritis yang hampir selalu muncul sejak ujian komprehensif, kelayakan, tertutup, dan terbuka, adalah attitude Vs morality. Dan beliau selalu bisa membuktikan bahwa morality berbeda dengan attitude. Morality seharusnya juga menjadi bagian penting dalam output pendidikan. Tidak hanya SKA, tetapi SKAM.

 


Setelah menguji, saya juga berkesempatan bertemu dengan para pendamping di Kabupaten Lamongan, juga dengan Kepala Dinas PMD. Yang menggembirakan, Dinas PMD menyediakan satu ruang khusus di lantai 2 kantor dinas untuk sekretariat para pendamping. Pak Kadis bahkan mengatakan, "saya tidak bisa apa-apa tanpa teman-teman pendamping." Andaikata hubungan mesra semacam ini terjalin di semua kabupaten dan provinsi, tentu akan sangat menunjang percepatan pencapaian program-program prioritas Kemndes, khususnya terkait BLT DD, penanganan covid-19, PKTD, dsb.

 

Dari Kantor Dinas PMD, kami mampir ke Masjid Namira. Shalat dhuhur-ashar jama' ta'khir. Mengagumi keindahan masjid yang masyhur itu. Hanya sebentar, dan kami lanjut kembali ke Surabaya. Alhamdulilah, ada bonus quality time bersama suami dan anak cucu tercinta.

 

Alhamdulilah juga, pagi ini kami sudah di Bandara Juanda lagi. Hari ini kami akan terbang ke Bengkulu. Juanda ramainya masyaallah. Beberapa minggu terakhir ini, kondisi di berbagai bandara memang sudah sangat normal. Alhamdulilah. Semoga pandemi terus dan terus melandai. Semoga vaksinasi berhasil dan Indonesia serta seluruh negara segera mencapai herd immunity.

 

Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh.

 

Surabaya, 3 Oktober 2021

Selasa, 05 Oktober 2021

Antara Bengkulu dan Yogya


Kemarin di BPPMDDTT Bengkulu, hari ini di BBPPMDDTT Yogyakarta. Lain Bengkulu lain Yogya. Kalau Di Bengkulu banyak tanaman keras seperti sawit, durian, karet, manggis, Yogya lebih ke tanaman 'lunak'. Tomat, terong, sawi, cabe, bunga-bunga. Ada lebah madu juga, lebahnya kecil-kecillll imut tidak galak, namanya lebah klanceng ya, madunya ada yang coklat ada yang hitam. Makanan lebah adalah bunga.... apa ya namanya, lupa saya, bunga air mata pengantin, gitu deh sepertinya.... Warnanya merah cerah, dan lebah-lebah itu suka mengitarinya.

 

Oya, ada juga tanaman jeruk, saya lupa juga jeruk apa namanya, kalau nggak salah jeruk dekopon, katanya asli Jepang. Saya sempat memetiknya dua buah, tapi belum sempat saya makan, jadi tidak bisa cerita bagaimana rasanya. Katanya sih rasanya manis kayak yang metik hehhe....

 

Oya, ada juga tanaman edamame, bibitnya dari Jember. Subur dan besar-besar. Saya sempat menikmati adamane segar yang baru saja dipetik dan langsung direbus. Gurih. Asli. Rasanya persis edamame. Kik kik.

 

Oya (ini oya yang ketiga), ada juga sapi, kambing, ayam, kelinci, lele, cacing, ulat, yang semuanya dipelihara. Tapi saya menolak melihat, terutama cacing dan ulat. Hiiii

 

Berada di Balai Besar Yogya ini sungguh bikin kerasan. Bangunan-bangunannya relatif terawat. Lahan optimal dimanfaatkan. Bunga di mana-mana, indah seperti di tempat wisata. Kepala balai ramah dan bervisi. Pegawainya ramah dan solid. Menyenangkan pokoknya.

 

Kapan-kapan saya mau ke sini lagi. Sore ini harus balik Jakarta dulu. Nanti malam harus menghadiri acara Pembukaan Training of Trainers angkatan 3. Pak Menteri yang akan membuka, maka saya harus menyampaikan laporan.

 

Beli sepatu ling-ling ke Bengkulu.

Kenapa Citilink telat melulu....

 

Yogya, 5 Oktober 2021

Senin, 04 Oktober 2021

Pengamanan Lahan


Hari ini kami berada di Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa DTT Bengkulu. Untuk saya, ini adalah kunjungan kedua ke Bengkulu. Kunjungan pertama di tahun 2015, kalau saya tidak salah ingat, dalam rangka monev peserta Program SM3T di Kabupaten Seluma, salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu.

 

Agenda kunjungan kali ini adalah pertemuan tindak lanjut pengamanan lahan. Sebuah kisah yang menyentuh hati. Hehe.

 

Ceritanya, Balai Bengkulu memiliki lahan sekitar 246 ha. Sudah bertahun-tahun, sebagian lahan dikuasai oleh masyarakat sekitar untuk menanam sawit dan rumah tinggal. Upaya pengamanan sudah dimulai sejak belasan tahun yang lalu, dan sebenarnya putusan MA tahun 2009 sudah menetapkan kepemilikan syah atas lahan itu milik balai. Namun karena berbagai hal, lahan tidak segera dieksekusi. Balai masih mencoba mencari jalan supaya tidak terjadi eksekusi secara paksa, lebih karena alasan kemanusiaan. Lantas sejak Agustus 2021, dengan didampingi dan dimediasi oleh Kajari Bengkulu, sebanyak lima belas orang akhirnya bersedia lahan dan rumah yang selama ini mereka kuasai dieksekusi secara sukarela.

 

Nah, hari ini adalah tindak lanjutnya. Saya bersama Kajari, sekretaris BPSDM Kememdes, Kepala Biro Hukum Kemendes , bertemu dengan lima belas orang tersebut.  Kajari menegaskan dan melaporkan tentang kepastian eksekusi, dan saya mendengarkan laporan tersebut sebagai pihak yang bertanggung jawab atas lahan. Hari ini, lima belas orang itu akan menerima bantuan dana untuk "pembersihan". Ini sebenarnya bukan merupakan kewajiban pemerintah, namun   juga lebih karena alasan kemanusiaan.

 

Asli, saya menahan diri untuk tidak mbrebes mili saat menyampaikan sepatah dua patah kata pada para bapak dan ibu yang hampir semua sudah sepuh itu. Di antara mereka ada yang menderita stroke, berdiri saja susah. Ada juga yang disabilitas.

 

Namun dengan penuh ketegaran saya menyampaikan, bahwa Allah akan mengganti semua yang telah mereka lepaskan dengan ikhlas dengan segalanya yang lebih baik. Adalah sudah semestinya kita merelakan apa yang bukan hak kita. Apa lagi demi kemanfaatan dan kemaslahatan masyarakat dan umat.

 


Saya sendiri harus ikut menangani masalah ini karena sebagai Kepala BPSDM Kemendes PDTT, memang salah satu tugasnya adalah memayungi balai. Ada dua balai besar dan tujuh balai yang berada di berbagai provinsi di Indonesia. Masalah lahan yang masih menjadi problem di beberapa balai, harus diselesaikan setahap demi setahap.

 

Setelah agenda utama selesai, saya juga berkesempatan meninjau lahan milik balai. Saking luasnya lahan, kami berkeliling dengan mobil. Lahan yang benar-benar luas. Sawit mendominasi. Selebihnya durian, manggis, karet, kelapa, buah naga. Sayang sekali, durian dan manggis lagi tidak musim. Namun semalam kami sudah dijamu durian kok, jadi aman. Hehe.

 

Bengkulu, 4 Oktober 2021

Minggu, 03 Oktober 2021

TKI dan Sky Priority


Beberapa hari yang lalu, saya bersama beberapa teman terbang ke Taiwan. Tujuannya untuk menjalin MoA dengan Yuntech University, sekaligus mengikuti conference di Natioan Formosa University. Kami berangkat bersama para TKI. Ada 200 orang lebih TKI yang bersama kami, begitulah kata petugas Bandara Juanda waktu kami mau masuk ke ruang tunggu.

 

Tiba di Taiwan, kami disambut oleh beberapa petugas. "TKI this line, TKI this line". Begitu teriakan mereka sambil menunjuk-nunjuk saya dan rombongan TKI. Tentu saja saya tidak menuruti kata petugas dan mengambil jalur lurus. Petugas itu mbatek saja melambai-lambai ke saya sampai akhirnya saya bilang, "we are not TKI."

 

Selama berada di Taiwan, terutama di tempat-tempat wisata. kami sering bertemu TKW yang sedang membawa induk semangnya, pada umumnya manula, berjalan-jalan dengan kursi roda. Beberapa manula ada yang sakit, terlihat dari selang menempel di hidungnya atau dari wajah yang pucat tak bercahaya. Sebaliknya para TKW yang mendorong para manula itu nampak behagia dan selalu melempar senyum setiap kali mata kami beradu. Penampilan mereka bersih, modis, sebagian besar berjilbab.

 

Pulangnya, kami juga berbarengan dengan para TKI, namun jumlah mereka tidak sebanyak waktu berangkat. Mereka bertanya, apakah kami sedang mengambil cuti, kapan balik Taiwan, bekerja di rumah tangga apa di pabrik....

 

Kebetulan saya punya kartu member Garuda GFF yang sky priority. Saat transit di Singapore, menjelang boarding, seorang petugas meneriaki saya supaya saya pindah ke antrian panjang di sisi kanan saya. "He he he...". Begitu teriakannya. Sikapnya kasar. Begitu dia mendekat, saya tunjukkan boarding pass saya. "I'm sky priority." Dia melihat boarding pass saya dan tanpa meminta maaf dia hanya bilang, "oh, okay okay." Saya menunjuk dua teman di belakang saya. "We are three." Dia membiarkan kami bertiga melenggang.

 

Oya, sebelumnya, menjelang check in di Taiwan, saat kami mendekati counter, seorang petugas bilang kalau belum saatnya check in. Kami harus check in pukul 12.00. Saat itu masih pukul 10.30-an. Waktu saya bertanya, "how about sky priority member?" dia mempersilahkan kami bertiga untuk check in.

 

Saya jadi ingat pengalaman saya pada akhir 2018. Di Bandara Schipol, Amsterdam, waktu saya dan bu Sri Handajani mau terbang ke Austria, saya berdiri mengantri di depan counter check in khusus untuk penumpang kelas business dan platinum. Seorang petugas tinggi besar menghampiri saya. "I'm sorry, madam, would you mind showing me your member card?" Saya tunjukkan kartu GFF saya dan dia mengembalikannya setelah memeriksa sebentar. "Sorry for this unconvenience.... I just to make sure...." "Okay, no problem." Tukas saya sambil melempar senyum karena dia telah bersikap sopan.

 

Pada kondisi tertentu, mungkin potongan saya layak diragukan sebagai pemegang kartu platinum. Bersama para TKW, saya adalah mereka karena mereka semua memang saudara saya. Meskipun begitu, seharusnya para petugas itu tetap bersikap sopan dan tidak berteriak-teriak seolah kami tuli. Sudah begitu, tidak mau meminta maaf lagi.

 

Di pesawat, setelah saya diteriaki petugas itu, seorang pramugari menghampiri saya sambil membawa secarik kertas. "Mrs Nur...." Dia kesulitan mengeja nama saya. "Nurlaela", sahut saya. "Yes. I just want to greeting you, welcome on board...." "Ya?" Sahut saya heran. "You're a member of Garuda Airlines, so if you need any help, don't hesitate....." Dia tersenyum sopan. Oh, rupanya ini cara mereka meminta maaf.

 

Begitulah.  Sedikit kisah yang menyentuh hati. Hahah.

 

10 Oktober 2019

Minggu, 22 Agustus 2021

Budi Darma, Sang Penyayang Itu (Sebuah Obituari)

Kenangan saya tampil di Nawawarsa Himapala KM IKIP Surabaya 1987.

Hari ini, saya kehilangan sosok penyayang dan sederhana itu. Sabtu, 21 Agustus 2021, pada sekitar pukul 08.25 WIB, saya membaca kabar duka itu di sebuah grup whatsapp (wa). Sosok yang begitu dekat di hati itu telah berpulang pada sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah sejak 28 Juli 2021, begitulah kabar yang saya terima juga dari sebuah grup wa, beliau berjuang karena terpapar covid. Selain beliau, isteri beliau, seorang putra beliau serta seorang asisten rumah tangga beliau, juga terpapar.

Kabar beliau terpapar covid spontan membuat hati saya waswas. Tapi saya tidak mau berpikir buruk. Meski usianya sudah kepala delapan, Prof Budi Darma akan baik-baik saja. Beliau memiliki kesehatan yang relatif prima. Beliau masih menulis, bahkan sebelum dikabarkan sakit itu, beberapa tulisannya kerap menghiasi media surat kabar. Beliau juga masih aktif mengajar, begitulah kabar yang saya terima dari Direktur Pascasarjana Unesa, tentu saja sebelum beliau terpapar covid.

Lalu sehari sebelum Hari Kemerdekaan RI ke-76, sebuah kabar – juga dari grup wa – saya baca, bahwa Prof. Budi Darma kesadarannya menurun. Saya mulai waswas namun tentu saja terus berharap beliau akan membaik. Sampai akhirnya saya harus menerima kenyataan pahit itu, beliau berpulang. Allah telah membebaskan beliau dari segala beban. Telah melunaskan tugas beliau di dunia.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Meski saya menyadari, saya bukan siapa-siapa di blantika sastra, sebagaiman dunia yang digeluti dan menggeluti Prof. Budi Darma. Namun Prof. Budi Darma telah membuat diri saya merasa begitu berarti dan berharga karena betapa beliau tak pernah melupakan saya, sejak pertama kali beliau mengenal saya. Tentu saja, seperti itulah memang beliau. Hampir selalu mengingat siapa pun yang beliau kenal. Dan membuat setiap orang merasa berarti dan berharga karena diingat.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Hari itu, tahun 1987, pertama kali saya berhadapan dengan sosoknya, secara dekat, saat saya menjadi ketua panitia Nawawarsa Himapala. Beliau yang waktu itu menjabat sebagai Rektor, hadir pada kegiatan pembukaan, mendengarkan laporan saya, memberi ucapan selamat, menggunting pita, dan melihat-lihat eksibisi kami di Gedung Gema Kampus Ketintang. Saya mendampinginya, dan betapa saya menyadari, begitu rendah hatinya sosok ini. Begitu penyanyangnya. Saya merasa begitu nyaman berada di dekat beliau, tidak ada kecanggungan, berbangga dan berbesar hati karena apresiasi beliau, senyum beliau, ungkapan kata-kata santun beliau. Sungguh sama sekali bukan ungkapan-ungkapan formalitas. Ungkapan-ungkapan yang benar-benar keluar dari lubuk hati seorang Bapak yang sedang membesarkan hati anak-anaknya, mengobarkan api kebanggan pada kami semua.

Sejak saat itu, Prof. Budi Darma bukanlah orang asing di mata saya. Tentu saja saya sudah mengenal beliau jauh sebelum kami berjumpa hari itu. Setidaknya saya sudah sejak lama menamatkan Olenka dan Orang-orang Bloomington, dan dari situlah saya mengenalnya sebagai sastrawan besar. Tak terbayang bahwa suatu ketika, saya akan merasa begitu dekat dengan penulisnya.

Nasib membawa saya bertumbuh dan berkembang di IKIP Surabaya yang kemudian berubah nama menjadi Unesa. Nasib juga yang membawa saya beruntung bisa relatif sering bertemu dengan Prof. Budi Darma. Di berbagai kesempatan, di berbagai pertemuan, di jalan, di ruang dosen di pascasarjana, di rapat senat terbuka, juga di berbagai kegiatan literasi. Yang saya sangat suka, beliau jarang memanggil nama saya dengan sebutan Bu Luthfiyah, begitulah beliau kadang menyebut saya. Namun beliau lebih sering menyebut saya dengan panggilan Mbak Ella. Itu panggilan yang hanya dilakukan oleh teman-teman kuliah, teman-teman dekat, dan teman-teman Himapala saja. Dan dengan panggilan itulah beliau lebih sering menyebut saya. Begitu berkesan.

Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan itulah yang kemudian membawa saya banyak bergaul dengan teman-teman IKA Unesa yang memang penulis, seperti Sirikit Syah, M. Khoiri, Rukin Firda, Eko Prasetyo, Suhartoko, Satria Darma, Habe Arifin, Pratiwi Retnaningdyah, Fafi Inayatillah, dan sebagainya. Suatu ketika, kami membuat buku antologi cerpen, dan saya menyumbangkan dua cerpen saya. Itu memang bukan cerpen pertama yang saya tulis, kebetulan saya sudah mulai memuatkan cerpen-cerpen saya di majalah nasional sejak saya remaja dulu, dan masih sesekali menulis cerpen bila sedang ingin menulis atau harus menulis. Namun cerpen di buku antologi itu seperti begitu istimewa, bukan hanya karena prosesnya yang mengasyikkan, namun karena Prof. Budi Darma membaca cerpen-cerpen itu. Ya, termasuk cerpen saya.

Siang itu beliau sedang duduk melayani konsultasi mahasiswa saat saya memasuki ruang dosen pascasarjana. Seperti biasa, dengan kesantunan dan senyum khasnya, beliau menyapa, “apa kabar, Mbak Ella?” Saya menjawab sapaan beliau, dan menanyakan kabar beliau juga. Lantas beliau bertanya, “bagaimana kabar laki-laki di pantai berpasir putih itu?” Wow. Saya merasa sangat takjub dengan pertanyaan itu. “Waduh, Bapak maos nggih? Waduh, malu dalem, Bapak. Itu cerpen rame-rame saja, Bapak.” Beliau tertawa, renyah namun santun. “Juga kisah…. siapa itu, saya lupa namanya, yang di cerpen satunya itu?” Saya semakin tersipu-sipu, namun senang, merasa surprised, excited, namun agak malu, karena menyadari cerpen jelek saya itu dibaca oleh sastrawan besar itu.

Lantas ketika saya diamanahi sebagai Direktur PPPG, saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk bersama-sama teman alumni yang penulis, penyunting, dan jurnalis, untuk mengembangkan literasi. Ada Eko Pamuji, Abdur Rohman, Anwar Djaelani, dan sebagainya, selain nama-nama di atas. Pada beberapa kesempatan, kami mengundang Prof. Budi Darma untuk menjadi narasumber dan motivator bagi mahasiswa-mahasiswa calon guru itu. Beberapa kali kami menjemput beliau di rumah beliau, dan mengantarkan kembali beliau ke rumah setelah acara. Rumahnya yang bersih, sederhana, ada di kawasan Kampus Ketintang, merepresentasikan kesederhanaannya. Kadang saya berpikir, bagaimana orang yang memiliki begitu banyak peluang untuk hidup mewah itu bisa memilih menjalani kehidupannya dengan segala kesederhaannya?

Saat saya menikahkan anak saya pada tahun 2017, saya mengundang Prof. Budi Darma. Beliau tidak hadir. Tiba-tiba seminggu setelah itu, beliau mengirim pesan singkat. “Mbak Ella, “ begitu sapanya. Beliau meminta maaf karena baru melihat ada undangan mantu dari saya. Undangan itu ada di meja beliau di kampus, dan beberapa hari beliau ada kegiatan di luar kota, sehingga tidak tahu kalau ada undangan. Pesan singkat itu tentulah sangat berharga bagi saya, karena menyadari, Prof. Budi Darma tidak melupakan saya. Begitu juga saat beliau mengirimkan foto tulisan saya yang dimuat di Jawa Pos, dengan sebuah kalimat pujian yang saya yakin itu tulus, betapa hal itu membuat saya merasa sangat berarti.

Malam ini, saya ingin menulis tentang sosok yang begitu saya cintai itu. Saya seolah tidak ingin kehilangan setiap kenangan manis tentang beliau. Namun terlalu banyak yang mungkin harus saya tuliskan, juga untuk mengungkapkan rasa kehilangan ini. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seseorang yang merasa begitu dekat dengan beliau, seseorang yang telah berhasil dibuatnya merasa begitu berarti, begitu berharga.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Seharian ini sosok panjenengan berkelebat-kelebat dalam benak saya. Senyum panjenengan menari-nari dalam untain doa saya. Sapa panjenengan terbayang-bayang di mata saya yang basah dan berkabut.

Selamat jalan, Prof. Budi Darma. Beristirahatlah dengan damai. Seperti kedamaian yang senantiasa menghiasi wajah teduhmu…..

 

Taman Dayu Hotel & Resort, Pandaan, 21 Agustus 2021