Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Kamis, 11 November 2021

Selat Solo

Solo menjadi salah satu kota yang banyak menyimpan kenangan masa kecil saya. Leluhur saya berasal dari Solo. Kami sekeluarga sering berkunjung ke Solo untuk sowan Mbah Kakung dan Mbah Putri. Setidaknya, minimal sekali setahun kami berombongan pergi ke Solo, dari Jenu, Tuban, naik bus Indonesia atau bus Adam.  Tujuan kami adalah ngguyubi khol Mbah Siroj, buyut kami.

 

Saya sendiri sering memilih Solo sebagai tempat berlibur bila masa liburan sekolah tiba. Seingat saya, saya pernah hampir sebulan berlibur di Solo. Kalau pagi, saya diajak Mbah Putri ke pasar. Kalau malam, saya sering diajak Mbah Kakung jalan-jalan lihat lampu. Ya, lampu-lampu di sepanjang jalan, di toko-toko. Di desa saya, saat itu listrik belum masuk, sehingga melihat lampu-lampu listrik di kota Solo adalah hiburan yang menyenangkan. Apa lagi sambil menggelayut di lengan Mbah Kakung yang penyayang.

 

Selain Solo, Boyolali dan Sragen juga menyimpan kenangan masa kecil saya. Beberapa kali juga menjadi tempat liburan saya waktu saya masih SD. Di Boyolali ada pakdhe dan budhe kami yang juga penyayang, dengan putra-putrinya yang baik hati, Mbak Anisah Tamam , Mbak Siti Halimah Nurullaili , Mas Agus, Mbak Umi, Mbak Umi Faiqoh , Mbak Nur Fauziah Tamam , yang semuanya sekarang sudah pada beranak-pinak. Yang sepantaran dengan saya juga ada, sehingga kami selalu bermain bersama. Halo, Mbak Umi Tamam.

 

Kalau di Sragen, bahkan sampai SMA dan mahasiswa, Sragen sering menjadi tempat berlibur juga. Alamnya yang indah dan sejuk menginspirasi beberapa cerpen saya. Bahkan ada satu cerpen yang saya jelas-jelas menyebut Desa Sine, desanya Bulik dan Paklik saya yang di Sragen itu. Saudara sepupu saya, putra-putrinya Paklik dan Bulik saya, hampir semua orangnya rame. Bahkan main catur pun sambil teriak-teriak. Semua suka usil dan selalu bahagia kalau berhasil membuli siapa pun. Untunglah saya sejenis itu juga. Klop. Dik Gus Muhammad Thohir , dik Yusuf Wahab , dik Arif, Dik Muhammad Irfan Fauzi , dik Ni'mah Afifah , haloooo......

 

Oh ya, judul tulisan ini Selat Solo ya? Nah, ini adalah salah satu makanan favorit saya. Bistik Jawa, begitu sih menurut saya. Terkenang suatu saat, kami sekeluarga dan Ibu ngandok makan selat solo di warung kaki lima, di Solo, tentu saja. Tapi saya lupa di jalan apa. Yang jelas di pinggir jalan. Ya dong, mosok di tengah jalan.

 

Selat Solo yang ini, saya temukan di sebuah tempat di Solo juga. Namanya Selat Mbak Lies. Begitu tiba di rumah makan ini, saya langsung komentar, iki dodolan keramik opo dodolan selat yo. Semua sudut dipenuhi keramik. Bahkan tempat duduk pun dari keramik. Unik.

 

Selain tempatnya yang unik, selat solonya juga enak. Ada juga sih makanan yang lain, termasuk gado-gado. Tapi saya memang nawaitunya makan selat solo, jadi makanan yang lain lewat.

 

Oya, ada juga snack yang bikin kita terkenang masa kecil. Kalau saya menamainya arumanis. Teman lain bilang namanya rambut nenek. Ada juga yang bilang kembang gula. Ya, betul, gula yang diputer dengan sebuah alat yang kemudian menghasilkan serabut-serabut gula itu. Manisss, tentu saja, kayak saya kalau lagi mringis.....

 

Jakarta, 11 November 2021

Selasa, 09 November 2021

SDGs Desa


SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan komitmen global yang telah disepakati pada Sidang Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) pada September 2015. SDGs terdiri dari 17 tujuan, 169 Target dan 241 Indikator dan menjadi komitmen global untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, kualitas lingkungan hidup dan pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola untuk periode tahun 2016 sampai dengan tahun 2030. SDGs diakui sebagai produk PBB paling komprehensif, mencakup segenap aspek pembangunan yang telah dikenal manusia, dan sudah diadopsi Indonesia sejak lama sesuai Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017. SDGs merupakan kelanjutan dari MDGs (Millenium Development Goals) yang telah dilaksanakan di dunia sejak 2000-2015.

 

Sementera itu, SDGs Desa atau Pembangunan Berkelanjutan Desa, yang telah diperkenalkan oleh Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri Desa PDTT), mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2017 tentang tujuan pembangunan berkelanjutan nasional. Dalam Perpres tersebut disebutkan ada 17 tujuan pembangunan berkelanjutan nasional. Sementara SDGs Desa menambahkan satu tujuan lagi. Sehingga, SDGs Desa memiliki 18 tujuan pembangunan berkelanjutan desa.

 

Delapan Belas Tujuan SDGs Desa, adalah: 1) Desa Tanpa Kemiskinan; 2) Desa Tanpa Kelaparan; 3) Desa Sehat dan Sejahtera; 4) Pendidikan Desa Berkualitas; 5) Keterlibatan Perempuan Desa; 6) Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi; 7) Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan; 8) Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata; 9) Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan; 10) Desa Tanpa Kesenjangan; 11) Kawasan Pemukiman Desa Aman; 12) Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan; 13) Tanggap Perubahan Iklim; 14) Desa Peduli Lingkungan Laut; 15) Desa Peduli Lingkungan Darat; 16) Desa Damai Berkeadilan; 17) Kemitraan untuk Pembangunan Desa; dan 18) Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

 

Keistimewaan SDGs desa terletak pada butir ke-18. Pembangunan Desa harus berlandaskan pada kearifan lokal atau kebudayaan lokal yang ada di desa tersebut. Kementerian Desa PDTT melokalkan SDGs global ke dalam konteks desa, agar memudahkan kampanye, implementasi di lapangan dan pengorganisasian dari pusat ke desa.

 

Anda yang ingin lebih banyak memahami tentang SDGs Desa, sila kunjungi website https://www.kemendesa.go.id/.

 

Dalam rangka kampanye SDGs Desa inilah serangkaian kegiatan dilaksanakan oleh Menteri Desa PDTT, yang salah satunya berupa pembuatan video sebagai media pembelajaran/informasi/promosi. Kegiatan dilaksanakan di beberapa desa yang memiliki keunggulan atau kekhasan yang sesuai dengan goals SDGs Desa. Misalnya, kegiatan di Ranupane, Lumajang, beberapa waktu yang lalu, terkait dengan goal 18.  Sebelumnya, kegiatan di Bali, berkaitan dengan goal 11 dan 16. Yang baru-baru ini, kegiatan di Klaten dan Yogyakarta, merupakan perwujudan goal 4 dan 8. Masih ada beberapa kegiatan lain yang intinya bertujuan mempromosikan desa dengan segala potensinya sebagai perwujudan 18 goals SDGs Desa.

 

Oleh karena kegiatan ini merupakan tanggung jawab BPSDM Kemendes PDTT, maka tugas saya selain memantau kegiatan, yang utama adalah mendampingi Pak Menteri dan Ibu Menteri. Tentu saja bukan tugas yang berat dan hampir selalu membuat saya happy. Beliau berdua adalah pribadi yang humble, humoris, sekaligus penuh komitmen. Hanya saja, saya sering merasa sungkaaannnn, terutama kalau Bu Menteri sedang puasa daud. Sungkan sekali karena beliau selalu meminta saya mewakili menghabiskan makanannya. Itulah makanya mohon dimaklumi kalau semakin hari tubuh saya semakin mbodi (ombo tur gedi). Semua semata-mata demi tugas.....

 

Kemana pun saya bertugas, saya selalu berusaha bertemu dengan pendamping desa. Mereka adalah anak kandung kementerian desa, begitulah Pak Menteri selalu menyebut. Para pendamping desa yang jumlahnya sekitar 35 ribu yang tersebar di seluruh Indonesia ini merupakan garda terdepan dalam mengawal pemanfaatan dana desa. Alhamdulilah, meskipun selalu ada berbagai masalah dan kendala, kehadiran para pendamping desa diapresiasi dan sangat dibutuhkan oleh pemerintahan desa dan masyarakat desa. Pendamping desa juga sangat meringankan tugas pendataan SGDs Desa, monev Dana Desa, serta tugas-tugas lain yang berkaitan dengan bumdes, desa wisata, padat karya tunai desa, desa aman covid, dan sebagainya.

 

Demikian, sekilas SDGs Desa.....

 

Selamat Hari Sumpah Pemuda!

 

Yogyakarta, 10 November 2021

Rabu, 03 November 2021

Satu Episode di Ranupane


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 28-29 Oktober, saya ke Ranupane. Mendampingi Gus Menteri Desa PDTT dan Ibu Menteri dalam rangka pengambilan video untuk kampanye SDGs Desa. Kegiatan yang didanai oleh World Bank ini memang cukup panjang rangkaiannya. Setidaknya saya sudah mendampingi Gus Menteri yang menjadi aktor utama ini di Bali beberapa hari yang lalu, lanjut di Lumajang yang mengambil spot di Ranupane. Besok saya akan terbang ke Yogyakarta, untuk tugas yang sama, yang akan mengambil spot di Klaten dan Magelang. Minggu depannya diagendakan ke Banjarmasin, dan minggu depannya lagi di Jambi. Untuk Jambi, ada kemungkinan saya yang akan jadi aktor, eh, aktris.

 

Ranupane selalu menarik dan memberi kesan khusus pada saya. Tahun 1987, ya saya masih sangat ingat betul, tepatnya 17 Agustus 1987. Waktu itu kami, saya dan Mas Ayik Baskoro Adjie  dan beberapa teman, sepertinya termasuk sohib saya Septi Rodiyani , baru saja melaksanakan upacara 17 Agustus di Puncak Semeru. Kami berjalan menuju Bromo, saya lupa nama tempatnya dan lewat sisi mana  (saya termasuk tidak lihai mengingat nama tempat). Saat kami berjalan, di kejauhan, jauh di depan kami, kami lihat ada kebakaran. Ya, kemarau yang panjang membuat ilalang mengering. Gesekannnya menimbulkan percikan api dan terjadilah kebakaran yang cukup besar. Kami tenang saja dan terus berjalan. Lokasi kebakaran terlalu jauh dari tempat kami dan kami akan tiba di tempat aman tanpa harus berhadapan dengan api. Begitulah pikir kami semua.

 

Tapi ternyata apa yang terjadi, Saudara-saudara? Masyaallah. Tiba-tiba angin berbalik arah dan api yang awalnya menjauh dari kami begitu saja mendekat ke arah kami sesuai dengan gerakan angin. Tentu saja kami berlari. Mas Ayik dan para cowok mengomando kami para cewek untuk tetap tenang tapi harus berlali sekencang mungkin. Dan ketika kami menengok ke segala arah, ya Allah, ternyata tidak ada tempat bagi kami untuk menghindar dari kejaran api. Kami semua berhenti dengan nafas ngos-ngosan dan kepanikan yang luar biasa. Saya sendiri sudah menangis, beristighfar, bershalawat, bersyahadat, dan berpikir, benarkah saya akan berakhir di sini? Ya Allah, maafkan hamba. Bapak, Ibu, ampuni anakmu. Saya sudah sangat nanar menatap api yang semakin mendekat.

 

"Semua diam di tempat, tenang, atur nafas. Tenang. Tenang!" Mas Ayik berteriak memimpin kami semua. " Tidak ada gunanya kita berlari. Sekarang semua tenang. Pakai semua jaket. Lindungi badan sebisa mungkin. Basahi dengan sisa air. Kita menunggu api datang. Begitu api mendekat, kita lompat. Ilalang yang terbakar akan cepat padam. Kalau kita berhasil melompat dan melewati api, insyaallah kita selamat. Mari kita berdoa semua."

 

Kami berdoa sambil berurai air mata. Api semakin mendekat. Suaranya yang membakar ilalang begitu mengerikan. Ilalang di depan kami tingginya melebihi tinggi tubuh kami, dan api yang merah padam itu begitu tinggi menjulang. Kami menunggunya dengan kepasrahan total. Tak ada yang bisa menyelamatkan kami kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Melindungi. Ya Allah, selamatkan kami.

 

Begitu api mendekat, kami semua bergandeng tangan saling menguatkan. Dan.... "Allaahu Akbar..." Saya masih mendengar takbir itu, masih meneriakkan takbir itu, sebelum saya merasakan tubuh saya begitu ringan, seperti melayang, dan tiba-tiba saya tersadar dengan bagian paha dan kaki saya terasa sangat panas. Masyaalah. Saya diseret oleh Mas Ayik dan entah oleh siapa, di atas bara panas ilalang. Rupanya setelah melompat tadi, saya pingsan.

 

Allahu Akbar. Saya menangis sejadinya. Seperti tidak percaya saya masih hidup. Seketika saya sujud syukur. Juga beristighfar, bertasbih, bertahmid, berkali-kali sambil sesenggukan. Kami semua. Kami juga saling berpelukan sambil terisak-isak. Tangis haru dan bahagia karena Allah telah melindungi kami, anak-anak yang sok petualang ini.

 

Begitu kami sudah mulai tenang kembali dan sailing melihat, tawa kami pecah dan kami terbahak-bahak sampai perut sakit. Masyaallah. Wajah kami, tubuh kami, baru kami sadari, nggak karu-karuan. Maaf, sampai mirip munyuk. Debu dan jelaga tebal membalut tubuh kami sampai warna kami semua sama. Kelabu kehitaman. Bahkan separo bulu alis saya hilang dan bulu mata keriting karena panas api.

 

Ya, kejadian puluhan tahun yang lalu, tiga puluh empat tahun yang lalu.

 

Wah, lama juga ya? Berarti saya sudah tua ya? Hehe.

 

Kejadian puluhan tahun yang lalu, namun setiap kali teringat Ranupane, Bromo, Semeru, Ranugumbolo, maka peristiwa dramatis itu berkelebat lagi. Begitu jelas, bercampur-baur dengan kepanikan yang masih membekas berbalut rasa nyukur yang tiada tara. Begitu murah hatinya Dia Sang Maha  Penyayang yang masih memberi saya kesempatan untuk melanjutkan hidup. Juga, rasa syukur saya tak terukur karena ternyata orang yang menemani saya untuk melanjutkan hidup adalah dia yang dulu menyeret saya di atas bara api panas ilalang terbakar. Ya. Itulah dia. Mas Ayik, suami tercintrong. Cieeee, cieeee....

 

Dan saya kembali menginjakkan kaki ke Ranupane. Dengan kondisi Ranupane yang sudah jauh berbeda. Rumah sudah banyak, homestay sudah ada, warung di mana-mana. Masyarakat sudah jauh lebih makmur karena hasil alam dan kemampuan masyarakatnya dalam mengolah alam sangat mendukung. Bahkan ada yang juga berubah pada danau itu, sepertinya ukurannya agak mengecil, konon katanya karena ada pendangkalan. Namun dalam benak saya, kenangan episode puluhan tahun silam itu masih sangat lekat. Masih sangat membekas. Seperti kemurnian Ranupane yang masih sangat kental meski waktu menggerusnya habis-habisan.

 

Tidak hanya kondisi Ranupane saja yang sudah berubah. Kondisi saya juga tentu saja sudah sangat banyak berubah. Berat badan meningkat dengan sangat signifikan. Sudah ada anak cucu yang menyenangkan, Barrock Argashabri Adji , Yoan Lita , dan Kai Kusumoadjie. Insyaallah sebentar lagi nambah cucu lagi.

 

Meski begitu, saya masih tetap langsing, ilang singgetane... Kik kik....

 

Jakarta, 3 November 2021

Rabu, 27 Oktober 2021

Naik Bus


Saya sudah lamaaa sekali tidak naik bus. Kemarin saya dan mas Ayik Baskoro Adjie  memutuskan naik bus ke Tuban, dalam rangka memperingati 100 harinya Ibu besoknya (hari ini). Kata Mas Ayik, yang sudah beberapa kali naik bus dari Surabaya ke Tuban PP, naik bus patas nyaman, simple, ngirit. Ngirit duit, ngirit tenaga.

 

Ok, karena saya sendiri hari itu baru pulang dari Jakarta, dan capeknya belum ilang, saya setuju dengan usul Mas Ayik. Maka setelah shalat tarawih, kami diantar si ngganteng yang baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung, Barrock Argashabri Adji , ke terminal Bungurasih.

 

Syukurlah ada bus patas yang sebentar lagi berangkat. Kami langsung mengambil tempat duduk. Jaket dirapatkan karena dinginnya AC cukup menusuk. Juga siap-siap berangkat tidur. Posisi badan sudah menyandar nyaman.

 

Eh, tiba-tiba.... "Tahu sumedang, enak, fresh, silakan untuk cemilan....." Plek, plek, plek. Tahu sumedang ada di pangkuan saya. "Kaus kaki, kaus kaki, anget, anget, murah meriah...." Kaus kaki ada di pangkuan saya. Tak berapa lama tahu dan kaus kaki diambil sama penjualnya, setelah dia membagikannya dari depan ke belakang, lantas dari depan ke belakang lagi sambil  mencomoti barangnya. Begitu seterusnya, headset, buku doa, gantungan kunci, kacang goreng, lemper, lumpia....

 

Saya mulai gelisah. Bakulnya banyak yang lepas masker. Teriak-teriak dan mondar-mandir. Nggak ada prokes babar blas. Beeelllaaasss.

 

"Duh. Kalau  kayak gini kapok aku naik bus, Mas. Ngeri-ngeri sedap gini."

 

"Kalau sudah jalan nanti kan enggak....." jawab Mas Ayik.

 

"Ya iyalah, Maaassss. Mosok bakule kate meloook..."

 

Ternyata itu belum seberapa, Saudara. Muncullah seorang perempuan. Cuwantik. Rambut panjangnya terurai indah. Alisnya, matanya, bibirnya, wajahnya, semua indah, bersih dan kopen. Nampak kalau dia sering perawatan. Saya kira dia penumpang. Ternyata dia bawa gitar. Terus nyanyi. Lhah. Ternyata dia pengamen. Inilah pengamen tercantik yang saya pernah lihat. Kalau Anda penasaran pingin lihat pengamen cantik ini, datang saja ke terminal Purabaya ya. Gampang niteninya. Karena perempuan itu lagi hamil. Ya. Perutnya buncit. Jadi dengan perut buncit itulah dia menyanyi. Eh salah, menyanyinya tetap dengan mulut ya, bukan dengan perut hehe. Saya ya sakno-sakno gimana gitu. Sambil mikir, nangdi yo bojone, arek ayu dan lagi hamil kayak gini kok dibiarkan ngamen malam-malam. Duh. Sebagai sesama perempuan, saya merasa gimanaaa gitu.

 

Bakul-bakul pun terus teriak-teriak dan mondar-mandir. Sampai akhirnya bus mulai berjalan dan bakul-bakul mulai berkurang. Saya kira ketenangan akan segera saya dapatkan. Wooo, ternyata belum, Sodara. Seorang perempuan naik lagi dengan membawa gitar. Nyanyi ndangdut yang lagunya tidak saya kenal. Cantik juga. Nampak terawat juga. Saya lagi-lagi terpikir, di mana misuanya. Nduwe bojo ayu koyok ngene kok dijarne di jalanan.

 

Setelah dia turun, saya pikir selesailah sudah panggung hiburan yang bagi saya tidak menghibur ini, namun justeru menggugah keprihatinan. Bus yang berjalan pelan keluar terminal masih berharap ada tambahan penumpang. Dan betul. Ada dua orang perempuan naik. Dua-duanya agak gemuk. Dan, olala....bawa gitar juga. Mereka berdiri persis di sebelah saya. Menyanyi sambil genjreng-genjreng dengan suara yang memekakkan telinga. Oh Tuhan, benar-benar ujian kesabaran. Satunya lagi bergerak dari satu penumpang ke penumpang lain sambil menyodorkan kantung plastik wadah duit. Tentu saja tidak semua penumpang nyemplungke duit.

 

Nah, sudah begitu, setelah mereka turun, naik lagi seorang pengamen laki-laki yang, nyuwun sewu, tangannya cacat dan sepertinya mentalnya kurang sehat juga. Menyanyi dengan suara dan lagu yang bagi saya ora jelas blas tapi saya yakin itulah penampilan terbaik yang bisa dia persembahkan. Owalah, Gusti....

 

Situasi seperti ini sudah sangat sering saya hadapi, dulu. Meskipun sudah ada mobil, saya sering menumpang bus keluar kota. Saat kuliah S3 di Malang, mobil sering saya parkir di terminal, dan saya naik bus PP. Kalau duit lagi longgar, saya naik bus patas, lantas pakai taksi ke kampus UM. Kalau duit lagi cupet, saya tetap naik bus patas, tapi lanjut pakai angkot AL menuju kampus.

 

Nah, di jalanan itulah banyak saya temui romantika kehidupan. Ada banyak pelajaran. Ada banyak hikmah. Telinga saya terbiasa mendengarkan musik dari yang paling indah sampai yang paling ancur. Terbiasa mendengar tutur kata yang paling sopan dengan kromo inggil sampai yang kuwasar sak kasar-kasare plus sumpah-serapah komplit dengan pisuhannya.

 

Tapi itu bukan pada kondisi pandemi seperti ini tentu saja. It's okay. Aku rapopo. Ra maskeran yo rapopo. Ra jaga jarak yo rapopo. Bengok-bengok nang kupingku yo rapopo. Tapi lek saiki, watatattaaa....sungguh situasi kayak gitu menyiksa saya dan membuat saya prihatin bin kuwatir. Tapi aku kudhu piye?

 

Hayo, kudhu piye hayo....

 

Tuban, 29 April 2021

Senin, 25 Oktober 2021

Bali Bangkit


Belum lama saya berkunjung ke Bali, tepatnya pada 18 Agustus 2021 yang lalu. Saat itu Bali begitu sepi, tenang, hening. Pandemi sedang memberi waktu bagi Bali untuk relaksasi, kembali pada kemurniannya. Setahun lebih Bali menjadi pulau yang tenang karena pandemi. Tempat wisata tutup, hotel sepi, restoran tutup, ekonomi nyaris terpuruk. Sedih melihat Bali yang biasanya ceria dan penuh warna itu menjadi muram.

 

Tiga hari ini saya kembali berada di Bali. Bali sudah kembali bangkit. Di mana-mana ramai. Hotel-hotel penuh. Tempat-tempat makan, tempat-tempat belanja, destinasi wisata, khususnya wisata alam, kembali ramai. Banyak sektor informal yang telah benar-benar bangkit. Senang melihat Bali kembali ceria.

 

Kunjungan saya ke Bali kali ini adalah dalam rangka mendampingi Gus Menteri Desa PDTT dalam kegiatan pengambilan video untuk Kampanye Informasi SDGs Desa. Kebetulan program ini menjadi tanggung jawab BPSDM Kemendesa PDTT, sehingga saya harus mendampingi.

 

Namun sebelum kegiatan pengambilan video, kami berkesempatan mengunjungi Balai Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Denpasar. Gus Menteri membuka acara Pelatihan Pengelolaan Bumdes serta menyaksikan ekspo bumdes. Berbagai produk bumdes mulai dari bahan segar (sayur-sayuran dan buah-buahan termasuk durian), pangan olahan, kosmetik, dan berbagai aksesoris serta barang kerajinan, semua tersedia. Saya juga sempat berbelanja beberapa produk.

 

Pada kegiatan pengambilan video, liputannya melibatkan petani, kades, pendamping desa, anak sekolah, ibu-ibu PKK, ketua adat, dan sebagainya, termasuk dinas PMD. Pengambilan video dilakukan di Desa Kutuh, Kabupaten Badung. Balai Desa Kutuh, Bumdes, tempat pengolahan cabe, tempat pengolahan daur ulang limbah, adalah beberapa lokasi pengambilan video. Kami juga mendampingi Gus Menteri mengunjungi Pantai Pandawa dan Gunung Payung untuk melihat pengelolaan wisata dan melakukan dialog dengan jero (ketua adat). Gus Menteri juga berkesempatan melakukan pemberangkatan peserta funbike di Love Stone Park Pandawa.

 

Besoknya, kami menghadiri acara Business Meeting Bali yang digelar di Ballroom Hotel The Stones. Hadir pada acara tersebut antara lain Dirut PLN, Direktur Regional II dari Bappenas, Asdep pengembangan hortikultura kemenko perekonomian, dan sebagainya. Penandatanganan MoU dilakukan antara pelaku usaha dengan pihak pemerintah terkait serta pihak-pihak lain di dalam dan luar negeri. Pada intinya, kemitraan dibangun dengan tujuan menghubungkan pelaku usaha lokal dan pasar, eksportir, dan sebagainya, untuk pemulihan Bali pasca pandemi.

 

Pada kesempatan ini, Gus Menteri juga meluncurkan buku kuliner Bani Aga, yang merupakan catatan tentang resep-resep lokal Bali. Semoga saya bisa memperoleh bukunya. Doakan ya.

 

Kami juga mengunjungi Desa Panglipuran di Kabupaten Bangli. Desa ini sangat cantik, bersih, murni, ramah. Kalau ingin tahu seperti apa desa yang menjadi destinasi wisata yang laris ini, silakan googling. Salah satunya bisa baca di sini: https://www.rentalmobilbali.net/penglipuran-bali/

 

Di antara agenda yang padat selama tiga hari itu, saya bisa menyempatkan diri bertemu dengan tenaga pendamping profesional (TPP) Provinsi dan Kabupaten. Ini merupakan agenda wajib di setiap kunjungan saya di mana pun.

 

Nah, ada selingan yang menarik. Sesi pemotretan. Bu Menteri Desa PDTT, hobi berfoto. Karena yang selalu ada di dekat beliau adalah saya, maka berkali-kali saya diajak berfoto. Dengan berbagai pose. Manut sajalah saya. Sekalian belajar jadi foto model. Model yang modal-madul. Hehe.

 

Denpasar, 22-24 Oktober 2021

Rabu, 20 Oktober 2021

Gernas BBI


Tanggal 12 Oktober kemarin, kami menghadiri Peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Acara digelar di Convention Hall Samarinda, dengan penerapan prokes ketat. Meskipun dihadiri oleh beberapa kementerian dan lembaga serta dunia usaha/dunia industri, physical distancing sangat terjaga di dalam ruangan gedung. Tidak semua orang diperbolehkan masuk. Hanya menteri dan para pejabat. Ajudan dan sespri tidak semua diperbolehkan masuk.

 

Acara sungguh apik, lancar, membanggakan. Kita punya banyak potensi, baik produk maupun layanan, yang luar biasa. Karya anak bangsa yang sangat berharga. Fashion, aksesories, kuliner, dan sebagainya, yang dihasilkan oleh UMKM dan Bumdes yang sungguh bernilai. Sebagian bahkan sudah diekspor ke mancanegara.

Btw, busana yang saya pakai itu juga karya butik Hesandra Indonesia, Samarinda. Agak kebesaran sedikit, dan sedikit agak kebesaran. Hehe. Maklum, belinya mendadak, lampu mati lagi. Ceritanya, karena kami semua yang akan menghadiri acara dihimbau untuk berbusana batik Kalimantan Timur, dan baju batik Kaltim saya ada di Surabaya, maka malam itu kami membeli baju secara mendadak. Dalam guyuran gerimis dan listrik yang padam.

Memang agak kebesaran. Tapi ternyata itu menginspirasi beberapa teman untuk juga membeli busana batik Kaltim di toko yang sama. Endorse.....endorse.....

 

Siang setelah acara, kami juga berkesempatan mengunjungi bumdes di desa Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara. Produk bumdes juga menarik, khususnya kerajinan yang dibuat dari limbah batubara. Kami sempat membelinya, berupa selusin piring anyaman.

Nah, busana batik yang saya kenakan bukanlah batik Kaltim. Tetapi dijamin buatan Indonesia. Pemiliknya adalah anak muda yang inspiratif, namanya Raden Mas Setiawan . Nama batiknya adalah Batik Wistara. Saya punya beberapa baju dari Batik Wistara ini. Nyaman dipakai. Adem.

 

Oya, saya sempat ketemu juga dengan Susiloning Mila Wati . Bu Guru yang dulu adalah mahasiswa Tata Boga. Anaknya lengket sama saya karena saya dikira mbah-nya. Kami sempat menikmati view di malam hari di Panorama Kafe. Juga menikmati kuliner kepiting asap yang kesohor itu. Semua adalah buatan Indonesia.

Mila, terima kasih pijitannya ya. Jangan kapok, kapan-kapan diulang lagi. Numan.

 

#GERAKANNASIONAL

#BanggaBuatanIndonesia

Jumat, 15 Oktober 2021

Ambon Manise


Ambon menjadi kota yang memiliki banyak kenangan untuk saya. Meskipun saya tidak sering ke Ambon--ini adalah kali ketiga saya mengunjungi Ambon--namun Ambon selalu mampu membangkitkan ingatan saya bertahun-tahun yang lalu. Ingatan yang membanggakan sekaligus memprihatinkan, yang menyenangkan sekaligus memilukan. Semua catatan tersebut sudah saya rekam dalam website saya www.luthfiyah.com. Antara lain kisah saat berlayar bersama Marsela yang sungguh merupakan pengalaman yang luar biasa. Sila baca di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-10-berlayar-bersama-marsela.html?m=1 dan juga di http://www.luthfiyah.com/2013/04/mbd-11-semalam-di-marsela.html?m=1. Juga kisah yang sangat memilukan yang Anda bisa baca di http://www.luthfiyah.com/2015/04/kabar-duka-dari-mbd-1-kapal-tenggelam.html?m=1.

 

By the way, Nanda Okkyanti , Ratri Seto Karyaning Utami , Mudho Sasono , Noval Dwi Cahyono , dkk, apa kabar kalian? Bayangan kalian berkelebat-kelebat dalam benak saya nih. 

 

Kunjungan saya ke Ambon kali ini dalam rangka melakukan penandatangan perjanjian kerja bersama antara BPSDM Kemendes PDTT dengan Universitas Pattimura (Unpatti) dan juga dengan Balai Pelatihan Perikanan Ambon. Selain itu juga dalam rangka pengambilan gambar untuk promosi program akademi desa serta--sebagai agenda wajb--adalah bertemu dengan para pendamping desa.

 

Ambon yang disebut sebagai City of Music ini sebagian besar wilayahnya adalah lautan. Daratannya tidak lebih dari 30%. Maka di mana-mana, bahkan sejak menjelang pesawat kita mendarat, kita sudah bisa melihat bentangan laut yang berpadu dengan bukit serta jajaran rumah di beberapa titik garis pantai. Indah.

 

Sebagai wilayah maritim, hasil laut melimpah. Ikan, udang, cumi, yang berkualitas tinggi, sangat mudah kita dapatkan di pasar tradisional sampai di meja makan di rumah-rumah dan restoran. Menu hasil laut biasanya dipadukan dengan oseng sayuran seperti kangkung--seringkali dicampur dengan bunga pepaya--dan ca wortel, sawi, jamur yang diolah ala chinese food. Yang terakhir ini pasti karena memang pengaruh budaya kuliner China. Beragam sambal melengkapi semuanya, dan yang paling saya suka adalah sambal mangganya.

 

Salah satu menu favorit saya adalah papeda dan ikan kuah kuning. Saya tidak tahu, sejak pertama kali mengenal papeda bertahun-tahun yang lalu di Papua, tepatnya di Kabupaten Sarmi, saya jatuh cinta begitu saja dengan makanan pokok yang terksturnya lembut itu. Dipadukan dengan ikan kuah kuning yang bercita rasa asin dan asam, hidangan ini terasa begitu pas di lidah saya yang pada dasarnya sembarang doyan.

 

Hidangan lain yang juga menjadi favorit saya adalah gorengan ubi, pisang, singkong, yang cara makannya selalu dicocol dengan sambal. Kalau yang ini, tidak hanya bisa kita dapatkan di wilayah timur saja. Di Kalimantan juga sangat lazim gorengan dinikmati dengan cocolan sambal. Halo mas Dani Anto , bu Novita Carolina Supriadi Himakpa , dkk, jadi ingat kalian nih. Mungkin seperti di Madura juga, yang menikmati ubi-ubian, juga kerupuk ubi, yang dicocol dengan petis.

 

Satu lagi yang saya suka setiap kali berkunjung ke mana pun, adalah kelapa muda. Di Ambon, juga di banyak tempat di Tanah Air, kelapa muda berlimpah. Sepanjang pantainya banyak ditumbuhi pohon kelapa. Di mana pun kita membeli kelapa muda, maka kita benar-benar mendapatkan kelapa muda yang ranum dan segar. Bisa disajikan utuh atau dalam gelas. Kalau saya lebih suka disajikan dalam gelas. Tidak repot.

 

Nah, satu lagi. Kalau ini menjadi makanan favorit banyak orang. The most wanted deh. Durian. Saya sendiri heran, mengapa buah satu ini begitu dielu-elukan keberadaannya. Padahal menurut saya, dia itu memang istimewa. He he. Rasanya yang legit, aromanya yang harum, dan di beberapa tempat, harganya yang mahal, membuat durian menjadi buah primadona. Kami biasanya 'dilulu' oleh teman-teman yang kami kunjungi. Durian yang berkualitas wahid disediakan banyak-banyak, dan kami dikompori untuk makan sepuas-puasnya. Kami yang penyuka durian ini menikmatinya dengan sepenuh hati sekaligus dengan penuh kewaspadaan. Kami tahu durian adalah simalakama. Dalam setiap gigitan mengandung ancaman. Bahkan karena begitu jahatnya durian, beberapa teman kami yang sesungguhnya adalah maniak durian, sudah tidak mau lagi menyentuhnya sama sekali. Yang saya herankan, merekalah yang justeru mengiming-ngimingi kami. "Ibu, kami sudah sediakan durian untuk Ibu dan kawan-kawan. Durian di sini beda, Bu. Ibu bisa buktikan nanti." Begitulah kalimat bujuk rayu yang sering saya dengar. Di mana-mana. Untunglah saya orang yang tabah. Tidak mudah tertipu oleh bujuk rayu. Maka selama saya menikmati durian, saya selalu mengaktifkan alarm kesadaran saya dengan kewaspadaan penuh. Saya berdoa semoga Allah selalu menjaga saya dengan ketabahan dan kesehatan. Amiin. Hehe.

 

Oya, ada satu lagi sebenarnya yang juga khas di Ambon. Rujak natsepa. Ya, di Papua juga ada. Saya menikmatinya di Papua beberapa waktu yang lalu. Saya tidak sempat menikmatinya di

Ambon karena agenda sangat padat dan sudah terlalu banyak kuliner yang disajikan. Rujak yang bahan dasarnya buah-buahan ini hampir sama dengan yang kita kenal di Jawa. Bahkan sambal rujaknya pun hampir sama, bedanya hanya porsinya yang jauh lebih banyak. Saking banyaknya sampai buah-buahnya tenggelam semua dalam sambal.

 

Baiklah, ini adalah sekelumit kisah tentang Ambon. Dan karena Ambon adalah kota  musik, maka menyanyi juga seperti menjadi menu utama dalam setiap pertemuan, khususnya saat gathering makan malam. Saya dengan bakat terpendam saya pun, akhirnya harus ikut menyumbangkan lagu, dalam arti yang sebenarnya, membuat lagu menjadi sumbang. Sudah saya jelaskan kalau saya memang memiliki bakat terpendam, tapi terpendamnya terlalu dalam sehingga susah digali, teman-teman tetap meminta saya menyanyi. Maka menyanyilah saya dengan suara cempreng saya tanpa merasa berdosa.....

 

Ambon, 20-21 Oktober 2021