Oleh: Luthfiyah Nurlaela
Dalam
kehidupan kita, ilmu menjadi bagian penting yang tak terpisahkan. Sejak zaman
dahulu, bahkan sejak manusia pertama diciptakan, kita selalu berusaha mencari
ilmu. Nenek moyang kita mampu bertahan hidup dan memecahkan berbagai persoalan
kehidupan karena belajar dari pengalaman demi pengalaman. Pengalaman tersebut yang
kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, dan berkembang menjadi
pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Di
sekitar kita, mungkin termasuk kita, banyak orang berusaha menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Bahkan tidak
puas hanya sampai lulus S1, S2, S3, beberapa dari mereka mengambil program postdoc atau
program lain yang sejenis. Para santri tidak cukup belajar pada satu pondok
pesantren, seringkali mereka merasa perlu berpindah ke pondok pesantren yang
lain. Atau setidaknya belajar dari satu kyai ke kyai yang lain.
Begitulah. Apakah yang sesungguhnya sedang
mereka dan kita cari? Ya, mestinya, mereka atau
kita sedang mencari ilmu.
Saya teringat pada salah satu mantan mahasiswa saya. Dia kuliah di S2.
Seorang guru SMK swasta. Saat menjadi mahasiwa baru S2,
usianya sekitar 36 tahun. Dia berharap bisa lulus secepatnya, lantas bisa menjadi
dosen. Tetapi ternyata, perjalanan studinya tidak semulus yang dia bayangkan,
karena berbagai kendala. Kemudian dia bertanya pada saya. “Bu, sepertinya saya
tidak bisa lulus tepat waktu. Padahal keputusan saya untuk mengambil S2 ini
karena kalau lulus, saya ingin mendaftar jadi dosen. Saya mengejar lulus
sebelum usia 40, karena salah satu syarat mendaftar, usia maksimal 40. Tapi sepertinya saya tidak “nutut”. Apa saya keluar
saja ya Bu? Tidak usah lanjut kuliah?”
Saya spontan bertanya. “Tujuan Anda kuliah itu apa?”. “Ya mencari ilmu dan
sekaligus cari ijazah, Bu. Biar bisa saya pakai untuk mendaftar jadi dosen.”
Begitu jawabnya. “Kembalilah pada niat pertama, mencari ilmu. Insyaallah Gusti
Allah akan menata hidup Anda dengan baik, meskipun Anda tidak jadi dosen.
Percayalah. Anda akan tetap bisa memberikan manfaat
dengan ilmu Anda.”
Saya percaya dengan saran saya itu karena saya meyakini mencari ilmu itu
wajib bagi setiap orang. Tentunya ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat
adalah ilmu yang bisa kita amalkan, berguna bagi keluarga, dan memberi
kemaslahatan pada orang banyak. Ilmu yang bisa kita dedikasikan bagi kehidupan.
Tidak sekadar mengantarkan kita pada pekerjaan yang baik, meskipun hal tersebut-tidak
kita pungkiri-bisa saja menjadi
tujuan banyak orang. Dan itu baik saja.
Namun
apa pun pekerjaan kita, sesungguhnya semuanya adalah dalam rangka memberikan
kemanfaatan pada keluarga, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Memberikan
kontribusi bagi kehidupan.
Dari tinjauan filsafat
aksiologi, ilmu seharusnya memiliki nilai guna. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika. Makna etika memiliki dua arti. Pertama, merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia. Kedua, suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lain.
Nilai
bisa bersifat objektif maupun subjektif. Nilai dikatakan objektif jika tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran orang yang menilai. Tolak ukurnya berada
pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak
tergantung pada kebenaran menurut individu atau penilainya, melainkan pada
objektivitas fakta. Sedangkan nilai menjadi subjektif, bila subjek berperan
dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Nilai
subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia,
seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau
tidak senang.
Berkenaan
dengan nilai guna ilmu, tak dapat dipungkiri, ilmu itu sangat berguna atau
bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Francis Bacon sebagaimana dikutip oleh
Jujun.S.Suriasumatri (1996), menemukakan bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”.
Kekuasaan dalam hal ini bisa bermakna kebaikan atau keburukan. Ilmu (juga
teknologi) telah banyak mengubah wajah dunia. Memberikan kemudahan-kemudahan dalam
berbagai segi kehidupan. Memberi pencerahan bagi manusia untuk dapat menguak
tabir fenomena alam dan melakukan prediksi-prediksi. Memberi kemampuan pada
manusia untuk melakukan antisipasi-antisipasi. Dengan begitu manusia bisa
mengendalikan alam, mengelolanya, memanfaatkannya seoptimal mungkin bagi
kemaslahatan umat. Dengan ilmu juga, manusia dapat memperpendek dan mempermudah proses
pencapaian kebutuhan hidupnya. Ilmu juga telah membantu kehidupan manusia dalam
hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan, serta
keterbelakangan peradaban. Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan
kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan
lain sebagainya. Singkatnya, ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan dan kesejateraan.
Namun,
apakah semua ilmu dan teknologi memberikan kemaslahatan bagi umat manusia?
Bagaimana dengan kerusakan-kerusakan yang telah terjadi selama ini di muka
bumi? Malapetaka yang disebabkan oleh bom atom, misalnya? Atau terjadinya
berbagai tindakan yang tidak manusia seperti teror dengan bom bunuh diri,
aborsi, pemalsuan obat, pemalsuan makanan, pemalsuan kosmetik, dan sebagainya.
Bukankah itu semua dilakukan oleh orang-orang yang berilmu? Lantas, adakah yang
salah dengan ilmu itu sendiri?
Dalam
lingkungan akademik, berbagai tindakan yang tidak elok juga sering terjadi.
Praktik plagiasi, fabrikasi data, gratifikasi, melalaikan tugas, hanyalah beberapa
contoh. Apakah pelakuknya bukan orang yang berilmu?
Manusia yang berilmu adalah manusia yang memiliki otoritas dalam
bidang keilmuannya. Dialah pemilik kekuasaan. Dia bisa menggunakan untuk apa
saja ilmu yang dimilikinya, apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan. Bukan
salah ilmu bila dia digunakan untuk kebaikan atau keburukan. Ilmu bersifat
netral pada bagian epistemologi dan ontologi, sedangkan pada tingkat aksiologi,
ilmu terikat dengan nilai-nilai. Bagaimana pun, ilmu tidak mengenal baik atau
buruk. Pemiliknyalah yang bisa menjadikan ilmu itu untuk kebaikan atau
keburukan.
Inilah pentingnya mendudukkan ilmu secara
proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusian. Jika ilmu
tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan
malapetaka. Dengan demikian, dalam memanfaatkan atau menggunakan ilmu,
hendaknya kita berlandaskan kepada moral.
Dengan demikian, semuanya kembali kepada kita sebagai pemilik
ilmu. Tentu kita semua berharap, ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang
bermanfaat, bagi kehidupan, di dunia dan di akhirat kelak.
Surabaya, 1 November 2020