Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Rabu, 30 Maret 2022

Lagi, RPL Desa


Dua hari ini, gaung RPL Desa begitu menggema, setelah pembukaan dan peluncuran oleh Menteri Desa PDTT, dibarengi dengan kuliah umum oleh Bupati Bojonegoro. Pembukaan dan kuliah umum RPL Desa di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dilaksanakan pada 29 Maret 2022, diikuti oleh sebanyak 457 mahasiswa. Sedangkan pembukaan dan kuliah umum RPL Desa di Universitas Negeri Surabaya yang diikuti oleh 619 mahasiswa dilaksanakan pada 30 Maret 2022. Para mahasiswa tersebut bergabung pada lima prodi penyelenggaran jalur RPL, yaitu Administrasi Negara, Manajemen, Sosiologi, Akuntansi, dan Pendidikan Luar Sekolah.

 

Pada kesempatan ini juga, Menteri Desa PDTT menyerahkan piagam penghargaan pada Bupati Bojonegoro sebagai bupati pertma yang menyelenggarakan beasiswa RPL dan pemberdayaan masyarakat desa. Rektor UNY dan Rektor Uesa juga menerima piagam penghargaan dari Menteri Desa PDTT sebagai perguruan tinggi penyelenggara RPL Desa.

 

Konsep RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) sebenarnya telah lama ada, khususnya di luar negeri. Selama lebih dari seabad, University of London telah memberikan layanan ujian terbuka untuk penilaian semacam ini. Para siswa belajar secara pribadi atau mengikuti kelas-kelas di lembaga pendidikan, namun hal tersebut jarang dijadikan sebagai persyaratan untuk mengikuti proses penilaian pembelajaran lampau. Hanya berdasarkan pengalaman, seseorang dapat mengikuti ujian dan dinilai kemampuannya. Di dunia internasional, RPL atau Recognition of Prior Learning diartikan sebagai “the process of recording of achievements of individuals arising from any kind of learning in any environment: the process aims to make visible an individual’s knowledge and skills so that they can combine and build on learning achieved and be rewarded for it”.

 

Pada prakteknya, pendekatan yang paling umum digunakan untuk penilaian hasil pembelajaran lampau adalah pendekatan portofolio. Pendekatan ini memaknai pengalaman memiliki arti yang beragam. Yang terpenting adalah apa yang telah dipelajari dari pengalaman, bukan apa pengalaman tersebut. Bagaimana pun, tentang apa yang telah dipelajari dari pengalaman, harus dibuktikan, dan inilah fungsi portofolio, sebagai bukti dari pengalaman.

 

Berdasarkan portofolio inilah program RPL Desa di UNY dan Unesa, yang digagas oleh Kemendes PDTT dan didukung oleh Pemda Bojonogoro, dilaksanakan. Para mahasiswa yang terdiri dari kepala desa, perangkat desa, pengelola bumdesa/bumdesma, tenaga pendamping profesional (TPP), kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD), anggota badan permusyawaratan desa (BPD), dan para pegiat desa yang lain, adalah mereka yang sudah lolos penilaian portofolionya.

 

Dokumen portofolio mereka antara lain meliputi surat keterangan, surat tugas, dan atau bukti-bukti lain yang  terkait dengan tugas pemerintahan, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat; Ijazah dan atau transkip nilai (khusus bagi calon mahasiswa yang putus kuliah untuk transfer kredit); dan daftar riwayat pekerjaan dengan rincian tugas yang dilakukan. Selain itu juga sertifikat kompetensi, keanggotaan asosiasi profesi yang relevan, piagam penghargaan, dan dokumen lain yang mendukung. Dokumen portofolio yang tidak relevan tentu tidak akan dinilai, karena pengakuan pada jenis pengalaman atau pembelajaran lampau yang tidak sesuai justeru akan menyebabkan inefficiency pada proses pendidikan melalui RPL.

 

Hal ini sangat relevan sebagaimana yang disarankan Evans (1987, 1992) bahwa ada empat tahap pendekatan pada sistem RPL. Yang pertama adalah refeksi sistematis atas pengalaman belajar yang signifikan. Evans menggambarkan tahap ini sebagai latihan curah pendapat (brainstorming). Identifikasi belajar yang dignifikan dinyatakan dalam pernyataan yang tepat tentang kepemilikan pengetahuan dan keterampilan. Pada umumnya, kategori pengetahuan atau keterampilan yang dapat digunakan dalam proses identifikasi ini adalah penanganan informasi, analisis, membaca, menulis, dan sebagainya. Yang kedua, sintesis bukti untuk mendukung pernyataan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Hal ini memerlukan pemeriksaan rinci terhadap bukti pendukung bahwa yang seseorang telah belajar, dan inilah yang dibuktikan dalam bentuk portofolio. Ketiga, penilaian akreditasi. Hal ini dimulai dengan penilaian diri, bertujuan untuk mengarahkan pada calon mahasiswa untuk menggunakan bukti pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Penilaian kemudian dilakukan oleh lembaga pendidikan yang terkait (Santoso, M, dkk, 2015).

 

Berdasarkan dokumen portofolio inilah tim asesmen UNY dan Unesa melakukan penilaian. Seteleh melalui proses penilaian yang cukup panjang, diskusi-diskusi untuk penyamaan persepsi dalam rangka menjaga validitas, objektivitas, dan akuntabilitas, diperoleh hasil sekitar 50% atau 70 sks yang dapat direkognisi. Berdasarkan hal tersebut, maka masa studi mahasiswa program RPL Desa ini ditentukan selama empat semester atau dua tahun. Untuk memastikan proses pembelajaran tetap berkualitas dengan masa studi yang tepat, maka program juga akan memanfaatkan perkuliahan pada semester pendek dan memberlakukan on going recognition.

 

Pendekatan tersebut tentulah sangat bermakna dalam mengembangkan kompetensi mahasiswa RPL Desa. Mereka belajar dalam konteks yang sangat alamiah, dengan masalah-masalah yang ada di sekitar mereka, yang bersumber dari desa masing-masing, menjadi bahan untuk belajar berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Model pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), pembelajaran penemuan (discovery/inquiry learning), dan model pembelajaran kreatif dan inovatif yang lain, akan menjadi warna yang sangat dominan dalam perkuliahan RPL Desa. Dengan demikian dapat diharapkan, RPL Desa akan mampu meningkatkan kompetensi para mahasiswa dengan kemampuan akademis yang sangat bermanfaat dalam memecahkan permasalahan sesuai konteks desa. RPL Desa akan memberikan kontribusi yang nyata pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. RPL Desa akan memberikan kontribusi yang signifikan pada indeks pembangunan manusia khususnya di Kabupaten Bojonegoro. Juga akan memberikan kontribusi yang positif pada pencapaian tujuan-tujuan dalam SDGs Desa.

 

Sebagai sebuah program yang khas, yang merupakan kerjasama antara Kemendes PDTT, Kabupaten Bojonegoro, UNY dan Unesa, maka program akan terus dikawal bersama. Dimulai dari proses rekrutmen, perkuliahan, tugas akhir, sampai pada yudicium/wisuda dan pasca perkuliahan, semua pihak akan terus bersama-sama mengawal. Pihak kemendes PDTT dan Kabupaten Bojonegoro akan terlibat dalam perkuliahan sebagai dosen tamu. Juga akan terlibat dalam pelaksanaan tugas mahasiswa sebagai penyedia data dan narasumber. Pada pelaksanaan tugas akhir berupa penulisan skripsi dan artikel publikasi, pihak Kemendes PDTT dan Kabupaten Bojonegoro akan terlibat sebagai penyedia data dan konsultan. Bila dimungkikan secara kebijakan dan pertimbangan akademis, pihak Kemendes PDTT dan Kabupaten Bojonegoro akan terlibat sebagai penguji ekternal skripsi mahasiswa dan penulisan artikel publikasi.

 

Program RPL Desa menjadi program yang sangat bermanfaat manakala program dikelola dengan tetap menegakkan penjaminan mutu sesuai dengan standar. Selain itu, prinsip legalitas, aksesibilitas, kesetaraan pengakuan, transparan, juga harus diimplementasikan dengan sebaik-baiknya.

 

Harapannya kemudian adalah, para mahasiswa RPL Desa benar-benar dapat memanfaatkan kesempatan emas ini sebaik-baiknya. Menjalani setiap proses dan tahap perkuliahan dengan penuh kesungguhan dan keteguhan. Tuntutan antara belajar dan bekerja menjadi sesuatu yang sama-sama harus diprioritaskan. Perlu energi ekstra untuk memastikan keduanya dapat seiring sejalan. Harus selalu diingat, bahwa kesempatan ini adalah sebuah amanah, yang harus dipertanggungjawabkan sebagai pribadi, selaku pegiat desa, dan sebagai pejuang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

 

Selamat berjuang. Semoga Allah SWT meridhai.

 

Surabaya, 31 Maret 2022

 

Luthfiyah Nurlaela

Kepala BPSDM Kemendes PDTT

Minggu, 20 Maret 2022

BERKHIDMAT PADA FORUM


Weekend ini, 18-20 Maret 2022 saya berada di Yogyakarta. Yogya, dikenal sebagai kota pelajar, kota wisata, kota bakpia, dan kota gudeg. Untuk dua sebutan yang terakhir itu, sepertinya menjadi menu wajib bagi siapa saja yang berkunjung ke Yogya, khususnya saya sekeluarga.

Agenda Yogya kali ini adalah dalam rangka mengikuti Kongres Nasional Forum Program Studi Pendidikan Tata Boga Indonesia (FPS-PTBI) 2022. Forum ini merupakan himpunan program studi dan dosen Pendidikan Tata Boga di seluruh Indonesia. Didirikan sejak 2018, forum beranggotakan sekitar 150 dosen dari 15 universitas  yang memiliki program studi Pendidikan Tata Boga. Lima belas universitas tersebut adalah Universitas Negeri Surabaya  (Unesa), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh, Universitas Negeri Manado (Unima), Universitas Pendidikan  Ganesha (Undiksha), Universitas PGRI Adibuana (UNIPA) Surabaya, Universitas Sarjana wiyata Taman Siswa (UST) Yogyakarta,   dan Universitas Dhyana Pura (Undhira) Bali.

 

Agenda forum yang utama adalah pertanggungjawaban pengurus periode 2018-2022, dan pemilihan pengurus periode 2022-2024. Selain itu juga penyusunan rancangan kerja sama antar program studi untuk implementasi kurikulum merdeka belajar dan kampus merdeka (MBKM). Forum dihadiri oleh sekitar lima puluh orang perwakilan dari tiga belas universitas. Unima dan Undhira absen.

 

Saya sebagai ketua forum, dan bendahara, Prof. Mutiara Nugraheni , menyampaikan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan. Tentu saja didampingi sekretaris forum, Dr. Ai Nurhayati dan ketua sie kesekretariatan Nugrahani Astuti , S.Pd., M.Pd. Tidak Banyak yang sudah dihasilkan forum dalam periode pertama di bawah kepemimpinan kami. Beberapa yang mungkin bisa dianggap sebagai prestasi adalah dihasilkannya kurikulum nasional program studi Pendidikan Tata boga, MoU dengan UiTM MARA Malaysia, dan international joint conference yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Selain itu juga website forum yang menyajikan profil forum dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan, meski website tersebut masih sangat "kurang gizi".

 

Tentang kurikulum nasional, kurikulum itu kami hasilkan dengan proses yang cukup panjang, mulai dari pembahasan awal, penyusunan draft kurikulum, reviu internal, reviu eksternal, dan finalisasi. Kurikulum akhirnya bisa disyahkan dan digunakan pada pertengahan 2020, dengan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan dinamika kurikulum yang berlaku, termasuk kurikulum MBKM.

 

Tentang international joint conference, sebetulnya cikal-bakalnya adalah the 1st iconhomecs (international conference on home economics) yang diselenggarakan pada 2017 oleh jurusan PKK Unesa. UM, UNY, dan UNIPA sebagai co-host. Itulah konferensi internasional pertama yang diselengarakan oleh PKK Unesa, sebagai pengganti seminar nasional Bosaris (boga, busana, rias) yang merupakan agenda tahunan. Pada the 1st iconhomecs tersebut, kebetulan saya ditugasi sebagai ketuanya, dan bagi saya, hal ini benar-benar menjadi ajang belajar utk mengorganisasi event internasional.

 

The 2nd iconhomecs kemudian dilaksankan di UM, dengan Unesa, UNY, UNIPA, dan beberapa perguruan tinggi anggota FPS-PTBI lainnya sebagai co-host. Pada saat itu, salah satu narasumbernya dari UiTM MARA Sarawak, Malaysia. Setelah konferensi, kami tetap terhubung dengan UiTM MARA dan bahkan merancang international joint conference, dengan menggabungkan event international conference kami. Singkat kata, akhirnya kami bisa menyelenggarakan IJCHT-21 (International Joint Conference on Hotel and Tourism-2021). UiTM Mara sebagai host, dan FPS-PTBI, Unesa, UNP, sebagai co-host. Co-host yang lain adalah NIDA Thailand, Chanakkale Onzekis Mart Turkey University,  University of South Florida USA, Association of North America Higher Education International, dan TROAS International  Tourism Research Association.  Sayang sekali, konferensi yang awalnya dirancang diselenggarakan secara offline di Sarawak, harus diganti dengan full online karena pandemi. Namun begitu, konferensi sangat sukses dengan sekitar 300 peserta pemakalah, dan artikel dimuat di beberapa jurnal international serta prosiding.

 


Tahun ini, IJCHT-2022 akan diselenggarakan dengan host Undiksha, dan co-host setidaknya sama dengan tahun sebelumnya, dengan jejaring dalam dan luar negeri. Berharap pandemi semakin melandai, dan konferensi bisa diselenggarakan secara offline. Bila ini terjadi, maka Bali akan dikunjungi ratusan akademisi mancanegara yang sekaligus akan berwisata di pulau impian para turis itu.

 

FPS-PTBI dalam usia mudanya, memang harus lebih giat berjuang dalam mengembangkan program kerjanya yang lebih visible. Sebagai sebuah forum program studi, kerja sama dengan asosiasi serta berbagai institusi di dalam dan di luar negeri harus terus dibangun. Peningkatan kompetensi dosen juga harus menjadi perhatian khusus. Begitu juga dengan kerjasama dalam melaksankan MBKM, yang memang mengharuskan adanya sinergi yang kuat antar prodi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam kongres FPS-PTBI juga dilakukan perancangan  penandatanganan implementation of agreement (IA) antar prodi anggota forum.

 

Pertanggung jawaban pengurus periode pertama diterima sepenuhnya oleh anggota forum. Meskipun harus secara jujur diakui bahwa target pencapaian program masih sangat minim, namun apresiasi dari dewan pakar dan juga para anggota sangat positif. Bagaimana pun, setidaknya sudah ada legacy yang dapat menjadi bekal bagi kepengurusan selanjutnya.

 

Forum juga menyelenggarakan pemilihan ketua dan pengurus periode kedua. Sebagaimana periode pertama, di mana ketua dipilih secara aklamasi, begitu jugalah yang terjadi pada periode kedua ini. Kembali saya diamanahi untuk memimpin forum. Segala alasan penolakan saya tidak diterima. Maka dengan sepenuh kerelaaan, saya harus menerima, dan kembali melanjutkan khidmat saya untuk FPS-PTBI.

 

Pengurus forum yang baru terbentuk dikukuhkan oleh Dekan FT UNY, Prof. Herman Dwi Surjono  , M.Sc., pH.D. Beliau menyampaikan apresiasinya atas pencapaian periode pertama, dan berharap forum bisa lebih meningkatkan perannya dalam mengembangkan program studi pendidikan Tata boga di seluruh Indonesia. Setelah sambutan Dekan FT UNY, Dr. Wagiran dari UNY juga hadir memperkaya wawasan tentang implementasi MBKM.

 

Terima kasih pada Prof Kokom Komariah , Ibu Ari Fadiati, seluruh panitia dari UNY, dan juga semua bapak ibu anggota forum.

 

Semoga Allah SWT memudahkan, memberikan kemanfaatan dan kemaslahatan. Amiin.

 

Yogyakarta, 20 Maret 2022.

Kamis, 17 Februari 2022

RPL untuk Desa


Rekognisi Pembelajaran Lampau atau RPL adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal atau nonformal atau informal, dan/atau pengalaman kerja ke dalam pendidikan formal. Hal ini berkaitan dengan Peraturan Meteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 73 tahun 2013 tentang penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) bidang Pendidikan Tinggi, yang merupakan bukti bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat. Kebijakan ini sangat penting mengingat masih rendahnya angka partisipasi kasar pada tingkat pendidikan tinggi. Peraturan tentang RPL kemudian direvisi dengan terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 tahun 2016 tentang RPL.

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2020, Kementerian Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembangunan desa dan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, percepatan pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi. Salah satu fungsi Kemendesa PDTT adalah melaksanakan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pemberdayaan masyarakat desa.

Berdasarkan data Kemendesa PDTT tahun 2019, mayoritas pendidikan tertinggi masyarakat desa adalah lulusan SD, sementara di daerah perkotaan lebih banyak didominasi oleh lulusan SMA/MA. Selanjutnya, data tentang kualifikasi pendidikan kepala desa dan perangkat desa meliputi 44.767 kepala desa, 46.983 sekretaris desa, 31.147 pengurus BUM Desa, dan 8.241 pendamping desa adalah lulusan SLTA. Dengan demikian, kurang lebih ada 131.138 potensi di desa yang perlu ditingkatkan pendidikannya ke program Sarjana (S1). Juga terdapat 19.441 kepala desa, 24.470 sekretaris desa, 15.477 pengurus BUM Desa, dan 26.977 pendamping desa adalah lulusan S1/D4, sehingga kurang lebih ada 86.365 orang yang perlu ditingkatkan pendidikannya ke program Pascasarjana (S2).



Kondisi tersebut mendorong Kementerian Desa PDTT menggagas program RPL untuk Desa. Program ini merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman Bersama (MoU) antara Kemendesa PDTT, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Juga merupakan implementasi dari kerja sama antara Kemenedesa PDTT dan Forum Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides).

Dengan demikian, RPL untuk Desa merupakan program yang disiapkan oleh Kementerian Desa PDTT bersinergi dengan Perguruan Tinggi untuk Desa (Pertides). Program ini memberikan fasilitasi pada kepala desa dan perangkat desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Tenaga Pendamping Profesional (TPP), Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Pengurus BUMDesa/BUMDes Bersama, Pengurus Lembaga Kemasyarakatan Desa/Lembaga Adat Desa, untuk menempuh pendidikan lanjut pada jenjang S1/D4 dan S2 melalui skema RPL. 

 

Persiapan RPL untuk Desa

Saat ini, persiapan RPL untuk Desa masih pada tahap koordinasi/ konsolidasi dengan berbagai pihak yang terlibat, yaitu pemerintah provinsi/kabupaten, perusahaan, filantropi, dan juga perguruan tinggi. Pemahaman tentang apa itu RPL, bagaimana rekrutmennya, bagaimana pelaksanaannya, bagaimana pembiayaanya, bagaimana penjaminan mutunya, dan bagaimana peran masing-masing pihak yang terlibat, merupakan beberapa hal yang terus didiskusikan dan dikonsolidasikan.

Merujuk pada Keputusan Menteri Desa PDTT RI Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Pembentukan Forum Perguruan Tinggi untuk Desa, ada sebanyak 49 PT yang tergabung dalam forum tersebut, namun belum semua PT menyelenggarakan program RPL. Beberapa PT anggota Pertides yang sudah menyelenggarakan RPL adalah: Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Manado, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Padjajaran, Universitas Bengkulu, Universitas Gajah Mada, Universitas Gorontalo, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dan Universitas Pancasila. Penyelenggara program RPL adalah perguruan tinggi yang telah memiliki program studi yang menyelenggarakan RPL dan yang relevan dengan kebutuhan calon peserta program, pada jenjang S1 dan S2. Dengan kata lain, perguruan tinggi tidak perlu membuka program studi baru penyelenggara RPL.

Berdasarkan hasil koordinasi dengan pemerintah kabupaten, misalnya dengan Kabupaten Bojonegoro, pada dasarnya pemda siap mendukung program RPL untuk Desa. Persiapan untuk mengikuti program ini tentu saja memerlukan berbagai konsekuensi, salah satunya adalah perlunya penyesuaian APBD. Juga diperlukan payung hukum dari puasat (Kemendes PDTT) sebagai cantolan untuk pelaksanaan program. Juga, tentu saja adalah adalah MoU antara pemda dengan Kemendes PDTT, serta pemda dengan perguruan tinggi penyelenggara RPL.

Persiapan juga menyangkut penyusunan capaian pembelajaran serta profil lulusan program RPL untuk Desa, yang akan menentukan pengalaman belajar yang  disediakan. Konten/materi yang khas dan spesifik sesuai dengan kebutuhan SDM Desa juga diidentifikasi. Beberapa konten seperti SDGs Desa, Pengelolaan BUMdes/BUMdesma, Pengelolaan Wisata Desa, Desa Cerdas dan Desa Digital, Teknologi Tepat Guna, Mitigasi Bencana, merupakan beberapa issu yang akan mewarnai konten. Issu yang lain seperti Penanganan Stunting, Desa Ramah Anak dan Perempuan, Desa Bebas Radikalisme, juga beberapa issu yang mengemuka. Issu lain yang relevan masih sangat dimungkinkan untuk diidentifikasi.

Tentu saja, dalam hal ini, diskusi intens antar stakeholder, sangatlah diperlukan. Begitu juga  hal-hal yang  menyangkut sistem perkuliahan, tidak saja mempertimbangkan kondisi pandemi, namun juga jarak, serta keharusan para peserta RPL yang tetap harus menjalankan tugas selama mengikuti program; merupakan hal-hal penting yang harus disepakati bersama. Juga berbagai standar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT), misalnya syarat skor TEP, publikasi, dan memastikan data mahasiswa terkoneksi dengan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDTT), merupakan hal-hal yang harus disiapkan.

Yang tidak kalah penting juga tentang kontrak komitmen. Setiap calon peserta program RPL harus menandatangani kontrak komitmen, baik dengan Kemendesa PDTT maupun dengan pihak penyandang dana/pemberi beasiswa. Klausul-klausul pada kontrak komitmen kepala desa, perangkat desa, TPP, tentu saja berbeda, karena kondisi dan tuntutan yang juga berbeda pada masing-masih profesi tersebut.

 

Antusiasme di Lapangan

Informasi tentang akan diselenggarakannya RPL untuk Desa baru saja disosialisasikan. Informasi melalui sebuah flyer yang berjudul RPL Desa hanya berisi tentang definisi singkat program tersebut, dibagikan pada seluruh komponen Kemendesa PDTT, termasuk para pendamping desa (TPP). Informasi ini telah mengundang banyak respon dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari calon peserta, juga beberapa penggerak swadaya masyarakat (PSM). Sekadar informasi, Kemendesa PDTT merupakan instansi pembina jabatan fungsional PSM di berbagai kementerian/ lembaga serta di pemerintah provinsi dan daerah. Tentu sangat bisa dipahami bila PSM juga merasa berhak untuk bisa mengikuti program RPL untuk Desa. Munculnya antusiasme PSM menjadi inspirasi untuk memunculkan program RPL untuk PSM.

Ternyata antusiasme juga muncul dari beberapa perguruan tinggi. Keinginan untuk menjadi bagian dari program ini, sebagai perguruan tinggi penyelenggara, adalah respon yang sebelumnya tidak terduga. Hal ini menimbulkan satu inspirasi juga, bahwa perguruan tinggi penyelenggara mungkin tidak harus dibatasi hanya PT yang terhimpun dalam Forum Pertides, namun juga PT yang memang memenuhi syarat untuk melaksanakan RPL.

Pemikiran ini bukannya tanpa alasan. Ada sebanyak 74.961 desa di seluruh Indonesia. Ada sekitar 35.000 tenaga pendamping profesional (TPP). Tentu saja ada jutaan perangkat desa, pengelola BUMdes/BUMdesa, dan pegiat desa lainnya. Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan respon lapangan saat ini saja, peminat Program RPL dari Desa, berasal dari berbagai provinsi. Bila program RPL untuk Desa dibatasi hanya diselenggarakan oleh PT yang terhimpun dalam Forum Pertides, hal ini tidak akan mengimbangi antusiasme di lapangan.

Menanggapi antusiasme ini, persiapan yang relatif matang harus dilakukan dahulu, terutama oleh Kemendesa PDTT, sebagai penanggung jawab program. Berbagai hal terkait kuota, perguruan tinggi penyelenggara, masa studi, penyandang beasiswa, cakupan beasiswa, sistem rekrutmen/seleksi, sistem perkuliahan, dan sebagainya, harus benar-benar dipastikan. Ibarat beperang, peluru harus sudah ada. Antusiasme dan gegap-gempita di lapangan tidak cukup ditanggapi hanya dengan sebuah jawaban normatif, misalnya, “semuanya sedang disiapkan dan dikoordinasikan, bila ada perkembangan terkini, akan segera diinformasikan”.

 

RPL untuk Desa dan SDGs Desa

SDGs Desa dengan 18 tujuan,merupakan arah kebijakan Kementerian Desa PDTT. Delapan belas (18) tujuan tersebut meliputi: 1) Desa tanpa Kemiskinan; 2) Desa tanpa Kelaparan; 3) Desa Sehat dan Sejahtera; 4) Pendidikan desa Berkualitas; 5) Keterlibatan Perempuan Desa; 6) Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi; 7) Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan; 8) Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata; 9) Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan; 10) Desa tanpa Kesenjangan; 11) Kawasan Pemukiman Desa Aman; 12) Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan; 13) Desa Tanggap Perubahan Iklim; 14) Desa Peduli Lingkungan Laut; 15) Desa Peduli Lingkungan Darat; 16) Desa Damai Berkeadilan; 17) Kemitraan untuk Pembangunan Desa; dan 18) Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

RPL untuk Desa merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan SDM desa. SDM desa merupakan faktor kunci dalam pembangunan desa. Dengan meningkatnya SDM desa, maka diharapkan desa akan lebih cepat berkembang, maju, mandiri, dan unggul. Bila desa-desa cepat berkembang, maju, mandiri, dan unggul, maka sangat bisa diharapkan terjadinya kemajuan dan keunggulan bangsa dan negara.  Dengan kata lain, peningkatan SDM Desa akan memberikan kontribusi yang nyata pada percepatan pencapaian seluruh indikator dalam 18 tujuan SDGs Desa.

Secara lebih spesifik, peningkatan SDM Desa menjadi akselerator dalam mewujudkan SDGs Desa, yang merupakan upaya terpadu pembangunan desa untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.  SDM desa yang unggul mendorong terwujudnya desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya untuk percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SGDs).

 

Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd
Kepala Badan Pengembangan SDM, PMDDTT, Kementerian Desa PDTT RI
Guru Besar Universitas Negeri Surabaya

Sabtu, 05 Februari 2022

Desa Berdikari Indonesia, SDGs Desa, dan Pendamping Desa


BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila; melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan; dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya. BPIP merupakan revitalisasi dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKPIP). Visinya adalah sebagai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang andal, profesional, inovatif, berintegritas dalam pelayanan kepada Presiden dan Wakil Presiden di bidang pembinaan ideologi Pancasila untuk mewujudkan visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden: Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong. Sedangkan misinya yaitu mewujudkan misi Presiden dan Wakil Presiden dengan melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan ideologi Pancasila sehingga nilai-nilai Pancasila teraktualisasikan dalam setiap kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Kamis, 3 Februari 2022, dilaksanakan diskusi antara BPIP dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), di ruang rapat Gedung B lantai 2 Kemendes PDTT. Dari BPIP, hadir Deputi Bidang Hubungan antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan, Prakoso. Hadir juga Direktur Jaringan dan Pembudayaan, Irene Camelyn Sinaga, dan Direktur Sosialisasi dan Komunikasi, Akbar Hadiprabowo. Dari Kemendes PDTT, hadir Dirjen Pembangunan Desa dan Perdesaan, Sugito, dan Kepala BPSDM Kemendes PDTT, Luthfiyah Nurlaela. Selain itu, dari Kemendes PDTT hadir juga Sekretaris Dirjen PDP (Rachmatia Handayani), Sekretaris BPSDM (Jajang Abdullah), Direktur Pengembangan Sosial Budaya dan Lingkungan Desa dan Perdesaan (Teguh Hadi), Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional (Hasman Ma’ani), Kepala Pusat Pelatihan ASN (Mulyadin Malik), dan Kepala Pusat Pelatihan SDM (Fujiartanto).

 

Pembumian Pancasila menjadi tantangan yang harus dilakukan oleh setiap komponen bangsa Indonesia. Saat ini, banyak masyarakat yang sudah meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Banyak nilai yang sudah luntur dan tergerus, seperti gotong-royong, toleransi beragama, dan kepedulian pada lingkungan. Bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh Alvara Research pada tahun 2018 menunjukkan, 19% ASN menyatakan diri mereka anti-Pancasila. Berikutnya survei Kementerian Pertahanan Tahun 2019 juga menunjukkan, 23,4% mahasiswa Indonesia terpapar radikalisme dan anti-Pancasila. Tentu saja hasil survei ini sangat memprihatinkan dan perlu pemikiran serta tindakan nyata untuk membumikan dan menanamkan kembali Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pemikiran dan tindakan ini tentu tidak bersifat sporadis, hit and run, namun harus dilakukan secara terus-menerus, berkelanjutan, melembaga, tersistem, serta holistik.

 

Salah satu tugas BPIP adalah mengampu pembinaan ideologi Pancasila pada seluruh warga negara Indonesia, baik di Indonesia yang sekitar 269 juta jiwa dan di luar negeri yang sekitar 3 juta jiwa. Pancasila harus menjadi dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

 

Di sisi lain, desa memiliki peran yang strategis karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah desa. Pada dasarnya, Pancasila digali dari kearifan lokal yang sudah tumbuh dan berkembang di desa-desa nusantara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pancasila bukan untuk dihadirkan karena pada dasarnya dia sudah hadir. Pancasila untuk direvitalisasi, dikuatkan kembali, khususnya nilai - nilai toleransi, empati, persatuan, juga dalam berbagai aktivitas di desa seperti rembuk desa, musyawarah untuk mufakat, dan sebagainya.

 

Di sisi lain, era digital menawarkan ideologi alternatif melalui media sosial. Untuk itu perlu diperkuat kehadiran Pancasila dalam mewujudkan masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pada era revolusi industri 4.0 dan masyarakat 5.0 ini, sangat penting untuk memanfaatkan potensi perkembangan teknologi informasi untuk mengkoneksikan 74.961 desa agar terhubung, dan dapat saling menguatkan satu dengan yang lain, sehingga  menjadi pilar-pilar kekuatan bangsa dan negara Indonesia.

 



Salah satu program yang digagas BPIP adalah Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila. Desa Berdikari memiliki makna aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Untuk mewujudkan Desa Berdikari dalam menopang Negara Kesatuan Republik Indonesia, diperlukan pemahaman, kecintaan, dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Desa Berdikari adalah desa yang mandiri atau tidak bergantung dari pihak lain, berdiri di atas kaki sendiri. Sebagaimana filosofi Bung Karno, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Kuat, mandiri, maju dalam bidang sosial politik, ekonomi, dan budaya.  Juga mendasarkan pada ungkapan para leluhur, yaitu  gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, yang mengisyaratkan betapa indahnya pesona tanah air Indonesia, dengan segala kekayaan dan kesuburan seisi alamnya. Keberkahan ini menjadi sumber kemakmuran warga Indonesia, dengan cara terus memelihara tata kehidupan yang sejahtera, bersih, aman, tertib, damai dan sentosa.

 

Beberapa indikator desa berdikari adalah: 1) Desa mampu melihat potensi dan kekayaan desa, mampu mengelola potensi desa, dan mampu memecahkan masalah yang ada di desa dengan musyawarah mufakat; 2) Desa memiliki solidaritas sosial dan bergotong royong; 3) Desa mampu melakukan gerakan bersama untuk pertumbuhan ekonomi masyarakat desa untuk mendorong hadirnya keadilan sosial; 4) Desa mampu berdaya dan mengatur mengurus dirinya sendiri dengan sumber daya yang dimiliki; 5) Desa mampu dinamis mengikuti perkembangan zaman (kemajuan iptek) dengan didukung sumber daya manusia yang berkualitas dalam kebudayaan; dan 5) Hasil akhirnya adalah desa memiliki daya tahan tubuh yang kuat, imunitas ideologi dan budaya yang kuat.

 

Konsep Desa Berdikari sangat erat kaitannya dengan tujuan-tujuan dalam SDGs Desa, yang merupakan arah kebijakan dari Kemendes PDTT. SDGs Desa yang merupakan pelokalan SDGs Global dengan merujuk pada Perpres Nomor 59 Tahun 2017, adalah upaya terpadu percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui perwujudan delapan tipe desa, yaitu: desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli Pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya. SDGs Desa adalah pembangunan total atas desa, seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh warga desa tanpa ada satu pun yang terlewat (no one left behind). Sementara itu, Desa Berdikari Indonesia bertumpu pada rujukan, batasan, lingkungan hidup, dan kearifan lokal yang telah menumbuhkan desa itu sendiri. Dalam hal ini, desa tak sekadar batas administratif, melainkan juga tentang nilai-nilai yang melekat, sumber daya alam yang ada, tradisi, juga “kesedihan-kebahagiaan” keluarga yang terus menghidupi nilai-nilai tersebut dalam bingkai NKRI. Dalam SDGs Desa dengan 18 tujuannya, konsep tersebut sangat berkesuaian dengan tujuan ke-18, yaitu Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif. SDGs tujuan ke-18 merupakan bentuk penghargaan atas keberadaan bangsa Indonesia yang sangat beragam dalam agama, budaya, bahasa, adat istiadat. Bila dikaitkan dengan tipe desa, maka konsep tersebut sangat relevan dengan tipe Desa Tanggap Budaya.

Tujuan SDGs Desa tidak akan bisa dicapai secara optimal tanpa nilai-nilai Pancasila yang membumi dan menjadi karakter masyarakat Indonesia. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa menempatkan masyarakat desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek yang selama ini dianggap sebagai residu pembangunan. Kebijakan pembangunan desa mengedepankan perdamaian, kebersamaan, kegotongroyongan dan nilai-nilai lainnya yang terkandung dalam Pancasila. Pelaksanaan SDGs Desa dilakukan dengan berpegang teguh pada dasar kebijakan bahwa seluruh aspek pembangunan harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga Desa, terutama warga masyarakat dari golongan terbawah. Sama halnya misi Kemendes PDTT yang membangun Indonesia dari desa, BPIP juga bertekad membangun sendi ekonomi Pancasila dari desa. Dengan tujuan yang sama, yaitu membangun desa menuju desa yang sejahtera, maka sesungguhnya BPIP dan Kemendes PDTT bergerak seiring dan sejalan, bahu-membahu, bergandeng tangan.

 

Tentu saja, kolaborasi untuk mewujudkan Desa Berdikari juga diperlukan dari berbagai pihak lain. Saat ini, BPIP telah melakukan sinergi dengan lintas stakeholder, selain dengan Kemendes PDTT, juga dengan Kominfo, TNI AD, Telkom University, dan terus berupaya mengembangkan kolaborasi dan sinergi. Secara khusus, bersama TNI AD, BPIP melakukan sinergi pembudayaan Pancasila melalui silaturahmi nasional (silatnas) dan silaturahmi daerah (silatda) di setiap Kodam. Dengan Universitas Telkom dan Kemenkominfo, BPIP mengembangkan “Lapak Gotong Royong” sebagai platform desa dengan format pembelajaran melalui learning management systems (LMS) yang menghubungkan satu desa dengan yang lainnya. Juga mengembangkan “NdeSho” sebagai solusi bagi desa untuk memasarkan produk-produk unggulan mereka di 74 ribu lebih desa.

 

Pada semua program yang sedang dan akan terus dilakukan, sangat penting memperhatikan lima prinsip pembangunan desa, yaitu: 1) Meletakkan masyarakat desa sebagai owner atas kepemilikan desa, karena itu masyarakat desa berhak menentukan arah pembangunan bagi desanya; 2) Desa harus memiliki kemauan dan kemampuan serta tekad yang kuat untuk maju dan mandiri atas kekuatan sendiri berdasarkan potensi, aset, dan modal sosial yang dimiliki; 3) Desa adalah arena masyarakat untuk meraih kemuliaan, bukan sebagai ajang pertarungan elit politik untuk perebutan kekuasaan; 4) Desa membutuhkan pendampingan untuk memajukan desa yang mampu bergerak bersama melakukan pembangunan Desa; dan 5) Kemajuan pembangunan Desa tidak boleh merusak modal sosial dan nilai-nilai yang tumbuh dan terpelihara senagai ciri kearifan lokal sekaligus sebagai kekuatan masyaralat desa.

       

Berdasarkan hal tersebut, memberdayakan dan merangkul kader-kader yang sudah ada sebagai simpul-simpul masyarakat perlu dilakukan. Keberadaan pendamping desa dalam hal ini menjadi sangat penting untuk memberikan kontribusinya dalam membangun Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila. Untuk keperluan memastikan peran pendamping desa, maka definisi operasional tentang konsep Desa Berdikari Indonesia menuju Desa Pancasila harus jelas, beserta indikator-indikatornya, dan bagaimana mengukur indikator tersebut. Petunjuk teknis dalam membangun Desa Berdikari menuju Desa Pancasila harus tersedia, berikut bahan/materi serta media sosialisasi dan habituasi yang diperlukan. Konten-konten yang menarik untuk melakukan soft selling, tidak bersifat indoktrinasi, menjadi sangat penting. Desa harus secara kultural, alamiah, dan dengan sepenuh kesadaran sendiri--bukan karena indoktrinasi--merevitalisasi dirinya dengan nilai-nilai luhur yang sebenarnya merupakan jati diri mereka, yaitu nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

 

Juga harus dipikirkan, jika sebuah desa sudah menjadi Desa Berdikari menuju Desa Pancasila, what’s next? Bagaimana desa bisa terus mempertahankan predikat sebagai Desa Berdikari menuju Desa Pancasila? Perlukan monitoring dan evaluasi secara periodik untuk memastikannya? Bagaimana karakter masyarakat desa sebagai warga  yang menghayati dan mencintai nilai-nilai Pancasila ini terus bertumbuh-berkembang dari generasi ke generasi secara berkelanjutan? Di sinilah letak sentralnya peran pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa. Di sinilah letak sentralnya peran para pendamping desa.

 

Ini artinya, tugas pendamping desa akan semakin berat. Namun seberat apa pun, menjadi bagian dari sebuah ikhtiar untuk membumikan dan menggelorakan kembali nilai-nilai Pancasila di hati sanubari setiap warga desa, bahkan di setiap hati sanubari seluruh rakyat Indonesia, adalah sebuah kesempatan emas yang luhur dan mulia.

 

Jakarta, 4 Februari 2022

Sabtu, 29 Januari 2022

Pengembangan Kapasitas Literasi Desa dan MBKM

 


PAGI yang cerah, dan dengan penuh semangat kami meluncur ke Hotel Mercure Jakarta Sabang. Kegiatan pagi ini adalah memenuhi undangan rapat dari Kementerian Pembangunan Masyarakat dan Kebudayaan (Kemenko PMK) RI. Agenda rapatnya, monitoring dan evaluasi pencapaian indikator kegiatan prioritas peningkatan budaya literasi. Undangannya tidak terlalu banyak, meliputi pejabat eselon satu dan dua dari Bappenas, Kemendikbudristek, Kemendes PDTT, Kominfo, Kemendagri, Perpusnas, dan BPS. Semua undangan diminta untuk menyampaikan informasi tentang capaian indikator pembudayaan literasi dan penguatan institusi sosial penggerak literasi dan ivonasi tahun 2021 serta rencana tahun 2022. Rapat dipimpin langsung oleh Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olah Raga, Didik Suhardi, Ph.D.

 

Menarik sekali mendengarkan laporan kegiatan literasi dari berbagai kementerian dan lembaga tersebut. Masing-masing kementerian dan lembaga (K/L) telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan literasi sesuai tugas dan fungsinya . Sebagian program dan kegiatan beririsan dan akan sangat baik bila dilakukan secara kolaborasi dan sinergi antar K/L. Kegiatan literasi dengan berbagai bentuknya, baik di sekolah formal, di sekolah nonformal, di masyarakat, di perpustakaan, secara online maupun offline serta blended, semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu mengembangkan literasi masyarakat Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan.

 

Saya mewakili Kemendes PDTT menyampaikan program dan kegiatan pengembangan literasi yang bermuara pada pencapaian SDGs Desa yang meliputi 18 tujuan. SDGs Desa adalah upaya terpadu pembangunan desa untuk percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. SDGs Desa merupakan arah kebijakan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. SDGs Desa adalah upaya terpadu mewujudkan desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, desa peduli kesehatan, desa peduli lingkungan, desa peduli pendidikan, desa ramah perempuan, desa berjejaring, dan desa tanggap budaya untuk percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SGDs).

 

Tipe Desa Peduli Pendidikan berkesesuaian dengan SDGs Desa-4, yaitu Pendidikan Desa Berkualitas. Pemerintah desa bersama-sama dengan supra desa dan masyarakat desa harus memastikan ketersediaan dan keterjangkauan layanan pendidikan yang berkualitas bagi warga desa, serta akses yang mudah bagi warga desa terhadap layanan pendidikan. Sumber-sumber pendapatan desa serta potensi desa dapat dimanfaatkan dalam rangka mendukung peningkatan kualitas dan keterjangkauan pelayanan pendidikan di desa. Salah satu komponen Desa Peduli Pendidikan adalah Pengembangan Kapasitas Lterasi Desa.

 

Tersedianya perpustakaan desa (PD) dan taman bacaan masyarakat (TBM) merupakan saah satu indikator pengembangan kapasitas literasi desa. Selain itu juga terfasilitasinya masyarakat untuk belajar mengembangkan kemampuan dirinya dan mempraktikkan hasil belajarnya. Bentuk fasilitasi yang sudah dilakukan oleh desa termasuk pengembangan sekolah lapang, pengembangan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), serta pengembangan keterampilan abad 21. PKBM merupakan program pemberantasan buta huruf, namun tidak sekadar mengajarkan membaca, menulis, dan berhiutng, juga mengajarkan keterampilan hidup, baik berupa life skills maupun vocational skills. Bentuk kegiatannya antara lain keaksaraan fungsional (KF) dan keaksaraan usaha mandiri (KUM). Sedangkan pengembangan keterampilan abad 21 yang disasar adalah para remaja usia 10-19 tahun, dan pada mereka diajarkan keterampilan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kreativitas dan inovasi, komunikasi, dan kolaborasi.

 

Saya juga menyampaikan sebuah program pengembangan literasi yang lain, yaitu Akademii Desa 4.0. Program ini antara lain meliputi kuliah online (kulon), ngobrol pintar (ngopi), dan anjang desa. Kulon merupakan kampanye informasi yang ditayangkan secara real time, mengangkat isu terkini yang dibutuhkan oleh masyarakat desa, dengan sasaran subjeknya masyarakat umum. Kalau Kulon lebih banyak dengan metode ceramah, Ngopi berbentuk live talkshow dan diskusi. Materi Ngopi meliputi best practice dan kebijakan pemberdayaan masyarakat desa, dengan sasaran subjeknya adalah penggerak swadaya masyarakat (PSM), kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD), dan tenaga pendamping profesional (TPP). Sementara itu, Anjang Desa merupakan media kampanye informasi yang materinya adalah hasil liputan semi dokumenter yang mengangkat kisah sukses di desa. Sasaran subjeknya adalah masyarakat desa, pemuda desa, dan perangkat desa. Selain itu juga ada kegiatan pembuatan video berbasis masyarakat yang menghasilkan 60 video pembelajaran dengan tema utama kegiatan ekonomi lokal dan  kewirausahaan, lingkungan lestari dan  berkelanjutan, serta layanan dasar. Juga telah dihasilkan 240 video hasil kurasi yang  relevan dengan pemberdayaan masyarakat dan telah diungga di chanell Youtube Akademi Desa 4.0.


 

Masih perlu kerja keras untuk terus mengembangkan kapasitas literasi di lingkungan Kemendesa PDTT. Termasuk keberadaan Perpustakaan Kemendesa PDTT sejak 2019 yang sampai saat ini masih belum banyak diketahui oleh internal Kemendesa PDTT sendiri, apa lagi oleh masyarakat luas. Berbagai kegiatan seperti sharing knowledge, bedah buku, bedah film, dan webinar, juga dilakukan oleh perpustakaan, selain--tentu saja--peminjaman buku. Ada sekitar 6000-an buku dengan aneka ragam kategori. Sebagian buku sudah masuk system OPAC (Online Public Access Catalog) dan bisa diakses melalui e-perpustakaan: http://e-perpustakaan.kemendesa.go.id/opac/.

 

Rapat berakhir pada sekitar pukul 12.30, dan karena saya harus memenuhi undangan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MKBM) Komisi X DPR RI, maka kami pun langsung meluncur ke Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Gedung Nusantara 1. Enam pejabat yang diundang pada RDP ini, yaitu Dirjen Dikti Kemendikbudristek, Dirjen PAI Kemenag, Sekjen Kemenaker, Sekjen Kemenperin, Sesmen Kemenparekraf, dan Kepala BPSDM Kemendes PDTT.

 

Pada RDP ini, kami diminta menyampaikan hal-hal terkait progres implementasi MBKM pada kementerian masing-masing. Juga menjawab beberapa pertanyaan yang sebelumnya sudah dikirimkan oleh Panja MBKM Komisi X. Presentasi dimulai dari Prof Nizam selaku Plt. Dirjen Dikti Kemendikbudristek. Dilanjutkan dari kementerian lain, dan terakhir adalah dari Kemendesa PDTT.

 

Tidak seperti kementerian lain yang sudah sangat bagus progresnya dalam implementasi MBKM, karena mereka memiliki sekolah, baik sekolah jalur vokasi maupun akademik, Kemendesa PDTT masih harus berjuang untuk memulai. Menjelang akhir tahun 2021 yang lalu, Pedoman Implementasi MBKM baru saja dihasilkan, dengan nama program PMB-MBKM (Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis MBKM). Dukungan anggaran belum jelas, dan juga masih harus berjuang untuk menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah serta dunia usaha/dunia industri. PMB-MBKM merupakan salah satu program yang dimasukkan pada kelompok program inisiatif baru (IB), bersama program lain seperti Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) yang disiapkan bagi para penggiat desa untuk menempuh studi lanjut. Program yang lain adalah sertifikasi TPP, di mana pada akhir tahun 2021 kemarin, perangkat sertifikasi kompetensi berupa SKKNI TPP dan Skema KKNI TPP telah diperoleh.

 

Program yang tak kalah penting lainnya adalah memastikan terbangunnya sinergi antar komponen dalam BPSDM, baik UKE-1, UKE2, dan pusat-pusat, selain tentu saja sinergi antar UKE-1 dan bahkan antar kementerian dan lembaga (K/L) lain. Ada sekitar 35 ribu pendamping dan ribuan PSM yang juga menunggu untuk ditingkatkan kapasitasnya. Di sisi lain, BPSDM juga mengalami darurat widyaiswara, karena hari ini, widyaiswara yang dimiliki BPSDM tinggal 11 orang, sementara tahun depan, akan ada lagi 2 widyaiswara yang  purna. BPSDM juga harus memastikan pembangunan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi (WBK) serta wilayah birokrasi bersih dan melayani (WBBM).

 

Semakin mendalami tugas, semakin menemukan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Dengan segala niat baik, khusnudzon, mengandalkan pada akuntabilitas, profesionalitas, integritas, dan kebersamaan (APIK), insyaallah semua pekerjaan rumah bisa diselesaikan satu demi satu. Tentu saja semua ikhtiar selalu dibarengi dengan doa-doa dan harapan yang terus dilangitkan pada Allah Sang Pemberi Kemudahan dan Kesehatan. Amiin.

 

Surabaya, 29 Januari 2022

 

*Catatan dua hari yang lalu.

Selasa, 25 Januari 2022

Efek Booster


BEBERAPA hari yang lalu, Kemendes PDTT melaksanakan vaksinasi ketiga atau booster. Untuk gelombang pertama ini, karena jatah vaksinnya terbatas, diprioritaskan bagi pimpinan dan sebagian staf saja. Selanjutnya secara bertahap akan dilaksanakan vaksinasi booster untuk semua.

Vaksin yang digunakan pada vaksinasi ketiga ini adalah pfizer. Saya sendiri mendapatkan vaksin sinovac pada vaksinasi pertama dan kedua, yang saya peroleh di Unesa. Relatif tidak ada efek kecuali lapar dan ngantuk. Jadi setelah vaksinasi sinovac dulu itu, kerjaan saya adalah makan dan tidur.

 

Berbeda dengan efek vaksin booster ini. Saya sempat nggliyeng dan demam malam harinya, badan ngilu-ngilu, menggigil, dan mual. Paginya saya minum paracetamol, karena saya masih demam dan mual. Apa lagi pagi itu juga, saya  dijadwalkan mengunjungi sebuah desa wisata di Gresik.

 

Berangkat ke Gresik dengan badan terasa sangat kurang fit, saya nekad saja sambil menghimpun semangat dan kekuatan. Memang kalau membaca anjurannya, seharusnya kita perlu istirahat dua-tiga hari setelah vaksinasi. Untuk saya, boro-boro istirahat, bahkan setelah vaksin saya langsung meluncur ke Soetta dan terbang ke Surabaya. Kami sudah terlanjur berjanji untuk silaturahim ke Desa Lontar di Kecamatan Menganti, Gresik. Membayangkan kepala desa dengan direktur bundes, Kepala Dinas PMD Kabupaten Gresik, para pendamping desa, dan semuanya, saya tidak tega untuk tidak hadir.

 

Sesampainya di tujuan, dengan setengah terhuyung saya turun dari mobil. Mas Dikin Mokhamad Sodikin meminta saya untuk pegangan karena melihat saya agak labil. Tapi saya tidak ingin membuat cemas tuan dan nyonya rumah yang sudah berbaik hati menyambut kami dan menyiapkan semuanya. Saya berjalan pelan sambil melempar senyum paling manis untuk  menutupi nggliyeng saya. Alhamdulilah, dengan terus menghimpun semangat, akhirnya acara demi acara bisa saya lalui dengan baik. Alhamdulilah.

 

Tapi berdasarkan pengalaman itu, saya bisa sarankan pada Anda, sebaiknya istirahat saja deh setelah vaksin booster. Setidaknya sehari dua hari. Apa lagi kalau Anda mengalami gejala pusing dan demam seperti saya. Nggak uwenak memaksakan diri. Meskipun mungkin tubuh kita kuat, tapi sebenarnya hal itu tidak disarankan. Salah satu alasannya adalah demi keefektifan vaksin itu sendiri.

 

Semoga pandemi segera berlalu ya. Supaya kita tidak perlu sogrok hidung setiap kali mau terbang. Saya perhatikan, sepertinya hidung saya dari hari ke hari kok tambah mekrok.....

 

Jakarta, 25 Januari 2022

Kemurnian Ciptagelar

 

NAMA desa ini, bagi saya, cukup unik. Ciptagelar. Saya penasaran mengapa desa ini namanya Ciptagelar. Saya mencoba menelusurinya di internet. Saya dapatkan beberapa referensi tentang Ciptagelar, yang membahas sejarah, letak geografis, budaya, demografi, dan sebagainya. Ciptagelar mempunyai arti terbuka atau pasrah.

 

Dari catatan yang saya baca, Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat hukum adat yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak. Istilah kasepuhan berasal dari bahasa Sunda, yang secara umum artinya adalah mereka yang dituakan. Secara spesifik wilayah perkampungan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat.

 

Kasepuhan Adat Ciptagelar mulai berdiri pada 1368 dan telah beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan yang dilakukan secara turun temurun. Sampai saat ini Kasepuhan Ciptagelar juga telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut sebagai Kampung Gede, karena masih menjalankan tradisi berpindah yang berdasar pada wangsit yang diterima dari para leluhur (karuhun). Secara administratif saat ini Kasepuhan Ciptagelar berada di wilayah dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

 

Berdasarkan data tahun 2008, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar memegang kuat adat dan tradisi yang diturunkan sejak 644-an tahun lalu (1368 M). Kasepuhan Ciptagelar dihuni oleh sekitar 293 orang yang terdiri dari 84 kepala keluarga dengan 151 orang laki-laki dan 142 orang perempuan. Desa ini merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul yang tersebar di lebih dari 500 desa.

 

Tanggal 14-15 Januari yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi Desa Adat Ciptagelar, dalam rangka memperingati Sewindu UU Desa. Kami semua, seluruh pejabat tinggi madya dan pejabat tinggi pratama, juga Menteri Desa PDTT serta Sekretaris Jenderal, secara bertahap berangkat dari Hotel Inna Samudra Pelabuhan Ratu. Harus secara bertahap, karena jalan menuju Desa Ciptagelar merupakan jalan yang berbatu-batu, menanjak, berbelok-belok, dan sempit.  Bila kami berangkat bersama-sama, jika di tengah jalan ada satu saja mobil yang mogok atau bermasalah, hal ini akan menyebabkan terjadinya mogok berjamaah. Mobil yang kami bawa, semuanya adalah mobil offroad 4WD, menyesuaikan dengan kondisi medan berat yang kami tempuh.

 

Saya semobil dengan Pak Jajang Abdullah (sekretaris BPSDM), Mohammad Sodikin (TA BPSDM), dan Mas Angga (staf BPSDM). Mas Angga sehari sebelumnya sudah mengunjungi Ciptagelar untuk tryout mobil dan kenal medan. Namun begitu, kami masih sempat tiga kali terhenti di tengah jalan yang menanjak curam, karena Mas Angga telat oper gigi. Sempat mundur beberapa meter untuk mengambil start. Beberapa mobil bahkan mogok karena mesinnya panas, dan harus menunggu mesin dingin dulu, baru berangkat lagi. Ibu Irjen dan beberapa direktur bahkan terpaksa dipindahkan ke mobil lain karena mobil yang ditumpanginya mogok berlama-lama. Memang, sepanjang pengalaman saya berkendara di medan ekstrim, jalan ke Ciptagelar ini merupakan jalan terekstrim yang pernah saya lalui dengan mengendarai mobil.

 

Kami tiba di Kasepuhan Ciptagelar sekitar pukul 11.30. Sekitar dua setengah jam perjalanan dari Pelabuhan Ratu. Kami semua berpakaian adat Citpagelar. Para lelaki mengenakan baju dan celana hitam, juga mengenakan ikat kepala (totopong). Yang perempuan, mengenakan kain kebaya dan kain (sarung/jarit/rok panjang). Tidak boleh mengenakan celana panjang, apa lagi celana jins. Seperti itulah memang yang saya lihat orang-orang Ciptagelar berbusana. Para lelaki yang bersahaja dalam balutan hitam-hitam dan ikat kepala. Para perempuan yang umunya berkulit bersih, cantik, mengenakan kebaya dengan kain, pada umunya kain sarung, yang dililitkan begitu saja. Bahkan beberapa anak belasan tahun pun sudah mengenakan pakaian adat seperti itu dalam kesehariannya.

 

Kami diterima di Pendopo Imah Gede. Sebuah pendopo dan sekaligus rumah Ketua Adat, yaitu Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. Sosok yang tampan, berkulit bersih, berwibawa, sangat disegani. Belasan teman dari Kemendes PDTT sudah lebih dulu datang, khususnya para panitia, yang sebagian besar adalah pejabat tinggi pratama, beserta para staf dan ajudan. Kami disuguhi makan siang yang sudah ditata di atas meja panjang. Ada karpet tergelar dengan meja-meja pendek, dan kami makan secara lesehan. Menunya hampir sama dengan yang kita kenal pada umumnya, dengan kekhasan hidangan Sunda yang selalu tersedia sambal dan lalapan mentah. Yang berbeda adalah nasinya. Bukan nasi yang empuk dan pulen, sebaliknya nasinya agak kering atau pera, bulirannya pendek-pendek.

 

Warga Kasepuhan Ciptagelar dikenal sebagai masyarakat yang memegang teguh adat dan tradisi yang bersandar pada budaya pertanian, khususnya padi. Beras yang dikonsumsi penduduk Ciptagelar berasal dari tanaman padi yang mereka tanam sendiri, dengan bibit yang mereka kembangkan sendiri, dan diproses dengan cara tradisional secara turun-temurun. Dari catatan yang saya baca, Beberapa rangkaian kegiatan pertanian yang mengakar di antaranya adalah ngaseuk (menanam padi yang dilakukan secara bersama-sama), mipit, nganyaran, serentaun, dsb. Dari catatan juga saya peroleh penjelasan bahwa kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah masyarakat adat yang bersandar kepada budidaya padi, seluruh sendi-sendi kehidupan adat didasarkan kepada kalender siklus padi. Leuit bagi warga kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi, melainkan berkaitan dengan simbol penghormatan pada Dewi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Asri yang menampakkan dirinya dalam bentuk padi. Setiap kali panen, mereka menyimpan 10% padi di leuit (lumbung) sehingga tidak heran jika di sana terdapat padi yang usianya ratusan tahun. Bagi warga kasepuhan Ciptagelar, padi merupakan kehidupan, bila seseorang menjual beras atau padi, berarti menjual kehidupannya sendiri.

 

Leuit atau lumbung ini menjadi pemandangan yang sangat khas di Desa Ciptagelar. Bangunan semi permanen dari kayu dan atap jerami ini berada di sekitar rumah atau di tempat-tempat yang agak jauh dari pemukiman. Berpadu dengan gunung, sawah, dan pepohonan, jajaran leuit adalah pemandangan yang sangat indah dan mengesankan.

 

Kegiatan kesenian dan kebudayaan, termasuk diantaranya Angklung Buhun, Wayang Golek, dan Jipeng merupakan bagian dari keseluruhan adat istiadat, budaya, serta tradisi yang terus berkembang sampai saat ini.

 

Menikmati Ciptagelar dengan segala kemurniannya, semakin memberikan kesadaran pada kita, betapa sesungguhnya alam selalu ada untuk kita. Bersahabat dengan alam adalah kuncinya.

 

Jakarta, 23 Januari 2022