Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 18 Juni 2022

Penulis Amatir (Bagian 2, selesai)


Suatu ketika, secara kebetulan, saya dipertemukan dengan para pegiat dan dedengkot literasi, antara lain almarhumah Sirikit Syah, Satria Dharma , Much Khoiri , almarhum Rukin Firda , Eko Prasetyo , Habe Arifin , Ihsan Mohammad , Ria Fariana , Abdur Rohman , Pratiwi Retnaningdyah , Mas Hartoko ,  Dina Hanif Mufidah ,  Icha Hariani Susanti , Fafi Inayatillah , dan banyak lagi. Mereka semua adalah alumni IKIP Surabaya atau Unesa. Mereka semua penulis yang merupakan alumni fakultas bahasa. Mungkin karena tulisan jugalah yang membawa saya bisa masuk dalam komunitas para dedengkot ini.

 

Kami tergabung dalam milis keluarga Unesa. Berdiskusi banyak hal dan berbagi pengalaman lewat tulisan. Lantas kami membuat buku keroyokan. Ada kumpulan cerpen, kumpulan puisi, kumpulan feature, dan kumpulan artikel.

 

Saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan literasi seperti bedah buku, pelatihan menulis, diskusi dan seminar.

 

Suatu saat, ada kegiatan bedah buku di Balai Pemuda. Buku yang dibedah adalah antologi cerpen berjudul "Ndoro, Saya Ingin Bicara." Sebuah buku yang kami tulis keroyokan. Salah satu narasumbernya adalah sastrawan beken Tengsoe Tjahjono . Ada satu pernyataan beliau yang terus terngiang-ngiang di benak saya. Intinya, seorang sastrawan tidak pernah berhenti menulis. Bila seseorang pernah menulis, kemudian dia berhenti menulis, lantas menulis lagi, sesungguhnya dia bukan seorang sastrawan, bukan seorang penulis.

 

Nah, itulah mengapa saya menyebut saya sebagai penulis amatir. Saya menulis hanya kalau ingin saja. Khususnya menulis cerita fiksi, puisi, feature, atau artikel ringan. Saya tidak secara konsisten memaksa mood saya untuk selalu mau menulis. Sesuka-suka saya. Apa yang saya tulis juga sesuka-suka saya. Nyaris tak pernah pasang target. Pokoknya nulis kalau lagi mau. Kalau nggak, ya nggak nulis. Hehe.

 

Namun tentu saja berbeda ketika menulis sebagai tuntutan profesi. Tuntutan akdemis. Kalau urusan ini, saya selalu pasang target. Menulis skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, publikasi ilmiah, buku kuliah, harus dan harus. Tapi jangan salah. Saya pasang targetnya pakai standar minimal saja ya. Sekadar, ya sekadar memenuhi tuntutan minimal untuk naik pangkat dan jabatan. Tapi alhamdulilah, so far, pencapaiannya selalu di atas target minimal. Berkah mestakung. Semesta mendukung.

 

Sebagai seorang penulis amatir, maka menulis yang paling mudah bagi saya adalah menulis feature. Ya, karena jenis tulisan ini lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi, bisa yang dialami sendiri atau orang lain. Tidak terlalu terikat pada aturan atau kaidah penulisan. Tidak selalu butuh referensi, tidak memerlukan metodologi.

 

Menulis yang paling abot bagi saya adalah menulis artikel ilmiah untuk publikasi pada jurnal ilmiah. Perlu ketekunan, ketangguhan, kesabaran, daya tahan. Bagi banyak teman, menulis artikel ilmiah bisa jadi mudah dan dia bisa menghasilkan belasan artikel ilmiah setiap tahun. Kalau ada yang seperti ini, saya cukuplah berdecak kagum dan mengucap kata "wow!".

 

Selesai

 

Surabaya, 19 Juni 2022

Jumat, 17 Juni 2022

Penulis Amatir (1)


Saya adalah seorang penulis amatir. Saya menulis apa saja. Cerpen, cerber, puisi, feature, artikel ilmiah, artikel populer, resensi buku, dan tentu saja menulis status di medsos, seperti yang saat ini saya lakukan.

 

Karena penulis amatir, saya tidak pernah secara khusus belajar menulis. Saya belajar sendiri, dari membaca tulisan orang lain dan dari buku-buku. Salah satu buku yang saya baca adalah "Mengarang itu Gampang" tulisan Arswendo Atmowiloto. Kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach , tahu kalau saya suka menulis, dan diberilah saya buku itu, waktu saya masih kelas 1 SMA.

 

Pernah juga sih, ikut pelatihan jurnalistik di kampus. Bareng dengan sahabat saya Pratiwi Retnaningdyah . Saat itu, tulisan saya sempat jadi tulisan terbaik. Hihi.

 

Meskipun saya bukan penulis profesional, tapi saya sudah pernah memiliki cita-cita untuk jadi penulis profesional. Ya, setidaknya pernah bercita-cita. Meskipun tidak pernah serius mewujudkan cita-cita itu.

 

Saya kutu buku sejak SD. Buku perpustakaan sekolah habis saya lahap. Buku di perpustakaan umum, yang ada di dekat SMA, sebagian besar sudah saya baca. Saya membaca buku sastra, novel, kumpulan cerpen, biografi, dan lain-lain. Saya membaca majalah Bobo, Kawanku, Kuncup, Jayabaya, Penjebar Semangat, Hai, Gadis, Anita Cemerlang....

 

Nah, ini tentang Anita Cemerlang. Saya adalah penyuka majalah nasional remaja itu. Iya, betul, mungkin karena saya tipe melangkolis dan suka mendayu-dayu. Berhati Rinto, kata Mas Nanang Ahmad Rizali . Untungnya tidak berbodi Rambo.

 

Saking ngefans-nya sama Anita Cemerlang, saya ngebet pingin ikutan nulis di majalah yang super keren itu. Ada Adek Alwi di sana, Leila S Chudhori, Zara Zettira, Lan Fang, banyak lagilah penulis-penulis keren.

 

Maka sejak SMP, saya mulai menulis cerpen dan mengirimkannya ke Redaksi Anita Cemerlang. Lewat pos tentu saja. Seingat saya, alamatnya adalah PO Box 78 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Surat pengantar cerpen pertama saya dibuatkan oleh Mas Zen. Saya gagal, cerpen dikembalikan. Saya menulis lagi, saya kirim, gagal lagi, begitu terus entah sampai berapa kali saya mencoba dan gagal. Bagusnya redaksi, setiap cerpen yang dikembalikan, pasti diberi komentar dan catatan-catatan. Di sini juga saya belajar menulis.

 

Baru kemudian, seingat saya kelas satu SMA, cerpen saya berhasil dimuat. Kepala sekolah SMA 2 Tuban, namanya Pak Bram, memanggil nama saya lewat loudspeaker, supaya saya datang ke kantor sekolah. Ternyata saya mendapat kiriman majalah Anita Cemerlang dan wesel. Girang sekali saya. Honor pertama saya adalah lima belas ribu rupiah.

 

Hari itu juga saya traktir beberapa teman untuk makan bakso. Sahabat saya dulu, salah satunya adalah Yayuk Sri Rahayoe , yang sampai saat ini masih ingat suka saya traktir bakso. Juga Mas Nganti Irawan , yang katanya pernah saya traktir juga, tapi saya tentu saja tidak ingat setiap nama yang pernah makan bakso bersama saya dari honor menulis cerpen. Saya juga membelikan sesuatu untuk adik-adik saya, putra-putrinya Kyai Ali Tamam, tempat saya mondok, meskipun hanya barang-barang kecil. Dik La'alik Helmiyati Aly , apa kabar, Dik?

 

Sejak saat itu, setiap cerpen yang saya kirim, hampir selalu dimuat di Anita Cemerlang. Honor saya juga semakin lama semakin naik. Ada juga cerpen saya yang dimuat sebagai cerita utama, dan ilustrasinya terpampang di cover-nya. Wah, bangganya luar biasa.

 

Saya juga mengikuti lomba cipta cerpen remaja, dan meskipun tidak menang, cerpen saya termasuk yang layak muat. Saya juga menulis cerber, satu-satunya cerber yang saya pernah tulis. Saya juga menulis feature, saya ingat, saya menulis tentang kehidupan para pencari belerang di Gunung Welirang.

 

Di kampus, saya menjadi wakil redaksi majalah ilmiah, juga menjadi reporter di koran kampus. Pernah juga mengisi kolom kuliner yang terbit setiap hari Minggu di Surat Kabar Surya.

 

Saya mulai berhenti menulis, khususnya cerpen, ketika saya sudah mulai dihinggapi gejala imsomnia. Ya, karena ide seringkali berjejalan di kepala saya, setiap malam saya sulit tidur. Sering saya tidur menjelang adzan subuh. Kadang tengah malam saya turun dari tempat tidur karena ingin menuangkan rangkaian cerita yang sudah menumpuk di kepala. Lantas saya mengetik dengan mesin tik cetak-cetok itu sampai menjelang pagi.

 

Khawatir dengan keadaan saya sendiri, saya akhirnya memutuskan untuk sementara berhenti menulis. Setiap ada inspirasi untuk bahan cerpen, saya selalu membuang inspirasi itu. Saya tidak mau terganggu dengan inspirasi. Saya berhenti merangkai-rangkai cerita dalam hayalan saya. Saya harus berhenti. Setidaknya jeda.

 

Bertahun-tahu saya jeda menulis cerpen. Hanya sesekali, sesekali saja kalau lagi pingin. Sebagai gantinya, karena saat itu saya adalah dosen muda, saya menulis proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Saya, tentu saja, juga menulis buku dan artikel ilmiah, sebagai tuntutan standar seorang dosen.

 

Bersambung...

 

Surabaya, 18 Juni 2022

Selasa, 14 Juni 2022

Setahun Berkhidmat

Bismillah

Hari ini genap saya setahun berkhidmat di Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Setahun yang lalu, 14 Juni 2021, saya dilantik sebaga Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (BPSDM & PMDDTT). Pelantikan dilakukan langsung oleh Menteri Desa PDTT, Dr. (Hc) Abdul Halim Iskandar, M.Pd, di Operational Room, Gedung A, Kementerian Desa PDTT di Jalan Kalibata, Jakarta, dihadiri oleh semua pejabat eselon satu dan dua di lingkungan Kemendes PDTT. Saya ditemani suami saya, Mas Ayik Baskoro Adjie.

Sejak hari itu juga, saya bekerja sebagai pegawai Kemendes PDTT. Masih mengenakan kebaya, saya diajak Sekjen Kemendesa, Taufik Majid, M.Si, menuju ruang kerja saya di Gedung B, dan diperkenalkan pada semua pejabat eselon dua di lingkungan BPSDM. Kemudian saya berdialog dengan beliau-beliau, yaitu Sekretaris BPSDM (Jajang Abdullah, M.Si), Kepala Pusat Pemberdayaan Masyarakat (Dr. Yusra), Kepala Pusat Pelatihan SDM (Dr. Fujiartanto), Kepala Puslat pelatihan Pegawai dan ASN (Dr. Mulyadin Malik), Kepala Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional (Hasman Ma’ani, M.Si), dan Kepala Balai Besar Pelatihan dan Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (Dr. Lalu Samsul Hadi). Saya menyimak semua informasi dari para kolega baru saya itu dengan penuh perhatian, dengan mengerahkan semua kemampuan saya untuk memahami dan membayangkan tugas dan fungsi masing-masing. Sampai sore saat adzan maghrib berkumandang, kami mengakhiri sesi perkenalan dan dialog. Saat itu, seperti yang sudah saya bayangkan sebelumnya, saya sedang berada di hutan rimba raya.

Dunia yang saya geluti di Kemendes PDTT tentu saja adalah dunia yang sangat berbeda dari dunia kampus yang selama ini menempa saya. Saya berusaha untuk tidak mengalami culture shocked berlama-lama. Pada hari kedua, ditemani oleh Kepala Bagian Umum dan Kerumahtanggaan (Ibu Komalasari) dan ajudan (Mbak Domi) dan Sespri (Mbak Tita), saya berkeliling ke ruang-ruang pejabat BPSDM, ruang-ruang koordinator, ruang-ruang staf, bahkan ke mushala, pantry dan ke toilet-toilet. Menyapa dan mengobrol dengan siapa pun yang saya temui, para kapus, para koordinator, para staf, para office boy, para petugas cleaning service, dan petugas security.

Pengalaman saya hari itu, selain membuat saya semakin merasa berada di hutan belantara, ada satu hal yang sangat mengganggu. Aroma rokok. Ya, aroma rokok itu ada di beberapa ruang, di lift, di toilet, di lobi. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan saya mencoba memerangi aroma rokok, sempat bertemu dengan beberapa perokok, dan berdialog. Aroma rokok sempat hilang sebentar, lantas muncul lagi, hilang dan muncul lagi, terutama di lobi dan lift. Hari ini, setelah setahun saya di sini, saya mengibarkan bendera putih untuk perang melawan aroma rokok. Give up. Ternyata tidak mudah hanya untuk mengurus aroma rokok. Ya, karena gedung ini bukan hanya ditempati oleh BPSDM, namun juga oleh unit yang lain. Ada empat lantai, BPSDM menempati lantai 3 dan 4. Kalau pun para perokok di BPSDM bisa dikendalikan, belum tentu di unit lain yang memang bukan kewenangan saya. Selain itu, sepertinya memang merokok di dalam gedung sepertinya tidak terlalu menjadi persoalan di sini. Jadi ya sudahlah, setidaknya aroma rokok tidak lagi sekuat waktu pertama kali saya datang, meski seringkali masih mengganggu.

Meski berasa seperti di hutan belantara, namun saya tidak perlu waktu lama untuk kenal medan. Saya hadir hampir di setiap kegiatan sekretariat, pusat-pusat, dan balai-balai. Saya hadir di hampir semua rapat-rapat dan kegiatan-kegiatan penting, tidak sekadar untuk membuka acara, namun untuk belajar dan terus belajar. Saya pergi kesana-kemari untuk mendampingi Pak Menteri dan belajar dari apa yang beliau lakukan, yang beliau sampaikan pada setiap sambutan dan arahannya. Tentu ini juga karena bantuan dan dukungan orang-orang baik di sekitar saya. Dan mungkin inilah salah satu manfaat mengikuti kegiatan Himapala waktu mahasiswa dulu. Saya bisa dengan cepat berteman baik dengan seluruh penghuni hutan belantara ini dengan cepat seperti apa pun karakter dan temperamennya.

Beberapa teman kampus mempertanyakan mengapa saya memilih menjadi birokrat. Bahkan beberapa pejabat kemendesa PDTT dan Kementerian/Lembaga lain juga bertanya. Sebenarnya banyak dan panjang penjelasannya. Namun jawaban saya pada umumnya sederhana saja. Di kampus, jabatan saya sudah mentok, pangkat saya sudah mentok. Waktunya mencari pengalaman lain, mencari selingan yang bermanfaat untuk saya bisa lebih berkhidmat.

Saya berusaha dengan cepat menyesuaikan diri sebagai birokrat. Patuh tegak lurus pada pimpinan. Ide-ide yang seringkali muncul berjejalan di kepala saya, dan saya coba untuk wujudkan, seringkali terhempas karena tidak selaras dengan indikator kinerja utama. Sepenting apa pun program, muaranya adalah IKU. Karena saya lihat IKU tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua komponen di BPSDM, bahkan Kemendesa PDTT, saya terus berusaha bermanuver, tanpa harus melanggar regulasi. Untunglah ada tim tenaga ahli, yang saya sebut sebagai tim bodrek, yang memahami ide-ide saya dan dengan cepat membuat konsep, merancang berbagai aksi, dan mewujudkannya.

Hari ini, setahun saya di sini, sepertinya belum ada apa pun yang sudah saya capai, yang bisa menjadi penanda saya ada manfaatnya di kementerian ini. Program RPL Desa adalah ide lama di Kemendesa PDTT, sejak beberapa tahun sebelum kehadiran saya. Ide yang belum sempat terwujud dan hanya berhenti pada wacana-wacana. Kalau kemudian program ini akhirnya running pada Maret 2022, dengan menggandeng Kabupaten Bojonegoro, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), itu lebih karena kepiawaian Pak Menteri untuk membangun jejaring. Memang RPL Desa mulai menggeliat ketika saya dan tim menyusun Pedoman RPL Desa, dan mendiskusikannya dengan Pak Menteri. Kemudian bersama Pak Menteri dan Pak Sekjen, mensosialisasikannya di hadapan bupati, kepala desa, perangkat desa, tenaga pendamping profesional, kader pemberdayaan masyarakat desa, dan pegiat desa yang lain. Dan laksana busur anak panah, secepat kilat RPL Desa terwujud. Saat ini, sebanyak 1200-an mahasiswa mengambil S1 jalur RPL di Unesa dan UNY, pada lima program studi, yang semuanya berkaitan dengan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Selain Pedoman RPL Desa, kami sebenarnya juga menghasilkan Pedoman MBKM Sinergi Kemendesa PDTT dan Perguruan Tinggi. Sudah saya diskusikan dengan Pak Menteri, namun saya akhirnya harus memaklumi kalau kemudian program itu tidak mendapatkan dukungan, karena itu bukan bagian dari IKU Kemendesa PDTT. Saya sempat patah hati, sebentar. Namun kemudian saya bangkit lagi dengan semangat penuh. Tanpa dukungan anggaran dari Kementerian Desa PDTT, program ini harus tetap jalan. Ini adalah wadah untuk balai besar dan balai-balai dengan para penggerak swadaya masayarakat (PSM) yang ada di balai-balai, untuk mengaktualisasi diri. Berkolaborasi dengan berbagai universitas dan pemerintah daerah, beberapa balai terus bergerak membangun sinergi mewujudkan MBKM.

Namun jangan salah. Ternyata beberapa balai sudah bergerak melaksanakan MBKM ini bahkan sebelum pedoman MBKM kami hasilkan. Balai Besar Yogyakarta, Balai Banjarmasin, Balai Pekanbaru, sudah memulai ber-MBKM sejak 2020. Ya, memang, sejak 2021 dan sampai saat ini kegiatan MBKM mereka semakin melesat dan ibarat api disiram bensin, bisa jadi karena ada sedikit--sedikit saja--campur tangan saya untuk lebih menyemangati mereka. Tim bodrek saya minta untuk mengidentifikasi progress program MBKM di semua balai (2 balai besar dan 7 balai). Dari hasil identifikasi itulah kemudian saya memiliki keyakinan bahwa program ini sangat besar manfaatnya. Maka, tanpa mengabaikan IKU yang memang harus dicapai, program MBKM terus bergulir dan semakin menampakkan kebermaknaannya. Jika suatu ketika saya diundang oleh Komisi X DPR RI, saya akan dengan gagah menyampaikan progres MBKM di Kemendesa PDTT. Tahun lalu, saya diundang oleh Komisi X DPR RI untuk menyajikan progres program MBKM, saya dengan hati ciut menyampaikan bahwa Kemendesa PDTT baru menyiapkan pedomannya.

Saat ini kami juga sedang menyiapkan agenda tahunan, yaitu Pemilihan TPP Inspiratif dan PSM Teladan. Agenda pertama sudah pernah dihelat beberapa tahun sebelumnya, lantas terhenti selama dua-tiga tahun, dan tahun ini kami mulai lagi. Sedangkan agenda kedua, tahun ini merupakan tahun pertama. Kedua agenda tersebut merupakah wadah bagi para TPP dan PSM untuk mengeksplore potensinya, memantapkan eksistensi mereka, sekaligus sebagai sarana memberi penghargaan bagi mereka yang potensial, agar menjadi isnpirasi bagi yang lain.

Semakin ke sini, semakin saya menyadari, betapa banyak pekerjaan rumah yang harus kami kerjakan. Ya kami kerjakan, bukan kami selesaikan. Karena pekerjaan rumah ini akan terus ada dan terus ada. Ada sekitar 34 ribu tenaga pendamping profesional yang tersebar di 74.960 desa di seluruh Indonesia, yang kinerjanya harus terus dipantau. Mereka juga perlu segera ditingkatkan kapasitasnya, salah satunya melalui sertifikasi, karena bila tidak, secara regulasi, mereka tidak bisa dikontrak lagi. Ada ratusan bahkan ribuan penggerak swadaya masyarakat yang membutuhkan perhatian karena dukungan anggaran untuk peningkatan kapasitas mereka sangat minim, sementara mereka dituntut untuk bisa melakukan penyuluhan, pelatihan, dan pendampingan, serta harus memenuhi angka kredit tertentu sebagaimana lazimnya tuntutan jabatan fungsional. Mereka juga harus diuji kompetensinya. Ada dua balai besar dan tujuh balai di seluruh Indonesia yang masih harus terus dioptimalkan perannya dalam melakukan tugas-tugas pelatihan, pemberdayaan, dan penerapan model; sementara kompetensi SDM dan sumberdaya yang lain masih belum semua memadai. Ada pembangunan zona integritas, reformasi birokrasi, manajemen risiko, dan berbagai regulasi yang harus terus-menerus dibenahi, ditelaah, dan diwujudkan. Ada banyak yang lain.

Sampai di sini, saya hanya bisa berjanji pada diri sendiri untuk terus berikhtiar, dan menyandarkan segalanya pada Allah Tuhan Yang Maha Menolong. Semoga Allah selalu meridhai ikhtiar-ikhtiar ini.

Insyaallah, atas izin Allah, saya siap terus berkhidmat, dimana pun, dan kapan pun.

Bismillah. Laa haula walaa quwwata illa billaah.

 

Jakarta, 14 Juni 2022

Minggu, 15 Mei 2022

SEPI


Sebuah puisi

Bicara tentang hati

Rasa yang tak terkatakan

Kata yang tak teruraikan

 

Dalam sepi

Puisi kian sunyi

Membuai lamunan diri

Tentang rindu dan mimpi-mimpi

Tentang makna hidup sejati

 

Ke mana arah tujuan

Dermaga tak jua dalam jangkauan

Meski sang surya hampir mencapai peraduan

 

Detik demi detik

Seperti berputar

Seperti bergerak

 

Tak kunjung sampai ke titik harapan

 

Sebuah puisi

Adalah lukisan hati

Adalah sepi...

 

Patra Jasa Semarang, 5 Mei 2013

Minggu, 08 Mei 2022

Lebaran dan MC (lagi)


Lebaran ini saya memiliki kesibukan yang sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Cuti saya diisi dengan MC, momong cucu. Sebuah kesibukan yang sungguh menyenangkan. Lelah? Hilang semua lelah begitu melihat senyumnya, tawanya, pulasnya, bahkan rengekan dan tangisnya.

 

Diawali dengan kehadiran Lumi Latifa, cucu kedua, yang lahir pada 14 April 2022. Rute saya dari Jakarta tidak hanya ke Surabaya, namun juga ke Ponorogo.

 

Lumi lahir di Ponorogo, dan selama menunggu masa setelah 'selapanan', dia bersama Mommy Yoan Lita dan Daddy Barrock Argashabri Adji , serta--tentu saja--Kakak Kai, tinggal di Ponorogo. Didampingi oleh Tati Yuliana Fatimah dan Tatung Bagyo, juga Mimi Sari LiesTyowati , Lumi dan mommy-nya lebih aman di Ponorogo. Mimi, kakak Mommy, seorang perawat. Perawatan pasca kelahiran baik untuk ibu dan bayinya bisa dilakukan di rumah dengan lebih intens.

 

Selama cuti lebaran, saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya pada 28 April sore. Penumpang membludak di Bandara Soetta, dan saya kembali menikmati sebagai ordinary people. Tanpa staf yang mendampingi dan membantu ini-itu, meski masih dimonitor ini-itunya. Tiket bisnis saya minta untuk di-down grade ke ekonomi. Saya mengangkat sendiri koper dan tas saya, sesuatu yang sejak sekitar sepuluh bulan ini tak pernah saya lakukan. Bahkan untuk memilih seat agak depan saja sudah tidak memungkinkan meski saya pemegang kartu gff platinum. Tak ada satu pun previllege yang berlaku untuk saya. Hehe. Saya sungguh menikmatinya.

 

Tiba di Surabaya pukul 20.00, meski seharusnya dua jam sebelumnya saya sudah mendarat. Ya, delay sekitar hampir dua jam.

 



Besoknya, yaitu 29 April, saya dan Mas Ayik Baskoro Adjie meluncur ke Ponorogo. Kami berada di Ponorogo sampai tanggal 3 Mei. Sehari di Guest House Kalandra milik adik sepupu, kemudian geser ke Ndalem Katong. Kai terus bersama kami, kecuali malam idul fitri. Kami sempat juga mengujungi Oma Diah Sastro  dan Mbak Gendis dan ber-bendi serta ber-pantai di Teleng Ria, Pacitan. 

 

Tanggal 3 Mei, kami meluncur ke Tuban. Kai bersama kami juga. Sehari di Tuban, saya sempat menghadiri halbil dan reuni SMP Filial dan SMADA Tuban, almamater saya. Bertemu dengan sekitar seratus teman lama, betul-betul sesuatu.

 

Dari Tuban, kami kembali ke Surabaya pada 4 Desember, selepas acara reuni. Bergulat dengan tugas-tugas seorang profesional. Mencuci, menyeterika, memasak, menyuapi Kai, menyapu, mengepel, bermain dan belajar bersama Kai, dan banyak lagi. Saya jamin, saya bukan amatiran dalam semua urusan ini. Boleh kok dibuktikan. Hehe.

 

Sore ini, saya harus kembali ke Jakarta. Tati dan Tatung sebenarnya sudah tiba di Surabaya sejak kemarin, dan bermaksud menjemput Kai, membawanya kembali ke Ponorogo, berkumpul bersama Mommy dan Lumi. Namun karena ada saudara yang sedang sakit dengan kondisi kritis di RKZ, Kai harus ikut bersabar dulu, menunggu kondisi memungkinkan untuknya. Ada Daddy, Opa, Dhe Yah, yang menemaninya.

 

Sejauh ini, Kai tidak pernah rewel. Selama dengan kami, hanya sekali atau dua kali dia memanggil-manggil Mommy-nya, yaitu saat kepalanya kejedot dan dia terjatuh. Saat ber-video call dengan Mommy-nya, dia mengobrol tanpa rengekan. Hal itu tentu saja membuat kami tenang. Namun bagaimana pun, saya ingin Kai bisa segera kembali ke Ponorogo dan berkumpul dengan Mommy dan adiknya. Tak ada tempat terbaik bagi seorang anak selain berada dekat dengan ayah bundanya.

 

Sabar ya, Kakak Kai.

Oma balik Jakarta dulu ya.

Baik-baik bersama Daddy, Opa, Tati, Tatung, dan Dhe Yah.

Insyaallah besok Kakak Kai sudah bisa bertemu dengan Mommy dan Adik Lumi.

 

Sehat selalu, Sayang.....

 

Surabaya, 8 Mei 2022

Sabtu, 07 Mei 2022

Bulir Padi


Bulir-bulir padi itu adalah harapan, tidak hanya bagi para petani pemilik sawah

Bulir-bulir padi itu juga harapan bagi para kuli penggarap dan penunggu sawah

Bahkan mungkin harapan itu jauh lebih besar

Karena bulir-bulir itulah sumber kehidupan mereka

Satu-satunya

 

Saat anak isteri ada di desa menunggu sepetak kebun atau ladang

Atau menemani orang tua, nenek, kakek yang sudah uzur

Para kuli itu berteriak-teriak mengusir serombongan burung mungil yang sedang mencoba keberuntungan

Hinggap dari satu helai ke helai tanaman padi yang lain

Terbang berhamburan saat suara para penunggu hingar-bingar memecah keheningan

Bertengger di pohon-pohon tinggi menunggu kesempatan

 

Bukan hanya burung-burung liar itu yang menggelisahkan para petani

Juga terpaan angin yang merobohkan padi-padi yang mulai menguning itu

Dan hama entah apa namanya yang membuat daun-daun padi mengering dan bulir-bulirnya menguning tidak rata

 

Bulir-bulir padi itu adalah harapan petani, penggarap, dan penunggu sawah

Di setiap bulirnya menyimpan kisah tentang kerasnya hidup, etos kerja, dan ketangguhan

 

Surabaya, 6 Mei 2018

Jumat, 01 April 2022

Wedang Sendang Ayu

Nama wedang ini bagi saya menarik. Sendang ayu. Setahu saya, sendang adalah sebuah tempat semacam kolam yang airnya sejuk, asli dari mata air pegunungan. Ayu, kita tahu semua, artinya cantik. Sendang ayu, artinya kolam yang cantik. Kalau Ayu Tingting, beda lagi ya.

 

Saya menemukan minuman panas ini di Pasar Ngasem, Yogyakarta, di suatu pagi saat matahari mulai menyembul. Pasar Ngasem yang dulu merupakan pasar burung, beberapa tahun ini sudah disulap menjadi pasar kuliner trdisional. Nasi gudeg, bubur gudeg, nasi lodeh, nasi brongkos, nasi sop, apem, beragam gorengan, beragam jajan pasar yang lain, berlimpah. Begitu juga dengan jenis wedang-wedangan. Kalau wedang kopi, wedang teh, wedang jahe, wedang jeruk, tentu sudah sangat biasa. Juga wedang uwuh, minuman yang sangat populer di Yogya. Nah, tentang wedang sendang ayu, saya baru tahu, meskipun sebenarnya wedang ini juga sudah lama ada.

 

Yogya memang terkenal dengan berbagai jenis wedang. Suatu pagi, kami rombongan dari Kememdes PDTT singgah di sebuah warung kopi saat perjalanan menuju Bandara Kulonprogo. Sambil menunggu kedatangan rombongan anggota Komisi V DPR RI yang akan melakukan kunjungan spesifik ke Bumdes Amarta di Sleman, kami menikmati pisang goreng dan mendoan yang konon sangat masyhur lezatnya. Ternyata tidak hanya makanannya yang lezat, wedang-wedangannya juga anglek. Beberapa di antaranya bernama wedang waras, 1wedang asmara, wedang gagasan, dan lain-lain. Semua dibuat dari beragam rempah segar dan kering. Yang terlihat adalah daun sereh, kapulaga, cengkeh, jahe, dan gula merah utuh. Kalau diaduk, gula merah tersebut akan lumer dan menyatu dengan air panas dan membuat warna wedang menjadi coklat tua.



 


Nah, wedang sendang ayu, mirip dengan wedang-wedang tersebut. Hanya saja, gelas penyajiannya berbeda, dengan gelas yang lebih pendek dan lebih lebar. Pebedaannya lagi, pada wedang ayu ada irisan jeruk, bukan jeruk nipis dan bukan jeruk lemon, lebih mirip dengan jeruk buah, namun kulitnya tipis dan rasanya agak asam. Jeruk apa ya namanya, saya lupa. Nah, berbagai bahan itu ditata sedemikian rupa di gelas yang pendek besar dengan penataan yang cantik. Mungkin karena inilah namaya sendang ayu. Gula yang digunakan adalah gula batu, sehingga kalau diaduk, warna wedang tetap bening.

 

Air panas yang digunakan direbus di atas tungku arang. Tidak hanya untuk merebus air, tungku arang juga digunakan untuk memanggang jahe emprit, jahe kecil yang rasa pedasnya lebih tajam daripada jahe besar. Saat disajikan, wedang tersebut tidak hanya penampilannya yang menarik, aromanya juga semerbak harum. Perpaduan antara daun sere, jahe, kapulaga, cengkeh, dan irisan jeruk.

 

Nah, bagi Anda yang belum pernah mencoba, silakan mencoba. Menikmati hangatnya segelas wedang sendang ayu, sepiring bubur gudeg, dan keramahan Pasar Ngasem dan orang-orangnya yang hangat bersahabat.

 

Yogya, 19 Maret 2022