Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Jumat, 27 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (3): Wilayah Perbatasan

Pagi ini, kami kembali menginjakkan kaki di Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Sebagian dari kami langsung menuju Bandara Internasional El Tari, sebagian masih beristirahat sejenak karena penerbangan masih sore nanti, dan sebagian check in lagi di Hotel Aston, karena penerbangan masih besok pagi. Saya sendiri bersiap-siap melakukan perjalanan darat menuju Atambua.

Perjalanan ke Atambua sebenarnya sudah tidak termasuk rangkaian Peringatan Nawawarsa UU Desa. Itu hanya ide spontan saya saja yang sudah sejak lama ingin melihat wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Berkali-kali ke Kupang, saya belum berhasil mencapai Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tempat terjauh yang sudah saya capai baru sampai Timor Tengah Selatan (TTS), untuk meghadiri kegiatan pengembangan bumdes, bersama Kepala BPPMDDTT Denpasar dan Bupati TTS.

Ide spontan itu tidak lepas dari tawaran Kepala Dinas PMD Provinsi NTT, Bapak Viktor Manek. Saat international conference tempo hari, beliau menanyakan apakah saya sudah pernah mengunjungi perbatasan. Ketika saya jawab belum, beliau menawarkan diri untuk mengantar saya sekaligus mengunjungi para pendamping desa di Atambua. Tentu saja saya senang sekali. Tanpa pikir panjang, saya langsung meminta izin kepada Pak Sekjen, dan beliau mengizinkan. 

Sekitar pukul 13.00, kami berangkat. Ada tiga mobil, satu mobil Pak Kadis PMD dan stafnya, satu mobil Pak Kapus P3MD, Dr. Yusra, dan stafnya, dan satu mobil membawa saya bersama dua orang staf dan tentu saja, seorang driver. 

Selama sekitar enam jam kami melaju di jalan yang mulus, berkelok-kelok, naik turun. Hanya ada sedikit sekali beberapa bagian jalan yang rusak. Nawacita-nya Presiden Jokowi benar-benar kami rasakan wujudnya. Membangun dari pinggiran. Jalan-jalan di daerah 3T, terutama yang berbatasan dengan negara lain, adalah jalan-jalan yang mulus. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Jokowi, wilayah perbatasan adalah berandanya NKRI, bukan halaman belakang. Sebagai sebuah beranda, maka infrastruktur dan pelayanan sudah seharusnya layak dan memadai, karena ini menyangkut harkat martabat bangsa sekaligus kewibawaan NKRI di mata dunia.


Kami tiba di sebuah hotel di Atambua saat matahari sudah tenggelam sempurna. Matahari Hotel, begitulah nama hotelnya, cukup memadai untuk kami beristirahat malam ini. Beberapa teman pendamping desa mengirimi kami nasi putih lengkap dengan ikan bakar, sambal dan lalapannya. Namun begitu saya melihat sate jeroan dan rasa sambalnya yang khas, saya langsung menebak, yang jual orang Lamongan. Dan ternyata benar. 

Orang Lamongan memang luar biasa. Di mana pun pergi, bahkan di pelosok-pelosok negeri pun, orang Lamongan ada. Mereka menjual soto lamongan, sego sambel atau penyetan, gorengan, dan lain-lain. Juga orang Jawa yang lain. Waktu di Rote kemarin, penjual bakso yang kami kunjungi berasal dari Sragen. Penjual jamu di Kupang, adalah orang Wonogiri. Saya pernah bertemu orang Lamongan yang jualan kue di Mamberamo Raya, Papua. Dan masih banyak lagi orang Jawa, termasuk orang Madura, yang bertebaran di mana pun di seantero Nusantara. Mereka eksis, kuat, dan bahkan bisa membuka lapangan kerja bagi banyak orang di sekitarnya, termasuk keluarga mereka di kampung asal.

Paginya, kami memulai kegiatan sekitar pukul 09.00, setelah menikmati sarapan dengan menu sederhana di restoran hotel, yang pelayannya perlu ditingkatkan keramahannya. Jalanan basah karena hujan baru saja reda. Gerimis kecil sempat menemani perjalanan kami menuju desa pertama yang kami singgahi. Namanya desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu. Ada puluhan pendamping desa, yang  biasa disebut tenaga pendamping profesional (TPP), yang sudah menunggu. Juga kepala desa dan perangkat desa. Ada juga belasan anak sekolah, yang di antara mereka menyajikan tarian khas, namanya tari likurai. Tarian ini konon merupakan tarian untuk menyambut pahlawan yang pulang dari perang dan membawa kemenangan. Setelah menari, salah satu dari anak sekolah membacakan kata sambutan dalam Bahasa Inggris yang sangat bagus dan natural. Oya, sebuah kain tenun khas Atambua diselempangkan di pundak saya oleh Ibu Kades. Ini adalah kain tenun Atambua pertama yang saya terima. Hari itu, dalam kunjungan-kunjungan selanjutnya, saya menerima empat kain tenun yang cantik-cantik, secantik alam NTT dan orang-orangnya.

Ada yang menarik di Desa Kabuna ini. Dari banyak prestasinya, salah satu prestasi yang mengesankan bagi saya adalah sebagai juara pertama perpustakaan umum desa se-Provinsi NTT. Mungkin fasilitas perpustakaan bisa jadi dimiliki oleh banyak desa yang lain, namun Kabuna mampu menggerakkan dan meningkatkan minat baca masyarakatnya. Kepala Desa Kabuna, Adrianus Yoseph Laka, menjelaskan bahwa Perpustakaan Desa Kabuna bersifat inklusif, dimana pengujung tidak hanya membaca namun dapat mengaskses internet sebagai sumber informasi tentang segala hal. Menurutnya, perpustakaan harus mampu mengubah perilaku masyarakat. Dia memasang internet untuk menarik minat masyarakat. Dia juga melibatkan pendamping perustakaan untuk mengklasifikasikan pengunjung sesuai dengan jenjang sekolahnya, mulai dari PAUD, SD, SMP dan SMA, serta kelompok orang tua. Koleksi perpustakaan disesuaikan dengan kebutuhan pengunjung. Ada kegiatan pemberian tugas bagi mereka serta permainan-permainan, dan kemudian mereka diberikan waktu mengakses internet untuk menyelesaikan tugas-tugas. Tentu tugas-tugas yang diberikan adalah tugas-tugas yang bermakna dan bersifat kontekstual, terkait dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami juga menemukan salah satu makanan khas, yang sebenarnya berasal dari Timor Leste, yaitu roti paung. Roti yang berbentuk bun kecil ini teksturnya keras, mengingatkan saya pada roti perancis. Saya sendiri menyukai roti bertekstur keras, sehingga roti paung ini cocok di mulut saya. Menurut penuturan Pak Kadis PMD dan Bu Kades, yang kebetulan adalah dosen di Universitas Timor Atambua, roti ini memang asli dari Timor Leste. Di Atambua, yang membuat roti ini adalah orang-orang asli Timor Leste yang eksodus pada saat jajak pendapat dulu. Sebagai koloni Portugis, roti ini sangat mungkin peninggalan negara tersebut.

Selesai kegiatan di Desa Kabuna, kami menuju  Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain, yang merupakan perbatasan Indonesia-Timor Leste. Nah, akhirnya, cita-cita terpendam saya terwujud. Yaitu menjejakkan satu kaki di wilayah NKRI dan satu kaki di wilayah Timor Leste. Seperti yang pernah saya lakukan di Sebatik, satu kaki di NKRI dan satu kaki di Malaysia. Panas matahari yang sangat menyengat tak membuat surut langkah kaki untuk sedikit memasuki wilayah Timor Leste. Hanya beberapa meter saja dari pintu masuk perbatasan, karena tanpa passport, tentu saja kita tidak diizinkan untuk meneruskan langkah. Dan memang tujuan hari ini tidak untuk mengunjungi Timor Leste, namun untuk melihat seperti apa wilayah perbatasan ini.

Kami juga bertemu dengan orang-orang Timor Leste yang sedang memasuki wilayah Indonesia yang akan mengunjungi keluarganya di Atambua. Kami juga melihat sejumlah orang yang memberikan jasa penukaran uang rupiah dengan Dollar AS atau sebaliknya. Ya, sejak berpisah dengan Indonesia, mata uang resmi Timor Leste adalah Dollar AS. Berbagai pertimbangan terkait pemilihan mata uang ini tentu termasuk karena mata uang ini dianggap kuat dan stabil dan diterima di seluruh dunia. Meskipun begitu, berbagai mata uang yang lain juga beredar di Timor Leste, termasuk rupiah, bath (Thailand), escudo (Portugis), dan dollar Australia.

Kami berlama-lama di wilayah perbatasan, dan sempat menunaikan shalat dhuhur di mushalla kantor keimigrasian. Kami juga menyempatkan mengobrol dengan para penjaga yang kabanyakan masih muda dan ramah. Harapan pemerintah bahwa wajah wilayah perbatasan tidak hanya layak dan indah, namun juga layanan yang ramah dan prima, sepertinya terwujud di sini.

PLBN Terpadu Motaain merupakan salah satu dari 18 pos lintas batas negara yang dimiliki oleh Indonesia dan yang pertama kali diresmikan diantara lima PLBN lainnya yang berada di Provinsi NTT. Saya sendiri beberapa kali mengunjungi wilayah perbatasan, namun PLBN di Atambua ini merupakan PLBN kedua yang saya kunjungi. PLBN pertama yang saya kunjungi adalah PLBN di perbatasan NKRI dan Papua Nugini, di Skouw, Papua. PLBN selain melayani bidang keimigrasian, kepabeanan, karantina, keamanan, dan administrasi pengelolaan, juga menjadi sistem utama yang melayani aktivitas masyarakat perbatasan, khususnya yang berhubungan dengan lintas batas.

Dari Motaain, kami melanjutkan perjalanan lagi. Tentu saja menuju ke arah Kupang, namun kami masih singgah dulu di desa Naiola, Kecamatan Noemuti, Kabupaten Timor Timur Utara (TTU). Puluhan pendamping desa juga sudah menunggu di sana, meskipun hari sudah mulai sore. Kami berdialog tentang berbagai isu terkait dengan peningkatan kinerja TPP. Kami juga memberikan motivasi pada TPP untuk bekerja sebaik mungkin sebagai bentuk pengabdian dan kepedulian kita pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Senja mulai jatuh dan kami pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kupang. Gerimis kecil menemani perjalanan kami membelah TTS menuju Kabupaten Kupang dan Kota Kupang, dalam balutan gelapnya malam. Kami mencapai Hotel Aston hampir tengah malam. Tubuh lelah, namun semangat tetap terjaga. Dini hari besok, kami harus sudah bergerak dari hotel menuju Bandara El Tari, dan terbang Kembali menuju Jakarta. 


Kupang, 16 Januari 2023

Kamis, 26 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (2): Rote Ndao, Sang Penjaga Kedaulatan NKRI

Sabtu pagi, sekitar pukul 08.00-10.00, kami berlayar menuju Rote dengan menumpang kapal cepat. Menteri desa dan ibu, wamen dan ibu, sekjen, semua pejabat eselon 1 dan 2, tim protokol, ajudan, dan pendamping, memenuhi kapal. Cuaca cerah, air laut tenang, hanya sesekali ada gelombang yang menggoyangkan kapal, mengayun-ayun, dan membuat kebanyakan kami tertidur pulas.

Saya duduk menatap keluar ke arah laut yang tak nampak lagi garis pantainya. Pikiran saya melayang pada hampir semua pengalaman melaut yang pernah saya alami. Saya pernah menaiki kapal cepat semacam ini dari Sorong menuju Raja Ampat. Waktu tempuhnya juga hampir sama, sekitar dua jam. Pernah menumpang Pangrango selama delapan-sembilan jam dari Saumlaki ke Pulau Babar, Maluku Barat Daya (MBD). Kembali dari Pulau Babar menuju Ambon, saya menumpang Feri Marseila selama sekitar sembilan belas jam. Terombang-ambing di atas Laut Banda yang airnya hitam kelam dengan ombak yang bergulung-gulung. 

Saya pernah juga menumpang speedboat dari Sarmi menuju Kasonaweja, Mamberamo Raya, Papua, selama tujuh jam mengarungi Sungai Mamberamo. Tujuh jam berada di atas speedboat yang lajunya menghentak-hentak keras, yang sesekali harus bermanuver untuk menghindari kayu-kayu besar yang merintangi. Pengalaman lain menaiki speedboat adalah saat mengarungi Pulau Banyak di Aceh Singkil, dan speedboat kami yang dikemudikan oleh Polisi Perairan (Polair) harus tiba-tiba berhenti di tengah laut karena ombak dan angin menghantam dari segala arah.

Namun dari semua pengalaman saya membelah lautan, berperahu nelayan dari Katundu menuju Pulau Salura, Sumba Timur, adalah pengalaman paling mendebarkan. Bagaimana tidak. Dengan perahu kecil, kami melaut di laut lepas. Tanpa pelampung. Dengan ombak yang bergulung-gulung dan kondisi hujan. Saking kecilnya perahu, setiap kali ombak menerjang, air laut masuk ke badan perahu dan kami harus mengeluarkannya dengan timba plastik. Sudah begitu, perahu sempat terhenti karena kehabisan bahan bakar, dan di mana bahan bakar disimpan, kami masih mencari-cari. Lantas saat menjelang merapat ke pantai, ombak besar menghadang sehingga perahu harus agak memutar untuk menepi dengan lebih aman. 

Sungguh semua itu menjadi pengalaman yang mungkin tak akan terlupa sepanjang hidup saya. Semua kisah tersebut saya tuangkan dalam website pribadi saya, www.luthfiyah.com.

Kapal cepat menuju Rote yang kami tumpangi saat ini bagai ayunan bayi yang meninabobokan. Tak heran kalau sebagian besar dari kami memilih tidur, memanfaatkan waktu karena lelah sebenarnya mulai menyapa. Sejak perjalanan Surabaya-Kupang dan berlanjut dua hari penuh mengikuti raker serta seharian mengikuti international conference, membuat kami seperti kurang istirahat. Maka tidur di kapal yang bergoyang-goyang kecil adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Bahkan terdengar dengkuran-dengkuran para penumpang yang kelelahan, bersaing dengan deburan ombak dan deru mesin kapal.

Menjelang kapal mencapai pantai, serombongan perahu nelayan menyambut kami. Perahu-perahu itu penuh dengan hiasan warna-warni. Pak Menteri dan kami semua melambai-lambai pada para pengemudi dan penumpang perahu-perahu kecil itu yang juga tengah melambai-lambai sambal memamerkan senyum ramahnya. 

Salah satu perahu yang paling kecil mengingatkan saya pada Salura, sebuah wilayah perbatasan antara Indonesia dan Australia. Perahu nelayan yang menggunakan motor, dengan suara mesin yang meraung-raung, serta asap hitam keluar dari cerobong kecilnya dan yang membuat hidung terasa berjelaga. Seperti itulah perahu yang saya gunakan untuk mengarungi Samudra Hindia menuju Salura beberapa tahun yang lalu.

Rote, pulau paling selatan ini, yang sangat panas, menyambut kami dengan segala keramahannya. Namun belum ada waktu untuk menikmati keindahan pantainya atau sekadar beramah-tamah dengan orang-orangnya, karena kami para pejabat eselon 1 harus mendampingi Menteri dan Wakil Menteri menuju titik nol kilometer selatan Indonesia. Jarak tempuh hanya sekitar satu jam, namun sekitar sepertiga jalan yang kami tempuh adalah jalan berbatu-batu, naik turun dan berkelok-kelok, membuat perjalanan seolah lebih lama. Meski tak bisa dipungkiri, betapa pemandangan selama perjalanan begitu menakjubkan. Ditambah lagi dengan pasukan pawai kuda berhias yang mengiringi rombongan saat memulai perjalanan, sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengesankan. Pasukan berkuda itu mengenakan pakaian khas lengkap dengan ti’i langga, topi lebar khas Rote. 

Dan selalu, saya selalu merasa tergugah setiap kali berada di wilayah-wilayah perbatasan semacam ini. Berbagai macam perasaan berkecamuk, namun kecintaan pada negerilah yang menyeruak sangat kuat. Mata saya kabur saat menatap Sang Merah Putih berkibar-kibar di atas bukit karang, diantara bentangan laut dan pantai yang luar biasa indah. Keharuan dan kebanggan bercampur-aduk. Panas matahari yang sangat menyengat tak menyurutkan langkah kami untuk menaiki bukit dan mendekat. Menteri, Wakil Menteri, Pejabat Pemprov NTT, Pejabat Pemkab Rote, para pendamping desa, dan masyarakat setempat, memadati bukit berbatu-batu itu. Di tempat ini, Menteri Desa sempat membagikan buku untuk para siswa. Menteri Desa juga mendapatkan gelar adat, dan dalam prosesi pemberian gelar tersebut, Menteri Desa dan Wakil Menteri sempat berdialog dengan  kepala-kepala desa.

Setelah puas bercengkerama dengan titik nol, kami kembali berkendara. Kami menuju Kantor Bupati Rote Ndao, dan menikmati jamuan makan siang yang lezat. Dari semua hidangan yang disajikan, jagung bose merupakan hidangan yang sangat khas. Hidangan yang bahan pokoknya dari jagung dan kacang-kacangan serta dicampur dengan santan ini mempunyai rasa yang relatif netral, dan lazim digunakan sebagai makanan pokok. 

Sehari itu agenda padat sekali, berakhir sampai sekitar pukul 22.30. Pesta Rakyat yang digelar di Pelabuihan Ba’a dengan berbagai hiburan, termasuk penampilan Marion Jola, penyayi asli NTT, benar-benar menyedot ratusan atau bahkan ribuan masyarakat Rote Ndao dan sekitarnya. Pidato Peringatan 9 Tahun UU Desa yang disampaikan oleh Menteri Desa juga sangat menarik, karena dibawakan dalam bentuk monolog, dan dilengkapi dengan tayangan video dengan layar yang sangat lebar dan atraktif. Menarik dan mencerahkan. Pada saat-saat tertentu, kami yang duduk di kursi undangan, turun dan menuju panggung untuk menyanyi dan menari bersama. Kami semua mengenakan busana adat Rote, sehingga sangat menyatu dengan masyarakat dan alam Rote. Kegembiraan kami semua sangat terasa pada malam yang kebetulan juga sangat cerah itu.

Meski agenda sangat padat, saya sempat bertemu dengan beberapa guru yang merupakan alumni SM3T dan PPG Unesa, yang sudah sekitar delapan tahun bertugas di Rote Ndao. Mereka adalah anak-anak muda yang luar biasa, yang menjadi guru melalui rekrutmen guru garis depan, dan memilih Rote sebagai tempat pengabdian mereka. Tentu saja mereka semua sudah berkeluarga, sebagian besar sudah memiliki anak, sudah memiliki rumah, dan bahkan sudah ber-KTP Rote Ndao. 

Kami mengakhiri malam itu dengan semangkuk bakso yang kami nikmati di pusat jajanan yang berlokasi di seberang hotel New Ricky, hotel tempat kami menginap. Bersama seorang guru yang saya pernah mengajarnya saat dia menempuh PLPG, dan mengingat saya karena saya pernah memberinya sebuah buku hasil tulisan saya sendiri. Rote Ndao tetap saja terasa hangat meski malam sudah semakin larut, namun selepas tengah malam, hujan turun meski hanya sebentar. Setidaknya ada kesejukan yang mengantar istirahat kami malam ini. Besok pagi, kami akan kembali mengarungi lautan menumpang kapal cepat menuju Kupang, meninggalkan Pulau Rote, Sang Penjaga Kedaulatan di Gerbang Selatan Indonesia.


Rote Ndao, 14 Januari 2023

Kamis, 19 Januari 2023

Nawawarsa UU Desa (1)

Setiap tahun, Kementerian Desa PDTT memperingati hari kelahiran UU Desa yang jatuh pada tanggal 14 Januari. Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan momentum penting perubahan paradigma dan pendekatan baru dalam pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

 

Bila pada tahun sebelumnya peringatan UU Desa diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat serta di Desa Cipta Gelar yang merupakan desa adat, maka tahun ini, peringatan UU Desa diselenggarakan di NTT, dengan mengambil tema desa perbatasan. Rangkaian kegiatan meliputi rapat kerja kementerian Desa PDTT, international conference on Sustainable Rural Development in Border Areas, dan pesta rakyat di Kabupaten Rote. Beberapa keynote speaker dari dalam dan luar negeri diundang pada international conference yang dilaksanakan secara luring dan daring, untuk mendiskusikan berbagai isu penting daerah perbatasan

 

Kegiatan rapat kerja kementerian desa PDTT dihadiri oleh Menteri Desa, Wamen, Sekjen, dan semua pejabat eselon 1 dan eselon 2.  Semua pejabat eselon 1 dan eselon 2 harus memaparkan hasil evaluasi program dan anggaran 2022, serta rencana program dan anggaran termasuk program unggulan tahun anggaran 2023. Raker dibuka oleh Menteri Desa PDTT, Dr. (Hc) Abdul Halim Iskandar, M.Pd. Pemandu raker adalah Sekjen Kemendesa PDTT, Taufiq Majid, S.Sos, M.Si. Menteri dan wakil menteri desa PDTT, Budi Arie Setiadi, serta semua peserta raker memberikan pendalaman setelah pemaparan setiap unit kerja.

 

Raker diselenggarakan di Ballroom Hotel Aston, Kupang. Hotel Aston sebenarnya biasa saja, namun view laut dan pantai adalah daya tarik yang eksotisnya tak terbantahkan. Meski di sana-sini masih ada hal yang mengganggu. Sampah yang bertebaran, tempat-tempat jualan yang kurang bersih. Namun itu semua terkalahkan dengan jejeran beragam ikan laut yang tersedia di pantai seberang hotel. Ikan-ikan yang segar dan siap disantap dengan berbagai olahan yang lezat.

 

Raker berjalan lancar. Kebetulan saya sebagai kepala BPSDM kebagian tampil pertama. Setelah saya, dilanjut dengan para pejabat eselon 2 di lingkungan BPSDM, dimulai dari sekretaris badan, kepala pusat pengembangan pemberdayaan masyarakat desa, kepala pusat pelatihan SDM, kepala pusat pelatihan pegawai ASN, dan kepala pusat Pembinaan Jabatan Fungsional. Diteruskan dengan pendalaman, yang secara bergantian disampaikan oleh staf ahli, para dirjen dan kepala badan, juga irjen dan kesekjenan. Terakhir adalah tanggapan dan arahan wakil menteri serta menteri.

 

Karena di Kementerian Desa PDTT ada 8 unit eselon 1 dan puluhan unit eselon 2, maka waktu raker selama dua hari terasa sangat padat. Raker dimulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 22.00, waktu istirahat hanya untuk ishoma. Namun karena kami relatif fokus dalam mendengarkan setiap presentasi dan terlibat aktif dalam diskusi, waktu berjalan seperti begitu cepat. Untuk mensiasati kelelahan karena kebanyakan duduk, di saat-saat tertentu kami menyelinginya dengan berjalan sebentar, bergerak, menekuk-nekuk badan. Untuk sebagian bapak, sesekali keluar ruangan sebentar untuk merokok.

 

Pada kegiatan tersebut, kami semua pejabat eselon 1 juga harus menandatangani perjanjian kinerja dan pakta integritas bersama menteri, yang disaksikan oleh wamen.

 

Semoga Allah memberikan kemudahan dan kelancaran pada kami semua untuk berkhidmat. Semoga Allah meridhai.

 

Amiin.

Selasa, 06 Desember 2022

Catatan Mengikuti PKN 1: Seminar IPP, Puncak Segala Tantangan

 


Hari ini adalah puncak dari empat bulan proses yang telah saya lalui. Sebagai peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat 1 di Lembaga Administrasi Negara (LAN), saya harus mengikuti jadwal on-off-on campus, pembelajaran e-learning, benchmarking, penyusunan policy brief,  seminar rancangan proyek perubahan (rancangan proper/RPP), dan hari ini, seminar implementasi proper (IPP).

Kami, 42 peserta PKN 1 Angkatan 55 LAN-RI, berproses sejak 25 Juli 2022, sampai nanti tanggal 9 Desember 2022. Saya mewakili Kemendesa PDTT, dan yang lain dari KemkumHAM, KemenPUPR, Sekretariat Kabinet, BKKBN, BAPETEN, BIN, BNN, BNPT, Bappeda Gorontalo, BPIP, BSSN, LAN RI, Pemprov Jabar, Pemprov Jatim, Pemprov Papua Barat, Pemprov Gorontalo, Sekda Sumedang, dan Kepolisian RI. Yang terakhir ini menyumbang peserta paling banyak, yaitu 20 orang.

Bagi saya sendiri, ini merupakan panggilan keempat untuk mengikuti PKN. Pada panggilan pertama dan kedua, alasan saya adalah karena adanya kekosongan dua jabatan eselon dua di BPSDM, sehingga saya perlu fokus untuk menata. Alasan pada saat pemanggilan ketiga, adalah karena ada tugas dari Pak Menteri yang saya harus laksanakan. Semuanya atas persetujuan Pak Sekjen. Tapi pada pemanggilan yang keempat, Pak Sekjen sudah tidak memberikan izin lagi pada saya untuk mangkir. Akhirnya, dengan tekad bulat, saya pun masuklah ke Asrama LAN. Bertemu teman-teman yang hebat, pengajar yang hebat, coach yang hebat, pengalaman-pengalaman yang hebat, dan saya merasa betapa beruntungnya saya berada di sini.

Mengikuti PKN ini memberi saya banyak insight dan juga keterampilan baru. Mulai dari terlibat dalam tugas-tugas menulis essay pada Agenda 1, 2, dan 3. Belajar tentang bagaimana menjadi pemimpin yang kolaboratif, pemimpin yang digital, melakukan komunikasi dan advokasi, membuat kebijakan publik, dan bagaimana menjadi pemimpin yang holistik. Kami juga dilatih bagaimana mengelola energi kepemimpinan. Kurikulum disusun dengan sangat baik dan pengajarnya juga mumpuni. Ada LMS dan perpustakaan yang setiap saat bisa kami akses. Juga layanan yang prima, mulai dari akomodasi, konsumsi, rekreasi, senam pagi, fitness centre, dan sebagainya.

Selain pembelajaran pada Agenda 1, 2, dan 3, pengalaman yang lain adalah menyusun policy brief dan benchmarking. Tema PKN 1 ini adalah ketahanan energi. Sebuah tema yang agak asing untuk saya dan mungkin sebagian besar teman. Namun karena ini merupakan tema wajib, maka kami semua berjibaku dengan browsing, discussing, debating, dan juga benchmarking. Kelompok saya sempat berkunjung ke Kementerian ESDM, Kemenko Kemaritiman dan Investasi (Marinvest), Pemerintah Kota Surabaya (Dinas Lingkungan Hidup dan PLTSa Benowo), dan Pemerintah Denmark (Kantor Kedutaan Denmark di Jakarta). Semuanya kami lakukan dengan suka cita, penuh kerelaan demi mendulang pemahaman dan pengalaman, sepenuhnya menyadari betapa gelas kosong di benak kami ini butuh diisi.

Gara-gara mengikuti PKN 1 ini, saya baru tahu kalau PLTSa Benowo, Surabaya, merupakan satu-satunya PLTSa yang saat ini sudah beroperasi. PLTSa pada sebelas kota yang lain, sesuai dengan Perpres 35/2018, sampai saat ini belum beroperasi karena berbagai kendala. Namun berdasarkan hasil diskusi dengan pengelola PLTSa serta dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, saya sangat meyakini, kepemimpinan yang kuat (political will) menjadi faktor utama keberhasilan pengembangan PLTSa.

Institusi/organisasi lain yang menjadi lokus Benchmarking Kebijakan adalah Kantor Kedutaan Denmark (Denmark Embassy) di Jakarta. Kunjungan ke Denmark Embassy dilakukan secara online, pada tanggal 28 September 2020, pukul 10.00-12.00. Kami berkumpul di Jatinangor, di sebuah hotel and resort yang menyediakan wahana untuk bermain golf. Tempat yang apik, udara yang sejuk, makanan yang enak, layanan yang ramah, dan hiburan tari serta angklung yang aduhai. Ketua kami, Pak Herman Suryatman, adalah Sekda Sumedang. Seorang yang trengginas, visioner, inovatif, dan selalu tersenyum. Bersama Bu Nanin, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Barat, beliau merancang semuanya dengan sangat keren, hangat dan menyenangkan.

Diskusi dalam rangka benchmarking diawali dengan presentasi Bupati Sumedang tentang Penerapan Digital Governance. Sumedang adalah kabupaten dengan nilai SPBE tertinggi pada tahun 2022. Sumedang memiliki command center sebagai basis data, analisis, dan dasar dalam membuat kebijakan berbasis digital yang detail dan terperinci. Pantaslah kalau kita perlu belajar ke Sumedang tentang bagaimana mengembangkan pemerintahan berbasis digitalisasi.

Diskusi selanjutnya dengan topik kebijakan Denmark tentang ketahanan energi. Perwakilan dari Denmark adalah Per Brixen (Deputy Head of Mission)  dan Nindya Natasasmita (Sector Advisor). Diskusi dipandu oleh Drs. Hendriyanto (wali Angkatan), pembukaan dan penutupan oleh Dr. Tri Widodo, Deputi  Bidang Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara. Presentasi tentang kebijakan energi Denmark disampaikan oleh Team Leader at the Danish Energy Agency, August Zachariae. Selanjutnya kami melakukan tanya jawab untuk lebih memahami, sesuai dengan topik kelompok kami masing-masing.

Kegiatan ini sungguh memberi insight yang luar biasa untuk kami semua. Untuk saya pribadi, ada banyak lesson learnt yang saya peroleh dari proses ini, antara lain adalah pentingnya berpikir holistik, pesan yang jelas, serta kepemimpinan yang kuat. Maka, sejak saat itu,  “The Spirit of Holistic, Clear Messages and Strong Leadership”, menjadi tagline yang saya hambur-hamburkan ke mana-mana.

Untuk tugas menyusun policy brief, kami dibagi dalam empat kelompok. Di bawah bimbingan coach, kami menyusun policy brief dengan begitu detil, berbasis data, dan analisis yang lumayan njelimet untuk bisa merumuskan rekomendasi yang tepat. Di kelompok saya, yaitu kelompok 3, coach kami adalah Pak Suseno. Sosok yang ramah, simpatik, wawasan dan pengalamannya luas, dan selalu menghargai. Beliau adalah motivator ulung di mata saya.

Ternyata policy brief tidak hanya untuk presentasi di kelas. Ternyata kami juga harus meramu policy brief semua kelompok sebagai policy brief kelas. Lantas kami harus mempresentasikannya di hadapan Kemenko Marinvest, Bapak Luhut Binsar Panjaitan. Ada semacam ‘tekanan batin’, tidak hanya pada saya, tapi juga pada hampir semua teman. Pengalaman kami yang pernah mengikuti rapat dengan Pak Luhut, beliau bisa saja memotong presentasi kita sewaktu-waktu kalau beliau tidak berkenan. Pembawaannya yang tas tes tas tes sempat menjadi beban tersendiri. Maka kamipun membentuk tim perumus, dan melakukan simulasi untuk memastikan presentasi kami oke. Pak Herman ketiban sampur untuk presentasi, karena Pak Luhut sudah mengenalnya. Dan alhamdulilah, sore itu, di kantor Kemenko Marinvest, Pak Luhut membiarkan Pak Herman menyelesaikan presentasinya. Bahkan setelahnya, Pak Luhut sempat menayangkan pencerahannya tentang kebijakan ketahanan energi di Indonesia. Wah, maremnya luar biasa.

Tugas terberat bagi kami adalah menyusun proper, dan memang di sinilah bobot penilaian tertinggi. Salah satu tuntutannya, karena ini PKN 1, sebuah program pelatihan kepemimpinan nasional yang paling tinggi, maka proper kami harus berskala nasional dan bahkan internasional bila memungkinkan. Seumur-umur, saya belum pernah dihadapkan pada tugas semacam ini. Tapi pengalaman menyusun skripsi, tesis, disertasi, dan artikel ilmiah, membesarkan hati saya untuk menghadapi dengan tenang tugas menantang ini. Apalagi di bawah bimbingan coach kami yang detil namun global, global namun detil, Bapak Setiabudi Algamar, kami menjalani setiap proses penyusunan proper itu dengan sangat baik.

Mempersiapkan seminar implementasi proper yang kami laksanakan hari ini, sempat membuat kami beberapa hari terakhir ini ogah tersenyum, ogah makan, ogah jogging, ogah makan bubur ayam, ogah ngapa-ngapain. Atau sebaliknya, justeru makan jadi lebih lahap (indikator stress, itu saya), dan ketawa jadi tambah lebar (mengalihkan stress, saya juga). Alhamdulilah, saya punya tim efektif yang sangat efektif. Meskipun yang efektif ya itu-itu saja, loe lagi loe lagi. Biasalah, di mana-mana juga begitu. Tapi tim lengkap saya berbagi tugas dengan begitu ciamik, tentu saja komando tetap sepenuhnya di tangan saya. Semua pejabat eselon 2 di BPSDM terlibat. Plt sekretaris BPSDM (Dr. Fujiartanto) dan Plt Kapus PJF (Agus Wicaksono) yang mengawal kebijakan, Kapuslat Pegawai ASN (Dr. Mulyadin Malik) yang mengawal SIM, Kapus P2MD (Dr, Yusra) yang mengawal sosialisasi dan anggaran. Pejabat eselon 3 (kepala balai besar/balai dan kabag umum dan RT) juga terlibat. Begitu juga  pejabat fungsional terutama para penggerak swadaya masyarakat (PSM) dan analis kebijakan, serta para tenaga pendamping profesional (TPP), dan bahkan teman-teman PPNPN.

Wow, begitu bersemangatnya. Saya serasa sedang di-charge pakai batere super-energizer. Saya sudah lama sekali tidak mengalami situasi seperti ini. Setahun setengah bergabung di Kemendesa PDTT, membuat saya agak terlena dengan “pasukan bodrex” yang selalu ada di sekitar saya. Setiap saat siap sedia melakukan apa pun untuk saya, bahkan untuk hal-hal yang remeh-temeh. Dan di LAN ini, saya dikondisikan pada situsasi yang saya harus membangkitkan kembali kemandirian saya, daya juang saya, sekaligus kemampuan untuk membangun kebersamaan, merangkul semuanya, meyakinkan bahwa proper ini bukan tanggung jawab saya sebagai Luthfiyah Nurlaela, namun tanggung jawab kita semua sebagai BPSDM Kemendesa PDTT.

Dan hari ini adalah puncak dari segala tantangan itu. Saya sudah mempresentasikan laporan implementasi proyek perubahan yang kami gagas bersama, di depan Narasumber Dr. Agus Sudrajat (Deputi Bidang Kajian dan Inovasi Manajemen Aparatur Sipil Negara, LAN RI), Mentor Bapak Taufik Majid, S.Sos., M.Si (Sekjen Kememdesa PDTT) dan Coach Bapak Ir. Setiabudi Algamar, MURP (Widyaiswara Utama LAN-RI).  Output pertama adalah Peraturan Menteri Desa PDTT (Permendesa PDTT), yang sudah terbit setelah berjuang mulai dari penyusunan draf, uji publik, harmonisasi, persetujuan presiden, sampai pada pengundangan. Masyaallah. Sebuah proses yang bikin hati kebat-kebit. Awalnya saya menargetkan Permendesa pada capaian jangka menengah, namun saat seminar rancangan proper, penguji dan mentor menyarankan supaya target itu ditarik di jangka pendek. Subhanallah, Allah yang Maha Rahman memberikan kemudahan-kemudahan, semua proses lancar nyaris tak ada hambatan berarti. Tim permendesa bekerja day to day, tak kenal lelah. Tentu saja dengan pengawalan ketat dari Biro Hukum (Mas Rully dkk) dan teman-teman PSM (Mbak Kartika dkk). Rekan-rekan PKN 1 yang dari KemenkumHAM (Bu Cahyani) dan Sekkab (Pak Teguh), ikut membantu terus mengawal. Sampai pada saat kami sudah hampir menyerah menunggu tahap akhir yaitu penetapan, tanggal 04 Desember 2022, sore hari, Bu Cahyani memberi kabar bahwa NBRI untuk permendesa kami sudah turun, karena Menteri KumHAM sudah menyetujuinya. Ya Allah, serasa mau teriak sambil putar-putar alun-alun saya. Untunglah saya tidak tahu di mana alun-alun di Pejompongan ini, sehingga saya tidak jadi teriak-teriak dan putar-putar. Sebagai gantinya adalah sujud syukur di atas sajadah dan membiarkannya basah karena air mata rasa syukur saya.

Output kedua adalah, SIM Penggerakan Kesawadayaan Masyarakat, yang kami namakan Sipenggerak. Nyaris tidak ada masalah dalam pengembangannya. Tahap perancangan, ujicoba, bimtek dan evaluasi, berjalan mulus-mulus saja. Tim efektif yang menangani SIM ini, di bawah komando Kapuslat Pegawai dan ASN, Dr. Mulyadin Malik, sungguh tim yang andal. Apalagi kami juga berkolaborasi dengan teman-teman Unesa yang sudah sangat mahir dalam urusan per-SIM-an ini.

Output ketiga, adalah publikasi artikel ilmiah. Mungkin karena budaya kampus masih terus melekat pada diri saya, maka publikasi dalam bentuk artikel ilmiah seperti menjadi tagihan wajib untuk saya pribadi. Namun alasannya sesungguhnya sangat masuk akal. Salah satu kegiatan utama PSM dalam unsur pengembangan keprofesian, adalah menulis karya ilmiah. So, kloplah. Dan yang luar biasa, untuk kami yang nekad ini, publikasi artikel ilmiah yang awalnya akan kami ikutkan pada forum ilmiah pihak lain, ternyata justeru forum ilmiah itu bisa kami selenggarakan sendiri. Ya, kami menggelar agenda 1st International Conference on Empowerment of Rural Community. Saat penyelenggaraan, tanggal 30 November 2022, Menteri Desa dan Sekjen bergabung dan memberi opening speech dan keynote speech. Lima invited speaker, dari LAN-RI (Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo), UB (Prof. Luchman Hakin, Ph.D), UiTM MARA Malaysia (Dr, Anderson Ngelambong), Rajabhat University Thailand, (Dr. Thandthong Brammanee), dan dari IDN Global (Bapak Sulistyawan Wibisono), bergabung di sesi pleno. Ada 64 artikel yang diseminarkan di sesi paralel, yang ditulis oleh PSM, TPP, akademisi, mahasiswa, bahkan Pejabat eselon 1 dan eselon 2. Ada 14 reviewer yang kami himpun untuk me-review artikel, mereka adalah akademisi dari dalam maupun luar negeri. Wow!

Output lainnya adalah Lokakarya Penggerakan Keswadayaan Masyarakat, Media Partnership, dan Book Talk. Output tambahan yang sungguh signifikan dalam mendukung pencapaian output kunci. Semuanya dimaksudkan untuk lebih mendekatkan sinergi antara PSM dan TPP serta stakeholder yang lain, memberikan ruang untuk aktualisasi potensi dengan karya-karya yang sudah mereka hasilkan, dan membuka peluang untuk terbangunnya jejaring akademis dan insight sharing.

Senangnya, semua yang terlibat merasa telah memperoleh mamfaat yang luar biasa dan siap untuk terus terlibat pada program-program selanjutnya. Nah, ini yang penting. Membangun engangement, ini yang sungguh sangat penting, karena semua yang kami lakukan tidak semata-mata demi proper, namun harus terus terjamin keberlanjutannya.

Hari ini adalah puncak dari segala tantangan itu. Mentor, narasumber, coach, semua memberikan apresiasi dan dukungannya pada capaian kami. Tapi saya tidak boleh jumawa. Saya tidak boleh takabur. Saya tidak boleh terlena dalam euphoria keberhasilan. Saya harus tetap tawadhu’, harus tetap berjuang untuk mewujudkan bagian yang belum selesai dan harus kami selesaikan.

Hari ini, puncak dari segala tantangan itu. Lusa masih ada festival inovasi yang juga menjadi bagian dari penilaian, yang juga harus kami siapkan. Masih ada Malam Keakraban yang juga harus kami laksanakan. Masih ada agenda pelepasan, yang akan menandai kami sudah lulus mengikuti pelatihan di ASN Corporate University LAN RI, kampus yang menjadi kawah candradimuka kami.

Namun, hari inilah, puncak dari segala tantangan itu. Saatnya memberi waktu bagi tubuh untuk jeda sejenak, sejenak saja, karena besok, tugas-tugas sudah menunggu kita.

Saya tidak bisa menyebut satu per satu pada semua sosok yang sudah mendukung proyek perubahan ini. Tapi saya ingin menyebut Menteri Desa (Dr (HC) Drs. Abdul Halim Iskandar, M.Pd), Sekjen, semua pejabat tinggi madya dan pratama di Kemendesa, Kepala LAN-RI dan seluruh jajarannya, semua stakeholders, para PSM, TPP, tenaga ahli, staf, teman-teman PPNPN, semuanya yang mungkin kelewatan tidak saya sebut. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT mencatat semua yang sudah kalian kontribusikan, sebagai amal baik yang berlimpah pahalanya. Amin.

Untuk para peserta PKN 1 Angkatan 55, selamat berjuang, Saudara-saudaraku. Tugas berat di pundak kita adalaa amanah yang harus kita pertanggungjawabkan. Mari terus  bergandeng tangan, saling menguatkan, saling mengilhami. Demi agama, nusa dan bangsa. Demi generasi yang kita cintai. Semoga Allah SWT meridhai. Amin. 


Jakarta, 5 Desember 2022

Luthfiyah Nurlalea

Minggu, 07 Agustus 2022

Kang Zainal


Namanya Zainal Muttaqin. Kami memanggilnya Kang Zainal. Panggilan khas untuk semua santri laki-laki di pondok kakek kami, Kyai Chusain.

 

Kang Zainal, meskipun tidak mondok di pondok kakek saya-- waktu dia mondok, kakek saya sudah meninggal-- kami tetap memanggilnya Kang. Bapak kami menempatkannya di rumah, bukan di pondok. Dia disediakan kamar depan, makan sehari-harinya Ibu kami yang mengurusnya.

 

Ya, Kang Zainal yang asli Brebes ini diistimewakan oleh keluarga kami. Dia tuna netra. Makanya dia ditempatkan di rumah. Bapak dan Ibu tidak sampai hati menempatkannya di pondok, pasti dengan pertimbangan tertentu. Bapak saya setiap hari mengajarinya membaca Al Quran huruf braille, setelah mengajar para santri di pondok.

 

Itulah kenangan yang tersisa di memori saya tentang Kang Zainal. Saya masih SMP saat dia mondok di rumah. Setiap habis mengaji dan sarapan, dia berdiri mematung di halaman rumah, sambil bibirnya bergerak-gerak menghafal ayat-ayat yang baru saja dibacanya bersama Bapak.

 

Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk di ponsel saya. "Assalamualaikum wr wb. Saya Zainal Muttaqin."

 

Sejenak saya bertanya-tanya, siapa Zainal Muttaqin? Begitu saya lihat profilnya, masyaallah, saya seperti tak percaya, dialah Kang Zainal. Waktu puluhan tahun pasti sudah mengubahnya sedemikian rupa, namun saya masih bisa melihat dengan utuh sosoknya.

 

Kang Zainal bercerita, dia sekeluarga baru saja bersilaturahim ke rumah kami di Jenu-Tuban pertengahan Juli, sekitar sebulan yang lalu. Dia memperoleh nomor saya dari kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach .

 

Hari ini saya bersilaturahim ke rumahnya di Purwakarta. Bersama beberapa kolega dari Kemendes PDTT, karena semalam kami berkegiatan bersama para TPP Kabupaten Purwakarta.

 

Kami menemuinya saat dia sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang terbuka dan menghadap perbukitan dan hutan. Ya, tempat tinggalnya memang dekat sekali dengan hutan, hanya sekitar satu kilometer dari tempat yang dinamakan Ujung Aspal. Benar-benar ujung aspal, karena setelah itu, tidak ada jalan lagi. Mentok hutan pinus. Kami berkesempatan healing juga ke hutan pinus itu, yang sudah disulap menjadi tempat wisata yang sangat menarik.

 

Wajahnya yang tenang dan teduh tak berubah meski garis-garis usia nampak begitu jelas. Jenggot panjang yang telah memutih melengkapi penampilannya. Dengan balutan baju gamis putih, kulitnya yang putih nampak semakin bersih. Tentu itu karena cahaya yang memancar dari kemurnian hatinya juga. Dari ketawadhu'annya. Dari keshalehannya.

 

Kami mengobrol, saling bercerita, bersama isterinya. Anaknya enam, semua mondok. Setiap bulan keluarganya mengadakan mauludan, setiap tahun mengadakan haul. Dia meng-haul-kan orang tua dan guru-gurunya, termasuk bapak saya, Abah Zawawi, begitu dia menyebutnya. Sesekali dia mengumpulkan anak-anak di lingkungannya, di antaranya adalah anak yatim. Dia juga hobi bersilaturahim ke sanak-saudara dan handai taulan, juga membiarkan pintu rumahnya terbuka untuk siapa pun orang yang ingin bertamu dengannya.

 

Kang Zainal, sampai pada usianya yang menjelang enam puluh tahun ini, hidup dengan sederhana tapi sangat layak. Dia tinggal di rumah yang besar dan nyaman meski sederhana, isterinya yang pintar memasak bisa berbelanja saban hari, dia juga memiliki kendaraan roda empat yang  juga nyaman.

 

Jangan ditanya berapa banyak pemasukannya per bulan. Dia tidak pernah bisa menjawab. Tapi dia mungkin masih bisa menjawab saat ditanya berapa pengeluarannya per bulan. Untuk membiayai keenam anaknya di pondok, mengumpulkan para kerabat untuk acara mauludan, menjamu tamu-tamu yang nyaris tak pernah jeda, membiayai perjalanannya dalam rangka silaturahim dan ziarah, pastilah belasan atau bahkan puluhan juta dia keluarkan. Dia bilang, rezekinya dikirim Allah, semata berkah dari para gurunya.

 

Keikhlasannya, keistiqomahannya, ketaatannya, kesyukurannya, membuat dia sekeluarga menjalani hidup dengan bahagia dan apa adanya. Kecintaannya pada Allah dan Rasul, kecintaannya pad Al Quran, benar -benar telah membuat hidupnya selalu berkecukupan.

 

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak merugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunianya" (QS Fathir: 29-30).

 

Purwakarta, 6 Agustus 2022

Minggu, 26 Juni 2022

Pasar Terapung


Berkali-kali ke Banjarmasin, baru kemarin saya sempat ke pasar terapung. Kami menumpang perahu dengan waktu tempuh sekitar satu jam dari pangkalan. Pagi masih menyisakan subuh dan langit berhias pendar jingga. Air sungai coklat keruh dengan enceng gondok berbaur sampah di beberapa permukaannya. Rumah-rumah kayu di sepanjang sungai, dan para penghuni terlihat sedang beraktivitas. Mencuci baju, mencuci piring, memandikan si kecil, atau sekadar duduk-duduk sambil merokok. Beberapa perahu bersandar di rumah-rumah di atas sungai itu. Sebagian melaju dengan para perempuan dan laki-laki yang mengayuh perahu penuh dagangan, berpacu dengan waktu.

Sampai di pasar terapung, saya sungguh takjub. Saya sudah sering melihat di gambar-gambar, media sosial, televisi, pasar terapung di Banjar ini. Tapi semua yang saya lihat pagi kemarin jauh lebih indah dan menakjubkan. Bahkan lebih indah dari pasar terapung yang saya pernah kunjungi di Thailand. Tidak sekadar keindahan yang disuguhkan dari jajaran komoditi yang dijual di atas perahu-perahu kecil itu. Namun juga keindahan yang dipertontonkan oleh para peniualnya, para perempuan setengah baya dan lanjut usia yang giat mengayuh perahu dan merapatkan perahu-perahu mereka ke kapal penumpang. Lantas mereka menawarkan dagangannya kepada kami semua. Dengan senyum dan rayuan mautnya. Dilengkapi dengan pantun-pantun jenaka yang sungguh-sungguh menyegarkan. 

Oh indahnya pagi ini. Indahnya Indonesia. 

Jeruk, sawo, ikan asin,  rempeyek, bermacam jajanan, bahkan nasi bungkus, berpindah ke tangan kami. Bukan karena kami ingin melahapnya. Hanya karena kami menemukan alasan untuk sedikit berbagi. Menambah keindahan di mata-mata dan senyum-senyum yang sudah indah itu.

Sekitar setengah jam saja kami bercengkerama dengan para perempuan pejuang itu. Kapal kecil kami kembali ke pangkalan, meninggalkan pasar apung yang begitu mengesankan.

Sebentar lagi, kami harus segera bersiap untuk melaksanakan tugas di Kabupaten Barito Kuala. Bertemu bupati, wakil rektor 4 Univesitas Lambung Mangkurat beserta dosen dan mahasiswa yang sedang melaksanakan KKN di desa percontohan, sinergi dengan BPPMDDTT Banjarmasin. 

Banjarmasin, 25 Juni 2022

Sabtu, 18 Juni 2022

Penulis Amatir (Bagian 2, selesai)


Suatu ketika, secara kebetulan, saya dipertemukan dengan para pegiat dan dedengkot literasi, antara lain almarhumah Sirikit Syah, Satria Dharma , Much Khoiri , almarhum Rukin Firda , Eko Prasetyo , Habe Arifin , Ihsan Mohammad , Ria Fariana , Abdur Rohman , Pratiwi Retnaningdyah , Mas Hartoko ,  Dina Hanif Mufidah ,  Icha Hariani Susanti , Fafi Inayatillah , dan banyak lagi. Mereka semua adalah alumni IKIP Surabaya atau Unesa. Mereka semua penulis yang merupakan alumni fakultas bahasa. Mungkin karena tulisan jugalah yang membawa saya bisa masuk dalam komunitas para dedengkot ini.

 

Kami tergabung dalam milis keluarga Unesa. Berdiskusi banyak hal dan berbagi pengalaman lewat tulisan. Lantas kami membuat buku keroyokan. Ada kumpulan cerpen, kumpulan puisi, kumpulan feature, dan kumpulan artikel.

 

Saya juga mengikuti kegiatan-kegiatan literasi seperti bedah buku, pelatihan menulis, diskusi dan seminar.

 

Suatu saat, ada kegiatan bedah buku di Balai Pemuda. Buku yang dibedah adalah antologi cerpen berjudul "Ndoro, Saya Ingin Bicara." Sebuah buku yang kami tulis keroyokan. Salah satu narasumbernya adalah sastrawan beken Tengsoe Tjahjono . Ada satu pernyataan beliau yang terus terngiang-ngiang di benak saya. Intinya, seorang sastrawan tidak pernah berhenti menulis. Bila seseorang pernah menulis, kemudian dia berhenti menulis, lantas menulis lagi, sesungguhnya dia bukan seorang sastrawan, bukan seorang penulis.

 

Nah, itulah mengapa saya menyebut saya sebagai penulis amatir. Saya menulis hanya kalau ingin saja. Khususnya menulis cerita fiksi, puisi, feature, atau artikel ringan. Saya tidak secara konsisten memaksa mood saya untuk selalu mau menulis. Sesuka-suka saya. Apa yang saya tulis juga sesuka-suka saya. Nyaris tak pernah pasang target. Pokoknya nulis kalau lagi mau. Kalau nggak, ya nggak nulis. Hehe.

 

Namun tentu saja berbeda ketika menulis sebagai tuntutan profesi. Tuntutan akdemis. Kalau urusan ini, saya selalu pasang target. Menulis skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, publikasi ilmiah, buku kuliah, harus dan harus. Tapi jangan salah. Saya pasang targetnya pakai standar minimal saja ya. Sekadar, ya sekadar memenuhi tuntutan minimal untuk naik pangkat dan jabatan. Tapi alhamdulilah, so far, pencapaiannya selalu di atas target minimal. Berkah mestakung. Semesta mendukung.

 

Sebagai seorang penulis amatir, maka menulis yang paling mudah bagi saya adalah menulis feature. Ya, karena jenis tulisan ini lebih banyak menceritakan pengalaman pribadi, bisa yang dialami sendiri atau orang lain. Tidak terlalu terikat pada aturan atau kaidah penulisan. Tidak selalu butuh referensi, tidak memerlukan metodologi.

 

Menulis yang paling abot bagi saya adalah menulis artikel ilmiah untuk publikasi pada jurnal ilmiah. Perlu ketekunan, ketangguhan, kesabaran, daya tahan. Bagi banyak teman, menulis artikel ilmiah bisa jadi mudah dan dia bisa menghasilkan belasan artikel ilmiah setiap tahun. Kalau ada yang seperti ini, saya cukuplah berdecak kagum dan mengucap kata "wow!".

 

Selesai

 

Surabaya, 19 Juni 2022