Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 29 Oktober 2016

Dompu (3): Drama Satu Babak

Acara serah terima di pendopo Kabupaten Dompu berjalan lancar, meski bupati tidak hadir. Asisten Bupati menggantikan menyambut kami beserta Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Puluhan kepala sekolah juga hadir dan siap membawa serta para guru SM-3T ke lokasi tempat penugasan. Pada acara itu, setelah acara sambutan dari Asisten Bupati, Prof. Sukirno memberi sambuta selaku Koordinator SM-3T UNY, dan saya memberi sambutan sebagai wakil dari Direktorat GTK Kemdikbud.

Selepas acara serah terima, Pak Nuril menawari saya untuk bersama-sama beliau menuju Pekat, tempat terjauh yang merupakan lokasi penugasan beberapa peserta SM-3T. Saya menyetujui, tetapi driver yang membawa saya ragu, karena hari sudah terlalu sore, menjelang maghrib. Dia bilang, "bisa-bisa tengah malam kita baru tiba kembali ke sini, bu." Saya pun meminta maaf pada Pak Nuril karena tidak bisa bersama-sama beliau mengantarkan para peserta SM-3T ke Pekat. Sepertinya hari ini saya tidak terlalu bersemangat untuk 'berpetualang'. Kondisi tubuh yang sebenarnya tidak terlalu fit membuat saya memilih untuk tinggal di Kota Dompu saja. 

Selepas maghrib, Nur, adik angkatan saya di Himapala, lulusan Pendidikan Teknik Sipil Unesa, dan guru SMK 1 Woja, mengunjungi saya di hotel tempat saya menginap. Dibawakannya saya sekantung besar makanan khas Dompu, termasuk sejerigen dan sebotol madu. Juga Kue karoto sahe dan kue kahangga khas Dompu yang manis, legit, dan gurih. 

Sebelumnya, Ibu Firdan, bibinya Arifuddin, salah seorang alumnus PPG SM-3T, sudah membawakan saya madu, lengkap dengan telur lebahnya, setoples plastik ukuran tanggung. Wah, saya bisa buka toko madu nih di Surabaya. Madu asli Bima dan Dompu lagi.

Nur, seperti saudara saja bagi kami, saya dan suami. Begitulah kami para anggota Himapala. Di mana pun berada, kami akan saling mencari dan berusaha untuk bisa bertemu. 

Nur biasa kami panggil Dompu. Itu memang panggilannya di Himapala. Nama aslinya, Noerlaila Wahida, sering kami lupakan. Sekadar cerita, sebelumnya saya sendiri mengira namanya memang Dompu. Ternyata itu hanya julukan Nur saja yang diberikan oleh teman-teman Himapala, semata-mata karena dia berasal dari Kabupaten Dompu. Saya sendiri baru mengenal bahwa Dompu adalah nama sebuah kabupaten, beberapa tahun belakangan ini. Pelajaran geografi saya memang payah.

Saya memilih Dompu ini pun, salah satu pertimbangannya karena ada Nur di sini. Selain, tentu saja, karena saya belum pernah ke Dompu. Juga, Dompu adalah satu-satunya kabupaten di NTB yang digunakan sebagai wilayah penugasan SM-3T angkatan VI. Satu pertimbangan penting lagi, adalah karena Dompu merupakan kampung halaman Syahru Romadhon.

Malam ini saya bersama Nur mengunjungi keluarga Syahru Romadhon. Syahru adalah mahasiswa PPG Unesa angkatan 3 yang meninggal di asrama pada Maret 2015 yang lalu. 

Waktu itu, Syahru baru dua minggu tinggal di asrama Kampus Unesa Lidah Wetan. Saya memanggilnya ke ruangan saya, dan saya tanyakan kabar tentang ayahnya yang sakit keras. Saya tahu ayah Syahru sakit karena saat masih bertugas di Mamberamo Tengah sebagai guru SM-3T, Syahru sempat minta izin untuk pulang awal karena ayahnya kritis. Nah, seminggu setelah saya memanggilnya itu, anak muda yang patuh dan pendiam itu meninggal di kamarnya di asrama, pagi hari setelah dia menunaikan salat dhuha dan dalam keadaan sedang membaca Al Qur'an. Semoga Allah SWT memberinya chusnul khotimah. 

Siang harinya, jasad Syahru divisum di RSUD Dr. Soetomo, malamnya disalatkan di Masjid Kampus Lidah Wetan, dan pagi diterbangkan ke Dompu, NTB. Saya sendiri tidak bisa mengantarkan jenazahnya karena tidak ada penerbangan ke Bima waktu itu. Namun Pak Heru dan Pak Rahman, serta salah satu saudara sepupu Syahru yang kuliah di ITS, mendampingi jenazah Syahru ke kampung halamannya. Mereka terbang dari Surabaya menuju Lombok, dan lanjut menyeberang ke Bima dengan kapal laut. Pesawat yang menuju Bima adalah pesawat ATR, sehingga bagasinya terlalu kecil untuk memuatkan peti jenazah. Dari Bima, jenazah diangkut mobil ambulance menuju Dompu.

Saat ini, saya sudah berada di depan rumah keluarga Syahru. Ummi Ros, ibunda Syahru, dan juga bapaknya yang baru pulang dari masjid, menyambut kedatangan saya dan Nur. Dua adik Syahru juga ada bersama mereka. Tak berapa lama, nenek Syahru serta paman dan bibinya, bergabung. Saya dengan segala pemahaman saya, menyampaikan rasa syukur saya karena bisa mengunjungi abah dan ummi-nya Syahru. Kami duduk di atas tikar, ngobrol, berbasa-basi, sampai kemudian Ummi Ros tiba-tiba bertanya.

"Sebentar, apakah ini Ibu Luthfi?"

Oh Tuhan. Saya baru sadar, saya belum memperkenalkan diri sejak kedatangan saya sekitar sepuluh menit yang lalu. Jadi sejatinya keluarga ini tidak tahu mereka sedang berbicara dengan siapa. Saya terlalu percaya diri dengan mengira mereka sudah mengenal saya dengan cukup baik.    

"Ya, Ummi, betul. Saya Luthfiyah."

Dan seperti dikomando, tiba-tiba tangis pecah di ruangan kecil itu. Ummi Ros menghambur ke pelukan saya dan melepaskan tangis dan sedu-sedannya. Lelaki tua itu, sang Abah, bangkit dari duduknya sambil menutup mukanya. Dua adik Syahru menundukkan kepala dalam-dalam dengan muka memerah. Nenek, paman dan bibi Syahru, dengan isaknya masing-masing. Saya pun tak kuasa menahan air mata yang membanjir. Nur terpukau memandang semuanya. Tak menyangka akan menyaksikan drama satu babak yang begitu dramatis. Sampai akhirnya semuanya bisa menguasai diri dan suasana mulai berangsur normal meski diliputi kesedihan mendalam.

Syahru Romadhon adalah anak pertama di keluarga itu. Lulusan Prodi Pendidikan Matematika IKIP Mataram, lantas mengikuti Program SM-3T Unesa, bertugas setahun di Mamberamo Tengah, Papua. Menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga. Selama di tempat penugasan, insentif bulanannya disisihkan untuk menopang kebutuhan keluarga, termasuk membeli obat-obatan untuk ayahnya yang sakit paru-paru. Umi Ros, ibunya, adalah mantan TKW di Arab Saudi, makanya dipanggil 'Ummi', sebutan yang lazim bagi perempuan yang sudah berhaji. Kedua adiknya masih bersekolah di pendidikan menengah. Tinggal di rumah kecil dengan perabot sederhana, dengan ibunya yang berdagang kecil-kecilan, memang berat bagi keluarga tersebut untuk hidup dengan layak. Kepergian Syahru yang menjadi tumpuan keluarga menjadi pukulan berat. Apa lagi dalam kondisi Syahru sedang berada di rantau dan masih sempat mengobrol dengan abah ummi serta adik-adiknya semalam sebelum kepergiannya. Rasa kehilangan yang mendalam itu membuat Ummi Ros sangat sering menghubungi saya untuk menumpahkan kesedihannya. Tanpa pernah mengenal saya secara fisik, Ummi Ros mengenali suara saya. Saat dia menyadari bahwa yang ada di hadapannya adalah saya, juga karena dia mengenal dari suara saya.

Malam merangkak pelan dan saya berpamit pada keluarga sederhana itu setelah menyerahkan sekadar oleh-oleh dan santunan. Sebongkah rasa syukur menyeruak. Ya Allah, hanya karena kehendak dan izin-Mu, saya bisa berada di sini. Bersilaturahim dan berjumpa dengan orang-orang tabah yang dari mereka saya bisa belajar tentang keikhlasan dan kepasrahan.

Sementara Pak Nuril dan para peserta SM-3T sedang berada di tengah perjalanan menuju tempat tugas mereka, di hotel, bersama Prof. Sukirno, Pak Marsidi, dan Nur, saya merencanakan perjalanan kunjungan ke sekolah besok pagi. SMK 1 Woja, sekolah  tempat Nur bertugas, akan menjadi salah satu sekolah yang kami kunjungi. Di sana ada dua peserta SM-3T yang ditugaskan. Dua sekolah yang lain juga akan kami kunjungi, sebelum besok siang, kami tim pendamping akan terbang kembali ke tempat tugas masing-masing.

Dompu, cukuplah kukenal kau dari kesahajaanmu, kehangatanmu, keramahanmu
Meski ada bait-bait luka yang menggores dan menghunjamkan lara
Aku ingin kau bangkit dan berdiri dengan gagah perkasa
seperkasa Tambora
Menyambut masa depan yang indah seindah padang savana
Kau pantas menikmati manisnya kehidupan sebagaimana manisnya karota sahe dan kahangga
Sesekali pedihnya perjuangan mesti kau sesap sebagaimana kau sesap pedasnya minasarua
Selalu ada gurihnya masa-masa seperti gurihnya kelapa dan jagung ketan di Taman Amahami dan Jalan Panda
Juga orang-orang yang senantiasa berujar 'sentape' dan 'lemboade', itulah kau dengan segala kemurah-hatian dan kerendah-hatian

Dompu, saatnya kau dikenal sebagai negeri kecil 'Kota Tepian Air' yang murni dan damai bak surga nirwana  

Tamat.

Dompu, 6 September 2016 

Dompu (2): Bernego dengan Driver Bandara

Siang yang terik menyambut kedatangan para peserta SM-3T UNY beserta pendampingnya. Waktu menunjukkan pukul 13.15. Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima, seketika ramai. Penumpang pesawat baling-baling itu menyeruak memasuki gedung terminal yang tidak terlalu luas itu. Sebagian besar mereka adalah anak muda dengan rompi berlabel SM-3T. 

Bersama Pak Nuril dan stafnya, saya menghampiri Prof. Sukirno, pendamping dari UNY, yang nampak lelah. Perjalanan dari Yogyakarta sejak sekitar pukul 7.00 pagi tadi pasti telah menyita energi beliau karena harus mengurus puluhan calon guru itu. Sebagian besar mereka belum pernah naik pesawat, sehingga satu-satunya pendamping itu harus memandu mereka mulai dari check in, boarding, mengurus makanan mereka, mengawasi mereka yang mabuk, hingga  tiba di Bima ini. Sebenarnya masih ada satu pendamping lagi, Pak Marsidi, staf bagian keuangan UNY. Namun beliau harus mendampingi lima peserta SM-3T yang belum terangkut pada penerbangan ini. Mereka akan terbang menumpang pesawat Garuda dan diprediksi akan tiba di Bima sekitar pukul 16.00 sore nanti. Ya, meski sebenarnya jatah pendamping yang dialokasikan oleh GTK hanya satu orang, namun situasi mengharuskan Koordinator SM-3T UNY untuk memberangkatkan satu orang pendamping lagi. Mereka khawatir, bila lima peserta yang tertinggal itu tidak didampingi, para peserta tidak bisa sampai di tujuan, mengingat mereka belum pernah pergi jauh dengan menumpang pesawat.

Prof. Sukirno menyerahkan beberapa map pada saya. Map itu berisi surat untuk bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten Dompu. Juga ada daftar hadir peserta serta berkas berita acara serah terima. 

Prof. Sukirno benar-benar nampak lelah. Ternyata beliau belum sempat makan sejak pagi. Jatah makan pagi dari GTK di Bandara Adisutjipto Yogyakarta tadi pagi hanya pas untuk para peserta. O tidak. Ini pasti telah terjadi miskomunikasi antara GTK dengan penyedia jasa makanan. Mana mungkin para pendamping tidak diberi jatah makan pagi, sementara mereka harus mendampingi peserta sejak pagi?

Belasan driver berkerumun di depan pintu keluar, bersemangat menunggu calon penumpang mereka. Mereka menggerombol, kasak-kusuk, gelisah, mondar-mandir seperti tidak sabar. Di dalam terminal, para porter berusaha berebut mengangkat bagasi para peserta SM-3T yang tentu saja sangat banyak. Kami berusaha menghalangi para porter, tapi tentu saja tidak mudah. Mereka memaksa membawa troli-troli penuh bagasi itu, dan nampaknya akan tersinggung bila dilarang. Untung hanya dua porter. Belasan porter yang lain bisa dipahamkan, bahwa anak-anak muda itu harus mengurus bagasi mereka masing-masing.

Sementara itu, para driver mulai tahu bahwa puluhan penumpang yang sebagian besar berseragam itu tidak akan menggunakan jasa mereka. Dua buah bus besar telah menunggu di luar halaman bandara. Bus antar kota antar provinsi. Biro travel setempat yang bekerja sama dengan biro travel di Jakarta yang ditunjuk GTK, telah menyediakan dua armada bus tersebut.

Suasana tak nyaman langsung terasa. Beberapa driver sudah mulai gerah. Mereka membiarkan para peserta SM-3T bergerak menuju bus dengan membawa troli-troli penuh bagasi, namun para driver sepertinya tidak akan membiarkan begitu saja bus bergerak meninggalkan mereka begitu saja. 

Salah seorang driver, nampaknya pimpinan mereka, bertanya pada saya, "Ibu ketua rombongankah?" Saya jawab, "tidak". 

Pak Nuril juga ditanya, "kenapa  tidak menggunakan mobil bandara?"

Saya dan Pak Nuril mencoba memahamkan mereka, bahwa dua bus besar tersebut bukan atas keputusan kami. Semua sudah diatur GTK dengan biro travel di Jakarta dan di daerah, kami tinggal memanfaatkannya saja. 

Alih-alih mereka paham. Suasana justeru semakin memanas, sepanas terik matahari yang siap membakar amarah mereka. Salah satu dari mereka meminta supaya mereka bisa bicara pada petugas dari biro travel penyedia bus. Saya yang sengaja membaurkan diri di kerumunan para driver yang sedang bergolak itu menuruti permintaan mereka. Saya menelepon biro travel Jakarta, dan meminta disambungkan dengan biro travel lokal. Saya menjelaskan, para driver bandara marah dan mungkin akan memboikot dua armada bus yang akan mengangkut peserta SM-3T. 

Petugas biro travel bertanya, apakah ada polisi di sekitar saya. Saya jawab, "ada. Dua orang. Sejak tadi. Tapi sepertinya kedua polisi itu tidak bisa berbuat banyak. Harus travel yang menjelaskan."

"Baik, Bu. Kalau begitu saya coba bicara sama ketua drivernya."

Ponsel saya serahkan ke pimpinan driver yang wajahnya sudah merah padam. Sementara dia bicara dengan petugas biro travel, saya dan Pak Nuril berunding.

"Prof, mereka tidak akan buyar sebelum dikasih uang." Kata Pak Nuril.
"Maksudnya?"
"Kita keluarkan saja uang sekadarnya untur porter dan driver. Kita bilang saja untuk  uang rokok."
"O begitu. Oke."

Maka atas inisiatif Pak Nuril, kami pun mengeluarkan sejumlah uang. Tidak banyak. Benar-benar sekadar uang untuk rokok. Tapi prediksi Pak Nuril tepat. Sekejap saja para driver itu sudah agak tenang, dan dengan segala pengertian, mereka menyerahkan ponsel saya yang tadi dipakainya untuk berkomunikasi dengan petugas biro travel.

Kami pun memasuki mobil. Para driver pun membiarkan dua bus besar bergerak. Lega. Hampir satu jam kami bersitegang tadi, dan entah mengapa, saya justeru sengaja menceburkan diri di tengah-tengah orang-orang yang kemarahannya sudah di ubun-ubun itu. Dengan segala pikiran positif saya, saya yakin keberadaan saya di antara mereka akan mendinginkan suasana. Setidaknya, mereka akan berpikir panjang untuk melakukan tindakan nekad. Ada seorang ibu yang sedang mencoba dan mengharap pengertian mereka, dan meminta maaf atas semua yang terjadi, serta berjanji akan lebih mempertimbangkan keberadaan mereka untuk waktu-waktu yang akan datang.  

Begitu mobil bergerak menuju Kabupaten Dompu, saya mengeluarkan beberapa botol air mineral dari tas saya. Prof. Sukirno nampak pucat dan kehausan, dan saya benar-benar tidak tega melihat keadaannya.

"Prof, kita makan dulu?"
Prof. Sukirno ragu.
"Tapi..." saya melanjutkan sebelum beliau berkata sepatah pun. "Jam empat kita ditunggu untuk acara penerimaan peserta di kabupaten." Saya sambil melihat jam, begitu juga Prof. Sukirno. "Waktu tinggal satu jam, kita langsung saja ya?"

Tentu saja Prof. Sukirno setuju. Tidak ada pilihan. Saya mengeluarkan kue dari tas saya dan menyilakan beliau untuk menikmati kue itu sekadar mengganjal perut.

Perjalanan dari Bima ke Dompu memerlukan waktu sekitar satu jam. Tidak terlalu lama. Apa lagi dengan pemandangan laut yang indah di sepanjang perjalanan. Kelapa muda bertumpuk-tumpuk di beberapa titik, juga jagung rebus yang warnanya putih. Sayang kami tidak mempunyai waktu untuk sejenak duduk-duduk menikmati sepotong jagung rebus dan segelas kelapa muda dengan ditemani semilir angin pantai. 

Apa boleh buat. Acara di kabupaten tentu saja tak mungkin ditunda hanya untuk menunggu kami menikmati pantai. Biarlah keinginan itu tersimpan sampai saatnya besok untuk mewujudkannya.

Bima, 5 September 2016

Minggu, 23 Oktober 2016

Dompu (1): Potret Buram Guru Profesional

GARUDA tipe Bombardier membawa saya terbang dari Surabaya menuju Lombok Praya. Cuaca cerah dan panas saat saya memasuki pesawat beberapa menit yang lalu, namun udara sejuk di dalam pesawat begitu saja mengantarkan saya dalam tidur yang lelap. Saya terbangun setelah pramugari membagikan kotak kue dan terlelap lagi tanpa menyentuhnya, sampai pesawat menjelang mendarat. Hm, nikmatnya tidur. Anda harus bersyukur jika Anda termasuk orang yang di mana pun bisa tidur. Itu akan sangat membantu Anda untuk menghemat energi guna keperluan lain yang mungkin sudah menunggu.

Lombok mendung tapi tidak hujan. Bandara sepi dan cenderung lengang. Saya memasuki lounge, menikmati makan siang. Saya hanya transit saja di sini. Pukul 14.35 nanti saya akan melanjutkan penerbangan menuju Bima.

Rupanya Garuda sangat tepat waktu hari ini. Kurang 5 menit dari waktu boarding, penumpang sudah dipanggil untuk masuk pesawat. Kurang dari 10 menit, pesawat bahkan sudah mendarat di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin,  Bima.

Dr. Nuril, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu, telah menunggu saya begitu saya keluar dari pintu terminal. Tidak hanya itu. Arif, Anas, dan Suherman, wajah-wajah yang sudah sangat saya kenal itu, juga telah ada. Mereka adalah alumni peserta PPG-SM-3T angkatan pertama. Seperti ingin menumpahkan rindu, saya jabat tangan mereka erat-erat, begitu juga mereka.

Saya masuk ke mobil Pak Nuril yang menjemput saya bersama anaknya. Saat mobil bergerak keluar dari bandara, ketiga anak muda tadi mengikuti kami dengan sepeda motor mereka. Sebelum sampai hotel Marina, tempat saya menginap selama di Bima, kami sempat berhenti di pinggir jalan. Makan jagung rebus yang warnanya putih dan punel serta manis asin. Juga minum kelapa muda yang hijau ranum seperti baru saja dipetik.

Hotel Marina lumayan bagus, sejuk dan bersih. Namun saat ini saya tidak terlalu tertarik untuk menikmati  kenyamanannya sebelum menyelesaian urusan dengan Pak Nuril. Besok siang adalah kedatangan Peserta Program SM-3T angkatan ke-6. Ada 58 orang dengan dua pendamping. Saya perlu memastikan transportasi, konsumsi, kepala sekolah, dan susunan acara penerimaan besok siang, sudah siap semua. 

Peserta SM-3T itu dari UNY,  bukan Unesa. Keberadaan saya di sini adalah dalam rangka melaksanakan tugas dari Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan Nasional, sebagai tim pendamping yang mewakili GTK. Oleh sebab itu, saya sengaja datang mendahului rombongan untuk memastikan semuanya, mengingat Dompu baru pertama kali ini ditempati sebagai wilayah penugasan Program SM-3T.

Selesai berdiskusi dengan Pak Nuril, saya bersama empat anak muda, karena Asbur--alumni PPG SM-3T yang lain  juga bergabung,  menghabiskan senja dan malam hari sambil makan jagung rebus dan jagung bakar di Jalan Panda. Juga menikmati bakso Manalagi di pusat Kota Bima. Suasana bahagia karena bertemu mereka, berbaur dengan kepedihan mendengarkan kisah hidup mereka selepas dari Program PPG.

Dua dari mereka saat ini telah menjadi guru. Bukan PNS atau GTT (guru tidak tetap), tetapi masih sebagai guru honorer. Ada yang mengajar di tiga sekolah, ada yang di dua sekolah. Salah satu dari mereka awalnya juga mengajar, namun tidak mampu bertahan dengan desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Akhirnya yang mereka lakukan adalah bekerja apa saja, bercocok-tanam, beternak, berjualan kecil-kecilan, bahkan ngojek. 

Bagaimana tidak. Honorarium sebagai guru sungguh mencengangkan. Diterimakan setiap 3 bulan sekali dengan besaran sekitar 100 sampai 150 ribu. Ya, tiga bulan. Tak terbayang entah bertahan untuk berapa lama uang sebanyak itu.

Betapa rendah penghargaan pada profesi guru. Tidak hanya itu. Kalau Anda ingin menjadi guru honorer di sebuah sekolah, biarpun ANda sudah memiliki sertifikat profesi, Anda harus merelakan sejumlah uang agar bisa diterima. Jumlahnya sekitar tiga sampai empat juta. Dengan uang masuk sebesar itu, Anda belum tentu memperoleh jam mengajar. Uang itu sekadar jaminan bahwa nama Anda tercatat sebagai guru di sekolah tersebut. Artinya, Anda belum tentu dapat honor mengajar. Bagaimana bisa dapat honor kalau jam mengajar saja tidak ada?

Saya seperti tidak percaya dengan cerita itu, meski sebenarnya ini bukan cerita pertama yang saya dengar. Tapi anak-anak muda ini tidak mungkin berbohong. Mengarang cerita hanya untuk membuat alasan kenapa mereka tidak mengajar. Padahal negara telah menginvestasikan mereka selama dua tahun. Satu tahun di tempat pengabdian dan satu tahun di pendidikan profesi. Sertifikat guru profesional yang mereka perjuangkan ternyata tidak cukup sakti untuk memperoleh sekadar tempat mengajar.

Malam semakin larut, dan saya diantar kembali ke hotel oleh Arif dan kawan-kawan. Untuk mereka berempat, saya memberi sekadar oleh-oleh makanan dan buku, sebagai tanda ingat. Tentu saja mereka sangat berterima kasih meski mungkin apa yang saya bawakan itu tidak terlalu berharga. Sebelum mereka pergi meninggalkan hotel, saya titipkan salam saya untuk keluarga mereka. 

Pukul 22.00 di Bima. Malam yang berangsur sepi mengantarkan saya pada tidur yang gelisah. Bayangan kisah anak-anak saya tadi, yang harus berjuang untuk menghidupi keluarganya dengan kerja keras semacam itu, sungguh di luar dugaan saya. Terbayang juga selembar kertas bernama sertifikat guru profesional yang mereka peroleh satu dua tahun yang lalu. Perjuangan mereka di daerah 3T, serta ketekunan mereka menempuh PPG. Untuk apa semua itu? Tak adakah ruang bagi mereka agar bisa mengabdikan diri di dunia pendidikan dengan segala kesungguhan dan kompetensinya? Tentu saja dengan penghargaan yang selayaknya?

Perlu perjuangan panjang untuk mengakhiri potret buram dunia pendidikan ini rupanya. Di mana pun, tidak hanya di Bima dan Dompu, bahkan juga di kota-kota besar di negeri ini, praktek semacam itu masih banyak mewarnai.


Dompu, 4 September 2016