Luthfiyah Nurlaela
Kemampuan
membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pembelajaran bahasa, tapi juga bagi
semua mata pelajaran. Dengan membaca, siswa dapat memperoleh pengetahuan yang
sangat bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan daya nalar, sosial, dan
emosionalnya.
Tentang membaca,
beberapa ahli mendefinisikan dengan cara yang agak berbeda, namun pada dasarnya
terdapat satu persepsi tentang membaca, yaitu merupakan suatu proses. Allen dan
Vallete (1977) mengemukakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang berkembang
(a developmental process). Pada tahap
awal, membaca sebagai suatu pengenalan simbol-simbol huruf cetak (word recognition) yang terdapat dalam
sebuah wacana. Dari membaca huruf per huruf, kata per kata, kalimat per
kalimat, kemudian berlanjut membaca paragraf per paragraf dan esei pendek
(Sugiarto, 2001). Relevan dengan pendapat tersebut adalah sebagaimana
dikemukakan Calfee dan Drum (1986), yang menyatakan bahwa komponen proses
membaca meliputi pengkodean (decoding),
kosa kata (vocabulary), pemahaman
kalimat (sentence comprehension),
pemahaman paragraf (paragraph
comprehension), dan pemahaman bacaan (text
comprehension).
Dengan demikian
membaca merupakan suatu kombinasi dari pengenalan huruf, intelektual, emosi,
yang dihubungkan dengan pengetahuan si pembaca
(knowledge background) untuk
memahami suatu pesan yang tertulis (Kustaryo, 1988). Bagi seorang pemula
seperti anak-anak, membaca berarti mengenali simbol dari sebuah bahasa.
Pemahaman bacaan secara bertahap akan dimiliki setelah tahap word recognition ini dikuasai. Membaca
juga diartikan sebagai suatu proses mental atau proses kognitif, yang dalam
proses tersebut seorang pembaca diharapkan bisa mengikuti dan merespon pesan
penulis (Davies, 1997).
Bagaimana seorang anak
belajar membaca? Setidaknya ada empat jawaban untuk pertanyaan tersebut (Calfee
& Drum, 1986): (1) membaca sebagai proses alamiah, seperti halnya belajar
berbicara; (2) membaca melalui
serangkaian tahap; (3) membaca merupakan penguasaan keterampilan-keterampilan khusus; dan (4)
membaca merupakan aktivitas formal.
Sebagai proses alamiah,
penyediaan bahan bacaan dan aktivitas yang telah dikenali siswa adalah penting,
karena anak-anak harus berurusan dengan konsep dan struktur yang telah sedikit
mereka mengerti. Applebee dan Langer (1983, dalam Calfee & Drum, 1986)
memfokuskan pada tugas-tugas bahasa yang dihadapi siswa, dan mengusulkan supaya
guru menyediakan kerangka konseptual atau scaffolding untuk memberi
bantuan pada siswa. Tingkat bantuan tersebut adalah penting. Soal-soal ”isilah
titik-titik” dengan soal-soal esei memberikan bantuan yang berbeda; yang
pertama menyediakan bantuan terlalu banyak dan yang kedua terlalu sedikit.
Applebee dan Langer menyarankan tingkat bantuan yang cukup atau sedang, yang
memberi siswa bimbingan hanya sebanyak yang mereka perlukan, misalnya diskusi
tentang suatu bacaan atau definisi suatu kata.
Teori bertahap (stage
theory) menurut Chall (1983, dalam Calfee & Drum, 1986), mengajukan
model enam-tahap penguasaan membaca. Tahap-tahap tersebut meliputi: (1) tahap
0, prereading, usia lahir - 6 tahun; (2) tahap 1, initial reading
atau decoding, usia 6-7 tahun; (3) tahap 2, fluency, usia 7-8
tahun; (4) tahap 3, reading to learn; (5) tahap 4, multiple
viewpoints, usia sekolah menengah; (6) tahap 5, reconstruction,
pendidikan tinggi. Sesuai dengan tahap-tahap tersebut, maka anak yang baru
mulai belajar membaca memasuki tahap initial reading dan fluency. Pada tahap ini, yang perlu
ditekankan adalah bagaimana anak mengenali dan membaca huruf, untuk kemudian
memahami konten dari bacaan yang berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan yang
telah sebelumnya mereka ketahui dan alami.
Membaca dikatakan sebagai
penguasaan keterampilan-keterampilan khusus karena membaca merupakan sekumpulan
tujuan atau keterampilan yang ditentukan secara tepat. Masalah pengkodean, kosa
kata, pemahaman bacaan, merupakan tujuan dan keterampilan membaca. Aktivitas
biasanya dimulai dengan kajian beberapa kata dari bacaan, membaca sebuah
cerita, diselingi pertanyaan-pertanyaan tentang detil dan kesimpulan dari
bacaan, dan makna kata berdasarkan konteks.
Membaca sebagai aktivitas
formal memadukan psikologi kognitif dan teori kurikulum. Model ini bermula dari
asumsi bahwa arsitektur pikiran (minds)
adalah sangat sederhana. Apa yang kemudian membuat pikiran menjadi menarik dan
kompleks adalah kandungannya, struktur mental yang mendasari kinerja dan
pengetahuan. Sebagian struktur tersebut—contohnya adalah apa yang diketahui
seseorang tentang restoran—terjadi melalui pembelajaran alamiah. Lainnya,
misalnya apa yang diketahui seseorang tentang diagram kalimat, dihasilkan dari
pengajaran formal. Pada ujung kedua kontinum tersebut, hasil akhirnya adalah
representasi mental, tubuh pengetahuan, dibentuk oleh pikiran dengan lebih
banyak atau lebih sedikit struktur yang saling bertalian (Calfee & Drum,
1986).
Tujuan utama pengajaran membaca adalah
untuk membantu anak memahami apa yang mereka baca sehingga mereka dapat
bergerak dari “belajar untuk membaca” ke “membaca untuk belajar” (Mautone,
dkk., 2003; Torgesen, 1998). Kemampuan membaca permulaan (early literacy) pada anak sangat
dipengaruhi oleh keterlibatan keluarga (de Jong dan Leseman, 2001; Senechal dan
LeFevre, 2002; Sheldon, 2002).
Kesempatan dan kualitas pengajaran membaca di rumah, sekaligus
kesempatan dan kualitas interaksi sosial-emosional selama aktivitas non-literacy secara signifikan
berkorelasi dengan pengkodean (decoding). Kebiasaan memberikan tugas
untuk membaca buku cerita di rumah dengan melibatkan orang tua juga secara
signifikan mampu mengembangkan keterampilan membaca dan berbahasa siswa.
Kemampuan
membaca siswa juga dipengaruhi oleh pendidikan sebelumnya. Beberapa temuan
penelitian tentang kemampuan membaca anak SD kelas 1 menunjukkan bahwa pada umumnya
siswa yang pernah bersekolah di TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan
dengan siswa yang tidak bersekolah TK. Hal tersebut antara lain disebabkan
karena kesiapan belajar membaca mereka yang meliputi pengenalan huruf dan
sosialisasi dengan teman sebaya, lebih baik daripada mereka yang tidak pernah
bersekolah di TK (Sammons, dkk., 2004; Leppanen, dkk., 2004).
MacGilchrist (1997)
mengemukakan terdapat satu
temuan penting tentang peranan membaca, di mana tingkat kemampuan siswa pada
usia 7 tahun merupakan prediktor yang baik atas tingkat pencapaiannya di masa
yang akan datang. Sebuah hubungan diperoleh antara kemampuan membaca pada usia
7 tahun dan tingkat prestasi ujian pada usia 16 tahun.
Kemampuan
membaca bahkan didinilai mempengaruhi sikap agresif siswa sekolah dasar. Sebuah
penelitian yang dilakukan selama enam tahun (1996-2002) oleh Sarah Miles dan
Deborah Stipek dari Stanford University School of Education, menemukan
bahwa anak kelas 1 SD yang kemampuan membacanya relatif rendah, saat di kelas 3
cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi (Witdarmono, 2006). Siswa kelas 3
yang memiliki kemampuan membaca rendah, juga cenderung memiliki sikap agresif
tinggi saat kelas 5. Sifat agresif dalam hal ini meliputi suka berkelahi, tidak
sabar, suka mengganggu, dan kebiasaan menekan anak lain (bullying). Menurut kedua peneliti tersebut, bersamaan
dengan tingkat pergaulan, anak-anak yang berkemampuan membaca rendah mengalami
tingkat frustrasi yang menumpuk, dan hal itulah yang menyebabkan mereka menjadi
agresif.
Sebaliknya, ada
keterkaitan antara sikap sosial dan kemampuan membaca. Sikap sosial dalam hal
ini meliputi sikap suka menolong, mengerti perasaan orang lain, memiliki
empati, memiliki perhatian pada orang yang sedang kesusahan, dan suka menolong/menghibur
teman yang kecewa. Anak-anak yang memiliki sikap sosial yang baik saat kelas 1
SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan 5.
Hasil-hasil penelitian tersebut
menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam
kemampuan membaca pada jenjang-jenjang awal SD. Tepatlah jika dikatakan oleh
Farr (1984, dalam Harjasujana, 2006) yang menekankan pentingnya membaca dalam
sebuah kalimat “reading is the heart of education”.
Bila
penelitian di atas dilakukan bagi anak usia SD (5-9 tahun), bagaimana dengan
kemampuan membaca pada anak usia 9-14 tahun? Programme for International
Student Assesment (PISA) yang bertujuan untuk mengukur tingkat pengetahuan
dan keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar), meneliti
anak-anak dari 29 negara maju dan berkembang. Penelitian PISA dilakukan tiga
tahun dengan fokus yang berbeda-beda, tetapi saling bersinambungan. Fokus tahun
2000 (32 negara) adalah reading literacy. Fokus tahun 2003 (40 negara)
adalah mathematical literacy dan problem solving. Selanjutnya
fokus tahun 2006 (57 negara) adalah scientific
literacy. Hasil penelitian tahun 2003, Indonesia berada pada peringkat
terbawah dalam kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea
dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca
model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia berada pada tingkat satu. Artinya,
hanya mampu memahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia.
Kemampuan untuk menafsirkan, menilai, atau menghubungkan isi teks dengan
situasi di luar terbatas pada pengalaman hidup umum. Akibatnya, anak-anak akan
sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan
pada bidang lain. Keadaan ini mengakibatkan pada usia 19-20 tahun, mereka
mungkin baru mampu menyelesaikan SMA-nya. Atau jika pada usia itu sudah
bekerja, besar kemungkinan untuk tersisih dalam persaingan lapangan kerja.
Situasi semacam ini tentu mudah menyebabkan harga diri mereka turun dan memicu
untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar (Rutter dan Giller, 1983,
dalam Witdarmono, 2006).
Begitu pentingnya
kemampuan membaca, sehingga perlu diupayakan ketersediaan lingkungan belajar
yang kondusif, sehingga dapat menciptakan generasi yang literat. Sistem
pendidikan perlu direformasi agar mampu mengembangkan kemampuan literasi anak
sejak dini. Pembelajaran harus lebih diarahkan pada pengembangan kreativitas
dan daya pikir siswa. Mulai SD, anak-anak harus sudah dibiasakan dengan tugas
membaca. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pembelajaran konvensional yang
kurang mendorong tumbuhnya minat dan kebiasaan membaca seharusnya diperbaiki.
Model-model pembelajaran yang lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang
literat, yang bisa meningkatkan kemampuan membaca siswa, harus diterapkan
secara meluas.
Pembelajaran membaca
seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak. Banyak guru yang menuntut
anak untuk secepatnya lancar membaca, sekalipun anak masih kelas 1 SD, bahkan
masih duduk di TK. Belajar bagi anak akhirnya merupakan sesuatu yang
menjemukan, menyebabkan anak malas ke sekolah, dan stres. Di sisi lain, membaca
pada anak kelas 1 SD adalah membaca permulaan (initial reading) yang
ditekankan pada mengenal dan membaca huruf (decoding). Dengan praktek,
anak tidak lama berada pada tahap tersebut, mereka akan mulai memusatkan
perhatian pada konten. Namun, sebagaimana yang dikatakan Calfee dan Drum
(1986), membaca pada tahap tersebut bukanlah untuk memperoleh informasi baru,
melainkan untuk mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui anak. Ini berarti,
pembelajaran harus kontekstual, sesuai dengan tahap perkembangan anak, dan
tentu saja menyenangkan dan bermakna.
Namun sayangnya, guru seringkali “tidak sempat” lagi berpikir tentang
bagaimana membawakan pembelajaran yang memenuhi ciri tersebut, karena mereka
lebih berorientasi pada bagaimana menuntaskan materi yang telah ditargetkan
oleh kurikulum. Hal ini adalah persoalan umum yang terjadi di dunia pendidikan kita,
di semua jenjang, sehingga tidak salah bila dikatakan pendidikan lebih banyak
menggarap sisi intelektual siswa, namun kurang menyentuh sisi emosional dan
spiritualnya.
Salah satu faktor penentu
minat baca adalah bentuk fisik buku. Ilustrasi, warna, format, dan jenis
cetakan, merupakan ciri-ciri buku yang mempengaruhi pilihan anak (Winihasih,
1999). Pada umumnya, anak menyukai buku-buku yang memiliki banyak ilustrasi
gambar berwarna-warni. Buku yang dicetak dengan format menarik dengan jenis
cetakan yang serasi akan menjadi buku pilihan anak. Membaca buku pada anak
dapat mengembangkan konsep dan
pengalaman (Winiasih, 1999). Dengan adanya konsep dan pengalaman yang luas
dapat meningkatkan kemampuan membaca anak. Berkaitan dengan
pembelajaran membaca, penyediaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk berproses
secara alamiah, dengan memperhatikan apa yang seharusnya dilakukan pada setiap
tahap penguasaan membaca, akan sangat membantu mengembangkan kemampuan membaca
siswa sebagaimana yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...