Pages

Minggu, 21 April 2013

MBD (10): Berlayar bersama Marsela

Di buritan kapal.
Malam ini, setelah menikmati makan malam di rumah bapak Ampi (atau biasa dipanggil bapen, bapak pendeta), tiba-tiba kami menerima kabar kalau jam 01.00 dini hari nanti,  kapal Marsela akan merapat ke dermaga Tepa. Iseng-iseng saya menawarkan ke mas Rukin dan mas Heru, apakah kita naik kapal itu saja menuju Ambon. Tentu saja tidak. Terlalu lama di kapal. Dua hari satu malam. Sekitar 26 jam. Ditambah singgah sekitar dua jam di Pulau Damer, 28 jam. 

Noval dan Risna juga tidak merekomendasikan. Alasan mereka, kapal fery itu sangat terasa goyangannya, terlalu tidak nyaman untuk kami bertiga. Pengalaman mereka ketika berlayar dari Ambon menuju Tepa saat pemberangkatan dulu, goyangan itu membuat banyak peserta SM-3T 'mabuk kepayang'.  

Tapi saat itu juga kami menerima kabar dari mas Nardi, petugas tiket kami, kalau penerbangan dari Saumlaki menuju Ambon untuk hari Senin sudah full-booked. Mas Nardi sudah mengusahakan sejak sehari sebelumnya, setelah menerima kabar dari kami kalau kami akan berlayar dari Tepa menuju Saumlaki pada hari Minggu, dengan menumpang kapal Pangrango. Dengan begitu kami harapkan Senin bisa terbang dari Saumlaki menuju Ambon dengan menumpang Express Air. 

Kabar dari mas Nardi itu membuat kami spontan memikirkan plan B. Ide iseng untuk menumpang kapal Marsela tadi kami pertimbangkan lagi. Kalau memang besok pagi Marsela berangkat dari Tepa, maka kapal akan merapat di Ambon pada Minggu siang. Sangat menghemat waktu dibandingkan bila menunggu Pangrango hari Minggu untuk menuju Saumlaki, dan baru bisa terbang dari Saumlaki ke Ambon pada hari Selasa.

Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 WIT. Kami langsung menghubungi Noval untuk memastikan jadwal kapal dan mengkonfirmasi segala sesuatunya. Meski sinyal ponsel penuh, ternyata kami tidak bisa menelepon dan sms. Error in connection. Memang seperti itulah di Tepa dan Pulau Babar pada umumnya. Meskipun ada indikator sinyal di ponsel, belum tentu bisa menelepon atau mengirim sms. Kata Nanda dan kawan-kawannya, itu sinyal 'parlente'. 
Maka kami pun kembali menuju rumah Bapen karena Noval dan Risna ada di situ. Kami menyampaikan pada mereka, juga kepada ibu Hilda Rahanserang (istri Bapen), kalau kami bermaksud menumpang Marsela malam ini. Di luar dugaan kami, ibu Hilda secepat kilat merespon supaya kami menunggu sementara beliau akan menyampaikan rencana kami itu pada Bapen. Bapen yang sedang kerja lembur di kantor klasis dijemputnya.

Akhirnya keputusan untuk menumpang Marsela sudah bulat. Bapen menyarankan kami untuk beristirahat saja sementara beliau dan Noval yang akan memastikan jadwal kapal dan pemesanan kamar. Kami tentu saja sangat berterima kasih kepada beliau.  Entah kenapa, saya mengagumi kepribadian bapak pendeta itu sejak pertama kali bertemu beberapa hari yang lalu. Usianya mungkin jauh di bawah kami, tapi jiwa kepemimpinan dan sikapnya yang selalu siap melayani itu membuat siapa pun 'jatuh hati'. Pantaslah kalau beliau terpilih sebagai ketua klasis di Pulau Babar ini. 

Kami pulang ke penginapan diantar Noval dan Risna. Bapen meminta Noval untuk membawa HT supaya komunikasi mudah. Malam ini Noval dan Bapen akan stand by terus untuk memantau kedatangan kapal.
  
Kami bertiga mengemasi bagasi kami. Kalau pukul 01.00 nanti kapal benar-benar merapat, kami bermaksud secepatnya saja berpindah tempat ke kapal. Tapi ternyata sampai pukul 01.00 kabar tentang kedatangan kapal tidak juga kami terima. Kami yang duduk-duduk di ruang tamu penginapan mulai gelisah. Noval dan Risna menyarankan kami untuk tidur saja di kamar, dan mereka berdua akan berjaga-jaga untuk memastikan kapal. Mas Heru dan mas Rukin keluar masuk kamar, duduk dan berdiri, tertidur di ruang tamu.
Melihat saya duduk mematung saja, mas Rukin mengeluarkan instruksinya: 'tiduro sana, La'.'

Malam ini kami tidak nyenyak tidur. Kami hanya perlu kepastian bahwa kapal Marsela akan benar-benar singgah, dan kami bisa menumpang menuju Ambon secepatnya. 

Noval dan Risna dengan setia menunggui kami. Dua anak manis itu sangat peduli, setiap saat siap sedia untuk kami. Di Tepa ini, hampir semua keperluan kami diurusnya, koordinasi dengan sekolah, penginapan, makan, transportasi, tiket, dan lain-lain, bahkan juga 'mijitin'. 

Pukul 05.00 WIT, ketika adzan shubuh berkumandang, saya keluar kamar. Noval dan Risna tertidur di ruang tamu. Mas Rukin di ruang keluarga. Mas Heru di kamar, tapi kamarnya terbuka. Mendengar langkah saya, mereka semua terbangun karena saya memang sengaja memanggil-manggil nama mereka.

Menurut Risna, Marsela sudah sandar sejak pukul 04.00 dini hari tadi. Sekitar pukul 08.00, kapal itu akan berlayar. 

Risna menyampaikan kalau kami pagi ini diundang makan di rumah Bapen. Ibu Hilda  sudah menyiapkan bubur. Ini undangan makan ketiga yang kami terima dari Bapen. Entah harus bagaimana kami membalas kebaikannya. 

Selesai makan pagi dengan menu bubur, ayam goreng dan telur rebus, kami masih sempat ngobrol sejenak. Kami bertiga diminta Bapen untuk minum madu, supaya stamina kami terjaga. Saya sudah mulai batuk-batuk, dan Bapen memastikan kalau minum madu akan membantu menyembuhkan batuk saya.

Akhirnya sampailah kami di dermaga. Memasuki fery Marsela. Bapen memandu kami sampai di tempat yang sudah dipesannya untuk kami. Kamar di ruang ABK. Lantai paling bawah. Menurut Bapen, di situlah tempat paling nyaman, tidak terlalu terganggu dengan goyangan kapal karena ombak. Di atas ada ruang VIP, tapi hanya berupa kursi, tanpa tempat tidur. Di atas juga ada kamar-kamar, termasuk kamar nakhoda, yang bisa disewa. Tapi kalau kita di atas, goyangan kapal akan sangat terasa. 

Kamar ABK itu berisi empat tempat tidur susun, untuk delapan orang. Telah dikosongkan tiga bed untuk kami,  semuanya di bawah. Ber-AC. Ada empat meja di sisi-sisinya. Meski ada tulisan 'no smoking', ada asbak penuh puntung rokok di salah satu mejanya. Tapi overall, ruangan ini cukup nyaman. Tidak jauh juga dengan toilet. 

Kami mengucapkan terimakasih lagi, dan lagi, pada Bapen. Pria baik itu begitu istimewa di mata saya. Entah kenapa kerendah hatian dan ketulusannya begitu meruntuhkan hati kami. Saya membayangkan, betapa indahnya dunia bila kita hidup dalam semangat seperti ini, saling menghargai, saling melayani. Meski berbeda budaya, berbeda agama. Meski baru saling mengenal, tangan selalu terbuka siap menerima, tanpa curiga, tanpa prasangka. Indah nian.... 

Pukul 08.00. Kapal belum ada tanda-tanda mau bertolak. Loudspeaker justru mengabarkan kalau kapal akan berangkat pukul 12.00. Wuss. Kami sontak loyo. Mas Rukin bahkan sempat nyeletuk: 'mati karena menunggu'. Tapi hanya sebentar saja kami loyo. Semangat dibangun kembali. Setidaknya, Senin sudah sampai Ambon, dan bisa terbang ke Surabaya hari itu juga. Amin.

Kami berusaha menikmati waktu tunggu ini dengan sebaik mungkin. Mas Heru membuka laptop, mengecek laporan, foto, video, hasil monev kami selama beberapa hari ini. Mas Rukin ambil posisi di bed, tidur. Saya menulis. Juga mencoba menghubungi keluarga. Meski sinyal on-off, saya bisa kontak mas Ayik dan ibu. Ibu bahkan sempat mengingatkan saya untuk membaca doanya Nabi Nuh ketika naik perahu: bismillaahi majreeha wamur saaha inna robbi laghofuu rurrohiim. 

Semoga kapal ini segera berangkat, lancar, aman, tidak ada halangan apa pun sampai di tempat tujuan. Amin YRA.

Tepa, Babar Barat, MBD, 20 April 2013

Wassalam,
LN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...