Pages

Minggu, 21 April 2013

MBD (11): Semalam di Marsela

Bersama Marcela...
Setelah menunggu berjam-jam, dan jenuh mulai menyiksa kami, pada sekitar pukul 15.00 WIT, akhirnya Marsela berlayar. Raungannya memompa semangat kami untuk menikmati perjalanan membelah samudra.

Kami menikmati laut yang hitam pekat, mendung tebal dan gelap yang menggantung di langit, dan kabut yang menutupi batas cakrawala. Kami berkeliling dari satu dek ke dek yang lain, makan mie instan di kafe, dan mengobrol dengan sesama penumpang dan awak kapal. Ombak, meski nampak lebih beriak dibanding saat kami berlayar dengan Pangrango tempo hari, masih cukup memberikan kenyamanan karena kapal hanya sedikit saja bergoyang. 

Kami juga menunaikan solat dhuhur, ashar, maghrib dan isya berjamaah. Imamnya bergantian antara mas Rukin dan mas Heru. Saya memilih selalu jadi makmum hehe, tentu saja. Kalau goyangan Marsela cukup terasa, sholat kami sesekali harus pada posisi pasang kuda-kuda supaya tidak jatuh terjerembab.

Hanya kami saja nampaknya yang muslim di kapal ini. Setiap waktu sholat tiba, kami tidak melihat ada orang lain yang mengambil air wudhu dan menunaikan sholat. Hanya kami bertiga. Mungkin kami yang tidak melihatnya, atau mereka sholat di tempat lain. Entahlah. Tapi memang mayoritas penumpang kapal ini adalah orang Maluku, nampak jelas dari wajah dan kulit mereka. Tentu saja mayoritas mereka adalah nonmuslim. 

Setiap waktu sholat tiba, kami naik ke dek dua bagian belakang, karena mushola ada di sana. Melewati kerumunan orang-orang yang sedang duduk melingkar, pada umumnya laki-laki dewasa, yang sedang bermain kartu dan minum sopi, minuman beralkohol khas Maluku. Minuman itu warnanya seperti teh, umumnya diwadahi dalam botol air mineral, dan mereka meneguknya sedikit demi sedikit dari gelas air mineral juga. Seringkali ada beberapa lembar uang di tengah-tengah kerumunan itu.  

Tidak seperti mushola di Pangrango yang begitu terjaga kebersihan dan keharumannya, mushola di Marsela ini menjadi ruang multifungsi. Ada beberapa kasur dan tikar yang digelar menutupi karpet sajadah. Tali-tali panjang terpasang di sisi-sisi dinding ruangan, dan handuk-handuk diangin-anginkan di sana. Barisan jemuran handuk itu menutupi hiasan kaligrafi Allah dan Muhammad. Tidak ada Alquran, tidak ada tumpukan sajadah atau mukena. Selalu ada orang yang sedang tidur setiap kali kami mau sholat, bahkan kerumunan orang bermain kartu. 

Namun begitu, setiap kali kami datang, orang-orang itu segera menyisih, mengemas kartu-kartu, rokok, minuman, dan uang, menyilakan kami untuk sholat. Pernah waktu mau sholat isya, mushola dipenuhi oleh orang-orang yang sedang bermain kartu. Kami sudah bersiap menggelar tikar di luar untuk sholat, tapi seseorang yang melihat kami, langsung memberi tahu teman-temannya yang sedang bermain kartu itu untuk pindah tempat. Lantas mereka dengan ramah menyilakan kami menggunakan mushola.

Ya, di antara kami memang ada perbedaan agama, perbedaan budaya. Batasan-batasan nilai dan norma juga berbeda jauh, jauh sekali. Namun begitu, di Marsela ini, kami bisa merasakan, mereka tetap berusaha menghormati kami, menghargai hak-hak kami. 

Tapi malam ini saya mendapatkan pengalaman yang agak traumatis. Sebuah penyu besar, panjangnya sekitar satu meter, ditangkap. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu itu masuk kapal. Di beberapa bagian tubuh hewan itu penuh tali. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan mas Rukin dan mas Heru yang sibuk memotret. Termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Entah nanti, entah besok, penyu itu akan disembelih. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu akan diolah menjadi bahan makanan mereka. Ususnya akan diisi dengan dagingnya yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Saya, mas Heru dan mas Rukin, ada di satu kamar. Bed saya paling ujung, lalu disambung bed mas Heru, dan di ujung yang sana lagi, ada mas Rukin. Di atas bed mas Rukin ditempati seorang ibu dan anak perempuannya yang masih berusia sekitar empat tahun, mungkin keluarga ABK. Di atas bed saya dan mas Heru, berganti-ganti orangnya. Mereka adalah ABK yang memerlukan waktu istirahat, menggunakan dua bed itu secara bergantian. 

Di luar kamar kami, adalah tempat parkir mobil-mobil. Tidak seperti fery yang di Madura atau di Gilimanuk, dek bawah pada fery Marsela ini tidak dipenuhi dengan mobil, truk, bus, dan sepeda motor. Hanya ada tiga mobil yang parkir. Jadi ada banyak ruang kosong di dek, dan di situ banyak kerumunan orang. Begitu juga dengan dek di bagian atas, kerumunan orang yang sedang bermain kartu dan minum sopi itu ada di mana-mana.

Di bagian sisi kanan dan kiri dek, di situlah kamar mandi tersedia. Setiap saya perlu ke kamar mandi, mas Rukin dan mas Heru bergiliran piket. Agak tidak pede juga keluar sendiri meski hanya sekedar ke toilet. Sopi yang saya lihat tersebar di mana-mana, menciptakan sedikit kekhawatiran di hati. Khawatir minuman keras itu bisa menyebabkan perilaku yang aneh-aneh bagi orang-orang yang meminumnya. Mungkin itu hanya kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan, bisa jadi.

Kebetulan kami sekapal dengan Dr. Kalvin Karuna, dosen Unpatti yang pulang dari bertugas di Letwurung sebagai tim independen UN SMA. Kami juga di penginapan yang sama saat di Letwurung kemarin. Lelaki lima puluh satu tahun itu (hari ini adalah tepat hari ulang tahunnya, 'HBD, pak Kalvin) adalah putra daerah MBD, asalnya dari Luang, Mdona Hyera. Kisah hidupnya yang mendobrak kungkungan adat dan kebiasaan di keluarganya begitu inspiratif. Perjuangannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, tidak hanya sebagai pencari ikan di laut dan penunggu kebun, telah membawanya memperoleh kesempatan beasiswa dari Goethe Institute dan DAAD ke Jerman. Program S2 dan S3-nya ditempuhnya di UNJ, namun sejak S1 dia selalu ada kesempatan untuk menempuh pendidikan singkat di Jerman. Meski sudah menjadi 'orang', Dr. Kalvin, seperti orang-orang MBD pada umumnya, tetap rendah hati dan ramah. 

Di kamar, kami melakukan aktivitas kami masing-masing. Mas Rukin melanjutkan tulisan liputannya. Mas Heru mengecek hasil monev. Saya sibuk dengan BB saya. Kadang-kadang kami berkumpul bersama, menikmati foto-foto dan video para peserta SM-3T. Ketika melihat wajah-wajah mereka yang bertugas di Sermata dan Luang, tak pelak, kerinduan kami menyeruak. Sambil mengingat-ngingat wajah-wajah manis itu: Eko, Rico, Dian, Adlin, Romlah, Imaniar, Rio, semuanya. 

Marsela ternyata hanya tenang sampai sekitar menjelang tengah malam saja. Goyangannya semakin lama semakin terasa hebat. Menjelang pukul 01.00, saat saya tidak juga bisa tidur, saya melihat-lihat sekeliling. Semua sudah tidur. Juga mas Rukin. Padahal baru beberapa menit yang lalu dia mengeluarkan instruksinya, 'Tiduro, La', wis bengi. Jok nulis ae, ngalah-ngalahi wartawan ae...'. 

Entah pukul berapa saya tertidur. Tapi goyangan Marsela membangunkan saya pada pukul 03.00. Mungkin saat ini kapal sedang mengarungi Laut Banda yang terkenal keras anginnya itu. Goyangannya begitu terasa. Tubuh terayun ke kanan dan ke kiri, naik turun. Kamar sepi karena semua lagi tidur. Saya berusaha memicingkan mata lagi, tak juga berhasil. Ingatan saya melayang pada orang-orang yang ada di dek di atas kami. Betapa lebih terasa gocangannya. Benar ternyata kata Bapen, tempat ternyaman adalah di kamar ABK di bawah ini. Bapen, sekali lagi, terimakasih untuk perhatiannya.... 

Saya bangun pada pukul 05.00. Kamar masih sepi. Lalu mas Heru bangun, dan langsung ke kamar mandi. Begitu masuk kamar lagi, mas Heru bilang kalau dia 'muneg-muneg'. Saya juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali 'atop' atau 'glegeken' karena perut terasa seperti dikocok. 

Marsela terus melaju. Goyangannya tetap terasa keras. Kami memilih sholat di kamar. Tidak bisa membayangkan sholat di mushola di dek atas, dengan goyangan yang seperti ini. Setelah sholat, kami memilih tidur kembali. Dalam kondisi terguncang-guncang seperti ini, hal terbaik untuk dilakukan adalah tidur.....

Selamat Hari Kartini....

Selat Banda, 21 April 2013 

Wassalam,
LN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...