Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Maret 2017

Antara Pendidikan Karakter dan Pendidikan Kecakapan Hidup

Oleh Luthfiyah Nurlaela


Pendahuluan
          Istilah pendidikan karakter sudah banyak dikupas di berbagai kesempatan, baik secara verbal maupun tulisan, lebih-lebih sejak beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui, dalam rangka membangun bangsa dan negara ke depan, kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan pendidikan karakter sejak tanggal 2 Mei tahun 2010. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025. Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.
          Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.  Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang  berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik memiliki karakter yang baik meliputi  kejujuran, tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat,  peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi  kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
          Pendidikan kecakapan hidup (life skills), tentu bukanlah istilah yang baru. Bahkan sebagian besar orang akan menganggap pendidikan kecakapan hidup adalah ‘barang lama’. Memang sudah sejak sekitar tahun 2000-an pemerintah, dalam hal ini  departemen pendidikan nasional, menggulirkan pendidikan kecakapan hidup (PKH) yang kemudian diimplemetasikan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA/SMK. Konsep yang sebenarnya sangat bagus tersebut setengah kandas di tengah jalan. Meskipun para pakar pendidikan terus menggaungkan PKH, namun pada taraf implementasinya, PKH mengalami banyak kendala karena berbagai alasan.
          Tulisan ini sekedar ingin menunjukkan betapa dekatnya kaitan antara pendidikan karakter dan PKH. Artinya, kita seringkali melakukan perubahan-perubahan, yang sebenarnya perubahan tersebut hanyalah ’memoles’ barang lama menjadi barang baru, atau membungkus barang yang sama dengan bahan pembungkus yang berbeda; namun substansinya tetap sama. Munculnya wacana pendidikan karakter akhir-akhir ini sebenarnya merupakan penegasan kembali dari apa yang telah disadari oleh para founding fathers dulu. Sejak awal para Pendiri Negara sudah menyadari betapa pentingnya pembangunan karakter bangsa, sebab tanpa karakter yang baik, apa yang dicita-citakan dalam pendirian negara ini tidak akan berhasil. Dalam implementasinya, pendidikan karakter ini dinamakan pendidikan budi pekerti, etika, pendidikan kepribadian, dan sebagainya. Sedangkan PKH bila dicermati, juga berkaitan erat dengan bagaimana membangun karakter peserta didik, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bisa hidup dan bertahan dalam segala situasi kapan dan di mana pun mereka berada. Tanpa karakter yang baik dan tangguh, kemampuan tersebut tidak akan dapat diperoleh.

Apakah Pendidikan Karakter?
Sebelum menguraikan pengertian pendidikan karakter, perlu disepakati dahulu pengertian karakter. Istilah karakter (Yunani: charakter) berarti ‘tanda-tanda abadi’. Tanda-tanda yang melekat pada diri individu, yang membedakan individu satu dari lainnya. Pengertian karakter dalam hal ini adalah karakter baik, dan membangun karakter berarti membangun sifat-sifat positif, terhormat, dan etika yang baik. Sifat-sifat yang melibatkan aturan berperilaku baik dan mengembangkan kebiasaan baik, yang hanya dapat terjadi melalui suatu praktik yang berulang.
Karakter juga dimaknai sebagai kebaikan atau eksentrisitas seseorang. Sebagian orang menganggap karakter bersifat personal, sementara yang lain memandang lebih bersifat behavioral. Karakter dimaknai sebagai seperangkat karakteristik psikologi individu yang mempengaruhi kemampuan dan menimbulkan dorongan seseorang untuk memfungsikannya secara moral. Secara sederhana karakter terdiri dari sifat-sifat tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu hal secara benar atau tidak.
Berkowitz (dalam Damon, 2002) mendefinisikan karakter sebagai anatomi moral. Berkowitz meyakini bahwa fungsi moral seseorang dipengaruhi oleh karakteristik psikologisnya. Karakter sebagai anatomi moral adalah komponen psikologi yang membuat seseorang memiliki moral seutuhnya. Dalam anatomi moral tercakup tujuh bagian, yakni perilaku moral, nilai-nilai moral, kepribadian moral, emosi moral, pertimbangan atau pemikiran moral, identitas moral, dan karakteristik dasar.
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau pendidikan akhlak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu, muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour (Lickona, 1991).
Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (YME), sesama manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa, sehingga menjadi manusia paripurna (insan kamil). Pendidikan karakter di sekolah dan perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus (Zuhdi, dkk: 2010).
Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Di dalam pembelajaran di kelas, karakter juga diharapkan sebagai salah satu hasil belajar atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa: “pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisah-pisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Namun kenyataannya, aspek karakter di dalam pembelajaran seringkali dianaktirikan. Karakter lebih banyak dianggap sebagai efek pengiring (nurturant effects), dan bukan sebagai efek pembelajaran (instructional effect).
Dari sinilah masalah dimulai. Pengalaman menunjukkan keterampilan proses dan tujuan-tujuan yang bersifat afektif dan perilaku itu tidak muncul, walaupun siswa dinyatakan telah menguasai aspek kognitif dan psikomotoriknya. Penelitian Nur, dkk (1996) menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam keterampilan proses sangat rendah. Ditemukan pula pola pembelajaran di sekolah sangat berorientasi pada produk, sehingga kegiatan pembelajaran yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan proses tidak dilaksanakan. Penelitian Blazely, dkk (1997) menemukan fenomena yang mirip, sehingga pembelajaran seakan menjadi penumpukan fakta, konsep, dan teori semata.
Berdasarkan kelemahan ini, serta juga didorong oleh kesadaran bahwa begitu pentingnya pembangunan karakter melalui pendidikan, maka dalam rangka program pembangunan karakter bangsa, aspek karakter diharapkan benar-benar menjadi tujuan pembelajaran, sebagaimana aspek lain (kognitif dan psikomotorik).
Agar aspek karakter benar-benar menjadi instructional effect, maka pembelajaran karakter harus sengaja dirancang. Berbicara tentang perancangan pembelajaran, tentu saja menyangkut bagaimana mengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis karakter. Dalam RPP harus sengaja merancang: 1) karakter apa yang akan dicapai melalui pembelajaran tertentu. Karakter yang dimaksud harus dicantumkan dalam indikator dan tujuan pembelajaran; 2) untuk mencapai karakter yang telah dicantumkan di dalam indikator dan tujuan pembelajaran tersebut, diperlukan pula rancangan kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan. Pengalaman belajar apa yang akan dihayati oleh siswa, harus tergambar dalam skenario pembelajaran; dan 3) untuk mengukur apakah proses pembelajaran yang dilakukan untuk memperoleh karakter yang telah dirumuskan telah tercapai atau belum, diperlukan rancangan penilaian/asesmen yang akan digunakan.
Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat (Bashori, 2010).

Apakah Pendidikan kecakapan Hidup?
Bertumpu pada keadaan hasil pendidikan selama ini dan berbagai tuntutan, tantangan, serta kebutuhan eksternal masa kini, banyak kalangan berpendapat bahwa: (1) pendidikan harus ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya bagi kelompok masyarakat tertentu, (2) pendidikan harus berorientasi populistis, tidak boleh elistis semata, (3) pendidikan harus mampu memenuhi kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas, bukan sebagian kecil masyarakat, (4) pendidikan harus kontekstual dan cocok dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat yang diidamkan, (5) pembelajaran harus diarahkan untuk menyantuni pembelajar agar mampu hidup mandiri dan otonom dalam hidup dan kehidupan masing-masing, bukan hanya memiliki kepandaian akademis-intelektual, (6) sekolah harus senantiasa terlibat dalam perubahan masyarakat, dan (7) sekolah juga merupakan lembaga pembentukan kecakapan hidup, yang dibutuhkan oleh masyarakat luas dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, bukan penerusan ilmu pengetahuan teoritis-akademis semata.
          Sebagai konsekuensi dari pendapat-pendapat di atas, maka muncullah kemudian antara lain pendidikan kecakapan hidup.  Berbagai negara di dunia saat ini sedang mengembangkan pendidikan berorientasi kecakapan hidup dengan bertumpu pada masyarakat luas. Sejak tahun 2002, pemerintah Indonesia juga secara sungguh-sungguh, terprogram, dan terencana mencoba mengembangkan pendidikan kecakapan hidup dengan menggunakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat luas.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2002), kecakapan hidup adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya. Dalam pandangan Kendall dan Marzano (1997), kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.
 Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).
          Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002; Samani, 2007; Samani, 2011). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.
          Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).
          Pendidikan kecakapan hidup bukanlah membentuk mata pelajaran-mata pelajaran baru, tetapi mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Ada tiga prinsip mendasar dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yaitu: (1) tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak harus dengan mengubah kurikulum, sebab yang justru diperlukan adalah pensiasatan kurikulum untuk diorientasikan pada kecakapan hidup, dan (3) etika sosio religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan. Bertolak dari ketiga prinsip tersebut, maka pengembangan kecakapan hidup tidak dalam bentuk mata pelajaran tersendiri, melainkan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran-mata pelajaran yang ada selama ini dengan prinsip-prinsip yang sama di atas.
          Walaupun pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dapat bervariasi disesuaikan dengan kondisi anak dan lingkungannya, namun memiliki prinsip-prinsip umum yang sama. Prinsip-prinsip umum yang khususnya terkait dengan kebijakan pendidikan di Indonesia, selain ketiga prinsip dasar di atas, juga meliputi: (1) pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (2) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS), (3) potensi wilayah sekitar sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai dengan prinsip pendidikan kontekstual dan pendidikan berbasis luas (broad based education, (4) paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan, sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dengan kebutuhan nyata peserta didik, dan (5) penyelenggaraan pendidikan senantiasa diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat dan berkualitas; mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas; serta memiliki akses untuk mampu memenuhi standar hidupnya secara layak (Depdiknas, 2002).
          Relevan dengan pendapat di atas, prinsip umum implementasi pendidikan kecakapan hidup adalah meliputi: (1) tidak harus atau tidak perlu mengubah bangun dasar atau sistem pendidikan nasional yang sekarang  berlaku; ini mesyaratkan format dan model implementasi pendidikan kecakapan hidup yang fleksibel dan bervariasi, (2) tidak harus atau tidak perlu mengubah kurikulum formal dan ideal (normatif) yang sekarang berlaku, karena kurikulum operasional dapat disiasati sedemikian rupa guna mengimplementasikan pendidikan kecakapan hidup, (3) harus mengedepankan paradigma learning for life and school to work yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik; ini berarti membutuhkan suatu kajian kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan pada masa depan, (4) harus mengedepankan paradigma learning from the people atau kearifan masyarakat setempat yang berkenaan denbgan kehidupan mereka; ini memerlukan inventori kemampuan, kemauan, dan pengetahuan masyarakat setempat dalam mempertahankan, menjalani, dan mengembangkan hidup dan kehidupan, (5) harus mengutamakan paradigma pendidikan berbasis komunitas atau pendidikan masyarakat luas (community based learning atau broad based education).

Implementasi PKH dan Kendalanya

          Implementasi pendidikan kecakapan hidup dapat mempertimbangkan beberapa model, antara lain adalah: (1) model integratif, (2) model komplementatif, dan (3) model diskrit (Saryono, 2002). Dalam model integratif, implemetasi pendidikan kecakapan hidup melekat dan terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang ada. Berbagai program kurikuler dan mata pelajaran yang ada seharusnya bermuatan atau berisi kecakapan hidup. Model ini memerlukan kesiapan dan kemampuan tinggi dari sekolah, kepala sekolah, dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru harus pandai dan cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan penilaian. Ini berarti, mereka harus kreatif, penuh inisiatif, dan kaya gagasan. Keuntungannya, model ini relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal, dan tidak menambah beban sekolah terutama kepala sekolah, guru, dan peserta didik.
          Dalam model komplementatif, implementasi pendidikan kecakapan hidup dimasukkan dan atau ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada; bukan mata pelajaran. Pelaksanaannya bisa berupa menambahkan mata pelajaran kecakapan hidup dalam struktur kurikulum atau menyelenggarakan program kecakapan hidup dalam kalender pendidikan. Model ini tentu saja membutuhkan waktu tersendiri, guru tersendiri di bidang kecakapan hidup, dan ongkos yang relatif besar. Selain itu, penggunaan model ini dapat menambah beban tugas siswa dan guru selain beban finansial sekolah. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk membentuk kecakapan hidup pada peserta didik.
          Dalam model diskrit, implementasi pendidikan kecakapan hidup dipisahkan dan dilepaskan dari program-program kurikuler, kurikulum reguler, dan atau mata pelajaran (pembelajaran kurikuler). Pelaksanaannya dapat berupa pengembangan program kecakapan hidup yang dikemas dan disajikan secara khusus kepada peserta didik. Penyajiannya bisa terkait dengan program kokurikuler atau bisa juga berbentuk program ekstrakurikuler. Model ini membutuhkan persiapan yang matang, ongkos yang relatif besar, dan kesiapan sekolah yang baik. Selain itu, model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan. Meskipun demikian, model ini dapat digunakan membentuk kecakapan hidup peserta didik secara komprehensif dan leluasa.
          Model manapun yang dipilih, yang penting adalah bahwa pembelajaran kecakapan hidup tersebut pada hakikatnya adalah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai pelaku belajar. Siswa mempunyai kesempatan untuk belajar aktif, baik mental maupun fisik, dan hal ini dapat diperoleh bila lingkungan belajar dibuat menyenangkan bagi siswa.      Model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran aktif. Model pembelajaran aktif merupakan model pembelajaran yang membuat siswa melakukan perbuatan untuk beroleh pengalaman, interaksi, komunikasi, dan refleksi. Siswa akan belajar banyak melalui perbuatan beroleh pengalaman langsung. Dengan berbuat, siswa mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan. Selanjutnya kecakapan interaksi akan dimiliki oleh siswa bila pelajaran berlangsung dalam suasana interaksi dengan orang lain, misalnya berdiskusi dan bertanya-jawab. Sedangkan kecakapan komunikasi merupakan kecakapan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, dan hal ini menjadi kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinya untuk mencapai kepuasan. Kemudian bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali gagasannya, kemudian melakukan perbaikan, sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Inilah yang dimaksud refleksi. Refleksi ini dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi.
          Temuan dari Tim Peneliti Universitas Negeri Malang (2002) mengenai faktor-faktor penghambat pendidikan kecakapan hidup di Jawa Timur menunjukkan bahwa faktor internal yang berasal dari guru, sistem sekolah, kurikulum, serta fasilitas yang dimiliki sekolah merupakan faktor penghambat yang utama. Faktor penghambat yang lain juga termasuk faktor eksternal yang berasal dari dukungan pemerintah, sosial/budaya, dukungan dunia usaha/industri, dan dukungan orang tua. Hasil penelitian itu juga menjelaskan bahwa menurut peringkatnya, guru menduduki peringkat pertama sebagai penghambat, disusul berturut-turut oleh sistem sekolah, kurikulum, fasilitas, dukungan pemerintah, dukungan dunia usaha/industri, orang tua, dan sosial budaya.
          Faktor penghambat dari guru meliputi guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, gaji rendah, motivasi untuk berkembang rendah, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri. Faktor penghambat sistem sekolah meliputi sistem yang sering berubah-ubah, tidak mendukung pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, kurang terpadu antar jenjang, dan kurang waktu dalam pembinaan keterampilan siswa.
          Selanjutnya faktor penghambat kurikulum meliputi terlalu sarat materi, kurang sesuai dengan aset unggulan daerah, masih seragam terpusat, tidak mengarah kepada pendidikan kecakapan hidup serta mengabaikan minat dan bakat siswa. Faktor penghambat dari sisi fasilitas meliputi fasilitas kurang memadai, fasilitas yang ada kurang mendukung pendidikan kecakapan hidup, dan fasilitas tidak merata antara sekolah meskipun untuk jenjang sekolah yang sama.
          Sementara itu faktor penghambat dukungan pemerintah meliputi bantuan dana tidak merata, relatif kecil, nara sumber ahli pendidikan kecakapan hidup sedikit, bantuan yang ada kurang mendukung pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup, pola dukungan sering berubah-ubah, dan ambivalensi antara Depdiknas dengan Departemen Agama pada pengelolaan pendidikan dasar dan menengah.
          Sedangkan faktor penghambat dukungan dunia industri adalah meliputi keterbatasan jumlah serta sumber daya dunia usahja/industri di daerah, merasa tidak mempunyai ikatan, tidak ada akad kerja sama yang jelas, alokasi waktu sekolah dengan dunia usaha/industri yang tidak seiring dan tidak ada koordinasi. Kemudian mengenai faktor penghambat sosial/budaya adalah meliputi tatanan sosial/budaya yang tidak mendukung siswa sekolah bekerja, tidak memahami pendidikan kecakapan hidup, serta masih berorientasi pada perolehan gelar sesudah selesai sekolah. Penghambat dari orang tua meliputi kebanyakan berpendapatan rendah sedangkan yang berpendapatan tinggi kurang sadar, tidak mengerti pendidikan kecakapan hidup, pola pikir berorientasi pada gelar kesarjanaan, dan motivasi untuk mendorong anak memperoleh kecakapan hidup rendah.
          Berangkat dari pengalaman, sebagian besar sekolah, mulai jenjang SD sampai SMA, memaknai PKH identik dengan pemberian keterampilan kepada siswa, misalnya keterampilan menjahit, elektronika, berkebun, dan sebagainya. Banyak sekolah yang tidak memahami bahwa mengembangkan kepribadian siswa adalah juga merupakan bagian dari PKH. Membimbing siswa untuk berperilaku jujur, bertanggung-jawab, mampu bekerja sama, peduli dan empati, serta mampu bekerja keras, jarang dipahami sebagai bagian dari PKH.

Penutup: Antisipasi untuk Pendidikan Karakter
Belajar dari pengalaman implementasi PKH, jelaslah bahwa banyak faktor penghambat yang dihadapi oleh sekolah dalam rangka implementasi pendidikan kecakapan hidup, baik itu faktor internal dari sekolah sendiri maupun faktor eksternal. Pendidikan karakter perlu mengantisipasi berbagai kendala yang mungkin juga tidak akan jauh berbeda.  Banyak program yang awalnya tampak begitu ideal, namun kandas di tengah jalan pada tahap implementasinya. Sebut saja Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (yang salah satu bentuknya adalah PKH ini), Manajemen Berbasis Sekolah, dan beberapa program lain yang terkesan hanya dilaksanakan dengan ‘setengah hati’. Seringkali program yang pada awal implementasinya sudah sangat baik, tiba-tiba ‘dikebiri’ oleh adanya kebijakan-kebijakan baru yang ‘agak’ atau bahkan kontradiktif dengan kebijakan yang sedang diterapkan.
Terdapat benang merah antara PKH dan pendidikan karakter. PKH tidak hanya melulu mengajarkan keterampilan (dalam arti hard-skills) kepada siswa, namun juga mengajarkan karakter itu sendiri (soft skills). Bahkan sebagaimana pendidikan karakter, PKH juga bukan merupakan konsep yang benar-benar baru. Sejak lama kurikulum kita sudah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan mencakup juga penumbuhkembangan sikap jujur, disiplin, saling toleransi, berpikir rasional dan kritis, bekerja keras, dan seterusnya, yang sebenarnya hal tersebut identik dengan GLS.  Dengan kata lain, seandainya konsep PKH yang sudah sangat bagus itu benar-benar diimplementasikan dengan sepenuh hati, maka karakter-karakter positif dan utama (jujur, cerdas, peduli, dan tangguh) yang saat ini diusung oleh pendidikan karakter tersebut, sudah dapat dirasakan hasilnya. Setidaknya, setelah lebih dari satu dasawarsa, implementasi konsep tersebut sudah menunjukkan ‘sedikit’ bukti keberhasilan dan memberikan manfaatnya. Namun ternyata tidaklah seperti itu yang terjadi, dan bahkan konsep PKH saat ini seolah-olah hilang tanpa bekas.
 Memperhatikan kendala-kendala tersebut, maka di dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, tahap awal yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian dan pemahaman kepada pelaksana sekolah (terutama guru dan kepala sekolah) mengenai pendidikan karakter itu sendiri. Hal ini penting karena berdasarkan uraian di atas, ternyata faktor guru merupakan salah satu penghambat utama, yang antara lain karena guru kurang mengerti pendidikan kecakapan hidup, kurang profesional dalam mengajar, tidak mempunyai keterampilan khusus, dan kurang tekun dalam mengembangkan diri.
Tentu saja bukan faktor guru saja yang kemudian menjadi fokus perhatian. Zuhdi (2010) menegaskan, pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus, pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa, pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.

Daftar Pustaka
Bashori, K. 2010. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/03/15/129378/68/11/Menata-Ulang-Pendidikan-Karakter-Bangsa. Diakses 10 September 2010.

Berkowitz, Marvin W. 2002. “The Science of Character Education”, dalam William Damon( ed.), Bringing in a New Era in Character Education. California: Hoover Institution Press.
Blazely, Lloyd D. Et. All. 1997. Science Study. Jakarta: The Japan Grant Foundation.
Brolin, D.E. 1989. Life Centered Career Education: A Competency Based Approach. Reston VA: The Council for Exepctional  Children.
Depdiknas. 2002. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup. Buku I, II, dan III. Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Jawa Barat. 2002. Pendidikan Berbasis Luas Kecakapan Hidup dengan Model Pelaksanaan Pembelajaran Hidup di Sekolah. Bandung: CV Dwi Rama.
Dinas Pendidikan Jawa Timur. 2001. Profil Pendidikan Jawa Timur Tahun 2000/2001. Surabaya: Dinas Pendidikan Jawa Timur.
Kendall, John S dan Marzano, Robert J. 1997. Content Knowledge: A Compedium of Standards and Benchmarkes for K-12 Education. Aurora, Colorado, USA: Mc REL Mid – Continent Regional Educational Laboratory; Alexandria, Virginia, USA: ASCD.
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Samani, Muchlas. 2011. “Merenungkan Kembali Arah Pendidikan.” Dalam Rekonstuksi Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.
Saryono, Djoko. 2002. Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsepsi dan Implementasinya di Sekolah. Makalah dalam Workshop Pengembangan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah Berorientasi Kecakapan Hidup di Jawa Timur, 11 November 2002, Universitas Negeri Malang.
Tim Peneliti. 2002. Penelitian Pengembangan Pendidikan Jawa Timur. Laporan Penelitian tidak diterbitkan. Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur.

Zuhdi, Darmiyati, dkk. 2010. Pendidikan Karakter dengan pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press.

Jumat, 07 Oktober 2016

Sosok Keilmuan Ikk Dan Program Perluasan Mandat

Oleh: Dra. Astriati Winarni dan Dra. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd
PKK FPTK IKIP SURABAYA



A.    PENDAHULUAN
Salah satu bidang pengetahuan yang berkembang pada maga terakhir ini dalam dunla pendidikan, khususnya pendidikan  tinggi di Indonesia, adalah Home Economics. Isti1ah ini kemudian lebih dikenal sebagai ilmu Kesejahteraan Keluarga, disingkat IKK.
Dewasa ini, IKK sebagai bidang ilmu pengetahuan dan keterampilan dirasakan sebagai sesuatu yang dapat menunjang kehidupan keluarga untuk mencapai tujuannya, yaitu kesejahteraan keluarga. Semua pihak tentu Bependapat bahwa kesejahteraan keluarga merupakan dagar terbentuknya magyarakat sejahtera yang adil dan makmur. Bahkan tercapainya kedamaian dunia sebenarnya berpijak dan ditopang oleh keadaan kesejahteraan umat manusia yang hidup dalan keluarga itu. Dengan demikian dapat dikatakan, dalam suatu negara, keluargalah yang menjadi intinya. Unit keluarga mempunyai potensi yang besar dalam pembangunan bangsa dan negara, Sebab rumah dan keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap dasar pola budi pekerti anak, jauh melebihi pengaruh lembaga manapun juga.
Berkaitan dengan hal tersebut, bidang pengetahuan dan keterampilan PKK sudah sewajarnya dipelajari oleh mereka yang ingin mencapai kesejaheraan hidup. Melalui bentuk pendidikan dapat dikembangkan manusia pada taraf hidup yang lebih tinggi secara material, sosial, dan moral, dalam lingkup kehidupan yang lebih balk.
Meningkatnya komplikagi sosiial dengan sendirinya meningkatkan pula kesulitan penyesuaian kehidupan keluarga. Lebih—lebih dalam keadaan globalisasi dunia saat ini, tentu digadari bahwa keluarga dan individu perIu dibantu dan dibimbing melalui pendidikan, dan PKK diharapkan dapat menjadi pendidikan yang tepat. Jenis pendidikan ini membantu keluarga dan individu secara preventif mengatasi masalah dan memberi bekal penyesuaian diri kepada keluarga beserta anggotanya di dalam perkembangan dunia yang melaju dengan pesatnya.
Ilmu Kesejahteraan Keluarga (IKK), yang merupakan sumber materi dan pengembangan PKK, sebenarnya telah dikenal sejak lama dalam lingkungan jurusan PKK. IKK berusaha mengalami segala aspek kehidupan keluarga secara ilmiah, sebab hanya dengan cara ilmiah, PKK dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan pendekatan ilmiah pula PKK dapat mempertinggi serta memperluas layanan pada masyarakat.
IKK adalah suatu ilmu yang memusatkan penelitiannya pada kehidupan dan penghidupan manusia, baik sebagai individu anggota keluarga maupun sebagai anggota masyarakat. Poerwo Soedarmo dan Djaeni Sediaoetama (1987) menyatakan bahwa IKK atau Home Economics merupakan suatu ilmu yang mempelajari kehidupan keluarga, faktor—faktor yang mempengaruhinya serta mencari cara—cara memperbaiki keadaan keluarga tersebut untuk mencapai kkesejahteraan lahir dan batin. Pendapat ini relevan dengan definisi yang dikemukaan oleh AHEA (American Home Economic Associations) , yang merumuskan bahwa Home Economics adalah seni dan ilmu yang berhubungan dengan peningkatan keluarga yang berarti bahwa: (1) memusatkan perhatian pada keluarga (maeyarakat), dan (2) memadukan pendekatan ilmiah dan kemanusiaan untuk membantu individu menghadapi perubahan dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kehidupannya (Parker, 1980).
Sehubungan dengan adanya program perluasan mandat dalam kaitan konvergi IKIP menjadi universitas, tampaknya perlu mengkaji ulang keberadaan IKK sebagai suatu disip1in ilmu, agar penentuan mata kuliah ilmu murni IKK relevan dengan unuan masa kini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan dicoba disajikan diskusi mengenai sosok keilmuan menjadi universitas), paradigma baru bidang IKK untuk masa yang akan datang, dan hal—hal Iain yang berkaitan dengan eksisensi jurusan PKK.


B.     JATI DIRI KEILMUAN IKK
1.      Terminologi IKK
Istilah Home Economics telah mulai populer dalam dunia pendidikan khususnya, dan di dalam perkembangan soaial pada umumnya. Oleh karena kepopulerannya ini timbul berbagai tafsiran yang seringkali satu dengan yang lain mempunyai dasar pemikiran dan pandangan yang berbeda. Perbedaan pandangan tersebut tentunya tidak perlu dipersoalkan. Yang penting adalah sejauh mana Home Economics sebagai satu cabang ilmu pengetahuan dapat membantu umat manusia dalam usahanya meningkatkan taraf hidup, membangun magyarakat secara material dan spiritual.
Pembangunan masyarakat tidak mungkin dilakukan tanpa melalui lembaga—lembaga sosia1 terkecil, yaitu home atau keluarga. Bila tujuan pembangunan adalah mencapai suatu masyarakat yang sejahtera, maka untuk mencapai tujuan itu, keluarga sebagai lembaga sosia1 terkecil harus menjadi lembaga yang sejahtera dulu. Selanjutnya untuk mencapai keluarga yang sejahera, dibutuhkan berbagai pengetahuan yang terkandung dalam suatu ilmu, yaitu home economics, yang di dalam dunia pendidikan kita lebih dikenal dengan sebutan IKK (Ilmu Kesejahteraan Keluarga).
Istilah home economics berasal dari dua kata, yaitu home dan economics. Home dapat berarti keluarga atau family dalam arti luas. Maria (1972) menyatakan bahwa pengertian Home mengandung arti bukan sekedar bangunan rumah dengan segala perabotnya, namun lebih dari itu, yaitu adanya suasana yang mengikat anggota keluarga dengan ikatan batin yang halus dan kuat. Selanjutnya kata economics berasal dari kata economy yang berarti rumah tangga (ecos) dan undang—undang atau aturan (nomos).
Berdasarkan pengertian di atas, secara sederhana home economics dapat diartikan sebagai undang—undang atau aturan—aturan tentang hidup berumahtangga atau berkeluarga. Lebih jauh, juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari bagaimana keluarga memenuhi berbagai kebutuhannya, baik material maupun mental spiritual, agar mencapai suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera (Rifai, 1983).
Selanjutnya mungkin perlu dipersoalkan istilah economics dan economy. Secara definitif, economics atau ilmu ekonomi diartlkan sebagai ilmu yang mempe1ajari tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang jumlahnya tak terbatas, sementara alat pemuas kebutuhan tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas. Oleh karena home economics merupakan suatu ilmu atau seni yang mempelajari bagaimana cara keluarga memenuhi kebutuhannya yang sangat banyak sementara alat untuk memenuhi kebutuhan tersebut sangat terbatas jumlahnya, maka dalam hal ini dapatlah dipahami bahwa antara isti1ah Economics dan economy terdapat suatu hubungan pengertian.
Secara definitif istilah home economi menurut Webster’s Encyclopedia adalah:
A science and art dealing with home making and relation of home to community, theory and practice concerning to the selection and preparation on food and clothing, condition of living, the use of income, the care and training children etc, also the study or teaching at Home Economics Department concerned with this.

Berdasarkan definisi di atats jelaslah bahwa home economic atau ilmu Kesejahteraan Keluarga tidak hanya mempersoalkan bagaimana keluarga memenuhi kebutuhan biologisnya saja. Namun juga harus dapat menjalankan perannya sebagai bagian dari masyarakat, dapat menjadi tempat pendidikan anak—anak, sekaligus mampu meningkatkan kebutuhan lain, yaitu kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual.

2.      Tantangan Yang Dihadapi IKK
Sosok keilmuan IKK tidak dapat ditemukan hanya berdasarkan pada definisi saja, namun juga harus dikaji tantangan yang dihadapi. Salah satu tantangan besar yang dihadapi IKK adalah perkembangan ilmu dan teknologi (iptek) yang begitu cepat. Pegatnya perkembangan iptek dan dampak globalisasi saat inl sudah sangat terasa pengaruhnya pada seluruh segi kehidupan, termasuk dalam kehidupan keluarga.
Dalam kondisi semacam ini, langkah tepat yang dapat di lakukan pendidikan termasuk pendidikan kesejahteraan keluarga, dalam upaya membantu peserta didik mempersiapkan diri demi masa depannya lebih banyak menekankan pada kemampuan untuk berkembang. Hal ini relevan dengan pendapat Samani (1992) yang menyatakan bahwa dengan bekal kemampuan untuk berkembang, seperti kemampuan analisis, berpikir kreatif, disip1in, percaya diri, dan sebagainya, diharapkan peserta didik dapat beradaptasi dan meneembangkan diri seguai dengan situasi di mana dia berada. Dalam kaitan ini, beberapa ahli berpendapat bahwa pendidikan jalur sekolah seharusnya menekankan pada pemberian bekal yang bersifat kemampuan dasar, sedangkan keterampi lain yang spesifik diserahkan kepada pelatihan (Murugasu. 1990). Pendidikan jalur sekolah yang spesialistik dikhawatirkan akan mudah usang (absolute) karena tertinggal oleh perkembangan iptek yang terjadi di masyarakat.
Hoeflin dkk (1984) menyatakan bahwa terdapat banyak sekali kesempatan kerja dalam bidang Home Economics, yang sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, perkembangan teknologis serta ketersediaan dan permintaan atas keterampilan-keterampilan tertentu. Tantangannya adalah kemampuan untuk menemukan informasi terbaru dan akurat mengenai kesempatan kerja yang mungkin tersedia untuk masa yang akan datang. Namun kemampuan ini belumlah cukup sebab kenyataannya sampai saat ini, relevansi pendidikan terhadap kemajuan iptek merupakan masalah besar yang belum teratasi. Bahkan banyak ahli yang menyebutkan usaha para perencana pendidikan untuk meningkatkan relevansi pendidikan ibarat mengejar bayangan sendiri (Samani, 1992). Dengan demikian penekanan pemberian bekal kemampuan untuk berkembang kepada peserta didik merupakan hal yang tak bisa dihindari dan harus diupayakan.
Selain itu, karena PKK merupakan pendidikan kejuruan, maka terdapat tunutan agar mampu mengantisipasi perubahan dunia kerja yang sangat cepat akibat perkembangan ilmu dan teknologi yang juga sangat cepat. Pelaihan keterampilan yang sangat spesifikk hanya diterapkan pada bentuk pendidikan yang sudah jelas mengarah pada pekerjaan tertentu. Tentu saja dengan pengertian telah tersedia formasi pekerjaan bagi lulusan pelatihan yang dimaksud. Jika formasi pekerjaan tersebut belum jelas, maka lebih tepat dilakukan pendidikan kejuruan yang lebih generalis sehingga lulusan memiliki pilihan-pilihan jenis pekerjaan lebih luas. Dengan demikian pengertian siap kerja dalam hal ini tidak diekankan pada keterampilan manual, namun lebih pada kesempatan mental, sehingga lulusan dapat segera memasuki lapangan kerja dan mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia kerja.

3.      Gambaran Sokok Ilmu IKK
Untuk mendapatkan gambaran sosok keilmuan suatu cabang ilmu, harus dikenali dulu tiga komponen dasar suatu ilmu, yaitu: (1) apa yang dikaji (ontologi), (2) bagaimana cara mendapatkannya (epistemologi), dan (3) untuk apa ilmu tersebut dipergunakan (aksiologi). (Suriasumantri, 1984).
Segi ontologi IKK sudah cukup jelas, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan dan penghidupan manusia, baik sebagai individu anggota keluarga, maupun sebagai anggota masyarakat. Sebagai ilmu, IKK mempunyai objek forma, yaitu: kehidupan keluarga sengan segala aspek untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Bidang garapan IKK menurut Rifai (1983) adalah meliputi: (1) Hubungan intra keluarga, (2) Kesehatan mental keluarga, dan (3) Bidang material, yang mencakup: Perawatan anak; perawatan remaja; perawatan pasien; penataan ruang dan taman; pemilihan, pengolahan, dan penyiapan makanan; pemilihan, pembuatan, dan pemeliharaan pakaian; penampilan personal; pengetahuan barang, dan gebagainya.
Untuk menegaskan keberadaan keilmuan IKK mungkin perlu dipersoalkan, apakah belum ada cabang ilmu lain yang mengkaji masalah tersebut? Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jelas, sebab bila tidak kemungkinan akan terjadi tumpang tindih yang membingungkan. Parker (1980) mengemukakan bahwa IKK bukanlah satu-satunya bidang yang mempelajari aspek kehidupan keluarga, namun merupakan satu-satunya bidang ilmu yang memusatkan perhatiannya pada seluruh aspek kehidupan keluarga. Sosiologi terutama memperhatikan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan magyarakat, sedangkan ilmu kesehatan berusaha memperbaiki kegehatan manusia dan masyarakat. Dibandingkan dengan IKK, maka IKK memusatkan perhatiannya langsung pada kehidupan manuaia dan keluarga dengan segala aspeknya (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dari ontologi keberadaan keilmuan IKK dapat dipertanggunjawabkan.
Setelah dikaji dari segi ontologi, perlu juga dipertanyakan bagaimana isi keilmuan IKK? Tampaknya sejak awal perlu disadari bahwa IKK sebagai cabang ilmu merupakan paduan dari beberapa cabang ilmu Iain. Parker (1980) menyatakan bahwa IKK sebagai ilmu yang tidak dapat berdiri sendiri menggunakan hasil penelitian dari ilmu lain, baik ilmu murni maupun terapan, seperti fisika, kimia, bakteriologi, biologi, antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, kedokteran, ilmu gizi dan ilmu pendidikan. Selain sebagai cabang ilmu pengetahuan, lapangan Iain juga berkaitan erat seperti agama, etika , dan estetika. Dengan demikian dapat di katakan bahwa IKK merupakan suatu ilmu yang interdisipliner. Ilmu ini dapat berkembang karena adanya pandangan bahwa segala bidang ilmu pengetahuan hendaknya diamalkan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera.
Sebagai ilmu, sebenarnya dari segi epistemologi keberadaan IKK sudah cukup mantap. Selama ini para ahli IKK (home economist) telah mengembangkan berbagai teori yang sudah tervalidasi secara universal. Dengan demikian dapat dikatakan telah ditempuh prosedur keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode pengumpulan data seperti observasi, eksperimen, survey. dan Iain-Iain banyak digunakan dalam penelitian-penelitian bidang IKK. Berbagai bidang menjadi sasaran penelitian, misalnya makanan, pakaian, perumahan dan perabot rumah tangga, masalah jual-beli, pembagian dan penggunaan sumber—sumber keluarga, dan Iain—Iain. Hasil penyelidikan dan pengetahuan yang dicapai IKK inilah yang digunakan PKK untuk kepentinaan kehidupan keluarga dan masyarakat. IKK juga menyajikan dasar—dasar pendidikan untuk mendapatkan keahlian dalam salah satu segi kehidupan keluarga yang dapat dijadikan sumber penghasilan.
Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa sebagai cabang ilmu, IKK memang telah mempunyai sifat dan bidang garapan (segi ontologi) yang jelas. Namun karena IKK diwarnai oleh beberapa cabang ilmu lain, maka perkembangan cabang—cabang ilmu yang menjadi unsur IKK tersebut harus mendapat perhatian ahli IKK. Dalam mengembangkan IKK harus tetap memperhatikan kecenderungan perkembangan cabang ilmu yang mewarnainya, dan bahkan cabang ilmu Iainnya.
Dari segi aksiologi, keberadaan IKK sebagai cabang ilmu juga sudah cukup mantap, baik ditinjau dari segi normatif seperti terkandung dalam misi yang diemban, maupun pelaksanaan nyata yang telah berlanggung selama ini IKK yang diamalkan melalui PKK, baik formal maupun nonformal telah banyak memberi sumbangan dalam membawa peserta didik menjadi manusia yang dapat mengembangkan diri gecara optimal, sejalan dengan bakat dan minatnya masing—masing. Dengan demikian diharapkan mereka dapat memiliki kepribadian seimbang, berjiwa makarya serta bertanggungjawab terhadap kesejahteraan keluarga, masyarakat, bangga dan negara.

                                                                                                        
C.    MACAM-MACAM MATA KULIAH MURNI IKK DALAM PROGRAM PERLUASAN MANDAT
Bidang yang menjadi garapan IKK, berdasarkan uraian diatas, adalah cukup luas, karena itu perlu dilakukan pengaturan secara cermat. Baik ditinjau dari segi ontologi, epistemologi, mau pun aksiologi, cabang—cabang ilmu yang mewarnai IKK seharusnya bergandeng tangan untuk bersama—sama mengataai persoalan kehidupan keluarga, tanpa adanya pretensi sebagai yang paling berhak atau paling baik, karena sikap ini justru akan menghambat upaya dasarnya.
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, IKK merupakan cabang imu yang bersifat interdisip1iner, yang mengasumsikan bahwa tanggung jawab dan perpaduan sumbangan semua cabang ilmu, seni, dan filsafat dalam suatu keutuhan yang fungsional di tujukan untuk memberikan layanan pada kehidupan keluarga. IKK mencapai tujuannya dengan memanfaatkan ilmu—ilmu fisika, biologi, ilmu tentang tingkah laku (behavioral), dan ilmu—ilmu sosial, serta seni (lihat Gambar 1). Prinaip—pringip pengujian dan penilalan dari IKK diturunkan darı bidang—bidang ilmu tersebut, dan melalui penelitian, menghaailkan sumbangan yang beÅŸar dalam menginterpretasikan, menerapkan, dan memadukan informagi. Fungsi perpaduan ini lah yang digunakan untuk meningkatkan kehidupan keluarga, dan hal ini merupakan keunikan dari tujuan IKK.
Bidang—bidang yang beragam sebagaimana ditunjukkan pada gambar bekerja bersama—sama seperti layaknya sebuah gear (roda gigi) pada suatu mesin yang bekerja dengan efisien. Setiap roda gigi (atau disiplin ilmu) merupakan bagian darı keseluruhan, dan dapat lebih efektif bila saling bekerja sama dan saling mendukung dengan bagian yang lain. Sejauh mana efektivitas merancang dan membuat pakaian tanpa pemahaman mengenai mengapa konsumen membutuhkan dan menghendaki produk tersebut? Bagaimana konsumen akan mengenal produk—produk terbaru tanpa adanya komunikasi? Pemahaman mengenai IKK sebagai suatu bidang kajian akan diper1uas  bila memandangnya dengan suatu pendekatan yang sinergis. Hubungan antara bidang kajian dan adanya kebutuhan untuk melakukan usaha—usaha yang kooperatif antara disiplin ilmu tersebut tampak jelas bila memandangnya sebagai suatu keutuhan.




Gambar 1: Funggi Pemaduan IKK (Sumber: Hoeflin, Ruth Dkk. 1984. Careers for Professionals: New Perspective In Home Economics.
USA: Kendall/Hunt Pub. co. Hal: 72)

Berbicara mengenai penentuan mata kuliah ilmu murni bidang IKK, dalam kaitannya dengan program perluasan mandat, tentu tidak bisa lepas dari pemahaman mengenai kecenderungan iptek saat ini. Sebenarnya mata kuliah ilmu murni tersebut sudah bisa ditentukan dari sosok ilmu IKK sebagaimana diuraikan di atas, yaitu antara lain: fisika, kimia, bakteriologi, biologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, dan filsafat. Namun apa yang perlu dipelajari dalam setiap bidang ilmu tersebut, itulah yang memerlukan pemikiran lebih lanjut. Oleh karena mata kuliah—mata kuliah yang merupakan bagian dari kurikulum suatu lembaga pendidikan akan menentukan masa depan lulusan, dan bahkan masa depan lembaga pendidikan yang bersangkutan, maka tentu harus disusun melalui studi yang mendalam dengan mempertimbangkan berbagai variabel yang terkait. Pada bagian ini hanya akan dibahas sekilas mengenai langkah yang perlu dipertimbangkan untuk keperluan tersebut.
Untuk menentukan apa yang harus dipelajari perlu di tegaskan lebih dulu mengenai kualifikasi lulusan dan perkembangan iptek. Untuk menentukan kualifikasi lulusan harus di pertimbangkan rentangan bidang garapan IKK dan situasi ketenagakerjaan yang ada. Luasnya bidang garapan IKK akan menjadi pertimbangan, apakah kualifikasi lulusan yang diharapkan merupakan genera1is atau spesialis. Lulusan yang bergifat genera1is memiliki fleksibi1itas lebih baik, namun akan memerlukan waktu adaptasi lebih lama dalam memasuki dunia kerja. Sedangkan kualifikasi yang bergifat spesialis akan cepat beradaptasi dengan dunia kerja yang relevan; tetapi bila jenis pekerjaan yang relevan ini tidak diperolehnya, maka akan sulit memasuki jenis pekerjaan yang lainnya.
Lebih jauh, untuk menentukan apa yang harus dipelajari hendaknya juga bertolak dari sosok ilmu IKK, serta menekankan pada kemampuan untuk berkembang, dengan mengembangkan kemampuan analisis, pemecahan masalah, berpikir kreatif, sikap kerjaa yang disiplin, dan sebagainya. Bekal yang dikembangkan tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai kemampuan yang dapat menimbulkan kemampuan keterampilan yang diperlukan di masyarakat di mana lulusan berada.


D.    PARADIGMA BARU BIDANG IKK Dl MASA DEPAN
Berbicara mengenai paradigma baru bidang IKK di masa depan, tentu saja tidak bisa lepas dari keadaan masa kini dan kecenderungan untuk masa yang akan datang. Akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini telah demikian .pesatnya, dan mau tidak mau dunia pendidikan harus berusaha mengantisipasinya. Era tinggal landas yang tengah berlanggung, disusul dengan era perdagangan bebas yang membuat dunia semakin tak berbatas, akan segera disusul dengan era teknologi informasi yang akan menyebabkan umat manusia selalu dihadapkan pada berbagai macam kejutan. Tanpa usaha untuk meningkatkan kualitas diri dan masyarakat, baik secara material maupun spiritual, akan menyebabkan generasi mendatang tergilas roda zaman dan tak mampu bertahan hidup.
Salah satu rancangan kebijakan pembangunan pendidikan mendatang adalah mengartikan sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan di berbagai bidang yang memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan, sekaligus meningkatkan produktivitas, kreatifitas, dan kualitas kerja, dengan maksud mengarahkan mutu dan relevansi pendidikan untuk mewujudkan kemampuan setiap warga negara Indonegia menghadapi masa depan, sesuai dengan tantangan dan harapan masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah harapan yang pragmatis, yaitu bagaimana memperoleh pekerjaan setelah tamat pendidikan.
Arah kebijakan di atas menuntut adanya program perbaikan (reformasi sistem maupun program—program pengembangan yang ada), sehingga diharapkan mampu mengatasi masalah efisiensi dan relevansi antara pendidikan dan dunia kerja.
Dalam kaitan ini, Pendidikan Kegejahteraan Keluarga (PKK) di semua jenjang pendidikan, khususnya pendidikan tinggl, perlu berintropeksi dan mawas diri, sudahkah terpikir atau bahkan terlaksana adanya suatu program yang dimaksudkan untuk reformasi sistem dan program pengembangan PKK? Sudahkah reformasi tersebut benar—benar telah mendasarkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini dan tuntutan di masa depan? Sudahkan sistem pendidikan yang sekarang ini mampu memberikan bekal pengetahuan dan kemampuan yang adaptif, sehingga bisa diharapkan lulusannya dapat menyeguaikan diri dengan cepat dalam menghadapi persoalan di dunia kerja?
Suatu definisi mengenai Home Economics atau IKK yang merupakan penegagan dari definisi yang sebelumnya, telah dirumuskan oleh sejumlah mahasiswa jurusan Home Economics Universitas Arizona (Hoeflin, 1984), dengan penekanan pada tuntutan masa depan, adalah sebagai berikut:
Home economics is a synergistic study of the social , psychological, and physical needs of human being throughout their life span, with a perspective on the past and present and emphasis on the future”.

Dalam pengertian di atas, terkandung makna, bahwa: (1) IKK yang merupakan gabungan dari berbagai disip1in ilmu sosiologi, psikologi, ekonomi, biologi, kimia, dan lain-lain memadukan pengetahuan dari disiplin tersebut menjadi suatu bentuk yang dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari—hari. Proses perpaduan ini teriadi secara sinergis, (2) meskipun tiap disiplin dalam IKK hanya memusatkan diri pada aspek kehidupan tertentu, namun IKK secara utuh menyentuh pada semua aspek. Kalimat social, psychological, and physical needs........througout the life span menekankan pada kenyataan bahwa bidang kajian IKK meliputi semua tahap kehidupan, dan (3) untuk memahami semua persoalan dalam IKK secara utuh, perlu mengetahui sejarahnya, mempelajari berbagai tahap perkembangannya, serta mendalami perannya untuk saat ini dan potensinya untuk masa yang akan datang.
Berdasarkan pada beberapa pertanyaan dan definisi IKK yang dikemukakan di ata, ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pemikiran kita berkaitan dengan eksistensi PKK. Bahan pemikiran ini terutama diarahkan untuk merumuskan paradigma baru IKK.
Pertama, sampai saat ini masih ada kalangan ahli pendidikan dan sebagian masyarakat Indonesia yang mempertanyakan keberadaan PKK, dalam arti kemanfaatannya dalam memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi anak didik. Bahkan sempat muncul pertanyaan mengenai apa bedanya PKK yang ada di sekolah dan perguruan tinnggi, dengan kegiatan PKK yang ada di kampung—kampung? Mengapa keterampilan memasak, menjahit, merias, dan menata rumah. harus dipelajari di sekolah dan bahkan di perguruan tinggi selama bertahun—tahun, sementara di lembaga—lembaga kursus pun semuanya itu bisa diperoleh?.
Semua pertanyaan yang bernada meragukan keberadaan PKK tersebut sudah seharusnya membuat ahli IKK prihatin. Barang— kali sudah waktunya sisttem dan program pendidikan PKK ditinjau dan dibenahi lagi, dengan lebih berorientasi pada tuntutan dunia kerja dan perkembangan teknologi. Meskipun hal ini memang telah seringkali dilakukan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan, masih banyak proses belajar mengajar PKK di berbagai jenjang pendidikan yang hanya berorientagi pada pemberian bekal keterampilan yang sifatnya motorik kepada peserta didik, dengan menekankan pada kegiatan praktek— praktek; tanpa memberikan kesempatan pada anak didik untuk menjadi seorang yang kuat berpikir, eksploratif, inovatif, sehingga mempunyai kemampuan adaptif yang optimal.
Tugas dunia pendidikan sebenarnya adalah mendidik seseorang agar potensi dasarnya berkembang sehat, wajar, dan optimal. Perbaikan sistem pendidikan bukan berarti pendidikan harug selalu menghasilkan lulusan yang siap pakai. Namun yang patut diajarkan adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan cepat dalam menghadapi persoalan dalam bidang ilmu yang dipelari dan kemampuan mengembangkan cara—cara baru untuk mengatasi persoalan tersebut. Dengan kata lain, yang perlu diberikan adalah dasar—dasar pengetahuan yang kemudian dapat membentuk kecakapan kerja yang beragam dan beraspek luas.
Pencapaian tujuan tersebut sangatlah substansial dalam dunia pendidikan, khususnya PKK, untuk menghadapi dunia yang berkembang dan berubah dengan cepat. Keterampilan kerja yang sifatnya motorik akan lekas menjadi usang karena tidak mampu mengimbangi perkembangan teknologi yang terjadi di dunia kerja dan di masyarakat. Akibatnya, lulusan hanya bisa memasuki dunia kerja yang sesuai dengan keterampilannya, namun karena kurang adaptif dan kreatif, maka sulit baginya untuk mengembangkan kemampuannya untuk menguasai sejumlah pengetahuan baru, keterampilan baru, cara kerja baru, dan sikap kerja yang baru, yang berbeda dengan pengetahuan, keterampilan, cara dan sikap kerja yang telah mereka kuasai selama ini. Sebagai Iulusan dari dunia pendidikan yang bukan sekedar lembaga kursus — maka hal seperti ini tentunya sangat tidak diharapkan.
Bahan pemikiran yang kedua adalah perlunya memperluas program pendidikan PKK yang lebih berorlentasi pada profesi. Dengan kata lain, jurusan PKK yang mempunyai program Studi Tata Boga, Tata Busana, dan mungkin Tata Graha dan Tata Rias, dengan muatan—muatan lokalnya, perlu lebih meningkatkan profesionalitasnya, agar mampu menghasilkan lulusan yang benar— benar profesional dalam bidangnya. Mungkin perlu dipikirkan juga untuk mengembangkan atau membenahi program Studi yang ada, agar lebih fleksibel dan berwawasan luas.
Parker (1980) mengemukakan, pllihan karir dalam PKK terbuka lebar di semua bidang, misalnya: (1) seni dan desain, yang meref1eksikan interaksi individu dan keluarga dengan lingkungan sekitarnya dalam hal konstruksi perumahan, arsitektur, perencanaan ruang, dan seni dekorasi. Kemungkinan karir yang tersedia adalah sebagai perancangsn interior, perancang peragaan, perencanaan ruangan, perancang grafis, fotografi dan sebagainya, (2) ekonomi ke luarga/manajemen keluarga, merupakan profesi yang berkaitan dengan bidang manajemen, bisnis. ekonomi, dan proges pengambilan putusan. Karir yang bisa dimasuki antara lain adalah dalam bidang pemasaran dan perbankan misalnya sebagai konsultan keuangan, konselor kredit, dan sebaÄ…ainya, (3) hubungan keluarga dan perkembangan anak, yang memberi peluang karir sebagai supervisor pusat perawatan anak, guru, pekerja sosial , dan sebagainya, (4) makanan, gizi, dan diet; membuka peluang kerja dalam bidang penelitian, bisnis, pelayanan masyarakat, dan pendidikan. Pekerjaan dapat diperoleh di rumah sakit, rumah perawatan , universitas, sekolah, bisnis dan industri, dan lain—lain, termasuk di media radio, TV, majalah dan surat kabar, (5) tekstil dan busana, memberikan peluang kerja sebagai ahli tekstil, perancang, teknolog di bidang produksi industri tekstil, spesialisasi pemasaran, dan lain—Iain. Dan masih banyak lagi pilihan karir yang tersedia.
Ramsey (1975) menegaskan bahwa profesi dalam bidang IKK menawarkan berbagai macam karir yang memerlukan inteligen dan kecerdasan serta akal budi, yang membuka kesempatan untuk memberikan pelayanan peluang kepada masyarakat dan keluarga. Pilihan—pilihan karir hampir tak terbatas, dan setiap orang bebas memilihnya sesuai dengan minat dan keahliannya. Namun, Ramsey juga mengingatkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan lulusan PKK untuk memasuki dunia kerja, antara Iain adalah: mobilitas yang tinggi; memiliki kemampuan dan kreasi dalam menjual keterampilan dan inovasi untuk merebut kesempatan; agresif; keteguhan hati untuk maju; pengalaman kerja; dan peran pengalaman memimpin sewaktu di sekolah. Selain itu, oleh karena pilihan—pilihan karir akan selalu berkembang dan berubah untuk masa yang akan datang, maka peserta didik PKK maupun ahli—ahli IKK harus lebih sadar dan belajar mengenai temuan—temuan penelitian yang mutakhir dan prinsip—prinsip dasar yang diterapkan dalam berbagai bidang IKK untuk meningkatkan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Bahan pemikiran ketiga, berkaitan dengan peningkatan proses belajar mengajar dan pengembangan program yang lebih berorientasi pada profesi, tentunya adalah kualitas pengajar bidang IKK di semua jenjang pendidikan, khususnya di pendidikan tinggi. Pada saat ini peningkatan kua1itas dosen dapat diperoleh melalui berbagai jalur, baik berupa penataran, pelatihan, kursus , maupun dengan studi lanjut (S2, S3). Peningkatan kualitas dosen ini membawa pengaruh positif terhadap peningkatan proses belajar mengajar, sehingga mahasiswa tidak lagi hanya dijejali dengan materi—materi dan keterampilan—keterampilan, namun juga dilatih untuk berpikir kritis, analitis, melalui pengalaman—pengalaman belajar yang lebih banyak bersifat menemukan dan memecahkan masalah. Namun .juga harus diakui, masih banyak dosen yang belum mau dan belum mampu untuk melakukan perbaikan proses belajar mengajar seperti itu. Ini karena upaya perbaikan tersebut tidak bisa terwujud tanpa ditunjang oleh kualitas dosen yang bersangkutan. Dan kualitas dosen dapat meningkat secara bermakna bila diiringi dengan motivasi yang kuat untuk berkembang, upaya tanpa henti untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutakhir, dengan banyak belajar, meneliti, dan memperluas pergaulan dengan orang—orang sebidang maupun di luar bidangnya, seprofesinyai maupun di luar profesinya. Upaya ini tidak bisa dihindari, sebab IKK sendiri adalah suatu bidang ilmu yang bersifat interdisipliner, yans perkembangannya sangat dipengaruhi oleh bidang—bidang ilmu lain yang mendasarinya, sehingga diskusi—diskusi dengan ahli—ahli dari disiplin ilmu di luar IKK menjadi suatu kebutuhan yang mendasar.
Relevan dengan hal di atas, tentunya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa IKK seharusnya dilengkapi dengan informasi dan data mengenai penelitian di semua bidang yang akan memungkinkannya untuk merumuskan pendidikan yang diproyekskan, guna memenuhi kebutuhan di masa depan. Tanpa dukungan penelitian-penelitian yang memadai, IKK akan segera tertinggal. Kemampuan memandang jauh ke masa depan sangatlah penting, sebab perubahan sosial dan ekonomi berjalan dengan begitu cepat. Ahli IKK harus melakukan berbagai penelitian, memanfaatkannya, dan menyebarluaskannya kepada bidang—bidang profesi yang lain.
Ketiga hal di atas itulah yang sebenarnya merupakan masalah klise di bidang pendidikan — setidaknya harus mewarnai paradigma baru bidang IKK. Peningkatan kualitas proses belajar mengajar, pengembangan program PKK yang lebih berorientasi pada profesi, dan peningkatan kualitas dosen, adalah hal-hal yang bila diupayakan secara terus-menerus, akan sangat berarti untuk mempertahankan eksistensi IKK di masa depan. Dengan demikian dapat diharapkan lulusan yang dihasilkan tidak hanya terampll menjahit, dan memasak, namun mempunyai kemandirian yang tinggi, adaptif dan kreatif, sehingga mampu survive dalam kemajuan dan perkembangan masyarakat, dunia kerja, limu pengetahuan dan teknologi. Paradigama baru IKK tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:



Gambar 2: Paradigma Bidang IKK di Masa Depan




E.     SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan kesimpu1an sebagai berikut :
1.      Ditinjau dari segi terminologi, IKK  merupakan ilmu sekaligus seni yang mempelaj arti  kehidupan  dan penghidupan keluarga , serta memadukan pendekatan ilmiah dan kemanusiaan untuk membantu individu dan keluarga menghadapi perubahan dan meningkatkan kehidupannya.
2.      Ditinjau dari segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sosok keilmuan IKK dapat dipertanggungjawabkan.
3.      Bidang garapan IKK antara lain: Hubungan intra dan antar keluarga, kesehatan mental keluarga, dan bidang material.
4.      Ilmu—ilmu murni yang berkaitan dengan IKK antara lain adalah: fisika, kimia, bakteriologi, biologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, dan filsafat; dan mata kuliah—mata kuliah ilmu murni bidang IKK yang perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan program perluasan mandat adalah meliputi bidang—bidang tersebut, namun dengan mempertimbangkan mengenai apa yang harus diberikan, didasarkan pada sosok ilmu IKK, kondisi ketenagakerj aan, dan perkembangæn iptek.
5.      Paradima baru bidang IKK untuk masa yang akan datang hendaknya mempertimbangkan kecenderungan perubahan—perubahan yang akan terjadi, dengan mengadakan perbaikan sistem dan program pengembansan  IKK. Beberapa hal yang  patut menjadi pemikiran para ahli di bidang  IKK adalah perlu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, pengembangan program yang lebih berorientasi profesi , dan peningkatan kua1itas dosen.

Pada akhirnya perlu disampaikan bahwa tulisan sederhana ini hanya merupakan pokok pikiran untuk mengundang tanggapan kritik dan diskusi dari rekan sejawat demi eksistensi IKK dan pengembangannya.





DAFTAR  PUSTAKA

Departemen Pendidi kan dan Kebudayaan. 1979. Pengantar Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Jakarta : Depdikbud.
Hoeflin, Ruth Dkk. 1984. Careers for Professional : New Perspective in Home Economics. USA: Kendall/Hunt Pub. Co .
Maria F. E.G. Atienza. 1972. Effective Teaching of Hom Economics. USA: Garcia Pub. Co.
Murugasu. V. 1990. Technical and Vocational Education and Training: An Overvley. Makalah yang disampaikan pada Seminar Regional Latihan dan Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Manila: ABian Development Bank.
Parker, Frances J. 1980. Home Economics, An Introduction to A Dinamic Profession. New York; Macmillan Pub. Co. Inc .
Ramsey, Laura. 1975. Home Economics Grads Remain Employable. AIEA Action. USA.
Rifai, Melly Sri Sulastri. 1983. Garis Besar Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. PKK I KIP Bandung.
Samani,           Muchlae. 1992. Jatidiri Reilmuan PTK. Makalah yang Disampaikan pada Temu Karya V Forum Komunikagi FPTR IKIP SE-Indonesia di IKIP Semarang.
Soedarmo Poerwo dan Sediaoetama, Djaeni. 1987. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.

Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan