Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Jatim Mengajar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jatim Mengajar. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Desember 2015

Meru Betiri dan Kisah Kehidupan Penyu yang Dramatis

TAMAN Nasional Meru Betiri. Pasti Anda pernah mendengar nama ini. Ya, sebuah taman nasional yang berada di Sukamade, pelosok Banyuwangi. Berjarak sekitar enam jam perjalanan darat dari Surabaya, ditambah dua jam perjalanan di tengah hutan lindung yang medannya berbatu-batu, naik turun, dan berkelok-kelok. 

Meru Betiri tidak hanya dikenal dengan hutan lindungnya, namun juga dikenal sebagai tempat penangkaran penyu. Di salah satu pantainya, yaitu Pantai Sukamade, ratusan bahkan ribuan telur penyu dirawat. Diberikan kondisi yang optimal agar ribuan telur putih lunak itu menetas dan melahirkan generasi baru penyu yang akan mengisi perairan Samudera Indonesia.

Tahukah Anda, sekali bertelur, seekor penyu bisa menghasilkan lebih dari seratus butir setiap kali. Di Meru Betiri, rekor tertinggi pada 2010, sebanyak 215 butir telur dihasilkan dari hanya seekor penyu. Tahun ini, 2015, paling banyak dihasilkan 192 butir telur dari seekor penyu.

Begitu telur-telur itu menetas, petugas akan mengambil dari pantai dan memindahkannya di tempat penangkaran. Puluhan atau ratusan telur yang dihasilkan oleh setiap penyu dipendam dalam pasir dan dikurung dengan kawat-kawat dengan diameter kurungan sekitar 30 cm. Setiap kurungan itu diberi label, berapa jumlah telur, kapan diambil, dan dari jenis penyu apa. Ada empat jenis penyu yang ditangkar di Taman Nasional Meru Betiri, yaitu penyu hijau, penyu lekang, penyu sisik dan penyu belimbing. 

Puluhan atau ratusan telur dalam sangkar-sangkar itu tidak menetas bersamaan. Biasanya terjadi tiga kali masa menetas. Begitu juga, tidak semua telur akan menetas. Kemungkinan telur yang menetas sekitar 70 persen. Bila penyu-penyu mungil itu sudah keluar dari tanah, mereka dibiarkan sekitar seminggu tetap dalam kurungan mereka, sampai plasenta di perut mereka tertutup. Baru kemudian mereka akan dilepas di pantai.

Kehidupan penyu sangatlah dramatis. Sejak masih berupa telur, predator yang mengancam kehidupan telur itu sudah mengintai dari segala penjuru. Mengambilnya segera dari pantai tempat telur-telur itu dihasilkan oleh penyu, dan menyimpannya dalam ruang penangkaran, adalah upaya awal untuk menyelamatkan hidup mereka. Begitu telur-telur itu menetas, dan bayi-bayi penyu sudah saatnya dilepas di laut, maka merangkaklah kaki-kaki mungil mereka di atas pasir pantai yang basah menuju samudera luas di hadapan mereka. Saat itu, bahaya yang luar biasa ganas mengancam. Ratusan jenis predator bisa memangsanya tanpa ampun.

Menurut Pak Tri, salah satu petugas yang memandu kami melepaskan bayi-bayi penyu ke laut pada suatu pagi yang cerah, peluang hidup penyu-penyu itu hanya satu di antara seribu. Ya. Satu dibanding seribu. Betapa dramatis.

Lantas saya bertanya pada Pak Tri.
"Satu di antara seribu? Terus buat apa ditangkarkan sebegini rupa?"
"Kalau tidak ditangkar, mereka akan punah."
"Tapi hanya satu di antara seribu?"
"Bila tidak ditangkar, kemungkinan peluangnya jauh lebih kecil dari itu. Kehidupan kura-kura itu sangat rumit. Predator mengintai mereka sejak mereka masih dalam bentuk telur. Dan bahaya terus mengancam mereka sampai kapan pun."

Saya tercenung. Teringat pengalaman traumatis yang pernah saya alami sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, saya sedang melaksanakan tugas di sebuah pelosok di Maluku Barat Daya. Di atas Kapal Marsela yang saya tumpangi, orang-orang, sebagian besar anak buah kapal (ABK), menangkap seekor penyu besar yang panjangnya sekitar satu meter. Penyu itu diikat dengan tali di banyak bagian tubuhnya. Orang-orang, pada umumnya ABK, bergotong royong menarik penyu dari laut masuk ke kapal. Pada kondisi telentang, dia ditarik-tarik. Badannya hanya mampu bergerak-gerak kecil tak berdaya. Kepalanya terkulai, dan matanya....menangis. Ya, penyu itu mengeluarkan air mata. Hati saya teriris-iris melihatnya. Tak terbayangkan betapa kesakitannya dia. Saya beringsut menjauh darinya, tidak tega melihat matanya yang seperti memohon. Saya masuk kamar, meninggalkan orang-orang yang sedang bersorak-sorai dan sibuk memotret-motret. Di dalam kamar, saya termangu-mangu dengan bayangan penyu besar itu memenuhi kepala saya.

Tak berapa lama, penyu itu disembelih. Tentu saja saya tidak tega melihatnya. Konon, dalam keadaan batok sudah dilepas, bahkan ususnya pun sudah diangkat, penyu itu masih hidup. Dagingnya terus berdenyut sampai akhirnya denyutannya hilang setelah dagingnya dipotong kecil-kecil. Daging itu diolah menjadi makanan atau bahan makanan. Ususnya juga bisa diisi dengan daging penyu yang sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur garam, kemudian dijemur sampai kering. Bahan makanan semacam sosis itu namanya pepeta. Dia tahan lama, dan bisa menjadi persediaan makanan sampai bertahun-tahun.

Betul juga kata Pak Tri. Predator mengancam kehidupan penyu sepanjang hidupnya. Dan predator itu termasuk manusia. Di banyak tempat, telur penyu dijual bebas dan manusia memakannya dengan lahap.

"Lagi pula, Bu..." Lanjut Pak Tri. "Bayangkan kalau semua penyu itu hidup. Laut akan dipenuhi oleh populasi penyu yang tak terkendali. Bayangkan, seekor penyu sekali bertelur bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan butir."

Benar juga. Tuhan Maha Adil. Alam sebenarnya telah mengatur sedemikian rupa untuk kelangsungan hidupnya. Ada keseimbangan yang begitu alamiah supaya kelestariannya terjaga. Namun demi lebih menjaga kelangsungannya, diperlukan tangan-tangan dingin untuk memastikan segala sesuatunya berjalan lebih sempurna. 

Taman Wisata Meru Betiri, Sukamade, Banyuwangi, 12 Desember 2015

#edisi kangen milis ganesha#

Salam,
LN

Minggu, 15 Maret 2015

Hotel Sampang

Sebetulnya namanya bukan Hotel Sampang. Tapi untuk lebih mudahnya, juga untuk menyembunyikan identitas hotel tersebut, saya menyebutnya Hotel Sampang saja.

Malam ini kami bertiga tiba di Sampang. Saya, Pak Sulaiman (Pembantu Direktur I PPPG), dan Anang (driver). Masuk kota sekitar pukul 20.00. Besok pagi, kami akan berangkat ke MI Nurul Hidayah Bluru'an Gedinglaok. Monev Program Jatim Mengajar. Malam ini, kami hanya menginap saja di Sampang, dan melanjutkan perjalanan besok pagi.

Mencari hotel di Sampang tidaklah terlalu sulit. Kami bertanya kepada penjual nasi goreng yang mangkal di pinggir jalan, dan ditunjukkanlah arah menuju sebuah hotel. Hanya beberapa menit setelahnya, hotel itu sudah kami temukan.

Kami pun melihat daftar kamar di resepsionis. Kami putuskan, kami mengambil dua kamar VIP, satu untuk saya, satu untuk Pak Sulaiman dan Anang. Meski VIP, tarifnya tidak terlalu mahal. Maklumlah, ini hotel di kota kecil.

"Baik, Bu. Ibu nanti di dalam sini kamarnya, bapak di luar."
"Lho, kenapa begitu, Mas?"
"Ya, begitu, Bu...."
"Mbok dicarikan yang berdekatan saja to, Mas."
"Maaf, Bu, tidak bisa, karena -ibu bukan suami istri. Maaf, Bu, di sini, meskipun ini hotel, tapi kamar untuk laki-laki dan perempuan tempatnya terpisah."
"Hah?" Saya spontan mendelik. Menatap tak percaya pada anak muda brewok di depan saya itu. "Jadi tempat kamar untuk laki-laki dan perempuan terpisah?"
"Ya, Bu."
Saya manggut-manggut. Unik. Saya berkali-kali menginap di Madura, tapi baru ini ketemu hotel yang memisahkan kamar untuk laki-laki dan perempuan. Bagus, bagus. Saya bergumam sendiri. Saya pikir ini bagus juga. Hotel ini peduli pada penyakit sosial. Peduli pada aturan agama. Peduli pada bahaya berkhalwat. 

"Mas, boleh saya melihat kamar-kamarnya?"
"Mari, Bu,"

Saya mengekor di belakang mas yang ramah itu. Masuk ke ruang tengah sebuah rumah yang besar. Interiornya penuh dengan ukir-ukiran khas Madura. Artistik dan mewah. Di dinding-dindingnya, banyak pigura. Foto-foto, mungkin foto-foto pemilik hotel dan keluarganya, terpajang di beberapa bagian. Di dalam ruang besar itu, ada dua kamar. Saya dibukakan salah satunya. Kamar yang bagus, bersih, dan cukup luas. Sebenarnya nyaman. Tapi....

"Mas, untuk kamar bapak-bapak dimana?"
"Di belakang, Bu. Lewat sini..."

Saya mengekor lagi di belakang mas brewok itu. Menuju halaman belakang. Di situlah berjajar belasan kamar yang deretannya membentuk huruf U. Saat dibukakan sebuah kamar, saya langsung nyeletuk.

"Sudah, Mas, saya di sini saja, teman saya tadi di kamar sebelah. Wong terpisah saja lho, Mas..."
"Maaf, Bu...tidak bisa. Prosedurnya sudah seperti itu."
"Tapi saya takut, Mas, tidur di kamar besar tadi."

Mas itu terdiam. Berpikir sebentar.
"Kalau begitu, gini aja, Bu. Ibu pakai kamar yang ini, nanti bapak pakai kamar yang di seberang sana."
"Walah, sama saja kalau gitu Mas, jauh."
"Ya, tapi Ibu kan di luar, ramai, temannya banyak, meskipun di seberang kamar Ibu."

Saya berpikir, menimbang-nimbang. Sebetulnya, kalau melihat kondisi ruang kamarnya, saya lebih suka yang di dalam tadi. Tapi pigura-pigura di dinding itu, ada banyak gambar, termasuk foto-foto orang tua, dan saya sorangan wae di ruang sebesar itu? Kok rada-rada merinding. Hehe, asli, kadang-kadang saya penakut. 
"Ya sudah, Mas, saya ambil yang di luar saja."

Maka saya pun masuk di salah satu kamar di antara deretan kamar di satu sisi di halaman belakang hotel. Kamar saya dekat dengan ruang resepsionis. Tapi semua kamar di deretan kamar saya ini, kosong. Sementara di seberang sana, nampaknya lumayan penuh, lumayan ramai. Ya, setidaknya ada temannya, meski berjauhan begitu.

Sebenarnya saya senang-senang saja ada hotel yang begitu ketat seperti ini. Bahkan hotel di Makkah dan Madinah pun tidak seketat ini. Sekamar, kalau sudah musim haji atau umroh, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim pun sudah lazim dalam satu kamar. Mungkin karena saking berjubelnya jamaah. Tapi bagaimana pun, situasi seperti itu membuat kami sedikit banyak merasa kurang nyaman. Kabarnya, sejak tahun ini, hal tersebut sudah mulai dibenahi, laki-laki dan perempuan kamarnya terpisah. Repotnya, yang suami isteri pun juga harus terpisah. Begitu kabar yang saya dengar dari teman-teman yang baru saja pulang haji.

Ya sudah. Semua ada plus minusnya. Yang penting, malam ini kami sudah dapat tempat untuk beristirahat, sebelum besok melanjutkan perjalanan ke pelosok Sampang.

Sampang, 13 Maret 2015

Wassalam,
LN
  

Sabtu, 24 Januari 2015

Jatim Mengajar 4: Disangka Anggota ISIS

Saat ini saya dan Bu Lusi tengah berada di SD 2 Sarongan. Bercengkerama dengan anak-anak sekolah. Menanyai mereka apakah mereka kenal pak guru Eko Sumargo, apakah mereka senang diajar oleh pak guru itu, kenapa suka, apa saja yang sudah diajarkannya, dan lain-lain. Saya mendapatkan jawaban yang sangat membanggakan dari anak-anak polos itu.

"Suka sekali sama Pak Eko, orangnya sabar, tidak pernah marah, ramah, baik hati, sayang sama anak-anak, pinter ngaji, suka bermain sama anak-anak...."

Setelah cukup puas bercengkerama dengan anak-anak di halaman sekolah, kami masuk ke ruang guru. Pak Zamzuri, Pak Mukhid, Eko Sumargo, dan beberapa guru sudah menunggu. Juga dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar. Kepala Sekolah tidak bisa hadir. Namun tadi pagi saat kami ada di hutan sinyal, beliau menelepon, meminta maaf karena ketidak hadirannya, dan memohon, supaya masa tugas Eko Sumargo ditambah. 

"Mohon Pak Eko tugasnya bisa diperpanjang setahuuuun saja, Bu..." Pintanya. Permintaan yang sama sejak kemarin kami bertelepon. Juga permintaan yang terucap dari Pak Zamsuri dan Pak Mukhid, berulang kali.

Jumlah guru di SD 2 Sarongan ada sepuluh orang, tiga orang di antaranya PNS. Mereka adalah Ismaini, S. Pd, kepala sekolah, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; Siti Nasiroh, S.Pd, kebetulan istri kasek, alumnus Pendidikan Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang; dan Zamzuri, S.Pd, alumnus BK, IKIP PGRI Jember. 

Selanjutnya Ahmad Mukhid, S.Pd (PDU, IKIP PGRI Jember) dan Katminayati, S.Pd (Geografi, Universitas PGRI Kanjuruhan), dua guru yang sudah sarjana. Guru yang lain, Yessi Wulandari, lulusan SMA, mengajar Bahasa Inggris; serta Sutriyono, lulusan PGAK, mengajar Olah Raga. Ada juga Wiwin Mardiana, lulusan SMA, kebetulan saat ini tidak bisa hadir karena rumahnya di seberang sungai, dan air sungai sedang meluap. 

Dua guru dari Program Banyuwangi Mengajar adalah Fika Rosita, S.Pd. (Lulusan PGSD) dan Tajudin, S.Pd.I, (lulusan PAI). Juga ditambah Eko Sumargo, S.Pd., lulusan Pendidikan Fisika, Unesa, peserta Jatim Mengajar.

Dilihat dari komposisinya, sekolah ini jelas kekurangan guru, baik dari segi jumlah maupun mutunya. Kehadiran Eko Sumargo memberi warna tersendiri, karena dialah satu-satunya guru yang berlatar belakang pendidikan IPA (Fisika). Maka tak pelak, semua mata pelajaran kelompok IPA, dialah yang menjadi motornya. 
Jumlah siswa SD 2 Sarongan ada 113 orang. Ada beberapa siswa yang sempat mutasi, karena mengikuti orang tua yang pindah ke tempat lain. Tapi beberapa kali terjadi, siswa yang mutasi tersebut kembali lagi, karena orang tua tidak berhasil berjuang mencari penghidupan di tempat baru. Sekarang bila ada anak meminta mutasi, sekolah tidak memberi surat keterangan resmi, karena bisa jadi anak tersebut akan kembali lagi dengan berbagai alasan.

Sebanyak empat orang guru digaji oleh perkebunan, dua di antaranya adalah Bu Katminayati dan Pak Mukhid. Setiap hari, empat guru tersebut mengisi daftar hadir di sekolah, format daftar hadir dari perkebunan. Per hari mereka digaji Rp.22.000,- untuk Senin-Kamis, dan Rp.16.000,- untuk Jumat-Sabtu. Kalau sekolah libur, gaji mereka juga libur. Pak Mukhid dan Bu Kat pernah menerima gaji hanya belasan ribu. Dari sekolah, mereka juga digaji dari dana BOS, sebesar sekitar Rp.200.000,-, sebelumnya malah hanya sekitar Rp.100.000,-. Guru-guru punya tegalan, tanahnya milik perkebunan, ada di bantaran sungai. Karena letaknya di bantaran sungai, maka ketika ada banjir seperti ini, wassalam sudah semuanya. 

Program Jatim Mengajar, menurut semua warga sekolah dan masyarakat merupakan program yang sangat positif. Ketika ditanya apa masukan untuk program ini, jawabannya seragam: supaya program ini diperpanjang, tidak hanya satu tahun, namun dua bahkan tiga tahun dan seterusnya. Eko Sumargo juga tugasnya supaya diperpanjang, minimal dua tahun.  

Tentang Eko Sumargo, pak Zam menjelaskan: "Pak Eko sangat membantu lembaga kita. Sistem pelaporan kami ke dinas kabupaten menjadi lebih cepat dan selalu tepat waktu, bahkan seringkali mendahului dari sekolah-sekolah lain." 

Pak Zam juga mengatakan, Eko membawa perubahan pada masalah pengenalan IT bagi guru-guru, karena Eko dengan senang hati mengajari mereka. Karena hal itu juga, lepas dari pro-kontra K-13, SD 2 Sarongan merupakan satu-satunya sekolah di Pesanggaran yang menggunakan rapor K-13.

Ketika saya tanya, apa pengaruh kehadiran Eko yang lain, guru-guru menyatakan bahwa kehadiran Eko memberi suntikan semangat kerja pada guru-guru dan semangat belajar pada anak-anak. Semuanya menjadi lebih disiplin, dan berbagai kegiatan menjadi lebih terarah. Eko menggalakkan majalah dinding (mading), juga membuat anak-anak gemar berkutat di perpustakaan. Buku perpustakaan yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten dan Provinsi itu awalnya belum begitu rapi pengaturannya, juga mekanisme sirkulasinya. Ada juga dua rak buku dari turis dan persatuan para guide. Eko fokus mendampingi Bu Yessi, guru yang diserahi tugas untuk mengurus perpustakaan, membangun perpustakaan menjadi lebih teratur dan nyaman.  

Ada cerita lucu tentang kegiatan mading. Anak-anak sering mengambil paku pines yang berwarna-warni untuk menempel kertas-kertas hasil karya anak-anak sekolah itu.

"Damel nopo paku pinese pak?" Tanya saya.
"Nggih disimpen damel benik-benikan ngoten, Bu, wong lare-lare niku mboten nate semerap paku pines."

Ada juga cerita lucu tapi agak menegangkan. Di awal kedatangan Eko Sumargo, ada sekelompok orang yang menolak. Termasuk salah satunya adalah perangkat dusun setempat. Mereka mengira Eko Sumargo adalah anggota kelompok Daulah Islam Irak dan Syam atau ISIS. Usut punya usut, ternyata mereka mencurigai istilah YDSF yang menempel pada Program Jatim Mengajar. Sebagaimana kita tahu, Jatim Mengajar adalah program kerjasama antara Unesa dengan Yayasan Dana Sosial Masyarakat (YDSF). Sekelompok orang itu menyangka, YDSF adalah semacam ISIS. Belakangan kecurigaan mereka bisa diredakan karena kebetulan kepala sekolah atau saudaranya merupakan donatur Al Falah. Peristiwa yang sempat membuat suasana tegang itu saat ini menjadi cerita yang amat menggelikan.

Semoga Program Jatim Mengajar bisa terus berkelanjutan. Semoga semakin banyak program semacam yang berpihak pada sekolah-sekolah di daerah-daerah tertinggal di Jawa Timur dan daerah-daerah lain di seluruh Tanah Air. Mengandalkan pada kemauan dan kekuatan pemerintah saja tidaklah cukup. Harus ada pihak-pihak yang peduli untuk mengulurkan tangan dan terjun langsung di ujung-ujung pelosok Jatim, untuk sedikit memberitan tetes-tetes kasih sayang pada anak-anak dan masyarakat yang haus akan sentuhan itu. 

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN
  

Jumat, 23 Januari 2015

Jatim Mengajar 3: Kemurnian Sukamade

Buah Naga di Taman Nasional Meru Betiri.
Sukamade. Orang mengenal tempat ini sebagai sebuah dusun dalam kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Menurut data, TNMB memiliki luas mencapai 50.000 hektare. Nama Meru Betiri diambil dari nama gunung tertinggi, yaitu  Gunung (meru) Betiri. Tinggi gunung tersebut adalah 1.223 mdpl.

Sukamade juga terkenal karena pantainya yang lekat dengan berbagai jenis penyu, termasuk yang khas adalah penyu hijau. Meski telah dilestarikan dalam bentuk kawasan lindung sejak 1972, namun kabarnya hingga tahun 1979, telur penyu di Sukamade masih diburu oleh para pengumpul. Dan saat ini, pengumpulan, pemindahan anakan, dan penangkapan penyu dilarang keras, karena penyu hijau termasuk satwa yang dilindungi. 

Selain dapat melihat penyu, jika beruntung, kita juga bisa menyaksikan beberapa jenis binatang hutan, misalnya banteng, macan tutul, kijang, dan berbagai jenis monyet. Bahkan Eko Sumargo pernah melihat macan kumbang yang sedang menggaruk-garukkan kuku-kukunya di sebuah pohon. Burung merak, berbagai elang dan rangkong kabarnya juga masih sering terlihat. Flora seperti Rafflesia (bunga bangkai) juga ada. Saya sendiri sempat melihat Rafflesia yang sedang mekar dan menjelang layu, sehingga bau bangkainya tidak tercium, saat kami berjalan memasuki hutan-hutan menuju Teluk Hijau (Bay Green).  

Untuk mencapai Sukamade tidaklah mudah. Bagi Anda pemilik mobil jenis sedan atau jenis mobil keluarga yang lain, yang bukan tipe untuk offroad, sebaiknya tidak usah melakukan penjelajahan di rimba Meru Betiri hingga Pantai Sukamade. Setelah masuk pintu pos Meru Betiri, Anda akan berhadapan dengan jalan yang tak lagi beraspal. Bukan lagi jalan makadam, tapi jalan yang penuh bebatuan runcing. Bahkan, untuk sampai ke Pantai Sukamade, kita akan melewati lima anak sungai yang airnya setinggi lutut orang dewasa. Bila musim  hujan, anak sungai itu airnya meluap dan ketinggiannya bisa mencapai leher orang dewasa, bahkan bisa sampai setinggi mobil jeep. Itulah sebabnya kenapa hari ini kami tidak lagi bisa menumpang jeep untuk kembali pulang, melainkan harus naik sepeda motor dan rakit untuk menyeberangi sungai-sungai itu.

Dalam pandangan saya, keunikan Sukamade juga karena tempat ini merupakan sebuah perkampungan di tengah perkebunan yang sudah ada sejak puluhan bahan ratusan tahun silam. Rumah-rumah penduduk yang sederhana berbaris rapi di sepanjang kanan-kiri jalan tanah. Sebuah sekolah satu atap (satap) berdiri di antara rumah-rumah itu, berseberangan dengan masjid. Ada gereja tidak jauh dari mess perkebunan yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari sekolah dan masjid. Hamparan kebun buah naga melengkapi keindahan alamnya. Tanaman karet, mahoni, coklat, menjadi batas-batas kampung. Sungai kecil yang di sepanjang bantarannya dipenuhi dengan tanaman milik para penduduk kampung, menambah asri panorama.

Menurut cerita, perkebunan ini yang sudah ada sejak zaman Belanda, sejak tahun 1800-an. Menurut cerita juga, dusun ini dulu namanya Sukmailang, berubah menjadi Sukamati, dan akhirnya Sukamade. Kata Pak Mukhid, guru SDN Sarongan yang asli putra daerah Sukamade, pada zaman penjajahan dahulu, saat kerja rodi di tempat ini, banyak orang yang hilang, itulah makanya tempat ini dinamakan Sumailang dan Sukamati. Dikatakan juga, tempat ini sebagai kawasan paling angker dan tempatnya raja jin. Pernah terjadi satu kompi KKO hilang, dan ditemukan di Bandealit, daerah pesisir Jember Selatan, setelah 41 hari, dan semuanya dalam keadaan sehat walafiat. Penduduk percaya, mereka disembunyikan oleh para jin. Begitulah cerita itu beredar.  

Semalam, dalam guyuran gerimis, kami berjalan dari rumah Pak Kadis menuju mess perkebunan. Baru saja kami mendengar adzan isya dan lantunan suara anak-anak shalawatan, pada waktu yang hampir bersamaan, kami mendengar lantunan lagu-lagu rohani yang menggema dari arah gereja yang kami lintasi. Saya sempat mengintip dari pintu gereja yang dibiarkan terbuka, tidak lebih dari sepuluh orang di dalamnya, dengan seorang pendeta muda yang ada di mimbar.

Ada sekitar 300 KK di Sukamade, dan sekitar 1000 lebih jiwa. Mayoritas penduduk hidup dari berkebun dan bertani. Mereka tinggal di perkampungan di tengah perkebunan, dan semua kepala keluarga adalah pekerja perkebunan. Selain bekerja di perkebunan, mereka juga bertani di tegalan.

Tegalan mereka menghampar di sepanjang bibir sungai, mereka menyebutnya berem. Sebagai kawasan perkebunan, penduduk tidak diperkenankan memiliki tegalan itu, hanya bisa memanfaatkannya. Hak kepemilikan tanah tegalan tetap ada pada perkebunan.

Penduduk umumnya bekerja pagi sampai malam. Pada pagi hari sampai siang atau sore, mereka bekerja di perkebunan. Sebagian bekerja di sekolah, atau sekedar mengurus rumah. Bila malam tiba, khususnya bila musim tunggu tiba, mereka menunggu tegalan masing-masing. Kacang, kedelai, dan berbagai sayuran, semua disukai babi hutan. Selain babi hutan, monyet, rusa, banteng, semuanya berpotensi mengganggu tanaman. 

Setiap hari, Bu Katminayati misalnya, salah satu guru di SD Sarongan, hanya tidur sekitar dua jam. Pada pagi sampai siang dia mengajar di sekolah, lanjut mengurus rumah, dan malam hari dia menjaga kebun mulai selepas maghrib sampai shubuh. Seperti itulah kegiatan sehari-harinya.

Listrik, sumbernya dari genset yang dimiliki perorangan. Ada empat orang yang memiliki genset. Penduduk membayar kepada  pemilik. Tarifnya per bulan: untuk 1 televisi 14 inchi sebesar Rp.75.000,-, televisi 20 inchi Rp.90.000,-, 1 lampu 10 watt tarifnya Rp.65.000,-. Jadi kalau memakai lebih dari satu lampu, ya tinggal mengalikan saja.

Listrik menjadi barang mahal. Bu Katminayati membayar untuk listrik saja 122 ribu per bulan. Hanya untuk bisa menikmatinya sejak pukul 18.00-23.00 (5 jam), ditambah pagi hari mulai pukul 04.30-05.30 (1,5 jam). 

Suami bu Kat adalah petugas keamanan kebun. Sift kerjanya  per 24 jam. Gajian sebulan dua kali, tanggal 4 dan tanggal 19. Gajinya sebesar Rp.31.000,- per hari. Jadi per bulan sekitar Rp.500.000,-. Anaknya ada tiga, satu mahasiswa Universitas Negeri Jember, dan dua masih sekolah di SMP dan empat tahun. Ditambah dengan gaji Bu Kat sendiri sebagai guru yang dibayar oleh perkebunan dan dari dana BOS sebesar sekitar Rp.600.000,-, mereka memang harus berkebun dan bertani untuk bisa hidup lebih layak. 

Hidup di Sukamade adalah hidup yang tenang tanpa kebisingan. Tanpa polusi, tanpa macet. Tanpa sinyal, kecuali kalau kita mau ke hutan sinyal. Ada denyut kehidupan ekonomi dari perkebunan dan toko-toko kecil serta sesekali deru motor dan mobil offroad. Meski ada pabrik kecil pengolahan karet di kawasan itu, namun aktivitasnya nyaris tak mempengaruhi kemurnian lingkungan di sekelilingnya.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

Minggu, 18 Januari 2015

Jatim Mengajar 2: Terhalang Banjir

Pagi sekitar pukul 05.00. Saya menengok keluar dari jendela kamar tempat kami menginap. Udara bersih tercium dari balik jendela. Hamparan tanaman buah naga, pohon puring, dan aneka bunga-bunga, serta pohon-pohon tinggi yang menjadi latar belakangnya, semua dengan warna aslinya. Sepertinya sayang kalau pagi yang indah ini dilewatkan begitu saja.

Saya dan Mas Ayik bersiap. Mengambil sepatu kets. Kami bermaksud jogging. Bu Lusi masih bermalas-malasan di tempat tidur. Perutnya bermasalah sejak semalam, diare, tidak jelas apa penyebabnya. Mungkin rambutan, mungkin rawon, mungkin ayam pedas, mungkin karena tangannya yang kotor. Menunya dari kemarin sama persis dengan menu saya dan Mas Ayik, tapi alhamdulilah kami baik-baik saja. Sesuai amal dan perbuatannya kali. Hehe...

Eko Sumargo sudah menunggu di depan kamar. Anak muda itu begitu sopan, tidak banyak omong, tapi di balik ketenangannya itu, dia menyimpan keteguhan dan ketekunan yang mengagumkan bagi orang-orang di sekitarnya. Sejak dari Kandangan kemarin, saat berbincang dengan Pak Zam dan bertelepon dengan Pak Ismaini, belasan kali saya mendengar pujian dan kekaguman untuk Eko Sumargo. Ketekunan dan keteguhannya sangat menginspirasi. Dia membuat banyak hal biasa menjadi luar biasa. Menghidupkan masjid, membangunkan perpustakaan dan kecintaan membaca pada anak-anak sekolah, mengenalkan IT, mengajarkan permainana-permainan termasuk permainan-permainan tradisional, mencontohkan kedisiplinan dan tanggung jawab, sekaligus mengembangkan kerelaan untuk berkorban. 

Saat kami datang semalam, Eko sedang bersiap menuju masjid, bersarung, berbaju takwa, berkopiah, begitu bersih dan teduh wajahnya. Wajah bersih dan teduhnya itu spontan berhias senyum berseri saat melihat sosok saya dan Bu Lusi. Dia mendapatkan kejutan yang sangat menggembirakan.
"Bu Luthfi..." Teriaknya, meski saya masih di dalam mobil, dan sedang 'krengkel-krengkel' mencari jalan keluar. 
"Nggak nyangka Bu Luthfi datang ke sini..." Katanya.

Dalam balutan hujan yang tak kunjung henti, di rumah kepala sekolah, saya bertanya pada Eko Sumargo.

"Siapa yang sudah mengunjungimu di sini, Ko?"
"Bapak dan Ibu saya, Bu...."
"Oya?"

Saya membayangkan, bapak dan ibu Eko pasti sudah menangis di tengah perjalanan sebelum mencapai Sukamade. Medan yang begitu berat pasti akan membuat beliau merasa trenyuh dan prihatin dengan tempat tugas anaknya yang ternyata begitu jauh dan terpencil.

"Terus bagaimana komentar bapak ibu kamu, Ko?"
"Ya....kata bapak ibu, hidup itu perjuangan, Le...."

Saya tiba-tiba merasa sangat terharu. Saya menahan diri untuk tidak terbawa dalam keharuan karena merasakan perasaan sebagai orang tua. Seorang ibu yang sedang menghayati sebuah perjuangan anaknya untuk menggapai masa depan. Di sebuah tempat yang jauh dan terisolasi, di perkampungan kecil di tengah-tengah perkebunan yang sepi, tidak ada hiburan, tidak ada sinyal, listrik yang hanya menyala separo hari, dan segala kemudahan yang harus ditinggalkannya. Bergulat dengan anak-anak sekolah, mengajarinya membaca, menulis, dan mencintai kehidupan. Bergulat dengan orang-orang, mengajari mereka bagaimana seharusnya mengemban amanah dan tanggung jawab dengan penuh ketekunan dan keikhlasan.

"Kalau boleh tahu, bapak ibu kerja di mana, Ko?" Lanjut saya.
"Ibu saya jualan sayur di pasar, Bu. Bapak saya ngarit."

Saya semakin terharu. Saya semakin kagum dengan sosok muda itu. Dia benar-benar sedang berjuang. Tidak hanya untuk masa depan dia. Namun juga masa depan keluarganya. Dan juga masa depan anak-anak bangsa di negeri kecil bernama Sukamade ini. 

Hujan deras semalam, membuat jalan-jalan dari penginapan menuju perkampungan basah di mana-mana. Di sepanjang jalan, anak-anak dan orang tua menyapa Eko. Eko membalasnya dengan senyum dan sapaan juga. 

Uniknya, para orang tua di Sukamade ini menggunakan Bahasa Madura, namun anak-anak mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Bukan Bahasa Osing, karena mereka tidak berasal dari Suku Osing. Ada sejarah panjang mengapa para orang tua penduduk Sukamade ini berkomunikasi dengan Bahasa Madura. 

SDN 2 Sarongan, ada di tengah perkampungan kecil itu. Bukan sekolah yang jelek. Bangunannya bagus, cukup bagus. Kemarin Pak Zam bercerita kalau tahun yang lalu, dia bersama pak Ismaini, kepala sekolah, berjuang untuk mendapatkan bantuan rehab sekolah. Bupati dan kepala dinas pendidikan Kabupaten Banyuwangi sempat meninjau sekolah, sampai akhirnya bantuan itu diwujudkan. Pembangunan sekolah SD saat ini sudah selesai. Tinggal bangunan sekolah SMP yang masih belum direhab. Dua sekolah itu ada di satu kompleks, dan merupakan sekolah satu atap (satap).

"Pak Eko, mau ke mana?"
Tiba-tiba seseorang menyapa.

Dari sebuah rumah, seseorang mendekat. Diikuti seorang lagi di belakangnya, ternyata Pak Zam. 

"Ini Pak Mukhid, Bu, guru SD Sarongan juga". Kata Eko mengenalkan Pak Mukhid pada kami.

Pak Mukhid adalah pemuda asli Sukamade. Nenek moyangnya berasal dari daerah ini. Dialah sarjana pertama--dan sampai saat ini--satu-satunya sarjana yang dimiliki Sukamade. Sama dengan Pak Zam, dia alumnus Ponpes Blok Agung Darussalam dan IKIP PGRI Jember.  

Pak Mukhid dan Pak Zam mengajak kami menuju sungai, melewati jalan kecil di samping rumahnya. 

"Sungainya meluap, Bu. Banjir," kata Pak Mukhid, dengan logat Maduranya. 
"Lha terus? Kita gimana pulang nanti, Pak?" Tanya saya.
"Ya, kita lihat nanti, Bu."

Benar. Sungai di depan kami airnya penuh, mengalir deras melewati tanggul. Suaranya begemuruh. Sejauh mata memandang, yang ada adalah air dan air. Di depan sana, beberapa orang mencoba menyeberangi sungai yang kemarin kami lewati dengan mobil, dalamnya sekarang sudah mencapai leher orang dewasa. Mobil dan truk sudah tidak mungkin lagi menerobosnya.

Sekitar tiga puluh menit kami berada di sungai. Menyaksikan anak-anak kecil bertelanjang yang ceria bermain air. Mereka begitu tidak peduli. Ada kegundahan yang melingkupi bapak ibu mereka. Hamparan tanaman kebun di sepanjang sungai itu tenggelam. Tumpukan hasil kebun yang kemarin baru dipanen hanyut terbawa air. Bahkan seekor sapi yang diikat di sebuah pohon dekat sungai mati karena tenggelam.

"Kalau sudah seperti ini, sebagian anak sekolah tidak mungkin masuk, Bu. Rumah mereka ada di seberang sungai sana. Mereka nggak mungkin menyeberang. Terlalu berbahaya. Truk saja berhenti, tidak berani meneruskan perjalanan. Menunggu sampai banjir agak surut. Mungkin nanti siang, mungkin besok, mungkin lusa, atau bisa juga seminggu dua minggu lagi." Pak Zam menjelaskan.

Saya termangu-mangu, menyadari bahwa saya tidak sedang di Sumba Timur atau di Papua, namun masalah yang saya lihat hampir sama. Akses jalan yang sangat memprihatinkan, dan menyebabkan terjadinya berbagai masalah, termasuk ancaman kelaparan. Tahun kemarin, akses jalan menuju Sukamade sempat terputus lebih dari dua minggu sementara persediaan makanan menipis. Tanaman kebun habis tersapu banjir dan anak-anak nyaris kelaparan.

Dari sungai, kami kembali ke penginapan. Eko memisahkan diri dan mohon izin untuk bersiap-siap ke sekolah. Ditemani Pak Zam, kami naik mobil masuk ke perkebunan karet, mencari sinyal. Persediaan sinyal ada di bibir sungai, jaraknya sekitar satu kilometer dari penginapan. Beberapa orang sudah ada di sana, dengan tujuan yang sama. 

Di tempat itu, saya mengirim SMS pada Bu Yanti, sahabat saya di PPPG, juga pada Bu Suhartiningsih, Ketua Jurusan saya di PKK.      

"Bu Harti dan Bu Yanti, saat ini saya dan Bu Lusi sedang ada di Sukamade, di tempat yang ada sinyalnya. Jalan yang kemarin kami lewati sekarang terendam banjir. Mobil yang kemarin kami tumpangi tidak bisa lagi menerobos banjir. Kalau banjir agak surut, kami siang nanti pulang setelah dari sekolah, menumpang rakit dan naik sepeda motor. Semoga kondisi memungkinkan dan kami bisa kembali ke Surabaya dengan selamat. Mohon doanya....."  


Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 11 Januari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 15 Januari 2015

Jatim Mengajar 1: Menuju Sukamade, Lupakan Pulau Merah

Minggu pagi, pukul 05.30. Mobil yang kami kendarai menembus jalanan yang masih sepi dan agak berkabut. Suami saya, Mas Ayik, pegang kemudi. Saya di sebelahnya, dan Bu Lucia (Dra. Lucia Tri Pangesthi, M.Pd), duduk di jok tengah. Mas Ayik kebetulan sedang cuti, dan dengan senang hati dia bersedia menemani kami.

Tujuan kami adalah Banyuwangi. Sebenarnya tidak sampai Banyuwangi. Menurut informasi dari berbagai sumber, juga hasil browsing di internet, kami cukup sampai ke Jajag, sebuah kecamatan setelah Kalibaru, sebelum Banyuwangi. Dari sana, Desa Sarongan, tempat tugas Eko Sumargo, peserta Program Jatim Mengajar angkatan kedua, jaraknya jauh lebih dekat dibanding bila dari Kalibaru atau Banyuwangi.  

Eko Sumargo sendiri belum bisa saya hubungi sampai detik ini, sejak dia ditugaskan lima bulan yang lalu. Tidak ada sinyal di tempat tugasnya. Beberapa hari sebelum kami berangkat, saya berusaha untuk kontak dia, hampir setiap hari. Berharap saya mendapatkan keberuntungan, bisa menghubungi dia dan memberi tahu kalau kami akan datang mengunjunginya. Tapi tidak berhasil. Dia mungkin terdampar di kawasan dunia lain, hehe.

Sekitar pukul 12.30 kami memasuki Kecamatan Jajag. Dipandu oleh Mas Yanto, saudara Bu Yanti (Dr. Suryanti, M.Pd, PD 2 PPPG), kami menuju rumah Mas Yanto di Pesanggaran. Bu Yanti memang berasal dari Banyuwangi, sehingga saudaranya banyak tersebar di Kota Blambangan itu. 

Mas Yanto dan Mbak Rini, adalah suami istri yang ramah dan penuh perhatian. Sesuai dengan profesi mereka berdua, perawat dan bidan. Mereka terbiasa merawat dan membidani orang-orang dengan keramahan, kepedulian, termasuk pada tamu-tamu seperti kami ini. 

Kami mengobrol dan berdiskusi tentang rencana perjalanan kami ke SDN 2 Sarongan. Sarongan adalah nama desa. Sekolah itu sendiri ternyata ada di Dusun Sukamade, sekitar empat jam dari Pesanggaran, dengan kondisi medan yang berat. Sukamade, kalau Anda pernah mendengar, merupakan tempat di mana menghampar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Ya, yang terkenal dengan penangkaran penyu itu. Di sanalah sekolah yang akan kami tuju. Di tengah perkebunan yang konon sudah ada sejak zaman Belanda.

Mas Yanto bertanya ke sana kemari kepada orang-orang melalui telepon, berkoordinasi untuk mendapatkan informasi tentang rute ke Desa Sarongan, dan bagaimana supaya kami bisa mencapai tempat tersebut. Beliau berdua sudah pernah ke sana, dan tahu betul seperti apa rutenya. Oleh sebab itu Mas Yanto berusaha untuk memastikan perjalanan kami akan aman dan lancar. 

Mas Yanto juga menghubungi seorang guru yang mengajar di SD 2 Sarongan, Pak Zamzuri, kebetulan rumah beliau ada di Kandangan, sebuah dusun di Desa Sarongan. Pak Zamzuri diminta untuk memandu kami menuju Sukamade. Juga menghubungi pemilik Land Rover yang akan kami sewa. Terios kami tak layak untuk menuju ke kawasan yang untuk mencapainya harus melalui medan yang ekstrim itu. 

Akhirnya, setelah mempertimbangkan berbagai hal, menyangkut jarak tempuh, kondisi medan, kendaraan, dan cuaca, diputuskan kami berangkat siang ini juga. Sebenarnya yang kami rencanakan sebelumnya adalah, hari ini kami akan menginap di Pulau Merah, dan saat matahari mulai beranjak menuju peraduan, kami akan berlari-lari kecil di sepanjang pantai. Baru besok paginya menuju Sarongan. Ternyata itu bukan rencana yang tepat. Sama sekali tidak tepat. Jadi, "lupakan Pulau Merah", kata saya pada Bu Lusi dan Mas Ayik.  

Setelah menikmati makan siang dengan menu ayam pedas, salah satu makanan khas Banyuwangi, dan salat Dhuhur Ashar jama' takdim, kami bersiap. Dilepas oleh Mas Yanto dan Mbak Rini, berangkatlah kami pada sekitar pukul 14.30. Meninggalkan keramahan dan kehangatan di rumah besar itu.

Mobil pun melaju, menuju Desa Sarongan. Ternyata untuk menuju ke sana, kami harus memasuki kawasan Perhutani PTP XII. Kami mengisi buku tamu di pos satpam, berfoto-foto sebentar, dan membeli kopi bubuk, namanya Kopi Lanang, di kafe di seberang pos satpam. Hutan rimbun dan hijau, penuh dengan pepohonan: karet, sengon, coklat, kopi, dan tebu. Juga bunga-bunga berdaun merah di sepanjang tepi jalan, kontras dengan warna hijau pepohonan dan warna hitam jalanan. 

Hanya sebentar saja kami berkendara di jalan mulus. Setelahnya adalah jalan makadam. Beberapa kali berpapasan dengan mobii double gardan, mobil-mobil pribadi yang lain, bus wisata, dan sepeda motor. Kalau mereka menuju jalan pulang setelah berwisata di Teluk Hijau (Green Bay), kami baru memulai perjalanan 'wisata' kami.

Sekitar satu jam kemudian, sampailah kami di Dusun Kandangan, Desa Sarongan. Pak Zamzuri sudah menunggu di Balai Desa Kandangan. Sebuah mobil 'Land Rover' (dengan tanda petik), sudah menunggu. 'Land Rover' itu sebenarnya adalah Jeep yang dimodifikasi sedemikian rupa, dengan penampilan serupa Land Rover (jauh sih sebenarnya....hehe). Tapi bagaimana pun, mobil itu lebih cocok untuk mengarungi jalanan menuju Sukamade, dibanding Terios kami, meski Terios kami adalah tipe adventure.

Sekitar pukul 17.00, kami berangkat. Drivernya, Pak Imam. Mas Ayik duduk di sebelahnya. Saya dan bu Lusi di jok tengah, bersama bagasi-bagasi kami. Di belakang, di bak terbuka, pak Zamzuri dan Pak Tajudin. Pak Tajudin, pria berpostur kecil itu, adalah peserta Program Banyuwangi Mengajar, yang tugasnya juga di SD 2 Sarongan. Kebetulan dia baru pulang mudik dari Kalibaru, tempat tinggalnya, dan bisa bersama-sama kami menuju Sukamade.

Pak Zamzuri hampir 5 tahun menjadi guru PNS, sejak 2010. Penempatan pertama langsung di SDN 2 Sarongan. Lulusan dari Pondok Pesantren Blok Agung Darussalam, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi. Lanjut D2 PGSD Universitas Ibrahimi, Genteng. Lanjut lagi S1 BK di IKIP PGRI Jember. Beliau adalah guru kelas. Sudah sertifikasi. 

Perjalanan dari rumah Pak Zamzuri ke Sukamade adalah perjalanan yang penuh goncangan. Kami terlempar-lempar ke kanan-kiri, ke atas-bawah. Juga diwarnai gerimis dan hujan deras. Kami kedinginan. Air hujan masuk ke dalam mobil, tampias di mana-mana. Baju-baju kami sebagian basah. Sekitar dua jam kami mengarungi daratan yang naik turun berkelok-kelok dan berbatu-batu. Batu-batunya besar-besar, 'pating pringis' di sana-sini. Sungguh, ini perjalanan yang cukup menguras adrenalin. Lihatlah jurang-jurang menganga itu. Sedikit saja 'Land Rover' ini selip, bisa fatal akibatnya. Kami jadi ingat rute-rute di Sumba Timur dan daerah-daerah 3T yang lain. Benar apa yang diceritakan Mas Yanto tadi. Untuk mencapai Sukamade, medan yang harus ditempuh tidaklah ringan. Bahkan sangat berat. Saya sendiri tidak menyangka akan menempuh perjalanan dengan medan seberat ini. Ya, karena ini di Banyuwangi gitu lho. Masih di Pulau Jawa. Jawa Timur gitu lho. 

Tapi dalam kondisi apa pun, seperti biasanya, saya selalu mengandalkan pikiran positif. Driver yang memegang kemudi ini, meski perawakannya kecil, dia sudah sangat lihai dan hafal medan. Lagi pula, Allah akan selalu melindungi kami. Kami datang ke Sukamade dengan menempuh perjalanan penuh risiko ini dengan niat baik. Bersilaturahim, itu yang pertama. Melihat kondisi Eko Sumargo, itu yang kedua. Melihat kondisi pendidikan di Sukamade dan berbagai permasalahannya, serta mencoba membantu menyelesaikan permasalahan yang ada. Mempelajari adat dan tradisi masyarakat setempat, mengeratkan persaudaraan dan kecintaan serta kepedulian. Bismillah, insyaallah Tuhan Yang Maha Pengasih akan memudahkan semuanya.

"Pak Zam, kayaknya drivernya tidak terlalu berpengalaman nih." Seloroh saya pada Pak Zam. "Coba lihat. Milih jalan saja nggak becus. Masak dari tadi lewat jalan nggronjal-nggronjal terus."

Pak Imam, driver yang ramah dan sopan itu tertawa. "Mboten wonten dalan alus, Bu...", katanya.

Tiba di Desa Sukamade saat adzan maghrib berkumandang. Eko Sumargo, menyambut kami dengan penuh suka cita dan sangat surprised. Dia tidak menyangka kami akan datang, ya, karena tidak ada kabar apa pun yang dia terima tentang rencana kedatangan kami. Begitu pula, kami juga tidak bisa memberikan kabar apa pun pada dia. Sukamade adalah tempat yang terisolir, tidak ada sinyal, kecuali di sebuah tempat di bibir sungai, yang jaraknya sekitar satu kilometer dari mess guru, tempat tinggal Eko.

Hujan turun terus dengan deras, dan semakin deras. Kami singgah di rumah Kepala Sekolah. Kebetulan Pak Ismaini, kepala sekolah, dan istrinya, sedang ada di Genteng, menengok saudaranya yang sedang kritis di rumah sakit. Kami hanya bertelepon saat di Kandangan tadi. Kepala sekolah dan istrinya meminta maaf karena tidak bisa menemani kami ke Sukamade.

Kami mandi, salat Maghrib dan Isya' jama' takdim, dan menikmati makan malam. Nasi putih, mi instan, dan telor ceplok. Sementara hujan di luar tak kunjung reda, dan  kami sudah mulai berbincang tentang banjir yang sering membuat air sungai meluap, anak sekolah di seberang sungai tidak bisa ke sekolah, sembako krisis karena akses jalan terputus, dan hasil panen serta tanaman tegalan yang rusak. Kami hanya bisa berharap, semoga semuanya itu tidak terjadi lagi, juga tidak terjadi saat ini, di mana kami sedang berada di sini.

Sukamade, Sarongan, Banyuwangi, 10 Januari 2015

Wassalam,
LN

Minggu, 22 Juni 2014

AYO BERGABUNG DENGAN PROGRAM JATIM MENGAJAR

Program Jatim Mengajar merupakan program yang digagas oleh Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF) bekerja sama dengan Unesa sebaga ibentuk kepedulian dalam pembangunan pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal di JawaTimur. Program ini selain diharapkan untuk mengisi kekurangan guru baik dalam hal mutu maupun jumlahnya (khususnya di SD/MI negeri/swasta), juga diharapkan sebagai wahana dakwah, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat desa.

Program Jatim Mengajar tahun ini merupakan angkatan II.

Persyaratan :
1. Laki-laki, Islam, WNI, usia maksimum 28 tahun per 31 Desember 2014 (KTP Asli dan Foto copy)
2. Lulusan program studi S-1 kependidikan empat tahun terakhir (2011, 2012, 2013, 2014) dari program studi terakreditasi (legalisir ijazah atau SPK).
3. IPK minimal 2,75 (legalisir transkrip)
4. Surat keterangan sehat dari dokter
5. Belum menikan dan sanggup tidak menikah selama mengikuti program (1 tahun)
6. Bisa membaca Al-Quran
7. SKKB
8. Bebas narkotika, psikotropika, dan zata diktif (napza) yang dibuktikan dengan Surat  Keterangan Bebas Narkoba (SKBN) dari pejabat yang berwenang.

Persyaratan 1-5 dibawa saat mendaftar, 7 dan 8 saat wawancara.

Program Studi yang diperlukan:
PGSD/PGMI, Pend. Matematika, Pend.Kimia, Pend. Fisika, Pend. Biologi, Pend. IPS, Pend Sain, Pend. Sejarah, Pend. Geografi, PPKn, Pend, Bhs.Indonesia, Pend. Bahasa Inggris,  Pend. Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (Penjaskesrek).
 
WaktuPendaftaran :
23 Juni –6 Agustus 2014

Wawancara:
8-9 Agustus 2014

Tempat Pendaftaran:
Gedung Program PPG Unesa Lantai1, Kampus Lidah Wetan. Senin-Jumat pukul 08.30-15.00 WIB.

Informasi lebih lanjut bisa menhubungi:


08123122413 (Ibu Luthfi)
082131258506  (Bapak.Sulaiman)

Sabtu, 30 November 2013

Wisata Edukasi 5: Panen Mangga

Pagi di Madiun. Hotel Setiabudi, tempat kami menginap, sudah sibuk meski belum pukul 06.00. Halaman hotel yang penuh dengan kendaraan roda empat itu sudah dipenuhi orang berlalu lalang. Mereka adalah para pekerja, salesman dan sejenisnya, termasuk para pebisnis berbagai bidang usaha yang sedang menyiapkan mobil dan berbenah.

Ya, kata mas Samar, teman kuliah saya, guru SMK Madiun, yang memesankan kamar di hotel ini untuk kami, hotel Setiabudi memang hotelnya para sales. Ramai terus, terutama yang di lantai bawah. Tapi meskipun begitu, hotel ini bersih dan nyaman. Lantai 2, 3 dan 4  cukup tenang dan kamar-kamar dengan fasilitas standard room sangat layak kalau hanya sekedar untuk melepas lelah semalam dua malam.

Semalam, setelah menjelajah kecamatan Ngrayun, Ponorogo, kami memasuki kota Madiun pada sekitar pukul 20.00. Langsung menyantap nasi pecel Yu Gembrot, ditraktir mas Samar. Kemudian diantar mas Samar juga menuju Hotel Setiabudi. Kamar-kamar kami ada di lantai dua. 

Sementara menunggu bu Lucia mandi, saya mengobrol dengan mas Samar sekeluarga dan juga dengan Zahrotul Fitri, mantan mahasiswa saya yang sekarang juga mengajar di SMK Madiun, satu sekolah dengan mas Samar. Ngobrol ngalor ngidul sampai sekitar pukul 22.30. 

Begitu mereka pulang, Mujiono, wartawan  Duta, minta waktu untuk mewawancarai saya. Ya sudah, sekalian capek, saya layani saat itu juga, sampai pukul 23.10 (waduh, kayak melayani apa gitu....haha). Begitu selesai, saya mandi, salat, tidur. Menyusul bu Lucia yang sudah pulas.

Pagi ini, kami akan mengunjungi SDN 3 Bodag di Kecamatan Kare dan SDN 5 Batok di Kecamatan Gemarang. Ada Bahrun dan Rofi'i di sana, dua peserta Jatim Mengajar. Tapi kami akan mampir dulu ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Madiun yang ada di jalan Tiron, Nglames. Kulonuwun, sekalian memastikan siapa pemandu yang akan mendampingi kami mengunjungi kedua sekolah tersebut.

Bersama kepala UPTD Kecamatan Kare dan Kepala Sekolah SDN 3 Bodag, kami menyusuri jalan-jalan beraspal dan jalan-jalan tanah berbatu yang dipadatkan. Naik turun dan kelok-keloknya tidak seperti saat di Ngayun kemarin. Jauh lebih nyaman. Tidak harus menahan nafas karena medan berat. Perut juga tidak perlu mulas karena perjalanan kali ini benar-benar tanpa ketegangan. Waktu yang diperlukan juga tidak terlalu lama, hanya perlu sekitar 30 menit dari pertigaan Ndungus yang menuju RS Paru.  

SDN 3 Bodag kondisinya jauh lebih baik dibanding sekolah-sekolah yang kami kunjungi di kecamatan Ngrayun, Ponorogo, kemarin. Setidaknya dari jumlah ruang kelas dan luas lokalnya. Meskipun, begitu bicara tentang guru, siswa, dan fasilitas, kondisinya tak berbeda jauh.  

Guru di sekolah ini ada 10 orang, yang sudah PNS 6 orang, 4 orang di antaranya sudah sertifikasi. Siswa berjumlah 51 orang. Kelas I ada 9 orang, kelas II ada 12, Kelas III 4 orang, kelas IV 7 orang, kelas V 11 orang dan kelas VI ada 8 orang. Masing-masing kelas menempati satu ruang, jadi bukan merupakan kelas rangkap seperti di Ngrayun. Karena siswa sedikit, kursi di kelas banyak yang kosong. Bertolak belakang dengan kondisi kelas-kelas di SDN 3 Sendang, Ngrayun. Di sana, siswa-siswa harus duduk berdempet-dempet karena bangku terbatas.

Yang mengagumkan, insentif guru GTT di sekolah ini hanya sebesar 75 ribu. Ya, kurang dari 100 ribu. Fantastis. Entah apa yang bisa mereka lakukan dengan insentif bulanan sebesar itu.

Menurut kepala sekolah, dorongan dari orang tua, yang mayoritas buruh tani, kepada anak-anaknya pada umumnya sangat kurang. Oleh sebab itu, guru-gurulah yang harus giat memberikan motivasi pada para siswa. Beberapa guru di sekolah ini hampir selalu memiliki anak asuh setiap tahunnya. Mereka menampung anak yang ingin bersekolah tapi tidak mampu, agar mereka tetap bisa bersekolah.  
Bahrun, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di sekolah ini, tinggal bersama bapak kepala sekolah. Dia bertugas sebagai guru pengganti di semua kelas, terutama kelas atas. Selain mengajar, dia juga memberi les, mengajar di TPA, dan bahkan sudah beberapa kali menjadi imam dan khotib di masjid.

Dari Bodag, setelah menyerahkan kenang-kenangan dan sedikit dana untuk kas sekolah, kami bergerak menuju Gemarang. Tujuan kami adalah SDN 5 Batok. Kali ini, kami tidak bersama pemandu. Cukup dipandu dari jauh oleh Kepala UPTD Kecamatan Gemarang. Juga mengandalkan google map. Meski kadang google map tidak terlalu cerdas untuk memandu kita di tempat-tempat terpencil, namun saat ini, dia cukup pintar. Spontan saya mengucapkan 'terima kasih, google', begitu sekolah yang kami cari itu ada di depan mata.

Rofi'i, peserta Jatim Mengajar yang bertugas di SDN 5 Bodag, berlari-lari kecil menyambut kami. Senyumnya cerah, pipinya tampak tambun. Dia kerasan benar di tempat ini, terlihat dari raut wajahnya. Setelah bertanya kabarnya, saya langsung menembaknya dengan tugas pertama. 

"Rofi'i, entah gimana caranya, aku minta kamu carikan mangga untuk kami semua. Mungkinkah?"
"Oh, sangat mungkin, ibu, beres." Jawabnya. "Bener?" "Ya, bu, bener."

Mangga, memang menjadi pusat perhatian kami semua sejak masuk ke jalan Raya Kare menuju Gemarang tadi. Tentu saja, selain pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Lembah dan bukit yang menjadi latar belakang persawahan dan kebun-kepun yang menghijau. Juga hutan-hutan jati yang diselingi dengan pepohonan lain yang rapat. Jalan yang berkelok-kelok naik turun tapi cukup mulus, sehingga membuat kami serasa benar-benar sedang berwisata.

Kami baru tahu, ternyata Gemarang adalah penghasil mangga. Sepanjang jalan, perkebunan mangga, kebanyakan mangga gadung (arumanis), dengan buahnya yang siap dipetik, membuat kami penasaran. Penasaran ingin memetik maksudnya.....hehe. Makanya, begitu bertemu Rofi'i, kami langsung memberinya instruksi untuk mendapatkan mangga.

Selain mangga, tanaman coklat dan jambu mente sebenarnya juga merupakan pemandangan lain di sepanjang perjalanan kami. Namun, dibanding dengan tanaman mangga, keduanya tidak terlalu menonjol. Menonjolnya mangga juga terlihat dari tumpukan buah itu di beberapa titik di pinggir jalan. Mangga-mangga itu menunggu dikemas dalam peti-peti kemas, siap dibawa ke Jakarta. 

Hujan turun cukup deras saat kami berbincang dengan kepala sekolah di ruangannya yang sempit dan agak gelap. Sementara bu Lucia mengecek tagihan tugas yang harus dipenuhi Rofi'i, kami berbincang tentang kondisi guru, siswa, dan fasilitas sekolah, serta menanyakan kinerja Rofi'i selama mengabdi di sekolah tersebut.

Menurut kepala sekolah, bapak Santoso, SDN 5 Batok memiliki guru sebanyak 11 orang, termasuk kepala sekolah dan Rofi'i. Guru PNS ada 6 orang, 1 di antaranya sudah sertifikasi, dan 2 sedang dalam proses sertifikasi. Karena tidak memiliki guru agama, sekolah mendatangkan guru agama dari SDN 1 Batok. Guru olah raga dan guru seni juga belum ada. Sementara itu, guru kelas masih ada 2 orang yang GTT. Mereka itulah, bersama 4 guru kelas yang lain, yang bertanggung jawab di setiap kelas di sekolah yang jumlah siswanya 86 itu.

Tugas Rofi'i adalah menjadi guru pengganti di kelas-kelas yang kosong. Selain itu juga membantu membenahi administrasi sekolah. Di sore hari, dia memberi les, ekstakurikuler Pramuka dan musik.

Di bidang sosial kemasyarakatan, Rofi'i sedang mengupayakan bantuan pengadaan air bersih ke YDSF. Kemarin bahkan YDSF sudah datang untuk melakukan survei kemungkinan pemberian bantuan itu. Selain untuk air bersih, Rofi'i juga mengajukan bantuan pembangunan masjid dan bantuan sembako bagi masyarakat miskin.

Menurut kepala sekolah, kinerja Rofi'i sangat bagus. Sangat membantu sekolah. Termasuk menyusun laporan atau data yang diminta UPTD dan dinas pendidikan. Siswa juga semakin rajin karena Rofi'i giat mengisi kegiatan ekstrakurikuler untuk mereka. Kepala sekolah berharap program Jatim Mengajar terus berlanjut dan SDN 5 Batok tetap menjadi sekolah tempat penugasan.

Di tengah hujan yang deras, kami berpamit, setelah menyerahkan kenang-kenangan berupa buku dan sedikit dana untuk kas sekolah. Tidak perlu menunggu hujan reda karena tidak jelas kapan hujan akan reda. Kami meminjam payung para orang tua yang sedang menunggu anak-anaknya, menjemput mereka pulang. Di bawah payung, kami berlarian menembus hujan menuju mobil. Meski dingin terasa begitu menusuk tulang, tapi kami senang. Hari ini, tunai sudah tugas kami. Tidak hanya itu, ada dua dus mangga di bagasi mobil. Siap dinikmati di sepanjang perjalanan yang masih panjang, yang harus kami tempuh untuk kembali ke Surabaya.

Sekian laporan wisata edukasi hari ini, sampai bertemu dengan laporan wisata edukasi berikutnya....

Madiun, 28 November 2013

Wassalam,
LN

Kamis, 28 November 2013

Wisata Edukasi 4: Lebih Rendah dari Gaji Pekerja Pabrik

Dalam balutan mendung dan kabut serta udara dingin, kami berempat bersepedamotor dengan empat orang guru. Tidak tanggung-tanggung. Begitu pantat menempel di sadel sepedamotor, jalan menanjak langsung memaksa kami menahan nafas menikmati sensasinya. Mesin yang menderu-deru dan guncangan-guncangan, tak memberi kami kesempatan sedikit pun untuk sekedar melakukan pemanasan. Setidaknya menyiapkan mental dan posisi tempat duduk.

Yang membonceng saya adalah pak Santoso, guru Agama, dan nampaknya guru paling senior di SDN 2 Sendang. Saya memasrahkan keselamatan diri saya pada kepiawaiannya mengendarai motor, selain, tentu saja, pada lindungan Allah SWT. Beberapa kali kami harus turun dan berjalan belasan bahkan puluhan meter di jalan yang sangat curam dan licin, karena sepeda motor tidak kuat menanjak, atau tidak berani menurun dengan beban berat.

Kami juga melintasi jembatan gantung yang panjang di atas sungai besar yang arusnya sangat deras. Warna airnya yang coklat keruh dengan riak-riak putih bekerjaran menimbulkan kengerian tersendiri di hati. Kalau sungai ini penuh, jembatan ini tak ada artinya. Jalan yang menghubungkan kampung sebelah dengan sekolah terputus, dan siswa maupun guru-guru yang rumahnya di kampung tersebut, tidak akan bisa mencapai sekolah.

Ya, ini bukan di Sumba Timur atau di Papua, kawan. Ini di sebuah desa bernama Sendang, di Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Ponorogo itu, kalau tidak salah,  masih termasuk Jawa Timur. Memang betul. Sensasinya tidak kalah dengan di Sumba Timur atau di tempat lain di daerah 3T. Hanya untuk mecapai sekolah, guru dan siswa harus bersama-sama menempuh risiko karena begitu beratnya medan.

Di bawah guyuran gerimis, hati saya juga dipenuhi gerimis. Lebih-lebih setiap kali pak Santoso menceritakan kondisi anak-anak sekolah dan guru-guru, terutama guru GTT. Anak-anak yang rapi dan bersih-bersih itu, bukanlah sesuatu yang serta merta. Dana BOS harus disisihkan untuk membelikan baju dan sepatu mereka. Sebelumnya, mereka mengenakan sepatu 'jitu'. Artinya, 'drijine metu'. Ya, sepatu bolong, jebol, berjendela. Yang selalu ditekankah oleh kepala sekolah, 'mosok pak guru lan bu gurune tok sing resik-resik.....anak-anake yo kudu resik....". Maka mengajari mereka, memberi contoh mereka, untuk selalu berperilaku bersih, adalah tugas sehari-hari. Termasuk konsekuensi harus membelikan mereka seragam dan sepatu dari dana BOS. Juga alat-alat sekolah yang lain. Meski dana BOS itu adalah dana mereka, namun kalau diberikan dalam bentuk uang, bisa-bisa tidak tepat sasaran.

Dan gaji guru GTT? Alhamdulilah, sudah ada insentif dari Pemda sebesar 1,7 juta yang diterimakan per tiga  bulan. Selain itu, mereka juga mendapatkan 10 rb tiap masuk kerja. Tapi, hari gini? Sampai di mana uang gaji sebesar itu? Dengan harga kebutuhan sehari-hari yang harus mereka penuhi untuk menghidupi keluarga? Sedang tuntutan tugas mereka sebagai guru begitu berat?

Bandingkan dengan upah pekerja pabrik. Di Ponorogo, bahkan hanya lulusan SD, begitu masuk kerja, gaji pertama mereka sebesar 1 juta, sesuai UMK. Tidak besar memang. Tapi masih lebih besar dibanding insentif guru-guru GTT yang sudah bertahun-tahun mengabdikan diri mereka mencerdaskan anak-anak bangsa itu.

Insentif sebesar itu, yang meskipun lebih kecil dibanding gaji pertama pekerja pabrik, masih jauh lebih besar bila dibandingkan insentif guru-guru GTT di tempat lain. Mungkin kita semua sama-sama tahu bahwa guru-guru GTT bahkan ada yang hanya menerima sekitar 100-200 rb per bulan sebagai insentifnya. Ya. Itu pun seringkali tidak diterimakan tiap bulan, namun per triwulan sesuai turunnya dana BOS, karena memang insentif mereka dicuilkan dari dana APBN itu.

Guncangan-guncangan di sepanjang jalan makadam yang naik turun berkelok-kelok itu seperti mengguncang-ngguncang perasaan saya. Saya sebenarnya bukan baru kali ini mendengar begitu memprihatinkannya gaji guru GTT. Namun dalam kondisi yang begini lengkap, sekolah yang fasilitasnya serba terbatas, medan berat yang harus ditempuh, anak-anak sekolah yang miskin, dan ketulusan guru-gurunya untuk mengabdi, membuat kegundahan saya serasa begitu sempurna. Mata saya nanar menatap jalan-jalan berbatu-batu itu. Keindahan bukit, lembah, hutan-hutan pinus, seperti hampa. Kata-kata pak Santoso yang juga ikut bergetar-getar di antara deru mesin sepedamotor, seperti suara malaikat dari langit. "Menjadi guru seperti ini, bu.....kedah dipun niati ibadah......"

"Inggih, pak. Leres...." Jawab saya, sambil mengencangkan pegangan tangan saya pada bagian belakang sadel sepedamotor. Jalan menanjak curam dan saya tidak ingin melorot ke belakang. "Ibu mendel kemawon nggih, meniko radosani pun minggah." Saya menjawab, "inggih, pak. Dalem mendel kalih shalawatan mawon..." Pak Santoso tertawa.

Kami tiba di SDN 7 Baosan Kidul pada sekitar pukul 14.00. Perjalanan berat yang harus kami tempuh begitu melelahkan. Membuat lutut, paha, pantat, pinggang, punggung, lengan dan leher, sakit dan kaku-kaku.

Tapi semua itu terbayar dengan keramahan kepala sekolah dan guru-guru serta bapak penjaga sekolah. Teh hangat menyapa tenggorokan kami. Cerita-cerita tentang profil sekolah, kinerja guru, kondisi siswa, mengalir ditemani cuaca mendung dan hawa yang dingin menusuk. 

Heri, yang ditugaskan di sekolah ini, dipuji sebagai sosok yang sangat rajin. Anak-anak sekolah yang menurut kepala sekolah, bapak Suparyanto, S.Pd., pada dasarnya sudah rajin, semakin rajin dengan kehadiran pak Heri. Pukul 06.00 anak-anak sudah tiba, dan Heri sudah menyiapkan semuanya bersama pak Jemadi, penjaga sekolah yang kebetulan juga bapak kost-nya.

Sekolah ini memiliki siswa 111 orang, dengan 10 guru, termasuk Heri. Tiga guru di antaranya sudah PNS (termasuk kepala sekolah dan penjaga sekolah), dan selebihnya adalah GTT.

Mau tahu berapa gaji guru GTT di sekolah ini? Gaji guru GTT adalah sebesar 125.000/bulan, diterima per triwulan. Ya, 125 ribu. Dicuilkan dari dana BOS. Terbayang nggak seberapa banyak lembaran uang sebesar itu? Yang biasanya kita gunakan hanya untuk sekali dua kali makan baik sendiri atau bersama teman. Dan itu gaji guru GTT untuk sebulan.

Di desa Baosan Kidul ini, listrik masuk baru sekitar 3 bulan yang lalu. Jadi jangan bayangkan ada komputer, laptop, LCD, atau media pembelajaran berbasis komputer lainnya di sekolah. Untuk mengetik saja, sebelum ada listrik, kasek musti pergi ke rental komputer di Ponorogo. "Isin bu, mosok laporan-laporan lan data badhe diketik manual. Konco-konconipun sampun ngangge komputer sedanten."

Pukul 15.30, setelah menyerahkan empat buah buku dan sedikit dana untuk kas sekolah, bersama para guru dari SDN 7 Baosan dan Heri, kami bergerak menuju Gawangan, di mana mobil kami menunggu. Gerimis rapat, kabut mulai turun. Saya membonceng Heri. Dua kali kami nyaris jatuh tergelincir, 'mrusut' ke belakang karena jalan licin dan menanjak curam, berbatu-batu.

Pada pukul 16.30, sampailah kami di Gawangan. Di sana sudah menunggu cak Jum dan pak Hadi, kepala SDN 3 Sendang, yang masih setia menunggu.

Dipandu oleh pak Hadi yang sekarang mengendarai mobil sendiri, kami bergerak menuju SDN 2 Mrayan. Hanya sebentar ketemu jalan beraspal yang agak halus. Selebihnya makadam lagi, naik-turun lagi, curam dan berkelok-kelok lagi.

Melihat rute dan medan yang begitu berat, tak terbayangkan jika kunjungan kami tidak dipandu. Sangat mustahil bisa menempuh perjalanan yang luar biasa sulit ini. Yang membutuhkan nyali sekaligus keteguhan niat. Untunglah, sejak dari Dinas Pendidikan Ponorogo, kami terus didampingi para petugas dan guru yang tulus. Serupiah pun mereka tidak mau menerima dari kami meski hanya untuk sekedar membeli bensin. Dipaksa-paksa pun, mereka tetap bersikeras menolak.

Kami tiba di SDN 2 Mrayan pada pukul 17.15. Sekolah sudah sepi, tapi masih ada kepala sekolah, seorang guru, seorang penjaga sekolah, dan Wachid, peserta Jatim Mengajar.

Bapak kepala sekolah, Suyanto, S.Pd., mengungkapkan rasa terima kasihnya karena kehadiran Wachid. Beliau berharap program ini akan terus berlanjut dan sekolahnya tetap menjadi sasaran penugasan.
 
Wachid ditugasi membantu guru kelas IV dan VI. Sore hari, dia mengisi  les dan ekstrakurikuler Pramuka. Dia juga bertugas mengisi kelas-kelas kosong sebagai guru pengganti. Dengan demikian, Wachid harus terus standby kapan pun dibutuhkan.

Tapi Wachid sempat mengeluhkan siswa-siswa yang cenderung malas, kurang motivasi belajar. Saya katakan, "justeru itu adalah tugasmu untuk membuat mereka memiliki motivasi belajar. Kamu pikir, memangnya buat apa kamu jauh-jauh dikirim ke sini?" Wachid tertawa mendengar pertanyaan saya. "Iya ya, bu..." katanya.

Pukul 17.45. Setelah kami serahkan empat buah buku dan sejumlah dana untuk kas sekolah, mobil kami bergerak meninggalkan sekolah, menuju kota Ponorogo. Menempuh jalan makadam yang kondisinya  naik turun berkelok-kelok dan sangat curam. Lagi. Melewati bukit-bukit yang bersabuk pipa-pipa air. Ditemani keramahan khas" wong ndusun", yang selalu menyapa, "monggo, pinarak...." Juga suara-suara binatang hutan yang ramai riuh rendah.   
 
Apa yang bisa saya sarankan setelah mengalami perjalanan sepanjang hari ini adalah: jika Anda sedang hamil muda, atau ada masalah dengan ambeien atau osteoporosis, saya sarankan untuk tidak coba-coba berkunjung ke Sendang, Baosan atau Mrayan. Haha...

Hari semakin gelap dan kami sedang berada di tengah hutan. Masih di atas jalan makadam. Jendela mobil yang semula kami biarkan terbuka, kami tutup. Udara sudah tidak hanya sejuk, tapi juga dingin menusuk. Binatang-binatang malam yang beterbangan mengkhawatirkan kami kalau-kalau mereka masuk mobil dan terbawa sampai Surabaya. Bisa repot kami nanti kalau mereka minta dipulangkan kembali ke Ngrayun. Hehe..

Ditemani suara alam yang masih lamat-lamat terdengar meski mobil sudah tertutup rapat, saya memutar musik. Dan mengalunlah suara Ermi Kulit.  "Malam ini, kasih....teringat aku padamu. Seakan kau hadir di sini menemaniku...


Ngrayun, Ponorogo, 27 November 2013.


Wassalam,
LN