Salah satu hal tentang Bengkulu yang selalu ada di benak saya adalah sawit. Sawit dan sawit, menghampar luas sejauh mata memandang bahkan seperti sampai di kaki langit, adalah pemandangan yang kita lihat setiap kali menjelang pesawat mendarat.
SM-3T: Kerinduan
"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.
SM-3T: Kebersamaan
"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.
Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja
"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..
SM-3T: Panorama Alam
"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"
Bersama Keluarga
"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."
Jumat, 23 Februari 2024
Bengkulu dan Sawit
Kamis, 22 Februari 2024
Danau Dendam Tak Sudah
Beberapa kali ke Bengkulu, baru kali ini saya sempat mengunjungi Danau Dendam Tak Sudah. Sungguh unik ya namanya? Dalam benak saya, nama ini pasti berkaitan dengan urusan cinta dan asmara. Namun ternyata, sebagaimana nama banyak tempat di Tanah Air tercinta ini, seringkali kisahnya ada beberapa versi. Untuk Danau Dendam Tak Sudah ini, urusan cinta dan asmara hanya salah satu versi. Versi yang lain konon ada hubungannya dengan masa penjajahan Belanda. Seperti apa kisahnya? Silakan googling sendiri ya, informasinya bejibun.
Saya dan teman-teman rombongan dari Kemendesa baru saja menyelesaikan tugas ke Dinas PMD Provinsi Bengkulu dan UT Bengkulu siang tadi, ketika tiba-tiba kami terpikir untuk memanfaatkan waktu mengunjungi Danau Dendam Tak Sudah. Sekadar mengisi waktu, sambil menunggu sore, sebelum kembali ke hotel. Penerbangan kami ke Jakarta masih besok.
Menurut catatan yang saya baca, Danau Dendam Tak Sudah terletak di Desa Dusun Besar, Kecamatan Singaran Pati, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu. Danau ini merupakan kawasan yang sudah berstatus sebagai cagar alam sejak 1936. Danau yang berada di wilayah seluas kurang lebih 577 hektar ini memiliki pemandangan yang cantik. Airnya bening berkilau, hijau, teduh, syahdu sekali.
Bagian danau yang menjadi favorit pengunjung adalah daerah pinggir jalan besar. Di sana tersedia berbagai macam kuliner khas juga. Pengunjung menikmati danau ditemani dengan berbagai makanan khas, sekadar bersantai atau sambil menunggu sunset.
Namun kami menjangkau danau tidak yang berada di pinggir jalan besar tersebut, melainkan menempuh jalan lain yang ujungnya adalah tepian danau di sisi yang lain. Memang jalannya lumayan terjal dan mungkin tidak mudah dijangkau oleh beberapa jenis kendaraan roda empat, tapi kemurnian danau terasa sangat kental. Ada beberapa spot untuk berfoto di tepian danau yang menambah kemenarikan danau dan sekelilingnya.
Begitu luar biasa indah danau ini, alam ini, dan sungguh, betapa indahnya Sang Maha Indah yang sudah menciptakan keindahan ini.
Bengkulu, 22 Februari 2024
Selasa, 20 Februari 2024
Ke Garut
Sabtu, 17 Februari 2024, saya ke Garut. Sudah lama ingin ke Garut dan tak kunjung kesampaian. Sabtu ini mumpung saya tidak di Surabaya, dan juga tidak ada kegiatan penting lain, maka saya putuskan untuk ke Garut.
Seperti biasa, Mang Atek, driver andalan, menjemput saya di apartemen, tepat pukul 07.00. Bersama Mas Sabar dan Mas Ardi, dua teman staf yang kebetulan juga sedang tidak ada acara.
Kami memasuki Garut sekitar pukul 11.30. Sesuai perkiraan, empat jam perjalanan dari Jakarta. Tapi karena tadi sempat mampir sarapan di rest area, waktu molor sekitar tiga puluh menit.
Kunjungan pertama kami adalah di rumah Mang Atek, di Desa Wanajaya, Kecamatan Wanaraja. Ya, saya sudah lama berjanji pada Mang Atek, suatu saat saya ingin bersilaturahim ke rumahnya di Garut. Inilah saat untuk membayar hutang janji itu.
Mang Atek mempunyai dua rumah. Satu rumah untuk rumah tinggal dan membuka warung kebutuhan sehari-hari. Satu rumah lagi, masih baru sekitar setahun ini, berlantai dua, ada di seberang jalan, persis di depan rumah lamanya. Rumah baru ini masih belum tuntas finishing-nya, tapi sudah ada tempat tidur dan perlengkapan makan. Kata Mang Atek, anak laki-lakinya, yang masih kelas dua SMP, yang lebih banyak tinggal di rumah ini.
Mang Atek memiliki empat anak. Juga sudah memiliki cucu dari anak pertamanya. Padahal usia Mang Atek dan isterinya masih 43 tahun. Mereka dulu menikah di usia 16 tahun, menikah muda. Makanya di usia yang masih muda, Mang Atek sudah memiliki cucu.
Selain bertemu
dengan keluarga Mang Atek, kami juga bertemu dengan beberapa pendamping desa.
Ngobrol di ruang tamu, lantas makan siang bersama. Menunya nasi liwet, masakan
isteri Mang Atek. Nasi liwet ditanak di sebuah panci khusus, kata Mang Atek
namanya kastrol. Ada ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin, sambal dan
lalap. Sedap sekali tentu saja, apa lagi perut pas lapar, dan cuaca sejuk
sekali.
Setelah shalat jama’ qashar dhuhur dan ashar, kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang namanya Talaga Bodas. Dari rumah Mang Atek, naik terus, dengan jalan yang cukup terjal, sekitar lima belas menit. Kami didampingi Ibu Lurah dan suaminya serta seorang perangkat desa.
Pemandangan di sepanjang jalan sungguh mengagumkan. Hutan, kebun, bukit, gunung, lembah, betapa indah. Ada banyak tanaman sayuran yang subur dan ranum. Juga tanaman jagung. Gunung yang berkabut tipis dan mendung yang menggantung. Indah yang begitu sempurna.
Dan Talaga Bodas itu, wow, menghampar di depan sana dengan warna putihnya yang berkilau-kilau. Aroma belerang langsung menyeruak memenuhi hidung. Sebuah telaga yang mungkin mirip kawah putih di Bandung, namun telaga ini masih sangat alami. Meskipun sudah dikomersilkan, namun kemurniannya masih sangat terjaga.
Kami tidak berlama-lama menikmati telaga, karena hari sudah beranjak sore. Tapi Bu Lurah sudah menyiapkan nasi liwet di sebuah warung makan di dekat telaga. Meskipun sebenarnya perut kami masih terasa kenyang, tapi kami lahap juga nasi liwet dan lauk pauknya. Ayam goreng, tahu dan tempe goreng, ikan asin goreng, sambal dan lalapan, dan jengkol goreng. Jengkol, sampai saat ini merupakan salah satu makanan yang saya belum bisa menikmatinya.
Kami berpisah dengan Bu Lurah di tempat tersebut setelah mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya karena telah menjamu kami. Beberapa bungkus kopi khas Garut dibawakannya untuk kami. Nama kopinya adalah Talagabodas.
Karena tidak ada jalan lain menuju tempat kunjungan selanjutnya, kecuali tetap melewati jalan yang sama, kami mampir lagi ke rumah Mang Atek, sekalian numpang ke toilet. Ternyata isteri Mang Atek sudah menyiapkan segepok oleh-oleh untuk kami. Kerupuk, keripik, pepes ikan, dan entah apa lagi.
Dari rumah Mang Atek, temaram sudah mulai turun. Kami bersilaturahim di dua rumah lagi. Jaraknya sekitar dua puluh menit dari rumah Mang Atek. Satunya rumah Mas Dendy, staf di sekretariat BPSDM. Satunya lagi di rumah Ibunda Pak Jajang Abdullah. Pak Jajang sebelumnya adalah sekretaris BPSDM, dan sekarang menjadi pejabat swadaya masyarakat ahli utama.
Sekali lagi, kami harus makan lagi, karena makan malam sudah disiapkan oleh orang tua Mas Dendy. Seperti tadi, meskipun perut kenyang, kami tetap makan tetapi hanya sedikit. Sudah benar-benar penuh rasanya perut ini.
Kami berniat kembali ke Jakarta malam ini juga. Memang sudah diniati tidak menginap, karena Minggu pagi kami sudah ada agenda lain.
Maka Mang Atek pun melajukan mobil yang membawa para penumpang yang terkantuk-kantuk karena kekenyangan. Sempat singgah di rest area untuk shalat maghrib-insya. Sekitar pukul 22.30, kami sudah tiba kembali di Jakarta.
Tubuh memang terasa agak lelah, namun betapa bahagianya bisa mengisi waktu dengan bersilaturahim. Memperbanyak silaturahim adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan oleh Nabi.
Manfaat silaturahim tak hanya untuk memperluas rezeki dan terhindar dari api neraka, namun juga untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Silaturahim merupakan tanda-tanda seseorang beriman kepada Allah SWT dan menjadi makhluk mulia di hadapan-Nya. Semoga.
Jakarta, 17 Februari 2024