Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label PPG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPG. Tampilkan semua postingan

Minggu, 02 Desember 2018

Pendidikan Profesi Guru: PR Berat


Saat ini, tahun 2018 ini, merupakan tahun tersibuk bagi Pusat PPG Unesa. Sejak awal tahun, pusat yang berada di bawah LP3M ini telah kedatangan tamu kehormatan bernama mahasiswa PPG Pasca SM-3T dan mahasiswa PPG Prajabatan Bersubsidi Tahap 2. Tak berapa lama disusul oleh mahasiswa PPG Prajabatan 2018. Setelah itu berturut-turut kehadiran mahasiswa PPG Dalam Jabatan Gelombang 1 dan Gelombang 2. Hampir bersamaan waktunya dengan kedatangan mahasiswa PPG Guru Daerah Khusus (Gurdasus). Jumlah mahasiswa seluruhnya dari berbagai program ini adalah 1788. Rinciannya: PPG Pasca SM-3T 193, PPG Prajabatan Bersubsidi Tahap 2 sebanyak 146, PPG Prajabatan Bersubsidi 2018 sebanyak 62, PPG Dalam Jabatan Gelombang 1 sebanyak 579, PPG Dalam Jabatan Gelombang 2 sebanyak 638, dan PPG Gurdasus 170.
Praktis sejak kehadiran mahasiswa PPG dalam berbagai bentuk program yang susul-menyusul itu, Gedung LP3M yang menjadi pusat kegiatan PPG setiap hari tak pernah sepi. Bahkan pada hari Sabtu dan Minggu. PPG Dalam Jabatan melaksanakan kegiatan workshop dari hari Senin-Sabtu, dari pagi sampai sore. Sementara untuk mahasiswa PPG Pasca SM3T yang berasrama, dan asramanya berdekatan dengan gedung LP3M, mengisi hari Sabtu dan Minggu dengan berbagai kegiatan, meliputi olah raga, seni, kerohanian, dan sebagainya. Jadilah LP3M yang berada di Kampus Unesa Lidah Wetan itu, menjadi wahana yang lebih “hidup dan berwarna” daripada tahun-tahun sebelumnya.
PPG merupakan pendidikan profesi yang memberikan layanan pada lulusan (fresh graduate) yang ingin menjadi guru profesional (disebut PPG Prajabatan) dan bagi guru yang ingin memperoleh sertifikat guru profesional (PPG Dalam Jabatan). PPG Prajabatan ditempuh dalam waktu 2 semester, dengan beban 36-40 SKS. PPG Dalam Jabatan ditempuh dalam waktu 1 semester, atau setara dengan 1 semester, dengan beban 24 SKS.
Kegiatan PPG di kampus dimulai dengan lapor diri dan orientasi akademik. Selanjutnya adalah kegiatan workshop atau lokakarya dan PPL. Lokakarya berisi kegiatan pengembangan perangkat pembelajaran dan pendalaman materi bidang studi, presentasi perangkat, dan peerteaching/microteacing. Dalam pelaksanaannya, di antara waktu-waktu lokakarya, mahasiswa melakukan orientasi sekolah, menyusun proposal penelitian tindakan kelas (PTK), dan menyiapkan portofolio. Selanjutnya, saat mahasiswa melaksanakan PPL, mereka juga harus melakukan PTK dan membuat laporan PTK. Mahasiswa PPL juga tidak hanya bertugas dalam bidang akademik (mengajar), namun juga dalam bidang nonakademik, seperti terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler serta membantu melaksanakan administrasi dan manajemen sekolah. Menjelang akhir program, mahasiswa melaksanakan Ujian Tulis Lokal (UTL), dan Ujian Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG). Untuk yang terakhir ini, tes terdiri dari dua jenis, yaitu uji pengetahuan (UP) dan uji kinerja (Ukin). UP diselenggarakan berbasis komputer. Sedangkan Ukin dilaksanakan di sekolah dalam bentuk real teaching.
Melihat rangkaian kegiatan yang sedemikian kompleks, bisa dibayangkan, betapa tidak sederhana untuk menjadi guru. Kalau dulu lulusan S1 kependidikan sudah bisa langsung menjadi guru. Sedangkan yang bukan lulusan S1 kependidikan, syarat untuk menjadi guru cukup dengan menempuh program Akta IV. Sekarang semuanya itu tidak lagi cukup.
PPG merupakan amanah dari Undang-undang Nomer 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (Pasal 8). Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi (Pasal 10). Berdasarkan pasal ini, jelaslah bahwa untuk menjadi guru, setiap orang harus memiliki sertifikat pendidik. Dan sertifikat pendidik ini, bisa diperoleh melalui PPG, baik PPG Dalam Jabatan (inservice training) atau PPG Prajabatan (preservice training).
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan bagi lulusan S-1 Kependidikan dan S-1/D-IV Nonkependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru profesional setelah mereka memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik. Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 Pasal 1 butir 5 menyebutkan, Program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan setelah program sarjana atau sarjana terapan untuk mendapatkan sertifikat pendidik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah.
Berdasarkan uraian tersebut, lulusan S1 dan D4 bidang apa pun bisa menjadi guru asal lulus program PPG. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi LPTK, yang notabene adalah perguruan tinggi yang menyiapkan guru. Termasuk kekhawatiran akan persaingan antara lulusan LPTK dan non-LPTK. Juga kekhawatiran tentang bekal kemampuan pedagogik yang minim dari lulusan no-LPTK. Namun semua polemik tentang hal tersebut telah lama berlalu. Faktanya memang LPTK belum bisa memenuhi semua kebutuhan guru di lapangan. Belum ada LPTK yang menghasilkan guru bidang agribisnis misalnya, atau bidang pariwisata, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan berbagai hasil penelitian dan kajian yang menemukan bahwa kemampuan guru lulusan program studi non-LPTK tidak lebih buruk dibanding dengan guru lulusan LPTK. Dan juga dengan berbagai rasional yang didasarkan pada asumsi dan fakta, bahwa memang rekrutmen calon guru dari program studi nonpendidikan tidak bisa dihindari.
Justeru yang saat ini menjadi kegalauan banyak pihak adalah pola penyelenggaraan PPG itu sendiri. Sebagaimana disebutkan, pada tahun ini, beberapa LPTK, termasuk Unesa, menyelenggarakan PPG Prajabatan Pasca SM-3T (berakhir pada tahun ini), PPG Prajabatan Bersubsidi, PPG Dalam Jabatan-Daring, dan PPG Dalam Jabatan-Gurdasus. Di LPTK yang lain tidak hanya itu, namun ada tambahan PPG 3T dan PPG dalam jabatan gelombang 2 lanjutan. PPG dengan berbagai pola itu susul-menyusul dan membuat LPTK kewalahan karena harus mengatur sumber daya yang ada sedemikian rupa. Dosen, tenaga kependidikan, sarana prasarana, dana, dan sebagainya, benar-benar harus dikelola sebaik-baiknya dengan segala kendala dan persoalannya. Kelas di mana-mana penuh bahkan kekurangan. Dosen kelebihan beban. Pengelolaan dana terpaksa ibarat ‘gali lubang tutup lubang’. Pendek kata, luar biasa tuntutan energi dan pengorbanan lahir dan batinnya.
Tidak usah bicara tentang asrama. Meskipun dalam UU Guru dan Dosen dinyatakan bahwa PPG dilaksanakan berasrama, namun kenyataannya, asrama yang tersedia di LPTK tidak cukup untuk menampung semua mahasiswa PPG. Pada saat ini, yang wajib diasramakan adalah PPG Prajabatan Pasca SM-3T dan PPG 3T. Untuk program PPG yang lain, mahasiswa tidak diwajibkan tinggal di asrama dan memang tidak mungkin tinggal di asrama karena keterbatasan asrama. Jadi tidak perlu dipertanyakan bagaimana pembentukan kompetensi sosial dan kepribadian yang sebenarnya diharapkan bisa ditumbuhkankembangkan melalui kehidupan berasrama.
Saat ini ada sekitar 421 LPTK di Indonesia. Terdiri dari LPTK eks-IKIP 12, FKIP Negeri 30, dan LPTK swasta 378. Salah satu permasalahn LPTK adalah belum semua LPTK memenuhi Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru. LPTK juga mengalami keterbatasan anggaran serta disparitas kualitas yang cukup tajam. Namun dengan tuntutan pemenuhan kuota PPG Prajabatan, dan terutama PPG Dalam Jabatan, ada lebih dari 50 LPTK yang ditunjuk untuk menyelenggarakan PPG prajabatan dan/atau dalam jabatan. Kuota PPG Dalam Jabatan untuk tahun 2018 saja sebesar 70 ribu lebih. Untuk memenuhi kebutuhan guru, prediksi untuk dua tahun yang akan datang adalah tidak kurang dari 100 ribu per tahun. Bayangkan dengan kemampuan LPTK yang ada.
Dengan kondisi seperti ini, salahkah kalau orang mempertanyakan mutu proses PPG itu sendiri? Sementara PPG adalah garda terakhir untuk bisa menghasilkan guru yang profesional. Namun dengan kenyataan yang sebegitu pelik dan rumitnya, salahkah kalau orang mempertanyakan, bagaimana pula mutu calon guru yang dihasilkan?
Tidak sederhana mengurai persoalan demi persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan PPG. Namun pemikiran yang benar-benar matang dan bijaksana, kritis dan solutif, sepertinya sangat mendesak. LPTK, terutama LPTK besar, tak berdaya untuk tidak menyelenggarakan program PPG yang berjubel itu. Tak ada waktu untuk memikirkan kreativitas dan inovasi, yang ada adalah rutinitas dan rutinitas. Program yang susul-menyusul membuat LPTK harus memutar otak dengan cepat untuk mempersiapkan dosen, guru pamong, sekolah, kelas, dana, tryout, UP, UKIN, dan sebagainya, dan sebagainya. Begitu pelik, begitu rumit. Apa lagi penyelenggaraan PPG yang juga masih terus mencari dan mencari pola terbaik. Tidak sekadar karena alasan rasional-akademis, namun justeru kadangkala yang lebih dominan adalah alasan non-akademis (misalnya menyesuaiakan dengan aturan penganggaran).
Pekerjaan rumah untuk menghasilkan guru yang profesional benar-benar masih berat.

Surabaya, 22 November 2018
Luthfiyah Nurlaela

Rabu, 15 Februari 2017

Pembukaan PPA PPG SM-3T Angkatan V

Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Univesitas Negeri Surabaya angkatan V mulai diselenggarakan untuk tahun Ajaran 2017-2018. Sebanyak 187 mahasiswa telah melakukan registrasi online pada tanggal 4-6 Februari 2017, dan telah seluruhnya melakukan lapor diri pada 7-8 Februari 2017. Selanjutnya para mahasiswa tersebut langsung masuk asrama Rusunawa untuk mahasiswa putri, dan asrama PGSD untuk mahasiswa putra. Mereka akan menghuni asrama selama mengikuti program SM-3T sampai Desember 2017 nanti. 

Mahasiswa PPG sampai angkatan V ini adalah mereka yang sudah melaksanakan tugas pengabdiannya setahun di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) dalam program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah 3T). Oleh sebab itu, Program PPG ini dinamakan PPG SM-3T, karena pesertanya adalah para alumni SM-3T.

Senin, 13 Februari 2017, di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung LP3M Lantai 9, dilaksanakan Pembukaan Program Pengenalan Akademik (PPA). Acara pembukaan dihadiri oleh Wakil Rektor Bidang Akademik, Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si, beserta Sekretaris LP3M, Dr. Suryanti, M.Pd. Ketua dan Sekretaris Pusat PPG, yaitu Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd dan Dr. Elok Sudibyo, M.Pd, tentu saja juga hadir, bersama dengan para ketua program studi penyelenggara PPG.

PPA diselenggarakan selama 3 hari, dimulai dengan kuliah umum dengan tema "Neuroscience in Education", disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik. Kemudian dilanjutkan dengan materi akademik dan pemahaman seputar tatakelola bidang pendidikan. Gambaran Umum PPG, Sistem Pembelajaran, Sistem Penilaian, Pendidikan Bela Negara, adalah beberapa materi di antaranya. Juga pengenalan lingkungan kampus dan mekanisme pemanfaatannya.

Program PPG SM-3T angkatan V ini terdiri dari sepuluh program studi. Program studi beserta jumlah mahasiswanya adalah: Pendidikan Matematika (33), Pendidikan IPA (13), Pendidikan Fisika (13), PGSD (30), Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi (17), Pendidikan Kewarganegaraan (15), Pendidikan Geografi (16), Pendidikan Sejarah (13), Pendidikan Bahasa Indonesia (13), dan Pendidikan Bahasa Inggris (20). Mereka tidak hanya berasal dari Unesa saja, namun juga dari berbagai perguruan tinggi yang lain, seperti Universitas Tanjungpura (Untan), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Surabaya (UNY), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan beberapa universitas yang lain. 

Workshop akan dilaksanakan mulai tanggal 20 Februari 2017, dengan pola nonblok. Keputusan untuk menyelenggarakan PPG dengan pola nonblok didasarkan pada pengalaman empiris selama ini. Sejak awal penyelenggaraan PPG SM-3T tahun 2013, PPG dilaksanakan dengan pola blok, yaitu satu semester penuh di kampus untuk workshop, dan satu semester penuh di sekolah untuk PPL. Pola tersebut menyebabkan kejenuhan baik pada mahasiswa maupun dosen, karena mahasiswa berkutat dengan penyusunan RPP terus-menerus dan dosen juga harus terus-menerus membimbing. Kejenuhan tersebut menyebabkan kinerja mahasiswa dan dosen tidak optimal. 

Pada angkatan V ini, pola nonblok dicoba diterapkan untuk mengantisipasi kelemahan pola blok. Pola ini mengatur kegiatan mahasiswa di kampus dan di sekolah secara berseling, separo semester pertama di kampus, dilanjutkan dengan separo berikutnya di sekolah, begitu juga pada semester keduanya. Berdasarkan Pedoman Penyelenggaraan PPG, pola nonblok memang dimungkinkan.

PPG SM-3T tahun ini diselenggarakan di 23 perguruan tinggi. Sekitar 3000 mahasiswa tersebar di Universitas Bengkulu, Unmul, UNJ, UNM, Unima, Unimed, UNP, Unnes, Unesa, UNY, Undana, Undiksha, UPI, Unri, UNS, Unsyiah, Untan, Universitas Islam Nusantara, Unmuh Malang, Universitas PGRI Semarang, dan USD Yogyakarta.

Surabaya, 13 Februari 2016

Kamis, 10 Maret 2016

P3G, Kualitas Guru dan LP3

Program Pengembangan Profesi Guru (P3G) Unesa beroperasi sejak awal 2013. Saat itu, akhir Februari 2013, Program Pengenalan Akademik (PPA) bagi mahasiswa Pendidikan Profesi Guru (PPG)angkatan I digelar di Auditorium FIP Unesa. Mengapa di Auditorium FIP? Padahal sudah ada Gedung P3G berlantai sembilan yang megah itu?
            Meski sudah ada gedung P3G, gedung itu belum siap untuk digunakan.Di dalam gedung maupun di luar gedung, semuanya masih berantakan.Bahan-bahan material, tumpukan kardus-kardus dan kayu-kayu bekas perabot dan mebeler, berbaur dengan suara bising dan debu di mana-mana.Lift tidak bisa digunakan. Kursi, meja, rak-rak, bertumpuk-tumpuk di sembarang tempat.Para pekerja memenuhi setiap sudut.
            Dalam kondisi seperti itu, kegiatan PPG harus tetap berjalan.Tak ayal, mahasiswa dan dosen harus mengenakan masker di minggu-minggu pertama, bahkan di bulan-bulan pertama. Mereka harus menerima apa adanya, termasuk kondisi asrama PGSD--asrama yang digunakan untuk mahasiswa PPG putra--yang sangat memprihatinkan. Bangunan yang kurang terurus, kamar-kamar yang kotor, dan MCK yang sangat tidak memadai dan tidak layak.Sungguh mengenaskan.
            Syukurlah, sebanyak 279 mahasiswa PPG itu dapat dipahamkan, meski hal itu tidak mudah.Bayangkan.Mereka tidak hanya berasal dari Unesa saja, namun datang dari berbagai LPTK di Tanah Air, dari Unimed, UNP, UNY, Unnes, UM, Unima, UNG dan Undiksha.Dari barat sampai timur. Jauh-jauh datang ke Unesa, tentu mereka tidak membayangkan akan ditempatkan di asrama yang begitu memprihatinkan. Berjejal-jejal lagi.Juga gedung tempat belajar yang berdebu dan bising.Tapi seperti itulah yang terjadi.

            Namun kondisi itu tidak terlalu lama.Pada tanggal 22 Juni2013, Gedung PPG diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh.Semuanya seperti disulap.Gedung mendadak rapi, mebeler semua berada pada tempatnya, bahan-bahan material menyingkir entah ke mana, dan bunga-bunga bertumbuhan di taman-taman.P3G menjadi begitu bernyawa.Denyutnya memompa semangat siapa pun yang menyapanya.Sejak saat itu, Gedung P3G mendapatkan nama baru sebagai Gedung Wiyata Mandala (Gedung W1).
Gambar 1: Peresmian Gedung Wiyata Mandala oleh Mendikbud M. Nuh

Setahun kemudian, saat mahasiswa angkatan pertama sudah meninggalkan P3G, datanglah 178 mahasiswa PPG angkatan kedua.Sama dengan mahasiswa sebelumnya, mereka berasal dari berbagai LPTK.Namun mereka lebih beruntung.Saat mereka datang, Gedung P3G adalah gedung yang megah, bersih, tertata.Lengkap dengan berbagai fasilitas, termasuk fasilitas olah raga.Begitu juga dengan asrama PGSD.Meski masih harus terus berbenah, namun wajah asrama itu sudah jauh lebih layak.
            Beberapa saat yang lalu, mahasiswa PPG angkatan ketiga menjadi penghuni gedung P3G dan asrama.Sebanyak 224 mahasiswa menghayati perjuangan mereka menuju guru profesional.Workshop SSP (subject-specific pedagogy) menjadi makanan sehari-hari selama satu semester penuh.Mengembangkan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, media, evaluasi), presentasi perangkat, peerteaching, begitu terus-menerus. Juga menyiapkan proposal penelitian tindakan kelas (PTK), tentu saja diawali dengan kunjungan ke sekolah untuk menemukenali masalah yang akan diangkat sebagai PTK. Di antara kesibukan itu, mereka masih harus mengikuti PBB (pelatihan baris-berbaris) yang langsung ditangani oleh Kodikmar, Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka dengan kegiatan di dalam ruangan maupun di lapangan, Porseni, dan berbagai aktivitas lain, yang semuanya dipantau dan dinilai.Belum lagi kegiatan kehidupan berasrama, baik kegiatan keagamaan, seni, sosial, dan sebagainya.
            Tapi anak-anak muda itu sudah sangat terlatih.Pengalaman setahun penuh mengabdi di daerah 3T saat mereka mengikuti program SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal), telah sangat menempa daya juang mereka.Di daerah penugasan mereka, segala kesulitan dan tantangan hidup telah mereka lalui.
            Sampai tibalah saat mereka dikukuhkan sebagai guru professional.Pada 20 Februari 2016.Saat Rektor dan jajarannya hadir di Auditorium Wiyata Mandala, Gedung PPPG Lantai 9, pada acara Yudisium PPG III.Sebanyak 222 yudisiawan PPG SM-3T dan 28 yudisiawan PPGT PGSD, hari itu, resmi menyandang gelar Gr di belakang nama mereka. Masih ada 1 mahasiswa PPG SM-3T dan 2 mahasiswa PPGT PGSD yang belum lulus, dan mereka masih diberi kesempatan untuk mengulang menempuh Ujian Tulis Nasional (UTN) pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu, PPG angkatan 3 ini juga sempat berduka karena berpulangnya salah satu mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Fisika, karena sakit.
           

Payung besar bernama PPPG
            Nama P3G Unesa tidaklah serta merta.Dia muncul setelah terjadi diskusi panjang antara pimpinan Unesa dan timyang ditugasi untuk mengelola P3G. Juga dengan task force Statuta Unesa yang diketuai oleh PR IV saat itu, Prof. Dr. Nurhasan. Nama Program Pengembangan Profesi Guru (P3G) mengandung arti bahwa institusi ini tidak hanya mengurusi PPG (Pendidikan Profesi Guru).PPG hanya salah satu saja yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab yang lain meliputi: SM-3T, PPGT (Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi), KKT (Kependidikan dengan Kewenangan Tambahan), Jatim Mengajar, PPL/PPP S1, Pekerti/AA, dan program peningkatan kompetensi guru selain studi lanjut S2 atau S3.
            Terkait dengan Program SM-3T, Unesa merupakan salah satu LPTK dari 17 LPTK penyelenggara. Sejak 2011 sampai saat ini, peserta SM-3T Unesa berturut-turut 278 (2011), 197 (2012), 189 (2013), 203 (2014) ,dan 241 (2015). Jumlah seluruhnya sampai saat ini adalah 1108 peserta.
            Sementara secara nasional, peserta SM--3T 2011-2015 sebanyak 13.334.Pada tahun 2014 peserta SM3T diterjunkan di 45 kabupaten yang tersebar di 10 provinsi. Provinsi NTT mendapatkan proporsi yang paling besar yaitu 621 peserta atau sekitar 23,5% diikuti oleh provinsi Papua (561 peserta) dan Papua Barat (302 peserta) yang masing-masing mendapatkan 21% dan 11%. Distribusi peserta SM3T per provinsi dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Distribusi Peserta SM3T Berdasarkan Provinsi
Penyebaran peserta SM3T selama 2011-2014 dapat dilihat pada gambar berikut.
Peta Sebaran Penempatan Peserta SM-3T
Sementara untuk Unesa, wilayah penugasan saat ini meliputi tujuh kabupaten, yaitu: Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Talaud, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Kabupaten Mamberamo Raya, Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Raja Ampat, dan Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 2015, sebanyak 241 peserta disebar dengan distribusinya sebagai berikut: Kabupaten Sumba Timur (75 orang), Kabupaten Aceh Singkil (30 orang), Kabupaten Talaud (23 orang), Kabupaten MBD (34 orang), Kabupaten Mamberamo Raya (28 orang), Kabupaten Mamberamo Tengah (30 orang), dan Kabupaten Raja Ampat (21 orang).
            Selanjutnya, terkait dengan PPG, peserta PPG adalah sarjana pendidikan yang telah melaksanakan pengabdian di derah 3T selama satu tahun, oleh sebab itu program ini disebut PPG Pasca SM-3T. PPG Unesa berturut-turut, tahun 2013 sebanyak 279 mahasiswa terbagi dalam 11 program studi; tahun 2014 sebanyak 178 mahasiswa yang terbagi dalam 9 program studi; dan saat ini, angkatan ketiga (2015), sebanyak 224 mahasiswa juga terbagi dalam 9 program studi. Penentuan jumlah mahasiswa dan prodi ditentukan secara terpusat, dan setiap LPTK tinggal menerima penugasan tersebut dengan berbagai standar yang dipersyaratkan.

Selanjutnya terkait dengan PPGT, program ini laksana “tanaman keras”. Lulusan bias “dipanen’ setelah lima tahun menyelesaikan masa studi. Peserta program adalah lulusan SMA/SMK terbaik terseleksi dari berbagai kabupaten dan dikirim oleh pemerintah daerah. Dengan partisipasi dan kerjasama pemerintah daerah, lulusan PPGT akan kembali ke daerah asal dan bertugas sebagai guru. Program pembelajaran diselenggarakan dengan mengintegrasikan pendidikan akademik dan pendidikan profesi. Sehingga pada akhirnya nanti, lulusan program ini akan memperoleh sekaligus ijazah akademik S-1 dan sertifikat profesi.
            P3G Unesa juga memiliki Program Jatim Mengajar, yang merupakan kerja sama antara YDSF (Yayasan Dana Sosial Al Falah) dengan Unesa. Program ini hampir sama dengan Program SM-3T, baik dalam hal persyaratan peserta, prosedur perekrutan, dan juga penugasan. Bedanya, Program Jatim Mengajar khusus untuk Jawa Timur, sementara SM-3T untuk seluruh wilayah Indonesia yang tergolong 3T.
            Menurut data dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), di seluruh Indonesia, ada sebanyak 183 daerah tertinggal, 5 di antaranya ada di Jawa Timur. Lima kabupaten di Jawa Timur tersebut adalah Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.Namun di luar kabupaten tersebut, banyak sekali desa tertinggal, termasuk di Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Lamongan dan kabupaten lain, yang sebenarnya dari letak geografisnya relatif dekat dengan ibukota provinsi (Surabaya).Apa lagi di kabupaten-kabupaten lain seperti Ngawi, Pacitan, Ponorogo, Bojonegoro, Tuban, Banyuwangi, Jember, dan seterusnya, keberadaan desa tertinggal tersebut hampir tak terhitung jumlahnya. Oleh sebab itu, program pengiriman guru ke berbagai pelosok Jawa Timur masih sangat dibutuhkan, dan Jatim Mengajar merupakan salah satu bentuknya.
Berkunjung di Desa Sendang, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, salah satu desa tempat penugasan peserta Jatim Mengajar

Bermetamorfosis Menjadi LP3
           Tanggal 3 Maret 2016.P3G berubah menjadi lembaga, bernama Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi (LP3).Di bawah punggawanya Prof. Dr. Ismet Basuki, LP3 memayungi semua urusan yang dulunya menjadi urusan P3G.Ditambah dengan urusan yang lain. Bedanya, sekarang setiap urusan itu dipegang oleh seorang kepala pusat dan sekretaris pusat.Setidaknya ada lima pusat di bawah LP3, yaitu: pusat yang mengurus PPL dan PPP; pusat yang mengurus PPG, SM-3T, Jatim Mengajar, dan program-program lain yang sejenis; pusat yang mengurus pengembangan karakter; pusat yang mengurus kurikulum dan sumber belajar; serta pusat yang mengurus peningkatan dan pengembangan aktivitas instruksional. Tentu saja, dengan perubahan organisasi seperti ini, LP3 akan menjadi lembaga yang besar.
           Menjadi besar atau tidak, tentunya bergantung pada bagaimana lembaga itu dikelola.Bergantung pada bagaimana setiap orang dalam lembaga itu beserta seluruh masyarakat kampus berkomitmen.Bergantung pada bagaimana sinergi yang terjadi untuk mencapai visi dan misi.
Dan Unesa sudah berpengalaman dalam mengelola lembaga.Berpengalaman dalam membangun komitmen dan sinergi.Tidak ada yang perlu diragukan. Yang penting adalah: komitmen dan sinergi.

Surabaya, 10 Maret 2016
Luthfiyah Nurlaela

Kamis, 19 Februari 2015

Ketika Rumput Mulai Hijau

Musim kemarau beberapa waktu yang lalu menyebabkan rumput-rumput mengering dan pohon-pohon meranggas. Bukit-bukit menjadi gundul dan lembah ngarai menjadi merana. Sapi, kambing, kuda, nampak kurus kering karena padang tempat mereka merumput nyaris tak memberikan apa pun. Kondisi seperti itulah yang saya lihat di berbagai tempat, termasuk di daerah-daerah pedalaman di pelosok Indonesia, sekitar beberapa bulan yang lalu.

Di PPPG, kondisinya tidak berbeda jauh. Kalau saya berdiri di lantai dua, dan melihat ke seluruh penjuru halaman, rerumputan dan pepohonan hampir semuanya kering. Warnanya yang biasanya hijau menyejukkan, berubah menjadi kuning kocoklatan di mana-mana. Sampai saya berkali-kali memanggil mandor taman dan memastikan dia mengontrol anak buahnya saat menyirami tanaman, apakah disirami dengan benar atau tidak. Beberapa kali saya juga turun dan melihat bagaimana para tukang taman itu mengurus tanaman.

Tapi memang, kemarau yang begitu panas membuat kami tidak bisa berbuat banyak. Pagi dan sore tanaman disiram sebanyak apa pun, sinar matahari yang memancarkan panasnya dengan garang, membuat semua upaya seperti tak berarti. Rumput yang hijau hanya di seputaran pohon-pohon besar, radiusnya tak lebih dari semeter, sementara pohon-pohon besar itu pun daun-daunnya rontok di sekitarnya. Hamparan rerumputan, sejauh mata memandang, kuning dan coklat. Haduh, saya sampai pingin nangis rasanya melihat pepohonan dan rerumputan yang kami tanam dengan menghabiskan dana puluhan juta rupiah itu seperti 'hidup tidak, mati pun tak hendak'.

Begitu musim hujan turun, keadaan pun berubah seratus delapan puluh derajat. Hijau di mana-mana. Segar rasanya mata ini memandang. Meski genangan air di bagian-bagian tertentu juga cukup mengganggu, namun kesuburan tanaman yang memenuhi halaman gedung menjulang itu begitu menyegarkan. 

Pagi ini, begitu keluar dari mobil, saya tidak langsung memasuki gedung. Saya sengaja berjalan memutari pagar gedung yang baru kami tanam. Ratusan batang bambu yang tingginya lebih dari dua meter berbaris rapat mengelilingi halaman gedung PPPG. Di beberapa bagian, pagar seng yang semula menjadi batas area halaman, telah rebah rata dengan tanah. Beberapa pohon di depan pagar bambu nampak berdiri miring, terhempas angin dan hujan lebat semalam. Kayu-kayu yang menopangnya tidak  lagi cukup kuat. Harus ada seseorang yang membenahinya agar pohon-pohon itu kembali berdiri tegak.

Saya memutar mulai dari bagian samping kanan gedung sampai ke belakang dan ke samping kiri. Ada beberapa bagian pagar bambu yang terlalu lebar jaraknya, dan saya perkirakan masih bisa dipakai 'brobosan' oleh orang dewasa. Saya hitung, mungkin masih perlu menambah sekitar sepuluh batang bambu untuk membuat pagar hidup itu menjadi lebih rapat. 

Beberapa waktu yang lalu, saat saya menghadiri kegiatan Himapala di malam hari, saya sempat berkeliling melihat-lihat situasi halaman PPPG dari belakang. Kebetulan Sekretariat Himapala memang berada tepat di belakang Gedung PPPG, sekompleks dengan Sekretariat Menwa dan Pramuka. Saat itu, secara kebetulan, ada dua mahasiswa yang nekad 'mbrobos' dari halaman PPPG menuju asrama. Mereka bukan mahasiswa PPPG, karena saya tidak mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenal saya. Saya perkirakan mereka mahasiswa di salah satu fakultas di Kampus Unesa Lidah Wetan ini. Mereka memanfaatkan pagar seng yang telah roboh untuk menjadi jembatan yang menghubungkan antara halaman PPPG dengan jalan. Di bawah seng itu adalah selokan. Saya heran, begitu efisiennya mereka, sampai-sampai harus mengambil risiko seperti itu. Bayangkan kalau jembatan seng itu tidak cukup kuat menopang tubuh mereka, dan mereka jatuh terperosok ke dalam selokan. Padahal hanya beberapa meter di sebelah kiri mereka adalah pintu keluar yang sebenarnya. Saya sampai geleng-geleng kepala melihat kenekadan itu. Sepertinya mereka adalah jenis mahasiswa yang tidak betah berada pada zona nyaman. Mereka termasuk jenis mahasiswa yang suka tantangan. Maka menyeberangi selokan dengan menggunakan pagar seng yang dirobohkan menjadi alternatif pemuas rasa haus akan tantangan itu.

Puas berkeliling, saya menuju ruang staf di lantai satu. Sepagi itu, semua staf PPPG sudah berada di posnya masing-masing. 

"Pak Budiman, Pak Somat, ayo ikut saya jalan-jalan." Saya memanggil dua teman staf yang tugasnya adalah mengurus taman dan perlengkapan. 

"Monggo, Bu," Kata mereka serempak.

Saya kembali ke tempat pohon yang berdiri miring tadi. Meminta kedua teman saya itu untuk membetulkan posisinya supaya tidak miring. Saya juga menunjukkan beberapa bagian pagar yang masih perlu dirapatkan dengan batang-batang bambu yang baru. Juga meminta supaya seng-seng yang sudah rebah rata dengan tanah itu diringkas, dan dilaporkan ke Bagian Perlengkapan Unesa, supaya diambil dan dibersihkan. 

"Sekalian Pak, minta tukang taman merapikan rumput-rumput ya?" Pinta saya. Ya, kalau beberapa waktu yang lalu saya sedih melihat rumput-rumput itu menguning dan mengering, sekarang saya sedih melihat rumput-rumput itu tumbuh terlalu subur tak beraturan sehingga perlu dirapikan.

"Inggih, Bu. Minggu ini tukang taman masih mengerjakan pemotongan rumput di FIP, minggu depan jadwalnya di PPPG." Kata Pak Budiman.

"O, baguslah kalau begitu."

Saya senang karena teman-teman di PPPG ini seperti seide dengan saya dalam masalah mengurus kebersihan gedung dan halaman. Seringkali mereka bahkan melakukan hal yang di luar bayangan saya. Beberapa dari mereka menanami halaman dengan lombok dan sayur-sayuran lain. Di balkon lantai dua yang luas, Anda bisa memetik kedondong, jeruk, sawo, belimbing dan jambu. Di halaman, beberapa tahun lagi, akan ada banyak buah mangga dan nangka hasil panen sendiri. Beberapa tahun lagi juga, akan ada banyak pohon peneduh yang tinggi menjulang mengimbangi tingginya gedung. Pagar hidup berupa bambu akan rapat melindungi gedung dan mengamankannya, namun tetap penuh kehangatan dan ramah lingkungan.

Tahun ini, kami terpaksa mengakhiri kerja sama dengan rekanan yang mengurusi kebersihan, karena dari hasil evaluasi kami, kerja rekanan tersebut tidak memuaskan. Bahan pembersih yang mereka gunakan tidak wangi, kabarnya karena terlalu banyak dioplos dengan bahan lain. Lantai hanya nampaknya saja bersih, tapi bersihnya tidak sempurna. Petugas kebersihan sering mengeluh karena bahan pembersih mereka dibatasi dan gaji mereka sering telat. Setidaknya yang saya ingat, dalam setahun kemarin, sempat tiga kali ada kejadian para petugas kebersihan yang jumlahnya sekitar 25 orang itu nyaris mogok kerja, karena gaji mereka belum dibayar. Dua kali mereka berbaris di depan ruang saya, dan setelah kami membantu untuk mengatasi masalah keuangan rekanan, mereka baru reda, tidak jadi mogok kerja. Tentu saja saya dan Bu Yanti sempat ngamuk ke rekanan dan mengancamnya tidak akan memperpanjang kerja sama lagi kalau mereka tidak becus mengurus tenaga kerjanya. Sudah ngurus gedung dan taman tidak beres, ngurus orang juga tidak beres. Payah kan?

Satu hal yang membuat saya dan teman-teman di PPG ini sangat kepikiran adalah ulah orang kampung di sekitar kampus Lidah ini. Beberapa bulan yang lalu, tepat pada hari ulang tahun saya, 18 Oktober 2014, ada 'kebakaran' di samping kanan gedung PPPG. Rumput ilalang yang tinggi dan rimbun itu kabarnya yang menjadi penyebab. Karena kemarau panjang, ilalang mengering, dan gesekan di antara mereka memercikkan api. Karena angin kencang, api itu membesar dan dengan cepat meluas, memangsa rumput dan pepohonan di sekitarnya, mendekat ke arah gedung PPPG. Saat itu bahkan kami sempat memanggil PMK dan dua mobil pemadam kebakaran datang menjinakkan api. Tapi apa mau dikata. Api yang memang sangat besar itu sudah sempat memangsa pipa air dan sebagian pipa jebol sudah.

Belakangan, saya mendengar, kejadian itu ternyata tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali, dan bahkan sudah seperti langganan tiap tahun. Kabarnya, memang ada pihak-pihak yang sengaja membakar ilalang itu, untuk kemudian menanami tanah bekas tempat ilalang terbakar. Saya nyaris tidak percata dengan kabar itu,  sampai akhirnya saya melihat sendiri buktinya.

Suatu ketika, ada acara di lantai sembilan, dan kami melihat halaman PPPG yang berada di bawah sana, dan terkaget-kaget. Tanah yang beberapa waktu yang lalu terbakar, sekarang sudah ditumbuhi dengan tanaman jagung dan polowijo. Tumbuhnya rapi, subur, dan pasti sengaja ditanam oleh orang yang sudah berpengalaman. Ya, bisa jadi, kebakaran yang dulu itu memang dilakukan secara sengaja, agar tanah itu bisa dimanfaatkan saat musim hujan. 

Tentu saja kami semua prihatin dengan kenyataan itu. Ini masalah yang tidak boleh dianggap ringan. Tapi hal ini ternyata, kata banyak sumber, sudah terjadi bertahun-tahun dan berkali-kali. Bagaimana mungkin kita semua bisa membiarkan pihak-pihak luar mengacak-acak kedaulatan kita seperti ini?

Saya mengajak Pak Budiman dan Pak Somat berjalan mendekati tempat yang rawan kebakaran itu. Saya katakan, saya ingin bertemu dengan petani yang memanfaatkan tanah di seberang itu. Saya ingin mengajak mereka untuk bersama-sama menjaga lingkungan kampus. Kalau mereja ingin menanami tanah di dalam kampus dan untuk itu harus lebih dulu membakar ilalang, saya ingin mereka lebih berhati-hati dengan aksinya itu, supaya api yang dibuatnya tidak membesar dan membawa korban apa pun. Termasuk melalap pagar bambu yang kami tanam. Saya ingin Pak Somat dan Pak Budiman meminta orang untuk membuat parit di seputar gedung PPPG dan memastikan parit itu menampung air, sehingga bila ada kebakaran, api tidak sampai menyentuh pagar bambu. Kami harus melakukan itu, karena mungkin hanya itu yang masih  bisa kami lakukan dengan upaya PPPG sendiri. Sambil menunggu respon nyata dari Unesa untuk melakukan sesuatu demi menjaga kedaulatannya. Setidaknya, di beberapa kesempatan, baik dalam forum rapat resmi maupun secara informal, saya sudah menyampaikan kepada para petinggi Unesa bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya kebakaran buatan yang sudah terjadi berulang kali. Karena tidak memungkinkan bagi saya dan teman-teman PPPG untuk mengambil kebijakan menyangkut hal itu, maka kami memilih berdamai saja dengan pihak yang memicu munculnya masalah. Yang penting damai dululah, supaya rumput-rumput dan pohon-pohon tetap hijau.....

Surabaya, 8 Februari 2015

Wassalam,
LN

Kamis, 26 Juni 2014

PPPG Sebagai Penggerak Literasi

Ada Sirikit Syah, Satria Darma, Much. Khoiri dan Ahmad Wahju, mereka adalah dedengkot literasi. Pemilik Sirikit School of Writing, Eurika Academia, Jalindo, dan Indonesia Menulis.

Ada Anwar Djaelani, dialah motor Bina Qalam, yang selalu mengatakan, menulis itu jihad yang menyenangkan. Pegiat literasi yang lain, Eko Prasetyo, Suhartoko, Abdur Rohman, Eko Pamuji, hadir membaur di antara kerumunan para peserta PPG.

Buka mata, buka telinga, buka hati, buka akal pikiran, begitu kata Sirikit, supaya kita bisa menulis. Lihat orang-orang di sekitar kita. everyone has their own story. Gunakan waktu untuk mengamati, menemukan hal-hal yang menarik, dan tuliskan. Daripada main game dan FB-an.

Menulis itu gampang, kata Arswendo. Menulis itu sulit, kata Budi Darma. Bergantung apa yang kita tulis, kata Khoiri. Kalau kita menulis tentang perasaan kita, tentang kisah-kisah hidup kita, itu gampang. Lebih banyak pakai otak kanan. Tapi kalau kita menulis sesuatu yang harus dibatasi dengan aturan-aturan penulisan ini-itu, itu yang sulit. Lebih mengandalkan otak kiri. Menulis yang baik adalah menggunakan kedua belahan otak kita, kanan dan kiri. Dan itu, tentu saja, tiidak mudah. Perlu ketekunan, perlu keuletan, seringkali perlu pengeraman, untuk menghasilkan tulisan yang memuaskan.

Tulisan mampu menorehkan sejarah. Apa yang diperjuangkan dengan otot, seperti Negara Sparta, akan hilang dengan cepat. Apa yang diperjuangkan dengan tulisan, akan 'abadi', seperti tulisan para filsuf. Plato, Socrates, siapa yang tidak kenal? Mereka berjuang dengan tulisan. Dan mereka 'abadi'.

Iqra'. Bacalah. Maka ke mana-mana, bawalah buku, kata Satria Darma. Membaca itu perintah, bukan anjuran. Perintah Tuhan. Perintah yang jauh lebih tinggi daripada perintah Direktur PPG, lebih tinggi daripada perintah Rektor, lebih tinggi daripada perintah Mendiknas, bahkan Presiden sekali pun.

Urusan literasi bukan urusan seseorang, sebuah lembaga, atau urusan sektor tertentu. Urusan literasi menjadi urusan semua. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan semua pihak. Indonesia Menulis tidak hanya mengurus Jawa Timur, tapi di seluruh wilayah Indonesia. Di Papua, di NTT, di Sulawesi, mari kita membangun 'Indonesia Menulis'. Begitu kata Ahmad Wahju, yang telah menjalin sinergi dengan banyak pihak, lintas sektor, lintas daerah.

Ketika kita ceramah, berapa banyak orang yang akan mendengarkan? Tanya Sirikit. Berapa banyak orang yang akan memahami? Berapa banyak orang yang akan tetap mengingat? Dengan menulis, sekali kita menulis, tulisan itu akan dibaca orang berlipa-lipat kali lebih banyak, tulisan bisa disimpan, bisa diabadikan bertahun-tahun bahkan berabad-abad setelahnya. Jadi, mulailah menulis.

Ada banyak cerita selama mengikuti Program PPG. Ada cerita sedih, ada cerita suka. Air macet, menu makanan yang membosankan, workshop yang menjemukan, hanyalah sebagian cerita sedih. Dosen yang bersahabat, teman-teman yang baik, pengelola yang peduli, main musik, main futsal, adalah sedikit cerita yang menyenangkan. Kata Fafi Inayatillah--editor buku 'Pelangi di Panggung PPG'-- yang cantik itu, bagaimana pun, buku ini lebih banyak berisi cerita suka daripada cerita duka. Tulisan yang sangat beragam, menarik, meski harus diotak-otik agar lebih cantik.

Lain lagi dengan cerita tentang peserta SM-3T di Sumba Timur. Meski sudah ada 'Ibu Guru, Saya Ingin Membaca' dan 'Jangan Tinggalkan Kami', cerita tentang Sumba Timur seperti tak pernah habis. Betapa sulitnya mendapatkan air, sehingga seorang peserta harus mandi dan membersihkan diri dengan tisu basah. Betapa suka duka mengajar anak-anak yang tertinggal...betapa inginnya mewujudkan mimpi-mimpi mereka....semuanya terangkum dalam buku yang disunting Rukin Firda: 'Mimpiku, Mimpimu, Mimpi Kita.'

Hari ini adalah hari yang luar biasa. Ada lagu 'Kami Peduli', tari Bali, tari saman, dan tari Timor. Ada belasan pegiat literasi bertemu dalam sebuah dialog yang mencerahkan, menginspirasi, penuh semangat, dengan ratusan anak muda yang begitu antusias bertanya.

Mereka, anak-anak muda itu, akan menjadi tumpuan harapan pengembangan budaya literasi di PPG. Mereka calon guru yang akan menjadi guru-guru profesional yang cinta literasi. Mereka akan menularkan kecintaan itu pada anak didik. Mereka akan membuat setiap anak suka membaca dan menulis. Mereka akan mengubah statistik membaca yang menyebabkan Indonesia mengalamai tragedi nol buku.

Dan para pegiat literasi, yang telah membubuhkan tanda tangan di pigura pencanangan PPPG sebagai Penggerak Literasi, akan membantu mewujudkan mimpi itu. Mimpi ada panggung besar di PPG. Panggung yang tak pernah sepi menampilkan pertunjukan membaca, menulis, membedah, meluncurkan buku-buku. Panggung yang mampu menyedot penonton yang tidak hanya ingin menjadi penonton. Bersama-sama memainkan peran sebagai pejuang, membangun peradaban.

Para pegiat itu, merekalah ahlinya literasi. Terima kasih sudah sudi hadir, membagi inspirasi, menyemangati, membangkitkan mimpi.

Gedung Wiyata Mandala, PPPG, 26 Juni 2014

Wassalam,

LN  

Sabtu, 01 Maret 2014

Selamat Datang, Para Peserta PPG.....

Kamis, 27 Februari 2013, dilaksanakan acara pembukaan Program Pengenalan Akademik (PPA) Program Profesi Guru (PPG) Prajabatan SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Kegiatan secara resmi dibuka oleh Pembantu Rektor III (PD III) Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S. 

Dalam laporannya, Direktur PPPG Unesa, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd, menyampaikan bahwa jumlah peserta PPG angkatan kedua ini sebanyak 213 orang. Mereka berasal dari berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidkan (LPTK), meliputi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Nusa Cendana (Undana), Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Universitas Negeri Makasar (UNM), Universitas Negeri Gorontalo (UNG), universitas Syiah Kuala (Unsyiah), dan Universitas Mulawarman (Unmul). Para peserta tersebut terbagi dalam 9 program studi, meliputi: Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Bimbingan Konseling (BK), Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Pendidikan Sejarah, Pendidikan Kewarganegaan (PKn), Pendidikan Geografi, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (Penjaskes), dan Pendidikan Ekonomi.

Prof. Luthfiyah juga menyampaikan betapa pentingnya program PPG. Program ini merupakan tumpuan harapan terakhir LPTK sebagai lembaga pencetak tenaga pendidikan yang profesional. Berbagai upaya yang sudah dilakukan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru masih dianggap belum membuahkan hasil yang signifikan, dan hal tersebut menjadi salah satu tantangan berat LPTK. PPG diharapkan menjadi jawaban atas tantangan tersebut.

Sebagaimana diketahui, saat ini di seluruh Indonesia terdapat 415 LPTK. Sebanyak 12 LPTK eks IKIP negeri, 26 FKIP Negeri, 1 FKIP Universitas Terbuka (UT), dan selebihnya (376) adalah LPTK swasta. Masalah penjaminan mutu LPTK dan lulusannya menjadi tantangan tersendiri. 

Unesa secara resmi telah menyelenggarakan PPG angkatan kedua, sebagai salah satu LPTK, di antara 17 LPTK yang diberi kepercayaan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seluruh peserta akan menempuh PPG selama 1 semester (untuk PGSD) dan 2 semester (untuk program studi yang lain). Selama menempuh PPG, semua peserta diasramakan, dengan demikian kegiatan pengembangan kepribadian dan kompetensi tidak hanya di dalam kampus dan di sekolah mitra, tetapi juga dirancang sedemikian rupa, termasuk kehidupan di asrama. Bahkan kehidupan di asrama juga turut menentukan kelulusan peserta dalam mengikuti PPG. 

Kegiatan workshop PPG sepenuhnya dilaksanakan di Gedung PPPG (Gedung Wiyata Mandala). Kegiatan Praktek Pengenalan Lapangan (PPL) dan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) akan dilaksanakan di sekolah mitra. Dengan demikian, selain para dosen yang menjadi instruktur di kegiatan workshop, para guru pamong juga akan terlibat secara cukup intens. Dosen pengampu minimal harus berlatar belakang S2, dan salah satu latar belakang pendidikannya harus dari program studi kependidikan.  

Prof. Warsono, selain membuka acara dalam kapasitasnya mewakili Rektor Unesa, juga memberikan kuliah umum tentang guru profesional. Bahasannya menarik, menyangkut pendidik versus guru, karakter guru yang meliputi ikhlas, kasih sayang dan memiliki idealisme, serta kekayaan tak ternilai yang dimiliki oleh seorang guru. Beliau juga mengkaitkan berbagai praktek kependidikan dan tuntutan akan sosok guru di masa dulu, masa kini dan masa depan, dengan teori-teori belajar behavioristik, sosial, kognitif dan konstruktivis. Para tokoh Psikologi Pendidikan seperti Piaget, Vigotsky, Albert Bandura, dan Pavlov, menjadi sebagian rujukannya. Prof. Warsono juga menegaskan, tugas guru tidak sekadar melakukan transfer of knowledge, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantarkan peserta didik menjadi pebelajar yang mandiri. Metode pembelajaran harus mampu mengaktifkan peserta didik, dan guru lebih banyak menjadi fasilitator. Pembelajaran dengan 'paradigma adalah' harus segera ditinggalkan, dan lebih mendorong kepada peserta didik untuk menanya.  

PPA selain diisi dengan kuliah umum dari Prof. Warsono, juga dipenuhi dengan materi-materi penting seperti gambaran umum PPG Prajabatan SM-3T oleh Direktur PPG, sistem pembelajaran oleh Pembantu Direktur II (Dr. Suryanti), sistem penilaian oleh Pembantu Direktur I (Dr. Raden Sulaiman), etika dan estetika guru oleh Pembantu Rektor I (Prof. Dr. Kisyani, M.Hum), motivasi dan dinamika kelompok oleh Kepala Humas (Dr. Suyatno), dan juga kehidupan berasrama oleh pengelola asrama (Dra. Retno Lukitaningsih, M.Kons dan Drs. Soeprajitno, M.Pd). Materi tentang Kebijakan SOTK (Sistem Organisasi dan Tata Kelola) juga diberikan dengan pemateri dari Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Kegiatan dilaksanakan selama tiga hari, dan ditutup pada Sabtu, 1 Maret 2014.

Selamat datang, para peserta PPG. Selamat membangun ke-Indonesiaan, menimba ilmu, dan berjejaring di bumi Unesa, the 'growing with character campus'.

Surabaya, 1 Maret 2014

Wassalam,
LN

Sabtu, 08 Februari 2014

Saya Hanya Seorang Ibu

Saya memulai pagi ini dengan perasaan yang gundah gulana. Tidur saya semalam adalah tidur yang gelisah. Beban pikiran usai rapat penentuan kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T tadi malam membuat benak saya dipenuhi dengan kepedihan.

Tapi saya memacu pagi dengan semangat yang masih tersisa. Menghimpunnya untuk menerobos dinginnya Jakarta yang diliputi mendung pekat. Di bawah guyuran gerimis rapat, saya menumpang taksi menuju Cengkareng, meninggalkan Hotel Atlet Century. Pagi ini saya akan menumpang Garuda pulang menuju Surabaya. Mendung gelap dan gerimis pekat seperti mewakili suasana hati saya.

Begitu mendarat di Bandara Juanda, belasan SMS masuk ke ponsel saya. Sudah saya duga sebelumnya. Tadi malam, pengumuman kelulusan PPG Prajabatan Pasca SM-3T sudah diunggah di website SM-3T Dikti, dan pagi ini adalah reaksi para peserta PPG atas informasi itu.

Sejak tadi malam juga, saya sudah menginformasikan ke beberapa orang kunci PPG Unesa, pimpinan dan para peserta, bahwa ada 22 peserta yang dinyatakan belum lulus. Saya meminta kepada Pembantu Direktur I, Dr. Sulaiman, untuk mengundang 22 peserta tersebut bertemu saya di ruang Direktur PPG.

"Ibu..." Ini salah satu SMS. Tidak ada kalimat selanjutnya. Entah dari mana, karena yang terbaca di layar ponsel hanya nomor telepon. Saya tidak mungkin menyimpan nomor telepon seluruh peserta PPG dan SM-3T. Memori ponsel saya tidak mungkin cukup. Tapi kata "Ibu..." itu, meski hanya satu kata, serasa pisau yang menghunjam ulu hati saya. Saya membacanya bukan sebagai sebuah sapaan, tapi lebih sebagai erangan kesakitan. 

Sepanjang perjalanan dari Bandara Juanda menuju kampus, perasaan saya semakin pedih. Kesedihan seperti meningkat di setiap detik yang saya lalui. Sambil terus menghimpun kekuatan, saya membalas puluhan email itu satu per satu. Saya juga mengirim sebuah SMS yang khusus saya tujukan kepada semua peserta yang belum lulus.

"Teman-teman yang baik,
kalian yang BELUM LULUS, pasti sedih, kecewa, marah. Mohon tenangkan, endapkan kesedihan dan kekecewaan kalian. Jangan mengambil keputusan apa pun, jgn mengambil tindakan apa pun. Ini kesedihan dan kekecewaan kita semua, mari hadapi bersama-sama. Masih ada kesempatan utk kalian. Yakinlah TUHAN selalu mempunyai rencana yang indah utk menata perjalanan hidup kita. Yakin, tetap tenang, jaga kesabaran, jaga optimisme. Doa kami selalu utk kalian.... (Luthfiyah N)"

Mata saya nanar melihat keluar melalui kaca mobil. Wajah-wajah itu memenuhi pandangan saya. Wajah-wajah ceria mereka....yang saat ini pasti sedang bersedih dan berurai air mata. Pedih sekali perasaan saya membayangkannya.

Anak-anak itu, sudah menjadi bagian dalam hidup saya. Setidaknya selama satu sampai dua tahun saya bersama mereka. Hari-hari saya dipenuhi dengan suka duka, canda-tawa, kekonyolan, bahkan kejengkelan dan kemarahan mereka.
Saya mencintai mereka semua. Kebahagiaan saya untuk mereka yang berhasil lulus, seperti tertutup dengan  kenyataan yang harus saya terima, bahwa masih ada yang belum lulus. Sebanyak 22 dari 276 peserta. Sedih, kecewa, tapi inilah yang harus saya hadapi.

Sesampainya di Gedung W1, gedung PPG, saya langsung menuju lantai dua. Langkah kaki seperti menyeret diri ini memasuki lorong waktu. Flash back ke masa-masa ketika gedung ini masih porak poranda. Debu di mana-mana, mebeler kotor bertumpuk-tumpuk, material bangunan memenuhi setiap sudutnya. Lantas sejengkal demi sejengkal kami membersihkannya, menatanya, memberinya nyawa, menghidupkannya. Bersama anak-anak itu. Anak-anak yang setiap kali memasuki gedung ini harus mengenakan masker. Sampai akhirnya tibalah pada titik ini. Hampir semuanya sudah tertata rapi. Tapi mereka harus meninggalkan segala kenangan di gedung ini dengan segunung kekecewaan. Oh Tuhan....

Saya setengah berlari naik tangga menuju lantai dua. Sepi. Semua seperti menyiratkan duka. Bahkan kelengangan ini adalah lengang yang penuh duka. Saya memasuki ruangan PUMK, hanya menemukan Juliar.

"Di mana yang lain, Jul?"
"Mbak Evi ke Keuangan Ketintang, Andra tidak masuk, Prof."
"Jul...."
"Ya Prof?"
"Anak-anak tadi ke sini?"
"Ya Prof."
"Bagaimana keadaan mereka?"
"Satu pingsan, Prof. Beberapa mendesak minta tiket pulang hari ini. Katanya buat apa saya lama-lama di sini. Begitu, Prof."

Saya menelan ludah. Tenggorokan saya sakit. Dada saya sesak.

"Thanks, Jul..." Saya tinggalkan Juliar, bergegas menuju ruangan saya. Di ruangan yang besar dan sepi itu, saya terpekur, berdiri di dekat jendela, menatap keluar dengan hati kosong. Berkali-kali menghela nafas panjang. Mata saya basah. Tangis saya pecah. 

Anak-anak itu, setahun sudah mengabdikan diri mereka mengajar di daerah 3T. Dengan berbagai suka dukanya. Dalam kondisi serba terbatas, serba kekurangan, serba memprihatinkan. Meninggalkan kehidupannya yang menyenangkan, meninggalkan kehangatan keluarga, bahkan melepaskan kekasih tercinta. Demi sebuah perjuangan membangun Indonesia. Dalam wujudnya yang mungkin kecil, namun betapa dalam maknanya bagi anak-anak negeri di pelosok Bumi Pertiwi. Mereka bersakit-sakit, berdarah-darah, berjuang memberi warna indah pada negeri ini meski diri mereka sendiri harus beberapa kali jatuh dan terhempas-hempas, berdiri, berjuang lagi, jatuh, bangkit, begitu terus berulang. Sampai akhirnya kaki mereka menjadi kuat, jiwa mereka tegar, dan semangat mereka membara. Malaria, swanggi, nai, dicemooh, dihinakan, semua sudah mereka alami. 

Lantas, selama setahun pula mereka mengikuti Program PPG berasrama dan berbeasiswa. Mengisi hampir sepanjang waktunya dengan workshop, mengembangkan perangkat pembelajaran, peer teaching, microteaching, PPL, PTK, ujian kinerja, ujian tulis lokal, dan ujian tulis nasional. Kehidupan mereka di asrama dipantau dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Kedisiplinan mereka terbentuk, kesetiakawanan mereka terbangun, dan kejujuran, ketangguhan, kecerdasan mereka terasah. 

Tapi kenyataan yang terjadi saat ini seperti telah memporak-porandakan semuanya. Bangunan yang ditata bata demi bata itu ambruk. Keringat dan air mata yang menyertai kerja keras mereka seperti tak ada guna. Semuanya itu ternyata tidak menjamin mereka otomatis mendapatkan apa yang mereka mimpikan selama ini: selembar sertifikat.

Selembar sertifikat yang bernama sertifikat guru profesional. Sertifikat yang akan membuat mereka pulang kembali ke kampung halaman masing-masing dengan rasa bangga. Sertifikat yang akan mereka persembahkan pada ayah ibu, saudara, kerabat, kekasih tercinta. Hanya sekedar selembar kertas. Namun untuk selembar kertas itulah mereka rela melalui serangkaian proses panjang, selain demi memberikan sumbangsihnya, memajukan pembangunan pendidikan di ujung-ujung negeri.

Saya mengangkat ponsel. Menelepon beberapa peserta yang belum lulus, yang kebetulan nomornya saya simpan. Suara mereka parau. 
"Saya tidak lulus lagi, Bunda..." Suara di seberang begitu parau dan bergetar. 
"Ya....saya tahu...." Suara saya mungkin sama paraunya. "Tapi kamu harus sabar. Masih ada satu kesempatan lagi. Insyaallah kesempatan itu milik kamu."
Lantas saya panggil namanya.
"Kamu harus kuat ya. Saya ingin, kamu bisa menguatkan teman-teman yang lain."
"Iya, Bunda..."
"Nanti ketemu saya ya?"
"Insyaallah, Bunda."
"Sekarang kamu lagi ngapain?"
"Mau salat, Bunda..."
"Baik, ingat pesan saya ya? Kamu harus kuat, dan harus bisa menguatkan teman-teman yang lain. Sampai ketemu nanti jam satu ya?"
"Ya, Bunda." Suaranya semakin parau. "Terima kasih..."

Ada beberapa peserta yang saya telepon tapi tidak mau mengangkat. Ada juga yang nomornya tidak aktif. Sebagai gantinya, saya menerima SMS.

"Bunda ku yg sya hormati, btpa phitnya ku mengingat pengorbnan ku utk glar s.pd ku bu... Bahkn jdi pumulung dsaat ku kuliah sudah prnah sya lakukan apa lg bruh kuli dah mendarah dging bu. Mhn maf ku ga bisa trma tlpon."

Saya semakin merasa terluka. 

Saya juga menelepon beberapa peserta yang menjadi pengurus PPG. Kebetulan sebagian besar dari mereka lulus. Ternyata mereka sudah berniat untuk mendampingi teman-temannya tanpa saya minta. Mereka sedang berada di antara teman-teman yang kurang beruntung itu. Dan akan bersama-sama menemui saya pada pukul 13.00 nanti.
  
Saya mengambil air wudhu. Membenamkan diri saya dalam sujud yang dalam dan panjang. Membiarkan air mata meleleh membasahi sajadah. Saya merasa sangat rapuh. Saya tidak tahan melihat kesedihan anak-anak saya. Tapi saya harus menguatkan diri. Beberapa saat lagi anak-anak itu akan datang menemui saya. Tangis akan pecah di ruangan ini. Wajah-wajah yang biasanya ceria itu akan layu. Ungkapan kesedihan, kekecewaan dan kemarahan, pasti akan berhamburan.

Ya Allah, saya hanyalah seorang ibu. Saya hanyalah seorang ibu, yang sedang menghayati kepedihan dan kekecewaan hati anak-anak saya. Beri mereka ketabahan dan kekuatan. Mudahkan urusan mereka. Lapangkan jalan mereka untuk mencapai cita-cita luhur mereka... Mudahkan, ya Allah. Kuatkan mereka, Ya Tuhan.... 

Surabaya, 6 Februari 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 06 Februari 2014

Sertifikat Pendidik, Hanya soal Waktu

Setelah Ujian Tulis Nasional (UTN) PPG Prajabatan Pasca SM-3T angkatan I diselenggarakan pada 26 Januari 2014 yang lalu, ujian UTN ulang dilaksanakan pada 2 Februari 2014. UTN Ulang tersebut disediakan bagi para peserta yang belum lulus pada UTN I.

Selanjutnya pada Rabu, 5 Februari 2014, bertempat di Hotel Atlet Century Park Jakarta, diselenggarakan rapat penentuan kelulusan peserta PPG. Rapat dipimpin langsung oleh Direktur Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Diktendik) Dikti, Prof. Dr. Supriadi Rustad, dan dihadiri oleh seluruh Pembatu Rektor 1 (PR 1) LPTK penyelenggara PPG, serta Tim MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia).

Berdasarkan penilaian hasil UTN ulang, masih ada sebanyak 101 (dari 374 peserta) yang dinyatakan TIDAK LULUS, dan 303 (dari 2046 peserta) yang dinyatakan BELUM LULUS. Peserta yang TIDAK LULUS adalah peserta PPG PGSD-PAUD yang sudah diberikan dua kali kesempatan UTN ulang namun tidak lulus. Bagi mereka, sudah tidak ada lagi kesempatan untuk ujian ulang. Sedangkan peserta yang dinyatakan BELUM LULUS adalah peserta PPG nonPGSD-PAUD yang sudah menempuh satu kali ujian ulang, namun belum lulus. Mereka masih diberi kesempatan satu kali lagi untuk mengikuti UTN ulang, oleh sebab itu mereka dinyatakan BELUM LULUS.

Kenyataan bahwa ada sejumlah peserta PPG PGSD-PAUD yang tidak lulus, dan peserta PPG nonPGSD-PAUD yang belum lulus, tentulah merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Diskusi tentang penentuan kelulusan tersebut memakan waktu yang cukup panjang. Pertimbangan antara menjaga mutu dan aspek lain termasuk beban psikologis peserta yang tidak lulus, sikap dan kedisiplinan mereka selama mengikuti program SM-3T dan PPG, waktu dan tenaga yang sudah mereka dedikasikan selama menempuh kedua program tersebut, menjadi diskusi yang panjang. Apakah akhirnya nasib mereka harus ditentukan oleh hasil UTN 'saja'? Bagaimana dengan proses panjang yang sudah mereka alami sejak mengabdi dalam Program SM-3T dan selama mengikuti PPG? Apakah itu semua tidak perlu menjadi pertimbangan?

Sebagaimana diketahui, komponen penilaian peserta PPG Prajabatan Pasca SM-3T meliputi nilai workshop SSP (Subject Specific Paedagogy) yang di dalamnya termasuk nilai pengembangan perangkat pembelajaran, peer teaching/microteaching, nilai PPL termasuk seminar PTK, ujian kinerja, Ujian Tulis LPTK (UTL) dan Ujian Tulis Nasional (UTN), serta nilai kehidupan berasrama. Saringan pertama penentuan kelulusan adalah nilai UTN. Pada komponen ini, passing grade ditentukan 50. Semua peserta yang tidak mencapai skor 50, dinyatakan belum atau tidak lulus. 

Saringan kedua adalah nilai kelulusan (NK). NK merupakan nilai gabungan semua komponen di atas. NK tidak boleh kurang dari 70. Bila NK kurang dari 70, maka meskipun nilai UTN tinggi, yang bersangkutan tetap belum/tidak lulus.

Ada satu pendapat yang akhirnya menjadi kesepakatan dalam rapat penentuan kelulusan tersebut. Sebagai seorang guru, sikap dan kepribadian adalah penting. Namun kecerdasan atau penguasaan materi juga penting, dan menjadi syarat yang tidak boleh dilonggarkan dan tertutup oleh sikap dan kepribadian yang baik. Pendidikan bermutu memerlukan guru yang tidak hanya berkepribadian baik, namun juga guru yang menguasai materi pelajaran yang diampunya. Kedua hal tersebut adalah satu paket yang tidak bisa ditawar. Nilai UTN merupakan cerminan penguasaan materi, sehingga skor harus mencapai passing grade. Bayangkanlah seorang guru yang santun, disiplin, bertanggung jawab, namun dia tidak menguasai bidang studi yang diajarkannya, dan hanya bisa menampilkan perilaku-perilaku baik saja di depan kelas dan di depan siswa-siswanya. 

Penentuan passing grade 50 itu sendiri juga melalui diskusi yang panjang. Pertimbangan pertama adalah berdasarkan rata-rata hasil UTN peserta. Pertimbangan kedua, karena passing grade PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) adalah 48. Padahal diklat PLPG hanya dilaksanakan selama 10 hari. Sedangkan PPG dilaksanakan selama satu semester untuk PPG PGSD-PAUD atau dua semester untuk PPG nonPGSD-PAUD. Passing grade 50 tidaklah terlalu tinggi untuk sebuah program yang dikemas dalam bentuk PPG berasrama dan berbeasiswa tersebut.

Pada diskusi penentuan kelulusan tersebut, sempat juga terlontar pemikiran untuk menurunkan passing grade di bawah 50. Namun pemikiran itu banyak ditolak oleh peserta rapat, karena bila hal itu dilakukan, sama artinya dengan mengorbankan mutu. Pada akhirnya, keputusan tetap mengerucut pada hasil UTN dengan passing grade 50. 

Saat ini, PPG adalah benteng pertahanan terakhir LPTK untuk mengejar mutu, untuk menghasilkan guru yang profesional. Semua upaya yang sudah dilakukan termasuk sertifikasi dengan portofolio dan PLPG dinilai belum membuahkan hasil yang signifikan, kecuali hanya pada peningkatan kesejahteraan guru. Namun anggaran negara yang begitu besar yang telah diluncurkan untuk membayar tunjagan profesi pendidik (TPP) belum menunjukkan kemanfaatannya dalam meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan pada umumnya. Banyak pihak, termasuk kelompok elit, yang melontarkan ada 'something wrong' di LPTK. Hal tersebut harus menjadi kesadaran LPTK untuk lebih berorientasi pada mutu, karena pada dasarnya LPTK yang mustinya paling bertanggungjawab pada mutu pendidikan di Indonesia. 

Pada saat ini, di seluruh Indonesia terdapat 415 LPTK. Sebanyak 12 LPTK eks IKIP negeri, 26 FKIP negeri, 1 FKIP Universitas Terbuka (UT), dan selebihnya (376) adalah LPTK swasta. Tentu tidak mudah mengendalikan mutu LPTK sebanyak itu, dengan disparitas mutu SDM, sarpras, proses pembelajaran dan penilaian. Inilah salah satu tantangan terberat bagi penjaminan mutu LPTK saat ini.

Oleh karena begitu banyaknya LPTK, maka bisa dibayangkan betapa membludaknya lulusan yang dihasilkan setiap tahunnya. Sementara kebutuhan guru praktis hanya untuk mengganti guru yang pensiun serta untuk memenuhi kebutuhan guru pada unit sekolah baru (USB). Maka harus dipikirkan sebuah sistem untuk mengendalikan mutu lulusan LPTK. PPG menjadi pilihan yang terbaik saat ini. 

Ratusan peserta PPG Prajabatan Pasca SM-3T yang tidak lulus dan belum lulus saat ini pasti sedih, kecewa, dan mungkin marah. Itulah harga yang harus dibayar demi sebuah perjuangan. Namun apa yang sudah mereka alami selama sekitar dua tahun ini bukanlah sesuatu yang sia-sia. Mereka telah memberi warna pada pembangunan pendidikan di berbagai pelosok negeri. Mereka telah menyumbangkan ketulusan dan kecintaan pada anak-anak didik demi membangun ke-Indonesiaan mereka, membuka cakrawala dan membangkitkan mimpi-mimpi. Bila saat ini mereka belum berhasil memperoleh selembar sertifikat sebagai guru profesional, selama profesi guru tetap menjadi pilihan karir dan panggilan hati, perolehan sertifikat pendidik profesional hanyalah soal waktu. 

Surabaya, 6 Februari 2014

Wasalam,
LN