Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Luar Negeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Luar Negeri. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Oktober 2021

TKI dan Sky Priority


Beberapa hari yang lalu, saya bersama beberapa teman terbang ke Taiwan. Tujuannya untuk menjalin MoA dengan Yuntech University, sekaligus mengikuti conference di Natioan Formosa University. Kami berangkat bersama para TKI. Ada 200 orang lebih TKI yang bersama kami, begitulah kata petugas Bandara Juanda waktu kami mau masuk ke ruang tunggu.

 

Tiba di Taiwan, kami disambut oleh beberapa petugas. "TKI this line, TKI this line". Begitu teriakan mereka sambil menunjuk-nunjuk saya dan rombongan TKI. Tentu saja saya tidak menuruti kata petugas dan mengambil jalur lurus. Petugas itu mbatek saja melambai-lambai ke saya sampai akhirnya saya bilang, "we are not TKI."

 

Selama berada di Taiwan, terutama di tempat-tempat wisata. kami sering bertemu TKW yang sedang membawa induk semangnya, pada umumnya manula, berjalan-jalan dengan kursi roda. Beberapa manula ada yang sakit, terlihat dari selang menempel di hidungnya atau dari wajah yang pucat tak bercahaya. Sebaliknya para TKW yang mendorong para manula itu nampak behagia dan selalu melempar senyum setiap kali mata kami beradu. Penampilan mereka bersih, modis, sebagian besar berjilbab.

 

Pulangnya, kami juga berbarengan dengan para TKI, namun jumlah mereka tidak sebanyak waktu berangkat. Mereka bertanya, apakah kami sedang mengambil cuti, kapan balik Taiwan, bekerja di rumah tangga apa di pabrik....

 

Kebetulan saya punya kartu member Garuda GFF yang sky priority. Saat transit di Singapore, menjelang boarding, seorang petugas meneriaki saya supaya saya pindah ke antrian panjang di sisi kanan saya. "He he he...". Begitu teriakannya. Sikapnya kasar. Begitu dia mendekat, saya tunjukkan boarding pass saya. "I'm sky priority." Dia melihat boarding pass saya dan tanpa meminta maaf dia hanya bilang, "oh, okay okay." Saya menunjuk dua teman di belakang saya. "We are three." Dia membiarkan kami bertiga melenggang.

 

Oya, sebelumnya, menjelang check in di Taiwan, saat kami mendekati counter, seorang petugas bilang kalau belum saatnya check in. Kami harus check in pukul 12.00. Saat itu masih pukul 10.30-an. Waktu saya bertanya, "how about sky priority member?" dia mempersilahkan kami bertiga untuk check in.

 

Saya jadi ingat pengalaman saya pada akhir 2018. Di Bandara Schipol, Amsterdam, waktu saya dan bu Sri Handajani mau terbang ke Austria, saya berdiri mengantri di depan counter check in khusus untuk penumpang kelas business dan platinum. Seorang petugas tinggi besar menghampiri saya. "I'm sorry, madam, would you mind showing me your member card?" Saya tunjukkan kartu GFF saya dan dia mengembalikannya setelah memeriksa sebentar. "Sorry for this unconvenience.... I just to make sure...." "Okay, no problem." Tukas saya sambil melempar senyum karena dia telah bersikap sopan.

 

Pada kondisi tertentu, mungkin potongan saya layak diragukan sebagai pemegang kartu platinum. Bersama para TKW, saya adalah mereka karena mereka semua memang saudara saya. Meskipun begitu, seharusnya para petugas itu tetap bersikap sopan dan tidak berteriak-teriak seolah kami tuli. Sudah begitu, tidak mau meminta maaf lagi.

 

Di pesawat, setelah saya diteriaki petugas itu, seorang pramugari menghampiri saya sambil membawa secarik kertas. "Mrs Nur...." Dia kesulitan mengeja nama saya. "Nurlaela", sahut saya. "Yes. I just want to greeting you, welcome on board...." "Ya?" Sahut saya heran. "You're a member of Garuda Airlines, so if you need any help, don't hesitate....." Dia tersenyum sopan. Oh, rupanya ini cara mereka meminta maaf.

 

Begitulah.  Sedikit kisah yang menyentuh hati. Hahah.

 

10 Oktober 2019

Sabtu, 05 Oktober 2019

Mengepakkan Sayap ke Taiwan


Rabu, 2 Oktober 2019, Tim PPs Unesa berkunjung ke National Yunlin University of Science and Technology (Yuntech), Taiwan. Tim terdiri dari: Wakil Direktur 2, Prof. Dr. Suparji, M.Pd; Kaprodi S3 Pendidikan Vokasi, Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela, M.Pd; dan Tsuroya, SS., MA, staf International Office of Unesa. Dua lagi anggota tim adalah: Dr. Mutimmatul Faidah, M.Ag dan Drs. Bhiwara Pracihara Sakti, M.Sn. Yang pertama adalah dosen jurusan PKK-FT Unesa dan Ketua Pusat Kajian Gender Unesa, sedangkan yang kedua adalah mahasiswa S3 Pendidikan Vokasi angkatan 2018. 
Keduanya mengikuti konferensi internasional IEEE-ECICE 2019 yang diselenggarakan di National Formosa University, Yunlin, Taiwan, pada 3-6 Oktober 2019. Satu lagi dalam rombongan tim adalah Indarti, S.Pd., M.Sn, dosen Jurusan PKK, yang saat ini sebagai mahasiswa doktoral pada Program Creative Art di Yuntech, Taiwan. Dia sekaligus sebagai mediator antara Unesa dengan Yuntech dalam menjajagi dan merealisasikan kerja sama tersebut.

Pagi itu, tim Unesa diterima dan disambut hangat oleh staf International Office of Yuntech, yaitu Prof. Huang, Ya-Ling. Dilanjutkan dengan pertemuan di meeting room bersama Dekan dari College of Humanities and Applied Science; Ketua program Graduate School of Vocational and Technical; Direktur dari The Center of General Education; Dekan dari College of Design; dan beberapa pejabat yang lain.

Pembicaraan tentang rencana kerja sama berjalan sangat lancar dan menyenangkan. Pihak Yuntech menyambut sangat antusias kerja sama tersebut. Kebetulan antara Unesa dan Yuntech sudah memiliki MoU. Hal ini menjadi faktor pendukung penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA). Naskah MoA yang sudah dikirimkan oleh staf International Office of Unesa beberapa hari sebelumnya, bahkan sudah mereka persiapkan dalam keadaan siap ditandatangani. Jadilah hari itu, penandatanganan naskah dilakukan antara pihak Unesa (Direktur Program Pascasarjana Unesa dan Kaprodi S3 Pendidikan Vokasi serta Dekan College of Humanities and Applied Science (Prof. WU, Ming-Chang).

Realisasi MoA tersebut direncanakan pada awal tahun 2020. Kerja sama meliputi kegiatan visiting lecturer, joint publication, dan collaboratrive research. Kegiatan ini akan melibatkan pengelola dan dosen-dosen dari Program Studi S3 Pendidikan Vokasi serta pengelola dan dosen-dosen dari Graduate School of Vocational and Technical, Yuntech, Taiwan.

Satu langkah nyata telah ditempuh untuk membangun jejaring. Segera akan disusul langkah-langkah berikutnya untuk mengembangkan sayap Program Studi S3 Pendidikan Vokasi. LN

Jumat, 14 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 4: KE BELANDA


Seperti mimpi, tiba-tiba kami sudah di Amsterdam. Bersama bu Sri Handajani, selepas konferensi sore tadi, kami langsung menumpang Uber menuju Vienna International Airport. Lantas pada sekitar pukul 20.30, kami menumpang pesawat easyJet menuju Amsterdam. Dua jam perjalanan kami tempuh nyaris dengan tidur pulas. Kelelahan setelah beraktifitas seharian, serta efek jetlag yang tak juga pergi, membuat kami benar-benar menikmati penerbangan ke Amsterdam dengan sangat nyaman. Saat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam, sekitar pukul 22.30, kondisi kami sudah jauh lebih segar.
Rob Van Erven, sahabat keluarga kami, yang menjadi alasan saya mengunjungi Belanda, sudah menunggu di depan pintu keluar bandara. Senang luar biasa rasanya hati saya bertemu Rob. Rob adalah teman kerja Mas Ayik, suami saya, di PT. Jacob. Dia konsultan di perusahaan tersebut. Sekitar setahun yang lalu, kontrak kerja dia selesai. Selama bekerja di Surabaya, keluarga kami adalah keluarganya. Dia memanggil ‘Ibu’ pada ibu kami. Bersepeda, camping, travelling, selalu bersama kami. Dia juga menjadi guru anak-anak yang belajar di rumah kami setiap malam. Bahkan dalam kondisi hujan pun, dia datang untuk menemui anak-anak. Saat Arga dan Lita menikah, dia juga menunggui di Ponorogo mulai dari persiapan dan ijab qabul di masjid. Oh ya, ke mana-mana, selama di Surabaya, Rob selalu bersepeda. Sepeda yang digunakannya juga sepeda kami. Sering sekali tiba-tiba dia datang di rumah pada minggu pagi, dan menikmati makan pagi bersama kami. Pernah juga suatu ketika, saat keluarga besarnya dari Belanda datang ke Surabaya, mereka semua berkumpul di rumah kami untuk menikmati makan malam. Pendek kata, Rob sudah menjadi bagian dari keluarga kami.
Sehari sebelum saya berangkat ke Vienna, Rob tiba-tiba menyapa saya. “Hi Luth, how is everything with you and Baskoro?” Lantas kami berbincang, dan saya juga katakan bahwa saya akan ke Vienna untuk mengikuti konferensi. “It’s close to us. One hour fly.” Katanya. Lantas saya katakan kalau sebenarnya saya ingin ke Belanda tapi tidak tahu bagaimana caranya. “Ok, I will see what I can do.”
Dengan bantuan Rob, akhirnya kami memperoleh tiket pesawat dari Vienna ke Amsterdam dan sebaliknya. Dengan harga tiket sekitar enam juta rupiah atau 334€. Tapi Rob bilang, “you do not need  to pay the ticket, you are part of our family.” O o….seperti mendapatkan durian runtuh lagi rasanya. Saya memaksa untuk membayar tiket dan Rob tetap menolak. Allah memang Maha Pemurah. Mimpi mengunjungi Negeri Kincir Angin tiba-tiba terwujud. Gratis lagi.
Perjalanan dari Schipol Airport di Amsterdam menuju Tilburg, kota tempat tinggal Rob, memerlukan waktu sekitar satu jam. Rob menyetir, saya duduk di sebelahnya, dan Bu Yani duduk di jok belakang. Tidur pulas lagi. Saya yang sudah mulai sangat mengantuk lagi, harus bertahan untuk menemani Rob membelah malam yang dingin dan sepi. Kami membincang apa saja, tentang keluarga, anak-anak, dan juga meninggalnya ibu kami. Nampak sekali betapa Rob sangat merindukan Indonesia, makanannya, dan orang-orangnya. Dia ingin suatu ketika bisa kembali.
Kami diinapkan di rumah Mom Ans, ibunya Rob. Seorang wanita 77 tahun yang masih cantik, sehat, yang saat kami datang, beliau sedang duduk di depan televisi sendirian. Mom Ans tinggal sendiri di rumah yang sangat nyaman sanyaman villa itu. Rumah Rob tidak terlalu jauh dari rumah Mom Ans. Dengan sepenuh hati Mom Ans memeluk saya, seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu putrinya. Begitu juga dengan Bu Yani, dipeluknya dengan sepenuh hati, meski ini pertama kali bertemu. Mom Ans memang pernah berkunjung ke rumah keluarga kami, sehingga dia merasa sangat dekat dengan saya. Dia bertanya tentang Mas Ayik, Arga, Lita, Ibu. Dia menawari kami minuman hangat dan memastikan kami sudah makan malam. Saya sendiri mengeluarkan oleh-oleh yang saya bawa, salah satunya adalah lenan rumah tangga karya siswa SMKN 3 Magelang. Mom Ans dan Rob senang sekali dan merasa surprised dengan oleh-oleh itu. Kami juga membawakan Rob kering kentang dan kering tempe serta sambal pecel kesukaannya. Rob jatuh cinta pada makanan Indonesia, dan dia senang sekali kami membawakannya makanan Indonesia meski hanya sedikit.
Malam itu kami pulas sekali tidur di kamar yang nyaman, di lantai dua. Begitu pulasnya sehingga kami bangun kesiangan esok harinya, sekitar pukul 07.00. Terpaksa mengqadha shalat shubuh. Dari jendela kamar, kami bisa melihat meja makan di lantai bawah yang sudah dipenuhi dengan berbagai makanan untuk breakfast. Wow. Mom Ans psti bangun pagi sekali untuk menyiapkan semuanya. Dan menariknya, Mom Ans sudah memasang lenan oleh-oleh saya menghiasi meja makan yang besar itu.
Kami menikmati makan pagi dengan menu ala Belanda. Bersama Rob, Margot (isteri Rob), dua anak gadis Rob (Sam dan Pip), dan tentu saja, Mom Ans. Sejak awal saya sudah berpesan pada Rob untuk tidak menyediakan makan berbahan ayam dan daging. Saya memesan hidangan dari sayuran, telur dan ikan saja. Dan benar. Di antara gundukan roti, beberapa jenis ikan tersaji. Tapi jangan bayangkan ikan goreng atau bakar. Apa lagi pepes atau penyet. O tidak. Yang kami temukan adalah ikan-ikan yang berbentuk lembaran, penampilannya seperti ikan mentah, namun sebenarnya dia sudah diasap. Saya sering menemukan ikan semacam itu di hotel-hotel di Indonesia, biasanya disajikan di antara salad dan hidangan appetizer yang lain. Saya sama sekali belum pernah menyentuhnya. Tidak tertarik. Tapi saat ini, saya harus konsekuen. Demi menghormati Mom Ans dan keluarga Rob, saya mengambil lembaran ikan itu, meletakkannya di antara roti keras yang sudah saya belah bagian tengahnya, dan mengunyahnya dengan nikmat.
Hari ini agenda kami adalah mengunjungi Velondam. Volendam adalah sebuah kota di Belanda Utara, 20 kilometer di utara Amsterdam. Kadang-kadang disebut "the pearl of the Zuiderzee" atau “mutiara dari Zuiderzee". Tempat ini merupakan tujuan wisata yang sangat populer. Lokasinya yang agak terpencil dan karakter penghuninya telah memberi Volendam suasana yang sangat spesifik. Tempat ini dulunya adalah daerah kantung Roma-Katolik di wilayah yang sebagian besar beragama Protestan. Dialek yang diucapkan di Volendam sangat khusus dan sulit dipahami bagi penutur bahasa Belanda standar. Volendam merupakan desa nelayan, dan meskipun sejak penutupan Zuiderzee pada tahun 1932 industri perikanan tidak seperti biasanya, kawasan pelabuhan yang ramai dengan banyak perahunya masih menjadi daya tarik utama. Dari tahun 1880-an, Volendam adalah tempat yang populer bagi para seniman. Tidak hanya musik, tapi juga karya lukisan dan karya seni lainnya.
Kostum tradisional Volendam adalah salah satu contoh pakaian kuno terkenal (klederdracht) di Belanda. Hanya segelintir orang memakainya dalam kehidupan sehari-hari mereka saat ini, tetapi karena penduduk setempat telah menyadari nilainya untuk pariwisata, mereka terus melestarikannya. Volendam juga terkenal dengan penyanyi dan musisi. Ada adegan musik Belanda yang berbasis di Volendam, yang menghasilkan gaya musik yang dikenal sebagai musik populer, dan beberapa penyanyi Belanda yang paling populer berasal dari kota ini.
Kami menikmati pantai, melihat proses pembuatan sepatu kayu khas Belanda, menimati coklat ‘hand-made’, menikmati keju, dan tentu saja, budaya Belanda. Rob, Margot, dan Sam bersama kami. Udara dingin luar biasa dan kami semua bermantel tebal, lengkap dengan sarung tangan dan penutup kepala. Beberapa kali kami harus singgah ke café hanya sekadar untuk menghangatkan tubuh sambil minum coklat panas. Kami juga berfoto bersama dengan busana khas Belanda. Beberapa hidangan khas Belanda juga kami nikmati sambil mengusir dingin. Rob sekeluarga sepertinya ingin pengalaman hari ini menjadi sesuatu yang sangat berkesan bagi kami.
Namun hari begitu cepatnya berlalu. Tiba-tiba saja temaram sudah datang meski waktu masih menunjukkan sekitar pukul 16.00. Kami harus mengakhiri eksplorasi Velondam. Kami akan mencari restaurant halal food dalam perjalanan menuju Bandara Schipol. Saya dan Bu Yani akan kembali terbang ke Vienna dengan menumpang KLM pada pukul 20.30 nanti. Benar-benar seperti mimpi….
Esok pagi, kami harus sudah kembali ke Tanah Air. Membawa pulang pengalaman berharga. Membawa pulang harapan-harapan untuk pengembangan diri dan institusi. Untuk terus meningkatkan keilmuan dan networking. Semoga bisa terwujud dan memberi makna.
Belanda, 1 November 2018

Selasa, 04 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 3: EDUCATION 4.0

Tibalah hari ini, yang sesungguhnya menjadi alasan kami datang ke Vienna. Menjadi peserta sekaligus penyaji makalah pada konferensi internasional pendidikan. Acara konferensi digelar di University College for Agrarian and Environmental Pedagogy, alamatnya di Angermayergasse 1, 1130 Vienna, Austria. Sebenarnya tidak terlalu jauh dari apartemen kami. Tapi dengan kondisi udara yang minus 3 derajat Celcius, no way, kami lebih memilih naik uber. Hanya perlu ongkos 9€ dan kami aman dari terpaan cuaca dingin yang begitu ramah tapi membekukan.
Kegiatan ini merupakan kerja bareng antara Erasmus, ProfEsus, dan empat organisasi yang lain. Salah satunya adalah IFHE (International Federation of Home Economics). Kami berempat menjadi bagian dari IFHE ini, sebagai member. Peserta yang lain adalah para guru, kepala sekolah, dosen, peneliti, dan pengamat pendidikan, yang datang dari 23 negara. Keren. Kegiatan yang hanya diikuti tidak lebih dari 100 orang ini, mampu menyedot peserta dari 23 negara. Semuanya berkulit putih, kecuali kami berempat dan tiga teman kami dari Zambia. Tapi wajah-wajah Asia bertebaran, begitu juga wajah Timur Tengah dan India. Kehadiran kami semua ditandai dengan 23 bendera kecil yang berjajar di bagian depan ruang konferensi.
Konferensi dibuka oleh rektor, yang menyampaikan welcome speech-nya dalam Bahasa Jerman. Sebagian besar narasumber berbicara dalam Bahasa Jerman, dan sebagian besar dari kami para peserta menggunakan translater dengan pilihan Bahasa Inggris dan Jerman. Acara demi acara disusun dengan begitu apik dan efisien. Sejak kami datang, kami disambut oleh panitia yang membantu kami melepaskan mantel, memandu menandatangani daftar hadir, dan menunjukkan di mana ruang konferensi, di mana toilet, di mana ruang break. Ajaibnya, mereka yang kami kira panitia itu ternyata sekaligus menjadi orang-orang penting, termasuk para narasumber. Anne Fox, yang menjaga dan membagikan translater, bahkan pemilik perusahaan pelatihan dan konsultan pendidikan yang berkedudukan di Denmark.  Sini Temiseva, dari Laurea University of Applied Science, Finland, salah satu orang kunci “Laurea” yang menjadi salah satu supporter konferensi ini, adalah orang yang menjaga daftar hadir.  Anne Lauveberg, salah satu perwakilan penting dari IFHE, sibuk mengantarkan mikrofon pada para penanya, dan menggeser-geser flip-chart di depan. Luar biasa efisiennya mereka. Saya bayangkan orang-orang itu adalah dekan, ketua lembaga, direktur, kalau di Indonesia. Namun saya tidak bisa membayangkan orang-orang penting di Tanah Air itu akan mau melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti mereka.
Hari pertama kami diskusi tentang “Education in the Anthropocene”. Kata kuncinya adalah “climate change cannot be negotiated - a new “green deal” for sustainable development”. Prof. Dr. Kai NIEBERT, Professor for Science and Sustainability Education, University Zürich, Switzerland, menyajikan topik tersebut dengan sangat menarik. Anthropocene sendiri dimaknai sebagai periode waktu di mana aktivitas manusia memiliki dampak lingkungan terhadap bumi yang dianggap sebagai usia geologis yang berbeda. Sebagian besar ilmuwan setuju bahwa tangan manusia telah mempengaruhi pemanasan iklim bumi sejak revolusi industri - beberapa bahkan berpendapat bahwa kita hidup dalam zaman geologi baru, dijuluki Anthropocene. Dampak kemanusiaan di bumi sekarang sangat besar. Tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang utama adalah menjadikan dunia yang lebih hijau, sehat dan lebih setara pada tahun 2030. Prof. Kai Niebert dalam presentasinya mengeksplorasi pertanyaan bagaimana pendidikan bisa menghadapi tantangan Anthropocene. Jawaban kritisnya adalah pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan serta peluang dan hasil penelitian di bidang didaktik.
Tidak kalah menariknya adalah topik tentang “Pedagogy for Sustainable Development”, dengan kata kunci “empowering learners for transformation processes in every-day life, in businesses and in social communities”. Penyajinya adalah Prof. David SELBY, founding director of sustainability frontiers and adjunct professor at Mountain Saint Vincent University, Halifax, Canada. Prof David Selby melihat 'sindrom multi-krisis' yang dihadapi dunia, sebelum mempertanyakan apakah pendidikan keberlanjutan saat ini menawarkan respon yang cukup transformatif (memberdayakan, transgresif dan restoratif). Dia akan terus mengusulkan kurikulum dan pedagogi tersebut untuk memperdalam dan memperluas apa yang kita pelajari, bagaimana kita belajar, dan apa yang kita lakukan dengan pembelajaran kita.
Ada 4 topik yang lain, satu diantaranya disampaikan oleh Prof. Johanna MICHENTHALER, dari University College for Agricultural and Environmental Education. Topik tersebut adalah “Elements of the international ProfESus course: Discovering a Sustainable Mindset - in future-thinking professionals“. Johanna mengungkapkan, “Pembelajarn dan penelitian saya berfokus pada nutrisi dan teknologi pangan, ilmu kesejahteraan keluarga, green pedagogy, subjek didaktik dan pengembangan sekolah. Sejak Oktober 2016 Johanna adalah ketua proyek Erasmus + internasional “ProfESus” dengan topik “Focus on Sustainability – Education for Professionals in Household and guest-oriented Businesses. Sebagai bagian dari Proyek Uni Eropa ProfESus, konsep pelatihan guru internasional telah dikembangkan dan diuji dalam 2 tahun terakhir. Kursus pembelajaran terpadu ini, yang dikembangkan sebagai praktik terbaik, contoh untuk "Transformative Sustainable Learning", disajikan secara rinci selama konferensi tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, pantaslah kalau peserta konferensi ini adalah dominan guru dan kepala sekolah.
Johanna sepertinya menjadi pemeran kunci pada konferensi ini, karena dia tampil hampir sepanjang waktu, termasuk menjadi moderator dan fasilitator dalam setiap diskusi. Mungkin karena dia adalah nyonya rumah, dan sekaligus sebagai Ketua ProFesus Project.
 Oh ya, satu topik lagi yang sangat menarik di hari pertama ini adalah “Learning, to design the future, The didactic concept of Green Pedagogy and the use in vocational education”. Topik ini disampaikan oleh Prof. Wilhelm LINDER, dari University College for Agricultural and Environmental Education. Konsep didaktik dari green pedagogy digunakan dalam pendidikan kejuruan untuk pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek kunci di masa depan akan menjadi cara berpikir inovatif. Tetapi kompetensi apa yang dibutuhkan dan bagaimana hal ini bisa dikembangkan? Green pedagogy mencari jawaban bagaimana mengembangkan dan mengevaluasi pembelajaran.  
Kami mengikuti konferensi selama dua hari, mulai dari pukul 09.00-17.00. Beberapa variasi interaksi digunakan dalam konferensi, seperti diskusi kelompok, brainstorming, dan focus group discussion. Hari terakhir, kami dibagi dalam grup-grup, dan grup tersebut mengelompok sesuai dengan bahasa yang digunakan. Tentu saja pilihannya hanya dua, Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman. Setiap kelompok mendapatkan semacam worksheet yang dikemas dalam bentuk studi kasus dan pemecahan masalah. Setelah itu setiap wakil kelompok menyampaikan hasil diskusinya dan peserta saling menanggapi. Benar-benar bernas dan mencerahkan.
Satu lagi yang menarik, tentu saja, konsumsinya. Bukan karena ragam makanannya, bukan, karena makanannya bagi saya tidak terlalu bervariasi. Juga bukan karena kelezatannya, karena bagi kami, makanan yang disajikan sama sekali jauh dari lezat menurut selera kami. Namun proses pengolahan dan penyajiannya yang dilakukan oleh siswa-siswa SMK. Para siswa itu mengenalkan makanan yang disajikannya di depan para peserta konferensi sebelum acara break. Guru mereka mendampingi, dan membantu meyakinkan pada peserta konferensi bahwa makanan yang disajikan adalah aman, dan tentu saja lezat. Saya teringat mahasiswa kami kalau lagi melaksanakan gelar karya boga. Seperti itu jugalah yang mereka lakukan. Mempromosikan makanan kreasi mereka sebelum dilakukan penilaian oleh juri dan dilihat serta dicicipi para pengunjung. Untuk hal ini, kita sepertinya jauh lebih keren deh.

Wien, 29 November 2018

Senin, 03 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 2: SCHONBRUNN PALACE

Kami mempunyai libur sehari sebelum kegiatan besok. Seharusnya kami gunakan untuk beristirahat, memulihkan kondisi setelah perjalanan jauh dan terserang jetlag. Namun tentu saja kami tidak ingin melewatkan waktu yang sempit ini hanya untuk tidur-tiduran dan menikmati kehangatan apartemen.
Hari ini, suhu Vienna pada posisi nol derajat Celcius. Salju tipis menutupi halaman, ujung-ujung daun, jalan-jalan. Usai menyantap sarapan, kami berempat bergegas menuju Spar Gourmet, tempat pertemuan kami dengan Bu Ira. Bu Ira yang manis dan baik hati itu sudah membawakan kami empat tiket untuk bepergian sehari ini, masing-masing seharga 8€. Bepergian di Vienna, sebagaimana di negara-negara maju yang lain, dengan menumpang transportasi publik, sangatlah murah dan nyaman. Bus dan train tersedia ke jurusan mana pun dan dengan jadwal yang sangat tepat.
Tujuan pertama kami adalah Schonbrunn Palace. Istana Schönbrunn (Jerman: Schloss Schönbrunn [ʃøːnˈbʁʊn]) adalah kediaman musim panas utama milik penguasa Habsburg, terletak di Hietzing. Istana Baroque seluas 1.441 kamar adalah salah satu monumen arsitektur, budaya, dan sejarah yang paling penting di negara ini. Sejak pertengahan 1950-an, bangunan itu telah menjadi daya tarik wisata utama. Sejarah istana dan kebunnya yang luas membentang lebih dari 300 tahun, mencerminkan selera, minat, dan aspirasi raja-raja Habsburg.
Tak heran jika ribuan orang tumpah di tempat wisata yang sangat mengagumkan ini. Kami menikmati taman labirin yang pohon-pohonnya meranggas, hamparan taman bunga yang tertutup salju, sambil membayangkan betapa hijau dan berwarnanya jika musim telah berganti. Bukit yang berada di ujung halaman belakang istana, dan kolam yang biru sekali dengan puluhan angsa yang sedang berenang. Beningnya air memantulkan patung-patung di tepian kolam dan kerimbunan pepohonan. Dari kejauhan, gedung istana yang luas dan panjang nampak begitu kokoh dan anggun. Subhanallah. Indahnya tak terkatakan. Meski suhu begitu membekukan, namun kekaguman kami pada keindahan yang membentang di depan mata seolah tak mampu menyurutkan kaki kami untuk segera menjauh.
Namun kami harus menghemat waktu. Hari begitu cepat berjalan. Tujuan kami selanjutnya adalah wisata belanja. Bu Ira membawa kami ke sebuah tempat belanja bernama Stephanplatz, sebuah tempat yang sungguh menyenangkan. Mau beli apa saja ayuk. Coklat, gantungan kunci, magnet-magnet untuk kulkas, apa saja, ada, dan harganya, tentu saja, tidak usah dicek dalam rupiah. Bisa-bisa tidak jadi beli apa pun. Jadi belanja sajalah. Rileks sajalah. Yang penting tidak menangis habis belanja karena kehabisan uang.
Belum puas sebenarnya kami di Stephanplatz, namun masih ada satu tempat yang wajib kami kunjungi. Sebenarnya bukan kami, lebih tepatnya, saya. Ya, karena ini urusannya dengan pesanan Arga, anak saya. Dia meminta saya membelikan casing cello. Coba, pinternya anak zaman now ‘ngerjain’ emaknya. Nah, meski yang punya kepentingan hanya saya, namun karena kami tak mungkin terpisah pada saat ini (kecuali kalau mau ‘get lost’), kami pun menumpang kereta ke arah Modling. Ke sebuah toko musik bernama ‘Vienna Viollin & Accessories’. Ternyata letak toko sudah di luar kota, sudah di luar jangkauan tiket kami. Jadi saat pulang, kami harus beli tiket lagi sebesar 11€ untuk berlima.
Untungnya, toko musik itu lokasinya persis di depan stasiun kereta. Hanya dengan menyeberang jalan, kami sudah mencapainya. Tampak depannya persis seperti gambar di web yang dikirim Arga. Seorang wanita setengah baya yang begitu elegan menyambut kami dan bertanya ramah “can I help you?”. Saya langsung to the point. Menanyakan casing cello yang dia punya, dan berapa harganya. Lantas seorang laki-laki, rupanya dia yang lebih paham tetang per-casing-an dan per-cello-an, membantu saya memilih casing cello impian Arga. Tak mau repot, saya telepon Arga, dan saya minta dia bicara langsung dengan pemilik toko. Sambil menunjukkan macam-macam casing cello dengan video call, Arga akhirnya menjatuhkan pilihan pada salah satu casing berwarna pastel dengan aksen hitam. Murah, kata Arga. Hanya sekitar 3,5 juta rupiah. Di Indonesia, kata Arga lagi, sekitar 5 juta rupiah. Oke. Selisih sekitar 1,5 juta rupiah, dan saya harus menenteng casing cello itu dari Modling ke apartemen kami. Tentu saja naik kereta. Untung di Vienna. Syah-syah saja orang tua seperti saya menenteng alat musik meski hanya casing-nya. Bukankah Vienna kota musik? Hiks. Menghibur diri.
Siang di Vienna terasa begitu cepat. Jam 16.00-an hari sudah mulai gelap. Maghrib sekitar pukul 16.30. Shubuh sekitar pukul 05.30. Kegiatan pagi umumnya dimulai pukul 09.00 atau 08.30, saat hari sudah mulai terang. Hanya sekitar enam sampai tujuh jam kami menikmati terang. Selebihnya temaram dan gelap. Dan dalam temaram lampu-lampu kota yang sudah mulai menyala, kami menikmati Vienna yang semakin cantik jelita. Pulang kembali ke peraduan.

Wien, 28 November 2018

Sabtu, 01 Desember 2018

MENGUNJUNGI EROPA 1: WELCOME TO VIENNA

Nama kegiatan ini adalah International Education Conference 2018. Dengan tema “enabling-provocation-reflection. Education 4.0-Promotion of Sustainable Development through Innovative Teaching”. Tema yang menarik dan aktual. Konferensi pendidikan, dengan kata kunci education-4.0, yang semua orang pada saat ini sedang membincangkannya. Ditambah dengan “suntainable development dan innovative teaching’, lengkaplah. Kalau ini makanan, sepertinya ini makanan yang mengandung semua unsur nutrisi untuk diet sehat. Tidak hanya sehat, tapi juga lezat.
Saya menerima informasi tentang kegiatan ini melalui email. Sebagai anggota dari International Federation of Home Economics (IFHE), saya selalu menerima informasi apa pun terkait dengan kegiatan IFHE. Baik kegiatan yang dilaksanakan secara periodik maupun kegiatan insidental. Juga newsletter yang diterbitkan setap bulan.
Begitu menerima informasi kegiatan, saya langsung bagi ke grup whattsapp FPS-PTBI (Forum Program Studi-Pendidikan Tata Boga Indonesia). Kebetulan saya ketua forum ini, dan tujuan saya membagi informasi tersebut adalah supaya ada banyak anggota forum yang tertarik. Ternyata saya belum terlalu beruntung. Tidak ada satu pun anggota asosiasi yang merespon positif. Sekadar “ayo, ayo”, tapi sepertinya belum serius. Maka saya melakukan provokasi pada teman-teman sendiri. Berhasil. Tiga kolega, dua dari Jurusan PKK, yaitu Dr. Meda Wahini, M.Si dan Dr. Sri Handajani, S.Pd., M.Kes, berhasil terprovokasi. Satu lagi dari Program Studi Pendidkan Teknologi Informasi (PTI), Setya Chendra Wibawa, S.Pd, M.T, juga sangat berminat. Meskipun home base-nya ada di Prodi PTI, tapi separuh jiwanya ada di jurusan PKK, karena dia pengajar beberapa mata kuliah di Prodi Tata Boga, Tata Busana, dan Tata Rias. Tema konferensi juga sangat cocok dengannya. Satu lagi, saya membutuhkan dia karena dia sudah punya pengalaman menjelajah Eropa pada tahun 2014, saat mengikuti Non-Degree Program di Jerman dan Paris. Dan, tentu saja, Mas Bowo, begitu saya menyebutnya, karena termasuk orang yang sangat helpful, peduli, dan ‘nggak itungan’. Tipe orang muda seperti itu sangatah cocok untuk ‘ngemong’ emak-emak seperti kami ini.
Maka kami pun mulai megurus semua uborampe bersama. Mas Bowo menjadi andalan kami. Menjadi narahubung dengan Kantor Urusan Internasional Unesa dan rektorat untuk surat izin rektor, surat izin sekretariat negara, untuk visa, tiket, tukar duit, dan banyak hal. Saya menjadi narahubung dengan panitia di Vienna, untuk urusan artikel, jadwal presentasi, dan sertifikat. Alhamdulilah, semua siap pada waktunya.
Vienna hujan salju saat pertama kali kami menginjakkan kaki di kota yang eksotis ini. Di pagi hari, setelah kami menempuh perjalanan hampir dua puluh jam. Di mata saya, Vienna ibarat seorang gadis cantik yang anggun dan kharismatik. Salju tipis yang jatuh satu per satu, angin dingin yang bertiup keras membekukan tuang-belulang, membuat kami seperti seorang pemuda yang sedang tergugu karena ketakjubannya pada sosok gadis jelita namun berparas dingin. Dalam terpaan cuaca yang begitu ekstrim, kami menembus Vienna, menumpang sebuah mobil van, dari Vienna International Airport menuju apartemen kami di bilangan Veitingergasse 67. Sekitar 45 menit perjalanan.
Hari pertama ini, kami membiarkan jetlag menguasai. Mata serasa berat dan tubuh lunglai. Kami hanya perlu memastikan, ada toko bahan makanan di dekat-dekat apartemen kami. Belum sempat kami memastikan hal itu, sebuah sapaan yang masuk di facebook message saya membuat saya seperti menemukan durian runtuh. Bu Ira Darmawanti, dosen Psikologi Unesa, memperkenalka dirinya sebagai mahasiswa S3 Vienna University. Wow. Allah menyediakan guide bagi kami. Bahkan sore itu juga, Bu Ira tiba-tiba muncul di apartemen kami bersama suaminya, Pak Rozi, dosen Universitas Diponegoro. Membawakan kami roti dan jeruk. Subhanallah. Andaikata semua orang di dunia ini sebaik mereka, pasti tidak akan ada penderitaan karena kelaparan.
Bersama bu Ira dan Pak Rozi, malam ini juga, saya dan Mas Bowo dipandu menuju supermarket. Lengkap dengan mantel tebal dan kaus tangan yang membalut tubuh lelah kami. Menembus dinginnya malam menapaki jalanan yang sepi. Badan saya agak menggigil dan karena tidak mau ambil risiko, saya lingkarkan scarf saya menutupi mulut dan hidung. Kami menemukan Spar Gourmet. Tidak terlalu jauh. Jaraknya hanya sekitar Kampus Unesa Ketintang ke Wonokromo. Jauh ya?
Saya juga dibantu Bu Ira membeli krem untuk wajah di apotek di depan gourmet. Wajah saya sudah kesakitan sejak pertama kali tiba di Vienna pagi tadi. Suhu ekstrim seperti membekukan pori-pori wajah dan mengeriputkan kulit. Setelah itu kami berbelanja: kentang, telur, roti, buah, sayur, untuk logistik selama seminggu. Tidak terlalu mahal. Hanya sekitar 50€. Satu € saat ini sekitar Rp.16.500,-. Patungan empat orang, entenglah.
Kami juga membawa bekal dari Surabaya. Beras, mie instan, sambal pecel, sambal-sambal botol, kering kentang, bumbu instan, santan instan, dan berbagai minuman. Pendek kata, lengkap. Kami seperti pasukan tidak berani mati dan tidak berani lapar. Setidaknya malam ini kami bisa tidur nyenyak karena yakin logistik kami sudah aman.

Wien, 27 November 2018

Sabtu, 27 Oktober 2018

Immersion 2: Guru untuk Keberlangsungan Generasi


Jam kegiatan kami setiap hari dimulai pukul 09.30 sampai 18.00. Itulah pada umumnya jam kerja di Singapura. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan di Indonesia, karena di sini ada selisih waktu satu jam lebih cepat. Waktu shubuh adalah 05.31, dhuhur 12.48, dan seterusnya, selisih waktu sekitar satu jam.

Kegiatan kami dilaksanakan di Kantor THF. Namun di antara lima hari tersebut, ada kesempatan bagi kami untuk melakukan observasi ke NIE-NTU pada hari ketiga, dan ke Fajar Secondary School di hari keempat. Ada tugas-tugas juga yang harus kami selesaikan selama kegiatan. Hari pertama kami diminta presentasi praktik PPG di lembaga masing-masing, dan berdasarkan hasil diskusi, observasi, wawancara pada hari-hari berikutnya, kami harus mempresentasikan model PPG ideal di hari terakhir.

Pagi ini, setelah overview program, Prof. S. Gopinathan memberikan presentasinya tentang “building a high performing education system in Singapore and the contribution of teacher education and teachers. Prof. Gopi, begitu panggilan akrabnya, saat ini menjadi academic advisor di THF. Beliau merupakan guru besar dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapura. Pernah menjabat sebagai dekan School of Education di NIE-NTU, Singapore. THF sendiri adalah organisasi nirlaba yang berbasis pada Singapore Foundation yang bertujuan untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan berkelanjutan di Asia.

Menarik sekali presentasi Prof. Gopi. Gambaran tentang bagaimana Singapura sebagai negara kecil dengan minim sumber daya ini bisa menjadi negara terdepan di Asia. Sistem pendidikan di Singapura diakui dunia sebagai sistem pendidikan terbaik di Asia. Coba cek skor Singapura untuk PISA dan TIMSS. Hampir selalu mengungguli negara-negara Asean yang lain. Singapura meyakini bahwa kemajuan dalam bidang pendidikan akan mendongkrak bidang-bidang yang lain. Petumbuhan ekonomi di Singapura sungguh pesat dan peran pendidikan sangat sentral dalam hal ini.

Di Singapura, guru disiapkan dengan begitu rapi. Tujuan pendidikan guru adalah untuk menyiapkan mahasiswa calon guru (student teacher) dengan pedagogi dan landasan kependidikan yang kuat  untuk pembelajaran yang efektif serta spesialisasi pengetahuan akademik (sucject knowledge) sedikitnya pada satu disiplin. Jalur pendidikan guru terspesialisasi meliputi primary (SD), secondary (SMP/SMA), dan junior college (JC). Program penyiapan guru pemula atau ITP (Initial Teacher Preparation Programmes) memiliki beberapa jalur untuk student teachers dari berbagai latar belakang pendidikan. Ada tiga jalur, yaitu Bachelor in Arts/Science (BA/BSC), Postgraduate Dploma in Education (PGDE), dan Diploma Education. Program pertama durasinya empat tahun, merupakan jalur untuk menjadi guru SD atau SMP/SMA. Mahasiswa berasal dari lulusan secondary school. Program yang kedua duarasinya 16 bulan sampai 2 tahun, disiapkan untuk mereka yang ingin menjadi guru SD, SMP/SMA, dan JC. Mahasiswa berasal dari lulusan program bachelor dari berbagai bidang ilmu. Sedangkan program ketiga, durasinya 1-2 tahun, disiapkan untuk calon guru SD dan SMP/SMA. Mahasiswa juga berasal dari lulusan secondary school. Khusus untuk proram ini, disiapkan bagi calon guru bidang bahasa, seni, musik, dan ilmu keluarga (home economics).

Untuk struktur praktek profesi atau disebut praktikum, program BA/BSC melaksanakan empat kali praktikum, meliputi: 1) school experience/SE (2 minggu), dilaksanakan selama masa libur sebelum tahun kedua;  2) teaching assistantship/TA (5 minggu) dengan local/international TA, selama masa libur sebelum tahun ketiga; 3) TP1 (5 minggu), selama masa libur sebelum tahun keempat; dan 4) TP/TP2 (10 minggu), selama tahun keempat pada semester 2. Selanjutnya untuk program PGDE yang 16 bulan, struktur praktikumnya meliputi TA (4 minggu) dan TP 10 minggu. Selama TA, student teachers setiap minggu berada di sekolah 4 hari dan di sekolah 1 hari. Struktur ini memungkinkan terjadinya early exposure sedini mungkin dan terjadinya kegiatan refleksi yang terus-menerus sehingga terjadi penguatan berbagai aspek pedagogik dan konten serta aspek lain yang penting sebagai bekal menjadi guru profesional. Sedangkan untuk PGDE 2 tahun, praktikum meliputi TP1 (5 minggu) dan TP (10 minggu). Program terakhir, yaitu Dploma in Education, untuk program durasi 2 tahun, praktikumnya meliputi TP1 (5 minggu), TP2 (10 minggu). Sementara untuk program durasi 1 tahun, kegiatan praktikumnya hanya TP (10 minggu).

Yang cukup menarik, mahasiswa tidak dituntut untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam tanya jawab kami dengan para narasumber kegiatan dan juga saat di sekolah, PTK tidak menjadi bagian dari kurikulum penyiapan guru. Penguasaan mahasiswaa calon guru terhadap konten dan metodologinya, peningkatan pemahaman pada profesi guru, keterampilan memberi dorongan pada peserta didik, menjadi model kepribadian yang baik, adalah jauh lebih penting untuk terus-menerus diupayakan. Diperlukan energi yang besar untuk hal tersebut, dan oleh sebab itu, PTK tidak menjadi prioritas.

Singapura juga tidak mengenal ujian nasional (national exam) untuk pendidikan dan pelatihan calon guru. Ya, memang Singapura masih menerapkan ujian nasional untuk siswa, namun tidak untuk calon guru. Singapura percaya bahwa untuk menjadi guru memerlukan proses yang harus terus-menerus diasah, dilatihkan, dikembangkan. Ujian nasional bagi pendidikan dan pelatihan guru tidak terlalu bermakna untuk memastikan bahwa guru yang sudah lulus ujian secara otomatis memiliki kompetensi untuk menjadi guru. Kompetensi menjadi guru perlu dilatihkan dengan sabar, bila calon guru telah dirasa cukup bekal kompetensi, maka yang bersangkutan akan diberikan sertifikat kompetensi. Bila calon guru dinilai belum memiliki kecakapan yang diharapkan, maka yang bersangkutan perlu diberikan waktu untuk meningkatkan kecakapan mereka sampai pada batas yang ditentukan.

Hari pertama ini, selain berbincang dengan Prof. Gopi, kami juga berbincang dengan narasumber lain yang tidak asing bagi kita, yaitu Prof. Muchlas Samani. Saat ini, selain sebagai guru besar Unesa, beliau juga menjadi ketua panitia nasional Ujian Kompetensi Mahasiswa PPG (UKMPPG). Beliau juga yang menjadi salah satu inisiator program PPG di Indonesia. Pengalamannya sebagai birokrat, termasuk menjadi ketua tim sertifikasi guru-dikti, wakil rektor bidang kerja sama Unesa, rektor  Unesa, dan juga sebagai direktur ketenagaan dikti, tidak ada yang meragukan pengalaman dan keluasan wawasannya tentang pendidikan guru.

Pada kesempatan ini, Prof Muchlas berbicara tentang “Indonesia’s education system”. Tentu saja fokusnya tetap pada sistem pendidikan dan pelatihan guru. Berbagai persoalan, kebijakan, dan inspirasi untuk pendidikan guru yang lebih baik. Indonesia yang begitu luar biasa disparitasnya, tentu tidak mudah untuk mengelolanya, termasuk dalam hal mengurus bidang pendidikan, khususnya bagaimana menyiapkan guru yang profesional. Terkait hal ini, Prof. Gopi amat sangat menyadari, dan rekomendasi yang diberikan adalah bagaimana Indonesia bisa menyiapkan dan menata guru sesuai dengan kebutuhan lokalitas masing-masing wilayah yang begitu beragam. Prof Gopi mengakui, tentu hal tersebut mudah untuk diucapkannya, tidak mudah untuk dirumuskan, lebih-lebih untuk diimplementasikan. Tapi semua harus mengarah ke sana, karena guru sangat menentukan kualitas generasi bangsa. Merujuk pada model Finlandia yang begitu fokus dalam meyiapkan guru, Prof. Gopi menegaskan: one generation will be lost if you don’t have good teachers. (Habis)

Kamis, 25 Oktober 2018

Immersion 1: Hotel Bintang Lima, Makan Kaki Lima.

Minggu, 14 Oktober 2018. Udara cerah cenderung panas meski masih pagi. Kami memulai perjalanan menuju Singapura dari Juanda International Airport Terminal 2. Kami bertiga, Prof. Muchlas Samani, Rooselyna Ekawati, Ph.D (ketua program studi pendidikan matematika), dan saya. Di Singapura, bersama dengan sebelas LPTK yang lain, kami akan mengikuti program immersion. Nama programnya adalah “The Professional Learning Program: Enhancing Indonesian Teacher Education”. Program ini digagas oleh The Head Foundation (THF) yang bekerja sama dengan World Bank dan Pemerintah Australia. Program dirancang untuk memberi dukungan pada Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa), Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, dalam rangka mencari model terbaik dalam penyelenggaraan program PPG prajabatan (preservice). Oya, LPTK yang bergabung dalam kegiatan ini adalah: UPI, Unesa, UNY, UNM, Unnes, Unimed, Uninus, Unimuda, UIN Malang, UIN Yogyakarta, UIN Jakarta, dan USD.

Pukul 16.45 waktu Singapura, Garuda yang kami tumpangi mendarat. Changi International Airport basah karena gerimis. Mendung menggantung dan udara sejuk. Bersama rombongan dari LPTK lain, yang bergabung sejak transit di Jakarta tadi, dengan tertib kami melakukan proses checking bagasi dan menaiki skytrain menuju counter imigrasi. Bandara Changi tidak terlalu ramai. Antrian tidak terlalu panjang. Para petugas sangat friendly. Termasuk mengatur setiap penumpang atau rombongan penumpang di pintu keluar untuk menaiki taksi atau mobil jemputan. Tidak ada orang-orang yang berjubel. Semuanya tertib, antri sesuai urutan dan jalurnya.  

Hari ini kami belum ada acara karena kegiatan akan dimulai besok pagi. Lumayan, ada waktu longgar untuk beristirahat dan kenal medan. Jadi setelah membereskan proses administrasi di front office hotel, kami memasuki kamar masing-masing dan mencoba beristirahat.

Kami bertiga menginap di Grand Park City Hall. Oya, berempat dengan Ibu Petra Bodrogini, perwakilan dari World Bank. Hotel ini ada di kawasan Coleman Road. Tidak terlalu jauh dari Hongkong Street dan China Town. Tidak terlalu jauh juga dengan Mustafa dan Bugis, tempat belanja yang terkenal itu. Kalau mau ke Universal Studio dan Sentosa juga hanya perlu beberapa menit naik taksi. Pendek kata, mau ke mana-mana dekat. Ya, karena pada dasarnya Singapura adalah negara kecil. Bahkan merupakan negara termungil di Asia Tenggara. THF, yang menjadi tempat kegiatan kami, juga hanya beberapa meter dari hotel dan perlu waktu sekitar 5 menit untuk menuju ke sana.

Saya dan Kak Roos, begitu saya menyapa, ditugasi oleh Rekto dan Wakil Rektor Bidang Akademik, untuk mengikuti kegiatan immersion ini. Saya sebagai Ketua Pusat PPG, dan Kak Roos sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Matematika. Kenapa Pendidikan Matematika? Ya, karena apa yang akan kami pelajari mulai besok sampai 19 Oktober terkait dengan penyiapan guru bidang sains dan matematika. Singapura meyakini, melalui sains dan matematika, atau lebih lengkapnya adalah STEMs (science, technology, engineering, mathematics), pendidikan di Singapura akan maju dengan pesat. Oleh sebab itu pemerintah Singapura menggarap dengan serius bidang ini, termasuk menyiapkan guru-gurunya.

Sore selepas maghrib, sekitar pukul 20.00, kami bertiga dengan Prof. Muchlas, keluar hotel untuk mencari tempat makan. Di sebelah kiri hotel merupakan pusat pertokoan dan pusat jajanan, namun sepertinya tidak terlalu mudah untuk memperoleh menu sesuai selera kami. Kami berjalan sedikit agak jauh, menuju Mc Donald. Prof. Muchlas bilang, makan yang jelas-jelas saja. Entah apa maksudnya jelas-jelas ini. Tapi di dinding depan Mc D, kami menemukan sertifikat halal di sana dan juga logo halal yang dipasang cukup mencolok dan mudah dilihat oleh siapa pun.

Berkegiatan dengan penyelenggaranya adalah negara lain seperti Amerika, Australia, dan juga Singapura, berbeda dengan ketika kami berkegiatan dengan penyelenggaranya Kementerian Pendidikan Nasional atau Kementerian Ristek Dikti, khususnya dalam hal jam kerja. Bekerja dengan kemdikbud atau ristekdikti, jam kerja mulai pukul 08.00-22.00, dengan break dan ishoma di antaranya. Bekerja dengan USAID, misalnya, atau World Bank, tidak pernah lebih dari delapan jam sehari. Bila kegiatan dimulai pagi hari, maka sore sudah selesai. Bila kami menginap di hotel, makan pagi bisa di hotel, makan siang pada saat berkegiatan, dan makan malam harus mencari sendiri. Jadilah malam ini, dan beberapa malam setelah ini sampai akhir kegiatan, kami akan tidur di hotel bintang lima tetapi makan malam di kaki lima.

Harga makanan di Singapura relatif lebih mahal dibanding di Jakarta atau Surabaya. Untuk selembar prata tanpa isi, yang di Surabaya mungkin lebih mirip dengan roti maryam, harganya sekitar $D1,2, setara dengan Rp.13.800,- rupiah.  Tidak terlalu mahal mungkin, hanya sekitar dua kali lipat di Indonesia. Teh tarik, harganya $D 1,4, setara dengan Rp.16.100,-.  Ini kelas makanan kaki lima, bukan kelas restoran. Kalau harga Mc.D mungkin standar, sekantung french fries dengan sepotong ayam goreng sekitar Rp.75.000,-. Repotnya, karena saya suka penasaran, pinginnya mencoba makanan ini itu, mencoba beli ini itu, mencoba pergi ke sana ke situ, mencoba melihat apa ini apa itu…. Hehe, harus pinter-pinter berhemat tapi tidak perlu terlalu risaukan rupiah. Pengalaman memang mahal. (Bersambung) 

Kamis, 08 September 2016

Laporan dari XXIII IFHE World Congress (5)

Kami benar-benar banyak belajar dari pengalaman mengikuti IFHE Congress ini. Mulai dari pengemasan acara, pelaksanaannya, dan pernak-pernik lain sebagai kelengkapan acara.

Di antara agenda kongres dan konferensi internasional yang padat, peserta disuguhi dengan pameran berbagai macam produk unggulan Korsel, seperti gingseng, teh, dengan berbagai variannya. Juga dimanjakan dengan produk hand-made seperti sumpit, kipas, tas dan dompet, serta merchandising lainnya. Juga, yang tak kalah menariknya, ada juga pameran busana hanbok, busana tradisional Korea, dan peserta boleh mengenakannya dan berfoto sebagai kenang-kenangan. Free of charge. Oya, tata cara minum teh juga diperagakan oleh para wanita cantik, lengkap dengan busana tradisionalnya. Sangat menarik dan sarat makna. 

Pada saat closing ceremony, ditampilkan juga peserta termuda dari lima benua. Serta ada pemberian penghargaan bagi artikel terbaik. Selain memperoleh piagam penghargaan, penulis artikel terbaik juga memperoleh dana scholarship. Tidak banyak, hanya sekitar USD 700, namun dengan dimuatnya artikel terbaik tersebut dalam jurnal internasional, nilainya tentu jauh lebih berarti daripada sekadar dana yang diterima.

Closing ceremony juga dihiasi dengan tayangan foto-foto kegiatan. Tak disangka, foto-foto kami bertiga juga muncul beberapa kali dan meski hanya seperti itu, kami cukup bangga. Setidaknya wajah-wajah wakil dari Indonesia menghiasi dokumentasi IFHE dalam perhelatan internasional ini.

Yang juga menarik, ada penghargaan bagi para panitia dan para pendukung acara. Mereka tidak hanya disebut namanya, namun diminta tampil ke panggung untuk menerima piagam penghargaan dari Presiden IFHE. Kebanggaan dan keharuan memancar dari wajah-wajah mereka karena mereka telah berhasil menyuguhkan sebuah perhelatan besar yang pasti sangat menyita energi. Ya, sejak empat tahun yang lalu, saat IFHE World Congress XXII di Melbourne memutuskan bahwa Korsel akan menjadi host pada event selanjutnya, maka praktis sejak itulah panitia bekerja keras. Dan saat ini, kerja keras mereka terbayar dengan kebahagiaan dan kebanggaan atas kesuksesan seluruh acara.

Ketua panitia juga diberi kesempatan untuk menyampaikan closing remark, dan sepertinya inilah puncak dari seluruh kebahagiaan, kebanggaan, dan keharuan itu. Profesor Mae Sok Park, ketua panitia yang cantik itu, meski berusaha untuk tegar, suaranya sempat terbata-bata juga karena menahan haru. Bisa dibayangkan, betapa lega dan bangganya dia setelah tugas berat selama empat tahun ini terlepas dari pundaknya.

Satu lagi yang menarik, setelah pelantikan Presiden IFHE yang baru, ditampilkan juga para presiden IFHE periode sebelumnya. Beberapa perempuan yang sudah tidak muda lagi tampil di panggung, wajah-wajah cerah memancar dari raut muka mereka. Harus diakui betapa panitia begitu pintar memanfaatkan momen ini sebagai ajang pemberian penghargaan bagi siapa pun yang telah menorehkan sejarah dalam perkembangan IFHE. Bagi saya pribadi, semuanya itu menjadi inspirasi untuk menyajikan hal-hal yang menarik dan menyentuh tersebut dalam event seminar nasional dan mungkin internasional yang akan dilaksanakan oleh Jurusan PKK di waktu-waktu yang akan datang.  

Ajang ini juga menjadi begitu menarik dan prestisius karena dari ratusan artikel peserta konferensi dari seluruh dunia, dipilih 10 nominasi artikel terbaik. Makalah tersebut akan dimuat di International Home Economic Journal. Pada ajang ini, makalah terbaik berhasil disabet oleh peserta dari Jepang, Korea, Nigeria, Virginia, dan peserta lain dari Afrika Selatan dan Asia Selatan.  

Home economics begitu luas bidangnya, dan kalau di dunia internasional, ilmu itu begitu tinggi penghargaannya, maka tidak begitu di negara kita. Perlu waktu panjang agar ilmu itu berterima secara luas sebagai sebuah cabang ilmu. Banyak pihak yang masih meragukan bahwa IKK adalah sebuah ilmu yang memenuhi syarat ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Adalah tugas para ahli IKK, termasuk saya, untuk terus mengembangkannya dan meningkatkan kemanfaatakannya bagi kemaslahatan umat.

Daejeon, Korsel, 4 Agustus 2016

Kamis, 01 September 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (4)

Sore ini tibalah jadwal saya untuk presentasi paper di sesi concurrent session 2. Dalam ruang nomor 105 yang berisi sekitar 30 partisipan, saya bersama pemakalah dari USA, Finlandia, Thailand, Korea, dan Jepang, masing-masing diberi waktu sekitar 15 menit untuk presentasi. Sisa waktu sekitar 30 menit dialokasikan untuk tanya jawab.

Saya ingin berbagi pada teman-teman dosen yang masih belum memiliki keberanian untuk presentasi makalah di luar negeri. Bahasa Inggris saya tidak terlalu bagus atau bahkan pas-pasan. Awalnya saya agak ragu juga, apakah saya berani presentasi makalah pada ajang konferensi internasional, dan itu di luar negeri. Pengalaman menyajikan makalah pada seminar internasional yang dilaksanakan di dalam negeri sudah terlalu sering saya ikuti, dan sebagian tidak membuat saya semakin terampil berkomunikasi dalam bahasa Inggris, karena saat presentasi, tidak selalu dituntut untuk menggunakan bahasa Inggris. Satu-satunya pengalaman presentasi dalam bahasa Inggris di dalam negeri adalah saat mengikuti seminar internasional Aptekindo di UPI-Bandung, karena saat itu di kelompok saya, partisipannya lebih banyak dihadiri dari akademisi luar negeri. Pengalaman saat menjadi delegasi Indonesia di Seameo Innotech di Manila pada 2011 dan benchmarking di beberapa universitas di Thailand pada 2011 dan Melbourne pada 2014, tidak terlalu memaksa saya untuk berkomunikasi intensif.  

Saat mengikuti presentasi makalah di concurrent session pertama tadi, di mana pesertanya adalah dari USA dan New Zealand, saya agak keder juga. Tentu saja speaking kelima penyaji itu sangat bagus karena mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mereka. Tapi saya berusaha berpikir positif. English is not your language, so don't worry if you can't speak as good as them. 

Begitu memasuki sesi kelompok saya, dan melihat presentasi penyaji dari Thailand dan Jepang, sungguh, kepercayaan saya membengkak, melambung tinggi. Ada untungnya saya mendapatkan giliran terakhir, yaitu kelima, dengan demikian saya bisa menjajagi seberapa bagus presentasi peserta yang lain.

Sungguh, saya bisa melakukan lebih baik dari itu, atau setidaknya, samalah. So, saat giliran saya tiba, maka dengan keyakinan penuh saya memperkenalkan diri. Let me just start by introducing myself. My name is Luthfiyah Nurlaela, I'm lecturer of Home Economic Department, Universitas Negeri Surabaya. Today, I would like to talk about....bla, bla, bla....cas, cis, cus. Maka terjadilah apa yang terjadi. Saya menyampaikan artikel penelitian saya yang berjudul "Implementing lesson-planning tools of family welfare science course to enhance problem-solving skill of students of Home Economics Education". Dengan lancar, dengan suara tanpa bergetar, dan mendapat applaus setelahnya. Sama seperti penyaji yang lainnya.

Tunai sudah. Ternyata selama ini apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Ternyata apa yang selama ini membuat saya ragu, tidak terbukti. Benar ternyata. Kalau kita tidak berani mencoba, maka kita tidak akan pernah tahu bahwa kita mampu. 

Meskipun, memang betul, bagaimana pun kita harus terus berusaha meningkatkan keterampilan komunikasi kita. Dan itulah yang saya coba terus lakukan sampai saat ini. Saya membaca buku-buku, membaca koran, melihat film, mengikuti kursur gratis seperti English for Presentation yang disediakan Unesa, dan juga kursus di luar, dan  itu semua sangat-sangat membantu.

Bagi teman-teman yang sudah tidak ada masalah dalam hal speaking in English, saya yakin apa yang saya sampaikan ini kedengaran sepele. Masalah kecil. Tapi bagi orang-orang yang bahasa Inggrisnya terbatas, seperti saya ini, betapa hal itu menjadi kendala besar. Tetapi sekali lagi, tidak usah takut. Ternyata kita seringkali under-estimate pada kemampuan kita sendiri. Begitu kita berada di ajang internasional, kita bisa dan tidak jelek-jelek amat. Tentu saja, jangan dulu berharap memperoleh award sebagai presenter terbaik. Dalam ajang seperti yang saya ikuti sekarang ini, di mana diikuti oleh puluhan negara dari segala penjuru dunia, dan hanya dilakukan selama 4 tahun sekali, dengan proses pendaftaran dan seleksi abstrak yang relatif ketat, mampu mempresentasikan paper dengan baik saja sudah cukup.

Daejeon, 2 Agustus 2016

Rabu, 31 Agustus 2016

Laporan dari The XXIII IFHE World Congress 2016 (3)

Ruang utama DCC (Daejeon Convention Center) lantai 2 itu penuh. Para profesional home economics dari berbagai negara bertemu. Saya perkirakan ada sekitar 800 orang. Setiap orang duduk menghadap podium dan backdrop yang menjadi pusat perhatian di depan sana. Di sepanjang meja di depan peserta disediakan satu alat translator, karena beberapa kata sambutan dan presentasi keynote speaker akan dilakukan dalam bahasa Korea.

Pembawa acara pada pembukaan ini adalah seorang perempuan Korea yang cantik, cerdas dan begitu luwes mengantarkan acara demi acara. Dimulai dengan penampilan tari dan musik khas dari para pemuda Korea, sambutan Presiden IFHE (2012-2014), Carrol Warren, dilanjutkan sambutan Ketua Panitia, yaitu Mae Sok Park, yang juga Wakil Presiden IFHE. Sambutan juga disampaikan oleh Hae-Kyung Chung, Presiden KHEA, serta Jaesoon Cho, Presiden Korean Home Economics Education Association (KHEEA). Tidak tanggung-tanggung, Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga (Gender Equality and Family), Eun-hee Kang, serta Mayor Daejeon Metropolitan City, Sun-taik Kwon, juga memberikan sambutannya.

Kegiatan ini memang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Korsel. Dukungan ini tentu saja menjadi pertimbangan penting bagi IFHE Organization sebelum memutuskan Korea sebagai host untuk kawasan Asia. Korea menjadi wakil Asia sebagai tempat kongres IFHE bukan hanya karena kekayaan budaya dan sejarahnya, tetapi juga karena kepeduliannya pada pendidikan, terutama pada pendidikan keluarga. Kiprah Korean Home Economics Association (KHEA) sebagai organisasi profesi telah cukup mantap dan memiliki rekam jejak dalam bidang riset dan pendidikan yang berskala internasional. 

Siapa pun yang mengikuti agenda IFHE ini akan semakin menyadari, betapa keluarga adalah sangat prioritas. Tema 'Hope and Happiness, the role of Home Economics in the pursuit of Hope and Happiness for individual and communities now and in the future ' sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini yang cenderung melupakan peran dan fungsi keluarga sebagai penentu kesejateraan bangsa dan negara. Banyak negara yang mengejar kemakmuran dan berhasil menjadi negara dengan tingkat pendapatam tetinggi, tetapi di balik itu, kesejahteraan keluarga seringkali terlupakan. Anak-anak terlantar, mengalami kekerasan, perempuan termarginalkan, dan bentuk-bentuk penyimpangan lain yang pada intinya menganggap sepele eksistensi institusi keluarga.

Siapa pun yang mengikuti kongres ini juga akan semakin menyadari, betapa eksisnya bidang home economics atau family and consumer sciences. Meskipun di beberapa negara, khususnya di Indonesia, PKK ini masih banyak pihak yang memandangnya dengan sebelah mata. Tentu hal ini menjadi tantangan tersediri bagi para ahli PKK, bagaimana supaya bidang ini lebih dihargai dan diperhitungkan sebagai sebuah cabang ilmu. Keberadaan asosiasi profesi bidang PKK yang masih sangat lemah, juga sepatutnya menjadi agenda perjuangan tersendiri bagi saya sendiri dan rekan-rekan sesama peminat bidang IKK di Indonesia.

Pada hari pertama ini, selain acara pembukaan yang berbobot dan sangat efisien, juga diisi penyajian dari para keynote speaker yang membawakan topik yang sungguh sangat menarik dan bernas. Mereka adalah pembicara dari University of Wyoming, Helsinki University, Griffith University, Yokohama National University, dan Ewha Woman University. Semua pembicara menyajikan kurikulum home economics saat ini dan arahnya ke depan di negaranya masing-masing.

Acara coffee break juga tidak kalah menariknya bagi kami. Bukan karena beragamnya makanan. Tapi karena justeru kesederhanannya. Menu utamanya tentu saja teh dan kopi, dilengkapi dengan dua macam kue tradisional yang kalau di Indonesia semacam getuk, dan kue-kue kemasan kecil-kecil. Juga ada buah plum dan peach. Kue-kue dan minuman itu disediakan di beberapa meja dan peserta bisa mengambilnya sesuka hati. Benar-benar sesuka hati. Kami lihat beberapa peserta terang-terangan meminta lebih untuk dimasukkan tas mereka, dan kue-kue selalu diisi ulang. Kami pun  jadi ikut-ikutan. Plum dan peach di Indonesia bukan buah yang murah, itu pun tidak selalu ada, kalau di sini kita boleh makan sepuasnya, kenapa tidak. Roti dan kue-kue kecil juga bisa kami bawa selain yang sudah kami makan di tempat, namun tentu tidak berlebihan. Intinya, makanan yang disedikan memang sederhana, praktis, umumnya buah dan makanan kemasan yang tinggal beli di toko. Diletakkan begitu saja di keranjang-keranjang, namun makanan itu seperti tak pernah habis karena diisi lagi dan diisi lagi.

Lebih menariknya lagi ketika makan siang. Peserta tidak memperoleh makan siang, kecuali peserta yang membayar biaya registrasi untuk paket lengkap (USD 700). Untuk peserta seperti kami yang membayar 'hanya' USD 500, makan siang tidak disediakan, namun panitia mengadakan semacam kantin dan kita bisa makan di tempat itu, atau menikmati bekal yang kita bawa sendiri, atau membeli makanan di kantin tersebut. Menu yang disediakan di kantin adalah menu sederhana seperti sandwich dan jenis roti yang lain. Setiap waktu makan tiba, kami bertiga memilih pulang ke penginapan kami yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari DCC. Shalat, makan, dan kembali lagi ke tempat acara.

Dibandingkan di Indonesia, bila ada acara apa pun semacam ini, urusan makan seolah menjadi begitu penting dan seringkali menjadi ukuran suksesnya sebuah event. Dana kepanitiaan terserap cukup banyak untuk konsumsi. Seksi konsumsi juga begitu repot karena harus membuat berbagai alternatif menu dan menyiapkannya sedemikian rupa. Satu pelajaran dari mengikuti konggres IFHE ini, bahwa urusan konsumsi memang penting, namun itu tidak berarti harus mewah dan beragam. Konsumsi yang sederhana, praktis, dengan menampilkan kekayaan lokal, menjadi daya tarik tersendiri. 

Setelah pemaparan keynote speaker, setiap hari, sampai hari keempat, acara dilanjutkan dengan concurrent session. Pada acara ini, peserta dibagi menjadi 7 kelompok sesuai tema. Dalam setiap kelompok, peserta menyajikan papernya. Saya sendiri kebagian jadwal hari pertama ini tapi pada sesi kedua. Jadi saya memiliki kesempatan untuk melihat lebih dulu bagaimana para peserta yang lain tampil, dan mempersiapkan penampilan terbaik saya.

Daejeon, 2 Agustus 2016