Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Minggu, 07 Agustus 2022

Kang Zainal


Namanya Zainal Muttaqin. Kami memanggilnya Kang Zainal. Panggilan khas untuk semua santri laki-laki di pondok kakek kami, Kyai Chusain.

 

Kang Zainal, meskipun tidak mondok di pondok kakek saya-- waktu dia mondok, kakek saya sudah meninggal-- kami tetap memanggilnya Kang. Bapak kami menempatkannya di rumah, bukan di pondok. Dia disediakan kamar depan, makan sehari-harinya Ibu kami yang mengurusnya.

 

Ya, Kang Zainal yang asli Brebes ini diistimewakan oleh keluarga kami. Dia tuna netra. Makanya dia ditempatkan di rumah. Bapak dan Ibu tidak sampai hati menempatkannya di pondok, pasti dengan pertimbangan tertentu. Bapak saya setiap hari mengajarinya membaca Al Quran huruf braille, setelah mengajar para santri di pondok.

 

Itulah kenangan yang tersisa di memori saya tentang Kang Zainal. Saya masih SMP saat dia mondok di rumah. Setiap habis mengaji dan sarapan, dia berdiri mematung di halaman rumah, sambil bibirnya bergerak-gerak menghafal ayat-ayat yang baru saja dibacanya bersama Bapak.

 

Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk di ponsel saya. "Assalamualaikum wr wb. Saya Zainal Muttaqin."

 

Sejenak saya bertanya-tanya, siapa Zainal Muttaqin? Begitu saya lihat profilnya, masyaallah, saya seperti tak percaya, dialah Kang Zainal. Waktu puluhan tahun pasti sudah mengubahnya sedemikian rupa, namun saya masih bisa melihat dengan utuh sosoknya.

 

Kang Zainal bercerita, dia sekeluarga baru saja bersilaturahim ke rumah kami di Jenu-Tuban pertengahan Juli, sekitar sebulan yang lalu. Dia memperoleh nomor saya dari kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach .

 

Hari ini saya bersilaturahim ke rumahnya di Purwakarta. Bersama beberapa kolega dari Kemendes PDTT, karena semalam kami berkegiatan bersama para TPP Kabupaten Purwakarta.

 

Kami menemuinya saat dia sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang terbuka dan menghadap perbukitan dan hutan. Ya, tempat tinggalnya memang dekat sekali dengan hutan, hanya sekitar satu kilometer dari tempat yang dinamakan Ujung Aspal. Benar-benar ujung aspal, karena setelah itu, tidak ada jalan lagi. Mentok hutan pinus. Kami berkesempatan healing juga ke hutan pinus itu, yang sudah disulap menjadi tempat wisata yang sangat menarik.

 

Wajahnya yang tenang dan teduh tak berubah meski garis-garis usia nampak begitu jelas. Jenggot panjang yang telah memutih melengkapi penampilannya. Dengan balutan baju gamis putih, kulitnya yang putih nampak semakin bersih. Tentu itu karena cahaya yang memancar dari kemurnian hatinya juga. Dari ketawadhu'annya. Dari keshalehannya.

 

Kami mengobrol, saling bercerita, bersama isterinya. Anaknya enam, semua mondok. Setiap bulan keluarganya mengadakan mauludan, setiap tahun mengadakan haul. Dia meng-haul-kan orang tua dan guru-gurunya, termasuk bapak saya, Abah Zawawi, begitu dia menyebutnya. Sesekali dia mengumpulkan anak-anak di lingkungannya, di antaranya adalah anak yatim. Dia juga hobi bersilaturahim ke sanak-saudara dan handai taulan, juga membiarkan pintu rumahnya terbuka untuk siapa pun orang yang ingin bertamu dengannya.

 

Kang Zainal, sampai pada usianya yang menjelang enam puluh tahun ini, hidup dengan sederhana tapi sangat layak. Dia tinggal di rumah yang besar dan nyaman meski sederhana, isterinya yang pintar memasak bisa berbelanja saban hari, dia juga memiliki kendaraan roda empat yang  juga nyaman.

 

Jangan ditanya berapa banyak pemasukannya per bulan. Dia tidak pernah bisa menjawab. Tapi dia mungkin masih bisa menjawab saat ditanya berapa pengeluarannya per bulan. Untuk membiayai keenam anaknya di pondok, mengumpulkan para kerabat untuk acara mauludan, menjamu tamu-tamu yang nyaris tak pernah jeda, membiayai perjalanannya dalam rangka silaturahim dan ziarah, pastilah belasan atau bahkan puluhan juta dia keluarkan. Dia bilang, rezekinya dikirim Allah, semata berkah dari para gurunya.

 

Keikhlasannya, keistiqomahannya, ketaatannya, kesyukurannya, membuat dia sekeluarga menjalani hidup dengan bahagia dan apa adanya. Kecintaannya pada Allah dan Rasul, kecintaannya pad Al Quran, benar -benar telah membuat hidupnya selalu berkecukupan.

 

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak merugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunianya" (QS Fathir: 29-30).

 

Purwakarta, 6 Agustus 2022