Namanya Zainal Muttaqin. Kami memanggilnya Kang Zainal. Panggilan khas untuk semua santri laki-laki di pondok kakek kami, Kyai Chusain.
Kang
Zainal, meskipun tidak mondok di pondok kakek saya-- waktu dia mondok, kakek
saya sudah meninggal-- kami tetap memanggilnya Kang. Bapak kami menempatkannya
di rumah, bukan di pondok. Dia disediakan kamar depan, makan sehari-harinya Ibu
kami yang mengurusnya.
Ya,
Kang Zainal yang asli Brebes ini diistimewakan oleh keluarga kami. Dia tuna
netra. Makanya dia ditempatkan di rumah. Bapak dan Ibu tidak sampai hati
menempatkannya di pondok, pasti dengan pertimbangan tertentu. Bapak saya setiap
hari mengajarinya membaca Al Quran huruf braille, setelah mengajar para santri
di pondok.
Itulah
kenangan yang tersisa di memori saya tentang Kang Zainal. Saya masih SMP saat
dia mondok di rumah. Setiap habis mengaji dan sarapan, dia berdiri mematung di
halaman rumah, sambil bibirnya bergerak-gerak menghafal ayat-ayat yang baru
saja dibacanya bersama Bapak.
Tiba-tiba,
beberapa hari yang lalu, ada pesan masuk di ponsel saya. "Assalamualaikum
wr wb. Saya Zainal Muttaqin."
Sejenak
saya bertanya-tanya, siapa Zainal Muttaqin? Begitu saya lihat profilnya, masyaallah,
saya seperti tak percaya, dialah Kang Zainal. Waktu puluhan tahun pasti sudah
mengubahnya sedemikian rupa, namun saya masih bisa melihat dengan utuh
sosoknya.
Kang
Zainal bercerita, dia sekeluarga baru saja bersilaturahim ke rumah kami di
Jenu-Tuban pertengahan Juli, sekitar sebulan yang lalu. Dia memperoleh nomor
saya dari kakak saya, Mas Zen Zainal Makarim Azach .
Hari
ini saya bersilaturahim ke rumahnya di Purwakarta. Bersama beberapa kolega dari
Kemendes PDTT, karena semalam kami berkegiatan bersama para TPP Kabupaten
Purwakarta.
Kami
menemuinya saat dia sedang duduk di halaman belakang rumahnya yang terbuka dan
menghadap perbukitan dan hutan. Ya, tempat tinggalnya memang dekat sekali
dengan hutan, hanya sekitar satu kilometer dari tempat yang dinamakan Ujung
Aspal. Benar-benar ujung aspal, karena setelah itu, tidak ada jalan lagi.
Mentok hutan pinus. Kami berkesempatan healing juga ke hutan pinus itu, yang
sudah disulap menjadi tempat wisata yang sangat menarik.
Wajahnya
yang tenang dan teduh tak berubah meski garis-garis usia nampak begitu jelas.
Jenggot panjang yang telah memutih melengkapi penampilannya. Dengan balutan
baju gamis putih, kulitnya yang putih nampak semakin bersih. Tentu itu karena
cahaya yang memancar dari kemurnian hatinya juga. Dari ketawadhu'annya. Dari
keshalehannya.
Kami
mengobrol, saling bercerita, bersama isterinya. Anaknya enam, semua mondok.
Setiap bulan keluarganya mengadakan mauludan, setiap tahun mengadakan haul. Dia
meng-haul-kan orang tua dan guru-gurunya, termasuk bapak saya, Abah Zawawi,
begitu dia menyebutnya. Sesekali dia mengumpulkan anak-anak di lingkungannya,
di antaranya adalah anak yatim. Dia juga hobi bersilaturahim ke sanak-saudara
dan handai taulan, juga membiarkan pintu rumahnya terbuka untuk siapa pun orang
yang ingin bertamu dengannya.
Kang
Zainal, sampai pada usianya yang menjelang enam puluh tahun ini, hidup dengan
sederhana tapi sangat layak. Dia tinggal di rumah yang besar dan nyaman meski
sederhana, isterinya yang pintar memasak bisa berbelanja saban hari, dia juga
memiliki kendaraan roda empat yang juga
nyaman.
Jangan
ditanya berapa banyak pemasukannya per bulan. Dia tidak pernah bisa menjawab.
Tapi dia mungkin masih bisa menjawab saat ditanya berapa pengeluarannya per
bulan. Untuk membiayai keenam anaknya di pondok, mengumpulkan para kerabat
untuk acara mauludan, menjamu tamu-tamu yang nyaris tak pernah jeda, membiayai
perjalanannya dalam rangka silaturahim dan ziarah, pastilah belasan atau bahkan
puluhan juta dia keluarkan. Dia bilang, rezekinya dikirim Allah, semata berkah
dari para gurunya.
Keikhlasannya,
keistiqomahannya, ketaatannya, kesyukurannya, membuat dia sekeluarga menjalani
hidup dengan bahagia dan apa adanya. Kecintaannya pada Allah dan Rasul,
kecintaannya pad Al Quran, benar -benar telah membuat hidupnya selalu
berkecukupan.
"Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan melaksanakan shalat dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam
dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak merugi,
agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunianya"
(QS Fathir: 29-30).
Purwakarta,
6 Agustus 2022