Kalau lagi berkunjung ke suatu tempat, saya sebenarnya paling senang jalan-jalan ke pasar tradisional. Sayang sekali kesempatan itu tidak selalu ada.
Ya, pasar tradisional, tentu tidaklah serapi dan sebersih pasar modern atau supermarket. Jauuuhhlah pasti. Aromanya pun bedaaa banget. Lantainya pun, apa lagi....
Tapi pasar tradisional itu bagi saya lebih genuine. Kekhasan di daerah itu, di pasar tradisionallah tempatnya. Saya menemukan daun gatal ketika di pasar tradisional Sorong. Menemukan beragam noken yang keren dengan berbagai ukuran dan corak, di pasar tradisional Wamena. Melihat beragam sayuran yang sudah dipotong-potong dan dicampur sedemikian rupa, tumpukannya menggunung, di pasar tradisional Ternate. Melihat potongan singkong-singkong yang diikat, yang saya kira untuk konsumsi manusia (ternyata untuk babi), di pasar tradisional Waingapu, Sumba Timur. Belum lagi bermacam makanan khas, kue-kue, hasil bumi, hasil laut, hasil kerajinan, dan banyak lagi.
Juga, yang sangat mengesankan bagi saya, adalah interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Tradisi dan kebiasaan mereka dalam bertransaksi. Keramahan dan kesederhanaannya. Bahkan kemurniannya.
Dan hari ini, saya berhasil mencuri waktu mengunjungi pasar tradisional di Bengkulu, namanya Pasar Panorama. Banyak sekali yang saya lihat, tentu saja. Hasil laut, hasil bumi, jajanan, dan sebagainya. Ada cabe rawit yang kecil-kecil, yang di Sumba disebut chili padi. Ada tumpukan kecombrang, yang selama ini hanya saya lihat dalam jumlah kecil. Ada jeruk kalamansi, yang selama ini hanya saya tahu sirupnya. Ada kabau, nah, ini yang benar-benar baru. Satu keluarga dengan pete dan jengkol. Bentuknya lebih kecil, agak bulat, warna kulitnya lebih gelap, dan konon, rasa dan aromanya lebih kuat dibanding pete dan jengkol.
Hm, Indonesia memang kaya.
Bengkulu, 10 November 2024