Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Resensi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 13 Juli 2014

Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya