Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 29 Juli 2014

Muhibah Lebaran (2): Bani Wahabi dan Bani Tamami

Sekitar pukul 15.20, kami meninggalkan Kota Ponorogo. Meluncur menuju Solo. Kami mengambil rute Purwantara, Wonogiri, Sukoharjo, Solo.

Lalu lintas padat lancar. Sebenarnya cukup menyenangkan untuk perjalanan jauh. Tapi Arga yang hampir semalaman tidak tidur karena menyiapkan acara halal bi halal keluarga bersama Dio, memilih pensiun sementara jadi driver. Mas Ayik yang semalam melekan bersama teman-teman SMA-nya, terserang flu, dan obat flu yang diminumnya hanya membuatnya bertahan mengemudi sampai Purwantara. Akhirnya, sayalah yang harus pegang kemudi. Oh Tuhan, tidak terbayangkan, ternyata kedua laki-laki itu begitu teganya pada saya. Mereka berdua tidur mendengkur sementara saya mengukur jalan.

Tapi sebenarnya, pucuk dicinta ulam tiba. Dari dulu saya ingin nyetir di Jalur Ponorogo-Solo yang jalannya meliuk-liuk dan lumayan naik turun itu. Dari dulu Mas Ayik tidak pernah memberi saya kesempatan karena dia tidak tega. Katanya, medannya berbahaya.

Tapi kini, dia menyerah. Kondisi fisiknya yang teler karena obat flu tak memungkinkan dia untuk menolak kemauan saya. Wow, asyik sekali. Saya menguasai mobil sampai lepas Maghrib, saat kami tiba di rumah saudara di Jayengan, Solo. Kami salat dan makan malam, lantas pamit melanjutkan perjalanan menuju Boyolali.

Akhirnya, pada pukul 20.15, kami bertiga memasuki Kota Boyolali. Baru sekitar empat puluh menit yang lalu, kami meninggalkan Kota Solo. Solo dan Boyolali, dua kota yang menyimpan sejarah masa kecil saya.

Ibu saya lahir di Solo. Eyang dan buyutnya tersebar di Solo dan Boyolali. Sebagian saudara saya lahir di Solo. Masa kecil saya, sering saya habiskan di Solo dan Boyolali. Setiap liburan sekolah, kami sering dikirim bapak ibu ke Solo atau Boyolali, berlibur di rumah Mbah Putri dan Mbah Kakung, atau di rumah Pakde dan Bude Tamam. Ingatan masa kecil saya saat bersama Mbah Kakung, Mbah Putri, Pakde dan Bude Tamam, serta bersama para saudara sepupu, masih tersimpan rapi. Juga kenangan bersama Paklik Mubin almarhum, adik terkecil ibu, yang hobinya motret dan ngusungi para keponakan ke mana-mana, ke Sriwedari, Jurug, Tawangmangu, Pasar Kembang, Pasar Klewer dan Alun-alun.

Begitu kami tiba di depan rumah Pakde Tamam, keriuhan segera terdengar. Subhanallah. Di rumah itu ternyata sudah ada Bani Wahabi, para anak cucu Paklik Wahab. Mulai dari anak pertama sampai kelima, lengkap dengan anak-anak mereka. Bertemu dengan Bani Tamami, para anak cucu Pakde Tamam, mulai dari anak pertama sampai keenam, juga lengkap dengan anak-anak mereka. Suasana di ruang keluarga itu seperti sedang ada perayaan ulang tahun atau semacamnya. Lebih dari empat puluh orang berkumpul. Ramainya bahkan tidak kalah dengan ramainya PAUD atau kelompok bermain.

Begitu saya menginjakkan kaki ke ruang keluarga, mereka semua bahkan sudah menyiapkan acara penyambutan secara spontanitas. Mendendangkan salawat badar. Lengkap dengan bunyi-bunyiannya.

Kami bertiga geleng-geleng kepala melihat tingkah polah puluhan anak-anak kecil dan remaja itu. Sementara orang tua mereka tertawa cekakakan sambil memegangi perut masing-masing. Kami bergantian bersalaman, berangkulan, berpelukan. Saya bersimpuh di depan Bude Tamam, yang sedang duduk dan tersenyum manis menikmati tingkah polah anak-anak manusia yang tersaji di depannya. Saya cium punggung tangannya, kedua pipinya, dan menyampaikan permohonan maaf, serta menghaturkan salam takzim dari ibu saya dan saudara-saudara saya.

Bude Taman, sudah empat tahun gerah stroke. Sakit itu membuat beliau sulit berjalan. Tapi beliau secara mental sangat sehat, meski bicaranya sangat pelan. Dalam kondisi seperti itu, dalam usianya yang sudah mendekatai 80 tahun, bude Tamam tidak pernah meninggalkan salat tahajud dan dhuha, selain, tentu saja, tak pernah meninggalkan salat wajib lengkap dengan sunnat rawatibnya. Selama bulan puasa ini, beliau puasa penuh, meski dahar sahur nyaris tidak pernah kerso, kecuali hanya ngunjuk saja.

Kami sebenarnya ingin langsung menemui Pakde Tamam di kamar. Beliau sedang terbaring sakit. Namun masih ada beberapa tamu yang berada di kamar, menjenguk Pakde.

Sejak beberapa minggu ini, Pakde hanya bisa berbaring. Ibu dan saudara-saudara saya sudah menengok Pakde pada Ramadhan beberapa hari yang lalu. Kondisi beliau saat itu masih bisa berkomunikasi, masih sesekali bercanda dengan anak cucu, di antara waktu-waktu istirahatnya yang lebih banyak diisi dengan salat dan dzikir. Dalam kondisi tidur pun, lidah Pakde bergerak-gerak seperti melafalkan nama Allah.

Begitu kamar Pakde kosong, kami bertiga menghampiri beliau. Mbak Menuk, Mbak Umi, dua orang putri Pakde, juga Dik Iffah, putri almarhum Paklik Wahab, juga menemani. Mbak Menuk berbisik di telinga bapaknya.

"Bapak, Dik Luluk, Pak. Dik Luluk Bulik Basyiroh, Tuban, Pak."

Pade hanya sedikit menggerakkan matanya yang terpejam. Tidak berkata sepatah pun.

"Pakde..." Saya meraih tangannya yang tersembunyi di bawah selimut. "Pakde, ngaturaken sedoyo kalepatan, nyuwun pangapunten..." Saya mencium punggung tangannya dengan sepenuh perasaan. Hati saya meleleh. Sosok yang biasanya selalu ceria namun teduh itu begitu saja membuat hati saya menangis. "Pakde, ngaturaken salam lan sungkemipun Ibu lan sederek-sederek Tuban sedoyo..." Pakde tak bergeming. Saya menghela nafas panjang, melantunkan doa. Memberi kesempatan pada Mas Ayik dan Arga untuk menyapa Pakde.

"Waktu rene sing kapan iko, Pakde isih saget guyon lho, Mbak." Kata Dik Iffah. "Aku matur ngene. Pakde, kulo niki lek ningali Pakde remeeennn saestu. Terus Pakde ngendikan 'lha ngopo?' Pakde meniko pasuryanipun teduuuhhh sanget. Menopo Pakde Golkar to? Golkar meniko teduh Pakde, mergi pohon beringin. Wah, Pakde nggujeng kekel kae.."

Dik Iffah, anak perempuan satu-satunya Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah (keduanya sudah almarhum), adalah saudara sepupu kami yang paling heboh. Ceriwisnya minta ampun. Kami pikir dulu karena dia masih kecil. Ternyata, sampai sekarang, di usianya yang sudah empat puluh tahun, ceriwisnya semakin menjadi. Dia bilang, sudah diobatkan ke mana-mana. Tidak ada obat yang cocok. Bahkan menurutnya, dia sudah kebal dengan berbagai macam obat. Tapi itu membuatnya sangat cocok menjadi guru PAUD, profesinya sekarang.

Setelah beberapa waktu menunggui Pakde, saya keluar kamar. Tiba-tiba barisan anak-anak kecil itu, anak turun Bani Wahabi dan Bani Tamami, melantunkan koor.

"Bude Luluk, Bulik Luluk.....sawerannya mannaaaaa?"
"Hah?" Saya kaget. Anak-anak itu tertawa keras. Para orang tua terpingkal-pingkal.
"Siapa yang ngajari kalian, hah?"
Spontan anak-anak itu menunjuk ke seseorang. Siapa lagi kalau bukan..... Dik Iffah.
"O.....dasar. Guru PAUD gak nggenah." Semprot saya. Dik Iffah tertawa berderai, puas sekali wajahnya. Saudara-saudara yang lain tidak kalah puasnya.

Malam itu, kami pamit sekitar pukul 21.30-an. Bani Wahabi akan melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing, ke Yogya, ke Solo Baru, dan di Boyolali saja. Bani Tamami, tentu saja, tetap tinggal bersama Pakde dan Bude Tamam, menunggui bapak ibu dan eyang mereka yang lagi gerah. Kami sendiri, delegasi Bani Zawawi, akan melanjutkan perjalanan, entah sampai di mana, sampai kami merasa perlu berhenti dan menginap di hotel untuk transit. Besok pagi, perjalanan dalam rangka muhibah lebaran ini berlanjut menuju Rembang, Pamotan, dan Tuban.

Rasa bahagia dan marem menyelimuti benak saya, ketika mobil kami menembus malam yang masih ramai. Bertemu dengan banyak saudara, bersilaturahim dengan para orang tua, seperti memberikan energi dalam jiwa. Rasanya ingin berlama-lama bersama mereka, namun perjalanan musti berlanjut untuk menemukan sumber energi yang lain.

Boyolali, 28 Juli 2014

Wassalam,

LN

Muhibah Lebaran (1): Tong Ting

Sabtu, 26 Juli 2014, sekitar pukul 22.30, kami berangkat dari rumah menuju Ponorogo. Arga pegang kemudi, Mas Ayik di sebelahnya sebagai navigator, saya dan ibu duduk di jok tengah. Ada berkotak-kota kue di belakang, tas pakaian, dan dua sepeda lipat di roof rack di atas.

Perjalanan lancar mulai Surabaya sampai Wilangan, Nganjuk. Sejak Wilangan, lalu lintas padat merambat. Tiba di Madiun, sekitar pukul 03.15. Masih terhitung normal. Kami makan sahur di Sego Pecel Bu Wo.

Kami tiba di Ponorogo menjelang shubuh. Bu Heni dan Pak Anwar, suami istri adik ibu, sudah menunggu. Tapi ngantuk berat yang menyerang membuat saya tidak betah berlama-lama beramah-tamah. Saya pun izin berselancar di Negeri Kapuk.

Sekitar pukul 08.00, saya dan Mas Ayik keluar, berkunjung ke rumah sanak saudara. Kami ditugasi ibu untuk ulem-ulem. Besok pagi, selepas salat Idul Fitri, kami ketempatan acara halal bi halal keluarga besar Ki Amat Drangi, punjernya keluarga besar Ponorogo. Acara akan dihelat di Terazz Cafe, sebuah cafe milik saudara sepupu.

Meski kami sekeluarga ketempatan halal bi halal, kami tidak terlalu repot. Semua makanan kami pesankan. Menunya sederhana, nasi uduk lengkap, rujak manis, dan kue kotak. Minumannya cukup air mineral dan soft drink.

Selepas salat Ied, kami sungkem-sungkeman, tradisi dalam keluarga besar kami. Cium tangan, cipika-cipiki, berpelukan, saling memaafkan, saling mendoakan. Setelah itu....ini yang juga sangat ditunggu-tunggu....pesta makan nasi uduk dan ayam ingkung.

Nasi uduk dan ayam ingkung, adalah menu utama tradisi keluarga setiap lebaran. Semua dimasak sendiri. Pak Anwar, adik ipar ibu, kepala rumah tangga di rumah keprabon ini, selalu menyembelih sendiri ayam kampung yang besar, meracik bumbu, dan mengolahnya, dibantu Bu Heni, istrinya, dan putro-putri.

Kebetulan hari ini, Dik Riris, putri pertama mereka, memasak nasi biriani. Dia khusus membeli beras jenis long grain untuk mendapatkan nasi biriani yang sempurna.

Dik Riris, saudara sepupu kami ini tinggal di Malang. Dua putrinya sudah mahasiswa. Bersama mereka ada seorang guru asli China yang bertugas mengajar di STT Telkom Malang, yang tinggal di rumah mereka. Tong Ting (entah seperti apa ejaannya), gadis China itu, juga ikut pulang mudik ke Ponorogo. Sebenarnya dia diajak temannya untuk berlibur ke Bali, tapi dia memilih ikut mudik host parent-nya. Saya bilang ke dia: "You do not just teach, you learn about the culture as well."

Acara halal bi halal keluarga besar kami dihadiri oleh sekitar 50 orang, yang semuanya keluarga, kecuali Tong Ting, yang panggilannya Tiny. Selain acara sebagaimana layaknya acara halal bi halal yang lengkap dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Anwar, acara juga dimeriahkan oleh sajian live music. Iwuk, adik Mas Ayik, memegang keyboard, bergantian dengan Arga. Dio memegang biola. Penyanyinya bergantian, termasuk Tiny. Tiny menyanyikan lagu Hao Siang dan Yue Liang Dai. Tepuk tangan meriah mengikuti alunan suaranya yang nyengek-nyengek. Saat menyanyikan Yue Liang Dai, dia duet dengan Arga. Gadis 23 tahun itu nampak begitu menikmati berada di antara keluarga besar kami di acara family gathering ini.

Dio, adalah saudara sepupu Arga. Dia sekelas dengan Arga, di Pendidikan Sendratasik Unesa. Dio piawai memainkan Biola, Arga lebih suka Cello. Tapi biola yang dimainkan Dio saat ini, adalah biola milik Bapak almarhum. Ibu sengaja mengeluarkan biola itu dan meminta Dio untuk memainkannya. Lagunya, Jali-Jali, salah satu lagu kesukaan Bapak.

Selesai acara, kami semua beres-beres. Termasuk membereskan makanan yang masih cukup banyak tersisa, kami bagikan untuk keluarga dan tetangga-tetangga. Saya sendiri membawa puluhan kotak kue, kami akan bagi-bagikan nanti pada anak-anak dan orang-orang di perempatan jalan.

Puas rasanya bisa bertemu dengan para saudara, keluarga besar Ponorogo, mulai dari mbah-mbah sampai buyut-buyut. Tradisi tahunan ini selalu menjadi momen yang ditunggu oleh keluarga besar kami. Setelah setahun bersitegang dengan berbagai macam tugas dan urusan, bertemu keluarga besar seperti ini seperti mengurai semua rutinitas yang kadang menjemukan dan melelahkan.

Inilah salah satu berkah silaturahim.

Siang nanti, kami bertiga akan melanjutkan muhibah lebaran ke Solo dan Boyolali. Biasanya kami juga berkunjung ke Sragen, ke rumah Paklik Wahab dan Bulik Kafiyah. Namun beliau berdua telah berpulang sejak sekitar dua tahun yang lalu.

Setiap tahun, kerabat kami hampir selalu berkurang. Waktu acara halal bi halal tadi, kami juga berdoa bersama untuk Bapak Nurhadi, Bapak kami, yang berpulang sekitar seratus hari yang lalu. Juga untuk Mas Ranawi, saudara sepupu, yang berpulang hanya beberapa hari menjelang idul fitri.

Begitulah. Umur manusia benar-benar rahasia Illahi. Semoga kita masih dipertemukan dengan Ramadhan dan Idul Fitri yang akan datang. Amin.   

Ponorogo, 28 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 23 Juli 2014

Kisah Buah Mangga

Sekitar seminggu yang lalu, saya berkunjung ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT. Saya diundang oleh Konsorsium Pendidikan Kemdikbud untuk menjadi narasumber pada pelatihan Kurikulum 2013. Pesertanya adalah para guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Hari pertama di Maumere, saya disambut cuaca yang sangat ramah. Awan tipis menutupi sebagian langit, dan sinar matahari masih bisa dinikmati kehangatannya. Sangat bersahabat, terutama bagi kami yang sedang berpuasa. Mendung, tapi tidak hujan.

Hari kedua, matahari sudah bersinar cerah sejak pagi. Saya memberi pelatihan sejak pukul 09.00 sampai pukul 15.00. Ada jeda istirahat sekitar tiga puluh menit, kesempatan menikmati makan siang bagi para peserta yang hampir semua pemeluk Katolik, dan kesempatan bagi kami yang muslim untuk menunaikan salat dhuhur.

Hari itu, adalah puasa terberat saya. Melatihkan K-13 pada para peserta yang sebagian besar masih nol pemahamannya, di cuaca yang sangat panas, di antara sekitar 150 peserta yang dengan bebasnya 'nyumak-nyamuk' dan 'srupat-sruput'. Tenggorokan saya sampai terasa pahit sekali saking 'ngorong'nya, dan kaki-kaki saya 'kemeng' luar biasa. Sekujur badan rasanya sakit semua.

Saya pernah merasakan kondisi mirip itu, ketika umroh pada Ramadhan 2011, tiga tahun yang lalu. Waktu itu, suhu di Makkah menembus angka 51 derajat Celcius. Udara panasnya tak terkira. Sekujur tubuh sakit terpapar panas, baju di badan terasa seperti baju yang baru saja diseterika, dan menyentuh benda apa pun di luar penginapan, hampir semuanya panas menyengat. Tenggorokan kering dan pahit, badan loyo, lungkrah, dan kepala serasa berasap. Benar-benar ruarrr biasa.

Di Maumere, memang rasanya tak seheboh seperti di Makkah. Namun karena saya menjadi kelompok minoritas, benar-benar minoritas, di antara para peserta yang dengan tenangnya 'telap-telep', ditambah suhu AC di ruang workshop yang tak bisa membendung suhu panas dari luar, sementara saya harus menjelaskan panjang lebar tentang K-13, 'nyerocos' terus, maka sensasi 'ngorong dan kemeng' yang saya rasakan mengingatkan saya saat di Makkah kala itu.

Begitu pelatihan selesai, saya langsung 'keplas' masuk mobil, minta pada driver supaya AC dihidupkan kuat-kuat, dan segera mengantar saya ke hotel Sylvia, tempat saya menginap. Saya ingin segera 'slulup', eh, maksud saya 'grujukan' di bawah shower. Saya mengalami dehidrasi parah, dan perlu digerojok air dingin yang berlimpah, sebelum sekujur tubuh saya 'kemlingkingen'.

Selesai mandi dan salat, saya turun ke lobi. Minta diantar driver muter-muter, ngabuburit. Saya ingin melihat-lihat kota Maumere. Saya diantar ke toko pusat oleh-oleh, ke Pelabuhan Lorosae, ke pasar tradisional melihat tenun ikat dan membeli buah-buahan.

Ya, buah-buahan. Dalam kondisi puasa, buah-buahan adalah makanan favorit saya. Buah apa saja. Yang penting buah beneran, bukan buah plastik atau buah kayu.

Sejak kemarin saya tidak makan buah. Sehari saja tidak ketemu buah, seperti ada yang kurang lengkap hidup ini. Maka sore itu, di Pasar Alok, saya membeli dua buah apel merah seharga Rp.15.000,- dan tiga buah mangga mengkal seharga Rp.20.000,-. Cukuplah. Karena besok toh saya sudah balik ke Surabaya. Di Surabaya, buah apa pun sudah tersedia.     

Sore itu, saya kembali ke hotel dengan sekantung buah, selembar kain tenun ikat, dua plastik kopi Manggarai, sebungkus nasi goreng, dan dua gelas es kelapa muda. Saya sengaja menolak ajakan panitia untuk buka puasa bersama di sebuah rumah makan. Saya ingin menikmati semuanya sendiri, di kamar, dengan menu buah segar, nasi goreng, dan es kelapa muda. Setelah itu, saya akan segera salat tarawih, ngaji sebentar, terus tidur. Lelah tubuh sehari ini harus terbayar lunas.

Dari sekian jenis makanan, bagi saya, yang paling menggiurkan adalah buah mangga. Mangga itu sejenis mangga arumanis, tapi masih mengkal. Bukan masak pohon, karena memang belum masak. Tapi justeru karena dia masih mengkal itu, rasanya begitu eksotis. Manis, asam, dan renyah. Pas dengan selera saya. Saya menikmatinya di setiap gigitan, sampai akhirnya gigi saya terasa ngiluuuu.

Saya berhenti. Mangga sebuah saja sudah cukup membuat gigi saya protes. Tapi saya puas. Dan bertekad untuk membawa serta dua buah mangga yang masih tersisa ketika saya pulang ke Surabaya besok.

Nah, sore ini, ya, sore ini, kedua buah mangga itu sudah masak. Saya mengupasnya dengan sepenuh hati, memotong-motongnya dalam bentuk kotak-kotak besar, menatanya di piring, melengkapinya dengan garpu. Saya siapkan mangga itu di atas meja makan, bersama hidangan yang lain, nasi putih, tempe goreng, bebek goreng, sambal dan lalapan, juga es garbis.

Begitu adzan maghrib terdengar, kami bertiga, bapak ibu dan anak ini, langsung menyerbu mangga yang warnanya oranye menggemaskan itu. Kami menikmatinya dengan penuh rasa syukur, lega, merasakan perjuangan sehari ini telah sampai pada batasnya. Insyaallah kami lulus. Insyaallah puasa kami diterima Allah SWT. Insyaallah kami termasuk golongan orang-orang yang diberi ampunan. Amin YRA.

Wuihh, mangga ini, rasanya.....manisnya....harumnya.... Ini benar-benar mangga istimewa. Bukan saja karena dia mangga pertama yang kami nikmati sepanjang Ramadhan ini. Tapi juga karena dia dibawa dari tempat yang sangat jauh, menyeberang laut, menyeberang pulau. Saya seperti mendengan sayup-sayup suara lagu Maumere Manise yang dinyanyikan oleh para guru peserta pelatihan menjelang pelatihan usai waktu itu. Seperti nama lagu itu, seperti tempat dia berasal, Maumere Manise, seperti itulah rasa mangga ini. Mangga manise.


Surabaya, 23 Juli 2014

Wassalam,
LN

Kamis, 17 Juli 2014

Kurikulum 2013: Target Implementasi yang Terlalu Ambisius

Siang ini, saya sedang nunggu boarding di Bandara Frans Seda, Maumere. Saya membuka tab, cek email, FB, dan baca-baca.

Sebuah artikel di Kompasiana berjudul 'Kemdikbud: Nafsu Gede, Stamina Memble', menarik perhatian saya. Sebelum membaca isinya, saya coba tebak, ini pasti tentang Kurikulum 2013.

Ternyata benar. Artikel yang ditulis Mochamad Syafei itu berbicara tentang K-13 yang fonomenal itu. Fenomenal karena 'kehebatannya.'

Betapa tidak. Kemdikbud manargetkan pada awal masuk sekolah 14 Juli 2014, K-13 harus sudah diimplementasikan. Artinya, semua guru sudah dilatih, buku-buku sudah didrop di semua sekolah, dan oleh sebab itu, 'siap tidak siap, bisa tidak bisa, K-13 harus jalan'.

Padahal, kenyataannya, tidaklah seperti itu. Tanggal 6-7 Juni yang lalu, saya diundang ke Kupang, sebagai narasumber untuk workshop K-13. Saya menyiapkan materi selengkap mungkin, meski saya berharap, saya tidak harus memulai dari awal ketika bicara tentang K-13. Artinya, saya berharap, para peserta workshop sudah memiliki pengetahuan awal yang cukup memadai tentang rasional K-13, elemen perubahan, pola pikir, dan hal-hal lain yang terkait dengan konsep. Saya berharap, saya bisa langsung berdiskusi tentang sistem pembelajaran dan penilaian dalam K-13, dan ada cukup banyak waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Ternyata harapan saya tinggal harapan. Para peserta itu, sebanyak sekitar 100 peserta, yang terdiri dari guru SD, SMP, SMA dan SMK, yang datang dari segala penjuru Kabupaten Kupang, mayoritas belum paham K-13 bahkan pada tataran konsepnya. Jadilah dua hari itu kami berdiskusi intens tentang konsep K-13 sampai kepada sistem pembelajaran dan penilaian. Tidak terlalu cukup waktu untuk berlatih menyusun RPP dan instrumen penilaian.

Sekitar dua minggu setelah itu, saya rapat di Dikti, Jakarta, bersama UKMP3 (Unit Kerja Menteri Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan). Unit khusus menteri ini meminta kami terlibat dalam monitoring implementasi K-13, dengan melibatkan para peserta SM-3T yang bertugas di berbagai pelosok Indonesia dan para peserta PPG yang sedang ber-PPL di berbagai sekolah di kota-kota di Indonesia juga.

Waktu itu, wakil dari UKMP3 menegaskan, bahwa semua guru sudah dilatih dan semua buku sudah didrop.
"Apa?" Saya spontan bertanya. "Tidak mungkin."
"Diasumsikan begitu, Bu. Sesuai target yang dicanangkan oleh Kemdikbud."
"Diasumsikan?" Saya balik bertanya lagi. Saya mau melanjutkan kalimat saya "itu asumsi yang super ngawur", saya tahan. Saya perhalus kalimat saya, "Itu asumsi yang jauh dari kenyataan." Terbayang dalam benak saya, betapa K-13 itu bahkan sama sekali belum menyentuh semua daerah 3T yang pernah saya kunjungi pada bulan-bulan belakangan ini.
"Ya, untuk itulah, Bu, kami perlu lakukan monitoring ini."

Kemarin, saya diundang sebagai narasumber workshop K-13 di Maumere. Pesertanya sekitar 150 guru, mulai dari guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Sebagaimana harapan saya ketika saya diundang di Kupang, saya bisa langsung berbicara tentang sistem pembelajaran dan penilaian, serta pengisian rapor. Apa lagi sebelumnya, panitia sudah memberi tahu, bahwa guru-guru yang akan mengikuti pelatihan sebagian besar sudah menerima sosialisasi dan pelatihan K-13. Mereka hanya merasa kesulitan pada sistem penilaian dan pengisian rapor.

Tapi harapan saya, lagi-lagi, tinggal harapan. Meski saya paksakan, guru-guru itu tidak akan nyambung kalau saya langsung bicara tentang sistem penilaian. Bagaimana tidak. Ketika saya tanya, 'Apa KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4', hanya sebagian kecil saja guru yang bisa menjawab. Bahkan pengetahuan awal mereka tentang K-13 lebih minim daripada guru-guru di Kupang, yang saya latih sekitar sebulan yang lalu.

Sebagian kecil dari peserta itu mempelajari K-13 saat PLPG tahun 2013, sebagian kecil mengikuti sosialisasi singkat, sebagian besar belum pernah menerima informasi apa pun lewat sosialisai maupun pelatihan. Ada satu dua yang mencoba belajar dari internet. Dari seluruh peserta tersebut, belum ada satu pun dari sekolah mereka yang sudah mendapatkan dropping buku-buku K-13.

Benar memang yang dikatakan banyak orang, yang saya alami, yang saya lihat. Kemdibud terlalu ambisius dengan target implementasi K-13 ini. Para pakar dan tim yang diandalkan untuk menyusun dan memastikan implementasi K-13 tentulah orang-orang yang tak diragukan kapasitasnya. Namun kondisi di lapangan dengan berbagai kendalanya nampaknya tidak terlalu cermat diperhitungkan.


Entah apa lagi yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita setelah ini.


Bandara Frans Seda, Maumere, 17 Juli 2014

Wassalam,
LN

Rabu, 16 Juli 2014

MAUMERE

Kusapa Frans Seda, di suatu siang saat matahari menyembul di sela-sela awan putih
Kehangatannya seperti mengabarkan keramahan Tanah Maumere
Senyuman orang-orang berkulit hitam berambut keriting 
Tegur sapa "taksi, Ibu?" atau "boleh diantar ke mana, Ibu?" atau "apa sudah ada yang menjemput, Ibu?" adalah suara-suara indah di negeri asing ini

Inilah negeri yang telah melahirkan seorang pahlawan
Dia disebut sebagai Pahlawan Keuangan
Meski sudah melanglang buana sampai ke mancanegara, dia selalu mengingat tanah kelahirannya
Berjuang membuka jalur lewat laut dan udara
Mendatangkan banyak kapal dan pesawat perintis untuk membuka isolasi Indonesia Timur yang dicintainya

Inilah tanah kecil yang menyimpan kemakmuran
Dia memiliki pisang, kemiri, kakao, kelapa, kopra 
Beragam tenun ikat yang indahnya telah kesohor di seluruh dunia
Cobalah datang ke Pasar Alok
Temukan semua di sana
Bersama para mama yang tersenyum manis
Nona-nona yang menawarkan es kelapa muda
Dan para bapa yang menggelar kain-kain lebar tenun ikatnya

Datang jugalah ke pantainya pada suatu senja, di sebuah pelabuhan laut bernama Lorosae
Tumpukan peti kemas dan kapal-kapal yang bersandar, berpadu dengan lekuk garis pantai dan batas cakrawala
Serta bukit-bukit dan pulau-pulau di kejauhan
Ditingkahi suara bocah yang riang-gembira melempar-lempar bebatuan
Adalah lukisan alam yang tak terkata indahnya

Inilah pintu gerbang utama wilayah Indonesia Timur
Kota kecil yang menjadi persinggahan menuju Kelimutu dan Larantuka
Bahkan Labuan Bajo pun bisa terjangkau meski harus menempuh perjalanan panjang
Namun pesona alamnya  adalah mimpi para petualang
  
Inilah tempat yang dihuni orang-orang kuat
Meski tsunami pernah mengguncangnya puluhan tahun silam dan merenggut ratusan ribu nyawa, orang-orang ini tak diam berputus asa
Terus bangkit, bergerak, membangun peradaban
Sri Paus Johanes Paulus II pun terpikat untuk datang menyapa
Ada kerukunan beragama yang kuat, ada toleransi yang mengagumkan, ada banyak perkawinan campuran
Namun jangan berharap ada kerusuhan
Orang-orang ini hanya ingin bekerja mencari nafkah untuk keluarga
Agama, budaya, dan adat istiadat yang berbeda, adalah sebuah keniscayaan
Tidak ada guna saling menjelekkan, saling menghinakan
Hidup rukun bersama, merayakan lebaran dan natal bersama
Dengan bahan makanan yang berbeda, pisau dan alat-alat memasak yang berbeda, tukang masak berbeda, dan meja sajian yang berbeda, mereka berpesta bersama, mensyukuri nikmat bersama
Dalam kebersamaan, dalam keragaman serupa itu, bukankah itu semua begitu indah?

Datanglah ke Maumere-Sikka
Dan kau akan disambut dengan sepenuh suka cita, sepenuh kehangatan, sepenuh ketulusan...

Maumere, 16 Juli 2014

Wassalam,
LN

Minggu, 13 Juli 2014

Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia

Judul Buku: Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia
Penerjemah: Ahmad Muchlis
Cetakan: I, Mei 2014
Penerbit: Kaifa
Jumlah halaman: 318

Pendidikan di Finlandia dinilai terbaik di dunia, banyak kalangan mengakui hal ini. Selain keunggulannya dalam bidang pendidikan, Finlandia juga dikenal sebagai negara yang indeks kebahagiaannya tertinggi. Warga Finlandia dinilai memberikan pengaruh penting pada terciptanya faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan, antara lain kesehatan, pendidikan, kualitas hidup, dan pemerataan ekonomi.

Diyakini, model pendidikan yang diterapkan berhubungan dengan kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat Finlandia. Negara ini disebut sebagai negara yang memiliki skala prioritas yang lurus dalam kaitannya dengan paradigma pendidikan yang dianutnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa segala macam keterampilan dan kemampuan akademik lebih sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kebahagiaan lahir dan batin. Berbeda dengan negara-negara yang paling maju dan paling makmur sekali pun, yang menganggap pendidikan sekadar untuk mencapai kemakmuran yang setinggi-tingginya. Kemakmuran tidak selalu berarti kebahagiaan lahir dan batin. Banyak negara yang memiliki tingkat penguasaan sains dan teknologi serta kemakmuran yang tinggi, namun indeks kebahagiaan masyarakatnya terpuruk.

Buku 'Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia', yang ditulis oleh Pasi Sahlberg, sebenarnya bukanlah buku yang terlalu baru. Buku yang diterjemahkan dari 'Finnish Lessons: What Can The World Learn from Educational Change in Finland?', diterbitkan pertama kali pada 2011 di New York, USA. Kemudian pada 2014, buku tersebut diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Kaifa.

Ada banyak hal yang menarik dari buku setebal 318 halaman ini. Dalam bab per bab, pembaca disuguhi informasi tentang bagaimana Finlandia melakukan transformasi pengajaran dan pendidikan guru dalam kurun waktu sekitar 30 tahun. Buku ini menunjukkan, mengapa pendidikan di Finlandia bisa berada pada posisi nomor satu di dunia, dan bagaimana negara ini mencapainya.

Informasi tentang apa yang dimaksud dengan program penyiapan guru berbasis riset, dan apa pengaruhnya terhadap pembelajaran siswa, juga ditunjukkan dengan cukup detil. Fokus utama reformasi pendidikan di Finlandia memang pada program pendidikan guru. Program ini memberikan kerangka kerja menyeluruh bagi semua yang mengajar--guru-guru mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah. Guru harus bergelar master, sehingga mereka memiliki cukup waktu untuk mempelajari pedagogi serta melakukan praktik dan belajar melakukan riset (hal 19).

Guru adalah profesi yang tinggi statusnya, seperti dokter. Mereka yang masuk ke profesi ini terus belajar, melanjutkan studi, agar bisa berkontribusi lebih banyak pada profesi. Guru menjadi jabatan yang dikejar dan hanya didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung untuk terpilih sebagai calon guru (hal 20).

Sebagai sebuah contoh sistem pendidikan yang unggul, Finlandia memiliki cara lain untuk memperbaiki sistem pendidikan. Cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Norwegia, dan Perancis. Finlandia tidak memperketat kontrol terhadap sekolah, memperberat akuntabiitas kinerja siswa, memecat guru-guru yang dinilai jelek, dan menutup sekolah-sekolah yang bermasalah, namun sebaliknya melakukan cara-cara berikut: 1) memperbaiki sumber daya guru, 2) membatasi tes pada siswa sampai batas minimum yang diperlukan, 3) menempatkan tanggung jawab dan kepercayaan di atas akuntabiitas, dan 4) menyerahkan kepemimpinan pada level sekolah dan distrik kepada tenaga profesional pendidikan (hal 42).

Terkait dengan pendidikan guru, bagi Finlandia, tidaklah cukup memperbaiki pendidikan guru dan menaikkan persyaratan penerimaan mahasiswa semata. Yang lebih penting adalah menjamin agar kerja guru di sekolah berlandaskan martabat profesional dan kehormatan sosial sehingga mereka dapat memenuhi tujuan mereka dalam memilih profesi menjadi guru sebagai karier seumur hidup. Kerja guru seharusnya seimbang antara mengajar di kelas dan berkolaborasi dengan tenaga profesional lain di sekolah. Itulah cara terbaik untuk menarik para pemuda berbakat kepada profesi guru (hal 159).

Perbedaan khas terkait dengan sistem pendidikan publik di Finlandia dan di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, dan tentu saja juga di Indonesia, salah satunya adalah pada kerja guru. Pendidikan di Finlandia tidak mengenal pengawasan sekolah yang ketat. Tidak ada ujian terstandar eksternal bagi siswa untuk memberi tahu publik tentang kinerja sekolah atau efektivitas guru. Guru juga memiliki otonomi profesional untuk membuat kurikulum dan rencana kerja sendiri berbasis sekolah. Semua pendidikan dibiayai publik dan tidak ada penarikan biaya di sekolah dan universitas (hal 162).

Guru merupakan profesi yang terkait dengan pemeliharaan kultur nasional. Salah satu tujuan persekolahan formal adalah mewariskan pustaka, nilai-nilai, dan aspirasi kultural dari satu generasi ke generasi berikutnya. Guru merupakan pemain kunci dalam membangun masyarakat sejahtera. Sejarah panjang Finlandia yang telah menyebabkan negara ini bergulat dengan identitas nasional, bahasa ibu, dan nilai-nilai sendiri, telah meninggalkan jejak yang dalam pada masyarakatnya dan mendorong keinginan mereka untuk mengembangkan pribadi melalui pendidikan, membaca (reading), dan perbaikan diri. Literasi adalah tulang punggung kultur Finlandia dan telah menjadi bagian tak terpisahkan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca buku ini, serasa pembaca diseret dalam berbagai kondisi yang sangat kontradiktif. Oleh sebab itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para pemerhari pendidikan, guru, praktisi, pengambil kebijakan, dan juga para orang tua dan msayarakat pada umumnya, sebagai bahan refleksi dalam rangka meningkatkan mutu proses pembelajaran dan pendidikan di segala jalur dan jenjang.

Terkait dengan 'kehebatan' profesi guru di Finlandia, kondisi ini tentu saja agak berbeda dengan di Indonesia. Meski dengan diberlakukannya UUSPN dan UUGD yang mengharuskan adanya sertifikat pendidik sebagai syarat untuk menjadi guru, profesi guru belum menjadi profesi favorit bagi putra-putri terbaik. Memang ada kenaikan sangat tajam animo masyarakat untuk mengambil pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK)--juga kenaikan tajam jumlah LPTK yang saat ini sudah menembus angka lebih dari 500--namun tetap saja, para peminat itu sebagian besar belum merupakan lulusan SMA/SMK terbaik.

Dari segi pemahaman teoretis, sebenarnya apa yang menjadi keunggulan sistem pendidikan di Finlandia telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan, termasuk di Indonesia. Bedanya, di Finlandia, pemahaman tersebut telah diwujudkan dalam praktik yang konkret. Di negara kita, hal itu lebih banyak masih di tingkat pemahaman, sekadar wacana, dan dinilai belum ada keseriusan untuk mewujudkannya dalam praktik. Pandangan yang skeptis terhadap upaya-upaya pembaharuan pendidikan juga masih bermunculan dari banyak pihak.

Contoh kondisi di atas yang saat ini begitu nyata adalah tentang diberlakukannya Kurikulum 2013. Kurikulum yang dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi unggul masa depan bangsa ini masih dilihat sebelah mata saja oleh berbagai pihak. Meski sebenarnya, bila dirunut, rasional Kurikulum 2013 memiliki banyak pararelisme dengan model Finlandia. Penekanan pada tujuan pembelajaran yang terintegrasi antara sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas siswa dengan penerapan model-model pembelajaran dan penilaian yang mendorong terjadinya berpikir tingkat lebih tinggi (higher order thinking), sejalan dengan pola pikir yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan di Finlandia.

Namun begitu, tidak mudah menerapkan Kurikulum 2013, tidak saja karena keterbatasan kemampuan guru (yang saat ini terus-menerus dilakukan penguatan dan peningkatan), namun juga kondisi pendidikan di Tanah Air, yang disparitasnya sangat tinggi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Beberapa permasalahan terkait SDM pendidiknya saja,  antara lain meliputi: kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched), masih menjadi persoalan serius. Belum lagi menyangkut kendala kultur/budaya pendidik dan semua stakeholder pendidikan; karena sesungguhnya, tanpa perubahan pola pikir, sangat mustahil Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan.

 
Surabaya, 7 Juli 2014


Luthfiyah Nurlaela

Direktur Program Pengembangan Profesi Guru, Universitas Negeri Surabaya

Jakarta (2)

Halo, Jakarta
Aku menyapamu lagi
Dengan sepenuh hati
Dengan semangat membubung tinggi

Tapi kenapa sepagian ini kau begitu muram?
Bekas kesedihanmu rata membasahi jalan-jalan
Langitmu gelap penuh awan hitam sejak semalam
Bahkan pagi ini, meski sudah beranjak siang, tak kulihat setitik pun senyuman

Halo, Jakarta
Tersenyumlah
Bukankah hari ini kau bisa sedikit melepaskan beban?
Setidaknya nadimu tak harus dipenuhi lalu-lalang
Hari ini, pagimu adalah pagi yang tenang
Siang, sore dan malam, usahlah kau terlalu risaukan
Jadi tersenyumlah sajalah

Esok, tugas berat telah menunggumu
Maka nikmati harimu, sehari ini
Biar terhimpun sepenuh semangatmu
Untuk menjelang tugas muliamu

Jakarta, 13 Juli 2014

Mas, kalau perlu, foto ambil di fb-ku ya?
Tq

Wassalam,
LN

Jakarta (1)

Jakarta...
Aku datang lagi
Jangan bosan ya?
Aku hanya datang sebentar
Lusa sudah pergi lagi

Jangan lelah menyapaku
Supaya aku betah dalam nadimu
Meski raga dan jiwa ini tak pernah merindumu

Jakarta,
Ramah sekali kau hari ini
Ada taburan gerimis yang jatuh satu-satu
Titik-titik air membekas di kaca-kaca
Pohon-pohon diam mengeja setiap kata
Bangunan-bangunan tinggi menjulang, bahkan tak menampakkan pongahnya
Mendung menggantung, benda-benda beroda begerak, suara-suara meraung-raung, seperti orkestra senja saja

Jakarta
Aku datang lagi
Jangan bosan ya...
Jangan bosan ya....

Jakarta, 12 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Pesawat kok Batik

Jadwal penerbangan hari ini cukup membuat saya pusing. Sejak kemarin, saya sudah pesan tiket Garuda jurusan Surabaya-Jakarta PP. Tapi sampai tadi malam, Mas Nardi, petugas tiket langganan, belum berhasil. Dia hanya bisa memastikan jadwal penerbangan dengan Lion. Katanya, Garuda mengurangi empat jadwal penerbangannya hari ini, sedangkan Lion dua kali penerbangan. Saya disarankan untuk waiting list di Garuda saja. Dia pastikan, besok pagi saya bisa berangkat menumpang Garuda. Kalau pulangnya, Mas Nardi tidak menjamin saya bisa dapat Garuda.

Jadilah pagi selepas sahur dan salat subuh, saya bersiap. Meskipun sebenarnya rapat di Dikti dilaksanakan pada pukul 12.00, saya tidak terlalu persoalan kalau saya datang terlalu pagi. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan. Di laptop saya tersedia banyak tugas yang harus segera saya selesaikan. Saya juga membawa sebuah buku untuk saya baca dan saya tulis resensinya.

Saya menuju bandara Juanda Terminal 2 diantar Mas Ayik. Tapi baru sampai di depan Makro, Mas Nardi bertanya melalui SMS, "Ibu posisi di mana?" Saya balas kalau saya di depan Makro.

Menjelang Bandara Juanda 2, Mas Nardi SMS lagi. "Ibu, tidak bisa. Ibu langsung ke T1 saja."

Walah. Ya sudah. Mas Ayik langsung putar haluan menuju Terminal 1.

Begitu sampai di Terminal 1, saya langsung disuguhi pemandangan yang ruwet. Orang pating blesah di mana-mana. Ruwame. Kursi-kursi penuh, bukan hanya karena memang saking banyaknya orang, tapi orang-orang itu pada tidur di kursi. Barang-barang mereka juga ditumpuk-tumpuk di kursi. Benar-benar tidak sopan ya? Sementara puluhan orang yang lain, ngleset di lantai-lantai. Tua muda laki perempuan. Berserak seperti ikan pindang yang hidup kembali.

"Ibu nanti bisa pakai Lion jam 7-an." Kata Mas Nardi. "Ibu cari tempat duduk dulu, nanti saya beri tahu."

Saya pun celingak-celinguk cari tempat duduk. Itu dia, ada kursi di sebelah seorang gadis berjilbab, di barisan tengah. 

"Mbak, kosongkah?" Tanya saya pada gadis yang lagi sibuk memainkan ponselnya.
"Ya, bu." Jawabnya, sambil menggeser tas yang didudukkannya di kursi itu.

Saya pun duduk. Membuka 'Finnish Lessons'. Saya berjanji pada pengirimnya, Ahmad Muchlis, dosen ITB yang menerjemahkan buku bagus itu, untuk membuat resensinya.

Sekitar pukul 07.00, Mas Nardi muncul. "Bu, Lion juga penuh. Bagaimana kalau ibu waiting list Garuda yang jam delapan-an?"
"Hah? Apa Mas? Saya balik lagi ke Terminal 2? Nggaklah, Mas. Wis, sak nemunya saja, pesawat apa saja." Jawab saya. Toh apa pun pesawatnya, capresnya tetap Prabowo dan Jokowi.

"Lion bisanya jam 11-an, Bu."
"Lhah, aku lak yo telat rapat, Mas."
"Atau coba pakai Citi Link saja ya, Bu?"
"Yo wis, Citi Link."
Mas Nardi menelepon. Tak berapa lama dia bertanya lagi.
"Bu, pulangnya pakai Citi Link juga nggih? Tapi dari Bandara Halim."
"Emoh, adoh, Mas. Berangkatnya saja oke, pulangnya Mas Nardi cariin yang lain deh."
"Nggih, Bu."

Saya pun akhirnya terbang ke Jakarta menumpang Citi Link. Pesawat yang bersih dan cukup nyaman. Selama di pesawat, saya tidur pulas. Ngantuk yang saya tahan dari tadi menemukan muaranya.

Begitu turun di Cengkareng, saya menyalakan ketiga gadget saya. SMS ke Mas Ayik kalau saya sudah mendarat. Sebuah email masuk di BB dan tab saya, tiket untuk kepulangan saya sore nanti. Di tiket itu, tertera, saya akan pulang menumpang Batik. Dalam hati saya bergumam: "pesawat kok batik..."

Rapat di Lantai 3 Dikti dimulai agak molor, lewat setengah jam dari pukul 12.00. Saya dan kawan-kawan sesama koordinator menyempatkan salat dulu, jama' takdim dhuhur ashar. Sejak ketemu teman-teman Dikti, saya sudah lapor, kalau tiket pulang saya terjadwal pukul 18.00. Jadi saya harus meninggalkan ruang rapat maksimal pukul 16.00, tidak peduli rapat sudah rampung atau belum. Habis nggak ada tiket lagi? Semua full-booked. Begitu alasan saya. Bukan alasan yang dibuat-buat, tapi seperti itulah memang adanya.

Ternyata, seperti memahami situasi saya, rapat persiapan tes wawancara SM-3T itu diselesaikan tepat pukul 16.00. Saya bersama dua teman, Pak Ega dari Unimed, dan Pak Agung dari UM, langsung bergegas ke lift. Turun. Jadwal penerbangan kami bertiga kebetulan sama.

Alamakkkk..... Ternyata hujan sedang turun deras sekali. Padahal kami musti nyegat taksi di pinggir jalan. Pak Ega mengambil inisiatif, mengorbankan dirinya untuk diguyur hujan, berlari menuju pintu gerbang. Di situ ada pos satpam, dan tiba-tiba Pak Ega sudah membawa payung yang memungkinkannya untuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi.

Akhirnya, kami bertiga pun berhasil masuk mencapai taksi dengan berbasah-basah, meluncur ke Cengkareng, menembus hujan yang deras. Di taksi, saya tanya pak Ega dan Pak Agung.
"Pak, Batik itu di terminal apa?"
"Batik?" Pak Ega balik bertanya. "Ini saya pakai baju batik, Prof."
"Itu se-grup sama Lion, Prof. Mungkin sama dengan Lion." Kata Pak Agung.
"Betul tah, Pak?" Saya tanya pak supir.
"Mungkin, Bu...." Jawab supir, tidak meyakinkan. Dalam hati saya menggerutu: "supir opo iki...." Tapi cepat-cepat beristighfar. Poso-poso rek.

Akhirnya kami semua turun di Terminal 1 Soekarno Hatta. Persis di depan Lion. Kami berpisah di situ, melanjutkan perjuangan masing-masing.

Begitu sampai di pintu masuk, dan saya menyorongkan tiket saya ke petugas, petugasnya bilang: "Batik, Surabaya, di Terminal 3, Bu...."
"Walah, jauh dong, Mbak. Harus naksi lagi dong saya."
"Nggak harus pakai taksi, Bu.."
"Oya?"
"Bisa pakai shultle.."
"Walah, yo podho ae, mending saya naksi aja, Mbak. Iya kalau shuttlenya cepet.."

Saya pun akhirnya kembali ke tempat saya turun tadi, menyambar taksi sekenanya.
"Bang, anterin ke Terminal 3 ya."
"Ya, Bu."

Akhirnya, saya pun menumpang Batik malam itu. Pesawat Boeing yang bagian ekornya bercat motif batik, dengan pramugari-pramugari cantik berblus putih dipadu rok panjang batik yang pada bagian depan, belahannya sampai setinggi paha, memamerkan paha-paha mereka, yang untung saja, tidak batik. Pesawat yang nyaman, lebih longgar daripada Lion dan kawan-kawannya sekelasnya, dan dilengkapi monitor dengan layar sentuh seperti di Garuda. Bedanya, kalau di Garuda headset sudah disediakan, kalau di Batik, kita musti meminta ke pramugari dan mengganti biaya Rp.25.000,-.

Ya, selalu ada hikmah dalam setiap peristiwa. Kalau tidak begini, saya tidak tahu Terminal 3 Bandara Sokarno Hatta dan tidak naik pesawat Batik yang nyaman. Hari ini, saya juga sudah berhasil menyelesaikan resensi 'Finnish Lessons' dan bahkan sudah saya kirimkan ke sahabat baik saya siang tadi, saat menumpang taksi dari bandara menuju Dikti. Sahabat baik itu adalah seorang GM sebuah surat kabar. Komentar dia tentang resensi itu: "Wis sip, Prof, resensinya nggak perlu diedit. Nanti kalau saya edit malah salah. Langsung siap muat. Jreng....jreng...."

Surabaya, 7 Juli 2014

Wassalam,
LN