Saya lumayan sering naik kereta api. Lebih dari
sepuluh kalilah. Hehe. Itu termsuk sering tidak?
Kali ini saya naik kereta api dari Surabaya ke
Banyuwangi. Untuk memenuhi undangan guru-guru MAN 2 Banyuwangi. Berbagi tentang
bagaimana menjadi guru di era mileneal. Waw. Saatnya menjadi dosen mileneal
juga ini. Acaranya besok pagi. Jadi masih cukup lama. Ups.
Setiap bepergian dengan menumpang kereta api, saya
selalu menikmatinya. Sebetulnya tidak hanya saat menumpang kereta api saja sih.
Pergi kemana pun saya selalu menikmatinya. Pakai kereta api, bus, truk,
pesawat, mobil pribadi, angkot, motor, sepeda pancal, dokar, saya selalu
menikmatinya. Setidaknya berusaha menikmatinya. Pada dasarnya saya suka
kluyuran, dan berpetualang, namun untuk tujuan yang insyaallah baik:
bersilaturahim, berbagi, dan tadabbur alam. Untuk tujuan itu, seringkali risiko
yang berat harus saya tempuh. Tapi tentu tidak seberat tugas para abdi negara
yang berada di garis-garis terluar dan terdepan NKRI. Mereka tuh, bener-bener
'toh nyowo'. Saya tidak ada apa-apanya tentu saja. Apa lagi kalau dibandingkan
dengan perjuangan Nabi saat berdakwah dan membela Islam. Wew. Gak onok sak
ipit-ipit a.
Sik. Iki mau ngomong kereta api ya?
Naik kereta api itu keren. Nyaman sekali. Bersih.
Toiletnya juga. Tisu juga tersedia. Petugasnya ramah-ramah. Mau makan, ada
banyak pilihan menu. Ada televisinya juga. Mau kerja pakai laptop atau
nge-charge ponsel, sak wayah-wayah. Jalannya juga halus, nggak gronjal-gronjal.
Bikin orang sliyat-sliyut. Pemandangan di kanan-kiri jalan menyejukkan. Banyak
pohon-pohon, sawah-sawah, hutan-hutan, kebun-kebun, sak mblengere deh. Di kota
jarang toh nemu pemandangan seperti itu?
Namun ada satu kenangan tersendiri saat saya berkereta
api seperti ini.
Oktober 2018. Saya ada di Yogya. Menjelang shubuh,
suami saya, menelepon. Ibu mertua yang memang sudah mengidap sakit beberapa
bulan, kapundhut. Seketika saya menangis. Ibu mertua kami tinggal bersama kami.
Saya bingung. Suami menenangkan saya.
Meminta saya segera pulang.
Saya pun menghubungi Pak Nardi, teman Unesa yang biasa
membantu memesankan tiket. Minta dicarikan tiket pesawat apa pun pagi ini.
Ternyata tidak ada. Kecuali saya mau via Jakarta.
Saya lari, eh, naik taksi, ke stasiun. Mengejar
kereta. Sepanjang perjalanan dari hotel ke stasiun, saya menangis. Driver-nya
baik hati, mengantar saya ke bagian reservasi sambil membawakan koper saya, dan
melepas saya sampai pintu masuk stasiun.
Saya tenang sebentar karena sudah dapat kereta.
Sekitar pukul 12.00 saya akan tiba di Surabaya. Saya tidak minta dijemput
siapa-siapa karena semua pasti sibuk menyiapkan pemakaman ibu. Di kereta, saya
mengaji, baca tahlil, berdoa untuk ibu, sambil air mata saya dleweran. Saya
ingat pesan ibu, duluuuuu sekali. Saat itu habis makan sahur. Kami di rumah
Ponorogo. Sambil menunggu subuh, saya mengaji. Lalu ibu ngendikan, "Fi,
suk lek ibu arep kapundhut, wacakno yasin yo?" Saya ingat pesan itu dan
menyesal sekali kenapa saya tidak berada di sisi ibu saat beliau menghadapi
sakaratul maut.
Ibu telah meninggalkan kami lebih dari dua tahun yang
lalu. Namun setiap kali menumpang kereta api seperti ini, saya selalu ingat
ibu. Sebagai manusia biasa, ibu tentulah tidak sempurna. Namun ketika ibu sudah
tiada, yang tertinggal hanyalah kebaikan, keikhlasan, kasih sayang, nasehat dan
petuah, senyuman, kebersamaan bersamanya. Dan juga penyesalan yang mendalam,
kenapa saya menyia-nyiakan waktu untuk membahagiakannya......
Setelah kepergian ibu, rumah tak lagi seperti dulu.
Serasa tak lengkap lagi. Ada banyak hal yang membuat kami selalu terkenang pada
ibu.
Kami berusaha membacakan al fatehah dan berdoa untuk
ibu, dan tentu saja untuk bapak, setiap selesai shalat. Membacakan tahlil dan
yasin setiap malam jumat. Itulah saat ini yang bisa kami lakukan. Berusaha
menebus hari-hari yang tak mungkin kembali di mana saya telah lalai untuk
membahagiakan Ibu.
Semoga Allah memberikan tempat terindah untuk Ibu,
sebagaimana keindahan yang selalu beliau hadirkan dalam hidup kami, anak
cucunya.
Amiin.
Kalibaru, 22 Februari 2020