Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Sabtu, 22 Februari 2020

Naik Kereta Api dan Ibu


Saya lumayan sering naik kereta api. Lebih dari sepuluh kalilah. Hehe. Itu termsuk sering tidak?

Kali ini saya naik kereta api dari Surabaya ke Banyuwangi. Untuk memenuhi undangan guru-guru MAN 2 Banyuwangi. Berbagi tentang bagaimana menjadi guru di era mileneal. Waw. Saatnya menjadi dosen mileneal juga ini. Acaranya besok pagi. Jadi masih cukup lama. Ups.

Setiap bepergian dengan menumpang kereta api, saya selalu menikmatinya. Sebetulnya tidak hanya saat menumpang kereta api saja sih. Pergi kemana pun saya selalu menikmatinya. Pakai kereta api, bus, truk, pesawat, mobil pribadi, angkot, motor, sepeda pancal, dokar, saya selalu menikmatinya. Setidaknya berusaha menikmatinya. Pada dasarnya saya suka kluyuran, dan berpetualang, namun untuk tujuan yang insyaallah baik: bersilaturahim, berbagi, dan tadabbur alam. Untuk tujuan itu, seringkali risiko yang berat harus saya tempuh. Tapi tentu tidak seberat tugas para abdi negara yang berada di garis-garis terluar dan terdepan NKRI. Mereka tuh, bener-bener 'toh nyowo'. Saya tidak ada apa-apanya tentu saja. Apa lagi kalau dibandingkan dengan perjuangan Nabi saat berdakwah dan membela Islam. Wew. Gak onok sak ipit-ipit a.

Sik. Iki mau ngomong kereta api ya?

Naik kereta api itu keren. Nyaman sekali. Bersih. Toiletnya juga. Tisu juga tersedia. Petugasnya ramah-ramah. Mau makan, ada banyak pilihan menu. Ada televisinya juga. Mau kerja pakai laptop atau nge-charge ponsel, sak wayah-wayah. Jalannya juga halus, nggak gronjal-gronjal. Bikin orang sliyat-sliyut. Pemandangan di kanan-kiri jalan menyejukkan. Banyak pohon-pohon, sawah-sawah, hutan-hutan, kebun-kebun, sak mblengere deh. Di kota jarang toh nemu pemandangan seperti itu?

Namun ada satu kenangan tersendiri saat saya berkereta api seperti ini.

Oktober 2018. Saya ada di Yogya. Menjelang shubuh, suami saya, menelepon. Ibu mertua yang memang sudah mengidap sakit beberapa bulan, kapundhut. Seketika saya menangis. Ibu mertua kami tinggal bersama kami. Saya  bingung. Suami menenangkan saya. Meminta saya segera pulang.

Saya pun menghubungi Pak Nardi, teman Unesa yang biasa membantu memesankan tiket. Minta dicarikan tiket pesawat apa pun pagi ini. Ternyata tidak ada. Kecuali saya mau via Jakarta.

Saya lari, eh, naik taksi, ke stasiun. Mengejar kereta. Sepanjang perjalanan dari hotel ke stasiun, saya menangis. Driver-nya baik hati, mengantar saya ke bagian reservasi sambil membawakan koper saya, dan melepas saya sampai pintu masuk stasiun.

Saya tenang sebentar karena sudah dapat kereta. Sekitar pukul 12.00 saya akan tiba di Surabaya. Saya tidak minta dijemput siapa-siapa karena semua pasti sibuk menyiapkan pemakaman ibu. Di kereta, saya mengaji, baca tahlil, berdoa untuk ibu, sambil air mata saya dleweran. Saya ingat pesan ibu, duluuuuu sekali. Saat itu habis makan sahur. Kami di rumah Ponorogo. Sambil menunggu subuh, saya mengaji. Lalu ibu ngendikan, "Fi, suk lek ibu arep kapundhut, wacakno yasin yo?" Saya ingat pesan itu dan menyesal sekali kenapa saya tidak berada di sisi ibu saat beliau menghadapi sakaratul maut.

Ibu telah meninggalkan kami lebih dari dua tahun yang lalu. Namun setiap kali menumpang kereta api seperti ini, saya selalu ingat ibu. Sebagai manusia biasa, ibu tentulah tidak sempurna. Namun ketika ibu sudah tiada, yang tertinggal hanyalah kebaikan, keikhlasan, kasih sayang, nasehat dan petuah, senyuman, kebersamaan bersamanya. Dan juga penyesalan yang mendalam, kenapa saya menyia-nyiakan waktu untuk membahagiakannya......

Setelah kepergian ibu, rumah tak lagi seperti dulu. Serasa tak lengkap lagi. Ada banyak hal yang membuat kami selalu terkenang pada ibu.

Kami berusaha membacakan al fatehah dan berdoa untuk ibu, dan tentu saja untuk bapak, setiap selesai shalat. Membacakan tahlil dan yasin setiap malam jumat. Itulah saat ini yang bisa kami lakukan. Berusaha menebus hari-hari yang tak mungkin kembali di mana saya telah lalai untuk membahagiakan Ibu.

Semoga Allah memberikan tempat terindah untuk Ibu, sebagaimana keindahan yang selalu beliau hadirkan dalam hidup kami, anak cucunya.

Amiin.

Kalibaru, 22 Februari 2020

Minggu, 16 Februari 2020

Wulan Kapitu


Prodi S3 Pendidikan Vokasi Pascasarjana Unesa sedang menerima tamu istimewa. Dia adalah Prof. Mingchang Wu, Ph.D, Dekan College of Humanities and Apllied Science, National Yunlin University of Science and Technology (NYUST), Taiwan. Kehadirannya sebagai bagian dari implementasi MoA antara Unesa dan NYUST, dalam progran visiting professor.

Prof Wu, begitu kami memanggilnya, berpengalaman dalam bidang vocational education management dan vocational education assesment and evaluation. Selama di Unesa, dia menjadi tim pengajar dalam kedua matakuliah itu. Selain mengajar, Prof. Wu juga menawarkan berbagai peluang kerjasama. Dia mempresentasikan tentang international cooperation dan sangat memungkinkan bagi kita untuk berkolaborasi dalam bidang riset, international conference, joint publication, student exchange, dan scholar exchange. Tentu saja hal ini sangat baik bagi pengembangan pascasarjana dan Unesa saat ini dan ke depan. Merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan publikasi, kemitraan, dan internasionalisasi.

Sebagai ketua prodi yang berhubungan langsung dengan kehadiran Prof. Wu, maka saya harus mendampinginya di kelas untuk mengajar dan juga pada kegiatan-kegiatan lain. Namun untuk urusan bermain tenis, berkuda, antar jemput, belanja dan city tour, saya meminta bantuan mahasiswa S3 Pendidikan Vokasi, Septian Rahman Hakim dan Bu Yeni. Juga meminta bantuan sahabat saya, Dik Indarti Anfa Pamungkas, dosen tata busana PKK FT yang kebetulan adalah mahasiswa S3 creative design di NYUST. Saat ini dia sedang mengerjakan disertasinya, dan oleh sebab itu dia bisa mondar-mandir Indonesia-Taiwan.

Namun Sabtu ini, saya tidak tega membiarkan Prof. Wu pergi ke Bromo hanya bersama Bu Yeni dan dua orang staf PascasarjanaUnesa. Prof. Wu hanya sembilan hari di sini, Kamis minggu ini dia sudah harus kembali ke Taiwan. Waktu berjalan begitu cepat dan saya merasa tidak pernah punya waktu leluasa untuk diskusi hal-hal penting yang lain dengan Prof. Wu, karena kegiatan di kampus sudah cukup padat.

Saya pun bergabung bersama mereka. Berangkat dari pascasarjana sekitar pukul 13.00, setelah mengajar di kelas kerja sama. Saya bilang ke Prof. Wu, untuk bersiap traveling ke Bromo plus menikmati macet, karena weekend.

Perjalanan dari Surabaya ke Bromo, di luar dugaan saya, tidak lebih dari tiga setengah jam. Tanpa macet. Ya, jalan tol sangat membantu tentu saja. Namun jalan dari exit tol ke arah Bromo, benar-benar lengang. Hanya ada satu dua mobil dan sepeda motor yang sepertinya menuju arah yang sama.

Begitu sampai di Hotel Bromo Permai, saat kami check in, kami sekalian memesan jeep untuk touring dan eksplore Bromo esok harinya. Jawaban resepsionis mengejutkan kami. Jeep tidak bisa mengantar sampai ke bawah kawah, dan tempat-tempat lain seperti Penanjakan, Pasir Berbisik, Bukit Teletubis, dan sebagainya.

Resepsionis menjelaskan, saat ini Bromo sedang melaksanakan ritual Wulan Kapitu. Selama sebulan, Bromo bebas kendaraan bermotor (car free month), mulai 24 Februari-24 Maret 2020. Hanya kuda yang boleh masuk ke area Bromo. Jalan masuk untuk kendaraan bermotor ditutup mulai dari depan hotel. Wow. Akhirnya saya mendapatkan jawaban kenapa Bromo sepi. Ya, pasti karena ritual Wulan Kapitu ini.

Kami tentu saja tidak bisa ke mana-mana kecuali kami mau berjalan kaki atau naik kuda. Namun Penanjakan yang sebenarnya menjadi tujuan utama kami selain Puncak Bromo, akan sangat berat bila ditempuh dengan jalan kaki atau bahkan dengan mengendarai kuda. Maka kami pun memutuskan, kami hanya akan ke Puncak Bromo, dan perjalanan dari hotel kami tempuh dengan mengendarai kuda.

Tetapi saya justeru merasa sangat beruntung mengunjungi Bromo pada saat seperti ini. Berkali-kali ke Bromo, yang saya alami adalah macet di perjalanan dan wisatawan memenuhi area serta lautan pasir yang hiruk karena kendaraan bermotor.

Sungguh sangat bertolak-belakang dengan situasi saat ini. Bromo begitu tenang, begitu damai, begitu hening. Alam sedang menanggalkan lelahnya dan berkesempatan bernafas dengan leluasa. Alam sedang kembali pada kemurniannya. Kepala suku dan para sesepuh Suku Tengger sedang berpuasa supaya lebih bisa mengendalikan diri dari urusan kedunawian dan lebih mendekatkan diri pada Tuhannya.

Saya menjelaskan hal ini pada Prof. Wu. Dia terkagum-kagum dengan local wisdom yang dimiliki masyarakat Bromo. Ini adalah kali kedua dia ke Bromo. Enam tahun yang lalu, dia bersama rombongan international conference yang dilaksanakan di Malang, sempat mengunjungi Bromo, tentu saja dengan situasi yang sangat berbeda dengan saat ini. Prof. Wu merasa betapa dia sangat beruntung karena berkesempatan menikmati Bromo dalam situasi yang tidak biasa. Bahkan dia mengatakan, Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan stabil di masa depan, karena masyarakatnya adalah penganut agama yang taat dan memiliki kepedulian pada alam.

Semoga.

Oya, sepulang dari Bromo, kami mampir ke Pantai Bentar yang eksotis. Dari Pantai Bentar, kami makan siang di Probolinggo dan menunaikan shalat. Lantas kembali ke Surabaya. Prof. Wu dan kawan-kawan juga berkesempatan mampir ke rumah kami untuk sekadar minum teh. Sesuatu yang dikatannya tentang rumah kami adalah 'a beautiful house of wonderful family'.

Semoga.

15-16 Februari 2020.