Pages

SM-3T: Kerinduan

"Seorang peserta SM-3T Unesa langsung menghambur ke pelukan saya, saat kunjungan monitoring ke lokasi di wilayah Sumba Timur.

SM-3T: Kebersamaan

"Saya (Luthfiyah) bersama Rektor Unesa (Muchlas Samani) foto bareng peserta SM-3T di Sumba Timur, salah satu daerah terluar dan tertinggal.

Keluarga: Prosesi Pemakaman di Tana Toraja

"Tempat diadakannya pesta itu di sebuah kompleks keluarga suku Toraja, yang berada di sebuah tanah lapang. Di seputar tanah lapang itu didirikan rumah-rumah panggung khas Toraja semi permanen, tempat di mana keluarga besar dan para tamu berkunjung..

SM-3T: Panorama Alam

"Sekelompok kuda Sumbawa menikmati kehangatan dan kesegaran pantai. Sungguh panorama alam yang sangat elok. (by: rukin firda)"

Bersama Keluarga

"Foto bersama Mas Ayik dan Arga saat berwisata ke Tana Toraja."

Selasa, 29 April 2014

Mi Lethek

Di sebuah desa, namanya Tajem, Meguwo, Yogyakarta, ada sebuah tempat makan yang namanya Warung Mendes. Mendes, ternyata singkatan dari 'mental ndeso'. Nama ini sengaja digunakan untuk memberi kesan tradisional atau mungkin agak primitif pada warung di pinggir jalan besar ini.

Menempati sebuah joglo besar, warung itu di bagian depan dan sepanjang sisi dindingnya dipenuhi dengan banner. Banner di depan menampilkan nama warung dan tulisan-tulisan: tanpa bahan pengawet, tanpa bahan pemutih, tanpa vetsin. Di dinding sisi kiri menampilkan gambar-gambar proses pembuatan mi. Dinding di sebelah kanan menayangkan menu. Di tengah-tengah joglo terpasanglah kursi-kursi dan meja-meja makan kayu. Cocok sekali dengan dekorasi keseluruhan tempat makan tradisional itu.

Menu yang dijual sebenarnya tidak istimewa. Menu kebanyakan, seperti mi goreng, mi rebus, nasi goreng, oseng kangkung. Yang istimewa adalah nama mi-nya, mi lethek. 
  
Ini jenis mi yang dibuat dari ubi. Dalam bentuk kering, dia persis mi kering, hanya warnanya saja yang putih kusam, makanya dibilang lethek. Dalam Bahasa Jawa, lethek artinya kusam, kotor, tidak cerah. Memang cocok sekali dengan warna mi-nya, benar-benar kusam.

Begitu mencoba makanan mi goreng dan mi rebus, wow, ternyata rasanya lezat, tidak kalah lezatnya dengan mi goreng dan mi rebus yang bahan pokoknya dari mi gandum. Kekenyalannya juga sangat pas. Meski warnanya lethek dan lebih menyerupai bihun, begitu dipadukan dengan berbagai sayuran dan telur, penampilan hidangan itu berubah menjadi sangat mengundang selera. Rasanya juga lezat.

Yang lebih istimewa lagi, adalah pilihan minuman yang ditawarkan, antara lain teh poci, wedang secang, dan wedang uwuh. Uwuh, dalam Bahasa Jawa artinya sampah. Nama ini menggambarkan bahan daun-daunan dan juga secang yang digunakan dalam minuman ini. Baik wedang uwuh, wedang secang, maupun tek poci, semua disajikan dengan cara sama. Satu cangkin stainless steel untuk 'com-comannya', satu lagi gelas untuk menuang wedang dari 'com-coman' itu. Gelasnya bening, sehingga akan menampakkan warna asli minumannya, coklat tua untuk teh poci, dan merah segar untuk wedang secang dan wedang uwuh. Sebagai pemanisnya, setoples gula batu disediakan, dan orang tinggal mengambilnya sesuai selera. 

Dunia kuliner seperti tak ada hentinya berinovasi. Di saat sebagian besar orang sudah mulai 'mblenger' dengan berbagai hidangan dan tenpat makan yang berkesan modern, prestisius, mahal  dan berkelas, Warung Mendes mencoba menawarkan pilihan tempat makan dengan menu yang lebih dekat dengan alam serta segala sesuatu yang beraroma tradisional. Menikmati sepiring mi lethek goreng atau rebus dengan segelas wedang secang atau wedang uwuh, di sebuah joglo besar, dilengkapi semilir angin, ternyata cukup memberikan pengalaman yang nikmat dan penuh kesan.

Tanggulangin, 29 April 2014

Wassalam,
LN

Senin, 28 April 2014

Telepon Penipuan

Selesai sudah ujian disertasi pagi ini. Saya dan tim penguji yang lain menyalami ibu Rina Febriani, mahasiswa S3 PTK PPS UNY yang baru saja dinyatakan lulus ujian tertutup, dengan beberapa revisi yang harus diselesaikannya dalam kurun waktu tiga bulan. Bu Rina adalah dosen Jurusan PKK UNJ. Pagi ini dia mempertanggungjawabkan disertasinya tentang Pengembangan Kurikulum Diploma 3 Tata Boga. Meski banyak revisi untuk disertasinya, setidaknya dia sudah berhasil melampaui satu tahap. Tinggal setahap lagi, ujian terbuka,

Pak Nurcholis, driver PPS UNY yang disediakan untuk menjemput dan mengantar saya, tergopoh-gopoh menyambut saya di depan pintu lift saat saya tiba di lantai 1. 
"Sebentar nggih, Pak. Nunggu bu Rina. Mau menemani saya mampir beli oleh-oleh. Pesawat saya masih jam 15. Tidak apa-apa kan, Pak?"
"O inggih, mboten nopo-nopo, Bu. Monggo.."
Sementara saya menunggu bu Rina di ruang dosen yang sepi, sebuah telepon masuk.
"Buk...." Suara seorang remaja di seberang, menangis sesenggukan. "Aku Barok, Buk... Aku dijebak koncoku, Bukk....kenek narkoba, Buk..."
"Kamu siapa?" Suaranya sama sekali bukan suara Arga. 
"Aku Barok, Buk... Arga, Buk... Barok Argashabri."
"Kamu kenapa?"
"Iki pak Polisine, Bu. Aku di Polda..."
Lantas telepon berpindah tangan. Berganti dengan suara yang berat, berwibawa, tenang sekali.
"Selamat siang, Bu. Apa benar ini Ibu Luthfiyah Nurlaela?"
"Ya, benar, Pak"
"Ini kami dari Polda, Bu. Anak ibu..."
"Kenapa anak saya, Pak?" Suara saya panik. Lebih tepatnya, pura-pura panik. Saya ingin mengisi waktu dengan mengisengi orang yang lagi iseng ini.
"Ibu tahu dia ada di mana?"
"Dia ada di rumah, tidur."
"Ibu yakin? Dia ada di sini, Bu. Dia sedang dalam masalah. Mohon maaf, Bu, anak ibu dijebak temannya. Dia tertangkap membawa narkoba. Kelihatannya ini hari naas anak Ibu."
"Sebentar, Pak. Bapak siapa namanya?"
"Saya dari Polda, Bu."
"Baik, Pak. Saya sedang ada di Yogya. Biar suami saya meluncur ke Polda, mengurus anak saya."
"Begini, Bu. Saya bantu saja..."
"Tidak, Pak. Biar saya telepon suami saya, biar dia urus anak kami di Polda."
"Tidak perlu, Bu. Cukup dengan ibu saja."
Dia memaksa terus. Ngomong banyakkk sekali. Intinya memaksa supaya saya mendengarkan penjelasannya. Saya naik pitam. "Pak, tahu nggak, saya sedang di Yogya. Percuma bapak ngomong sama saya. Suami saya ada di Surabaya. Biar suami yang ngurus."
"Bu, Ibu mau kami bantu tidak?" Suaranya meninggi.
"Tidak." Saya ngotot. "Saya punya banyak teman di Polda. Saya tidak perlu bantuan Bapak. Paham?"
"Bu! Masalah ini saya yang nangani. Hanya saya yang bisa bantu ibu!"
Klek. Ponsel saya matikan. Bersamaan dengan bu Rina yang tiba-tiba muncul di depan pintu ruang dosen. Bersama dua teman sekelasnya, Pak Lilik dan Pak Pri.

"Ibu, pakai mobil pak Lilik saja, kita antar ibu makan siang sekalian beli oleh-oleh." Kata bu Rina.
"Ini....ada mobil dan driver Pasca."
"Sama mobil saya aja, bu.." Pak Lilik menjawab.
"Baik..." Saya menghampiri pak Nurcholis, dan menyampaikan kalau saya bareng pak Lilik dan kawan-kawan, sehingga dia tidak perlu mengantar saya.

Di mobil, saya menelepon Mas Ayik yang masih cuti setelah meninggalnya bapak. 
"Arga di mana, Mas?"
"Di rumah, tidur.."
Jawaban yang sudah saya duga. Pagi tadi, waktu saya mau berangkat, Arga masih umek sama PC dan gitarnya. Hari Senin dia tidak ada kuliah. Semalaman dia nggetu main musik. Biasanya dia akan tidur sepanjang siang untuk mengganti tidur malamnya yang tertunda.

"Ada apa?" Tanya Mas Ayik.
"Ada yang telepon, katanya dari Polda. Ngaku namanya Arga. Terus ada polisi juga yang menjelaskan kalau Arga kejebak temannya, tertangkap bawa narkoba."
"Onok-onok ae." Kata Mas Ayik.
"Heranku, mereka bisa menyebut lengkap nama Arga, juga namaku, Mas.."
Mas Ayik tidak menjawab. Mungkin sama pikirannya dengan saya, dari mana orang-orang iseng itu dapat menyebut persis nama lengkap Arga dan saya ya?

Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama saya ditelepon penipu seperti ini. Seingat saya, ini yang ketiga. Makanya saya tidak kaget meski kadang suara sengaja saya buat pura-pura panik. Biar menyenangkan orang yang menelepon. Tapi kalau sudah sebel, telepon saya matikan. Klek.

Ya Allah, lindungilah kami dan keluarga kami dari segala marabahaya....


Bandara Adisucipto, Yogyakarta, 28 April 2014

Sabtu, 26 April 2014

Akhirnya Bapak Berpulang

Suatu saat di siang hari, bapak jatuh sakit
Mulutnya seperti kena sariawan berat
Lidahnya memutih rata, putihnya sampai ke tenggorokan
Bapak tidak bisa bicara
Tersedak-sedak setiap kali makan dan minum
Meski hanya makanan lembut dan air putih

Bapak dibawa ke dokter
Kata dokter, bapak  kena radang tenggorokan berat
Kata dokter, tenggorokan bapak sangat sensitif
Kata dokter juga, kemungkinan bapak terkena flu singapur
Tekanan darah bapak tinggi sekali
Tapi bapak hanya diberi obat
Tidak perlu opname

Bapak tidak bisa menelan obat Kecuali kalau obat itu digerus, dihaluskan dulu
Tapi rasa pahitnya sangat mengganggu bapak
Membuat bapak harus dibujuk-bujuk supaya mau minum obat
Bapak pun minum obat
Dengan susah payah
Dengan tersedak-sedak
Menelan bubur halus dan minum susu saja bapak susah
Dan ini, obat yang rasanya pasti pahit
Betapa bapak terlihat sangat tersiksa

Sepertinya, bapak lebih baik opname saja
Biar makanan bisa masuk lewat infus
Obat juga bisa masuk lewat infus
Dengan begitu bapak akan cepat sehat
Tapi dokter tidak menyarankan bapak opname
Bapak cukup obat jalan saja

Beberapa hari setelah itu, bapak diperiksakan lagi
Dan dokter baru menyarankan supaya bapak opname
Dari hasil pemeriksaan, ternyata bapak terkena serangan stroke kedua

Bapak memang sudah pernah stroke
Waktu itu, pada pertengahan Ramadhan 2012, bapak tiba-tiba jatuh
Tubuhnya lemas tak berdaya
Tergopoh-gopoh kami membawanya ke rumah sakit
Kaki dan tangan kanannya lumpuh
Sejak saat itu, kaki dan tangan kanan bapak tidak berfungsi dengan baik

Siang itu bapak masuk RSUD Sidoarjo
Di Pavilyun Anggrek nomor 21
Meski bapak sebenarnya menolak, tidak mau opname
Tentu saja bapak diinfus
Sari makanan dan obat juga dimasukkan lewat selang yang tak pernah lepas dari tangannya itu
Bapak juga dipasang kateter

Saudara-saudara berdatangan menjenguk
Juga para tetangga, sahabat dan kerabat
Dedi, adik bungsu yang baru saja kembali ke Laos setelah cuti, mengambil cuti lagi begitu mendengar bapak opname
Tidak tanggung-tanggung, Dedi mengambil cuti dua minggu
Dia ingin menunggui bapak sampai sembuh

Sejak hari pertama di rumah sakit, bapak terus-terusan minta pulang
"Muleh....muleh...." Begitu diucapkannya berkali-kali, dengan lafal yang tidak jelas, dengan tangannya menunjuk-nunjuk 

Berhari-hari di rumah sakit, kondisi bapak tidak semakin membaik
Kesehatannya terus menurun
Bapak bahkan didiagnosis terkena pnemonia
Nafasnya beraaat sekali
Responnya lemahhh sekali
Dokter mengatakan bapak akan disonde kalau bapak tidak cukup makan dan minum Disonde?
Bahkan membayangkan saja kami semua sudah tidak tahan
Betapa tersiksanya bapak dengan sonde itu
Bapak pun dibujuk-bujuk supaya mau makan dan minum agak banyak
Bapak berusaha, kelihatan sekali bapak berusaha
Meski dengan susah payah, sesendok demi sesendok bubur halus dan susu masuk ke mulutnya
Meski dengan susah payah, mulut dan tenggorokan bapak bergerak-gerak untuk menelannya
Sampai terdengan bunyi klek...klek....klek...
Ya Allah, sedihnya melihat bapak menderita seperti itu

Kami terus menguatkan bapak
Menyemangati bapak 
Juga menguatkan ibu, menyemangati ibu
Saling menguatkan satu sama lain
Di antara kesedihan dan kelelahan kami
Di antara doa-doa dan dzikir  yang menghambur dari mulut dan hati kami
Di antara keputusasaan yang terus dibalut dengan harapan
Meski tubuh itu begitu lemah
Sorot mata itu nyaris padam
Nafas itu begitu berat
Namun kami yakin, bapak akan mampu melewati masa itu, akan kembali sehat, dan pulang ke rumah, berkumpul dengan anak dan cucu tersayang

Sampai suatu sore, saat semua sudah tidak tahan dengan kondisi bapak
Semua berkumpul
Semua berdoa bersama
Membaca surat Yasin dan berdzikir
Membisikkan di telinga bapak tentang permohonan maaf
Meyakinkan bapak tentang keikhlasan melepasnya
Memastikan kepada bapak, bapak boleh pulang
Pulang ke mana pun yang bapak inginkan, ke rumah atau ke sisi-Nya

Bapak memang tidak menjawab, karena bapak tidak mampu menjawabnya
Nafasnya yang berat saja sebagai responnya
Matanya pun hanya membuka sedikit tapi penuh makna
Bapak pasti mengerti dan memahami maksud kami
Bapak pasti ingin mengatakan: "ya, bapak memaafkan kalian semua. Bapak juga minta maaf. Terima kasih sudah memaafkan bapak. Bapak senang karena kalian sudah ikhlas melepas bapak..."

Maka tibalah saat itu
Rabu, 23 April 2014
Tepat waktu adzan shubuh menggema
Bapak melepas nafas terakhirnya
Tenaaanggg sekali
Hanya ditandai dengan satu helaan berat
Selesai sudah...

Akhirnya bapak berpulang
Bapak memilih pulang ke rumah abadinya
Di sisi Allah Yang Maha Memberi Maghfirah
Di tempat yang melimpah rahmah-Nya
"Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan".

Selamat jalan, Bapak...
Insyaallah bapak mendapatkan akhir yang baik
Insyaallah bapak husnul khotimah
Semua milik Allah, dan semua akan kembali kepada Allah

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.. 
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu wa akrim nuzulahu wa wassi' madkhalahu waj'al al-jannata matswahu bi rahmatika ya Arhama ar-Rahimin, waj'al ahlahu min as-shabirin.


Hotel Grand Quality, Yogyakarta, 26 April 2014

Senin, 21 April 2014

Bapak (2)

Jam 23.00. Aku metu soko kamar bapak. Sakwise salaman karo ibu lan Mas Ayik. Aku pamit, uluk salam.
"Assalamualaikum, Bu, Mas...."
"Waalaikum salam. Ati-ati". Sahutane ibu karo Mas Ayik. 

Koridor rumah sakit sepi. Mung ono siji loro perawat sing lagi nyiapne obat-obatan karo resik-resik troli. Aku mlaku alon-alon, ditutke Cak Jum, driver sing ngeterke aku. Soyo adoh soko kamare bapak, atiku soyo kroso cuwo.

Bapak bengi iki kahanane soyo mundur. Ambegane sesek, abot. Awake panas. Ketoke kelaran banget. Socone metu luhe. Bapak muwun.

Aku koyo gak kuat ndelok kahanane bapak. Atiku kroso keiris-iris. Aku nggegem astane, karo gak mandeg nyebut asmane Allah. "Ya Allah, mugi Panjenengan paringi enggal enteng sakitipun bapak, Gusti...".

Bapak kesadarane ugo kethok lek mudhun banget. Socone ora ono cahyane babar pisan. Alum. Dodone munggah-mudhun ngunjal ambegan  abot. Sok-sok bapak nduding padarane, mustokone, dodone. 
"Sakit, Kung?" Mas Ayik ngelus-elus padarane bapak. Bapak manthuk-manthuk.

Ibu gupuh ngompres bapak. Aku mijeti astane ben nyudo kemeng mergo diinfus, mijeti ampeyane ben ilang keju-keju mergo kurang obah, nepuk-nepuk dodone ben rodho lego ambegane. 

Dokter ngendikan, bapak kejobo stroke, ugo keno pnemonia. Pnemonia iku penyebabe bakteri, soyo nemen lorone mergo kepapar stroke, ugo mergo faktor umur, ngono ngendikane dokter. 

Wektu ibu konsultasi nang dokter mau awan, dokter ugo ngendikan, lek obate bapak wis dipilihke sing paling apik, ben bapak cepet pulih kesehatane. Yo pancen larang-larang, ning ora popo, tinimbang ora ndang waras, ngono advise dokter. 

Aku karo Cak Jum teko latar parkiran. Sepi. Aku mlebu mobil. Ngunjal ambegan gedhe. Kelingan bapak. Ugo kelingan Mas Ayik. Wektu bapak iso tenang sedelo mau, Mas Ayik mojok, meneng wae, koyo wong bingung. Tak cedhaki, nangis. Pasuryane abang ireng ngempet sedihe ati. "Mesakne bapak..." Socone mbrabak, luhe nyumber. Aku ndekep mustokone, karo ngelus-elus rekmane. 
"Mas ojo sedih, ojo nangis. Mas kudu kuat. Mesakke bapak ibu..." Asline aku dewe ngempet tangis, ning tak kuat-kuatne.

Dalan-dalan wis sepi. Cak Jum lungguh ngarep, nyupir. Aku ndepipis nang jok tengah. Mripatku nanar ndelok lampu-lampu kutho. Tisu nang sisihku tak ranggeh, bola-bali tak gawe ngelap luhku. Mbuh piye rasane atiku....ning aku percoyo, Gusti Allah bakal milihke sing paling apik gawe bapak...

Amin Ya Rabbal Alamiiin....

Suroboyo, 21 April 2014

Wassalam,
LN

Bapak

Bapakku morosepuh gerah, wis sepuluh dino ngamar nang RSUD Sidoarjo. Bapakku gerah stroke serangan kapindho. Stroke kawitan, rong tahun kepungkur, pas tengahe ulan poso. Waktu iku bapak klakon ngamar sangang dino. 

Stroke kawitan nyebabne ampeyan karo asto tengene bapak lumpuh. Sakwise diobatne, diterapi, dipijetne, bapak wis saget tindhakan maneh, masia ora iso normal koyo adate. Dahare yo wis apik, entek akeh. Wis iso tindhak-tindhak menyang Tuban lan Ponorogo.

Limolas dino kepungkur, ujug-ujug bapak ora iso ngendikan. Ilate rupane putih koyo gomen. Lek dahar lan ngunjuk, keselek-selek. Bapak langsung dipriksakne nang dokter. Jare dokter, bapak terlalu sensitif, didiagnosis radang amargo keno virus singapur. Ora perlu ngamar. 

Jane aku wis ora sronto ndelok kahanane Bapak. Karepku wis ben ngamar wae, ben diramut sing temenan karo dokter lan perawat. Lha wong bapak gak kerso dahar, lak yo susah. Angger dahar sitik-sitik, iku wae nganggo keselek-selek. Tapi yo opo maneh, wong jare dokter ora perlu ngamar.

Limang dino sakwise iku, pas aku dines ning Yogya, aku dtelepon bojoku, lek bapak masuk rumah sakit, ngamar. Aku dikongkon bojoku ndang mulih cepet. Sak kal aku pesen tiket kapal muluk, sokor oleh. Bengi iku aku langsung mabur soko Yogya nang Suroboyo, numpak kapal muluk jam wolu.

Bapak ngamar nang RSUD Sidoarjo Pavilyun Anggrek nomer selikur. Astone diinfus. Pipise dikateter. Onok tabung oksigen sing siap sak wayah-wayah. Kahanane bapak jan nrenyuhake tenan. Aku cuma iso nangis ning sebelahe bapak karo nyekeli astone sing kebek perban infus. Lambeku komat-kamit moco donga. Aku mbayangne bapak waktu isih waras, seger, kerso dahar, senengane crito. Mbandingne karo kahanane saiki sing lemah gak nduwe doyo, atiku ngeres.

Bengi iki aku ning RSUD Sidoarjo, koyo bengi-bengi sakdurunge. Lek aku ora ono tugas luar kutho, aku nunggu bapak. Mulih kerjo, aku biasane langsung budhal nang RS. Kadang-kadang mampir omah sedelo, nyiap-nyiapne omah. Bojoku soko kantor yo langsung nang RS. Dadi ketemu nang RS. Aku ora nginep, mergo isuk kudhu ngurus omah lan kerjo. Bojoku nginep ning RS, budhal kantor soko RS.

Sing tak karepne saiki, bapakku ndang diparingi waras. Mugo-mugo Gusti Pangeran mirengke panyuwunku. Amin.


Sugeng Kartinian....

RSUD Sidoarjo, 21 April 2014

Wassalam,
LN
(Boso Suroboyoan campur Tuban lan Ponorogo)

Minggu, 20 April 2014

Mamteng 6: Papua, Mari Maju Bersama (4)

Masyarakat Ilugwa adalah orang-orang yang ramah. Keramahan mereka membuat para guru SM-3T merasa betah dan nyaman. Kekhawatiran pada kondisi keamanan di Ilugwa, ternyata tidak beralasan. Mamteng bukan wilayah konflik. Konflik yang terjadi lebih banyak secara internal dalam wilayah Mamteng sendiri. Baku tarik politik yang tak kunjung selesai. Wajar, mengingat Mamteng adalah kabupaten yang baru. Baku tarik juga terjadi antara Mamteng dan Mamra (Mamberamo Raya), khususnya terkait dengan batas wilayah. Namun baku tarik ini hanya terjadi di dalam ruang rapat, dan tidak pernah memicu persoalan dan kekacauan di masyarakat. 

Dukungan masyarakat yang tulus tercermin pada cerita para guru SM-3T. "Bapak guru jangan takut-takut main ke rumah kami. Bapak guru kami lindungi." Begitu kata penduduk setempat untuk meyakinkan para guru SM-3T tentang kondisi keamanan.

Setiap sore, Faishol dan kawan-kawannya, bermain bola dengan anak-anak sekolah. Dasar anak-anak. Bola voli dialihfungsikan jadi bola kaki. Karuan saja, bola voli itu cepat rusak. 

Jumlah siswa SMP Illugwa sebanyak 51 orang. Siswa SMA ada 8 orang, 2 di antaranya sudah punya anak, tapi belum berkeluarga. Artinya, anak tersebut dihasilkan dari hubungan di luar nikah. Meski sudah ada seorang anak dari hubungan itu pun, mereka tetap tidak menikah. Mas kawin yang sangat mahal dan syarat-syarat lain membuat pernikahan menjadi hal yang rumit di Papua. 

Uniknya, sepasang 'suami isteri' itu, adalah siswa di SMA Ilugwa. Yang perempuan duduk di kelas X, dan yang laki-laki duduk di kelas XI. Anak mereka dirawat oleh orang tua pihak perempuan.  

Hal semacam itu bisa dikatakan lazim terjadi di wilayah-wilayah seperti Papua, dan, setahu saya, juga di Sumba Timur. Di Sumba Timur, saya menemukan ada seorang guru yang mempunyai dua anak, dari dua orang laki-laki, namun tidak punya suami. Hamil di luar nikah juga banyak terjadi. Sebenarnya hal seperti itu juga pasti ada di tempat lain, di wilayah perkotaan. Bedanya, di wilayah yang lebih maju, di Jawa misalnya, hal itu dianggap aib yang harus ditutupi karena melanggar aturan agama dan moral. Dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan. Di Papua dan di beberapa wilayah pelosok, hal semacam itu lebih berterima. Itulah yang saya katakan, batasan moral, norma dan etika di daerah pelosok seringkali berbeda jauh dengan masyarakat di perkotaan pada umumnya. Termasuk budaya minum minuman beralkohol, yang juga lebih berterima di kelompok masyarakat tersebut.  

Guru di SMP Ilugwa jumlahnya ada 15 orang, 9 di antaranya PNS. Selebihnya adalah guru honorer, baik honorer provinsi maupun honorer kabupaten. Dari 9 guru PNS, yang hadir rutin sebanyak 2 orang. Yang lainnya, dalam satu bulan, hanya datang sekali dua kali. Sebagian besar keluarga para guru itu ada di Wamena, hal itulah yang dijadikan alasan untuk mangkir dari tugas, dan menyebabkan tingkat kehadiran guru sangat rendah. 

Tingkat kehadiran guru yang sangat rendah ini lazim terjadi di daerah 3T. Pada umumnya, kendala geografis dan medan berat yang menjadi alasan. Kepala sekolah yang hanya datang ke sekolah sebulan sekali, merupakan hal yang biasa. Guru-guru yang datang ke sekolah hanya untuk mengambil gaji, juga sangat lumrah. Kelas dibiarkan kosong tanpa rasa bersalah. Siswa yang terlambat, dipukul,  sudah menjadi budaya, meski pun guru-gurunya sendiri kerap datang seenaknya. 

Saya sempat mempertanyakan hal tersebut kepada staf Dinas Pendidikan yang mendampingi kami. Petugas itu membenarkan hal tersebut. Sudah berkali-kali guru-guru yang suka mangkir dari tugas itu diperingatkan, tetapi tidak mempan. Pernah diberi sanksi gaji tidak diberikan, malah mengancam dengan parang, meneror keluarga bendahara dinas, atau bahkan mengancam akan membakar rumah. Seperti itulah perilaku buruk itu berkembang dan terus-menerus berulang, sulit diperbaiki. Kondisi tersebut semakin rumit karena sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang masih terhitung kerabat dekat para petinggi. Ya, nepotisme yang begitu kental membuat situasi semakin tidak kondusif. 

Sebenarnya kalau pemda turun tangan langsung, mungkin hal seperti itu bisa dikurangi. Namun itulah, tidak terlalu mudah untuk mendapatkan komitmen Pemda dalam urusan mengendalikan perilaku guru. Apa lagi kalau sudah menjelang Pemilu dan Pilkada. Urusan yang lain jadi terabaikan, termasuk urusan pendidikan dengan segala ikutannya.

Prihatin. Itulah selalu yang saya rasakan setiap kali mendengar cerita tentang etos kerja guru di wilayah 3T. Tidak di Sumba Timur, Talaud, Maluku Barat Daya, Aceh Singkil, dan di Papua, etos kerja sebagian besar guru sangat mengenaskan. Entah bagaimana mengubah perilaku buruk itu. Guru-guru SM-3T pun tidak bisa berbuat banyak, kecuali hanya berusaha menampilkan kinerja terbaik, agar bisa menjadi motivasi dan contoh bagi guru-guru yang lain. Kalau pun itu tidak berhasil, setidaknya, kelas tidak sering kosong, anak-anak selalu ada yang mengajar, dan semangat belajar bisa dibangun. 

"Kami tidak peduli lagi, ibu, guru-guru itu mau datang atau tidak. Yang penting kami mengajar, melaksanakan tugas sebaik-baiknya." Begitu kata guru-guru muda itu. "Kasihan anak-anak yang sudah datang ke sekolah, padahal mereka dari segala penjuru, yang jaraknya tidak dekat. Medannya sulit lagi..."

Sering terpikir di benak saya, kapan daerah 3T bisa maju, kalau orang-orangnya sulit dan bahkan resisten untuk diajak berubah? Menurut data, pada tahun 2012, secara Nasional, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29, dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi di Indonesia. Melihat permasalahan Papua sebagai provinsi dengan status otonomi khusus yang dimilikinya, harus ada program khusus juga untuk orang asli Papua agar memperoleh peluang dalam mencapai derajat yang sama dengan masyarakat di provinsi yang lain. Program khusus tersebut saat ini sudah bergulir, yang disebut sebagai Program Afirmasi. Tujuan program ini adalah  untuk mengurangi kesenjangan antara Jawa dan Papua. Nama program tersebut adalah Program Afirmasi Pendidkan Menengah (ADEM) dan Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program-program semacam ini, tentu saja akan sangat membantu percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, dan diharapkan akan terus berlanjut. Namun tetap saja, etos kerja para pelaku pendidikan di sanalah yang menjadi kuncinya. 

Kehadiran para guru SM-3T  hanyalah setahun, dan akan diperpanjang lagi dengan kehadiran para penggantinya bila program berlanjut. Ibarat sapuan kuas di atas kanvas, warna-warna yang mereka goreskan pada jiwa anak-anak didik, lama-lama akan pudar ditelan waktu, tanpa adanya penguatan dari guru-guru asli Papua. Transformasi kultur yang mereka sudah lakukan, akan hilang karena tidak mendapatkan dukungan. Sepulangnya mereka dari sana, anak didik akan kembali pada dunia yang sama sebelumnya. Dunia yang tidak memberi cukup keleluasaan bagi mereka untuk mengembangkan potensi, tidak memberikan ruang untuk berkreasi, dan bahkan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk menjadi diri sendiri. Dunia yang penuh dengan tekanan, miskin figur panutan, dan kurang menghargai pendidikan.

Papua, mari maju bersama, demi generasi yang lebih berdaya....

Ilugwa, Mamteng, Papua, 2 April 2014

Kurikulum 2013 (3): Tentang UN

Ketika itu, 13 April 2014, bertempat di Hotel Garden Palace Surabaya, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, memberikan materi tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013. Pada sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mungkin tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 itu bisa tercapai, kalau akhirnya kelulusan siswa tetap ditentukan melalui Ujian Nasional (UN)?

Jawaban Prof. Syawal, begitu mencengangkan saya. Jawaban yang sangat di luar dugaan. Menurut mantan Rektor Unimed itu, kenapa UN harus dipersoalkan? Apa karena UN hanya mengukur kemampuan kognitif? Bukankah Ujian Sekolah (US) juga hanya menilai kemampuan kognitif? Kenapa US tidak pernah dipersoalkan? Kalau kemudian UN dijadikan sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan, juga sebagai alat untuk menentukan kelulusan siswa, apa yang salah? US juga hanya untuk menilai kognitif juga, tapi tidak pernah disalahkan?

Saya termangu-mangu mencerna jawaban Prof. Syawal. Memang benar, US maupun UN mempunyai tujuan utama yang sama, antara lain untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik; mengukur mutu pendidikan;  mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah kepada masyarakat. Tujuan utamanya sama. Namun pernak-perniknya jauh, jauh berbeda.

UN baru saja berlalu beberapa hari yang lewat. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, UN memunculkan banyak persoalan. Banyak kontroversi. Sudah berbusa-busa orang mengkritisi UN, menunjukkan berbagai kecurangan dan ketidakjujuran yang mengikutinya. Kebobrokan moral seperti menjadi bagian tak terpisahkan dari UN itu sendiri. Banyak guru baik yang awalnya taat pada UN, satu per satu masuk ke barisan menolak UN. Bertahun-tahun mereka berkhusnudzon pada UN, namun akhirnya harus menyerah, tidak berdaya. UN tak kunjung bermuara pada esensinya. Saat UN digelar, maka saat itulah pelajaran hidup bernama kecurangan, ketidakjujuran, kebohongan, juga tergelar. Anak didik menyaksikan sebuah tontonan tentang figur panutan, adalah kepala sekolah dan guru-guru mereka, yang sedang mencurangi UN. Bahkan anak didik tidak hanya jadi penonton, namun ikut bermain dalam drama pendidikan satu babak itu. Menghapus deretan babak pelajaran hidup yang sebenarnya, yang telah mereka jalani selama enam, sembilan, atau dua belas tahun. Menepiskan sikap religius, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, bertanggung jawab, yang mungkin sudah ditanamkan dari hari ke hari. 

Lihat pernyataan seorang guru di bawah ini: "Semalaman saya menangis hingga pagi ini mata saya mbendhul. Selama ini saya masih berpikir positif dan berharap UN akan lebih baik. Simple saja pemikiran saya, tanpa penilaian berskala nasional bagaimana menilai keberhasilan pendidikan nasional. Nyatanya? Tetap saja para pengkhianat itu menodai UN. Sebagai guru saya merasa diinjak-injak dan diludahi wajah saya oleh siapa pun yang terlibat pembocoran kunci jawaban UN. Tak ada lagi harapan untuk menyelamatkan moral anak bangsa. Bismillah, saya hijrah. Mulai semalam saya ikut barisan yang meneriakkan "HAPUSKAN UN!"  Mohon terimalah saya yang datang dengan tangis darah."

UN tidak akan menjadi sebegitu kontroversi kalau dia tidak memiliki peran yang demikian menentukan nasib seorang siswa, kredibilitas sekolah, pertaruhan dinas pendidikan, dan bahkan reputasi kepala daerah. UN tidak sesederhana sebagaimana Ujian Sekolah (US). Jelas beda. Sangat tidak rasional menyandingkan UN dengan US. Bahwa keduanya sama-sama mengukur aspek kognitif, ya. Tapi risiko karena tidak lulus US, jelas tidak sebesar risiko bila tidak lulus UN. Tidak ada satu tahap pun di sekolah yang menyebabkan siswa stres, frustasi, bahkan gantung diri, orang tua mengalami kecemasan tingkat dewa, kepala sekolah dan guru-guru tertekan sedemikian rupa, kecuali hanya UN. Proses untuk mendapatkan akreditasi sekolah saja tidak seberat itu bebannya. Upaya untuk memperoleh gelar sebagai sekolah unggulan, sekolah adiwiyata, sekolah bertaraf internasional, pun, tidak sehebat itu tekanan batinnya. Hanya UN, yang menyita begitu banyak perhatian dan energi, yang bahkan tak tertanggungkan kecuali dengan tebusan kecurangan dan ketidakjujuran.

Tentu saja tidak semua sekolah menempuh jalan pintas semacam itu. Banyak sekolah, misalnya sekolah alam, sekolah unggulan, yang tetap mengedepankan kejujuran dalam menempuh UN. Sekolah menyiapkan anak didik secara fisik dan mental. Tidak hanya dengan serangkaian kegiatan ujicoba mengerjakan soal-soal dan latihan-latihan, namun juga dalam bentuk istighosah, salat malam bersama,  membaca Kitab Suci Al-Quran, meminta maaf dan doa restu pada guru dan orang tua, dan kegiatan-kegiatan positif yang lain. Tujuannya jelas, selain untuk menyiapkan akademik mereka, juga untuk mempertebal keimanan dan kedekatan pada Yang Maha Menentukan. Usaha lahir dilakukan terus tanpa kenal lelah, namun dibarengi dengan usaha batin. Anak disiapkan untuk berhasil sekaligus gagal. Guru dan siswa berkomitmen tidak akan terpengaruh oleh bocoran jawaban soal-soal UN, dan menempuh UN dengan jujur, usaha keras dan tawakal.

Seperti itulah seharusnya. UN boleh terus. Namun jangan jadikan dia sebagai momentum untuk merusak pendidikan itu sendiri. Kembalikan UN pada esensinya, lebih sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan. Bukan sebagai alat untuk menentukan nasib anak didik.

Lebih-lebih dengan diberlakukannya Kurikulum 2013 yang warna religiusitas, kesalehan sosial, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, begitu kental. Peran guru amatlah sentral. Sekali lagi, hanya ada satu pilihan supaya Kurikulum 2013 bisa diimplementasikan dengan sebaik-baiknya: guru harus menginspirasi. Untuk bisa menjadi guru yang menginspirasi, maka dia harus mempu menjadi sosok panutan, menjadi uswatun hasanah.

Tentu saja tidak cukup hanya dari guru. Kepala sekolah, pengawas, kepala dinas, kepala daerah, semuanya harus sama komitmennya. Menjadi sosok panutan. Siapa pun, harus menunjukkan sikap bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, mandiri, dan bertanggung jawab. 

Bila itu yang terjadi, maka tak akan ada lagi kecurangan dalam UN. Tak akan lagi terjadi bocoran jawaban soal-soal yang mengacaukan 'kesakralan' UN. Kalau pun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi UN untuk keuntungan pribadi, misalnya dengan menyebarkan bocoran jawaban soal UN, hal itu tak berarti apa pun. Tidak laku. Dengan keteguhan hati semua pihak, maka apa pun upaya yang bertujuan untuk mengacaukan UN, tak akan ada pengaruhnya karena semuanya itu dianggap sepi.

Tanpa itu semua, UN akan tetap menjadi babak paling menyedihkan dan memprihatinkan dalam sistem pendidikan. Bukan tahap yang menantang bagi setiap anak didik untuk melaluinya dengan keberanian, keteguhan hati dan penuh daya juang. 

Inilah salah satu hal yang harus menjadi perhatian serius dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Sehebat apa pun kurikulumnya, namun kalau para aktor yang mengimplementasikannya tidak memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, maka Kurikulum 2013 hanyalah sekedar nama. 

Hotel Grand Candi, 19 April 2014

Wassalam,
LN

Jumat, 18 April 2014

Kurikulum 2013 (2): Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013

Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya, dilaksanakan selama empat hari, 13-16 April 2014 yang lalu. Peserta pelatihan sebanyak 246 orang, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. Mereka dari Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua, Papua Barat, Bali, dan NTB. Para peserta itu mewakili mata pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, Bahasa Inggris, Seni Budaya, PJOK, Prakarya, dan BK.

Tujuan pelatihan ini adalah menyiapkan para narasumber nasional yang nantinya akan bertugas untuk melakukan pelatihan Kurikulum 2013 kepada para instruktur nasional. Selanjutnya para instruktur nasional akan melakukan pelatihan pada guru sasaran. Karena berjenjang seperti itu, maka yang harus dipikirkan bagi para narasumber nasional adalah tidak hanya pada bagaimana menguasai Kurikulum 2013, namun yang terpenting adalah, bagaimana Kurikulum 2013 itu bisa dikuasai oleh para guru sasaran di lapangan.

Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim, membuka dan memberi penguatan implementasi Kurikulum 2013 pada acara pembukaan. Dalam presentasinya, Musliar menayangkan gambar sekolah-sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 dan testimoni dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua. Sebagian besar sekolah itu ada di pelosok, seperti di Papua dan NTT.

Banyak orang berpendapat, bahwa persiapan Kurikulum 2013 terbirit-birit. Begitu juga dengan implementasinya dan sosialisasi serta pelatihan untuk para narasumber nasional, instruktur nasional, dan guru sasaran. Buku siswa dan buku guru juga masih banyak kekurangan. Semua terkesan serba dipaksanakan (atau memang faktanya dipaksakan?). 

Menurut Musliar, meski pun begitu tajam kritik pedas pada Kurikulum 2013, namun apresiasi dari banyak kalangan juga luar biasa. Pengalaman mengunjungi banyak sekolah di daerah-daerah menunjukkan bahwa Kurikulum 2013 diterima dengan sangat baik, serta memberikan pengaruh yang hebat pada perkembangan anak didik. Siswa kelas IV SD mampu menunjukkan kebisaannya dalam mempelajari buku-buku siswa. Mereka mengaku sangat menyukai Kurikulum 2013, karena kurikulum ini membuat mereka bisa belajar dengan gembira.

Dalam sebuah talkshow di  stasiun TV, seorang guru juga menyampaikan testimoni secara live, yang kurang lebih bunyinya seperti ini: "Saya sudah lebih dari 30 tahun mengajar, namun baru kali ini saya merasa senang pada kurikulum." Kemudian terkait dengan pelatihan Kurikulum 2013 tersebut, guru itu juga menegaskan bahwa waktu pelatihan selama lima hari menurutnya lebih dari cukup untuk memahami secara utuh Kurikulum 2013.

Dalam hati, saya berkata, betapa luar biasanya guru tersebut. Andai semua guru seperti itu, tak akan ada cerita bagaiman compang-campingnya pemahaman para guru di sekolah sasaran terkait dengan implementasi Kurikulum 2013 ini.

Musliar juga menampilkan sebuah tayangan tentang implementasi kurikulum di Kupang, NTT, yang luar biasa. Anak-anak jadi lebih aktif dan betah belajar serta penuh kegembiraan. Menurutnya, kondisi seperti ini tak akan ditemui pada waktu yang lalu saat Kurikulum 2013 belum diterapkan. Begitu juga di Sentani, setting sekolah sudah secara kooperatif, banyak karya siswa dipajang di dinding-dinding kelas, anak belajar dengan semangat, dan guru membimbing dengan menyenangkan. Menurut Musliar, sekali lagi, hal ini tak akan dijumpai pada waktu sebelumnya. Pernyataan semacam ini yang diulang-ulang, mengesankan seolah-olah kurikulum yang lalu tak ada bagus-bagusnya.

Tentu saja kita semua yakin, Musliar menceritakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin wamen yang sudah sangat berpengalaman ini mengada-ada. Ya, di sekolah-sekolah yang dikunjunginya itu, itulah yang terjadi. Anak-anak yang aktif, kelas-kelas yang hidup, dan guru-guru yang menginspirasi.

Tapi cobalah tengok, di mana sekolah-sekolah itu? Tengok jugalah sekolah-sekolah di banyak pelosok yang lain, di mana anak-anak kelas VI SD, bahkan yang sudah SMP pun belum bisa membaca dan menulis. Tengoklah seperti apa kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya. Bukan rahasia lagi, betapa sungguh memprihatinkannya etos kerja kepala sekolah dan guru-guru itu, kendati pun mereka sudah PNS. Mangkir dari tugas dengan berbagai alasan adalah hal yang sangat berterima. Mengajar semaunya sudah menjadi budaya. Memukuli peserta didik yang dianggap salah bahkan menjadi aturan yang terus dipertahankan. 

Pada kondisi seperti itu, bagaimana mungkin kita bisa berharap pada terbentuknya sikap religius, sikap sosial, dan perolehan pengetahuan serta terbentuknya berbagai keterampilan peserta didik seperti yang diharapkan kurikulum? Sedangkan mereka tidak menemukan figur tauladan di sekitar mereka? Tidak ada model yang mampu mengilhami mereka? Tahu apa mereka tentang 'beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab", kecuali hanya sebatas hafalan yang tanpa makna? Guru-guru mereka tidak mampu menerjemahkan itu semua dalam kehidupan sehari-hari. Jangankan menjadi sosok-sosok panutan. Bahkan apa tujuan sebuah proses bernama pendidikan pun, para ujung tombak pendidikan itu sangat mungkin tak peduli.  


Sebagai narasumber nasional, saya sadar, saya harus yakin akan 'keampuhan' Kurikulum 2013. Saya juga yakin, hal-hal manis yang disampaikan oleh wamen bukanlah isapan jempol. Kurikulum baru itu memang membawa implikasi pada perubahan banyak hal, termasuk proses pembelajaran dan penilaian. Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik dan mengembangkan kreativitas, serta penilaian yang otentik. Kurikulum itu, bila benar mengimplementasikannya, sangat mungkin akan menghasilkan anak didik dengan kualitas sebagaimana dituangkan dalam UUSPN.

Namun fakta yang kita lihat di lapangan juga menyadarkan kita, tidak mudah mewujudkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang tersebar jauh di luar Pulau Jawa sana. Di Jawa Timur saja, yang notabene menjadi barometer keberhasilan pembangunan di segala bidang, masih banyak ditemukan kendala. Berbagai persoalan mulai dari keterbatasan SDM guru, kepala sekolah, fasilitas sekolah, dan kendala geografis, tidak semudah itu bisa diatasi. 

Kita memang tidak boleh pesimis terhadap implementasi Kurikulum 2013. Kita harus optimis. Tapi kita harus sadar, apa yang disampaikan Musliar Kasim adalah bagian yang manis-manis saja. Bagian yang pahit-pahit, kita yakin, jumlahnya jauh lebih banyak. 

Justeru dengan kesadaran itu, kita harus memikirkan strategi yang lebih tepat, bagaimana supaya Kurikulum 2013 mampu menjangkau yang tak terjangkau itu. Tidak cukup rasanya dengan melatih narasumber nasional dan instruktur nasional. Bahwa guru yang akan menjadi sasaran mungkin tak terbatas, namun tanpa pendampingan yang relatif intens, Kurikulum 2013 itu akan sangat beragam terjemahannya. Jangankan pada level guru sasaran, pada level instruktur nasional dan narasumber nasional pun, tidak mudah menerjemahkan Kurikulum 2013 menjadi satu bahasa.

Bagaimana pun, genderang telah ditabuh. Kurikulum 2013 tak mungkin ditarik mundur dari kancah pembangunan pendidikan di negeri ini. Tugas kita adalah menyiapkan dan menyelamatkan generasi mendatang. Dan ini saatnya. Suka tidak suka, Kurikulum 2013 menjadi salah satu kendaraannya. Sudah bukan saatnya mempersoalkan konsep kurikulum baru ini. Yang lebih penting adalah bagaimana mengambil peran dalam mengimplementasikannya secara benar.

Surabaya, 17 April 2014

Wassalam,
LN  

Minggu, 13 April 2014

Kurikulum 2013 (1): Semua Bermula dari Kelas

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) Kemendikbud, Prof. Dr. Syawal Gultom, malam ini memberikan materi pada acara Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013. Acara yang dihelat di Hotel Garden Palace Surabaya ini diikuti oleh 246 peserta, terdiri dari dosen, guru dan widyaiswara, dari Indonesia bagian Timur dan Tengah. 

Acara dibuka oleh Wakil Mendikbud, Prof. Dr. Musliar Kasim. Selain membuka acara, wamen juga memberikan pengarahan dan penguatan pentingnya implementasi Kurikulum 2013. Uraian tentang pengarahan wamen ini saya tuangkan dalam tulisan "Yang Manis-Manis dari Kurikulum 2013".

Setelah Prof. Musliar Kasim menyampaikan pengarahan dan penguatannya, acara dilanjutkan dengan presentasi dari Prof. Syawal. Materinya adalah Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013.

Prof. Syawal, seperti biasa, begitu bersemangat  menyampaikan materinya. Harus diakui, mantan Rektor Unimed ini memiliki kepiawaian berorasi. Suaranya yang lantang, dengan logat Bataknya yang kental, ditambah dengan wawasan dan pengetahuannya yang luas, dilengkapi dengan bumbu-bumbu humor, membuat topik apa pun yang dibawakannya selalu hidup. 

Banyak hal yang perlu dicatat dalam presentasi Prof. Syawal. Bukan hanya materi tentang kerangka dasar dan struktur Kurikulum 2013 itu sendiri. Namun pernyataan-pernyataannya yang lebih bermakna filosofis dan perlu penghayatan.

Semua berawal dari kelas. Begitulah kata Prof. Syawal. Negara yang hebat itu karena pendidikan di kelas itu hebat. Pendidikan itu adalah mengembangkan potensi anak. Pendidikan itu tidak hanya mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari guru ke siswa. Pendidikan berbeda dengan pengajaran. Kalau guru hanya berpikir bagaimana supaya materi yang diajarkannya dipahami anak, dia tidak sedang melakukan pendidikan, namun sekadar melakukan pengajaran. Dia tidak mendidik, tetapi mengajar. 

Begitu pentingnya peran guru, sehingga semuanya bergantung dari guru. Mau jadi apa pun anak itu, terserah apa kata guru. Karena begitu pintu kelas ditutup, tidak ada yang tahu apa yang terjadi di kelas. Hanya guru itu yang tahu, siswa, dan Tuhan. Kepala sekolah pun banyak yang tidak tahu apa yang dilakukan guru di kelas. Pengawas, kepala dinas, kepala badan, pun tidak tahu. Hanya guru, siswa dan Tuhan. Bahkan yang membuat kurikulum pun, tidak banyak tahu apa yang terjadi di kelas. Apa yang diperankan guru di depan siswa-siswanya, hanya guru itu sendiri, siswa-siswa, dan Tuhan yang tahu.

Kurikulum 2013 dinilai  revolusioner. Salah satunya bila dikaitkan dengan peran guru. Betapa tidak. Guru tidak hanya menilai pengetahuan dan keterampilan anak. Dia harus mengamati sikap spiritual dan sosial anak. Bagaimana ketakwaannya pada Tuhan, apakah dia melaksanakan ibadah sesuai dengan agamanya, apakah dia menghargai makhluk ciptaan Tuhan, dan sebagainya. Guru juga harus melihat bagaimana sikap anak terhadap temannya dan orang-orang lain di sekitarnya, apakah siswa jujur, tanggung jawab, peduli, apakah dia menghargai lingkungannya. Semua harus diamati dan dicatat. Ya, dalam Kurikulum 2013 ini, dicetak guru setengah malaikat. Bukankah mengamati dan mencatat sikap dan perilaku yang religius dan sikap sosial itu pekerjaan malaikat? Dan guru harus melakukan itu. Maka guru harus menjadi manusia setengah malaikat. Sangat revolusioner. 

Kesalehan individu seseorang yang luar biasa, belum tentu dibarengi dengan kesalehan sosial. Bila seorang anak hanya rajin beribadah, namun kurang peduli pada sesama, tidak bisa bekerja sama dengan temannya, kurang memiliki kepekaan sosial, berarti dia kurang memiliki kesalehan sosial. Maka gurulah yang harus membentuk kesalehan sosial itu, karena kesalehan individu seharusnya membangun kesalehan sosial. 

Persoalan sikap, adalah persoalan merebut hati anak. Untuk bisa merebut hati anak, maka guru harus inspiratif. Untuk bisa menjadi guru yang inspiratif, hanya satu caranya:  dia harus menjadi contoh, secara konsisten menjadi model bagi siswa-siswanya.

Kalau dari kelas, kita membangun karakter secara optimal, maka negara ini akan hebat, karena diurus oleh orang-orang yang hebat, yang berkarakter. Karakter tidak bisa dibentuk secara instan. Dia harus dibentuk sedini mungkin pada diri anak. Kurikulum 2013 memungkinkan pembentukan karakter itu sedini mungkin.

Lepas dari pro kontra terkait Kurikulum 2013, kehadiran saya di Garden Palace ini bukan sekadar untuk memenuhi undangan BPSDMPK-PMP dan tergiur dengan 'jabatan' sebagai narasumber nasional. Tujuan saya yang utama adalah untuk lebih menyelami seperti apa Kurikulum 2013, bagaimana implementasinya, apa kendala-kendala implementasinya, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang masih memenuhi benak saya. Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Kurikulum 2013, kendati pun saya sudah beberapa kali menerima pelatihan dan bahkan sudah diminta berkali-kali untuk menjadi narasumber pelatihan Kurikulum 2013. Saya ingin mengeliminir skeptis saya ini dengan datang ke acara ini. Saya sedang berusaha untuk menjadi orang yang lebih bersahabat dengan Kurikulum 2013. Saya sedang berusaha meyakinkan diri saya tentang 'kesaktian' Kurikulum 2013 ini untuk membangun generasi masa depan, karena setelah ini saya harus bisa meyakinkan orang lain, yaitu para instruktur nasional. Bagaimana saya bisa meyakinkan orang lain kalau saya sendiri tidak yakin? 

Masih ada banyak catatan penting dari hasil Pelatihan Narasumber Nasional Kurikulum 2013 ini, yang mudah-mudahan bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan. 

Yang jelas, saya sedang berusaha untuk bermetamorfosis...

Hotel Garden Palace Surabaya, 13 April 2014

Jumat, 11 April 2014

Aarne Saluveer

Yogya mendung sore ini. Adzan maghrib baru saja berlalu. Saya keluar dari kamar Hotel Grand Quality, menarik tas koper kecil saya, turun ke lobi.

"Check out, mas." Saya menyerahkan kunci kamar ke resepsionis. "Masih ada teman di kamar, pulang besok".
"Baik, bu."
"Bisa pesan taksi ke bandara, mas?"
"Bisa, bu."

Tidak berapa lama, mobil tiba. Alphard hitam. Oh, ternyata saya tidak sendirian. Ada pria bule tinggi besar berambut panjang yang akan bersama saya.

"Pak, saya mau mampir sebentar ke Gudeg Yu Djum, hanya mbungkus saja, saget?" Tanya saya pada supir. Saya merasa perlu bertanya karena saya bukan penumpang satu-satunya di dalam mobil itu.
"Saget bu, tidak apa-apa. Kan kelewatan"

Maka mobil pun melaju. Meninggalkan hotel yang asri itu. Si bule ada di sebelah kanan saya. Begitu tiba di Gudeg Yu Djum, saya minta izin ke abang bule itu.

"Excuse me, I will buy gudeg. It only takes a minute."
Dia menatap saya.
"Okay..."
"Thank you."
"Sorry, what would you buy?" Dia bertanya, persis ketika saya mau turun.
"Gudeg."
"What is it?"
"Gudeg is traditional food of Yogyakarta."
Dia manggut-manggut.
Ternyata dia penasaran, dan mengikuti saya turun.
Di depan etalase, saya menjelaskan kepadanya makanan yang berjejer, ayam, telur, tahu, tempe, nangka muda, yang semua rasanya manis.

Saya memesan satu paket gudeg. Sepuluh butir telur, ayam bagian dada dan paha, sambal goreng krecek. Si bule mengamati mbak bakul menyiapkan pesanan saya. Dia juga bertanya, apakah saya akan membawa pulang gudeg itu, ke mana saya akan terbang, dan menanyakan berapa jam waktu yang diperlukan sampai tiba di Surabaya. Saya katakan kalau saya akan terbang dengan waktu tidak lebih dari tiga puluh menit, dan oleh sebab itu, gudeg akan aman selama dalam perjalanan.

Karena dia sepertinya ingin mencicipi gudeg, saya menawarinya.
"Do yo want some? For yor dinner?"
"No no no, thank you."

Tentu saja saya tidak akan  memaksa. Tapi sejenak, dia bilang kalau dia tidak punya rupiah, dan apakah dia bisa membayar gudeg dengan Dollar Singapura. Spontan saya jawab, dia tidak perlu membayar, saya akan mentraktirnya. Dia menolak mentah-mentah. Maka saya tanyakan ke mbak bakul, apa bisa membayar dengan Dollar Singapura. Tentu saja, seperti yang saya duga, jawabnya tidak bisa. Kata mbak bakul, kalkulatornya tidak bisa ngitung.

Si bule pergi. Benar-benar tidak mau saya traktir. Bodohnya saya, harusnya saya menukar uang dollarnya dengan rupiah saya. Tak terpikir. Saya hanya berpikir, saya harus cepat-cepat, supaya tidak tertinggal pesawat. 

Tapi saya coba membelikan si Bule sekotak nasi gudeg. Dengan sedikit nasi dan paha ayam serta sebutir telur. Lengkap dengan sendok plastiknya. Spekulasi. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan makan sendiri gudeg itu. Tidak masalah.

Di mobil, begitu saya duduk, si Bule menjelaskan, kalau dia punya cukup uang, tapi dalam bentuk Dollar Singapura. Dia tadi akan membeli gudeg dengan uangnya sendiri, dan dia katakan, saya tidak perlu membelikan gudeg untuk dia.

Saya lihat dia mungkin agak tersinggung, atau khawatir saya menganggapnya tidak punya uang. Saya segera menyadari, spontanitas saya untuk mentraktirnya tadi mungkin tidak berkenan. Beda budaya. 

"Of course you have money. Sorry, it was a spontaneity. We used to do that..." Saya mencoba menjelaskan, sebelepotan apa pun kata-kata saya. Tapi nampaknya dia paham. Mengangguk-angguk tanda mengerti. 

Lantas saya mengeluarkan sekotak gudeg. 

"It's for you."
"No no no...." Dia menolak lagi.  Tangannya mobat-mabit lagi.  "Yo don't have to do it for me."

Saya tetap menyorongkan gudeg itu di depannya. Kepalang tanggung. Kalau dia tetap tidak mau, saya akan berikan gudeg itu ke pak supir. 

"Come on, I bought this for you. Not because you have no money, of course you have a lot of money. It just a form of our kindness, Indonesian people, for you..."

Dia ragu-ragu.
"Come on..." Saya mulai main paksa. "Please...?"
Dia masih tetap ragu.

"The food is good. It's delicious. You may not like it because it tastes too sweet, but at least, you have ever tasted gudeg, traditional food of Yogyakarta. Please....?"

Dia menatap saya. Mungkin menyelidik ketulusan saya.

"Okay." Akhirnya diterimanya gudeg itu. "Thank you."
"You're welcome"
Lantas dia membuka dompetnya. Mencari-cari sesuatu. Sambil mengatakan kalau dia ingin memberikan sesuatu ke saya. Oh, ternyata dia mengambil sebuah kartu nama. Diserahkannya kartu nama itu ke saya.

Kami meneruskan ngobrol. Dia menceritakan tujuan kedatangannya ke Yogyakarta selama dua hari ini. Juga rencananya untuk meneruskan perjalannya besok ke Singapura. Ternyata dia pemusik. Dua hari ada event di Yogya, dua hari ada event di Singapura.
"So, you are a musician?" Tanya saya senang. Ingat Arga, anak saya,  yang suka musik.

Dia juga menanyakan tentang diri saya. Saya katakan kalau saya dosen, dan ke Yogyakarta dalam rangka menghadiri rapat. Dia tanya apa bidang saya. Waktu saya katakan 'food', dia jawab, pantas saya beli gudeg banyak. Saya jelaskan ke dia, "Ya, because, my husband and my son like gudeg very much."

"How many son do you have?" Tanyanya.
"One. Twenty two years old."
"Twenty two?" Dia seperti tidak percaya. Dia bilang, saya nampak terlalu muda untuk punya anak usia 22 tahun. 
"Really? Thank you."
Dia mengangguk-angguk sambil tertawa. Senang melihat tawanya.

Sayang waktu kami untuk mengobrol tidak banyak. Mobil sudah memasuki bandara. Saya harus bersiap turun. Si bule tidak ikut turun. Ternyata dia hanya ingin kota-kota saja, memanfaatkan waktunya sebelum besok terbang ke Singapura. 

Di ruang tunggu, saya membaca kartu nama si Bule. Namanya Aarne Saluveer. Oh, ternyata dia kepala sekolah sebuah sekolah musik. Principal of the Tallinn Music College. Alamat sekolah musik tersebut juga tertulis di kartu nama itu, di Estonia. Sekali lagi, saya ingat Arga. Entah kenapa, saya punya firasat, pertemuan saya dengan si Bule ini tidak akan berhenti sampai di sini. Siapa tahu Arga bisa belajar musik pada dia. Entahlah. Mungkin itu harapan saya saja. Tapi, ya, siapa tahu? 

Yogyakarta, 11 April 2014

Wassalam,
LN