Pages

Rabu, 02 April 2014

Mamteng 2: Biasakan...

Juan, supir kami semalam, tak sebaik dugaan kami. Setidaknya, untuk urusan menepati janji. Seharusnya pukul 04.30 pagi dia sudah menjemput kami di hotel, tapi ternyata kami tunggu sampai tiga puluh menit lebih dia tidak muncul juga. Padahal kami harus sudah lapor ke Trigana Air pada 05.30. Bagasi kami cukup banyak, sehingga kami memutuskan untuk datang lebih awal.

Sampai pukul 05.00, Juan tidak bisa kami hubungi. Ponselnya mati. Saya mengambil inisiatif meminta disediakan mobil oleh hotel. Resepsionisnya yang tak ramah itu mengatakan kalau supir hotel baru tiba pukul 05.30. Dengan sikapnya yang tidak 'ngresepsionisi', dia mencoba menelepon supir hotel. Berhasil, dan mungkin sebelum pukul 05.30, supir sudah sampai hotel. Baguslah. Jarak hotel ke bandara tak sampai sepuluh menit, jadi dalam hitungan waktu, masih cukup aman.

Bandara Sentani masih sepi ketika kami tiba. Kami disambut dua orang porter berseragam merah. Berkulit hitam, berambut keriting, bermata tajam. Mereka tidak ada ramah-ramahnya, tapi sangat baik membantu kami dan memastikan semua bagasi sudah masuk.

Saat kami sedang menunggu boarding di ruang tunggu, Juan menelepon mas Beni. Menanyakan apa kami sudah sampai di bandara dan meminta maaf untuk keterlambatannya. Maaf? Enak aja....kata saya. Tentu saja bercanda. Saya sadar ini Papua. Kata sahabat saya, Sirikit Syah, yang biasa diundang sebagai narasumber pelatihan menulis di Papua, di Tanah Sirih Pinang ini, kita harus siap dengan 'unexpected conditions'. Jadi nikmati saja setiap kondisi, termasuk kondisi yang tak terduga.

Dua jam lebih kami berada di ruang tunggu Bandara Sentani. Boarding time seharusnya pada pukul 06.45, lebih dari satu jam yang lalu. Tapi tanda-tanda kami akan segera diberangkatkan belum juga nampak. Tidak ada pengumuman apa pun dari petugas tentang keterlambatan ini.

Saya bertanya pada petugas perempuan berbadan subur berkulit putih. Bukan tipikal orang Papua. Dia bilang, mungkin sebentar lagi Trigana Air akan siap. Mungkin. Baiklah...

Saya membunuh waktu dengan mengobrol bersama Huli dan Uli, kenalan baru saya. Keduanya perempuan Wamena. Turun ke Sentani karena ada keluarganya yang meninggal, dan tinggal di Sentani selama seminggu. Seperti kami, mereka juga sedang menunggu Trigana.

Kulit hitam Huli dan Uli terbungkus celana dan sweater berbahan kain kaus. Tanpa alas kaki. Keduanya membawa noken warna-warni yang besar sekali, semua barang mereka masuk dalam noken itu. Saya coba angkat nokennya, aduh, berat banget. Noken itu, dibuat sendiri oleh mereka. Semua orang Wamena bisa bikin noken katanya. 

Rambut keriting Huli dijalin, ada lima jalinan di kepalanya. Dia bilang, dia menjalin rambutnya sendiri. Tanpa ditali, jalinan itu tahan bahkan sampai sebulan. Saya sempat berpikir, tahan sebulan...artinya, sebulan tanpa harus cuci rambut?

Huli sudah berkeluarga, anaknya dua, perempuan semua, lima tahun dan tiga tahun. Sedangkan Uli belum berkeluarga. Keduanya nampaknya kerabat dekat.

Tiba-tiba Huli melepas gelang warna-warninya dan menyorongkannya ke saya.
"Ibu bisa pakai?"
Saya terkejut. Senang sekali tentu saja.
"Gelang ini? Untuk saya?"
Dia mengangguk. Mata hitamnya bulat penuh menatap saya, meyakinkan.
"Wah, senang sekali." Saya langsung mengenakannya di pergelangan tangan kiri saya. Bersanding dengan jam tangan. Serasi. Manis. Huli nampak puas, Uli ikut tersenyum simpul.

"Saya kasih apa ya ke Huli?" Tanya saya pada Huli. 
"O, tidak apa-apa, ibu..."

Ketulusan Huli dan Uli, dan banyak orang Papua yang lain, yang pernah saya temui, terasa sampai di hati. Tidak perlu waktu lama untuk menjadi akrab dengan mereka. Di Sarmi, beberapa bulan yang lalu, waktu kami mengantar para peserta SM-3T, kami diundang makan papeda oleh seorang penduduk, sebagai bentuk penghormatan. Para ibu di pasar tradisional juga dengan luwes menggoda saya dengan segenggam ulat sagu dan tertawa kegirangan melihat 'penderitaan' saya. Mereka, orang-orang Papua itu, hanya perlu disapa lebih dulu dengan ketulusan kita, supaya kita mendapatkan ketulusan yang sama dari mereka.

Tidak selalu seperti itu memang. Ada yang ketika disapa, menoleh pun tidak. Ditanya, tidak merespon. Diminta berfoto, menolak. Dihampiri, menghindar. Tapi yang seperti itu, sepanjang pengalaman saya, tidak banyak. Saya selalu berpikir positif. Mungkin hanya perlu waktu saja untuk menjadi akrab. Perlu ketelatenan.

Saya mengambil dua buah apel dari tas logistik saya. "Ini untuk Huli, dan ini untuk Uli." Saya menyorongkan apel merah itu. Mata keduanya berbinar. 
"Terima kasih, ibu..."

Kami mengobrol lagi. Bercerita-cerita ringan. Kadang-kadang saya tidak paham apa yang diceritakan Huli dan Uli. Bahasa mereka lebih banyak yang tidak saya kenal daripada yang saya kenal. Tapi saya mengangguk-angguk, sok paham, dan tertawa-tawa saat mereka tertawa. SKSD, sok kenal sok dekat. Mereka nampak senang sekali berteman dengan saya (ge er kalee...).

Di tengah keasyikan kami, bu Lucia yang baru saja bertanya pada petugas, memberi tahu kalau kondisi cuaca di Wamena buruk, sehingga pesawat tertunda keberangkatannya. Tapi tidak sampai sepuluh menit kemudian, ada pengumuman dari petugas yang menyilakan kami untuk segera memasuki pesawat.

Mendung tebal menggantung di langit. Gelap sekali. Kami berjalan cepat menuju Trigana Air yang sudah menunggu. Di dalam pesawat, aroma Papua begitu terasa. Bu Lucia dan pak Prapto mengendus-endus dan berkali-kali menutup hidungnya. Saya, meski juga sebenarnya sangat terganggu, berbisik ke mereka: "biasakan..."

Sampai ketemu di Wamena....
        
Sentani, 2 April 2014. 8.45 WIT.

Wassalam,
LN

1 komentar

Anonim

senang mengikuti tulisan perjalanan SM3t.

Posting Komentar

Silakan tulis tanggapan Anda di sini, dan terima kasih atas atensi Anda...